Tipe & Size (, 323K) topik lain4 edisi 4

Dalam pembukaan UUD 1945, tiap-tiap warga negara berhak atas penghidupan yang
layak. Dalam perjalanannya, kita hampir melupakan aspek pemerataan atau cita-cita
keadilan sosial yang begitu mendasar dalam falsafah berkehidupan bangsa. Salah satu
aspek mendasar dalam kehidupan yang layak dan sesuai dengan martabat kemanusiaan
adalah setiap warga negara harus memiliki rumah tempat berteduh dan bermukim. Oleh
karena itulah, perumahan dan permukiman amat mendasar hakikatnya bagi upaya
pembangunan yang berjiwa pemerataan dan berkeadilan. Cita-cita mulia preamble UUD
1945 menyatakan, kebutuhan sandang, pangan dan papan tiap warga wajib terpenuhi.
Namun demikian, faktanya saat ini kita melihat masih banyak masyarakat yang tinggal
dan bermukim di bantaran sungai, tepian rel kereta api, kolong jembatan dan lahan-lahan
kosong yang tidak layak huni karena sejatinya tidak diperuntukkan untuk permukiman
dan tidak dilayani infrastruktur secara memadai seperti air bersih, listrik dan sanitasi.
Masyarakat kesulitan mengakses rumah yang murah, sehat dan layak huni hingga
akhirnya muncullah permukiman kumuh.
Semua itu bermula karena merajalelanya unsur spekulasi, over investment pada arah
kegiatan yang tidak produktif dan prorakyat, dan maraknya perkembangan daerah-daerah
perumahan mewah yang tidak mencerminkan kondisi dari negara yang sedang
membangun, yang masih banyak warganya yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Belum lagi, masih adanya ego sektoral dan perilaku birokrasi mekanisme penyediaan
rumah yang rumit dan berbelit- Salah satu aspek mendasar dalam kehidupan yang layak
dan sesuai dengan martabat kemanusiaan adalah setiap warga negara harus memiliki

rumah tempat berteduh dan bermukim.

belit. Hal ini menyebabkan penyalahgunaan wewenang oleh oknum-oknum birokrasi dari
proses pengadaan tanah, administrasi perizinan, proses lelang pembangunan, hingga
pengelolaannya. Demikian disampaikan Ginandjar Kartasasmita, mantan Ketua
Bappenas. Persoalan inilah yang kemudian mendasari pembiayaan hunian menjadi tinggi
sehingga mengakibatkan harga perumahan pun ikut tinggi dan akhirnya sulit diakses oleh
masyarakat menengah ke bawah atau masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Pemerataan pembangunan perumahan dan permukiman tidak boleh diserahkan kepada
mekanisme pasar begitu saja karena hanya yang berpenghasilan tinggi yang dapat
membeli tanah perkotaan yang semakin tinggi. Diperlukan upaya memberdayakan
masyarakat berpenghasilan rendah dalam pembangunan perumahan dan permukiman
dengan perencanaan penataan ruang yang strategis demi mewujudkan pembangunan yang
berkelanjutan.

Persentase Jumlah Penduduk yang Tinggi, versus Lahan yang Terbatas
Hasil sensus 2010 Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan jumlah penduduk Indonesia
berjumlah 237,7 juta jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk 1,49% per tahun. Dengan
jumlah penduduk yang sedemikian besar ini, adalah tanggung jawab pemerintah untuk
menjamin setiap warganya hidup sejahtera lahir batin, bertempat tinggal dan

mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, yang merupakan kebutuhan dasar
manusia dan yang mempunyai peran sangat strategis dalam pembentukan watak serta
kepribadian bangsa sebagai salah satu upaya membangun manusia Indonesia seutuhnya,
berjati diri, mandiri dan produktif, seperti yang tertuang dalam Undang-Undang No. 1
Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. Namun demikian, faktanya
perimbangan peraturan perundangan ini belum tercapai seutuhnya. Keinginan pemerintah
menjamin setiap warganya memiliki rumah dan bermukim dengan layak dilakukan
dengan rencana membangun 1.000 tower hunian murah bagi warga pun gagal
direalisasikan. Dari 1000 target, yang berhasil dibangun hanya 78 menara. Dan dari 78

menara itu, 74 diantaranya terlantar karena
keterbatasan infrastruktur pendukungnya seperti
air, listrik, sarana pendidikan dan akses
transportasi. Sebanyak 78 menara yang terdiri dari
40.000 unit itu tersebar di Jabodetabek sebanyak
67 menara, tiga menara di Surabaya, tiga di
Batam dan lima di Bandung. Padahal saat ini,
kebutuhan rumah tinggal di DKI Jakarta saja,
setiap tahunnya sekitar 70-80 ribu unit. Kegagalan
rencana pembangunan 1000 menara yang pertama

kali dicetuskan oleh Jusuf Kalla saat menjadi
Wakil Presiden terkendala pada rumitnya
pengurusan pencairan dana dan subsidi serta
harga bahan baku material dan harga tanah yang
mahal.
Kendala tersebut dapat mengakibatkan harga
dasar pembangunan sebuah unit hunian akan
menjadi terlalu tinggi dan sangat sulit untuk
diakses oleh masyarakat menengah ke bawah.
Dari sekian banyak unit, yang dijual sebagai
rumah susun sederhana milik (rusunami) tidak
sampai 100 unit. Sisanya dijual sebagai apartemen
sederhana milik (apnami) dengan harga yang tinggi maupun dijangkau dengan kredit
yang yang hanya bisa diakses oleh masyarakat yang berpenghasilan tetap atau
masyarakat menengah ke atas. Padahal, masyarakat menengah ke bawah atau masyarakat
berpenghasilan rendah (MBR) inilah yang sebenarnya merupakan sasaran utama
pembangunan rumah susun yang ditetapkan pemerintah. “Terlalu banyak batasan yang
dibuat oleh Pemda, sehingga pengembang tidak tertarik membangun Rusunami di
Jakarta. Akhirnya, pengembang lebih melirik proyek properti dengan sasaran middle up
yang pasarnya ada”, kata pengamat properti Panangian Simanungkalit. Batasan yang

dimaksud, seperti kepastian hukum terkait aturan insentif perpajakan dan koefisien luas
bangunan yang dinilai terlalu tinggi.
Perkembangan Perkotaan: Magnet bagi Kaum Urban
Belum selesai persoalan penduduk alami perkotaan yang sulit mengakses hunian,
ditambah lagi dengan tingginya laju urbanisasi di Indonesia. Dikutip dari halaman detik.
com tanggal 17 Juni 2011, Direktur Perkotaan dan Pedesaan Bappenas, Hayu Parasati,
menyebutkan saat ini komposisi penduduk masih didominasi penduduk desa sebesar 56%
dan perkotaan sebesar 44% dengan kontribusi kota besar dan metropolitan terhadap
pertumbuhan mencapai 32%. Sedangkan kontribusi kota menengah dan kecil hanya 7%
terhadap pertumbuhan. Hampir separuh penduduk tinggal di perkotaan. Badan Pusat
Statistik memproyeksikan persentase penduduk yang tinggal di perkotaan menjadi 68%
pada tahun 2025. arus urbanisasi juga berperan menambah kompleksitas permasalahan
pembangunan perumahan dan permukiman kota. Zulfi Syarif Koto, Ketua Lembaga

Pengkajian Pengembangan Perumahan dan Perkotaan Indonesia (LPP3I) dan juga mantan
Deputi Menteri Perumahan Rakyat Bidang Perumahan Formal, dalam bukunya yang
berjudul Pembangunan Perumahan Rakyat di Era Reformasi, Siapa Mendapat Apa?
Mengatakan bahwa masih banyak terjadi disorientasi antara politik pembangunan
perumahan rakyat dengan permasalahan manajemen pembangunan rakyat. Urbanisasi
dipengaruhi setidaknya oleh tiga faktor yaitu Perencanaan pembangunan perumahan dan

permukiman pertumbuhan alami penduduk daerah perkotaan, migrasi dengan segala
permasalahan di dalamnya sebagai akibat dari daerah pedesaan ke perkotaan,
reklasifikasi desa konsentrasi penduduk yang berlebihan, sarana prasarana pedesaan
menjadi desa perkotaan. Perkembangan ekonomi,
pendukung yang tidak memadai, perencanaan dan proses pembangunan infrastruktur,
political will antara perkotaan birokrasi yang lambat dan tidak tanggap serta disorientasi
dan pedesaan yang tidak seimbang telah lama memicu pembangunan merupakan
permasalahan pelik yang dapat masyarakat untuk pindah dari desa ke kota untuk sekedar
berimplikasi negatif pada timbulnya spot-spot atau kawasan mencari penghidupan yang
lebih baik. kumuh yang berpotensi menimbulkan penurunan kualitas lingkungan dan
berkurangnya ruang terbuka hijau. Perbedaan pertumbuhan atau ketidakmerataan fasilitas
Permasalahan-permasalahan perumahan dan permukiman pembangunan mengakibatkan
wilayah perkotaan menjadi tersebut harus segera diatasi untuk membangun sebuah
magnet yang menarik bagi penduduk untuk berdatangan perkotaan berkelanjutan yang
aman dan nyaman dihuni bagi mencari pekerjaan dan bertempat tinggal. Dengan
demikian, masyarakat.
Urban Renewal?
Di beberapa kawasan metropolitan di Indonesia, dimana
jumlah dan harga lahan yang terbatas dan begitu tinggi,
warga secara alami diarahkan untuk tinggal dan

menempati vertical housing seperti apartemen dan rumah
susun. Peremajaan kota dilakukan dengan menggusur
permukiman kumuh dan menggantinya dengan kegiatan
perkotaan lainnya seperti membangun pusat perbelanjaan
ataupun apartemen. Menggusur, tindakan konvensional
yang paling sering diambil pemimpin di daerah, hanyalah
memindahkan kemiskinan dari satu lokasi ke lokasi yang
baru. Hunian vertikal yang berada di tengah kota ini tidak
dapat
dijangkau
oleh
mayoritas
penduduk.
Permasalahannya kemudian muncul. Wajah kekumuhan
pun muncul di bantaran sungai, tepian rel, kolong
jembatan dan areal publik lainnya. Peremajaan kota
dilakukan dengan menggusur permukiman kumuh dan menggantinya dengan kegiatan
perkotaan lainnya seperti membangun pusat perbelanjaan ataupun apartemen Di Amerika
Serikat, pendekatan peremajaan kota sering digunakan pada 1950 dan 1960-an. Pada saat
itu, permukiman masyarakat miskin di pusat kota digusur dan diganti dengan kegiatan

perkotaan yang dianggap lebih baik. Hal ini memang menciptakan kondisi fisik perkotaan

yang baik namun sarat dengan masalah lingkungan, sosial dan kriminalitas karena
masyarakat miskin yang tergusur semakin sulit keluar dari kemiskinan karena akses
mereka terhadap pekerjaan kian susah. Menyadari kesalahannya, pada awal 1990-an
kota-kota di Amerika serikat lebih banyak melibatkan masyarakat dalam pembangunan
perkotaannya dan tidak lagi menggusur untuk menghilangkan kemiskinan dan
kekumuhan perkotaan. Dengan melihat pengalaman seperti itu, urban renewal dengan
cara menggusur permukiman dan membangun hunian vertikal yang tidak dapat dijangkau
masyarakat ekonomi lemah tidak dapat memecahkan masalah pembangunan perumahan
dan permukiman. Berbagai macam konflik pun muncul akibat semakin lebarnya
disparitas sosial dan menurunnya kemampuan ekonomi masyarakat. Belum lagi
menurunnya kualitas lingkungan akibat ketidakmampuan daya dukung kota
mengantisipasi pertambahan penduduk.
Tridaya Perencanaan Strategis Pembangunan Berbasis Penataan Ruang
Pemberdayaan masyarakat dengan menumbuhkan inisiatif warga untuk sama-sama
pemerintah membangun dan menjaga apa yang telah mereka usahakan untuk memajukan
lingkungan sekitarnya. Pendekatan pembangunan permukiman dengan tiga sasaran
pemberdayaan sebagai satu kesatuan upaya, yaitu pemberdayaan masyarakat,
pemberdayaaan lingkungan, dan pemberdayaan kegiatan usaha. Masyarakat menjadi

subjek dan tidak hanya menjadi objek pembangunan. Pola pembangunan pada dasarnya
tidak hanya menyangkut masalah fisik saja tetapi juga menyangkut pemberdayaan
karakter dan budaya masyarakat. Masyarakat diajak untuk bersama membangun,
merawat dan melestarikan lingkungan di sekitar mereka. PU memiliki program
Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) yang tidak hanya berusaha
bertanggung jawab untuk membangun sarana dan prasarana fisik tetapi juga bina sosial
kemasyarakatan dan bina lingkungan.
Lewat program pemberdayaan ini, dana yang diberikan
kepada masyarakat melalui fasilitator-fasilitator dapat
dikembangkan dan menunjukkan hasil serta jumlah
yang lebih besar dari dana awal yang diberikan.
“Perkembangan perkotaan hendaknya menganut
konsep better urban development, menciptakan
kesempatan yang sama untuk berkontribusi dan
mengakses perumahan yang sehat.” kata Menteri
Pekerjaan Umum, Djoko Kirmanto, saat memberikan
kata sambutan pada pembukaan Musyawarah Nasional
II Masyarakat Peduli Perumahan dan Permukiman
Indonesia (MP3I) di Bandung, Jumat 6 Mei 2011. Pola
pembangunan pada dasarnya tidak hanya menyangkut

masalah fisik saja tetapi juga menyangkut
permberdayaan karakter dan budaya masyarakat. Pada dasarnya pembangunan
perumahan dan permukiman merupakan kegiatan yang menggunakan ruang yang luas
sebagai unsur pokoknya. Penataan ruang pada prinsipnya mengatur,mengendalikan dan
mengawasi penggunaan lahan. Tata ruang harus menjaga agar benturan kepentingan tidak

terjadi yang nantinya dapat mengganggu kelestarian lingkungan dan arah perkembangan
perkotaan. Oleh sebab itulah rencana tata ruang harus menjamin pengalokasian lahan
perumahan dan permukiman yang adil dan merata antara kepentingan pemerintah, dunia
usaha, serta masyarakat dengan berbagai karakter dan tingkat ekonominya. Tata ruang
menjadi alat untuk dapat memberdayakan masyarakat mendapatkan kemudahan kredit,
perizinan, serta keadilan pelayanan umum. Pembangunan Rusunawa di Jakarta Indonesia
telah berkomitmen untuk mencapai target Millenium Development Goals (MDGs) yang
diantaranya dengan mengurangi jumlah penduduk yang tinggal di permukiman kumuh,
memudahkan akses terhadap air bersih dan akses sanitasi kepada masyarakat miskin.
Untuk mencapai target ini, perlu penguatan peran stakeholders, peningkatan kerjasama
antara pemerintah-swasta, memaksimalkan koordinasi teknis dan sosiologis antara
pemangku kepentingan. Melalui tridaya pendekatan pembangunan permukiman ini,
masyarakat berpenghasilan rendah yang menjadi prioritas pembangunan perumahan dan
permukiman diharapkan dapat mengakses rumah yang murah, sehat dan layak huni

sehingga kualitas hidup masyarakat dan lingkungan perkotaan akan menjadi lebih baik,
dan zona permukiman kumuh juga akan berkurang secara signifikan.(hk)