Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dinamika Usaha Tani Perkebunan : Studi Pada Petani Perkebunan di Kecamatan Mori Utara Kabupaten Morowali Utara T2 092012009 BAB IV
Em pa t
SISTEM USAHA PERTANIAN KAKAO1
Pada bagian ini peneliti menyertakan hasil penelitian awal
mengenai “Produksi, Pemasaran dan Pendapatan Petani Kakao: Studi di
Desa Peleru Kecamatan M ori Utara Kabupaten M orowali Provinsi
Sulawesi Tengah” (tahun 2011-2012), hal ini bertujuan untuk
mengantar pembaca mengetahui bagaimana sistem pengolahan
perkebunan kakao.
Produksi
Dalam mewujudkan visi Kabupaten M orowali sebagai kabupaten
Si’e 2012 (lumbung pangan) maka diperlukan keberhasilan dari
program-program pembangunan yang diadakan oleh pemerintah pada
sektor pertanian. Sektor pertanian memiliki beberapa sub sektor
diantaranya sub sektor perkebunan. Di dalam sub sektor perkebunan
itu sendiri, masih terbagi lagi dalam berbagai komoditi, diantaranya
kelapa, kelapa sawit, karet, kakao, kopi, cengkeh dan lain-lain.
Salah satu komoditi perkebunan unggulan Kabupaten M orowali
adalah kakao. Hal ini dapat dilihat dari Tabel 1. dimana keempatbelas
kecamatan yang berada di Kabupaten M orowali semuanya memiliki
perkebunan kakao yang dikelola oleh masyarakat atau perkebunan
rakyat. Rata-rata kecamatan di Kabupaten M orowali pada tahun 2010
memiliki perkebunan kakao seluas 1.169 ha dengan produksi 457,59
ton. Setiap kecamatan memiliki luas perkebunan kakao yang berbedabeda, demikian juga dengan hasil produksi dan produktivitasnya.
1
Merupakan hasil panelitian dan tulisan Skripsi saya dengan judul “Produksi,
Pemasaran dan Pendapatan Petani Kakao: Studi di Desa Peleru Kecamatan Mori Utara
Kabupaten Morowali Propinsi Sulawesi Tengah” (tahun 2011-2012).
43
Dinamika Usaha Pertanian Kakao
Banyak hal yang dapat mempengaruhi produksi dan produktivitas dari
perkebunan kakao tersebut diantaranya perbedaan tingkat kesuburan
tanah, perbedaan umur tanaman kakao (belum menghasilkan,
menghasilkan dan tidak menghasilkan atau rusak), serangan hama dan
iklim. Perkebunan kakao terluas bereda di Kecamatan Bungku Tengah
yaitu 2.008 ha atau 13,22% dari total luas perkebunan kakao M orowali
tahun 2010. Kecamatan yang memiliki luas perkebunan kakao paling
sedikit adalah Kecamatan M enui Kepulauan yaitu 159 ha atau hanya
1,05% dari luas perkebunan kakao Kabupaten M orowali. Produksi
terbesar pada tahun 2010 berasal dari Kecamatan Petasia sebesar 821,80
Ton atau menyumbang 13,81% total produksi kakao Kabupaten
M orowali, berikut Kecamatan Bungku Selatan dengan produksi 672,80
ton (11,31%). Kecamatan yang kontribusinya paling sedikit adalah
Kecamatan M amosalato (0,34%) dan M enui Kepulauan (0,32%).
Tabel 1.
Luas Areal, Produksi dan Produktivitas Tanaman Perkebunan Kakao
Kabupaten Morowali Menurut Kecamatan Tahun 2010
No.
Kecamatan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Luas (ha)
Produksi
kakao kering
(Ton)
19
672,8
340
639
360
559,8
366,6
617,4
596
…….
821,8
501,2
435
20,1
5948,7
457,59
Menui Kepulauan
159
Bungku Selatan
1.043
Bahodopi
1.191
Bungku Tengah
2.008
Bungku Barat
1.011
Bumi Raya
1.265
W itaponda
867
Lembo
1.788
Mori Atas
1.925
Mori Utara(*)
……
Petasia
1.901
Soyo Jaya
1.269
Bungku Utara
408
Mamosalato
357
Total
15192
rata-rata kecamatan
1169
Sumber : Morowali dalam Angka Tahun 2011
Catatan *) : Data masih gabung dengan kecamatan induknya (Mori Atas)
44
Produktivitas
(Kg/ha)
119,5
645,06
285,47
318,23
356,08
442,53
422,84
345,3
309,61
……..
432,3
394,96
1066,18
56,02
5194,36
391,57
SIstem Usaha Pertanian Kakao
Produktivitas perkebunan kakao di tingkat kecamatan pada
tahun 2010 cukup bervariasi dengan rata-rata 391,57 kg per ha.
W alaupun satu Kecamatan memiliki perkebunan kakao yang lebih luas,
tetapi jika dibandingkan dengan Kecamatan lain produktivitas
kecamatan tersebut justru lebih rendah seperti Kecamatan Bungku
Utara yang luas perkebunannya mencapai 2.008 ha, tingkat
produktivitasnya hanya 318,23 kg per ha. Demikian juga dengan
Kecamatan M ori Atas yang produktivitasnya hanya 309,61 kg per ha
dengan luas areal perkebunan 1.925 ha. Lain halnya dengan Kecamatan
Bungku Selatan yang memiliki luas perkebunan 1.043 ha atau hampir
seribu hektar lebih sedikit dari Kecamatan Bungku Utara dan M ori
Atas justru produktivitasnya dua kali lebih besar dari kedua kecamatan
tersebut yakni 645,06 kg per ha. Dari semua kecamatan yang ada di
Kabupaten M orowali, kecamatan yang memiliki produktivitas
perkebunan kakao paling tinggi adalah Kecamatan Bungku Utara yaitu
1.066,18 kg per ha dengan lahan perkebunan hanya 408 ha. Sedangkan
kecamatan dengan produktivitas perkebunan kakao terendah adalah
kecamatan M amosalato dengan luas perkebunan 357 ha dan
produktivitasnya hanya 56,02 kg per ha. Secara keseluruhan pada
tahun 2010, produktivitas perkebunan kakao Kabupaten M orowali
yang rata-rata 391,57 kg per ha masih lebih rendah jika dibandingkan
dengan produktivitas perkebunan kakao Sulawesi Tengah yaitu 832,51
kg per ha.
Produksi atau hasil dari suatu usaha pertanian dalam hal ini
produksi komoditi kakao, akan dijadikan sebagai suatu patokan apakah
komoditi kakao memiliki potensi untuk diusahakan dan dikembangkan
sebagai komoditi unggulan di Kabupaten M orowali. Secara keseluruhan
luas dan produksi perkebunan kakao Kabupaten M orowali dari tahun
2007- 2010 dapat dilihat pada Tabel 2.
45
Dinamika Usaha Pertanian Kakao
Tabel 2.
Luas, Produksi dan Produktivitas Tanaman Perkebunan Kakao
Kabupaten Morowali Tahun 2007-2010
Tahun
Luas (ha)
Produksi Biji Kakao
Kering (ton)
2007
11.742
5489.09
2008
11.810
5535.16
2009
13.840
6383.79
2010
15.192
5948.70
Rata-rata
13.146
5,839.16
Sumber: Morowali dalam Angka Tahun 2011
Produktivitas
(Kg/ha)
467.47
468.68
461.26
391.56
447.25
Dari tahun ke tahun luas perkebunan kakao di Kabupaten
M orowali terus mengalami peningkatan dengan rata-rata produksi
5.839,16 ton per tahun. Dengan bertambahnya luas perkebunan kakao
tersebut, maka diharapkan produksi dan produktivitasnya akan ikut
meningkat. Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa pada tahun 2010 produksi
dan produktivitas kakao mengalami sedikit penurunan. Namun tahun
sebelumnya yaitu tahun 2007-2009 produksi kakao terus meningkat.
Pada tahun 2009 produksi kakao mengalami peningkatan sebesar
848,67 ton atau meningkat 13,29% dari tahun 2008. Jika dilihat dari
produktivitas, tahun 2007-2010 produktivitas perkebunan kakao
cenderung stabil dengan rata-rata 447.25 kg per ha. Apabila
dibandingkan dengan produktivitas kakao Sulawesi Tengah dengan
rata-rata 696,62 kg per ha, produktivitas perkebunan kakao Kabupaten
M orowali masih rendah. Namun demikian Tabel 2. dapat memberikan
gambaran bahwa luas dan produksi kakao di Kabupaten M orowali
trennya terus meningkat dan memiliki potensi untuk terus
dikembangkan sebagai salah satu komoditi unggulan, dan diharapkan
menjadi sumber pendapatan dan membuka lapangan pekerjaan bagi
masyarakat.
Usaha Perkebunan Kakao di Desa Peleru
Kecamatan penghasil kakao di Kabupaten M orowali diantaranya
adalah Kecamatan M ori Utara. Luas perkebunan kakao di Kecamatan
46
SIstem Usaha Pertanian Kakao
M ori Utara yang tersebar di delapan desa pada tahun 2011 mencapai
589,75 ha dengan produktivitas lebih tinggi dari rata-rata kabupaten
dan Provinsi yaitu 800 kg per ha atau sama dengan 471,8 ton per tahun
(BPK Kecamatan M ori Utara). Selanjutnya, dari data BPK Kecamatan
M ori Utara, luas perkebunan kakao terbesar berada di Desa Peleru
yaitu 570,4 ha atau 96,7% dari luas perkebunan kakao di Kecamatan
M ori Utara.
Tanaman kakao memiliki habitat di lingkungan hutan tropis,
tanah yang lembab dengan naungan yang cukup. Kakao akan
berproduksi secara maksimal apabila di lingkungan atau iklim yang
tepat seperti cukupnya ketersediaan air dan hujan yang relatif merata
disepanjang tahun. Desa Peleru memiliki potensi dan iklim yang cocok
untuk pertumbuhan tanaman kakao. Sebagian besar pekebunan kakao
petani berada di lembah sepanjang sungai Kuse. Kondisi tanah yang
lembab dan ketersediaan air yang cukup membuat lokasi ini sangat
cocok untuk perkebunan kakao.
Sebagian besar penduduk Desa Peleru memiliki lahan dan mata
pencaharian sebagai petani kakao. Inilah yang membuat Desa Paleru
menjadi salah satu kantong penghasil komoditi kakao di Kecamatan
M ori Utara. Keseharian petani dijalani dengan mengolah dan
memelihara perkebunan kakao yang merupakan lapangan pekerjaan
dan sumber pendapatan terbesar petani. Dari 30 responden, rata–rata
petani di Desa Peleru memiliki luas perkebunan kakao ≤ 2 ha (86.67%)
dengan lama bertani rata-rata 10-20 tahun (70%). Budidaya,
pemeliharaan dan produksi tanaman kakao yang dilakukan oleh petani
berskala perkebunan rakyat di Desa Peleru dapat dijabarkan sebagai
berikut:
1.
Penanaman
Sebelum dilakukan penanaman tentunya yang terpenting
adalah ketersediaan bibit dan lahan dengan luas tertentu yang
sudah siap untuk ditanami. Biji kakao yang dijadikan sebagai
bibit adalah biji kakao yang berasal dari buah terpilih dari pohon
kakao yang telah ada sebelumnya. Sebelum ditanam, terlebih
dahulu dilakukan pembibitan, baik menggunakan polibek
47
Dinamika Usaha Pertanian Kakao
berukuran kecil maupun di lahan yang sudah disiapkan khusus
untuk pembibitan. Setelah bibit kakao berumur kurang lebih tiga
sampai enam bulan, bibit tersebut dipindahkan ke lahan
perkebunan dengan jarak tanam 3x3 meter. Petani melakukan
penanaman kakao secara berkala sesuai dengan ketersediaan bibit
dan luas lahan yang siap ditanami. Dari hasil wawancara
lapangan, hanya 23.33% petani responden yang mengetahui jenis
kakao yang mereka tanam yaitu jenis trinitario/hibrida
sedangkan 76.67% responden lainya menjawab tidak mengetahui
jenis kakao yang mereka tanam. Kakao yang ditanam petani
jenisnya sudah bercampur, hal ini terjadi karena bibit yang
digunakan adalah bibit lokal yang berasal dari pohon kakao yang
ditanam sebelumnya, baik dari kerabat sesama petani atau milik
petani itu sendiri.
2.
Pemupukan
Pemupukan
dilakukan
untuk
menyuburkan
dan
mengembalikan unsur hara pada tanah sehingga meningkatkan
dan merangsang pertumbuhan tanaman kakao baik batang, daun
dan buah. Umur tanaman kakao petani responden Desa Peleru
yang berumur ≤ 10 tahun sebesar 16.67% dan 76.67% berumur
10-20 tahun sedangkan umur diatas duapuluh tahun hanya
6,67%. Umur tanaman kakao ini merupakan umur produktif
sehingga penggunaan pupuk sangat diperlukan untuk
meningkatkan produktivitasnya. Jenis pupuk yang digunakan
petani adalah pupuk urea dan beberapa pupuk lainya seperti TSP,
KCL dan NPK. Skala penggunaan pupuk urea lebih besar
daripada pupuk lainya dan terkadang pula petani mencampur
jenis tersebut dengan pupuk urea. Pemupukan dilakukan satu
kali dalam setahun dengan rata-rata penggunaan pupuk urea
sebanyak 208 kg per ha.
3.
Penyemprotan
Penyemprotan dilakukan untuk mengatasi dan membasmi
hama serta penyakit yang menyerang tanaman kakao. Dari tahun
ke tahun hama dan busuk buah ditambah dengan iklim yang
48
SIstem Usaha Pertanian Kakao
tidak menentu semakin membuat resah para petani. Berbagai
jenis hama pengganggu pada pertumbuhan dan pada produksi
kakao adalah hama PBK (penggerek buah kakao), penggerek
daun, dan batang. M asalah lain adalah timbulnya penyakit seperti
hitam buah yang diakibatkan curah hujan yang terlalu tinggi,
mati pucuk dan serangan jamur batang yang dapat menyebabkan
matinya pohon kakao. Berbagai upaya dilakukan oleh para petani
untuk mengatasi hal tersebut khususnya pada serangan hama.
Pemberantasan
hama
dilakukan
dengan
melakukan
penyemprotan pestisida. Rata-rata petani atau 96.67% petani
responden melakukan penyemprotan dua kali dalam sebulan.
Janis pestisida yang digunakan petani cukup bervariasi seperti
Vigor, Unisait, Nordoks, Akodag, Sidametrin, Capture, Kloromit,
Topplus dan lain-lain. Dalam satu kali penyemprotan petani
mencampurkan 2-3 jenis pestisida dengan skala 1/2-1 liter setiap
jenis pestisida, sehingga total penggunaan pestisida dalam satu
kali penyemprotan berkisar 1-2 liter. Karena kebutuhan tanaman
akan pupuk cukup tinggi dan juga tujuan untuk meningkatkan
produksi maka terkadang dalam penyemprotan hama, petani juga
mencampurkan pestisida dengan pupuk cair perangsang
pertumbuhan daun dan buah seperti Ronsaid dan Agrodite.
4.
Penyiangan
Penyiangan diperlukan untuk menjaga lahan perkebunan
tetap bersih dan bebas dari gulma atau rumput yang akan
mengganggu pertumbuhan kakao seperti akan terbaginya
makanan dengan rumput liar. Pada saat kakao menghasilkan
buah, penyiangan dilakukan untuk menghindari hama tikus dan
pemakan buah lainnya. Seiring dengan kemajuan teknologi, jika
dahulu penyiangan dilakukan dengan arit, tenaga kerja dan
waktu yang panjang, maka sekarang dengan alat-alat pertanian
modern seperti mesin pemangkas dan herbisida yang digunakan
dengan tangki penyemprot, sangat membantu petani untuk
mengusahakan lahan pertanian secara efisien.
49
Dinamika Usaha Pertanian Kakao
5.
Pemangkasan
W alaupun pada awal penanaman tanaman kakao harus
memiliki naungan (pelindung), tetapi setelah pohon itu
bertumbuh besar dan lebat maka tanaman pelindung tersebut
tahap demi tahap harus dikurangi. Seiring dengan hal itu,
kerimbunan dari daun atau cabang kakao harus diatur dengan
pemangkasan cabang yang terlalu rimbun dan tunas air yang
dianggap mengganggu pertumbuhan kakao. Pemangkasan
dilakukan agar tanaman mendapatkan intensitas cahaya yang
cukup secara keseluruhan sehingga dapat menghasilkan buah
atau berproduksi secara maksimal.
6.
Panen
Buah kakao memiliki warna yang cukup beragam. W arna
kakao yang pada waktu muda berwarna hijau, setelah masak akan
berwarna kuning. Sedangkan jenis lain, yang awalnya berwarna
merah setelah masak akan berwarna oranye. Apabila buah
tersebut sudah masak maka petani melakukan pemetikan buah
(panen). Buah kakao yang telah dipetik tersebut akan
dikumpulkan di salah satu tempat (biasanya ditumpuk dipinggir
kebun) kemudian dilakukan pemeraman buah maksimal satu
minggu agar kematangan buah kakao merata. Namun petani
responden tidak melakukan proses pemeraman buah tersebut,
akan tetapi langsung melakukan pemecahan buah. Pemecahan
buah dapat dilakukan menggunakan beberapa alat diantaranya
pisau, golok dan sepotong kayu yang bertujuan untuk
memisahkan biji dari kulit kakao, kemudian dimasukan kedalam
karung dan langsung diangkut ke rumah petani. Panen buah
kakao di Desa Peleru dilakukan dalam dua musim, petani
menyebutnya dengan musim panen raya dan panen antara
(panen semester). M usim panen raya dilakukan antara bulan
April sampai Juni sedangkan panen semester dilakukan antara
bulan Agustus sampai November. Intensitas panen raya pada
petani responden Desa Peleru ≥ 5 kali (60%) dan 3-4 kali (40%),
sedangkan untuk panen antara ≥ 5 kali (70%) dan 3-4 kali
50
SIstem Usaha Pertanian Kakao
(23,3%) dalam setahun. Rata–rata dalam bulan-bulan panen, baik
panen raya maupun panen semester adalah dua kali pemanenan
dalam sebulan (panen setiap dua minggu sekali). Dengan
intensitas dua kali panen dalam sebulan, maka panen raya petani
sebanyak 4-6 kali dan panen antara sebanyak 4-8 kali dalam satu
tahun. Perbedaan intensitas panen baik panen raya dan panen
semester antara responden tergantung dari produktivitas
perkebunan kakao masing-masing responden dan juga karena
dipengaruhi oleh cara pemeliharaan seperti pemberian pupuk,
pemangkasan, kebersihan lahan dan penyemprotan hama. Total
hasil produksi kakao kering rata-rata untuk panen raya dan
panen semester petani responden adalah 1,6 ton per tahun.
7.
Penjemuran
Setelah biji kakao yang sudah dipanen diangkut ke rumah
petani, kakao tersebut dibiarkan berada di dalam karung selama
2-3 hari dengan tujuan mengurangi kandungan air dari biji yang
basah, kemudian biji kakao dikeluarkan dari karung dan siap
dijemur. Tempat penjemuran yaitu di balai-balai yang terbuat
dari bambu, namun penjemuran ditempat ini sudah jarang
dilakukan petani karena petani lebih memilih menjemur di
daerah lapang halaman rumah dengan menggunakan karoro
(tikar atau jaring penjemuran). Lama penjemuran biji kakao
sampai kering yaitu 3-4 hari bahkan bisa lebih, tergantung pada
cuaca atau sinar matahari. Penjemuran juga dapat dilakukan
dengan menggunakan mesin khusus pengering biji kakao. Namun
sampai sekarang belum ada petani responden yang memiliki dan
menggunakan mesin pengering tersebut. Setelah biji kakao
kering, petani melakukan pengemasan di dalam karung goni dan
biji kakao siap untuk dijual.
Pengolahan komoditi kakao di Desa Peleru masih terbilang
sederhana serta kurang memperhatikan standar dan mutu yang baik.
Sistem pengolahan kakao petani masih sebatas panen, jemur sampai
dianggap kering lalu dijual. Sedangkan untuk menghasilkan komoditi
kakao yang berkualitas, diperlukan pengolahan yang lebih teliti.
51
Dinamika Usaha Pertanian Kakao
Beberapa proses pengolahan masih dilewatkan oleh para petani seperti
proses fermentasi atau pemeraman dengan tujuan melepas lendir-lendir
yang melekat pada biji dan menambah aroma khas biji kakao, belum
melakukan pencucian yang bertujuan untuk menghilangkan kotoran
dan lendir yang masih melekat pada biji, serta sortasi (membersikan
kotoran dan memisahkan biji yang baik dan yang kurang baik).
Usaha pertanian kakao tentunya berkaitan erat dengan sarana
produksi sebagai pendukung berjalannya usaha perkebunan tersebut.
Sarana produksi yang digunakan diantaranya pupuk, pestisida, dan alatalat pertanian. Pupuk dan pestisida diperoleh petani dari kelompok
tani, kios-kios lokal dan pasar kecamatan. Pupuk yang digunakan oleh
petani adalah pupuk urea dengan harga Rp. 100.000 per 50 kg (tahun
2011) dan beberapa pupuk lainnya seperti TSP, KCL dan NPK.
Sedangkan pestisida yang digunakan oleh petani cukup beragam dan
harganyapun bervariasi (Tabel 3.).
Tabel 3.
Jenis, Fungsi dan Harga Pestisida
No.
Pestisida
Fungsi
Untuk membasmi hama penggerek buah,
1
Vigor
batang dan daun pada tanaman kakao.
Untuk membasmi hama penggerek buah,
2
Unisait
batang dan daun pada tanaman kakao.
3
Nordoks
Mencegah jamur dan hitam buah kakao.
Untuk membasmi hama penggerek buah,
5
Akodan
batang dan daun pada tanaman kakao.
Mencegah serangan hama pengerek dan
6
Capture
mencegah busuk buah.
7
Kloromit
Untuk membasmi hama semut.
Untuk mencegah serangan Hama
8
Seprint
penggerek batang, daun dan buah kakao.
Untuk memberantas ulat atau hama
9
Sidametrin
penggerek tanaman kakao.
Sumber: Data Primer, 2012
Harga /botol (Rp)
75.000
75.000
125.000
85.000
75.000
130.000
50.000
30.000
Selain pupuk dan pestisida, sarana produksi yang juga digunakan
dalam pengolahan perkebunan kakao adalah alat-alat pertanian.
Sebagian besar petani kakao sudah menggunakan alat pertanian yang
52
SIstem Usaha Pertanian Kakao
moderen seperti mesin pemangkas, gunting buah dan lain-lain.
Beberapa alat pertanian yang digunakan oleh petani kakao di Desa
Peleru dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4.
Alat-Alat Pertanian Yang Digunakan Petani Serta Fungsinya di Lahan
Perkebunan Kakao
No.
1
Alat Pertanian
Arit
2
Cangkul
3
Gerobak Dorong
4
Golok (Parang)
7
8
Gerobak
menggunakan
tenaga sapi (roda)
Gunting
Buah/Daun/Ranting
Fungsi/ Kegunaan
Untuk penyiangan
Untuk penggali lubang dalam penanaman kakao serta
penggalian saluran air di lahan perkebunan.
Sebagai alat pengangkut buah kakao saat panen.
Untuk penyiangan dan digunakan pula untuk
memisahkan biji kakao dari kulitnya (Pemecahan
buah).
Sebagai alat transportasi petani ke lahan perkebunan
dan sebagai alat pengangkut biji kakao dari
perkebunan ke rumah petani.
Untuk memetik buah dan pemangkasan ranting kakao
9
Pemetik Buah
(Poncada)
Alat pertanian kakao mirip angka 7 yang
disambungkan pada sebatang bambu dengan panjang
tertentu. Berfungsi untuk pemetik buah dan alat
pemangkas dahan kakao.
10
Jaring Penjemuran
( Karoro)
Untuk menjemur biji kakao yang masih basah.
11
Terpal
12
Karung goni
11
Mesin Pemangkas
Rumput
13
Tangki Penyemprot
Untuk menjemur biji kakao yang sudah setengah
kering.
Untuk menyimpan biji kakao setelah dipanen serta biji
kakao yang sudah kering dan siap dijual.
Untuk alat pemangkas rumput di lahan perkebunan
kakao.
Untuk penyemprotan rumput dan juga hama pada
perkebunan kakao.
Sumber: Data Primer, 2012
Dalam proses produksi perkebunan Kakao, petani pemilik
perkebunan terkadang mengerjakan sendiri proses pengolahan karena
dipengaruhi beberapa faktor seperti keterbatasan biaya, lahan
pertanian yang tidak terlalu luas sehingga dapat dikerjakan sendiri oleh
53
Dinamika Usaha Pertanian Kakao
petani tersebut. Namun beberapa proses produksi, dibutuhkan tenaga
kerja seperti kegiatan penyemprotan, pemangkasan, pemupukan, panen
dan pengangkutan. Tenaga kerja tersebut berasal dari dalam keluarga
(anggota keluarga petani itu sendiri), tenaga kerja dari luar keluarga
(jasa tenaga kerja), dan tenaga kerja dari dalam dan luar keluarga.
Tabel 5.
Distribusi Responden Berdasarkan Penggunaan Tenaga Kerja Dalam Produksi
Perkebunan Kakao Petani Desa Peleru
Proses
Produksi
No.
Jumlah dan Presentase Responden
Hanya dari
dalam kel
jmlh
%
30
100
Hanya dari
luar kel
jmlh
%
-
-
Dari dalam
dan luar kel
jmlh
%
-
-
Total
jmlh
%
30
100
1
Penanaman
2
Pemupukan
13
43
9
30
8
27
30
100
3
Penyemprotan
13
43
8
27
9
30
30
100
4
Penyiangan
18
60
8
27
4
13
30
100
5
Pemangkasan
16
53
8
27
6
20
30
100
6
Panen
6
20
14
47
10
33
30
100
7
Pengangkutan
18
60
12
40
-
-
30
100
8
Penjemuran
30
100
-
-
-
-
30
100
Sumber: Data Primer, 2012
Sebagian besar masyarakat Desa Peleru adalah petani kakao,
sehinga selain kepala keluarga (bapak), ibu rumah tangga atau tenaga
kerja wanita juga ikut membantu dalam beberapa proses produksi
walaupun presentasenya sangat kecil. Proses yang menggunakan tenaga
kerja wanita adalah proses pemupukan yaitu 13% (masuk dalam data
tenaga kerja dari dalam keluarga Tabel 5.) dan dalam proses panen
sebanyak 23% responden menggunakan tenaga kerja wanita dari dalam
keluarga (ibu rumah tangga) dan 43% lainnya menggunakan tenaga
kerja dari luar keluarga.
Dari data primer yang diperoleh, rata-rata penggunaan tenaga
kerja dan jumlah hari kerja menurut jenis kelamin untuk proses
produksi kakao di Desa Peleru diuraikan sebagai berikut: 1)
Penanaman: Petani melakukan penanaman di lahan perkebunannya
dengan hari dan waktu kerja yang fleksibel atau berkala, hal ini
54
SIstem Usaha Pertanian Kakao
dilakukan sesuai ketersediaan lahan dan bibit yang siap ditanam. 2)
Pemupukan: Selain menggunakan dua orang tenaga kerja (ayah,ibu)
dari dalam keluarga dengan tiga hari kerja, jumlah tenaga kerja yang
dibutuhkan dari luar keluarga dalam satu kali pemupukan rata-rata dua
orang tenaga kerja dengan tiga hari kerja. 3) Penyemprotan: Rata-rata
penggunaan tenaga kerja pada proses penyemprotan yang berasal dari
luar keluarga adalah dua orang dengan dua hari kerja. Pada proses
penyemprotan ini, pemilik kebun ikut bekerja namun waktu kerjanya
lebih lama yaitu rata-rata tiga hari kerja. 4) Penyiangan: Untuk
penyiangan dengan luas lahan ≤ 2 hari kerja, petani menyewa rata-rata
dua orang tenaga kerja dari luar keluarga dengan empat hari kerja,
sedangkan petani responden lainya yang tidak menyewa tenaga kerja
menghabiskan waktu kerja selama satu minggu untuk proses
penyiangan. 5) Pemangkasan: Dalam pemangkasan, petani responden
menggunakan rata-rata dua orang tenaga kerja dari luar keluarga
dengan rata-rata enam hari kerja. Apabila petani hanya melakukan
pemangkasan dengan tenaga sendiri, maka jumlah hari kerja yang
dibutuhkan lebih panjang yakni sembilan hari kerja. 6) Panen: Proses
panen ini membutuhkan tenaga kerja yang lebih banyak dibandingkan
dengan proses-proses sebelumnya. Untuk satu kali panen, petani
menyewa rata-rata tiga orang tenaga kerja pria dari luar keluarga dan
tiga orang tenaga kerja wanita, ditambah dengan anggota dalam
keluarga petani itu sendiri dengan rata-rata tiga hari kerja per satu kali
panen. Dalam proses pemanenan buah kakao, tenaga kerja pria
bertugas untuk memetik buah sedangkan wanita sebagai tenaga
pemecah buah kakao. Namun tidak jarang tenaga kerja pria juga ikut
melakukan proses pemecahan buah. 7) Pengangkutan: Pada hari panen
pertama, kedua dan ketiga, biji kakao langsung diangkut sendiri oleh
petani pemilik perkebunan pada hari itu juga dengan menggunakan
gerobak atau sepeda motor atau oleh tenaga kerja pria dengan cara
dipikul (ndalembara). Selain itu, ada beberapa petani yang
menggunakan jasa pengangkutan gerobak dengan biaya Rp. 20.000 –
Rp. 25.000 per karung. Rata–rata petani responden maupun tenaga
kerja lainya mulai bekerja di perkebunan kakao dari pukul 08.00 -16.00
W ITA (8 jam per hari kerja). Upah rata-rata tenaga kerja baik upah
55
Dinamika Usaha Pertanian Kakao
penyemprotan, pemupukan, penyiangan dan panen adalah Rp. 40.000
per hari kerja.
Berbagai persoalan atau masalah yang sering dihadapi oleh para
petani dalam hal pengolahan dan produksi perkebunan kakao seperti
keterbatasan modal, sumber daya manusia (SDM ) dan serangan hama.
Usaha pertanian perkebunan kakao membutuhkan modal sebagai biaya
operasional produksi. Dengan modal yang cukup, petani dapat
membiayai keperluan usaha seperti pengadaan sarana produksi (alatalat pertanian, pupuk, pestisida, dan upah tenaga kerja). M odal yang
digunakan petani responden untuk membiayai operasional produksi
diperoleh dari hasil penjualan biji kakao. Terbatasnya akses modal oleh
petani baik dari lembaga keuangan bank dan lembaga pinjaman lainya
membuat petani harus membagi pendapatan dari hasil penjualan biji
kakao untuk kebutuhan pokok sehari-hari dengan biaya operasional
produksi. Keterbatasan akses modal ini, disebabkan oleh kurangnya
pengetahuan dan pemahaman petani mengenai akses peminjaman
modal di bank, sehingga petani enggan untuk meminjam modal. Saat
terjadi penurunan produksi bahkan saat gagal panen pada tanaman
kakao, petani membiayai operasional pertanian seadanya saja
(mengurangi pupuk dan jumlah pestisida), petani kadang menempuh
cara lain seperti mengutang sarana produksi pada pembeli (pengumpul
biji kakao) yang akan dilunasi setelah memperoleh hasil panen kakao.
Sumber daya manusia merupakan salah satu komponen penting
dalam pengolahan perkebunan yang baik. Pengetahuan dan informasi
yang diperoleh petani Desa Peleru mengenai pengolahan perkebunan
kakao masih sangat sedikit sehingga cara budidaya tanaman kakao yang
dipraktekan petani hanya berdasarkan pengalaman dan informasi dari
sesama petani dan dari pembeli kakao. Keterbatasan ini juga
dikarenakan masih kurangnya pelatihan, seminar-seminar dan
sosialisai pertanian yang diberikan oleh pemerintah atau instansi
terkait lainya. Belum maksimalnya kinerja Petugas Penyuluh Lapangan
(PPL) yang ditempatkan disetiap desa dalam memberikan
pendampingan bagi petani, khususnya petani kakao. Akibatnya petani
tidak dapat berbuat banyak selain mengandalkan pengetahuan dan
56
SIstem Usaha Pertanian Kakao
informasi terbatas yang mereka miliki dalam mengolah perkebunan
kakao tersebut.
Dalam pertanian kakao, masalah terbesar petani adalah serangan
hama. Serangan hama sangat merugikan petani karena akan
menyebabkan menurunnya hasil produksi. Hama yang menyerang
perkebunan petani diantaranya hama penggerek batang dan daun yang
menyebabkan daun dan batang kakao menjadi rusak dan bahkan mati.
Hama penggerek buah juga menjadi musuh terbesar petani, karena
akan menyebabkan busuk dan kangker buah sehingga produksi dapat
menurun drastis. Selain itu, jamur batang dan mati pucuk juga dapat
membuat pohon kakao akan perlahan-lahan mati. Cuaca yang tidak
menentu, seperti curah hujan yang terlalu tinggi membuat buah kakao
yang masih muda menjadi hitam dan akhirnya petani akan mengalami
gagal panen. Berbagai upaya dilakukan petani untuk mengatasi masalah
ini seperti melakukan pemangkasan pucuk yang telah mati, peremajaan
kembali, dan penyemprotan pestisida yang tetap dilakukan walaupun
dengan harga pestisida yang cukup mahal bagi petani.
Pemasaran
Setelah melalui proses produksi yang cukup panjang mulai dari
penanaman, pemeliharaan, pemetikan dan penjemuran, petani
memperoleh output atau hasil dari usaha pertanian tersebut berupa biji
kakao kering. Biji kakao kering dikemas dengan baik di dalam karung
goni kemudian siap untuk dijual. Sebanyak 93,33% petani responden
menggunakan sistem penjualan langsung ke rumah pembeli, sedangkan
hanya 6,66% saja yang didatangi oleh pembeli. Alat transportasi dan
angkutan yang digunakan oleh petani dalam penjualan kakao adalah
sepeda motor (66,7 %), gerobak yang ditarik oleh sapi (13,3 %),
sedangkan sisanya menggunakan mobil dan tenaga manusia (dipikul).
Ada beberapa jenis pedagang kakao diantaranya pengumpul
(tengkulak), kelompok tani, pedagang antar kecamatan, pedagang antar
kabupaten, dan pedagang antar pulau (eksportir antar pulau).
Pengumpul adalah pedagang yang langsung membeli kakao di rumah57
Dinamika Usaha Pertanian Kakao
rumah petani dan kemudian kembali menjualnya kepada pengumpul
tingkat kecamatan bahkan ke pedagang tingkat kabupaten. Harga beli
yang ditetapkan oleh pengumpul tersebut cukup bervariasi. Kelompok
tani, adalah kelompok yang dibentuk secara swadaya oleh masyarakat
dan beranggotakan para petani kakao dengan jumlah anggota tertentu.
Tujuan utama dibentuknya kelompok tani atau organisasi tani ini
adalah untuk menjadi lembaga musyawarah dan diskusi bagi petani
mengenai masalah-masalah dalam pertanian kakao. Selain itu, tujuan
dibentuknya kelompok tani di Desa Peleru yaitu untuk membendung
masuknya tengkulak atau pedagang baru dari luar desa yang dianggap
merugikan pengumpul lokal yang telah lama bekerja sama dengan
petani. Terbentuknya organisasi petani (kelompok tani) akan
mempermudah
penyaluran
bantuan
dari
pemerintah
dan
mempermudah petani dalam penyediaan sarana produski pertanian.
Sebanyak 56,66% petani responden menjual kakaonya kepada
kelompok Tani, 36,66% menjual ke pengumpul biasa, dan hanya 6,66%
yang menjual ke pedagang besar antar kabupaten. Penjualan kakao ke
kelompok tani sama dengan penjualan ke pengumpul biasa (tengkulak),
hal ini terjadi karena yang menjadi pembeli sebenarnya adalah
pengumpul lokal yang merupakan anggota dan bahkan ketua dari
kelompok tani tersebut. Namun demikian, ada perbedaan pengumpul
biasa (pengumpul dari luar kelompok tani) dengan pengumpul lokal
yang berada di dalam keanggotaan kelompok tani. Perbedaan tersebut
diantaranya adalah penetapan harga. Harga beli pengumpul biasa lebih
rendah karena berdasarkan harga di tingkat kecamatan, sedangkan
harga pengumpul yang berasal dari kelompok tani cenderung lebih
tinggi karena pengumpul tersebut berpatokan dari harga kakao
pengumpul besar di tingkat kabupaten. Selain itu, kerjasama dan relasi
yang baik yang sudah berlangsung cukup lama antara petani dengan
pengumpul lokal, membuat petani lebih memilih untuk menjual
komoditi kakaonya pada pengumpul lokal yang juga merupakan
anggota kelompok tani dari pada ke pengumpul biasa. Pengumpul
tingkat kecamatan biasanya membeli langsung ke rumah-rumah petani
dan juga dari para pengumpul biasa yang sudah menjalin relasi
dengannya. Pengumpul tingkat kabupaten adalah pengumpul yang
58
SIstem Usaha Pertanian Kakao
membeli kakao dari pedagang antar kecamatan dan juga dari
pengumpul-pengumpul lokal di tingkat desa. Pengumpul besar tingkat
kabupaten menjual langsung ke pedagang antar pulau (ekportir antar
pulau) dan bahkan langsung ke sektor industri pengolahan. Berikut
digambarkan rantai pemasaran dan pelaku usaha dalam pertanian
komoditi kakao di kabupaten M orowali Provinsi Sulawesi Tengah
(Gambar 5.). M odel ini diadopsi dari model Kameo et al tahun 2011
mengenai rantai nilai dan pelaku usaha komoditas kopi.
Gambar 5. Rantai Pemasaran dan Pelaku Usaha Dalam Usaha Pertanian Kakao
di Kabupaten Morowali
Di wilayah Desa Peleru dan Kabupaten M orowali bahkan di
Sulawesi Tengah, belum tersedia sarana industri pengolahan kakao
yang dapat mengolah biji kakao menjadi coklat bubuk, coklat cair,
permen dan jenis olahan lainnya. Untuk itu sebagian besar pengumpul
tingkat kabupaten di Sulawesi Tengah menjual biji kakao ke eksportir
antar pulau yang ada di kota Palu. Sebagian kecil lainnya menjual ke
industri pengolahan di M akasar Sulawesi Selatan. M enurut penelitian
Tuti M illias tahun 2009 mengenai Analisis Permintaan Ekspor Biji
Kakao Sulawesi Tengah Oleh M alaysia, tahun 2002 sebesar 77,61% biji
kakao Sulawesi Tengah di ekspor ke luar negeri antara lain ke M alaysia
dan beberapa negara lainnya (Tuty M illias 2009: 92).
59
Dinamika Usaha Pertanian Kakao
Untuk mendapatkan harga yang tinggi sebelum dijual kembali,
para pembeli atau pengumpul lokal hanya melakukan penjemuran
kembali agar tingkat kekeringan kakao merata dengan standar
kekeringan kadar air 7%. Pada pengumpul tingkat kabupaten, pembeli
kembali melakukan penjemuran dan mencampur biji kakao yang dibeli
dari beberapa pengumpul tingkat desa dan kecamatan agar kualitas
kakao merata. Sampai pada eksportir barulah dilakukan penyortiran
biji kakao yaitu dengan membersihkan kotoran yang masih bercampur
dengan biji kakao dan memisahkan biji kakao berdasarkan bentuk dan
tingkat kualitasnya.
Keuntungan yang diperoleh pengumpul lokal berasal dari selisih
harga kakao dengan harga pada pengumpul antar kabupaten yaitu Rp.
2.000 per kg pada tahun 2011 dan beberapa tahun sebelumnya. Apabila
harga pada pengumpul tingkat kabupaten sebesar Rp. 15.000 per kg
maka harga beli pengumpul lokal pada petani kurang lebih Rp. 13.000
per kg atau 15% dari harga beli. Keuntungan bersih pengumpul lokal
Rp. 1.500 per kg karena Rp. 500 per kg untuk biaya angkutan dan
pemeliharaan kendaraan.
Penetapan kualitas dan harga kakao sampai saat ini masih
ditentukan oleh pembeli. Cara penetapan harga kakao adalah dengan
mengukur dan melihat standar mutu pada kakao. Standar dan mutu
tersebut berkaitan dengan kadar air (atau tingkat kekeringan), warna,
dan kebersihan dengan menggunakan alat ukur tester (alat ukur kadar
air). W alaupun di Desa Peleru 47% petani responden menjawab
penentuan kualitas kakao menggunakan tester, namun langkah
tersebut hanya sebagai formalitas yang terkadang dilakukan. M enurut
pembeli dan 53% petani responden, cara pengukuran standar dan mutu
kakao hanya dengan meraba dan melihat biji kakao tersebut. Hal ini
dilakukan karena pembeli sudah berpengalaman dan sudah lama
menggeluti jual beli kakao kering, sehingga hanya dengan meraba dan
melihat maka pembeli sudah mengetahui tingkat kekeringan kakao
tersebut. Penggunaan tester belum diterapkan secara serius karena
menurut pembeli, petani belum mengerti tentang penetapan standar
kakao yang mengunakan tester dan banyaknya potongan yang akan
60
SIstem Usaha Pertanian Kakao
dilakukan pembeli terhadap kakao yang dibeli sehingga menimbulkan
keluhan dari petani.
Permasalahan yang sering dihadapai petani dalam pemasaran
adalah tidak menentunya harga (fluktuasi harga), yang kemudian akan
menyebabkan pendapatan petani tidak menentu. Selain itu, sistem
pembayaran dan jual beli kakao petani menggunakan sistem bayar
tunai dan bukan sistem ijon. Sistem ijon adalah sistem bukingan harga
berdasarkan kesepakatan bersama, yang dilakukan antara petani dan
pembeli dalam rentang waktu tertentu sebelum kakao sampai ke
tangan pembeli. Sebagai contoh, harga untuk kakao petani sudah
ditetapkan untuk empat hari kedepan, ketika harga kakao hari
kesepakatan (hari pertama) Rp. 20.000 per kg maka harga pada saat
penjualan kakao pada hari ke empat adalah Rp. 20.000 per kg walaupun
harga pada hari ke empat sudah naik menjadi Rp. 23.000 per kg.
Harga pada komoditi kakao sering berubah-ubah bahkan dalam
satu minggu dapat terjadi dua kali perubahan harga. Untuk itu,
informasi harga untuk petani sangat diperlukan. Kenyataan di lapangan
bahwa 50% petani responden tidak mengetahui informasi harga
minimal harga pedagang tingkat kabupaten. Informasi dan selisih harga
yang diperoleh petani lainya hanya berasal dari sesama petani dan dari
pengumpul lokal.
Tabel 6.
Harga Komoditi Kakao Bulan September 2011 di Kabupaten Morowali
No
Komoditi
1.
Kakao
Harga bulan September 2011
Satuan
Kg
Minggu I
Minggu I I
Minggu I I
Minggu I V
17.000
18.000
19.000
19.000
Sumber: Dinas Perkebunan Kabupaten Morowali, 2011
Dari Tabel 6 dapat dilihat bahwa harga kakao di tingkat
kabupaten pada bulan September mengalami tiga kali perubahan.
W alaupun dari minggu pertama sampai minggu kelima ada
peningkatan harga dari Rp. 17.000 menjadi Rp. 19.000, namun harga di
tingkat petani pada waktu penelitian yaitu pertengahan bulan
Desember sampai awal Januari mengalami penurunan sampai pada
61
Dinamika Usaha Pertanian Kakao
level Rp. 11.000 – Rp. 14.000 per kg. Harga pada bulan ini menurut
petani adalah harga terendah yang pernah mereka peroleh selama
penjualan komoditi kakao.
Pendapatan
Hasil dari usaha pertanian perkebunan kakao adalah biji kakao
kering, yang kemudian dijual untuk memperoleh uang atau pendapatan
yang akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok dan sebagai
sumber dana operasional pengolahan perkebunan kakao selanjutnya.
Sumber pendapatan terbesar petani responden adalah dari hasil
perkebunan kakao. Selain perkebunan kakao, untuk memenuhi
kebutuhan pangan, sebanyak 73,33% petani responden memiliki usaha
pertanian lain seperti menanam palawija, padi ladang, padi sawah dan
jagung.
Harga-harga sarana produksi yang telah dijelaskan sebelumnya
tentunya akan mempengaruhi pengeluaran dan pendapatan petani.
Dari hasil perhitungan diperoleh total pengeluaran rata-rata petani
responden baik pembelian pupuk, pestisida dan pengeluaran upah
tenaga kerja dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7.
Rata-Rata Pengeluaran Usaha Perkebunan Kakao Petani Desa Peleru
Per Tahun
No.
1
2
3
4
Pengeluaran
Pupuk
Pestisida
Upah Tenaga Kerja
Lain-Lain
Total
Sumber: Data Primer, 2012
Jumlah per tahun (Rp)
943.300
2.101.500
6.040.000
518.000
9.056.133
Dengan harga pupuk urea Rp. 100.000 per 50 kg ditambah
dengan pengeluaran pupuk jenis lainnya dengan penggunaan rata-rata
208 kg per ha pupuk urea per tahun, maka total pengeluaran pupuk
adalah Rp. 943.300 per tahun. Sedangkan hasil perhitungan dengan
62
SIstem Usaha Pertanian Kakao
jenis dan harga pestisida yang bervariasi (Tabel 3.) maka rata-rata
pengeluaran pestisida Rp. 2.101.500 per tahun. Pengeluaran terbesar
petani dalam produksi perkebunan kakao adalah pengeluaran upah
tenaga kerja. Rata-rata pengeluaran petani responden pada upah tenaga
kerja mulai dari penyemprotan sampai pada pemetikan adalah Rp.
6.040.000 per tahun. Lain-lain pengeluaran berasal dari sewa angkutan
kakao basah yang baru dipanen dari kebun menuju rumah petani dan
hal ini hanya dilakukan oleh beberapa petani dengan upah Rp. 15.000 –
Rp. 25.000 per karung (tergantung jarak kebun ke rumah petani)
dengan skala angkutan 5-10 karung kakao basah, maka rata-rata
pengeluaran petani Rp. 518.000 per tahun. Dengan demikian rata-rata
pengeluaran sarana produksi dan upah tenaga kerja adalah Rp.
9.056.133 per tahun.
Dari total biaya produksi pada Tabel 7. maka diperoleh hasil ratarata produksi komoditi kakao kering 1,6 ton per tahun. Selain karena
faktor fluktuasi harga, perbedaan waktu penjualan, perbedaan kualitas
biji kakao membuat pendapatan petani tidak menentu dan berbedabeda antara petani satu dengan yang lainnya. Pada Tabel 8 dapat dilihat
perhitungan pendapatan rata-rata, pendapatan perkapita petani
responden dengan menggunakan kisaran harga saat penelitian di
tingkat petani.
Tabel 8.
Perhitungan Pendapatan Rata-rata Petani Kakao Desa Peleru
dan Pendapatan Perkapita Berdasarkan Variasi Harga Kakao
No.
Variasi harga
Harga
(Rp)
Harga kakao
12.767
saat penelitian
Sumber: Data Primer, 2012
1.
Pendapatan
kotor/tahun
(Rp)
20.430.922
Pendapatan
bersih/tahun
(Rp)
Pendapatan
perkapita/tahun
(Rp)
11.347.789
2.967.336
Kisaran harga kakao saat penelitian di tingkat petani dengan
rata-rata Rp. 12.767 per kg (Tabel 8.) dijadikan sebagai patokan untuk
melihat atau memperkirakan pendapatan petani kakao per tahun.
Dengan harga tersebut diperoleh rata-rata pendapatan bersih petani
sebesar Rp. 11.347.789 per tahun. Sedangkan untuk pendapatan
63
Dinamika Usaha Pertanian Kakao
perkapita petani yang diperoleh dari total pendapatan bersih dibagi
dengan total anggota keluarga responden maka diperoleh pendapatan
perkapita Rp. 2.967.336 per tahun.
Apabila dibandingkan dengan PDRB perkapita Kabupaten
M orowali atas dasar harga berlaku tahun 2011 sebesar Rp. 21.846.250
(dengan migas) dan Rp. 17.343.642 (tanpa migas), maka pendapatan
perkapita petani kakao Desa Peleru dengan rata-rata harga kakao Rp.
12.767 per kg, sangat rendah yaitu hanya Rp. 2.967.336 per tahun atau
13,58% dan 17,11% dari besar PDRB perkapita kabupaten. Demikian
juga saat dilihat dari garis kemiskinan Kabupaten M orowali tahun 2010
yaitu Rp. 248.568 per bulan (Statistik Daerah Kabupaten M orowali,
BPS Kabupaten M orowali 2011), pengeluaran perkapita per bulan
petani Desa Peleru berada sedikit lebih rendah di bawah garis
kemiskinan yaitu Rp. 247.278 (pendapatan perkapita petani dibahagi 12
bulan). Kondisi ini tentunya sangat memprihatinkan karena
menunjukkan indikasi kemiskinan pada petani kakao. Dengan melihat
hasil perhitungan dan perbandingan tersebut, maka diperlukan usaha
yang lebih keras lagi dalam hal pengembangan, peningkatan produksi
pertanian dari petani sebagai pelaku usaha perkebunan dan pemerintah
sebagai pengambil kebijakan melalui berbagai program budidaya
tanaman kakao serta penetapan harga yang wajar untuk dapat
mendorong peningkatan produksi, pendapatan dan kesejahteraan
petani kakao.
Pendapatan dari hasil penjualan biji kakao digunakan petani
untuk modal produksi selajutnya, memenuhi kebutuhan sehari-hari
dan sebagai sumber pembiayaan bagi sekolah anak. W alaupun kakao
merupakan komoditi unggulan dan memiliki kedudukan sebagai
produksi ketiga terbesar di tingkat nasional setelah kelapa sawit dan
karet, jika dilihat secara keseluruhan dari hasil pengamatan dan
perhitungan menunjukkan bahwa sumbangan atau pendapatan dari
perkebunan kakao, belum dapat mengangkat dan meningkatkan
kesejahteraan petani kakao.
64
SIstem Usaha Pertanian Kakao
Sistem Usaha Pertanian Non Kakao
Pertanian Kelapa Sawit2
Kelapa sawit (Elaeis Guineensis Jack) merupakan tanaman yang
berasal dari afrika. Dalam bahasa inggris tanaman kelapa sawit dikenal
dengan nama oil palm. Status tanaman kelapa sawit di Indonesia
sendiri merupakan tanaman pendatang. Di Indonesia tanaman ini
mulai dikenal sejak sebelum perang dunia II (Roosita et al, 2007:1).
M enurut warta ekspor Kementerian Perdagangan Republik Indonesia
edisi Juni 2011 yang ditulis oleh Suprayogo (2011:4), di Indonesia,
kelapa sawit diperkenalkan pertama kali oleh Kebun Raya pada tahun
1884 dari M auritus (Afrika). Rupanya hasil dari perkenalan ini
berkembang dan merupakan induk dari perkebunan kelapa sawit di
Asia Tenggara. Pohon induk mati pada 15 oktober 1989, namun
generasinya bisa dilihat di kebun raya Bogor. Di Indonesia sendiri
kelapa sawit baru diusahakan sebagai komoditi komersial pada tahun
1912 dan ekspor minyak sawit pertama dilakukan pada tahun 1991.
Untuk perkebunannya, pertama kali dibangun di tanah hitam, Hulu
Sumatera Utara oleh Schadt yang berkebangsaan Jerman pada tahun
1911.
Bentuk tanaman kelapa sawit serupa dengan pohon kelapa,
bunga dan buahnya berupa tandan serta bercabang banyak. Satu tandan
terdiri dari buah-buah yang kecil dan apabila sudah masak akan
berwarna merah kehitaman. Daging dari buah tersebut padat
mengandung banyak minyak demikian juga dengan kulitnya. Tinggi
pohon kelapa sawit dapat mencapai 24 meter. Perkembang biakan
kelapa sawit adalah dengan biji dan dapat tumbuh subur di daerah
tropis. Tanaman ini mulai berbuah sekitar umur 5 sampai 6 tahun,
tetapi ada jenis kelapa sawit hasil persilangan yang dapat berbuah
setelah berumur 36 bulan atau sekitar 3 tahun saja. Kelapa sawit bisa
menghasilkan buah sampai pada umur 60 tahun dan hasil buah per
pohon setiap panen bisa mencapai 50 – 60 kg (Roosita et al, 2007:2).
2Bagian dari tugas akhir mata kuliah Analisis Sumber daya Alam dan Lingkungan yang
berjudul “Perkembangan Perkebunan Kelapa Sawit di Propinsi Sulawesi Tengah dan
Dampak Terhadap Pembangunan”, oleh Guampe (Tahun 2013), tidak dipublikasikan .
65
Dinamika Usaha Pertanian Kakao
Tanaman kelapa sawit dapat kita jumpai di hampir semua
wilayah di Indonesia khususnya di pulau-pulau besar mulai dari
Sumatra, Kalimantan Sulawesi, Jawa dan Papua. W ilayah Indonesia
yang beriklim tropis memungkinkan untuk tanaman ini dapat tumbuh
dan berkembang dengan baik. Parameter kesesuaian lingkungan untuk
pertumbuhan kelapa sawit seperti yang dipaparkan oleh (Roosita et al,
2007:6) diantaranya: curah hujan 1.750-1.500 mm per tahun, bulan
kering 1-3 bulan per tahun, pH tanah 4-6.5, ketinggian 0-400 meter
dari permukaan laut, tingkat kemiringan tanah maksimal 30 %, dan
tekstur tanahnya berupa lempung debu, lempung liat berpasir atau
berdebu, atau lempung liat.
Untuk sebuah perkebuanan kelapa sawit ada beberapa tahap
yang harus dilalui menurut Roosita et al (2007). Tahapan atau langkah
tersebut adalah:
1.
Persiapan; yaitu dengan melakukan studi kelayakan untuk
menentukan lokasi yang akan dijadikan sebuah perkebunan
sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan kelapa sawit selanjutnya
perencanaan luas kebun dan tata ruang seperti kesesuaian lahan
dengan kapasitas pabrik, areal pembibitan, jaringan jalan,
jembatan, bangunan konservasi tata air atau drainase, komplek
perkantoran dan perumahan, pabrik, dan lain-lain. Tata ruang ini
dibagi dalam beberapa unit manajemen dan terdiri dari beberapa
blok agar mempermudah pengawasan, perawatan dan
mengaturan panen.
2.
Pembukaan lahan; dilakukan dengan tata cara yang benar yaitu
tanpa pembakaran lahan demi menghindari masalah polusi dan
kebakaran hutan. Selain itu, dilakukan juga konservasi lahan dan
air untuk menghindari longsor, erosi dan mencegah banjir serta
tetap menjaga ketersediaan air.
3.
Pembibitan; berkaitan dengan pemilihan lokasi untuk
pembibitan yang biasanya sekitar 1-1,5% dari luas kebun yang
telah ditentukan saat perencanaan dan karakteristik lokasinya
dengan topografi rata, sumber airnya dekat, dekat areal
penanaman, bebas banjir, akses jalan yang baik, bebas gangguan
66
SIstem Usaha Pertanian Kakao
manusia dan binatang. Salah satu alasan mengapa pembibitan
harus dekat dengan sumber air karena pembibitan memerlukan
banyak air agar bibit tanaman yang baru tumbuh tanahnya
tetap lembab dan menjaga tanaman dari sinar matahari langsung
dengan menyediakan naungan. Penyemprotan dan pemupukan
dilakukan setelah tanaman sudah mulai tumbuh untuk mencegah
perkembangan hama dan dilakukan sekali dalam seminggu.
4.
Penanaman; pada tahap ini, yang dilakukan pertama adalah
persiapan penanaman dengan membuat petak-petak barisan di
tempat akan menanaman tanaman. Proses ini biasa disebut
dengan kegiatan mengajir atau memancang. Sebelumnya dibuat
blok-blok serta jalan rintisan dan setiap blok memiliki luas
sekitar 400 m x 400 m atau lebih. Untuk kepadatan tanaman
sekitar 130 tanaman per ha dengan jarak tanam 9,5 m x 9,5 m
dengan sistem segitiga. Kedua, pembuatan lubang tanam yang
dilakukan dua minggu sebelum penanaman. Lubang ini biasanya
berukuran 40 cm x 40 cm x 40 cm. Tanaman harus bebas gulma
atau tanaman pengganggu pada radius 1,5 m. Ketiga, penanaman
sedapat mungkin dilakukan pada musim hujan agar tanaman
memiliki ketersediaan air yang cukup. Penanaman bibit
dilakukan oleh 3 orang yaitu untuk membuat lubang, membawa
kecamba dan menutup lubang. Keempat, pemeliharaan yang
terbagi dalam dua bagian yaitu pemeliharaan tanaman belum
menghasilkan (TBM ). Tanaman ini adalah tanaman yang baru
ditanam dari bibit sampai berumur 30-36 bulan. Selama masa
TBM, ada beberapa pekerjaan yang harus dilakukan yaitu
konsolidasi tanaman dengan selalu menjaga tanaman agar tidak
goyah dan tetap berdiri tegak, penyisipan tanaman yang mati
atau kurang subur, pemeliharaan penutup tanah, pemupukan,
pengendalian hama dan penyakit, persiapan sarana panen dan
pemeliharaan jalan dan parit drainase. Saat pemeliharaan TBM,
biasanya dilakukan juga seleksi tanaman untuk memilih tanaman
yang berkualitas baik. Bagian selanjutnya adalah Pemeliharaan
Tanaman M enghasilkan (TM ). Tanaman kelapa sawit mulai
berbunga pada umur 12-14 bulan. Secara ekonomis panen yang
67
Dinamika Usaha Pertanian Kakao
menguntungkan baru pada saat tanaman berumur 2,5 tahun.
Pemeliharaan yang baik akan membuat produksi kelapa sawit
optimal. Pemeliharaan TM meliputi pengendalian tanaman liar
yang mengganggu (gulma), pemangkasan pelepah, pengendalian
hama dan penyakit, pemupukan, dan pemeliharaan jalan
rintisan.
5.
Panen; tanaman kelapa sawit sudah dapat berbuah produktif
setelah umur 3 tahun. Puncak produksi terbaiknya adalah setelah
umur 5 tahun. Saat itu, jumlah tandan yang dapat dipanen sudah
mencapai lebih dari 60%, atau rata-rata berat tandan sudah lebih
dari 3 kilogram. Pengangkutan tandan buah segar (TBS) menuju
pabrik biasanya menggunakan truk. Untuk menghasilkan
persentase perolehan minyak (rendemen) yang baik, buah segar
yang baru dipetik harus segera dikirim ke pabrik. Oleh karena
itu, kegiatan pengiriman buah segar dari kebun ke pabrik
dilakukan siang dan malam. Pada umur 5 tahun, pohon kelapa
sawit dapat berbuah sepanjang tahun.
Usaha Pertanian Karet3
Tanaman karet berasal dari Amerika selatan yang wilayahnya
beriklim tropis seperti Bazil. Karena Indonesia juga merupakan negara
yang beriklim tropis, maka tanaman karet dapat tumbuh dan
dikembangbiakan di negara ini (Damanik et al, 2010:1). Tanaman karet
mulai dikenal di Indonesia sejak jaman penjajahan kolonial Belanda
dan bahkan terus berkembang di hampir seluruh daerah di Indonesia
sampai sekarang (Janudianto et al, 2013:1). Tanaman karet (Hevea
brasiliensis) sendiri merupakan keluarga dari Euphorbiacea, atau juga
disebut dengan rambung, getah, gota, kejai ataupun hapea. Di
Indonesia karet merupakan salah satu komoditi andalan di sektor
perkebunan selain komoditi kelapa sawit dan karet (Damanik et al,
2010:1).
3
revieu literature
68
SIstem Usaha Pertanian Kakao
M enurut Damanik et al (2010) dalam tulisan mereka mengenai
“Budidaya dan Pasca Panen Karet”, ada beberapa persyaratan
t
SISTEM USAHA PERTANIAN KAKAO1
Pada bagian ini peneliti menyertakan hasil penelitian awal
mengenai “Produksi, Pemasaran dan Pendapatan Petani Kakao: Studi di
Desa Peleru Kecamatan M ori Utara Kabupaten M orowali Provinsi
Sulawesi Tengah” (tahun 2011-2012), hal ini bertujuan untuk
mengantar pembaca mengetahui bagaimana sistem pengolahan
perkebunan kakao.
Produksi
Dalam mewujudkan visi Kabupaten M orowali sebagai kabupaten
Si’e 2012 (lumbung pangan) maka diperlukan keberhasilan dari
program-program pembangunan yang diadakan oleh pemerintah pada
sektor pertanian. Sektor pertanian memiliki beberapa sub sektor
diantaranya sub sektor perkebunan. Di dalam sub sektor perkebunan
itu sendiri, masih terbagi lagi dalam berbagai komoditi, diantaranya
kelapa, kelapa sawit, karet, kakao, kopi, cengkeh dan lain-lain.
Salah satu komoditi perkebunan unggulan Kabupaten M orowali
adalah kakao. Hal ini dapat dilihat dari Tabel 1. dimana keempatbelas
kecamatan yang berada di Kabupaten M orowali semuanya memiliki
perkebunan kakao yang dikelola oleh masyarakat atau perkebunan
rakyat. Rata-rata kecamatan di Kabupaten M orowali pada tahun 2010
memiliki perkebunan kakao seluas 1.169 ha dengan produksi 457,59
ton. Setiap kecamatan memiliki luas perkebunan kakao yang berbedabeda, demikian juga dengan hasil produksi dan produktivitasnya.
1
Merupakan hasil panelitian dan tulisan Skripsi saya dengan judul “Produksi,
Pemasaran dan Pendapatan Petani Kakao: Studi di Desa Peleru Kecamatan Mori Utara
Kabupaten Morowali Propinsi Sulawesi Tengah” (tahun 2011-2012).
43
Dinamika Usaha Pertanian Kakao
Banyak hal yang dapat mempengaruhi produksi dan produktivitas dari
perkebunan kakao tersebut diantaranya perbedaan tingkat kesuburan
tanah, perbedaan umur tanaman kakao (belum menghasilkan,
menghasilkan dan tidak menghasilkan atau rusak), serangan hama dan
iklim. Perkebunan kakao terluas bereda di Kecamatan Bungku Tengah
yaitu 2.008 ha atau 13,22% dari total luas perkebunan kakao M orowali
tahun 2010. Kecamatan yang memiliki luas perkebunan kakao paling
sedikit adalah Kecamatan M enui Kepulauan yaitu 159 ha atau hanya
1,05% dari luas perkebunan kakao Kabupaten M orowali. Produksi
terbesar pada tahun 2010 berasal dari Kecamatan Petasia sebesar 821,80
Ton atau menyumbang 13,81% total produksi kakao Kabupaten
M orowali, berikut Kecamatan Bungku Selatan dengan produksi 672,80
ton (11,31%). Kecamatan yang kontribusinya paling sedikit adalah
Kecamatan M amosalato (0,34%) dan M enui Kepulauan (0,32%).
Tabel 1.
Luas Areal, Produksi dan Produktivitas Tanaman Perkebunan Kakao
Kabupaten Morowali Menurut Kecamatan Tahun 2010
No.
Kecamatan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Luas (ha)
Produksi
kakao kering
(Ton)
19
672,8
340
639
360
559,8
366,6
617,4
596
…….
821,8
501,2
435
20,1
5948,7
457,59
Menui Kepulauan
159
Bungku Selatan
1.043
Bahodopi
1.191
Bungku Tengah
2.008
Bungku Barat
1.011
Bumi Raya
1.265
W itaponda
867
Lembo
1.788
Mori Atas
1.925
Mori Utara(*)
……
Petasia
1.901
Soyo Jaya
1.269
Bungku Utara
408
Mamosalato
357
Total
15192
rata-rata kecamatan
1169
Sumber : Morowali dalam Angka Tahun 2011
Catatan *) : Data masih gabung dengan kecamatan induknya (Mori Atas)
44
Produktivitas
(Kg/ha)
119,5
645,06
285,47
318,23
356,08
442,53
422,84
345,3
309,61
……..
432,3
394,96
1066,18
56,02
5194,36
391,57
SIstem Usaha Pertanian Kakao
Produktivitas perkebunan kakao di tingkat kecamatan pada
tahun 2010 cukup bervariasi dengan rata-rata 391,57 kg per ha.
W alaupun satu Kecamatan memiliki perkebunan kakao yang lebih luas,
tetapi jika dibandingkan dengan Kecamatan lain produktivitas
kecamatan tersebut justru lebih rendah seperti Kecamatan Bungku
Utara yang luas perkebunannya mencapai 2.008 ha, tingkat
produktivitasnya hanya 318,23 kg per ha. Demikian juga dengan
Kecamatan M ori Atas yang produktivitasnya hanya 309,61 kg per ha
dengan luas areal perkebunan 1.925 ha. Lain halnya dengan Kecamatan
Bungku Selatan yang memiliki luas perkebunan 1.043 ha atau hampir
seribu hektar lebih sedikit dari Kecamatan Bungku Utara dan M ori
Atas justru produktivitasnya dua kali lebih besar dari kedua kecamatan
tersebut yakni 645,06 kg per ha. Dari semua kecamatan yang ada di
Kabupaten M orowali, kecamatan yang memiliki produktivitas
perkebunan kakao paling tinggi adalah Kecamatan Bungku Utara yaitu
1.066,18 kg per ha dengan lahan perkebunan hanya 408 ha. Sedangkan
kecamatan dengan produktivitas perkebunan kakao terendah adalah
kecamatan M amosalato dengan luas perkebunan 357 ha dan
produktivitasnya hanya 56,02 kg per ha. Secara keseluruhan pada
tahun 2010, produktivitas perkebunan kakao Kabupaten M orowali
yang rata-rata 391,57 kg per ha masih lebih rendah jika dibandingkan
dengan produktivitas perkebunan kakao Sulawesi Tengah yaitu 832,51
kg per ha.
Produksi atau hasil dari suatu usaha pertanian dalam hal ini
produksi komoditi kakao, akan dijadikan sebagai suatu patokan apakah
komoditi kakao memiliki potensi untuk diusahakan dan dikembangkan
sebagai komoditi unggulan di Kabupaten M orowali. Secara keseluruhan
luas dan produksi perkebunan kakao Kabupaten M orowali dari tahun
2007- 2010 dapat dilihat pada Tabel 2.
45
Dinamika Usaha Pertanian Kakao
Tabel 2.
Luas, Produksi dan Produktivitas Tanaman Perkebunan Kakao
Kabupaten Morowali Tahun 2007-2010
Tahun
Luas (ha)
Produksi Biji Kakao
Kering (ton)
2007
11.742
5489.09
2008
11.810
5535.16
2009
13.840
6383.79
2010
15.192
5948.70
Rata-rata
13.146
5,839.16
Sumber: Morowali dalam Angka Tahun 2011
Produktivitas
(Kg/ha)
467.47
468.68
461.26
391.56
447.25
Dari tahun ke tahun luas perkebunan kakao di Kabupaten
M orowali terus mengalami peningkatan dengan rata-rata produksi
5.839,16 ton per tahun. Dengan bertambahnya luas perkebunan kakao
tersebut, maka diharapkan produksi dan produktivitasnya akan ikut
meningkat. Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa pada tahun 2010 produksi
dan produktivitas kakao mengalami sedikit penurunan. Namun tahun
sebelumnya yaitu tahun 2007-2009 produksi kakao terus meningkat.
Pada tahun 2009 produksi kakao mengalami peningkatan sebesar
848,67 ton atau meningkat 13,29% dari tahun 2008. Jika dilihat dari
produktivitas, tahun 2007-2010 produktivitas perkebunan kakao
cenderung stabil dengan rata-rata 447.25 kg per ha. Apabila
dibandingkan dengan produktivitas kakao Sulawesi Tengah dengan
rata-rata 696,62 kg per ha, produktivitas perkebunan kakao Kabupaten
M orowali masih rendah. Namun demikian Tabel 2. dapat memberikan
gambaran bahwa luas dan produksi kakao di Kabupaten M orowali
trennya terus meningkat dan memiliki potensi untuk terus
dikembangkan sebagai salah satu komoditi unggulan, dan diharapkan
menjadi sumber pendapatan dan membuka lapangan pekerjaan bagi
masyarakat.
Usaha Perkebunan Kakao di Desa Peleru
Kecamatan penghasil kakao di Kabupaten M orowali diantaranya
adalah Kecamatan M ori Utara. Luas perkebunan kakao di Kecamatan
46
SIstem Usaha Pertanian Kakao
M ori Utara yang tersebar di delapan desa pada tahun 2011 mencapai
589,75 ha dengan produktivitas lebih tinggi dari rata-rata kabupaten
dan Provinsi yaitu 800 kg per ha atau sama dengan 471,8 ton per tahun
(BPK Kecamatan M ori Utara). Selanjutnya, dari data BPK Kecamatan
M ori Utara, luas perkebunan kakao terbesar berada di Desa Peleru
yaitu 570,4 ha atau 96,7% dari luas perkebunan kakao di Kecamatan
M ori Utara.
Tanaman kakao memiliki habitat di lingkungan hutan tropis,
tanah yang lembab dengan naungan yang cukup. Kakao akan
berproduksi secara maksimal apabila di lingkungan atau iklim yang
tepat seperti cukupnya ketersediaan air dan hujan yang relatif merata
disepanjang tahun. Desa Peleru memiliki potensi dan iklim yang cocok
untuk pertumbuhan tanaman kakao. Sebagian besar pekebunan kakao
petani berada di lembah sepanjang sungai Kuse. Kondisi tanah yang
lembab dan ketersediaan air yang cukup membuat lokasi ini sangat
cocok untuk perkebunan kakao.
Sebagian besar penduduk Desa Peleru memiliki lahan dan mata
pencaharian sebagai petani kakao. Inilah yang membuat Desa Paleru
menjadi salah satu kantong penghasil komoditi kakao di Kecamatan
M ori Utara. Keseharian petani dijalani dengan mengolah dan
memelihara perkebunan kakao yang merupakan lapangan pekerjaan
dan sumber pendapatan terbesar petani. Dari 30 responden, rata–rata
petani di Desa Peleru memiliki luas perkebunan kakao ≤ 2 ha (86.67%)
dengan lama bertani rata-rata 10-20 tahun (70%). Budidaya,
pemeliharaan dan produksi tanaman kakao yang dilakukan oleh petani
berskala perkebunan rakyat di Desa Peleru dapat dijabarkan sebagai
berikut:
1.
Penanaman
Sebelum dilakukan penanaman tentunya yang terpenting
adalah ketersediaan bibit dan lahan dengan luas tertentu yang
sudah siap untuk ditanami. Biji kakao yang dijadikan sebagai
bibit adalah biji kakao yang berasal dari buah terpilih dari pohon
kakao yang telah ada sebelumnya. Sebelum ditanam, terlebih
dahulu dilakukan pembibitan, baik menggunakan polibek
47
Dinamika Usaha Pertanian Kakao
berukuran kecil maupun di lahan yang sudah disiapkan khusus
untuk pembibitan. Setelah bibit kakao berumur kurang lebih tiga
sampai enam bulan, bibit tersebut dipindahkan ke lahan
perkebunan dengan jarak tanam 3x3 meter. Petani melakukan
penanaman kakao secara berkala sesuai dengan ketersediaan bibit
dan luas lahan yang siap ditanami. Dari hasil wawancara
lapangan, hanya 23.33% petani responden yang mengetahui jenis
kakao yang mereka tanam yaitu jenis trinitario/hibrida
sedangkan 76.67% responden lainya menjawab tidak mengetahui
jenis kakao yang mereka tanam. Kakao yang ditanam petani
jenisnya sudah bercampur, hal ini terjadi karena bibit yang
digunakan adalah bibit lokal yang berasal dari pohon kakao yang
ditanam sebelumnya, baik dari kerabat sesama petani atau milik
petani itu sendiri.
2.
Pemupukan
Pemupukan
dilakukan
untuk
menyuburkan
dan
mengembalikan unsur hara pada tanah sehingga meningkatkan
dan merangsang pertumbuhan tanaman kakao baik batang, daun
dan buah. Umur tanaman kakao petani responden Desa Peleru
yang berumur ≤ 10 tahun sebesar 16.67% dan 76.67% berumur
10-20 tahun sedangkan umur diatas duapuluh tahun hanya
6,67%. Umur tanaman kakao ini merupakan umur produktif
sehingga penggunaan pupuk sangat diperlukan untuk
meningkatkan produktivitasnya. Jenis pupuk yang digunakan
petani adalah pupuk urea dan beberapa pupuk lainya seperti TSP,
KCL dan NPK. Skala penggunaan pupuk urea lebih besar
daripada pupuk lainya dan terkadang pula petani mencampur
jenis tersebut dengan pupuk urea. Pemupukan dilakukan satu
kali dalam setahun dengan rata-rata penggunaan pupuk urea
sebanyak 208 kg per ha.
3.
Penyemprotan
Penyemprotan dilakukan untuk mengatasi dan membasmi
hama serta penyakit yang menyerang tanaman kakao. Dari tahun
ke tahun hama dan busuk buah ditambah dengan iklim yang
48
SIstem Usaha Pertanian Kakao
tidak menentu semakin membuat resah para petani. Berbagai
jenis hama pengganggu pada pertumbuhan dan pada produksi
kakao adalah hama PBK (penggerek buah kakao), penggerek
daun, dan batang. M asalah lain adalah timbulnya penyakit seperti
hitam buah yang diakibatkan curah hujan yang terlalu tinggi,
mati pucuk dan serangan jamur batang yang dapat menyebabkan
matinya pohon kakao. Berbagai upaya dilakukan oleh para petani
untuk mengatasi hal tersebut khususnya pada serangan hama.
Pemberantasan
hama
dilakukan
dengan
melakukan
penyemprotan pestisida. Rata-rata petani atau 96.67% petani
responden melakukan penyemprotan dua kali dalam sebulan.
Janis pestisida yang digunakan petani cukup bervariasi seperti
Vigor, Unisait, Nordoks, Akodag, Sidametrin, Capture, Kloromit,
Topplus dan lain-lain. Dalam satu kali penyemprotan petani
mencampurkan 2-3 jenis pestisida dengan skala 1/2-1 liter setiap
jenis pestisida, sehingga total penggunaan pestisida dalam satu
kali penyemprotan berkisar 1-2 liter. Karena kebutuhan tanaman
akan pupuk cukup tinggi dan juga tujuan untuk meningkatkan
produksi maka terkadang dalam penyemprotan hama, petani juga
mencampurkan pestisida dengan pupuk cair perangsang
pertumbuhan daun dan buah seperti Ronsaid dan Agrodite.
4.
Penyiangan
Penyiangan diperlukan untuk menjaga lahan perkebunan
tetap bersih dan bebas dari gulma atau rumput yang akan
mengganggu pertumbuhan kakao seperti akan terbaginya
makanan dengan rumput liar. Pada saat kakao menghasilkan
buah, penyiangan dilakukan untuk menghindari hama tikus dan
pemakan buah lainnya. Seiring dengan kemajuan teknologi, jika
dahulu penyiangan dilakukan dengan arit, tenaga kerja dan
waktu yang panjang, maka sekarang dengan alat-alat pertanian
modern seperti mesin pemangkas dan herbisida yang digunakan
dengan tangki penyemprot, sangat membantu petani untuk
mengusahakan lahan pertanian secara efisien.
49
Dinamika Usaha Pertanian Kakao
5.
Pemangkasan
W alaupun pada awal penanaman tanaman kakao harus
memiliki naungan (pelindung), tetapi setelah pohon itu
bertumbuh besar dan lebat maka tanaman pelindung tersebut
tahap demi tahap harus dikurangi. Seiring dengan hal itu,
kerimbunan dari daun atau cabang kakao harus diatur dengan
pemangkasan cabang yang terlalu rimbun dan tunas air yang
dianggap mengganggu pertumbuhan kakao. Pemangkasan
dilakukan agar tanaman mendapatkan intensitas cahaya yang
cukup secara keseluruhan sehingga dapat menghasilkan buah
atau berproduksi secara maksimal.
6.
Panen
Buah kakao memiliki warna yang cukup beragam. W arna
kakao yang pada waktu muda berwarna hijau, setelah masak akan
berwarna kuning. Sedangkan jenis lain, yang awalnya berwarna
merah setelah masak akan berwarna oranye. Apabila buah
tersebut sudah masak maka petani melakukan pemetikan buah
(panen). Buah kakao yang telah dipetik tersebut akan
dikumpulkan di salah satu tempat (biasanya ditumpuk dipinggir
kebun) kemudian dilakukan pemeraman buah maksimal satu
minggu agar kematangan buah kakao merata. Namun petani
responden tidak melakukan proses pemeraman buah tersebut,
akan tetapi langsung melakukan pemecahan buah. Pemecahan
buah dapat dilakukan menggunakan beberapa alat diantaranya
pisau, golok dan sepotong kayu yang bertujuan untuk
memisahkan biji dari kulit kakao, kemudian dimasukan kedalam
karung dan langsung diangkut ke rumah petani. Panen buah
kakao di Desa Peleru dilakukan dalam dua musim, petani
menyebutnya dengan musim panen raya dan panen antara
(panen semester). M usim panen raya dilakukan antara bulan
April sampai Juni sedangkan panen semester dilakukan antara
bulan Agustus sampai November. Intensitas panen raya pada
petani responden Desa Peleru ≥ 5 kali (60%) dan 3-4 kali (40%),
sedangkan untuk panen antara ≥ 5 kali (70%) dan 3-4 kali
50
SIstem Usaha Pertanian Kakao
(23,3%) dalam setahun. Rata–rata dalam bulan-bulan panen, baik
panen raya maupun panen semester adalah dua kali pemanenan
dalam sebulan (panen setiap dua minggu sekali). Dengan
intensitas dua kali panen dalam sebulan, maka panen raya petani
sebanyak 4-6 kali dan panen antara sebanyak 4-8 kali dalam satu
tahun. Perbedaan intensitas panen baik panen raya dan panen
semester antara responden tergantung dari produktivitas
perkebunan kakao masing-masing responden dan juga karena
dipengaruhi oleh cara pemeliharaan seperti pemberian pupuk,
pemangkasan, kebersihan lahan dan penyemprotan hama. Total
hasil produksi kakao kering rata-rata untuk panen raya dan
panen semester petani responden adalah 1,6 ton per tahun.
7.
Penjemuran
Setelah biji kakao yang sudah dipanen diangkut ke rumah
petani, kakao tersebut dibiarkan berada di dalam karung selama
2-3 hari dengan tujuan mengurangi kandungan air dari biji yang
basah, kemudian biji kakao dikeluarkan dari karung dan siap
dijemur. Tempat penjemuran yaitu di balai-balai yang terbuat
dari bambu, namun penjemuran ditempat ini sudah jarang
dilakukan petani karena petani lebih memilih menjemur di
daerah lapang halaman rumah dengan menggunakan karoro
(tikar atau jaring penjemuran). Lama penjemuran biji kakao
sampai kering yaitu 3-4 hari bahkan bisa lebih, tergantung pada
cuaca atau sinar matahari. Penjemuran juga dapat dilakukan
dengan menggunakan mesin khusus pengering biji kakao. Namun
sampai sekarang belum ada petani responden yang memiliki dan
menggunakan mesin pengering tersebut. Setelah biji kakao
kering, petani melakukan pengemasan di dalam karung goni dan
biji kakao siap untuk dijual.
Pengolahan komoditi kakao di Desa Peleru masih terbilang
sederhana serta kurang memperhatikan standar dan mutu yang baik.
Sistem pengolahan kakao petani masih sebatas panen, jemur sampai
dianggap kering lalu dijual. Sedangkan untuk menghasilkan komoditi
kakao yang berkualitas, diperlukan pengolahan yang lebih teliti.
51
Dinamika Usaha Pertanian Kakao
Beberapa proses pengolahan masih dilewatkan oleh para petani seperti
proses fermentasi atau pemeraman dengan tujuan melepas lendir-lendir
yang melekat pada biji dan menambah aroma khas biji kakao, belum
melakukan pencucian yang bertujuan untuk menghilangkan kotoran
dan lendir yang masih melekat pada biji, serta sortasi (membersikan
kotoran dan memisahkan biji yang baik dan yang kurang baik).
Usaha pertanian kakao tentunya berkaitan erat dengan sarana
produksi sebagai pendukung berjalannya usaha perkebunan tersebut.
Sarana produksi yang digunakan diantaranya pupuk, pestisida, dan alatalat pertanian. Pupuk dan pestisida diperoleh petani dari kelompok
tani, kios-kios lokal dan pasar kecamatan. Pupuk yang digunakan oleh
petani adalah pupuk urea dengan harga Rp. 100.000 per 50 kg (tahun
2011) dan beberapa pupuk lainnya seperti TSP, KCL dan NPK.
Sedangkan pestisida yang digunakan oleh petani cukup beragam dan
harganyapun bervariasi (Tabel 3.).
Tabel 3.
Jenis, Fungsi dan Harga Pestisida
No.
Pestisida
Fungsi
Untuk membasmi hama penggerek buah,
1
Vigor
batang dan daun pada tanaman kakao.
Untuk membasmi hama penggerek buah,
2
Unisait
batang dan daun pada tanaman kakao.
3
Nordoks
Mencegah jamur dan hitam buah kakao.
Untuk membasmi hama penggerek buah,
5
Akodan
batang dan daun pada tanaman kakao.
Mencegah serangan hama pengerek dan
6
Capture
mencegah busuk buah.
7
Kloromit
Untuk membasmi hama semut.
Untuk mencegah serangan Hama
8
Seprint
penggerek batang, daun dan buah kakao.
Untuk memberantas ulat atau hama
9
Sidametrin
penggerek tanaman kakao.
Sumber: Data Primer, 2012
Harga /botol (Rp)
75.000
75.000
125.000
85.000
75.000
130.000
50.000
30.000
Selain pupuk dan pestisida, sarana produksi yang juga digunakan
dalam pengolahan perkebunan kakao adalah alat-alat pertanian.
Sebagian besar petani kakao sudah menggunakan alat pertanian yang
52
SIstem Usaha Pertanian Kakao
moderen seperti mesin pemangkas, gunting buah dan lain-lain.
Beberapa alat pertanian yang digunakan oleh petani kakao di Desa
Peleru dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4.
Alat-Alat Pertanian Yang Digunakan Petani Serta Fungsinya di Lahan
Perkebunan Kakao
No.
1
Alat Pertanian
Arit
2
Cangkul
3
Gerobak Dorong
4
Golok (Parang)
7
8
Gerobak
menggunakan
tenaga sapi (roda)
Gunting
Buah/Daun/Ranting
Fungsi/ Kegunaan
Untuk penyiangan
Untuk penggali lubang dalam penanaman kakao serta
penggalian saluran air di lahan perkebunan.
Sebagai alat pengangkut buah kakao saat panen.
Untuk penyiangan dan digunakan pula untuk
memisahkan biji kakao dari kulitnya (Pemecahan
buah).
Sebagai alat transportasi petani ke lahan perkebunan
dan sebagai alat pengangkut biji kakao dari
perkebunan ke rumah petani.
Untuk memetik buah dan pemangkasan ranting kakao
9
Pemetik Buah
(Poncada)
Alat pertanian kakao mirip angka 7 yang
disambungkan pada sebatang bambu dengan panjang
tertentu. Berfungsi untuk pemetik buah dan alat
pemangkas dahan kakao.
10
Jaring Penjemuran
( Karoro)
Untuk menjemur biji kakao yang masih basah.
11
Terpal
12
Karung goni
11
Mesin Pemangkas
Rumput
13
Tangki Penyemprot
Untuk menjemur biji kakao yang sudah setengah
kering.
Untuk menyimpan biji kakao setelah dipanen serta biji
kakao yang sudah kering dan siap dijual.
Untuk alat pemangkas rumput di lahan perkebunan
kakao.
Untuk penyemprotan rumput dan juga hama pada
perkebunan kakao.
Sumber: Data Primer, 2012
Dalam proses produksi perkebunan Kakao, petani pemilik
perkebunan terkadang mengerjakan sendiri proses pengolahan karena
dipengaruhi beberapa faktor seperti keterbatasan biaya, lahan
pertanian yang tidak terlalu luas sehingga dapat dikerjakan sendiri oleh
53
Dinamika Usaha Pertanian Kakao
petani tersebut. Namun beberapa proses produksi, dibutuhkan tenaga
kerja seperti kegiatan penyemprotan, pemangkasan, pemupukan, panen
dan pengangkutan. Tenaga kerja tersebut berasal dari dalam keluarga
(anggota keluarga petani itu sendiri), tenaga kerja dari luar keluarga
(jasa tenaga kerja), dan tenaga kerja dari dalam dan luar keluarga.
Tabel 5.
Distribusi Responden Berdasarkan Penggunaan Tenaga Kerja Dalam Produksi
Perkebunan Kakao Petani Desa Peleru
Proses
Produksi
No.
Jumlah dan Presentase Responden
Hanya dari
dalam kel
jmlh
%
30
100
Hanya dari
luar kel
jmlh
%
-
-
Dari dalam
dan luar kel
jmlh
%
-
-
Total
jmlh
%
30
100
1
Penanaman
2
Pemupukan
13
43
9
30
8
27
30
100
3
Penyemprotan
13
43
8
27
9
30
30
100
4
Penyiangan
18
60
8
27
4
13
30
100
5
Pemangkasan
16
53
8
27
6
20
30
100
6
Panen
6
20
14
47
10
33
30
100
7
Pengangkutan
18
60
12
40
-
-
30
100
8
Penjemuran
30
100
-
-
-
-
30
100
Sumber: Data Primer, 2012
Sebagian besar masyarakat Desa Peleru adalah petani kakao,
sehinga selain kepala keluarga (bapak), ibu rumah tangga atau tenaga
kerja wanita juga ikut membantu dalam beberapa proses produksi
walaupun presentasenya sangat kecil. Proses yang menggunakan tenaga
kerja wanita adalah proses pemupukan yaitu 13% (masuk dalam data
tenaga kerja dari dalam keluarga Tabel 5.) dan dalam proses panen
sebanyak 23% responden menggunakan tenaga kerja wanita dari dalam
keluarga (ibu rumah tangga) dan 43% lainnya menggunakan tenaga
kerja dari luar keluarga.
Dari data primer yang diperoleh, rata-rata penggunaan tenaga
kerja dan jumlah hari kerja menurut jenis kelamin untuk proses
produksi kakao di Desa Peleru diuraikan sebagai berikut: 1)
Penanaman: Petani melakukan penanaman di lahan perkebunannya
dengan hari dan waktu kerja yang fleksibel atau berkala, hal ini
54
SIstem Usaha Pertanian Kakao
dilakukan sesuai ketersediaan lahan dan bibit yang siap ditanam. 2)
Pemupukan: Selain menggunakan dua orang tenaga kerja (ayah,ibu)
dari dalam keluarga dengan tiga hari kerja, jumlah tenaga kerja yang
dibutuhkan dari luar keluarga dalam satu kali pemupukan rata-rata dua
orang tenaga kerja dengan tiga hari kerja. 3) Penyemprotan: Rata-rata
penggunaan tenaga kerja pada proses penyemprotan yang berasal dari
luar keluarga adalah dua orang dengan dua hari kerja. Pada proses
penyemprotan ini, pemilik kebun ikut bekerja namun waktu kerjanya
lebih lama yaitu rata-rata tiga hari kerja. 4) Penyiangan: Untuk
penyiangan dengan luas lahan ≤ 2 hari kerja, petani menyewa rata-rata
dua orang tenaga kerja dari luar keluarga dengan empat hari kerja,
sedangkan petani responden lainya yang tidak menyewa tenaga kerja
menghabiskan waktu kerja selama satu minggu untuk proses
penyiangan. 5) Pemangkasan: Dalam pemangkasan, petani responden
menggunakan rata-rata dua orang tenaga kerja dari luar keluarga
dengan rata-rata enam hari kerja. Apabila petani hanya melakukan
pemangkasan dengan tenaga sendiri, maka jumlah hari kerja yang
dibutuhkan lebih panjang yakni sembilan hari kerja. 6) Panen: Proses
panen ini membutuhkan tenaga kerja yang lebih banyak dibandingkan
dengan proses-proses sebelumnya. Untuk satu kali panen, petani
menyewa rata-rata tiga orang tenaga kerja pria dari luar keluarga dan
tiga orang tenaga kerja wanita, ditambah dengan anggota dalam
keluarga petani itu sendiri dengan rata-rata tiga hari kerja per satu kali
panen. Dalam proses pemanenan buah kakao, tenaga kerja pria
bertugas untuk memetik buah sedangkan wanita sebagai tenaga
pemecah buah kakao. Namun tidak jarang tenaga kerja pria juga ikut
melakukan proses pemecahan buah. 7) Pengangkutan: Pada hari panen
pertama, kedua dan ketiga, biji kakao langsung diangkut sendiri oleh
petani pemilik perkebunan pada hari itu juga dengan menggunakan
gerobak atau sepeda motor atau oleh tenaga kerja pria dengan cara
dipikul (ndalembara). Selain itu, ada beberapa petani yang
menggunakan jasa pengangkutan gerobak dengan biaya Rp. 20.000 –
Rp. 25.000 per karung. Rata–rata petani responden maupun tenaga
kerja lainya mulai bekerja di perkebunan kakao dari pukul 08.00 -16.00
W ITA (8 jam per hari kerja). Upah rata-rata tenaga kerja baik upah
55
Dinamika Usaha Pertanian Kakao
penyemprotan, pemupukan, penyiangan dan panen adalah Rp. 40.000
per hari kerja.
Berbagai persoalan atau masalah yang sering dihadapi oleh para
petani dalam hal pengolahan dan produksi perkebunan kakao seperti
keterbatasan modal, sumber daya manusia (SDM ) dan serangan hama.
Usaha pertanian perkebunan kakao membutuhkan modal sebagai biaya
operasional produksi. Dengan modal yang cukup, petani dapat
membiayai keperluan usaha seperti pengadaan sarana produksi (alatalat pertanian, pupuk, pestisida, dan upah tenaga kerja). M odal yang
digunakan petani responden untuk membiayai operasional produksi
diperoleh dari hasil penjualan biji kakao. Terbatasnya akses modal oleh
petani baik dari lembaga keuangan bank dan lembaga pinjaman lainya
membuat petani harus membagi pendapatan dari hasil penjualan biji
kakao untuk kebutuhan pokok sehari-hari dengan biaya operasional
produksi. Keterbatasan akses modal ini, disebabkan oleh kurangnya
pengetahuan dan pemahaman petani mengenai akses peminjaman
modal di bank, sehingga petani enggan untuk meminjam modal. Saat
terjadi penurunan produksi bahkan saat gagal panen pada tanaman
kakao, petani membiayai operasional pertanian seadanya saja
(mengurangi pupuk dan jumlah pestisida), petani kadang menempuh
cara lain seperti mengutang sarana produksi pada pembeli (pengumpul
biji kakao) yang akan dilunasi setelah memperoleh hasil panen kakao.
Sumber daya manusia merupakan salah satu komponen penting
dalam pengolahan perkebunan yang baik. Pengetahuan dan informasi
yang diperoleh petani Desa Peleru mengenai pengolahan perkebunan
kakao masih sangat sedikit sehingga cara budidaya tanaman kakao yang
dipraktekan petani hanya berdasarkan pengalaman dan informasi dari
sesama petani dan dari pembeli kakao. Keterbatasan ini juga
dikarenakan masih kurangnya pelatihan, seminar-seminar dan
sosialisai pertanian yang diberikan oleh pemerintah atau instansi
terkait lainya. Belum maksimalnya kinerja Petugas Penyuluh Lapangan
(PPL) yang ditempatkan disetiap desa dalam memberikan
pendampingan bagi petani, khususnya petani kakao. Akibatnya petani
tidak dapat berbuat banyak selain mengandalkan pengetahuan dan
56
SIstem Usaha Pertanian Kakao
informasi terbatas yang mereka miliki dalam mengolah perkebunan
kakao tersebut.
Dalam pertanian kakao, masalah terbesar petani adalah serangan
hama. Serangan hama sangat merugikan petani karena akan
menyebabkan menurunnya hasil produksi. Hama yang menyerang
perkebunan petani diantaranya hama penggerek batang dan daun yang
menyebabkan daun dan batang kakao menjadi rusak dan bahkan mati.
Hama penggerek buah juga menjadi musuh terbesar petani, karena
akan menyebabkan busuk dan kangker buah sehingga produksi dapat
menurun drastis. Selain itu, jamur batang dan mati pucuk juga dapat
membuat pohon kakao akan perlahan-lahan mati. Cuaca yang tidak
menentu, seperti curah hujan yang terlalu tinggi membuat buah kakao
yang masih muda menjadi hitam dan akhirnya petani akan mengalami
gagal panen. Berbagai upaya dilakukan petani untuk mengatasi masalah
ini seperti melakukan pemangkasan pucuk yang telah mati, peremajaan
kembali, dan penyemprotan pestisida yang tetap dilakukan walaupun
dengan harga pestisida yang cukup mahal bagi petani.
Pemasaran
Setelah melalui proses produksi yang cukup panjang mulai dari
penanaman, pemeliharaan, pemetikan dan penjemuran, petani
memperoleh output atau hasil dari usaha pertanian tersebut berupa biji
kakao kering. Biji kakao kering dikemas dengan baik di dalam karung
goni kemudian siap untuk dijual. Sebanyak 93,33% petani responden
menggunakan sistem penjualan langsung ke rumah pembeli, sedangkan
hanya 6,66% saja yang didatangi oleh pembeli. Alat transportasi dan
angkutan yang digunakan oleh petani dalam penjualan kakao adalah
sepeda motor (66,7 %), gerobak yang ditarik oleh sapi (13,3 %),
sedangkan sisanya menggunakan mobil dan tenaga manusia (dipikul).
Ada beberapa jenis pedagang kakao diantaranya pengumpul
(tengkulak), kelompok tani, pedagang antar kecamatan, pedagang antar
kabupaten, dan pedagang antar pulau (eksportir antar pulau).
Pengumpul adalah pedagang yang langsung membeli kakao di rumah57
Dinamika Usaha Pertanian Kakao
rumah petani dan kemudian kembali menjualnya kepada pengumpul
tingkat kecamatan bahkan ke pedagang tingkat kabupaten. Harga beli
yang ditetapkan oleh pengumpul tersebut cukup bervariasi. Kelompok
tani, adalah kelompok yang dibentuk secara swadaya oleh masyarakat
dan beranggotakan para petani kakao dengan jumlah anggota tertentu.
Tujuan utama dibentuknya kelompok tani atau organisasi tani ini
adalah untuk menjadi lembaga musyawarah dan diskusi bagi petani
mengenai masalah-masalah dalam pertanian kakao. Selain itu, tujuan
dibentuknya kelompok tani di Desa Peleru yaitu untuk membendung
masuknya tengkulak atau pedagang baru dari luar desa yang dianggap
merugikan pengumpul lokal yang telah lama bekerja sama dengan
petani. Terbentuknya organisasi petani (kelompok tani) akan
mempermudah
penyaluran
bantuan
dari
pemerintah
dan
mempermudah petani dalam penyediaan sarana produski pertanian.
Sebanyak 56,66% petani responden menjual kakaonya kepada
kelompok Tani, 36,66% menjual ke pengumpul biasa, dan hanya 6,66%
yang menjual ke pedagang besar antar kabupaten. Penjualan kakao ke
kelompok tani sama dengan penjualan ke pengumpul biasa (tengkulak),
hal ini terjadi karena yang menjadi pembeli sebenarnya adalah
pengumpul lokal yang merupakan anggota dan bahkan ketua dari
kelompok tani tersebut. Namun demikian, ada perbedaan pengumpul
biasa (pengumpul dari luar kelompok tani) dengan pengumpul lokal
yang berada di dalam keanggotaan kelompok tani. Perbedaan tersebut
diantaranya adalah penetapan harga. Harga beli pengumpul biasa lebih
rendah karena berdasarkan harga di tingkat kecamatan, sedangkan
harga pengumpul yang berasal dari kelompok tani cenderung lebih
tinggi karena pengumpul tersebut berpatokan dari harga kakao
pengumpul besar di tingkat kabupaten. Selain itu, kerjasama dan relasi
yang baik yang sudah berlangsung cukup lama antara petani dengan
pengumpul lokal, membuat petani lebih memilih untuk menjual
komoditi kakaonya pada pengumpul lokal yang juga merupakan
anggota kelompok tani dari pada ke pengumpul biasa. Pengumpul
tingkat kecamatan biasanya membeli langsung ke rumah-rumah petani
dan juga dari para pengumpul biasa yang sudah menjalin relasi
dengannya. Pengumpul tingkat kabupaten adalah pengumpul yang
58
SIstem Usaha Pertanian Kakao
membeli kakao dari pedagang antar kecamatan dan juga dari
pengumpul-pengumpul lokal di tingkat desa. Pengumpul besar tingkat
kabupaten menjual langsung ke pedagang antar pulau (ekportir antar
pulau) dan bahkan langsung ke sektor industri pengolahan. Berikut
digambarkan rantai pemasaran dan pelaku usaha dalam pertanian
komoditi kakao di kabupaten M orowali Provinsi Sulawesi Tengah
(Gambar 5.). M odel ini diadopsi dari model Kameo et al tahun 2011
mengenai rantai nilai dan pelaku usaha komoditas kopi.
Gambar 5. Rantai Pemasaran dan Pelaku Usaha Dalam Usaha Pertanian Kakao
di Kabupaten Morowali
Di wilayah Desa Peleru dan Kabupaten M orowali bahkan di
Sulawesi Tengah, belum tersedia sarana industri pengolahan kakao
yang dapat mengolah biji kakao menjadi coklat bubuk, coklat cair,
permen dan jenis olahan lainnya. Untuk itu sebagian besar pengumpul
tingkat kabupaten di Sulawesi Tengah menjual biji kakao ke eksportir
antar pulau yang ada di kota Palu. Sebagian kecil lainnya menjual ke
industri pengolahan di M akasar Sulawesi Selatan. M enurut penelitian
Tuti M illias tahun 2009 mengenai Analisis Permintaan Ekspor Biji
Kakao Sulawesi Tengah Oleh M alaysia, tahun 2002 sebesar 77,61% biji
kakao Sulawesi Tengah di ekspor ke luar negeri antara lain ke M alaysia
dan beberapa negara lainnya (Tuty M illias 2009: 92).
59
Dinamika Usaha Pertanian Kakao
Untuk mendapatkan harga yang tinggi sebelum dijual kembali,
para pembeli atau pengumpul lokal hanya melakukan penjemuran
kembali agar tingkat kekeringan kakao merata dengan standar
kekeringan kadar air 7%. Pada pengumpul tingkat kabupaten, pembeli
kembali melakukan penjemuran dan mencampur biji kakao yang dibeli
dari beberapa pengumpul tingkat desa dan kecamatan agar kualitas
kakao merata. Sampai pada eksportir barulah dilakukan penyortiran
biji kakao yaitu dengan membersihkan kotoran yang masih bercampur
dengan biji kakao dan memisahkan biji kakao berdasarkan bentuk dan
tingkat kualitasnya.
Keuntungan yang diperoleh pengumpul lokal berasal dari selisih
harga kakao dengan harga pada pengumpul antar kabupaten yaitu Rp.
2.000 per kg pada tahun 2011 dan beberapa tahun sebelumnya. Apabila
harga pada pengumpul tingkat kabupaten sebesar Rp. 15.000 per kg
maka harga beli pengumpul lokal pada petani kurang lebih Rp. 13.000
per kg atau 15% dari harga beli. Keuntungan bersih pengumpul lokal
Rp. 1.500 per kg karena Rp. 500 per kg untuk biaya angkutan dan
pemeliharaan kendaraan.
Penetapan kualitas dan harga kakao sampai saat ini masih
ditentukan oleh pembeli. Cara penetapan harga kakao adalah dengan
mengukur dan melihat standar mutu pada kakao. Standar dan mutu
tersebut berkaitan dengan kadar air (atau tingkat kekeringan), warna,
dan kebersihan dengan menggunakan alat ukur tester (alat ukur kadar
air). W alaupun di Desa Peleru 47% petani responden menjawab
penentuan kualitas kakao menggunakan tester, namun langkah
tersebut hanya sebagai formalitas yang terkadang dilakukan. M enurut
pembeli dan 53% petani responden, cara pengukuran standar dan mutu
kakao hanya dengan meraba dan melihat biji kakao tersebut. Hal ini
dilakukan karena pembeli sudah berpengalaman dan sudah lama
menggeluti jual beli kakao kering, sehingga hanya dengan meraba dan
melihat maka pembeli sudah mengetahui tingkat kekeringan kakao
tersebut. Penggunaan tester belum diterapkan secara serius karena
menurut pembeli, petani belum mengerti tentang penetapan standar
kakao yang mengunakan tester dan banyaknya potongan yang akan
60
SIstem Usaha Pertanian Kakao
dilakukan pembeli terhadap kakao yang dibeli sehingga menimbulkan
keluhan dari petani.
Permasalahan yang sering dihadapai petani dalam pemasaran
adalah tidak menentunya harga (fluktuasi harga), yang kemudian akan
menyebabkan pendapatan petani tidak menentu. Selain itu, sistem
pembayaran dan jual beli kakao petani menggunakan sistem bayar
tunai dan bukan sistem ijon. Sistem ijon adalah sistem bukingan harga
berdasarkan kesepakatan bersama, yang dilakukan antara petani dan
pembeli dalam rentang waktu tertentu sebelum kakao sampai ke
tangan pembeli. Sebagai contoh, harga untuk kakao petani sudah
ditetapkan untuk empat hari kedepan, ketika harga kakao hari
kesepakatan (hari pertama) Rp. 20.000 per kg maka harga pada saat
penjualan kakao pada hari ke empat adalah Rp. 20.000 per kg walaupun
harga pada hari ke empat sudah naik menjadi Rp. 23.000 per kg.
Harga pada komoditi kakao sering berubah-ubah bahkan dalam
satu minggu dapat terjadi dua kali perubahan harga. Untuk itu,
informasi harga untuk petani sangat diperlukan. Kenyataan di lapangan
bahwa 50% petani responden tidak mengetahui informasi harga
minimal harga pedagang tingkat kabupaten. Informasi dan selisih harga
yang diperoleh petani lainya hanya berasal dari sesama petani dan dari
pengumpul lokal.
Tabel 6.
Harga Komoditi Kakao Bulan September 2011 di Kabupaten Morowali
No
Komoditi
1.
Kakao
Harga bulan September 2011
Satuan
Kg
Minggu I
Minggu I I
Minggu I I
Minggu I V
17.000
18.000
19.000
19.000
Sumber: Dinas Perkebunan Kabupaten Morowali, 2011
Dari Tabel 6 dapat dilihat bahwa harga kakao di tingkat
kabupaten pada bulan September mengalami tiga kali perubahan.
W alaupun dari minggu pertama sampai minggu kelima ada
peningkatan harga dari Rp. 17.000 menjadi Rp. 19.000, namun harga di
tingkat petani pada waktu penelitian yaitu pertengahan bulan
Desember sampai awal Januari mengalami penurunan sampai pada
61
Dinamika Usaha Pertanian Kakao
level Rp. 11.000 – Rp. 14.000 per kg. Harga pada bulan ini menurut
petani adalah harga terendah yang pernah mereka peroleh selama
penjualan komoditi kakao.
Pendapatan
Hasil dari usaha pertanian perkebunan kakao adalah biji kakao
kering, yang kemudian dijual untuk memperoleh uang atau pendapatan
yang akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok dan sebagai
sumber dana operasional pengolahan perkebunan kakao selanjutnya.
Sumber pendapatan terbesar petani responden adalah dari hasil
perkebunan kakao. Selain perkebunan kakao, untuk memenuhi
kebutuhan pangan, sebanyak 73,33% petani responden memiliki usaha
pertanian lain seperti menanam palawija, padi ladang, padi sawah dan
jagung.
Harga-harga sarana produksi yang telah dijelaskan sebelumnya
tentunya akan mempengaruhi pengeluaran dan pendapatan petani.
Dari hasil perhitungan diperoleh total pengeluaran rata-rata petani
responden baik pembelian pupuk, pestisida dan pengeluaran upah
tenaga kerja dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7.
Rata-Rata Pengeluaran Usaha Perkebunan Kakao Petani Desa Peleru
Per Tahun
No.
1
2
3
4
Pengeluaran
Pupuk
Pestisida
Upah Tenaga Kerja
Lain-Lain
Total
Sumber: Data Primer, 2012
Jumlah per tahun (Rp)
943.300
2.101.500
6.040.000
518.000
9.056.133
Dengan harga pupuk urea Rp. 100.000 per 50 kg ditambah
dengan pengeluaran pupuk jenis lainnya dengan penggunaan rata-rata
208 kg per ha pupuk urea per tahun, maka total pengeluaran pupuk
adalah Rp. 943.300 per tahun. Sedangkan hasil perhitungan dengan
62
SIstem Usaha Pertanian Kakao
jenis dan harga pestisida yang bervariasi (Tabel 3.) maka rata-rata
pengeluaran pestisida Rp. 2.101.500 per tahun. Pengeluaran terbesar
petani dalam produksi perkebunan kakao adalah pengeluaran upah
tenaga kerja. Rata-rata pengeluaran petani responden pada upah tenaga
kerja mulai dari penyemprotan sampai pada pemetikan adalah Rp.
6.040.000 per tahun. Lain-lain pengeluaran berasal dari sewa angkutan
kakao basah yang baru dipanen dari kebun menuju rumah petani dan
hal ini hanya dilakukan oleh beberapa petani dengan upah Rp. 15.000 –
Rp. 25.000 per karung (tergantung jarak kebun ke rumah petani)
dengan skala angkutan 5-10 karung kakao basah, maka rata-rata
pengeluaran petani Rp. 518.000 per tahun. Dengan demikian rata-rata
pengeluaran sarana produksi dan upah tenaga kerja adalah Rp.
9.056.133 per tahun.
Dari total biaya produksi pada Tabel 7. maka diperoleh hasil ratarata produksi komoditi kakao kering 1,6 ton per tahun. Selain karena
faktor fluktuasi harga, perbedaan waktu penjualan, perbedaan kualitas
biji kakao membuat pendapatan petani tidak menentu dan berbedabeda antara petani satu dengan yang lainnya. Pada Tabel 8 dapat dilihat
perhitungan pendapatan rata-rata, pendapatan perkapita petani
responden dengan menggunakan kisaran harga saat penelitian di
tingkat petani.
Tabel 8.
Perhitungan Pendapatan Rata-rata Petani Kakao Desa Peleru
dan Pendapatan Perkapita Berdasarkan Variasi Harga Kakao
No.
Variasi harga
Harga
(Rp)
Harga kakao
12.767
saat penelitian
Sumber: Data Primer, 2012
1.
Pendapatan
kotor/tahun
(Rp)
20.430.922
Pendapatan
bersih/tahun
(Rp)
Pendapatan
perkapita/tahun
(Rp)
11.347.789
2.967.336
Kisaran harga kakao saat penelitian di tingkat petani dengan
rata-rata Rp. 12.767 per kg (Tabel 8.) dijadikan sebagai patokan untuk
melihat atau memperkirakan pendapatan petani kakao per tahun.
Dengan harga tersebut diperoleh rata-rata pendapatan bersih petani
sebesar Rp. 11.347.789 per tahun. Sedangkan untuk pendapatan
63
Dinamika Usaha Pertanian Kakao
perkapita petani yang diperoleh dari total pendapatan bersih dibagi
dengan total anggota keluarga responden maka diperoleh pendapatan
perkapita Rp. 2.967.336 per tahun.
Apabila dibandingkan dengan PDRB perkapita Kabupaten
M orowali atas dasar harga berlaku tahun 2011 sebesar Rp. 21.846.250
(dengan migas) dan Rp. 17.343.642 (tanpa migas), maka pendapatan
perkapita petani kakao Desa Peleru dengan rata-rata harga kakao Rp.
12.767 per kg, sangat rendah yaitu hanya Rp. 2.967.336 per tahun atau
13,58% dan 17,11% dari besar PDRB perkapita kabupaten. Demikian
juga saat dilihat dari garis kemiskinan Kabupaten M orowali tahun 2010
yaitu Rp. 248.568 per bulan (Statistik Daerah Kabupaten M orowali,
BPS Kabupaten M orowali 2011), pengeluaran perkapita per bulan
petani Desa Peleru berada sedikit lebih rendah di bawah garis
kemiskinan yaitu Rp. 247.278 (pendapatan perkapita petani dibahagi 12
bulan). Kondisi ini tentunya sangat memprihatinkan karena
menunjukkan indikasi kemiskinan pada petani kakao. Dengan melihat
hasil perhitungan dan perbandingan tersebut, maka diperlukan usaha
yang lebih keras lagi dalam hal pengembangan, peningkatan produksi
pertanian dari petani sebagai pelaku usaha perkebunan dan pemerintah
sebagai pengambil kebijakan melalui berbagai program budidaya
tanaman kakao serta penetapan harga yang wajar untuk dapat
mendorong peningkatan produksi, pendapatan dan kesejahteraan
petani kakao.
Pendapatan dari hasil penjualan biji kakao digunakan petani
untuk modal produksi selajutnya, memenuhi kebutuhan sehari-hari
dan sebagai sumber pembiayaan bagi sekolah anak. W alaupun kakao
merupakan komoditi unggulan dan memiliki kedudukan sebagai
produksi ketiga terbesar di tingkat nasional setelah kelapa sawit dan
karet, jika dilihat secara keseluruhan dari hasil pengamatan dan
perhitungan menunjukkan bahwa sumbangan atau pendapatan dari
perkebunan kakao, belum dapat mengangkat dan meningkatkan
kesejahteraan petani kakao.
64
SIstem Usaha Pertanian Kakao
Sistem Usaha Pertanian Non Kakao
Pertanian Kelapa Sawit2
Kelapa sawit (Elaeis Guineensis Jack) merupakan tanaman yang
berasal dari afrika. Dalam bahasa inggris tanaman kelapa sawit dikenal
dengan nama oil palm. Status tanaman kelapa sawit di Indonesia
sendiri merupakan tanaman pendatang. Di Indonesia tanaman ini
mulai dikenal sejak sebelum perang dunia II (Roosita et al, 2007:1).
M enurut warta ekspor Kementerian Perdagangan Republik Indonesia
edisi Juni 2011 yang ditulis oleh Suprayogo (2011:4), di Indonesia,
kelapa sawit diperkenalkan pertama kali oleh Kebun Raya pada tahun
1884 dari M auritus (Afrika). Rupanya hasil dari perkenalan ini
berkembang dan merupakan induk dari perkebunan kelapa sawit di
Asia Tenggara. Pohon induk mati pada 15 oktober 1989, namun
generasinya bisa dilihat di kebun raya Bogor. Di Indonesia sendiri
kelapa sawit baru diusahakan sebagai komoditi komersial pada tahun
1912 dan ekspor minyak sawit pertama dilakukan pada tahun 1991.
Untuk perkebunannya, pertama kali dibangun di tanah hitam, Hulu
Sumatera Utara oleh Schadt yang berkebangsaan Jerman pada tahun
1911.
Bentuk tanaman kelapa sawit serupa dengan pohon kelapa,
bunga dan buahnya berupa tandan serta bercabang banyak. Satu tandan
terdiri dari buah-buah yang kecil dan apabila sudah masak akan
berwarna merah kehitaman. Daging dari buah tersebut padat
mengandung banyak minyak demikian juga dengan kulitnya. Tinggi
pohon kelapa sawit dapat mencapai 24 meter. Perkembang biakan
kelapa sawit adalah dengan biji dan dapat tumbuh subur di daerah
tropis. Tanaman ini mulai berbuah sekitar umur 5 sampai 6 tahun,
tetapi ada jenis kelapa sawit hasil persilangan yang dapat berbuah
setelah berumur 36 bulan atau sekitar 3 tahun saja. Kelapa sawit bisa
menghasilkan buah sampai pada umur 60 tahun dan hasil buah per
pohon setiap panen bisa mencapai 50 – 60 kg (Roosita et al, 2007:2).
2Bagian dari tugas akhir mata kuliah Analisis Sumber daya Alam dan Lingkungan yang
berjudul “Perkembangan Perkebunan Kelapa Sawit di Propinsi Sulawesi Tengah dan
Dampak Terhadap Pembangunan”, oleh Guampe (Tahun 2013), tidak dipublikasikan .
65
Dinamika Usaha Pertanian Kakao
Tanaman kelapa sawit dapat kita jumpai di hampir semua
wilayah di Indonesia khususnya di pulau-pulau besar mulai dari
Sumatra, Kalimantan Sulawesi, Jawa dan Papua. W ilayah Indonesia
yang beriklim tropis memungkinkan untuk tanaman ini dapat tumbuh
dan berkembang dengan baik. Parameter kesesuaian lingkungan untuk
pertumbuhan kelapa sawit seperti yang dipaparkan oleh (Roosita et al,
2007:6) diantaranya: curah hujan 1.750-1.500 mm per tahun, bulan
kering 1-3 bulan per tahun, pH tanah 4-6.5, ketinggian 0-400 meter
dari permukaan laut, tingkat kemiringan tanah maksimal 30 %, dan
tekstur tanahnya berupa lempung debu, lempung liat berpasir atau
berdebu, atau lempung liat.
Untuk sebuah perkebuanan kelapa sawit ada beberapa tahap
yang harus dilalui menurut Roosita et al (2007). Tahapan atau langkah
tersebut adalah:
1.
Persiapan; yaitu dengan melakukan studi kelayakan untuk
menentukan lokasi yang akan dijadikan sebuah perkebunan
sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan kelapa sawit selanjutnya
perencanaan luas kebun dan tata ruang seperti kesesuaian lahan
dengan kapasitas pabrik, areal pembibitan, jaringan jalan,
jembatan, bangunan konservasi tata air atau drainase, komplek
perkantoran dan perumahan, pabrik, dan lain-lain. Tata ruang ini
dibagi dalam beberapa unit manajemen dan terdiri dari beberapa
blok agar mempermudah pengawasan, perawatan dan
mengaturan panen.
2.
Pembukaan lahan; dilakukan dengan tata cara yang benar yaitu
tanpa pembakaran lahan demi menghindari masalah polusi dan
kebakaran hutan. Selain itu, dilakukan juga konservasi lahan dan
air untuk menghindari longsor, erosi dan mencegah banjir serta
tetap menjaga ketersediaan air.
3.
Pembibitan; berkaitan dengan pemilihan lokasi untuk
pembibitan yang biasanya sekitar 1-1,5% dari luas kebun yang
telah ditentukan saat perencanaan dan karakteristik lokasinya
dengan topografi rata, sumber airnya dekat, dekat areal
penanaman, bebas banjir, akses jalan yang baik, bebas gangguan
66
SIstem Usaha Pertanian Kakao
manusia dan binatang. Salah satu alasan mengapa pembibitan
harus dekat dengan sumber air karena pembibitan memerlukan
banyak air agar bibit tanaman yang baru tumbuh tanahnya
tetap lembab dan menjaga tanaman dari sinar matahari langsung
dengan menyediakan naungan. Penyemprotan dan pemupukan
dilakukan setelah tanaman sudah mulai tumbuh untuk mencegah
perkembangan hama dan dilakukan sekali dalam seminggu.
4.
Penanaman; pada tahap ini, yang dilakukan pertama adalah
persiapan penanaman dengan membuat petak-petak barisan di
tempat akan menanaman tanaman. Proses ini biasa disebut
dengan kegiatan mengajir atau memancang. Sebelumnya dibuat
blok-blok serta jalan rintisan dan setiap blok memiliki luas
sekitar 400 m x 400 m atau lebih. Untuk kepadatan tanaman
sekitar 130 tanaman per ha dengan jarak tanam 9,5 m x 9,5 m
dengan sistem segitiga. Kedua, pembuatan lubang tanam yang
dilakukan dua minggu sebelum penanaman. Lubang ini biasanya
berukuran 40 cm x 40 cm x 40 cm. Tanaman harus bebas gulma
atau tanaman pengganggu pada radius 1,5 m. Ketiga, penanaman
sedapat mungkin dilakukan pada musim hujan agar tanaman
memiliki ketersediaan air yang cukup. Penanaman bibit
dilakukan oleh 3 orang yaitu untuk membuat lubang, membawa
kecamba dan menutup lubang. Keempat, pemeliharaan yang
terbagi dalam dua bagian yaitu pemeliharaan tanaman belum
menghasilkan (TBM ). Tanaman ini adalah tanaman yang baru
ditanam dari bibit sampai berumur 30-36 bulan. Selama masa
TBM, ada beberapa pekerjaan yang harus dilakukan yaitu
konsolidasi tanaman dengan selalu menjaga tanaman agar tidak
goyah dan tetap berdiri tegak, penyisipan tanaman yang mati
atau kurang subur, pemeliharaan penutup tanah, pemupukan,
pengendalian hama dan penyakit, persiapan sarana panen dan
pemeliharaan jalan dan parit drainase. Saat pemeliharaan TBM,
biasanya dilakukan juga seleksi tanaman untuk memilih tanaman
yang berkualitas baik. Bagian selanjutnya adalah Pemeliharaan
Tanaman M enghasilkan (TM ). Tanaman kelapa sawit mulai
berbunga pada umur 12-14 bulan. Secara ekonomis panen yang
67
Dinamika Usaha Pertanian Kakao
menguntungkan baru pada saat tanaman berumur 2,5 tahun.
Pemeliharaan yang baik akan membuat produksi kelapa sawit
optimal. Pemeliharaan TM meliputi pengendalian tanaman liar
yang mengganggu (gulma), pemangkasan pelepah, pengendalian
hama dan penyakit, pemupukan, dan pemeliharaan jalan
rintisan.
5.
Panen; tanaman kelapa sawit sudah dapat berbuah produktif
setelah umur 3 tahun. Puncak produksi terbaiknya adalah setelah
umur 5 tahun. Saat itu, jumlah tandan yang dapat dipanen sudah
mencapai lebih dari 60%, atau rata-rata berat tandan sudah lebih
dari 3 kilogram. Pengangkutan tandan buah segar (TBS) menuju
pabrik biasanya menggunakan truk. Untuk menghasilkan
persentase perolehan minyak (rendemen) yang baik, buah segar
yang baru dipetik harus segera dikirim ke pabrik. Oleh karena
itu, kegiatan pengiriman buah segar dari kebun ke pabrik
dilakukan siang dan malam. Pada umur 5 tahun, pohon kelapa
sawit dapat berbuah sepanjang tahun.
Usaha Pertanian Karet3
Tanaman karet berasal dari Amerika selatan yang wilayahnya
beriklim tropis seperti Bazil. Karena Indonesia juga merupakan negara
yang beriklim tropis, maka tanaman karet dapat tumbuh dan
dikembangbiakan di negara ini (Damanik et al, 2010:1). Tanaman karet
mulai dikenal di Indonesia sejak jaman penjajahan kolonial Belanda
dan bahkan terus berkembang di hampir seluruh daerah di Indonesia
sampai sekarang (Janudianto et al, 2013:1). Tanaman karet (Hevea
brasiliensis) sendiri merupakan keluarga dari Euphorbiacea, atau juga
disebut dengan rambung, getah, gota, kejai ataupun hapea. Di
Indonesia karet merupakan salah satu komoditi andalan di sektor
perkebunan selain komoditi kelapa sawit dan karet (Damanik et al,
2010:1).
3
revieu literature
68
SIstem Usaha Pertanian Kakao
M enurut Damanik et al (2010) dalam tulisan mereka mengenai
“Budidaya dan Pasca Panen Karet”, ada beberapa persyaratan
t