BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Protein - Analisis Kandungan Protein Pada Kacang-Kacangan Yang Dikalengkan Secara Spektrofotometri Sinar Tampak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Protein

  Manusia membutuhkan energi dan nutrisi untuk pertumbuhan, pemeliharaan fungsi biokimia tubuh, dan perkembangannya. Nutrisi dikategorikan menjadi dua yaitu makronutrisi yang terdiri dari karbohidrat, lemak dan protein, dan mikronutrisi berupa vitamin dan mineral (Tull, 1996). Makronutrisi terutama protein berperan penting karena kaitannya yang erat dengan proses-proses kehidupan. Semua hayat hidup sel berhubungan dengan zat gizi protein. Nama protein berasal dari kata Yunani ‘protebos’ yang artinya “yang pertama” atau “yang terpenting” (Sediaoetama, 2008).

  Protein adalah makromolekul penting yang mana tersusun dari asam-asam amino yang terhubung oleh ikatan peptida membentuk struktur kompleks tiga dimensi (Stayanarayana dan Chakrapati, 2007). Molekul protein mengandung unsur-unsur C, H, O, dan N. Selain itu, protein juga dapat mengandung unsur studi tentang berapa banyak jumlah protein yang diperlukan oleh tubuh per harinya untuk dapat memenuhi kebutuhan tubuh akan asam amino selama beberapa tahun. Studi-studi tersebut menunjukkan bahwa kebutuhan protein untuk orang dewasa normal adalah 0,8 g/kg berat badan. Kebutuhan ini sama untuk wanita maupun pria (Forsythe, 1995).

  Unsur khusus yang terdapat dalam protein dan tidak terdapat di dalam molekul karbohidrat dan lemak adalah Nitrogen (N) yang mana digunakan dalam analisis bahan makanan untuk menentukan kadar protein dengan menganggap bahwa jumlah N yang terkandung sebanding dengan kadar protein di dalam makanan (Sediaoetama, 2008).

2.1.1 Struktur protein

  Protein tersusun atas unit-unit individual asam-asam amino. Setiap asam amino memiliki gugus amin (NH

  2 ) pada salah satu dari atom karbon pusat dan

  sisi lainnya merupakan gugus asam (COOH). Di dalam makanan ada 20 jenis asam amino yang berbeda, masing-masing memiliki struktur dasar yang sama, yang membedakan hanyalah gugus R pada salah satu sisinya. Gugus R yang berbeda dapat bervariasi dari atom tunggal hidrogen hingga molekul kompleks yang membuat setiap asam amino unik (Forsythe, 1995). Struktur dasar asam amino dapat dilihat pada Gambar 1.

  H NH -C- COOH

  

2

R Gambar 1. Struktur dasar asam amino (Forysthe, 1995)

  reaksi antara gugus karboksil asam amino yang satu dengan gugus amin dari asam amino yang lain, sehingga terbentuk ikatan yang disebut ikatan peptida. Ikatan peptida ini merupakan ikatan tingkat primer. Dua molekul asam amino yang saling diikatkan dengan cara demikian disebut ikatan dipeptida, bila tiga molekul asam amino disebut ikatan tripeptida dan bila banyak disebut ikatan polipeptida. Polipeptida yang hanya terdiri dari beberapa molekul asam amino disebut oligopeptida. Polipeptida yang terdiri dari sejumlah besar asam-asam amino saling dipertautkan dengan ikatan peptida tersebut merupakan struktur primer protein (Sediaoetama, 2008). Struktur primer protein dapat dilihat pada Gambar 2.

  Struktur Primer Protein

  adalah susunan rantai asam-asam amino. Asam Amino

  Gambar 2. Struktur Primer Protein (Usmeningsih, 2008) Rantai polipeptida berinteraksi lokal melalui ikatan hidrogen atau ikatan sulfhidril membentuk suatu konformasi yang berbentuk seperti spiral yang disebut

  

α-helix ataupun seperti lembaran yang disebut β-sheet. Ada 13 atom yang terikat

  dalam ikatan hidrogen pada

  α-helix dimana ikatan hidrogen ini berorientasi sejajar dengan sumbu heliks. β-sheet terhubung secara lateral oleh lima atau lebih ikatan

  hidrogen membentuk lembaran yang mana gugus asam dan basanya berorientasi tegak lurus terhadap arah rantai. Konformasi ini dikenal sebagai struktur sekunder protein (Brown dan Rogers, 1981). Gambar struktur sekunder protein dapat dilihat pada Gambar 3.

  Lembaran yang Alfa heliks berlipat

  Struktur Sekunder Protein terjadi ketika susunan asam-asam amino dihubungkan oleh ikatan hidrogen.

  

Gambar 3. Struktur Sekunder Protein (Usmeningsih, 2008) Struktur tersier protein mengarah pada interaksi rantai polipeptida dan struktur sekunder. Struktur ini terbentuk oleh karena gaya-gaya pada gugusan reaktif yang lebih lemah pada protein yaitu gugusan yang mengandung muatan listrik dan gaya tarik Van der Waals membentuk konformasi tiga dimensi (Sediaoetama, 2008). Struktur tersier protein dapat dilihat pada Gambar 4.

  Lembaran Struktur Tersier Protein yang

  terjadi ketika ada gaya tarik yang

  berlipat

  terjadi antara alfa heliks dan lembaran beta

  Alfa heliks

Gambar 4. Struktur Tersier Protein (Usmeningsih, 2008)

  Struktur kuartener protein terbentuk bila protein mengandung dua atau lebih rantai polipeptida yang mempunyai konfigurasi tiga dimensi. Dimana rantai-rantai polipeptida ini saling berinteraksi membentuk struktur yang lebih kompleks (Brown dan Rogers, 1981). Struktur kuartener protein dapat dilihat pada Gambar 5.

  Struktur Kuartener Protein

  adalah protein yang mengandung lebih dari satu rantai polipeptida

  Gambar 5. Struktur Kuartener Protein (Usmeningsih, 2008) Kombinasi dari struktur-struktur inilah yang memberikan struktur alamiah yang khas pada molekul protein. Struktur alamiah kompleks ini diperlukan oleh protein untuk dapat menjalankan fungsinya. Bila struktur stereometri alamiah ini berubah atau rusak, maka protein tersebut akan kehilangan kesanggupannya untuk memenuhi fungsi fisiologisnya (Sediaoetama, 2008).

2.1.2 Klasifikasi Protein

  Klasifikasi protein dapat dibagi dua yaitu berdasarkan komponen penyusun dan fungsi fisiologisnya. Protein berdasarkan komponen penyusunnya terbagi tiga yaitu protein sederhana (simple protein) yang bila dihidrolisis menghasilkan asam amino (albumin), protein kompleks (Complex/Conjugation

  

Protein ) yang bila dihidrolisis menghasilkan berbagai jenis asam amino dan juga

  komponen lain yang bukan protein seperti unsur logam, gugus fosfat, lipid, karbohidrat dan asam nukleat (kromoprotein, lipoproterin, glikoprotein, fosfoprotein, dan nukleoprotein) dan protein derivat yang merupakan produk antara sebagai hasil hidrolisis parsial protein (albumosa, pepton dan peptida) (Sediaoetama, 2008). dan pemeliharaan jaringan, protein dibagi menjadi protein sempurna, protein setengah sempurna dan protein tidak sempurna. Protein sempurna adalah protein yang mengandung asam amino essensial lengkap baik macam maupun jumlahnya sehingga mampu menyokong pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan, contohnya kasein dan albumin. Protein setengah sempurna adalah protein yang mengandung asam amino essensial lengkap tetapi jumlahnya terbatas, protein ini tidak dapat menyokong pertumbuhan dan hanya berfungsi untuk pemeliharaan jaringan, contohnya: legumin dan gliadin. Protein tidak sempurna adalah protein yang mengandung asam amino essensial tidak lengkap, protein ini tidak dapat menyokong pertumbuhan maupun untuk pemeliharaan jaringan, contohnya zein (Suhardjo dan Kusharto, 2010).

2.1.3 Sumber Protein

  Sumber protein dapat berasal dari hewani dan nabati. Sumber protein hewani berupa daging ataupun organ-organ dalam seperti hati, pankreas, jantung, paru-paru, jerohan (babat/gaster dan usus halus dan usus besar/iso), telur, susu, ikan, kerang, jenis udang dan produk olahannya (Sediaoetama, 2008).

  Sumber protein nabati berasal dari sumber padi-padian, biji-bijian, kacang- kacangan, gandum dan produk olahannya. Contoh protein nabati yang bersumber dari padi-padian: nasi, pasta, dan roti; untuk golongan kacang-kacangan: kacang polong, kacang tanah, kacang kedelai, kacang merah, kacang almond, kacang mente, dan sebagainya; dari biji-bijian: biji wijen, biji bunga matahari, dan biji labu (Marshall, 2002).

  Kacang-kacangan atau leguminosa merupakan sumber makanan penting menempati posisi kedua sebagai sumber nutrisi setelah kelompok padi-padian.

  Kacang-kacangan telah lama dikenal sebagai sumber protein. Kandungan protein pada kacang-kacangan dua kali lebih tinggi daripada padi-padian (Sathe dan Deshpande, 2003), selain mudah diperoleh dan harganya terjangkau, kacang- kacangan juga banyak mengandung asam amino yang dapat saling melengkapi dengan asam amino pada beras, jagung dan gandum (Koswara, 2012).

  Kandungan kolesterol dan lemak jahatnya rendah serta kaya akan lesitin yang mampu mengurangi kadar kolesterol darah, disamping itu juga mengandung baik serat yang larut maupun tidak larut. Kandungan seratnya yang tinggi dapat mempercepat pengeluaran ammonia dari tubuh (Almatsier, 2006).

  Kacang-kacangan dibagi dalam beberapa suku yaitu Vicieae contohnya kacang golongan peas dan lentils, suku Hedysareae contohnya golongan nuts dan suku Phaseolaeae contohnya golongan beans dan peanuts (Sathe dan Deshpande, 2003). Kandungan protein dari beberapa jenis kacang-kacangan dapat dilihat pada Tabel 1.

  Tabel 1. Kandungan protein dari beberapa jenis kacang-kacangan

  No. Jenis Kacang Kandungan Protein (per 100 gram)

  1. Kacang Kedelai 36,49 g

  2. Kacang Tanah 25,80 g

  5,45 g

  3. Kacang Polong

  4. Kacang Merah 22,55 g

  5. Kacang Gingko 4,32 g

  6. Kacang Hitam 21,60 g

  7. Kacang Buncis 22,51 g

  49,50 g

  8. Kacang Lentil

  9. Kacang Arab 19,30 g

  10. Kacang Almond 22,43 g

  11. Kacang Mente 17,86 g

  12. Kacang Hijau 23,85 g Sumber: Navitas (2013)

  Kacang-kacangan golongan peas, beans dan kacang tanah memiliki cadangan protein yang tinggi dalam bijinya karena adanya bantuan dari bakteri yang hidup pada akar tumbuhan tersebut, dimana bakteri-bakteri ini mengkonversi unsur nitrogen dari udara untuk digunakan tumbuhan tersebut. Sementara kacang-kacangan golongan nuts menyediakan protein berkualitas tinggi, akan tetapi, kacang golongan ini juga tinggi kandungan lemak dan kalorinya sehingga jarang dijadikan sumber nutrisi dalam makanan tetapi lebih sering dijadikan selingan makanan (Eschleman, 1984).

2.1.4 Fungsi Protein

  Protein dalam makanan berperan dalam pertumbuhan, pemeliharaan dan perbaikan jaringan, sintesis enzim, sintesis hormon, sistem imun tubuh atau mekanisme pertahanan tubuh dan juga sebagai cadangan energi (Tull, 1996). Fungsi protein yang paling ditekankan adalah sebagai zat pembangun atau pembentuk yang berperan dalam pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan, menggantikan sel-sel yang mati dan rusak terpakai. Sebagai zat pengatur, protein mengatur proses-proses metabolisme dalam bentuk enzim dan hormon. Boleh dan dilangsungkan atas pengaturan enzim (Sediaoetama, 2008).

  Protein yang berperan sebagai pembangun dan pembentuk adalah kolagen yang menghubungkan tulang rawan, urat, otot dan pembuluh darah; elastin sebagai penyambung jaringan ikat sendi; keratin sebagai protein pembentuk rambut dan kuku. Peran protein dalam metabolisme ditunjukkan oleh kerja enzim misalnya enzim hidrolase untuk proses hirolisis; lipase untuk pemecahan lemak. Aktivitas enzim mempengaruhi kerja hormon agar terjadi hubungan yang harmonis antara proses metabolisme yang satu dengan yang lain. Contohnya hormon pertumbuhan (GH) dan somatotropin (STH) yang berfungsi untuk pertumbuhan dan perkembangan jaringan dapat dirusak oleh enzim tripsin dan pepsin (Sumardjo, 2006).

  Protein yang berperan dalam sistem imun tubuh adalah immunoglobulin yang secara otomatis dibentuk oleh tubuh bila ada antigen yang masuk ke tubuh.

  Sebagai zat pengangkut protein membawa ion dan molekul tertentu dari suatu organ ke organ lainnya melalui aliran darah. Contohnya hemoglobin untuk mengangkut oksigen dari paru-paru ke jaringan (Sumardjo, 2006).

  Mengingat fungsi protein yang sangat penting, sudah selayaknya bila protein ini diberikan perhatian dan tempat penting dalam penyediaan pangan, baik bagi anak-anak maupun orang tua (Sediaoetama, 2008).

2.2 Pencernaan dan Metabolisme Protein

  Pencernaan protein dalam tubuh terjadi ketika setiap asam amino terputus dari rantai protein. Pencernaan protein secara enzimatik dalam saluran cerna dimulai dari lambung. Protein oleh asam lambung didenaturasi kemudian pepsin polipeptida dengan bobot molekul rendah. Hasil hidrolisis ini kemudian masuk ke usus halus. Pankreas akan melepas enzim-enzim karboksipeptidase, tripsin, kimotripsin, aminopeptidase dan dipeptidase ke usus halus. Karboksipeptidase akan memutus ikatan karbosil bebas pada ujung rantai polipeptida sedangkan aminopeptidase akan memutus ikatan amin bebas pada ujung rantai lainnya.

  Tripsin dan kimotripsin memotong ikatan peptida yang berada di tengah rantai polipeptida membentuk dipeptida yang kemudian oleh dipeptidase diubah menjadi asam amino (Sumardjo, 2006).

  Selanjutnya asam amino diabsorpsi, asam amino akan terdeposito di dalam hati atau otot di dalam kantong asam amino untuk dapat digunakan pada sintesis protein dalam tubuh. Setelah selesai makan, tubuh dalam kondisi anabolik. Ini berarti bahwa tubuh telah siap untuk sintesis protein. Materi genetik dalam tubuh yaitu Deoxyribo Nucleic Acid (DNA) menyediakan “blueprint” untuk sintesis protein. DNA menyediakan informasi asam amino mana yang diperlukan dan urutan protein apa yang harus disintesis. Selama seluruh asam amino tersedia di dalam kantungnya, sintesis protein akan terus berlangsung. Sangatlah penting bahwa semua asam amino tersedia dalam jumlah yang cukup ketika protein disintesis. Struktur dan fungsi dari setiap rantai protein tergantung pada urutan daripada asam-asam aminonya (Forsythe, 1995).

2.3 Penyakit yang berhubungan dengan Protein

  Penyakit yang berkaitan dengan protein yaitu: 1) berdasarkan defisiensi protein (penyakit utama) dan 2) penyakit penyerta.

  Berdasarkan defisiensi protein Defisiensi protein hampir selalu berkaitan dengan defisiens kalori.

  Penyebab defisiensi protein dikenal ada dua, yaitu: 1) defisiensi kalori secara ekstrim mengakibatkan terjadinya defisiensi protein disebut marasmus, 2) jumlah kalori relatif mencukupi tetapi terjadi defisiensi protein yang ekstrim disebut kwashiokor (Sediaoetama, 2008).

  Manifestasi dari marasmus adalah pertumbuhan yang terhambat. Berat badan penderita dibawah 60% berat badan standar sehingga penderita terlihat sangat kurus seperti hanya terbungkus oleh kulit, di jaringan subkutan tidak ditemukan adanya jaringan otot dan lemak. Keadaan ini disebut paniculus

  

adiposus . Karena tidak adanya jaringan otot dan lemak di subkutan, kulit

  penderita menjadi kusut dan berlipat kurus (oldman face/monkey face). Pada penderita kwashiorkor tubuhnya kurus tetapi berat badan penderita diatas 60% berat badan standar. Penderita tampak apatis, kadar albumin dalam darah juga turun drastis, terjadi udema akibat akumulasi cairan pada jaringan limfa dan abdomen. Warna rambut penderita belang (flag sign phenomena), kulitnya juga kasar, kering dan tampak garis-garis permukaan yang nyata (mosaic skin) (Crowley, 2011).

2. Penyakit penyerta

  Menurut Sediaoetama (2008), penderita defisiensi protein biasanya akan mengalami infeksi yang merupakan penyakit penyerta. Hal ini terjadi karena menurunnya daya imun tubuh secara umum sehingga lebih rentan terhadap demam, diare, dehidrasi, dan kadang kejang. Penyakit infeksi yang sering dijumpai adalah: a.

  Infeksi saluran nafas, terutama saluran nafas bagian atas.

  b.

  Infeksi saluran cerna yang ditandai dengan gejala mencret-mencret.

  c.

  Penyakit anak secara umum, baik dalam mobiditas maupun mortilitas

  Terapi untuk penderita defisiensi protein yang pertama harus ditanggulangi adalah gejala infeksi akut seperti kejang, diare, dan dehidrasi. Kemudian menangani infeksi spesifik sambil menangani kondisi kekurangan kalori protein (KKP). Penanganan penyakit dilakukan dengan memberi makanan cair terlebih dahulu dengan kalori dan zat gizi yang cukup. Konsentrasi zat diberi secara parsial dan bertingkat. Bila penderita telah dapat bertahan dengan makanan cair konsentrasi tinggi maka dilanjutkan dengan pemberian makanan semi padat kemudian makanan padat (Sediaoetama, 2008).

2.4 Pengaruh Pengolahan Terhadap Protein

  Pada prinsipnya pengolahan pangan bertujuan untuk: (1) pengawetan, pengemasan dan penyimpanan produk pangan; (2) mengubah bahan pangan menjadi produk yang diinginkan; (3) mempersiapkan bahan pangan agar siap dihidangkan. Salah satu cara pengolahan yang sering digunakan adalah pemanasan seperti sterilisasi, pengeringan, penggorengan, perebusan, pengukusan, pemanggangan, pengalengan, dan pasteurisasi. Hal-hal yang terjadi pada proses pengolahan terhadap protein adalah a) reaksi Maillard yaitu reaksi antara asam menyebabkan timbul warna kecoklatan, b) pembentukan lisinolalanin karena pengolahan protein dengan bahan yang bersifat alkali sehingga memutus ikatan silang protein, toksisitas bila termakan, dan kerusakan ginjal, (c) rasemisasi asam amino yaitu perubahan bentuk L asam amino menjadi bentuk D yang terjadi bila protein diproses dengan penambahan basa, asam dan pada proses pemanggangan, (e) interaksi protein dengan lemak teroksidasi menyebabkan protein bermodifikasi menjadi bentuk yang sulit dicerna oleh enzim proteolitik ataupun kerusakan asam amino yang mengandung sulfur akibat teroksidasi radikal bebas (Palupi, dkk., 2007).

  Penelitian oleh Sumiati (2008) pada ikan mujair (Tilapia moasambica) membuktikan bahwa proses pengolahan yang berbeda akan mempengaruhi nilai gizi terutama kandungan proteinnya. Kandungan protein ikan mujair menurun dari 62,97 g/100 g menjadi 59,84 g/100 g pada perebusan, 59,05 g/100 g pada pengukusan, 57,78 g/100 g pada pemanggangan dan penurunan paling drastis terjadi pada penggorengan yaitu menjadi 33,32 g/100 g.

2.5 Analisis Protein

  Analisis protein dapat dilakukan dengan dua cara yaitu 1) secara langsung menggunakan zat kimia yang spesifik terhadap protein, contohnya seperti dengan pereaksi Biuret, Lowry, Bradford atau dengan metode pengikatan warna dimana konsentrasi ditentukan berdasarkan kompleks warna yang terbentuk; 2) secara tidak langsung dengan menghitung jumlah nitrogen yang terkandung di dalam bahan, contohnya metode Kjeldahl dan metode Dumas dimana kadar protein sebanding dengan total N yang terkandung di dalamnya (Rhee, 2005).

  Sejak abad ke-19, metode Kjeldahl telah dikenal dan diterima secara universal sebagai metode untuk analisis protein dalam berbagai variasi produk makanan dan produk jadi (Rhee, 2005). Penetapan kadar protein dengan metode Kjeldahl merupakan metode empiris (tidak langsung) yaitu melalui penetapan kadar N dalam bahan yang disebut protein kasar (Estiasih, dkk., 2012).

  Prinsip metode Kjeldahl ini adalah senyawa-senyawa yang mengandung nitrogen tersebut mengalami oksidasi dan dikonversi menjadi ammonia dan bereaksi dengan asam pekat membentuk garam amonium. Kemudian ditambahkan basa untuk menetralisasi suasana reaksi dan kemudian didestilasi dengan asam dan dititrasi untuk mengatahui jumlah N yang dikonversi (Estiasih, dkk., 2012).

  Tahapan kerja pada metode Kjeldahl dibagi tiga yaitu: a. Tahap Dekstruksi

  Pada tahap ini, sampel dipanaskan dengan asam sulfat pekat sehingga terjadi destruksi menjadi unsur karbon (C), hidrogen (H), oksigen (O) dan nitrogen (N) kemudian teroksidasi menjadi karbon monoksida (CO), karbon dioksida (CO ) dan air. Unsur N akan bereaksi dengan asam sulfat membentuk

  2

  garam amonium sulfat. Untuk mempercepat proses destruksi maka ditambahkan katalisator berupa campuran Na

  2 SO 4 dan HgO atau K

  2 SO 4 dan CuSO 4 . Gunning

  menyarankan penggunaan katalisator K

  

2 SO

4 dan CuSO 4 karena sifat kalium sulfat

  yang dapat menaikkan titik didih sehingga destruksi berlangsung lebih cepat dan sempurna. Terkadang dapat pula ditambahkan selenium untuk mempercepat proses oksidasi akan tetapi, selenium sifatnya lebih reaktif sehingga oksidasi berlangsung sangat cepat yang memungkinkan hilangnya unsur nitrogen (Rohman

  H H H

  H 2 SO 4

  • OOC-C- NH -C- COO- NH- C- COO- (NH ) SO

  4

  2

  4 Katalis

  R R R b. Tahap Destilasi

  Garam amonium sulfat yang terbentuk dipecah menjadi ammonia (NH

  3 )

  dengan penambahan basa NaOH dan dipanaskan. Ammonia yang dilepas ditampung dalam larutan asam. Agar kontak antara asam dan ammonia berlangsung sempurna maka ujung tabung destilasi harus tercelup sedalam mungkin dalam larutan asam. Pada tahap destilasi dapat juga ditambahkan logam Zn agar tidak terjadi superheating (percikan cairan atau timbulnya gelembung gas yang besar) (Rohman dan Sumantri, 2007). Menurut Chang (1998), reaksi pada tahap destilasi adalah:

  (NH

  4 )

  2 SO 4 + H

2 O + 2 NaOH 2 NH

  4 OH + Na

  2 SO

  4 NH

  4 OH + H

  2 SO

  4 NH

  4 HSO 4 + H

  2 O c.

  Tahap Titrasi Bila larutan asam yang digunakan untuk penampung destilat adalah asam klorida dan asam sulfat maka sisa asam yang tidak bereaksi dengan amonia akan bereaksi dengan larutan pentiter yaitu NaOH. Tetapi bila digunakan larutan penampung destilat berupa asam borat maka banyaknya asam borat yang bereaksi dengan ammonia dapat diketahui dengan mentritrasi ion amonium dengan menggunakan pentiter HCl (Rohman dan Sumantri, 2007). Menurut Chang (1998), reaksi pada tahap titrasi adalah sebagai berikut:

  H

  2 SO 4 + 2NaOH Na

  2 SO 4 + 2 H

  2 O

  Menurut Rohman dan Sumantri (2007), kadar protein dalam sampel dapat dihitung dengan rumus:

  ( − ) , 14

  Kadar = 100% dimana :

  V = Volume Tirasi (ml) N = Normalitas NaOH FK = Faktor Konversi BS = Berat Sampel (g)

  Faktor konversi untuk berbagai macam bahan dapat dilihat pada Tabel 2.

  Tabel 2. Faktor konversi untuk berbagai macam bahan N Bahan Faktor Konversi (FK) o

  Bir, sirup, biji-bijian, ragi, makanan 6,25

  1

  ternak, buah-buahan, teh, anggur

  2 Beras

  5,95

  3 Roti, gandum, makaroni, bakmi 5,70

  4 Kacang tanah 5,46

  5 Kedelai 5,75

  6 Kenari 5,18

  7 Susu

  6,38

  Sumber: Rohman dan Sumantri (2007)

  Keuntungan menggunakan metode Kjeldahl ini adalah dapat diaplikasikan untuk semua jenis bahan pangan, tidak memerlukan biaya yang mahal untuk pengerjaannya, dapat dimodifikasi sesuai kuantitas protein yang dianalisis. Adapun kerugiannya adalah yang ditentukan adalah jumlah total nitrogen yang terdapat didalamnya bukan hanya nitrogen dari protein, waktu yang diperlukan relatif lebih lama (minimal 4 jam untuk menyelesaikannya), presisi yang lemah, pereaksi yang digunakan ada yang bersifat beracun, korosif dan berbahaya bagi kesehatan, dan adanya variasi faktor konversi untuk masing-masing sampel (Chang, 1998).

2.5.2 Metode Spektrofotometri

  Penentuan kadar protein dengan menggunakan instrumen dibagi menjadi dua yaitu: 1) metode pengukuran langsung pada panjang gelombang 205 nm dan 280 nm dan 2) metode pembentukan warna dengan pereaksi tertentu (Simonian, 2005).

  1. Metode pengukuran langsung pada panjang gelombang 205 nm dan 280 nm Absorbansi pada panjang gelombang 205 nm dan 280 nm digunakan untuk menghitung konsentrasi protein dengan terlebih dahulu distandarisasi dengan protein standar. Metode ini dapat dengan mudah diaplikasikan dan sederhana, cocok untuk larutan protein yang telah dimurnikan atau dimurnikan parsial.

  Penetapannya berdasarkan absorbansi sinar ultraviolet oleh asam amino triptopan, tirosin dan ikatan disulfida sistein yang menyerap kuat pada panjang gelombang tersebut, terutama panjang gelombang 280 nm (Simonian, 2005).

  Keuntungan metode ini adalah waktu yang diperlukan untuk analisis cepat, memiliki sensitifitas yang baik, tidak ada gangguan dari ion ammonium dan garam-garam buffer, larutan sampel masih dapat digunakan untuk analisis lain selain analisis protein. Kerugian metode ini adalah asam nukleat juga memiliki absorbansi yang kuat pada panjang gelombang 280 nm, susunan asam amino aromatis dapat bervariasi untuk setiap sampel protein, larutan protein harus benar-benar jernih dan tidak berwarna ataupun keruh (Chang, 1998).

  2. Metode pembentukan warna dengan pereaksi tertentu Pereaksi Biuret

  Semua protein terususun dari asam-asam amino yang terhubung oleh

  2+

  ikatan-ikatan peptida. Ion Cu dari CuSO dalam suasana basa NaOH akan

  4

  membentuk kompleks dengan ikatan peptida protein (-CO-NH-), kompleks ini memberikan akan warna sehingga konsentrasi protein dapat ditentukan dengan spektrofotometer sinar tampak (Estiasih, dkk., 2012).

  Pemilihan protein standar dapat menyebabkan kesalahan fatal dalam analisis, standar yang digunakan harus memiliki tingkat kemurnian yang tinggi. Untuk analisis protein secara umum, standar Bovine Serum Albumin (BSA) merupakan pilihan yang baik untuk analisis protein karena memiliki kemurnian yang tinggi, dan harganya tidak terlalu mahal. Selain itu, Bovine Gamma Globulin (BGG) juga merupakan pilihan yang baik bila akan digunakan untuk analisis kadar protein immunoglobulin dalam tubuh, karena BGG memberikan warna dan kurva yang sangat mirip dengan Immunoglobulin G (Ig G). Asam amino tunggal dan dipeptida tidak akan memberikan reaksi dengan Biuret, akan tetapi tripeptida

  2+

  dan polipeptida akan membentuk kompleks chelat. Satu ion Cu akan bereaksi dengan empat sampai enam ikatan peptida. (Krohn, 2005). Reaksi protein dengan pereaksi Biuret dapat dilihat pada Gambar 6.

  2+

  Protein + Cu

  2+ s

  Komplek Cu

  Gambar 6. Reaksi protein dengan pereaksi Biuret (Krohn, 2005)

  Reaksi Biuret ini menunjukkan hasil yang positif melalui pembentukan warna ungu, merah violet, atau biru violet. Intensitas warna yang terbentuk sebanding dengan banyaknya ikatan peptida yang bereaksi. Pereaksi Biuret merupakan dasar dari metode pembentukan warna yang paling sederhana untuk penetapan konsentrasi total protein secara kuantitatif (Sumardjo, 2006; Krohn, 2005).

  Keuntungan dari metode ini adalah prosedur yang sederhana, tidak memerlukan biaya yang mahal, waktu yang digunakan relatif singkat, deviasai warna sangat sedikit bila dibandingkan dengan Lowry, Bradford dan metode turbidimetri sehingga absorpsi warnanya relatif stabil, sangat sedikit senyawa yang berinteraksi dengan pereaksi Biuret, dan tidak mendeteksi nitrogen dari sumber non-protein. Kerugiannya adalah kurang sensitif dibandingkan dengan Lowry dan Bradford, absorbansinya dapat dipengaruhi oleh asam empedu, konsentrasi garam ammonium yang sangat tinggi, adanya variasi warna untuk beberapa protein tertentu, bila bahan mengandung lemak dan karbohidrat yang sangat tinggi dapat menyebabkan larutan menjadi buram sehingga tidak dapat ditembus cahaya UV, dan karena metode ini bukan merupakan metode absolut sehingga absorpsi warnanya perlu terlebih dahulu distandarisasi terhadap protein murni seperti Bovine Serum Albumin (BSA) (Chang, 1998).

  b.

  Pereaksi Lowry Pada tahun 1951, Oliver H. Lowry memperkenalkan penggunaan pereaksi ini yang merupakan perkembangan lebih lanjut dari Biuret. Metode ini diakui

  Prinsipnya tidak jauh berbeda dengan Biuret, dimana ion tembaga akan membentuk kompleks dengan ikatan peptida kemudian dengan adanya pereaksi fosfotungstik-fosfomolibdat akan mengoksidasi rantai samping asam amino sehingga menghasilkan warna dan konsentrasi protein dapat diukur dengan spektrofotometer (Chang, 1998). Reaksi protein dengan pereaksi Lowry dapat dilihat pada Gambar 7.

  Ikatan Kompleks 2+ Cu peptida

  Gambar 7. Reaksi protein dengan pereaksi Lowry (Krohn, 2005)

  Keuntungan analisis dengan pereaksi ini adalah memiliki sensitifitas yang lebih baik dibanding Biuret, lebih spesifik dibanding metode lain, dan waktu untuk analisis lebih singkat bila dibandingkan dengan metode Kjeldahl (sekitar 1-1,5 jam). Kerugian analisis dengan pereaksi Lowry adalah variasi warnanya yang lebih banyak dibanding dengan pereaksi Biuret, warna yang terbentuk tidak secara tepat menggambarkan konsentrasi protein, reaksinya sangat dipengaruhi oleh senyawa-senyawa pengganggu seperti glukosa, lemak, garam buffer fosfat, senyawa-senyawa yang mengandung amin, gula pereduksi, garam ammonium dalam konsentrasi tinggi dan senyawa sulfhidril (Chang, 1998).

  c.

  Pereaksi Bradford Pada tahun 1976, Marion Bradford memperkenalkan penggunaan pereaksi Coomassive Blue untuk penetapan secara kuantitatif konsentrasi total protein.

  Coomasive Blue ini akan berinteraksi dengan gugus samping asam amino yang memiliki ikatan rangkap sehinngga terjadi perubahan warna pereaksi dari merah menjadi biru (Chang, 1998). Reaksi protein dengan pereaksi Bradford dapat dilihat pada Gambar 8 dibawah ini.

  Protein Kompleks warna protein-zat

  

Gambar 8. Reaksi protein dengan pereaksi Bradford (Krohn, 2005)

  Keuntungan analisis dengan pereaksi Bradford adalah tidak menggunakan pereaksi yang berbahaya, hanya protein yang akan diukur, memiliki presisi yang lebih tinggi dibanding metode Kjeldahl, waktu analisis yang diperlukan singkat, biaya yang diperlukan tidak terlalu mahal, dan cukup akurat untuk digunakan dalam analisis kandungan total protein dalam makanan. Adapun kerugiannya adalah kandungan asam amino yang berbeda akan mempengaruhi kapasitas pembentukan warna, senyawa gula, kalsium dan fosfat dapat mengganggu ikatan warna sehingga akan mengganggu hasil analisis, dan adanya variasi absorbansi yang signifikan tegantung jenis protein (Chang, 1998).

2.5.3 Metode Titrasi Formol

  Prinsip metode ini adalah dengan adanya air dan penambahan Kalium oksalat, protein akan dihidrolisis menjadi asam-asam amino. Selanjutnya dengan penambahan formaldehid akan memblokade gugus basa asam amino membentuk gugus dimethilol sehingga tidak mengganggu reaksi antara NaOH dengan gugus asam dari asam amino dan konsentrasi protein dapat ditentukan. Titrasi formol ini kurang tepat untuk menentukan kadar protein dam lebih tepat digunakan untuk menunjukkan proses hidrolisis protein (Estiasih, dkk., 2012).

2.5.4 Metode Dumas Pada metode ini sampel dioksidasi pada suhu sangat tinggi (700-900°C).

  Hasil oksidasi menghasilkan gas O

  2 , N 2 dan CO 2 . Gas nitrogen yang dilepaskan

  dikuantitasi menggunakan kromatografi gas dengan detektor konduktivitas termal (Thermal Detector Conductivity/TDC) kemudian jumlah nitrogen yang diperoleh dikonversi. Jumlah nitrogen dalam sampel sebanding dengan kadar proteinnya (Pomeranz dan Meloan, 1987).

  Keuntungan metode ini adalah merupakan metode alternatif dari metode Kjeldahl tetapi waktu analisis yang diperlukan lebih singkat dari metode Kjeldahl, tidak menggunakan senyawa yang berbahaya, banyak sampel dapat diukur sekaligus karena perkembangan alatnya yang sudah menggunakan sistem otomatis. Adapun kekurangan metode ini adalah membutuhkan instrumen analisis adalah total nitrogen sehingga nitrogen non-protein juga terukur sebagai protein, memiliki variasi faktor konversi, membutuhkan sampel dalam jumlah besar untuk analisis (Chang, 1998).

2.6 Pengalengan

  Sistem pengawetan pangan secara umum adalah menghambat pertumbuhan mikroba. Pada akhir tahun 1795, Nicolas Appert, seorang pembuat kembang gula yang bekerja di dapur sederhana mengamati bahwa makanan yang dipanaskan di dalam suatu kemasan tertutup tetap awet bila kemasan tersebut tidak dibuka lagi atau tutupnya tidak bocor. Setelah beliau menghabiskan sepuluh tahun untuk membuktikannya, proses tersebut disebutnya dengan “seni Appertisasi”. Berdasarkan penemuan oleh Appert inilah pengawetan dengan pengalengan mulai dikembangkan. Pada tahun 1810, Peter Durant membuat hak paten untuk kemasan gelas dan logam untuk mengemas bahan pangan. Kemasan logam ini terbuat dari timah yang tebal, kasar dan sulit ditutup yang disebut canisters. Istilah can atau kaleng diduga berasal dari kata canisters tersebut (Desrosier, 2008).

  Appert mensyaratkan bahwa kemasan bahan pangan harus ditutup dan dipanaskan dengan hati-hati dan kebersihan adalah hal yang penting dalam keseluruhan proses karena mikrobalah yang merupakan agensia pembusuk. Proses Appertisasi selalu menggunakan istilah kedap (hermetic) yang berarti penutupan rapat sehingga dapat mencegah terjadinya pembusukan dan fermentasi.

  Organisme tertentu masih resisten terhadap panas dan mampu membusukkan makanan kaleng walupun sudah dipanaskan pada tingkat tertentu. Oleh karena itu, selain proses pemanasan, proses pendinginan juga merupakan hal yang penting, selama proses pemanasan dapat dimatikan (Desrosier, 2008).

  Pengalengan hingga kini masih dianggap sebagai salah satu metode pengawetan pangan yang cukup efektif untuk mempertahankan daya simpan bahan. Proses pengalengan secara umum meliputi proses preparasi bahan dimana bahan dicuci kemudian disortasi, dikuliti dan direndam dalam air bersuhu 85-95°C yang disebut blanching. Blanching merupakan salah satu proses penting dalam pengalengan yang bertujuan untuk menghentikan aktivitas enzim bahan, mengurangi jumlah mikroba dan mengurangi gas sehingga membantu proses pengvakuman. Setelah preparasi selesai, bahan diisikan ke dalam kaleng beserta bahan-bahan tambahan lain yang diperlukan. Proses pengisian harus memperhatikan berat bahan dan volume ruang pengisian. Selanjutnya, kaleng dijenuhkan dengan metode pengaliran uap panas dan segera disegel agar tutup kaleng dapat menutup dengan rapat dan baik. Yang terakhir adalah proses sterilisasi. Proses ini dilakukan dengan cara sterilisasi panas pada suhu diatas 130°C (Ramaswamy dan Chen, 2004).

  Keunggulan dari metode pengawetan dengan pengalengan adalah hampir semua bahan pangan dapat diawetkan dengan metode ini, mutunya stabil baik dalam skala besar maupun kecil, dapat digunakan segera bila diperlukan, daya simpannya lebih lama dibandingkan bahan segarnya, teksturnya mendekati tekstur bahan segar, kemasan kaleng melindingi bahan dari partikel-partikel asing dari luar, gas-gas, tekanan udara baik dari dalam maupun dari luar kaleng maupun benturan yang dapat merusak mutu bahan (Winarno, 1995).

  Akan tetapi, pengalengan ini juga memiliki beberapa kelemahan, pengasam dimana garam dan asam dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan protein, di samping itu juga harus melalui beberapa tahap pemanasan dalam prosesnya. Sebelum dikalengkan, bahan harus direndam terlebih dahulu dalam air panas bersuhu 85-95°C untuk menghentikan aktivitas enzimnya, kemudian kaleng dibuat vakum dengan metode penjenuhan uap panas. Sterilisasi untuk pengalengan juga dilakukan dengan pemanasan pada suhu diatas 130°C. Penambahan bahan pengasam dan pemanasan yang berulang kali ini akan menyebabkan penurunan kandungan nutrisi bahan makanan terutama zat yang tidak tahan panas seperti vitamin dan protein (Ramaswamy dan Chen, 2004).

  Selain suhu pemanasan dan lama pemanasan, kecepatan penetrasi panas dalam makanan kaleng juga turut serta memberikan peranan terhadap nilai gizi makanan kaleng. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kecepatan penetrasi panas dalam makanan kaleng yaitu: luas permukaan kaleng, volume kaleng, sifat dan komposisi dari wadah kaleng yang digunakan, konsistensi produk, suhu pemanasan, kecepatan rotasi atau agitasi kaleng, isi dan ruang di atas kaleng (head

  space ) dan metode pengemasan makanan ke dalam kemasan kaleng (Buckle, dkk., 1985).

  Menurut penelitian yang dilakukan oleh Aberoumand (2011) pada ikan tuna

  

Orcynopsis unicolor dan Euthynus affinis menunjukkan kadar protein yang

  ditetapkan dengan metode Kjeldahl pada kedua spesies ikan tuna tersebut menurun setelah dikalengkan. Namun, setelah penyimpanan selama enam bulan dengan rentang pengukuran dua bulan menunjukkan adanya peningkatan kadar protein sekitar 2-3%. Hal yang sama juga ditunjukkan oleh penelitian Maheswa, kaleng yang mengandung timah dan kaleng bebas timah dimana kadar protein juga menurun dari sebelum dikalengkan dengan setelah dikalengkan dan kadar protein juga meningkat setiap bulannya selama lima bulan penyimpanan.

Dokumen yang terkait

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 - Implementasi Augmented Reality Pada Perancangan Sistem Katalog Digiprocreative Berbasis Android

0 0 14

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Usia Dewasa 2.1.1 Pengertian Usia Dewasa - Respon Psikososial Usia Dewasa Pasca Erupsi Sinabung di Desa Batu Karang Kecamatan Payung Kabupaten Karo

0 0 22

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Informasi Geografis - Digitasi Otomatis Objek Bangunan Pada Citra Satelit Menggunakan Metode Means Clustering

0 1 18

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Rekomendasi - Implementasi Metode Collaborative Tagging Pada Sistem Rekomendasi Artikel Publikasi Ilmiah

0 1 12

Bab 3 Kerangka Penelitian - Dukungan Keluarga dan Kemandirian Lansia dalam Aktivitas Sehari-hari di Posyandu Lansia Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Khalipah Kecamatan Percut Sei Tuan

0 0 34

Bab 2 Tinjauan Pustaka - Dukungan Keluarga dan Kemandirian Lansia dalam Aktivitas Sehari-hari di Posyandu Lansia Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Khalipah Kecamatan Percut Sei Tuan

0 3 21

Uji Aktivitas Antiinflamasi Ekstrak Etanol Majakani (Quercus Infectoria G. Olivier) Terhadap Tikus Putih Yang Diinduksi Karagenan

0 2 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tumbuhan - Uji Aktivitas Antiinflamasi Ekstrak Etanol Majakani (Quercus Infectoria G. Olivier) Terhadap Tikus Putih Yang Diinduksi Karagenan

0 0 27

Uji Aktivitas Antiinflamasi Ekstrak Etanol Majakani (Quercus Infectoria G. Olivier) Terhadap Tikus Putih Yang Diinduksi Karagenan

0 0 15

Analisis Kandungan Protein Pada Kacang-Kacangan Yang Dikalengkan Secara Spektrofotometri Sinar Tampak

0 2 38