Tipe & Size (, 194K) TOPIK UTAMA B2011

TINJAU ULANG PERAN

KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU DALAM IKUT MENDORONG PERCEPATAN
PENEMBANGAN WILAYAH
PENGANTAR
Pada hari-hari belakangan ini kita dihadapkan pada suatu diskusi tentang bagaimana menyikapi kondisi
perkembangan makroekonomi nasional yang dianggap memiliki momentum yang sangat baik. Momentum
ini adalah anomali perkembangan politik global. Ketika dunia mengalami masalah, Indonesia malah
diuntungkan. Penyebab anomali ini adalah karena ketika pertumbuhan ekonomi dunia yang bergerak
melambat akibat diterjang berbagai persoalan global seperti; gejolak politik negaranegara Timur Tengah,
bencana alam Tsunami di Jepang, dan administrasi pemerintahan Presiden Obama yang sedang
bermasalah dengan hutang dalam negerinya yang membuat gelombang besar pasar keuangan dunia, justru
Indonesia saat ini menjadi salah satu negara tujuan yang dijadikan tempat untuk docking pergerakan
keuangan global melalui pasar sekunder.
Berbagai kalangan baik dari unsur-unsur Pemerintah maupun para akademisi, dan pelaku usaha mencoba
menguraikan gejala-gejala yang terjadi ini untuk mencari tahu langkahlangkah apa yang bisa antisipasi
kedepan mengambil manfaat kesempatan tersebut. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) setelah dua tahun
terakhir ini, ekonomi Indonesia masuk dalam peringkat ke-16 terbesar di dunia. Kalau dihitung dari posisi,
katakan 5 (lima) tahun yang lalu, tepatnya sejak 2006, PDB per kapita Indonesia naik hampir dua kali lipat
menjadi 3.000,5 USD pada tahun 2010 kemarin. Kondisi ini semestinya disambut gembira karena
menunjukkan kebijakan Pemerintah kelihatan berjalan sebagaimana sesuai rencana. Namun herannya, dari

berbagai diskusi yang berkembang di luar sana, banyak pandangan yang pesimis bahwa prestasi tersebut
akan berdampak positif bagi perkembangan wilayah nasional, khususnya masyarakat daerah-daerah
tertinggal. Di tengah-tengah keraguan dan ketidakpastian akan kondisi itu, dengan analisis yang sederhana
tulisan ini akan mencoba menguraikan situasi yang terjadi untuk melihat bagaimana sebaiknya kawasan
pengembangan ekonomi terpadu diposisikan dapat memanfaatkan momentum ini untuk dapat tumbuh.

FENOMENA PERTUMBUHAN EKONOMI NASIONAL
Peningkatan pendapatan per kapita Indonesia
pada 2010 kemarin mencapai 3.005 dollar AS,
atau kalau dikurskan dengan nilai tukar rupiah
(1US Dollar=Rp. 9.000) menjadi sekitar hampir
27,05 juta rupiah. Kenaikan pendapatan
sebesar 13% dibandingkan tahun sebelumnya
yang hanya 23,9 juta rupiah seharusnya dapat
memberikan harapan lebih besar bagi
masyarakat dan pertumbuhan wilayah. Namun
sayang yang terjadi tidak seperti itu. Kue
kesejahteraan yang semestinya dapat dirasakan
masyarakat hingga ke daerah-daerah terpencil
ini alirannya terhambat pada kelompok

masyarakat menengah ke atas yang umumnya
dapat kita perkirakan tinggal di daerah yang
relatif lebih maju. Indeks Gini dapat
menjelaskan
hal
tersebut.
Kontribusi
pendapatan tiap kelas masyarakat Indonesia
terhadap PDB nasional deskripsinya cukup
mencengangkan. Kontribusi pendapatan per
kapita tahun 2010 yang tidak merata itu
digambarkan dengan rincian sebagai berikut;
40% pendapatan penduduk kelas bawah
ternyata mengalami penurunan dari 21,5%
menjadi 18,96%. Sementara pendapatan 40%
kalangan masyarakat kelas menengah juga
turun dari 37,5% menjadi 36,14%. Ironisnya justru kontribusi kelas elit yang jumlahnya 20%, kontribusinya
meningkat menjadi 44,9% dari 41,9%. Kondisi kesenjangan ini jelas mencerminkan tidak semua masyarakat
Indonesia dapat menikmati pendapatan 3.005 USD tersebut seperti yang diharapkan. Pertumbuhan


ekonomi yang semestinya disambut gembira ini justru memunculkan ketimpangan yang tinggi di masyarakat.
Dari uraian di atas, sisi fenomena apa yang dapat kita perkirakan terkait dengan konteks kebijakan
pengembangan wilayah nasional kita. Pertama, kita boleh curiga bahwa sebenarnya dengan fenomena
tersebut telah terjadi stagflasi dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia walaupun kita disuguhi peringkat
pertumbuhan yang menggembirakan. Fenomena stagflasi ini artinya pertumbuhan yang tinggi pada
kenyataannya tidak seindah aslinya, jika hal itu dikaitkan dengan fakta lapangan yang memperlihatkan
semakin banyaknya masyakarat miskin dan tingginya tingkat pengangguran. Jadi stagflasi hendak
mengatakan bahwa pertumbuhan memang meningkat namun kemampuan daya beli masyarakat justru
menurun. Kedua, dengan kecurigaan pada butir pertama, kita dapat menduga bahwa pertumbuhan ekonomi
nasional sebenarnya bersifat quasy. Hal ini dapat dijelaskan seperti ini. Sebenarnya pertumbuhan ekonomi
nasional Indonesia saat ini terjadi pada secondary market yang tumbuh pesat karena adanya capital in-flow
yang deras yang masuk ke pasar domestik.
Pasar saham Indonesia menjadi salah satu bursa pencetak keuntungan terbesar melebihi bursa saham
regional, namun masuknya modal yang besar ini ke bursa saham Indonesia tidak dibarengi dengan
kemampuan menyerap dana tersebut ke dalam industri dalam negeri. Bukti lain yang dapat kita lihat adalah
bahwa penguatan nilai tukar rupiah kita yang hingga saat ini mencapai rata-rata 9.000 rupiah tidak mampu
mengurangi defisit perdagangan Indonesia dengan China. Indonesia gagal memanfaatkan forum pakta
perdagangan bebas Asean-China (ACFTA) untuk mengurangi defisit perdagangan nasional dengan China.
Sementara Thailand, tidak seperti Indonesia, justru mampu memanfaatkan ACFTA melalui produk-produk
pertaniannya yang unggul. Bacaan dari fenomena butir kedua inilah yang selanjutnya mengantarkan kita

kepada dugaan berikutnya yang akan memberikan analisis tentang kebijakan apa yang sebaiknya diambil
oleh Pemerintah. Terakhir, kita boleh menduga bahwa dengan perkiraan-perkiraan yang terjadi
sebagaimana yang diuraikan pada dua butir sebelumnya, bahwa pertumbuhan yang terjadi lebih banyak
didorong oleh sektor-sektor yang bersifat capital intensive dimana sebagian besar masyarakat umumnya
memiliki hambatan aksesibilitas untuk dapat berpartisipasi dalam sektor ini akibat rendahnya pendidikan,
kurangnya informasi tentang kebijakan sektor keuangan bagi masyarakat berpendapatan rendah, ditambah
birokrasi yang bertele-tele dalam penyaluran dana kepada pengusaha kecil yang umumnya berada di
daerah-daerah terpencil. Persoalan lain yang klasik adalah tidak berminatnya industri padat karya untuk
berinvestasi di daerah-daerah remote. Dugaan-dugaan di atas terkait ketimpangan pendapatan dan
ketimpangan pembangunan wilayah menjadi lengkap apabila kita perhatikan minat lokasi penanamanmodal
asing (PMA) dan penanaman modal dalam negeri (PMDN) yang secara spasial masih menganggap Pulau
Jawa adalah lokasi yang paling favorit untuk berinvestasi (BKPM, 2010). Hal ini kelihatannya didorong oleh
kenyataan bahwa Pulau Jawa memiliki infrastruktur wilayah yang jauh lebih lengkap dibandingkan pulaupulau besar lainnya, disamping memiliki potensi market terbesar untuk produk-produk industri olahan
maupun jasa. Hampir duapertiga penduduk Indonesia berdomisili di P. Jawa, khususnya di kota sedang
hingga kota besar/metro.

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN

Memahami bahwa konsentrasi pertumbuhan ekonomi nasional masih sangat bias Pulau Jawa dan membuat
ketimpangan pembangunan antar wilayah, khususnya Pulau Jawa dan Luar Jawa maka diperlukan adanya

kebijakan affirmative action bagi wilayah-wilayah tertinggal oleh Pemerintah dalam upaya menjaga
keseimbangan pembangunan antar wilayah melalui kepedulian Pemerintah untuk mendorong potensi latent
kawasankawasan tertinggal agar dapat bertumbuh sama dengan kawasan-kawasan lainnya sudah terlebih
dahulu maju. Affirmative Policy bagi masyarakat dan wilayah yang miskin ini sudah diamanatkan dalam
UUD 1945 yang tersirat dalam Preambule dan Pasal 33. Karena itu ketika Dilip K. Das dalam bukunya
Emerging Growth Pole: The Asia-Pacific Economy (1996) sempat pernah mengkategorikan Indonesia
kedalam The ASEAN-4 bersama-sama dengan Malaysia, Thailand, dan Philippines, momentum apresiasi
global terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia saat itu memberikan inspirasi kepada pemerhati kebijakan
publik dan Pemerintah untuk mengembangkan kebijakan tentang pusat-pusat pertumbuhan (growth poles)
ala Indonesia untuk mengentaskan masalah disparitas pembangunan yang terjadi di wilayah Nusantara.
Pada masa itu kebijakan pengembangan Kawasan Ekonomi Terpadu atau yang sering kita dengar dengan
istilah KAPET mulai dicanangkan melalui Keppres 89/1996 tentang KAPET sebagai jawaban terhadap
Keppres 54 Tahun 1995 tentang Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia (KTI). Semangat dari
kedua Keppres tersebut adalah affirmative policy atau keberpihakan khusus negara kepada kepada
kawasan atau wilayah yang tertinggal untuk disejajarkan dengan wilayah lain yang sudah terlebih dahulu
berkembang karena faktor-faktor strategis geografis.
Kesadaran ini juga merupakan pengejawantahan dari prinsip-prinsip mekanisme pasar yang menuntut
negara agar memperhatikan peserta pelaku ekonomi yang lemah seperti wilayah tertinggal untukKawasan
Pengembangan Ekonomi Terpadu atau KAPET, dari sisi lokasi dirancang sebagai kawasan yang memiliki
nilai strategis secara geografis yang diandalkan untuk cepat tumbuh karena karena memiliki keuntungan

lokasional karena kedekatannya dengan outlet, memiliki infrastruktur yang memadai, serta memiliki
komoditas-komoditas unggulan yang menggerakan pertumbuhan ekonomi daerah sekitarnya, disamping
juga memiliki peluang investasi yang sangat besar. Dalam konteks nasional bahkan KAPET diperhitungkan
memiliki peran strategis untuk mengintegrasikan perekonomian Indonesia dalam skala Kerjasama Ekonomi
Sub-Regional (KESR) seperti IMT-GT, BIMPEAGA dan AIDA. Untuk menunjukkan komitmen Pemerintah
tentang keberpihakan terhadap kawasan tertinggal, khususnya dalam upaya percepatan pembangunan
Kawasan Timur Indonesia. KAPET bahkan melalui PP 26/2008 tentang RTRWN sebagai implementasi UU
26/2007 tentang Penataan Ruang, ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN) dari sudut
kepentingan ekonomi. Konsepsi pengembangan KAPET adalah penciptaan iklim kondusif bagi investasi
melalui percepatan dukungan infrastruktur yang berbasis pada keunggulan lokal dan mampu mendorong
pertumbuhan ekonomi wilayah sekitarnya.

PERMASALAHAN PENGEMBANGAN KAPET
Harus diakui bahwa lambatnya pertumbuhan kawasan
pengembangan ekonomi terpadu KAPET lebih banyak disebabkan
karena kurangnya komitmen Pemerintah. Semenjak ditetapkannya
kebijakan KAPET sebagai pendekatan untuk mengatasi masalah
ketertinggalan pembangunan di kawasan Timur Indonesia (KTI)
pada tahun 1996 dan dikeluarkannya Keppres No. 150 tahun 2000
tentang Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu, upaya

pelaksanaan kebijakan KAPET ini mengalami hambatan karena
terjadinya proses perubahan politik ketatanegaraan di Indonesia
yang membuat kebijakan KAPET terlupakan karena seringnya
terjadi perubahan rejim pemerintahan yang berdampak terhadap
ketidaksinambungan kebijakan politik Pemerintah dalam satu
decade belakangan ini. Pelaksanaan kebijakan pembangunan
wilayah atau kawasan skala besar membutuhkan komitmen yang
tinggi dan konsistensi kebijakan yang jangka panjang. Pentingnya
komitmen dan konsistensi yang tinggi dapat dilihat dari
pengalaman Pemerintah China dalam mengembangkan Special
Economic Zones di negaranya. Ketika pada 1979 kementerian
negara yang bertanggungjawab terhadap bidang ekonomi
mengusulkan pembangunan kota Boan Xian - yang saat ini dikenal
sebagai Shenzen di Province Guangdong, sebagai sebuah
kawasan khusus yang dinamai Pearl River Delta Region yang
berlokasi dekat Hong Kong, Macao dan Taiwan, Deng Xiaoping
selaku ketua partai komunis China yang sangat berpengaruh ketika

itu langsung mengatakan agar rencana pembangunan kawasan Boan Xian atau Shenzen itu segera
dilakukan. Keseriusan Pemerintah China yang menganut sistem sosialis dalam mengejar ketertinggalan

pembangunan wilayahnya untuk bersaing secara global, dapat dilihat dari kebijakannya yang radikal dari
sisi idiologi. Pemerintah China menjanjikan one state-two systems dalam kawasannya dimana sistem
kapitalis dan sosialis diijinkan untuk co-exist. Selaku Ketua Partai Komunis yang sangat konservatif, Deng
Xiaoping telah menunjukkan sikap selaku the cracker yang menganut asas see and do – melihat dan
langsung bertindak. Tidak seperti asas yang selama ini kita anut yang bersifat profesional-konvensional,
yaitu wait and see. Dalam waktu sepuluh tahun komitmen dan konsistensi Pemerintah China menunjukkan
hasilnya yang sangat luar biasa. Keberhasilan ini terjadi karena komitmen dan konsistensi yang tinggi di
tengah-tengah perubahan fokus kebijakan pembangunan kawasan, yang semula adalah kawasan yang
berorientasi kepada penyediaan lapangan pekerjaan dan peningkatan devisa negara, berubah menjadi
kawasan ekonomi khusus yang berorientasi kepada kebijakan sebagai windows of technology, management,
knowledge, and foreign policy. Dalam sepuluh tahun, Shenzhen telah menjadi kota yang sangat maju
seperti kota New York dari yang semula seperti kota Menado ketika penulis menyiapkan artikel ini disana
minggu lalu. Harus dipahami oleh semua pihak yang bertanggungjawab terhadap keberadaan
KAPETadalah bahwa semenjak awal kebijakan pengembangan kawasan KAPET pada dasarnya
merupakan kebijakan yang bersifat kepedulian sosial negara terhadap wilayah tertinggal agar mampu
mandiri sebelum mampu berkompetisi di pasar bebas. Upaya ini dilakukan melalui upaya mendorong
percepatan pembangunan potensi kawasan, namun dalam prakteknya kebijakan pengembangan KAPET
sebagai kebijakan negara kurang mendapat perhatian khusus.
Contoh tentang sering luputnya perhatian
Pemerintah terhadap pengembangan KAPET

adalah ketika adanya kebijakan-kebijakan baru
tentang pengembangan ekonomi nasional yang
terkait dengan kewilayahan atau tepatnya kawasan,
maka kebijakan pengembangan KAPET selalu
dilewatkan karena dianggap sudah tidak up to date
atau merupak binatang lain yang dianggap tidak
sesuai untuk dikaitkan. KAPET menjadi seperti
anak tiri dalam kebijakan pembangunan ekonomi
nasional. Perhatikan saja misalnya dalam
pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK),
Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan
Bebas (KPBPB) dan yang terakhir dengan
kebijakan Pemerintah terkait dengan kebijakan
pengembangan Koridor Ekonomi untuk percepatan
dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia
25 tahun mendatang, KAPET sebagai kawasan
yang sudah memiliki dukungan politik, pada awal
pembahasan teknis hamper luput dari perhatian
para pengambil kebijakan. Karena kebijakan
pengembangan KAPET merupakan kebijakan yang

bersifat affirmative action, artinya pengembangan
KAPET sebagai kawasan ekonomi yang sengaja
didorong,
maka
secara
rasional
KAPET
membutuhkan perhatian yang khusus dan
komitmen yang tinggi yang semestinya dilandaskan
pada kemauan politik Pemerintah lintas regim yang
konsisten dan tidak boleh ada jeda sampai
kawasan tersebut bisa lepas landas.
Namun seiring dengan perjalanannya hingga saat ini, kebijakan pengembangan KAPET keberhasilannya
dalam mengentaskan masalah disparitas pembangunan wilayah bagian Barat Indonesia dan wilayah bagian
Timur Indonesia banyak diragukan oleh berbagai kalangan, tidak saja oleh kalangan Pemerintah Pusat dan
Daerah yang seharusnya tetap memiliki komitmen untuk konsisten mendorong KAPET dapat mencapai
tujuannya. Keragu-raguan berbagai kalangan terhadap keberlangsungan kebijakan pengembangan KAPET
ini dapat dipahami. Kebijakan pengembangan KAPET telah dimulai sejak dikeluarkannya Keppres No. 89
tahun 1996 tentang Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu. Keppres tersebut kemudian mengalami
perubahan menjadi Keppres No. 150/2000, sejalan dengan perubahan lingkungan strategis selama satu

dekade belakangan ini, terutama terkait dengan terjadinya perubahan tata kelola pemerintahan dari

sentralisasi ke desentralisasi yang semakin membatasi otoritas Badan Pengelola KAPET di daerah.
Semenjak itu berbagai fasilitasi khusus diberikan kepada KAPET termasuk perhatian Pemerintah terhadap
perlunya perubahan kelembagaan pengembangan dan pengelolaan KAPET termasuk revisi Keppres No.
150/2000 yang draftnya sudah disiapkan semenjak tahun 2002, hingga saat ini tidak pernah dibahas dalam
forum Badan Pengembang KAPET untuk diputuskan bagaimana nasib KAPET kedepan. Keberadaan
Badan Pengelola KAPET di daerah saat ini sebagai lembaga yang bertanggungjawab untuk memfasilitasi
proses peningkatan kualitas kawasan melalui pelaksanaan koordinasi instansi terkait di Daerah maupun di
Pusat, serta bertanggungjawab untuk melakukan promosi disamping membantu Pemerintah Daerah dalam
memberi pertimbangan teknis bagi permohonan perizinan kegiatan investasi pada KAPET, berjalan
“terengah-engah” dan dirasakan sangat tidak efektif bagi pengembangan kawasan KAPET karena perannya
yang dianggap tumpang tindih dengan struktur yang ada di dinas-dinas terkait. Persoalan lain yang dapat
dirasakan pelaksanaan kebijakan KAPET adalah adanya penerapan perlakuan perpajakan di kawasan
KAPET yang dilakukan tidak berbedadengan perlakuan pada Kawasan Berikat sebagaimana yang dapat
dipelajari melalui PP No. 147 tahun 2000 tentang Perlakuan Perpajakan di kawasan KAPET. Kesulitan lain
yang menghambat pengembangan KAPET hingga saat ini yang belum juga secara serius dipikirkan adalah
bahwa tanggungjawab pengembangan KAPET yang sarat dengan pengembangan investasi, yang tidak saja
investasi infrastruktur kawasan dan investasi jaringan transportasi, tetapi juga investasi kegiatan industri
melalui kemudahan-kemudahan fiskal dan perijinan, pembinaan penyelenggaraan KAPET sesuaiKeppres
No.150 Tahun 2000 seolah-olah seluruhnya menjadi menjadi tanggungjawab Kementerian Pekerjaan
Umum. Isu lain yang tidak kalah rumitnya adalah bahwa pengembangan KAPET merupakan
pengembangan kawasan skala besar. Skala besar dalam artian yang seluas-luasnya. Ambil contoh
kawasan KAPET Khatulistiwa. Kawasan ini memiliki luas wilayah sangat luas, hampir seluas wilayah
propinsi di pulau lain, sehingga jika hal ini dikaitkan dengan pengadaan infrastruktur kawasan seperti tenaga
listrik, air baku kawasan, telekomunikasi, pelabuhan, dan jaringan jalan, menjadi sangat besar bebannya
untuk diupayakan oleh Badan Pengelola KAPET tanpa ada perhatian khusus dari Pemerintah atau sektorsektor terkait.

REORIENTASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAPET
Sejak awal reformarsi, RPJM Nasional 1999-2004 telah memberikan landasan yang cukup kuat sebagai
dasar bagi kebijakan pengembangan kawasan di Indonesia, khususnya untuk pengembangan KAPET
sebagai pendekatan pengentasan kawasan tertinggal yang menjadi tanggungjawab Pemerintah dalam
rangka pemerataan pembangunan ke seluruh pelosok wilayah Nusantara. Secara kewilayahan upaya
pemerataan pembangunan yang selama ini dilakukan oleh Pemerintah belum dapat dikatakan berjalan
seperti yang diharapkan. Ketimpangan pembangunan antar wilayah yang sangat menyolok masih terlihat
walaupun dikatakan bahwa indikasi pertumbuhan makroekonomi nasional telah menjelaskan adanya
peningkatan yang singnificant. Karena itu, upaya percepatan pembangunan ekonomi nasional yang
mengutamakan pengembangan sektor-sektor strategis yang memiliki kontribusi besar terhadap PDB
nasional memang perlu menjadi perhatian khusus, namun memberikan perhatian khusus dimana sebaiknya
sektor-sektor strategis itu juga perlu dikembangkan agar dapat mendorong pertumbuhan daerah-daerah
tertinggal, juga menjadi sangat penting. Karena itu beberapa pertimbangan yang perlu diperhatikan dalam
upaya mengembangkan KAPET kedepan antara lain adalah sebagai berikut:
1.

2.

3.

4.

Mengingat bahwa kebijakan pengembangan KAPET merupakan perwujudan kepedulian negara
terhadap masyarakat yang berada di wilayah tertinggal, maka pelaksanaan kebijakan
pengembangan KAPET harus dilakukan secara konsisten sampai pada level tertentu dimana
wilayah tersebut sudah dianggap mampu untuk mandiri dalam berkompetisi secara ekonomi dalam
pasar bebas, atau paling tidak pada level tertentu mampu secara mandiri untuk membuka kendalakendala penghambat pembangunan.
Kementerian Pekerjaan Umum sebagai kementerian yang memiliki tupoksi pengembangan wilayah
dapat mengambil peran sebagai leading sector pengembangan kawasan ekonomi, dengan
menetapkan kebijakan program khusus yang mendukung kawasan binaan untuk pengembangan
ekonomi terpadu di suatu wilayah tertentu yang akan dapat dijadikan contoh bagi kawasankawasan lainnya di wilayah yang tertinggal.
Upaya mendorong percepatan pembangunan kawasan KAPET harus dapat memanfaatkan
kebijakan pengembangan kawasan-kawasan lain seperti kebijakan kerjasama ekonomi sub-region
(KESR), pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), kebijakan pengembangan Koridor
Ekonomi (KE), dan kebijakan-kebijakan pengembangan ekonomi yang berbasis kawasan atau
regional lainnya.
Terkait dengan upaya penguatan kelembagaan KAPET yang mampu mempercepat peran KAPET
dalam mendorong pertumbuhan wilayah melalui upaya-upaya integrasi kebijakan nasional terkait

5.

6.

pengembangan kawasan ekonomi. Dalam kaitan itu perlu segera dilakukan upaya revitalisasi
kelembagaan atau manajemen pengembangan kawasan KAPET yang lebih menekankan pada
otoritas yang lebih luas kepada daerah untuk mengelola kawasan dengan dukungan investasi
infrastruktur melalui kebijakan fiskal yang longgar dan regulasi yang cukup luas.
Untuk menjamin upaya kebijakan penguatan peran KAPET sebagai pusat pertumbuhan wilayah,
disamping sebagai upaya untuk mengurangi disparitas pembangunan antara wilayah bagian Barat
dan wilayah bagian Timur Indonesia, pada tahun 2011-1014 agenda KAPET harus memiliki fokus
yang terarah kepada peningkatan kualitas kawasan agar dapat menarik investasi terutama dalam
peningkatan kualitas infrastruktur kawasan dan peningkatan capacity building untuk penguatan
peran kelembagaan Badan Pengelola KAPET.
Mengingat kegiatan pengembangan industri global saat ini telah memasuki era perubahan radikal
atau cracking zone, yang berorientasi pada peningkatan daya saing bisnis yang radikal, dimana
kegiatan-kegiatan industri telah memanfaatkan informational technology sebagai alat untuk
melakukan perubahan-perubahan yang bersifat exponential dan berlapis-lapis atau berganda untuk
menjadi corporate crackers dalam memperbaharui budaya industri, maka upaya-upaya
pengembangan kawasan ekonomi harus mampu melakukan pengambilan keputusan yang tidak
lagi konvensional (wait and see), tetapi berubah menjadi the crackers, melihat dan langsung
bertindak (see and do).