BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Hubungan Pola Asuh Orangtua dengan Tingkat Kemandirian Personal Hygiene pada Anak Usia Prasekolah di Desa Sigumpar Kecamatan Lintonghuta Kabupaten Humbanghasundutan

  2.1 Pola Asuh

  2.1.1 Pengertian Menurut Thoha (1996) pola asuh orangtua adalah suatu cara terbaik yang dapat ditempuh orangtua dalam mendidik anak sebagai perwujudan dari rasa tanggungjawab kepada anak. Sedangkan menurut Hurlock (1998) pola asuh orangtua adalah suatu metode disiplin yang diterapkan orangtua terhadap anaknya. Metode disiplin ini meliputi dua konsep yaitu konsep negatif dan konsep positf. Menurut konsep negatif, disiplin berarti pengendalian dengan kekuasaan.

  Ini merupakan suatu bentuk pengekangan melalui cara yang tidak disukai dan menyakitkan. Sedangkan menurut konsep positif, disiplin berati pendidikan dan bimbingan yang lebih menekankan pada disiplin dan pengendalian diri.

  Lebih jauh Hurlock (1998) juga menyebutkan bahwa fungsi pokok dari pola asuh orangtua adalah untuk mengajarkan anak menerima pengekangan- pengekangan yang diperlukan dan membantu mengarahkan emosi anak ke dalam jalur yang berguna dan diterima secara sosial. Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pola asuh orangtua adalah cara mengasuh dan metode disiplin orangtua dalam menjalankan perannya yang berhubungan dengan anaknya dengan tujuan membentuk karakter, kepribadian dan perilaku anak hingga anak dewasa.

  2.1.2 Jenis-jenis Pola Asuh Baumrind (1966) menyebutkan hasil penelitian sebelumnya tentang sosialisasi kompetensi bahwa pola asuh orangtua yang berbeda menghasilkan sikap anak yang berbeda juga. Konsep pola asuh yang paling sering digunakan

  10 diturunkan dari dua dimensi kerangka konsep Baumrind yaitu respon dan tuntutan (Watabe & Hibbard, 2014).

  Afriani et al. (2012) menyatakan respon mengacu pada sejauh mana orangtua mendorong anak, mendukung dan sepakat dengan permintaan anak-anak dengan kehangatan dan komunikasi. Sedangkan tuntutan mengacu pada klaim orangtua pada anak-anak untuk terintegrasi ke dalam masyarakat oleh perilaku regulasi, konfrontasi langsung, serta batas waktu (kontrol perilaku) dan pengawasan atau pemantauan kegiatan anak-anak.

  Dari dua dimensi tersebut, Baumrind (1966) mengekstrak tiga kategori pola asuh, yaitu: a. Pola Asuh Authoritarian

  Baumrind (1966) menjelaskan pola asuh authoritarian (otoriter) adalah pola asuh yang membatasi, menghukum dan menuntuk anak untuk mengikuti perintah-perintah-perintah orangtua dan menghormati pekerjaan serta usaha. Orangtua menuntut anak mengikuti perintah-perintahnya, sering memukul anak, memaksakan aturan tanpa penjelasan, dan menunjukkan amarah. Orangtua yang otoriter menetapkan batas-batas yang tegas dan tidakmemberi peluang yang besar kepada anak-anak untuk berbicara atau bermusyawarah.

  Menurut Hurlock (2010), peraturan yang keras untuk memaksa perilaku yang diinginkan menandai semua jenis pola asuh yang otoriter.

  Tekniknya mencakup hukuman yang berat bila terjadi kegagalan memenuh standar dan sedikit, atau sama sekali tidak adanya persetujuan, pujian atau tanda- tanda penghargaan lainnya bila anak memenuhi standar yang diharapkan.

  Orangtua tidak mendorong anak untuk mandiri dengan mengambil keputusan- keputusan yang berhubungan dengan tindakan mereka. Sebaliknya, mereka hanya mengatakan apa yang harus dilakukan. Jadi anak-anak kehilangan kesempatan belajar bagaimana mengendalikan perilaku mereka sendiri.

  Dengan cara otoriter, ditambah sikap keras, menghukum dan mengancam akan menjadikan anak patuh di hadapan orangtua, tetapi di belakangnya ia akan menentang atau melawan karena anak merasa dipaksa. Reaksi menentang bisa ditampilkan dalam tingkah laku yang melanggar norma- norma lingkungan rumah, sekolah dan pergaulan (Gunarsa, 2008). Efek pengasuhan ini akan membuat anak mengalami inkompetensi sosial, sering merasa tidak bahagia, kemampuan komunikasi lemah, tidak memiliki inisiatif melakukan sesuatu, dan kemungkinan berperilaku agresif (Soetjiningsih, 2012). Anak dari orangtua yang otoriter seringkali tidak bahagia, ketakutan, minder ketika membandingkan diri dengan orang lain, tidak mampu memulai aktivitas, dan memiliki kemampuan komunikasi yang lemah, serta sering berperilaku agresif (Santrock, 2002).

  b. Pola Asuh Permissive Baumrind (1966) menjelaskan bahwa pola asuh permissive

  (permisif) adalah pola asuh dimana orang orangtua sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak. Anak mengembangkan perasaan bahwa aspek-aspek lain kehidupan orangtua lebih penting daripada diri mereka. Biasanya pola asuh permisif tidak membimbing anak ke pola perilaku yang disetujui secara sosial dan tidak menggunakan hukuman. Orangtua membiarkan anak-anak meraba-raba dalam situasi yang terlalu sulit untuk ditanggulangi oleh mereka sendiri tanpa bimbingan atau pengendalian. Anak sering tidak diberi batas-batas atau kendala yang mengatur apa saja yang boleh dilakukan. Mereka diijinkan untuk mengambil keputusan sendiri dan berbuat sekehendak mereka sendiri (Hurlock, 2010).

  Menurut Gunarsa (2008), karena harus menentukan sendiri, maka perkembangan kepribadian anak menjadi tidak terarah. Pada anak tumbuh egosentrisme yang terlalu kuat dan kaku, dan mudah menimbulkan kesulitan- kesulitan jika harus menghadapi larangan-larangan yang ada dalam masyarakat.

  Efek pengasuhan ini anak akan memiliki kendali diri yang buruk, inkompentensi sosial, tidak mandiri, harga diri rendah, tidak dewasa, rasa terasing dari keluarga, serta pada saat remaja akan suka membolos dan nakal (Soetjiningsih, 2012). Anak dari orangtua yang permisif akan memiliki harga diri yang rendah, tidak dewasa, kesulitan belajar menghormati orang lain, kesulitan mengendalikan perilakunya, egosentris, tidak menuruti aturan, dan kesulitan dalam berhubungan dengan teman sebaya (Santrock, 2002).

  c. Pola Asuh Authoritative Baumrind (1966) menjelaskan bahwa pola asuh authoritative

  (demokratis) adalah pola asuh yang mendorong anak-anak agar mandiri tetapi masih menetapkan batas-batas dan pengendalian atas tindakan-tindakan mereka.

  Musyawarah verbal yang ekstensif dimungkinkan dan orangtua memperlihatkan kehangatan serta kasih sayang kepada anak. Pengasuhan yang demokratif diasosiasikan dengan kompetensi sosial anak.

  Menurut Hurlock (2010), metode demokratis menggunakan penjelasan, diskusi dan penalaran untuk membantu anak mengerti mengapa perilaku tertentu diharapkan. Metode ini lebih menekankan aspek edukatif dari disiplin daripada aspek hukumannya. Pola asuh ini menggunakan hukuman dan penghargaan, dengan penekanan yang lebih besar pada penghargaan. Hukuman tidak pernah keras dan biasanya tidak terbentuk hukuman badan. Hukuman hanya digunakan bila terdapat bukti bahwa anak-anak sadar menolak melakukan apa yang diharapkan dari mereka. Bila perilaku anak memenuhi standar yang diharapkan, orangtua yang demokratis akan menghargainya dengan pujian atau persetujuan oranglain.

  Dengan cara demokratis ini pada anak akan tumbuh rasa tanggungjawab untuk memperlihatkan sesuatu tingkah laku dan selanjutnya memupuk rasa percaya dirinya. Anak akan mampu bertindak sesuai norma dan menyesuaikan diri dengan lingkungannya (Gunarsa, 2008). Efek pengasuhan demokratis, yaitu anak mempunyai kompetensi sosial percaya diri dan bertanggungjawab secara sosial. Juga tampak ceria, bisa mengendalikan diri dan mandiri, berorientasi pada prestasi, mempertahankan hubungan ramah dengan teman sebaya, mampu bekerja sama dengan orang dewasa, dan mampu mengatasi stres dengan baik (Soetjiningsih, 2012). Anak dari orangtua yang demokratis ceria, bisa mengendalikan diri dan mandiri, dan berorientasi pada prestasi, mereka cenderung untuk mempertahankan hubungan yang ramah dengan teman sebaya, bekerja sama dengan orang dewasa, dan bisa mengatasi stres dengan baik (Santrock, 2002)

  2.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh Dalam memberlakukan pola asuh di lingkungan keluarga, orangtua dipengaruhi oleh beberapa hal. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh orangtua terhadap anak menurut Hurlock (2010) adalah:

  a. Kesamaan dengan disiplin yang digunakan orangtua Jika orangtua mereka memberikan pola asuh yang baik maka akan mereka tetapkan juga pada anak mereka, namun sebaliknya jika kurang sesuai maka akan digunakan cara yang berlawanan.

  b. Penyesuaian dengan cara yang disetujui kelompok Semua orangtua lebih dipengaruhi oleh apa yang oleh anggota kelompok mereka dianggap sebagai cara terbaik, daripada oleh pendirian mereka sendiri mengenai apa yang terbaik.

  c. Usia orangtua Orangtua yang lebih muda cenderung demokratis dan permisif dibandingkan dengan mereka yang tua. Mereka cenderung mengurangi kendali ketika anak beranjak remaja.

  d. Pendidikan untuk menjadi orangtua Orangtua yang belajar cara mengasuh anak dan mengerti kebutuhan anak akan lebih menggunakan pola asuh yang demokratis daripada orangtua yang tidak mengerti. e. Jenis kelamin Wanita pada umumnya lebih mengerti anak dan kebutuhannya dibanding pria, dan mereka cenderung kurang otoriter. Hal ini berlaku untuk orangtua maupun pengasuh lainnya.

  f. Status sosial ekonomi Orangtua dari kalangan menengah ke bawah akan lebih otoriter dan memaksa daripada mereka yang dari menengah ke atas. Semakin tinggi pendidikan pola asuh yang digunakan semakin cenderung demokratis.

  g. Konsep mengenai peran orang dewasa Orangtua yang mempertahankan konsep tradisional mengenai peran orangtua, cenderung lebih otoriter dibandingkan orangtua yang telah menganut konsep modern.

  h. Jenis kelamin anak Orangtua pada umunya akan lebih keras terhadap anak perempuan daripada terhadap anak laki-lakinya. i. Usia anak

  Pola asuh otoriter digunakan untuk anak kecil, karena anak-anak tidak mengerti penjelasan sehingga mereka memusatkan perhatian pada pengendalian otoriter. j. Situasi

  Ketakutan dan kecemasan biasanya tidak diganjar hukuman, sedangkan sikap menantang, negativitisme, dan agresi kemungkinan lebih mendorong pengendalian yang otoriter.

  2.1.4 Aspek-aspek Pola Asuh Orangtua Dalam menerapkan pola asuh terdapat unsur-unsur penting yang dapat mempengaruhi pembentukan pola asuh pada anak. Hurlock (2010) mengemukakan bahwa pola asuh orangtua memiliki aspek-aspek berikut ini:

  a. Peraturan, tujuannya adalah untuk membekali anak dengan pedoman perilaku yang disetujui dalam situasi tertentu. Hal ini berfungsi untuk mendidik anak bersikap lebih bermoral. Karena peraturan memiliki nilai pendidikan mana yang baik serta mana yang tidak, peraturan juga akan membantu mengekang perilaku yang tidak diinginkan. Peraturan haruslah mudah dimengerti, diingat dan dapat diterima oleh anak sesuai dengan fungsi peraturan itu sendiri.

  b. Hukuman, yang merupakan sangsi pelanggaran. Hukuman memiliki tiga peran penting dalam perkembangan moral anak. Pertama, hukuman menghalangi pengulangan tindakan yang tidak diinginkan oleh masyarakat. Kedua, hukuman sebagai pendidikan, karena sebelum anak tahu tentang peraturan mereka dapat belajar bahwa tindakan mereka benar atau salah, dan tindakan yang salah akan memperoleh hukuman. Ketiga, hukuman sebagai motivasi untuk menghindari perilaku yang tidak diterima oleh masyarakat.

  c. Penghargaan, bentuk penghargaan yang diberikan tidaklah harus yang berupa benda atau materi, namun dapat berupa kata-kata, pujian, senyuman, ciuman. Biasanya hadiah diberikan setelah anak melaksanakan hal yang terpuji. Fungsi penghargaan meliputi penghargaan yang mempunyai nilai yang mendidik, motivasi untuk mengulang perilaku yang disetujui secara sosial serta memperkuat perilaku yang disetujui secara sosial, dan tidak ada penghargaan yang melemahkan keinginan untuk mengulang perilaku itu.

  d. Konsistensi, berarti kestabilan atau keseragaman. Sehingga anak tidak bingung tentang apa yang diharapkan dari mereka. Fungsi konsistensi adalah mempunyai nilai didik yang besar sehingga dapat memacu proses belajar, memiliki motivasi yang kuat dan mempertinggi penghargaan terhadap peraturan dan orang yang berkuasa. Oleh karena itu kita harus konsiten dalam menetapkan semua aspek disiplin agar nilai yang kita miliki tidak hilang.

  2.2 Usia Prasekolah

  2.2.1 Pengertian Anak Prasekolah Anak usia prasekolah merupkan fase perkembangan individu sekitar 2-6 tahun, ketika anak memiliki kesadaran tentang dirinya sebagai pria atau wanita, dapat mengatur diri dalam buang air (toilet training), dan mengenal beberapa hal yang dianggap berbahaya (mencelakakan dirinya) (Yusuf, 2011). Batasan anak usia prasekolah adalah dari setelah kelahiran 0 tahun hingga usia sekitar 6 tahun (Prastisti, 2008).

  Anak prasekolah adalah anak yang berusia antara tiga setengah hingga enam tahun, sebelum anak memulai pendidikan formal di sekolah. Anak prasekolah tidak lagi nampak seperti bayi, dia belajar bersikap lebih dewasa dan bisa melakukan hal yang menyenangkan bagi orang-orang dewasa dalam hidupnya ketika dia mendapatkan pengakuan dan pujian atas karyanya (Hagan, 2006).

  Maka dapat disimpulkan bahwa anak prasekolah adalah anak yang berusia tiga hingga enam tahun, sebelum anak memulai pendidikan formal.

  2.2.2 Perkembangan Anak Prasekolah Wong (2008), kombinasi pencapaian biologis, psikososial, kognitif, spiritual, dan sosial selama periode prasekolah (usia 3 sampai 5 tahun) mempersiapkan anak prasekolah untuk perubahan gaya hidupnya yang paling bermakna yaitu masuk sekolah. Kontrol mereka terhadap fungsi tubuh, pengalaman periode perpisahan yang pendek dan panjang, kemampuan berinteraksi secara kerjasama dengan anak lain dan orang dewasa, penggunaan bahasa untuk simbolisasi mental, dan meningkatnya rentang perhatian dan memori mempersiapkan mereka untuk periode mayor berikutnya, masa sekolah.

  Keberhasilan pencapaian tingkat pertumbuhan dan perkembangan sebelumnya sangat penting bagi anak prasekolah untuk memperhalus tugas-tugas yang telah mereka kuasai selama masa toodler.

  Dalam Wong (2008) disebutkan bahwa pertumbuhan dan perkembangan anak pada usia 5 tahun selama masa prasekolah, antara lain: a. Fisik: 1) denyut nadi dan respirasi sedikit menurun, 2) rata-rata berat badan 18,7 kg, 3) rata-rata tinggi badan 110 cm, 4) erupsi gigi permanen mungkin sudah mulai, dan 5) dominansi tangan sudah tercapai (sekitar 90% tidak kidal).

  b. Motorik kasar: 1) lompat tali dengan melompat kanan-kiri secara bergantian, 2) melempar dan menangkap bola dengan baik, 3) lompat tali, 4) bermain papan luncur dengan keseimbangan yang baik, 5) berjalan mundur dengan tumit ke jari, 6) Melompat dari ketinggian 30 cm dan mendarat pada jari kaki, dan 7) keseimbangan berjalan dengan kaki kanan-kiri secara bergantian dengan mata tertutup.

  c. Motorik halus: 1) mengikat tali sepatu, 2) menggunakan gunting, peralatan sederhana, atau pensil dengan sangat baik, 3) dalam menggambar, menyiplak wajk dan segitiga, tambahkan tujuh sampai sembilan bagian untuk membentuk suatu gambar, cetak beberapa surat, atau kata-kata seperti nama pertama.

  d. Bahasa: 1) memiliki perbendaharaan sekitar 2100 kata, 2) menggunakan kalimat yang terdiri atas enam sampai delapan kata,dengan semua bagian percakapan, 3) menamakan koin (misalnya, nikle, dime), 4) menamakan empat warna atau lebih, 5) menerangkan gambar atau lukisan dengan banyak komentar dan menyebutkan satu per satu, 6) mengetahui nama-nama hari dalam satu minggu, bulan dan kata-kata yang berhubungan dengan waktu lainnya, 7) mengetahui komposisi benda seperti “sepatu terbuat dari....”, dan 8) dapat mengikuti tiga perintah secara berturut-turut.

  e. Sosialisasi: 1) sifat pemberontak dan menyukai percekcokan lebih jarang dari usia 4 tahun, 2) lebih mapan dan memiliki hasrat besar dalam menjalankan kesibukan, 3) pikiran dan perilaku tidak sama terbuka dan terjangkaunya dengan pada tahun-tahun sebelumnya, 4) mandiri tetapi dapat dipercaya, tidak keras kepala, lebih bertanggung jawab, 5) ketakutannya lebih sedikit, percaya pada otoritas di luar untuk mengontrol dunia, 6) sangat berkeinginan untuk melakukan sesuatu dengan benar dan menyenangkan orang lain, berusaha hidup dalam aturan, 7) perilakunya lebih baik, 8) mengasuh diri sendiri secara total, terkadang perlu supervisi dalam berpakaian atau hygiene, 9) tidak siap untuk berkonsentrasi pada pekerjaan dekat atau cetakan kecil karena agak rabun dekat dan koordinasi mata-tangannya masih belum halus, dan 10) bermain bersifat aosiatif, mencoba mengikuti aturan tetapi mungkin bermain curang untuk menghindari kekalahan.

  f. Kognisi: 1) mulai mempertanyakan tentang apa yang dipikirkan orangtu dengan membandingkan mereka terhadap teman sebaya dan orang dewasa lain, 2) dapat memperhatikan adanya prasangka dan bias di dunia luar, 3) lebih mampu melihat perspektif orang lain tetapi lebih menoleransi perbedaan daripada memahaminya, 4) mulai memperlihatkan pemahaman terhadap perccakapan tentang jumlah melalui penghitungan benda-benda tanpa memerhatikan susunannya, 5) menggunakan kata-kata berorientasi waktu dengan pemahaman yang lebih baik, dan 6) Sangat ingin tahu mengenai informasi nyata berkenaan dengan dunia.

  g. Hubungan keluarga: 1) bekerja sama dengan orangtua secara baik, 2) mungkin lebih sering mencri orangtua dibandingkan usia 4 tahun untuk mencari rasa aman dan ketenangan, terutama ketika masuk sekolah, 3) mulai menanyakan pemikiran dan prinsip orangtua, 4) sangat mengidentifikasi orangtua dengan jenis kelamin yang sama, terutama anak lelaki dengan ayahnya, dan 5) menyukai aktivitis seperti olahraga, memasak, dan berbelanja dengan orangtua berjenis kelamin sama.

  2.3 Konsep Urutan Kelahiran Anak Penelitian-penelitian longitudinal yang telah dilakukan mengenai efek berbagai posisi urutan realatif hanya sedikit. Namun beberapa penelitian terhadap anak-anak yang lebih besar, remaja-remaja dan orang-orang dewasa dari berbagai posisi urutan menunjukkan betapa posisi urutan dapat menjadi faktor yang kuat dalam menentukan jenis penyesuaian pribadi dan penyesuaian sosial yang harus dilakukan individu sepanjang rentang kehidupannya.

  Beberapa ciri umum sehubungan dengan urutan kelahiran anak menurut Hurlock (1980):

  1. Anak pertama: 1) berperilaku secara matang karena berhubungan dengan orang-orang dewasa dan karena diharapkan memikul tanggung jawab, 2) benci terhadap fungsinya sebagai teladan bagi adik-adiknya sebagai pengasuh mereka, 3) cenderung mengikuti kehendak dan tekanan kelompok dan mudah dipengaruhi untuk mengikuti kehendak orangtua, 4) mempunyai perasaan kurang aman dan perasaan benci sebagai akibat dari lahirnya adik yang sekarang menjadi pusat perhatian, 5) kurang agresif dan kurang berani karena perlindungan orangtua yang berlebihan, 6) mengembangkan kemampuan memimpin sebagai akibat dari harus memikul tanggungjawab di rumah. Tetapi ini sering disanggah dengan kecenderungan untuk menjadi bos, 7) biasanya berprestasi tinggi atau sangat tinggi karena tekanan dan harapan orangtua dan keinginan untuk memperoleh kembali perhatian orangtua bila ia merasa bahwa adik-adiknya merebut perhatian orangtua dari dirinya, dan 8) sering tidak bahagia karena adanya perasaan kurang aman yang timbul dari kurangnya perhatian orangtua dengan kelahiran adik- adiknya dan benci karena mempunyai tugas dan tanggungjawab yang lebih banyak daripada adik-adiknya.

  2. Anak tengah: 1) belajar mandiri dan bertualang adalah akibat dari kebebasan yang lebih banyak, 2) menjadi benci atau berusaha melebihi perilaku kakaknya yang lebih diunggulkan, 3) tidak menyukai keistimewaan yang diperoleh kakaknya, 4) bertingkah dan melanggar peraturan untuk menarik perhatian orangtua bagi dirinya sendiri dan merebut perhatian orangtua dari kakak atau adik-adiknya, 5) mengembangkan kecenderungan untuk menjadi bos, mengejek, mengganggu, atau bahkan menyerang adik-adiknya yang memperoleh lebih banyak perhatian orangtua, 6) mengembangkan kebiasaan untuk tidak berprestasi tinggi karena kurangnya harapan-harapan orangtua dan kurangnya tekanan untuk berprestasi, 7) mempunyai tanggung jawab yang lebih sedikit dibandingkan tanggung jawab anak pertama. Sering ditafsirkan bahwa anak tengah lebih rendah daripada anak pertama. Hal ini melemahkan pengembangan sifat-sifat kepemimpinan, 8) terganggu oleh perasaan-perasaan diabaikan orangtua yang selanjutnya mendorong timbulnya perkembangan gangguan perilaku. Hal ini seringkali mengakibatkan penyesuaian sosial yang lebih baik daripada penyesuaian anak pertama, dan 9) mencari persahabatan dengan teman-teman sebaya di luar rumah, hal ini seringkali mengakibatkan penyesuaian sosial yang lebih baik daripada penyesuaian anak pertama.

  3. Anak bungsu: 1) cenderung keras dan banyak menuntut sebagai akibat dari kurang ketatnya disiplin dan dimanjakan oleh anggota-anggota keluarga, 2) tidak banyak memiliki rasa benci dan rasa aman yang lebih besar karena tidak pernah disaingi oleh saudara-saudaranya yang lebih muda, 3) biasanya dilindungi orangtua dari serangan fisik atau verbal kakak-kakaknya dan hal ini mendorong ketergntungan dan kurangnya rasa tanggung jawab, 4) cenderung tidak berprestasi tinggi karena kurangnya harapan dan tuntutan orangtua, 5) mengalami hubungan sosial yang baik di luar rumah dan biasanya populer tetapi jarang menjadi pemimpin karena kurangnya kemauan memikul tanggung jawab, dan 6) cenderung merasa bahagia karena memperoleh perhatian dan dimanjakan anggota-anggota keluarga selama awal masa kanak-kanak.

  2.4 Kemandirian Anak

  2.4.1 Konsep Kemandirian Dalam teori kemandirian yang dikembangkan Steinberg (1995) istilah

  independence dan autonomy sering disejajarartikan secara berganti

  (interchangeable) sesuai dengan konsep kedua istilah tersebut. Meski secara umum kedua istilah tersebut memiliki arti yang sama yakni kemandirian, tetapi sesungguhnya secara konseptual kedua istilah tersebut berbeda. Secara leksikal

  independence mengacu kepada kapasitas individu untuk memperlakukan diri

  sendiri. Steinberg (1995) menyatakan independence generally refers to

  individuals’ capacity to behave on their own. Berdasarkan konsep independence

  ini Steinberg (1995) menjelaskan bahwa anak yang sudah mencapai independence ia mampu menjalankan atau melakukan sendiri aktivitas hidup terlepas dari pengaruh kontrol orang lain terutama orangtua. Misalnya, ketika anak ingin buang air kecil ia langsung pergi ke toilet, tidak merengek-rengek meminta dibantu buka celana atau minta dicarikan tempat kencing. Kemandirian yang mengarah kepada konsep independence ini merupakan bagian dari perkembangan autonomy selama masa remaja, hanya autonomy mencakup dimensi emosional, behavioral, dan nilai. Steinberg (1995) menegaskan the growth of independence is surely a part of becoming autonomous during adolescence.

  Wijaya (1986), mengemukakan tiga istilah yang bersepadanan untuk menunjukkan kemampuan berdikari anak, yaitu autonomy, kompetensi, dan kemandirian. Menurutnya, kompetensi berarti kemampuan untuk bersaing dengan individu-individu lain yang normal. Kompetensi juga menunjuk pada suatu taraf mental yang cukup pada individu untuk memikul tanggungjawab atas tindakan- tindakannya. Istilah autonomy seringkali disamaartikan dengan kemandirian, sehingga didefenisikan bahwa individu yang otonom ialah individu yang mandiri, tidak mengandalkan bantuan atau dukungan orang lain yang kompeten, dan bebas bertindak. Padahal dalam perspektif Widjaja (1986) autonomy dan kemandirian adalah dua konsep yang berbeda. Menurutnya, kemandirian menunjuk pada adanya kepercayaan akan kemampuan diri untuk menyelesaikan persoalan- persoalan tanpa bantuan khusus dari orang lain, keengganan untuk dikontrol orang lain, dapat melakukan sendiri masalah-masalah yang dihadapi.

  Berdasarkan konsep-konsep di atas dapat disimpulkan bahwa kemandirian adalah kemampuan untuk menguasai, mengatur, atau mengelola diri sendiri.

  2.4.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kemandirian Setiap anak mempunyai kemampuan yang berbeda antara anak yang satu dengan yang lainnya. Banyak faktor yang menyebabkan perbedaan kemampuan individual anak. Berikut faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemandirian anak (Soetjiningsih, 1995): a. Faktor Internal

  1) Faktor emosi ditujukkan dengan kemampuan mengontrol emosi dan tidak terganggunya kebutuhan emosi anak.

  2) Faktor intelektual yang ditujukkan dengan kemampuan untuk mengatasi masalah yang dihadapi anak.

  b. Faktor Eksternal 1) Lingkungan merupakan faktor yang menentukan tercapai atau tidaknya kemandirian anak prasekolah. Pada usia ini anak membutuhkan kebebasan untuk bergerak kesana-kemari dan mempelajari lingkungan.

  2) Karakteristik sosial mempengaruhi kemandirian anak, misalnya tingkat kemandirian anak dari keluarga miskin berbeda dengan anak- anak dari keluarga kaya.

  3) Anak yang mendapat stimulus terarah dan teratur akan lebih cepat mandiri dibanding dengan anak yang kurang mendapat stimulasi.

  4) Pola asuh, anak dapat mendiri dengan diberi kesempatan, dukungan dan peran orangtua sebagai pengasuh.

  5) Cinta dan kasih sayang kepada anak hendaknya diberikna sewajarnya karena jika diberikan berlebihan, anak menjadi kurang mandiri. Hal ini dapa diatasi bila interaksi dua arah antara orangtua dan anak berjalan lancar dan baik.

  6) Kualitas informasi anak dan orangtua yang dipengaruhi pendidikan orangtua, dengan pendidikan yang baik, informasi dapat diberikan pada anak karena orangtua dapat menerima informasi dari luar terutama cara meningkatkan kemandirian anak.

  7) Status pekerjaan ibu, apabila ibu bekerja di luar rumah untuk mencari nafkah maka ibu tidak bisa memantau kemandirian anak sesuai perkembangan usianya. Sedangkan ibu yang tidak bekerja, ibu dapat memantau langsung kemandirian anak dan bisa memandirikan anaknya.

  2.4.3 Bentuk Kemandirian Berdasarkan Usia Orangtua sudah saatnya mengetahui tentang standart kompetensi anak, yaitu kompetensi anak sesuai tahapan usia dari berbagai aspek perkembangan. Hal ini perlu diketahui agar para orangtua mengetahui kompetensi apa yang sepatutnya dimiliki oleh anaknya. Salah satu manfaatnya adalah untuk menghindari orangtua menetapkan standart di atas kemampuan anak sebenarnya.

  Berikut bentuk kemandirian anak berdasarkan usia menurut Wening (2012 dalam Putra, 2012):

  a. Usia 3-4 tahun Bentuk kemandirian anak pada usia prasekolah ini adalah sikat gigi sendiri meski belum sempurna, membuka dan memakai pakaian kaos dan celana berkaret, memakai sepatu berperekat, mandiri sendiri pada waktunya, buang air kecil di kamar mandi, mencuci tangan tanpa bantuan sebelum dan sesudah beraktifitas, menuang air tanpa tumpah dan minum sendiri dengan gelas tanpa gagang maupun cangkir bergagang, membereskan mainan usai bermain dengan diingatkan, membantu membersihkan lingkungan, mampu berpisah dengan orangtua tanpa menangis, memiliki kebiasaan yang teratur seperti makan, mandi, dan tidur.

  b. Usia 5-6 tahun.

  Bentuk kemandirian pada usia ini adalah menggunakan pisau untuk memotong makanan, membuka dan memakai baju berkancing depan, membuka dan menutup celana bersleting, menalikan sepatu, mandi sendiri tanpa arahan, cebok setelah buang air kecil atau besar, menyisir rambut, mampu makan sendiri, mampu berpisah dengan ibu tanpa menangis, mampu BAB dan BAK sendiri, dan mampu berpakaian sendiri tanpa bantuan, membuang sampah pada tempatnya, merapika mainan setelah digunakan, menaati peraturan yang berlaku dn pergi ke sekolah tepat waktu.

  2.5.1 Pengertian personal hygiene Pemeliharaan personal hygiene berarti tindakan memelihara kebersihan dan kesehatan diri seseorang untuk kesejahteraan fisik dan psikisnya. Seseorang dikatakan memiliki personal hygiene baik apabila, orang tersebut dapat menjaga kebersihan tubuhnya yang meliputi kebersihan kulit, gigi dan mulut, rambut, mata, hidung, dan telinga, kaki dan kuku, genitalia, serta kebersihan dan kerapihan pakaiannya.

  2.5.2 Macam-macam tindakan personal hygiene Menurut Potter dan Perry (2005) macam-macam personal hygiene:

  1. Kebersihan kulit

  Kulit berfungsi sebagai pertukaran oksigen, nutrisi, dan cairan dengan pembuluh darah yang berada di bawahnya; mensintesa sel baru; dan mengeliminasi sel mati, sel yang tidak berfungsi. Sel-sel integumen memerlukan nutrisi dan hidrasi yang cukup untuk menahan cedera dan penyakit. Sirkulasi yang adekuat penting untuk memelihara kehidupan sel. Kulit seringkali merefleksikan perubahan pada kondisi fisik dengan perubahan pada warna, ketebalan, tekstur, turgor, temperatur, dan hidrasi. Umur mempengaruhi kondisi normal kulit dan tipe tindakan hygiene yang diperlukan. Dengan demikian anak-anak memiliki resistensi yang terbesar untuk infeksi dan iritasi kulit. Anak-anak lebih aktif bermain, dan ketiadaan kebiasaan hygiene yang dibentuk, perhatian terbesar diperlukan orangtua dan pemberi asuhan untuk memberikan hygiene dan memulai pengajaran kebiasaan hygiene yang baik.

  Salah satu cara untuk menjaga kebersihan kulit adalah dengan mandi. Dimana mandi bertujuan untuk: membersihkan kulit, yaitu pembersihan mengurangi keringat, beberapa bakteria, sebum dan sel kulit yang mati, yang meminimalkan iritasi kulit dan mengurangi kesempatan infeksi; stimulasi sirkulasi, yaitu sirkulasi yang baik ditingkatkan melalui penggunaan air hangat dan usapan yang lembut pada ekstremitas; peningkatan citra diri, mandi meningkatkan relaksasi dan perasaan segar kembali dan kenyamanan; pengurangan bau badan, yaitu sekresi keringat yang berlebihan dari kelenjar apokrin berlokasi di area aksila dan pubik menyebabkan bau badan yang tidak menyenangkan; dan peningkatan rentang gerak, yaitu gerakan ekstremitas selama mandi mempertahankan fungsi sendi.

  Pembersihan mengangkat minyak yang berlebihan, keringat, sel kulit mati, dan kotoran yang meningkatkan perkembangan bakteri dapat dilakukan dengan mandi setiap hari. Setelah mandi seluruh tubuh dikeringkan supaya tidak terjadi kelembapan yang berlebihan yang akan menyebabkan maserasi kulit, yang meningkatkan perkembangan bakteri. Kebersihan kulit juga dijaga dengan membersihkan perineal setiap kali uang air besar dan buang air kecil, sebab sekresi keringat yang berlebihan dari kelenjar apokrin di daerah aksila dan pubis menyebabkan bau yang tidak sedap. Dan sekresi yang terakumulasi pada permukaan kulit sekitar genitalia berperan sebagai tempat penyimpanan infeksi.

  Kaki dan kuku seringkali memerlukan perhatian khusus untuk mencegah infeksi, bau dan cedera pada jaringan. Perawatan dapat digabungkan selama mandi atau pada waktu yang terpisah. Seringkali, orang tidak sadar akan masalah kaki dan kuku sampai terjadi nyeri atau ketidaknyamanan. Masalah dihasilkan karena perawatan yang salah atau kurang terhadap kaki dan tangan seperti menggigit kuku atau pemotongan yang tidak tepat, pemaparan dengan zat- zat kimia yang tajam, dan pemakaian sepatu yang tidak pas. Ketidaknyamanan dapat mengarah pada stres fisik dan emosional.

  Jenis alas kaki yang dipakai dapat mempengaruhi masalah kaki dan kuku klien. Anak-anak seperti dewasa muda yang secara teratur gagal memakai kaus kaki akan memiliki keringat yang berlebihan yang meningkatkan pertumbuhan jamur. Sepatu sempit atau kurang pas, kaus kaki, ikat kaus kaki, atau stoking nilon sampai lutut dapat menyebabkan luka kulit tertentu dan mengganggu sirkulasi kaki. Pengulangan pemakaian alas kaki juga menyebabkan infeksi. Karena itu gunakan kaus kaki dan stoking yang bersih setiap hari. Ganti kaus kaki dua kali sehari jika kaki berkeringat banyak. Kaus kaki harus bebas lubang atau jahitan yang menyebabkan tekanan. Dan jangan berjalan dengan kaki tanpa sepatu atau kaus kaki.

  Beberapa masalah umum kaki dan kuku antara lain: infeksi jamur kaki (tinea pedis), kuku yang tumbuh ke dalam, dan bau kaki. Infeksi jamur kaki merupakan ketidaksamaan sisi dan keretakan kulit terjadi antara jari dan tumit kaki. Kaki yang melepuh kecil berisi cairan dapat terlihat. Masalah ini disebabkan pemakaian alas kaki yang ketat. Implikasi dari infeksi jamur dapat menyebar ke bagian tubuh yang lain, khususnya tangan. Hal ini sangat menular dan seringkali kambuh. Intervensi untuk mengatasi kondisi ini sebaiknya kaki berventilasi baik. Pengeringan kaki dengan baik setelah mandi dan penggunaan bedak membantu mencegah infeksi. Mengenakan kaus kaki atau stoking yang bersih mengurangi insiden. Masalah kuku yang tumbuh ke dalam yaitu dimana jari kaki atau jari tangan masuk ke dalam jaringan yang halus sekitar kuku. Kuku yang masuk ke dalam akibat dari pemotongan kuku yang tidak tepat. Hal ini bisa menyebabkan nyeri lokal jika terkena tekanan. Intervensinya adalah sering berendam pada larutan antiseptik yang panas dan pengangkatan bagian kuku yang telah tumbuh ke dalam bagian kulit. Masalah lain yaitu bau kaki, dimana hal ini terjadi karena akibat keringat yang berlebihan yang meningkatkan perkembangan mikroorganisme. Implikasinya yaitu dapat menyebabkan ketidaknyamanan akibat keringat yang berlebihan. Intervensinya yaitu pencucian yang sering, penggunaan deodorant kaki dan bedak, dan pemakaian alas kaki yang bersih mencegah atau mengurangi masalah.

  3. Kebersihan mulut

  Hygiene mulut yang baik termasuk kebersihan, kenyamanan, dan

  kelembaban struktur mulut. Hygiene mulut membantu mempertahankan status kesehatan mulut, gigi, gusi, dan bibir. Menggosok membersihkan gigi dari partikel-partikel makanan, plak; memasase gusi; dan mengurangi ketidaknyamanan yang dihasilkan dari bau dan rasa yang tidak nyaman. Flossing membantu lebih lanjut dalam mengangkat plak dan tartar di antara gigi untuk mengurangi inflamasi gusi dan infeksi. Hygiene mulut yang lengkap memberikan rasa sehat dan selanjutnya menstimulus nafsu makan. Sepanjang masa hidup seseorang, perubahan fisiologi mempengaruhi kondisi dan penampilan struktur rongga mulut. Anak dapat terjadi karies gigi pada gigi susu karena pola makan atau kurangnya perawatan gigi. Pada anak usia 8-6 tahun 20 gigi susu telah ada.

  Usia 2 tahun anak mulai menggosok gigi dan belajar praktik hygiene dari orangtua, karies gigi menjadi masalah jika mengabaikan kebersihan gigi. Pada usia 6 tahun, gigi bayi mulai tanggal dan digantikan gigi permanen.

  Tujuan pembersihan mulut antara lain, supaya mukosa mulut terhidrasi dengan baik dan mulut tetap terasa nyaman. Dua tipe masalah besar mulut adalah karies gigi (lubang) yang paling sering dialami oleh orang muda dan penyakit periodontal yang sering dialami oleh orang dewasa. Perkembangan lubang merupakan proses patologi yang melibatkan kerusakan email gigi pada akhirnya melalui kekurangan kalsium. Selanjutnya dengan perkembangan lubang, gigi menjadi kecoklatan atau kehitaman. Masalah mulut lainnya yaitu: halitosis (bau napas) yang merupakan akibat dari hygiene mulut yang buruk, pemasukan makanan tertentu, atau proses infeksi atau penyakit. Hygiene mulut yang tepat dapat mengeliminasi bau kecuali penyebabnya adalah kondisi sistemik seperti penyakit liver atau diabetes; keilosis, gangguan bibir yang retak terutama pada sudut mulut. Pemberian minyak pada bibir mempertahankan kelembaban, dan salep antijamur atau antibakteri memperkecil perkembangan mikroorganisme.

  Mukosa, lidah, dan bibir akan menjadi merah muda, lembab, dan utuh serta gigi akan bebas dari partikel makanan jika dilakukan perawatan mulut setelah makan dan sebelum tidur, seperti menggosok gigi dengan sikat gigi lembut dengan gerakan horizontal dan mencuci mulut juga bibir. Hal ini akan meningkatkan jaringan gusi, mengurangi kotoran, dan menghasilkan pengontrolan plak. Sikat gigi yang lembut dengan gerakan horizontal membantu melindungi jaringan gusi yang lembut dan mencegah perdarahan. Gosok gigi dengan teliti sedikitnya empat kali sehari (setelah makan dan waktu tidur) adalah dasar program hygiene mulut yang efektif. Sikat gigi harus memiliki pegangan yang lurus, dan bulunya harus cukup kecil untuk menjangkau semua bagian mulut.

  Sikat gigi harus diganti setiap 3 bulan. Bahkan, permukaan sikat yang bulat dengan bulu yang lembut, banyak, dari nilon adalah yang terbaik. Bulu halus yang bundar menstimulasi gusi tanpa menyebabkan abrasi atau perdarahan. Baik sikat atau spon yang digunakan, membilas dengan teliti setelah menggosok gigi penting untuk mengurangi partikel makanan yang dikeluarkan atau kelebihan pasta gigi. Beberapa orang menyukai memakai obat kumur karena rasa yang menyenangkan.

  Bagaimanapun penggunaan obat kumur dalam jangka waktu yang lama akan mengeringkan mukosa.

  4. Kebersihan rambut Rambut normal adalah bersih, bercahaya dan tidak kusut, untuk kulit kepala harus bebas dari lesi. Sepanjang hidup, perubahan dan perkembangan, distribusi, dan kondisi rambut dapat mempengaruhi hygiene yang dibutuhkan seseorang. Praktik keperawatan rambut yang baik harus dilakukan rutin untuk memenuhi kebutuhan hygiene seseorang. Perawatan rambut dan kulit kepala bertujuan untuk membersihkan kulit kepala dan rambut sehingga tetap terjaga sehat dan mencapai rasa nyaman dan harga diri yang baik.

  Penyikatan yang sering membantu mempertahankan kebersihan rambut dan mendistribusi minyak secara merata sepanjang helai rambut. penyisiran hanya membentuk gaya rambut dan mencegah rambut kusut. Sisir bergerigi pendek cukup untuk rambut pendek, tapi sisir bergerigi panjang dipilih untuk rambut keriting. Sisir bergerigi tajam dan tidak beraturan dapat melukai kulit kepala. Selain dari itu, bersampo juga sangat mempengaruhi kebersihan kulit kepala dan rambut. Bersampo membuat rambut bersih. Frekuensi bersampo tergantung rutinitas pribadi sehari-hari dan kondisi rambut. Tetapi sampo yang tersisa menyebabkan rambut kusam. Sampo yang mengering menyebabkan iritasi kulit kepala.

  5. Kebersihan mata, telinga, dan hidung Perhatian khusus diberikan untuk membersihkan mata, telinga, dan hidung adalah saat mandi. Secara normal tidak ada perawatan khusus yang diperlukan untuk mata karena secara terus-menerus dibesarkan air mata, dan kelopak mata dan bulu mata mencegah masuknya partikel asing. Seseorang hanya memerlukan untuk memindahkan sekresi kering yang terkumpul pada kantus sebelah dalam atau bulu mata. Pembersihan mata biasanya dilakukan selama mandi dan melibatkan pembersihan dengan waslap bersih yang dilembabkan dengan air. Sabun yang menyebabkan panas dan iritasi biasanya dihindari.

  Hygiene telinga mempunyai implikasi utuk ketajaman pendengaran

  bila substansi lilin atau benda asing berkumpul pada kanal telinga luar, yang mengganggu konduksi suara. Pembersihan telinga merupakan bagian rutin dalam kegiatan mandi di tempat tidur. Pembersihan berakhir dengan waslap yang dilembabkan, dirotasikan ke kanal telinga dengan lembut, kerja terbaik untuk pembersihan.

  Hidung memberikan indera penciuman tetapi juga memantau temperatur dan kelembapan udara yang dihirup serta mencegah masuknya partikel asing ke dalam sistem pernapasan. Pembersihan hidung biasanya dilakukan dengan mengangkat sekresi hidung secara lembut dengan menggunakan tissue.

  Hal ini menjadi hygiene harian yang diperlukan. Jika mengeluarkan kotoran dengan kasar bisa mengakibatkan tekanan yang mencederai gendang telina, mukosa hidung, dan bahkan struktur mata yang sensitif. Perdarahan hidung adalah tanda kunci dari pengeluaran yang kasar, iritasi mukosa, atau kekeringan.

  2.5.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Personal Hygiene Menurut Potter dan Perry (2005), sikap seseorang melakukan personal

  hygiene dipengaruhi oleh sejumlah faktor antara lain:

  1. Citra tubuh (Body Image) Penampilan umum pasien dapat menggambarkan pentingnya

  personal hygiene pada orang tersebut. Citra tubuh merupakan konsep subjektif

  seseorang tentang penampilan fisiknya. Citra tubuh dapat berubah, karena operasi, pembedahan atau penyakit fisik maka perawat harus membuat suatu usaha ekstra untuk meningkatkan hygiene dimana citra tubuh mempengaruhi cara mempertahankan hygiene. Body image seseorang berpengaruhi dalam pemenuhan

  personal hygiene karena adanya perubahan fisik sehingga individu tidak peduli terhadap kebersihannya.

  2. Praktik sosial Kelompok-kelompok sosial wadah seorang pasien berhubungan dapat mempengaruhi bagaimana pasien dalam pelaksanaan praktik personal

  hygiene. Perawat harus menentukan apakah pasien dapat menyediakan bahan-

  bahan yang penting seperti deodorant, sampo, pasta gigi, dan kosmetik. Perawat juga harus menentukan jika penggunaan dari produk-produk ini merupakan bagian dari kebiasaan sosial yang dipraktekkan oleh kelompok sosial pasien.

  3. Status sosial ekonomi Pendapatan keluarga akan mempengaruhi kemampuan keluarga untuk menyediakan fasilitas dan kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan untuk menunjang hidup dan kelangsungan hidup keluarga. Sumber daya ekonomi seseorang mempengaruhi jenis dan tingkatan praktik personal hygiene. Untuk melakukan personal hygiene yang baik dibutuhkan sarana dan prasarana yang memadai, seperti kamar mandi, peralatan mandi, serta perlengkapan mandi yang cukup (misalnya sabun, sikat gigi, sampo, dll).

  4. Pengetahuan Pengetahuan tentang personal hygiene sangat penting, karena pengetahuan yang baik dapat meningkatkan kesehatan. Pengetahuan tentang pentingnya hygiene dan implikasinya bagi kesehatan mempengaruhi praktik

  hygiene. Kendati demikian, pengetahuan itu sendiri tidaklah cukup, pasien juga

  harus termotivasi untuk memelihara personal higiene . Individu dengan pengetahuan tentang pentingnya personal higene akan selalu menjaga kebersihan dirinya untuk mencegah dari kondisi atau keadaan sakit.

  5. Kebudayaan Kebudayaan dan nilai pribadi mempengaruhi kemampuan perawatan personal higiene. Seseorang dari latar belakang kebudayaan yang berbeda, mengikuti praktek perawatan personal higiene yang berbeda. Keyakinan yang didasari kultur sering menentukan defenisi tentang kesehatan dan perawatan diri. Dalam merawat pasien dengan praktik higiene yang berbeda, perawat menghindari menjadi pembuat keputusan atau mencoba untuk menentukan standar kebersihannya.

  6. Pilihan pribadi Setiap individu memiliki keinginan dan pilihan tentang kapan untuk mandi, bercukur, dan melakukan perawatan rambut. Individu memilih produk yang berbeda (misalnya sabun, sampo, deodoran, dan pasta gigi) menurut pilihan dan kebutuhan pribadi. Klien juga memiliki pilihan bagaimana melakukan hygiene.

  7. Kondisi fisik Orang yang menderita penyakit tertentu atau yang menjalani operasi seringkali kekurangan energi fisik atau ketangkasan untuk melakukan

  personal higiene . Seorang pasien yang menggunakan gips pada tangannya atau

  menggunakan traksi membutuhkan bantuan untuk mandi yang lengkap. Kondisi jantung, neurologis, paru-paru, dan metabolik yang serius dapat melemahkan atau menjadikan pasien tidak mampu dan memerlukan perawatan personal higiene total.

  2.5.4 Dampak yang Sering Timbul pada Masalah Personal Hygiene Kebersihan diri sangatlah penting dalam kehidupan anak kebersihan diri yang terjaga denganbaik akan membuat anak menjadi sehat, dan terhindar dari berbagai macam penyakit. Berikut ini adalah dampak yang ditimbulkan jika anak tidak menjada kebersihan diri dengan baik (Tarwoto & Wartonah, 2010): a. Dampak Fisik

  Banyak gangguan kesehatan yang diderita seseorang karena tidak terpelihara dan kebersihan perorangan denganbaik. Gangguan fisik yang sering terjadi adalah gangguan integritas kulit, gangguan membran mukosa mulut, infeksi pada mata dan telinga, dan gangguan fisik pada kuku. b. Dampak Psikososial Masalah sosial yang berhubungan dengan personal hygiene adalah gangguan kebutuhan rasa nyaman, kebutuhan dicintai dan mencintai, kebutuhan harga diri, aktualisasi diri, dan gangguan interaksi sosial.

  2.6 Hubungan Pola Asuh Orangtua dengan Tingkat Kemandirin Personal

  Hygiene pada Anak Usia Prasekolah

  Dalam literatur psikologi barat, dijelaskan bahwa untuk mengetahui hubungan antara pola asuh orangtua dan masalah perilaku pada anak telah melalui penelitian yang panjang. Meskipun masalah hubungan kausal antara variable- variabel tetap tidak terselesaikan, peran pola asuh orangtua dalam membentuk perilaku anak sangat penting. Pola asuh orangtua seperti kehangatan, regulasi, pendekatan, penegakan hukuman secara tegas, pengakuan demokratis sudut pandang anak telah konsisten dikaitkan dengan rendahnya tingkat masalah perilaku pada anak, khususnya kenakalan, perilaku eksternalisasi dan penyimpangan (Sharma and Sandhu, 2006).

Dokumen yang terkait

Bab 3 Kerangka Penelitian - Dukungan Keluarga dan Kemandirian Lansia dalam Aktivitas Sehari-hari di Posyandu Lansia Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Khalipah Kecamatan Percut Sei Tuan

0 0 34

Bab 2 Tinjauan Pustaka - Dukungan Keluarga dan Kemandirian Lansia dalam Aktivitas Sehari-hari di Posyandu Lansia Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Khalipah Kecamatan Percut Sei Tuan

0 3 21

Dukungan Keluarga dan Kemandirian Lansia dalam Aktivitas Sehari-hari di Posyandu Lansia Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Khalipah Kecamatan Percut Sei Tuan

0 2 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tumbuhan - Uji Aktivitas Antiinflamasi Ekstrak Etanol Majakani (Quercus Infectoria G. Olivier) Terhadap Tikus Putih Yang Diinduksi Karagenan

0 0 27

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Protein - Analisis Kandungan Protein Pada Kacang-Kacangan Yang Dikalengkan Secara Spektrofotometri Sinar Tampak

0 1 25

BAB II TINJAUAN TEORITIS - Persepsi dan Tingkat Pemahaman Masyarakat Menengah Atas Kota Medan Terhadap Lembaga Penjamin Simpanan (LPS

0 0 17

Persepsi dan Tingkat Pemahaman Masyarakat Menengah Atas Kota Medan Terhadap Lembaga Penjamin Simpanan (LPS

0 0 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penilaian Eksternal Organisasi 2.1.1 Pengertian Lingkungan Eksternal - Analisis Faktor Eksternal dan Internal Sebagai Dasar Pemilihan Strategi Pada Kantor Divisi Collection PT. BCA Finance

0 0 30

Hubungan Pola Asuh Orangtua dengan Tingkat Kemandirian Personal Hygiene Anak Usia Prasekolah di Desa Sigumpar Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten

0 1 39

Hubungan Pola Asuh Orangtua dengan Tingkat Kemandirian Personal Hygiene pada Anak Usia Prasekolah di Desa Sigumpar Kecamatan Lintonghuta Kabupaten Humbanghasundutan

0 1 7