Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konsep Diri Penderita TB Paru di Puskesmas Tomata, Kecamatan Mori Atas, Kabupaten Morowali Utara T1 462009040 BAB IV
A IV
PEMAHASAN DAN HASIL PENELITIAN
ada bab ini akan diuraikan tentang konsep diri penderita TB aru di uskesmas Tomata Kecamatan Mori Atas, kabupaten Morowali. enelitian ini dilaksanakan mulai tanggal 15 Agustus 2014 sampai 8 September 2014.
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian 4.1.1 Gambaran Geografis
Kecamatan Mori Atas berada di ibukota kabupaten Morowali dengan batas-batas wilayah sebagai berikut: sebelah utara berbatasan dengan wilayah Kecamatan Mori Utara, sebelah selatan berbatasan dengan wilayah propinsi Sulawesi Selatan dan Kecamatan Lembo, sebelah Timur berbatasan dengan wilayah Kecamatan etasia dan Kecamatan Lembo, dan sebelah Barat berbatasan dengan wilayah Kabupaten oso.
Kecamatan Mori Atas terletak pada ketinggian 350-450 meter dari atas permukaan laut. Flora yang dibudidayakan di daerah ini sebagian besar adalah pohon coklat, pohon cengkeh, pohon aren, dan kelapa sawit. Sedangkan fauna yang dikembangbiakan adalah jenis ternak besar adalah sapi dan kerbau, ternak kecil seperti babi serta unggas seperti ayam dan itik.
(2)
Daerah kecamatan Mori Atas bukan daerah pantai, tetapi banyak terdapat aliran sungai.
Kecamatan Mori Atas memiliki 12 desa dengan total luas wilayah 1.508,81 Km2. Desa terluas adalah Desa Kolaka dengan luas wilayah 271,12 Km2, disusul dengan Desa Taende dengan luas wilayah 194,28 Km2, disusul oleh Desa Ensa dengan luas wilayah 189,78 Km2. Keduabelas desa dan luas wilayahnya dapat dilihat pada tabel 4.1.
Tabel 4.1 Nama Desa dan Luas Wilayah di Kecamatan Mori Atas
No Desa/Kelurahan Luas Wilayah (Km2) Presentase
1. Gontara 98,91 3,87
2. Kasingoli 83,75 3,27
3. Lee 100,85 3,94
4. Saemba 141,44 5,53
5. TomuiKarya 12 0,47
6. Tomata 107,71 4,21
7. Londi 90,81 3,55
8. Taende 194,28 7,60
9. Ensa 189,78 7,42
10. eonea 97,17 3,80
11. Kolaka 271,12 10,60
12. Lanumor 120,99 4,73
Sumber :Kecamatan Mori Atas dalam Angka, 2012
usat kota berada di ibu kota kecamatan dan ibu kota kabupaten. Ada pun jarak tempuh masing-masing desa ke ibu kota kecamatan dan kendaraan yang digunakan diuraikan pada tabel 4.2.
Tabel 4.2 Jarak Tempuh Antar Desa di Kecamatan Mori Atas
(3)
1. Gontara 12,00 Roda 4
2. Kasingoli 15,00 Roda 4
3. Lee 19,00 Roda 4
4. Saemba 22,00 Roda 4
5. TomuiKarya 24,00 Roda 4
6. Tomata 0,00 Roda 4
7. Londi 4,00 Roda 4
8. Taende 9,00 Roda 4
9. Ensa 12,00 Roda 4
10. eonea 17,00 Roda 4
11. Kolaka 20,00 Roda 4
12. Lanumor 18,00 Roda 4
Sumber :Kecamatan Mori Atas dalam Angka, 2012
Secara umum warga kecamatan Mori Atas menggunakan kendaraan pribadi untuk menjangkau ibu kota kecamatan. Sehingga, warga kecamatan Mori Atas tidak memiliki hambatan untuk mencapai fasilitas publik dan saran-prasarana yang ada. 4.1.2 Gambaran Demografis
a. Keadaan Penduduk
enduduk Kecamatan Mori Atas terdiri dari beberapa suku, diantaranya suku Mori yang merupakan suku asli, serta beberapa suku pendatang, diantaranya suku amona, Toraja, Bugis, Jawa, dan Bali. Sebagian besar dari para pendatang berprofesi sebagai pedagang dan petani. enduduk kecamatan Mori Atas selain berprofesi sebagai pedagang dan petani sebagian berprofesi sebagai pegawai negeri sipil atau NS (Kecamatan Mori Atas dalam Angka, 2012).
Keberanekaragaman penduduk di Kecamatan Mori Atas ini menyebabkan bahasa ibu setiap orang dalam komunitas dapat
(4)
5
berbeda, tergantung dari suku asalnya. Namun dalam pergaulan atau sosialisasi sehari-hari, warga menggunakan bahasa lokal masyarakat Mori, meski dialek yang berbeda. Bahasa lokal yang dimaksud seperti a yang berarti saya, ko yang berarti kau, dorang
yang berarti mereka dan lain sebagainya.
ada laporan akhir tahun Kecamatan Mori Atas, dicatat bahwa jumlah penduduk hingga Desember tahun 2013 mencapai 11.392 jiwa. Kelurahan dengan jumlah penduduk terbanyak adalah desaeonea dengan jumlah total 1.386 jiwa, kemudian pada posisi kedua dan selanjutnya secara berturut-turut adalah desa Ensa, Londi, Kolaka, Tomata, Taenda, Lanumor, Saemba, Lee, Gontara, Saemba Walati, Kasingoli, dan Tomui Karya.enduduk kecamatan Mori Atas mayoritas beragama kristen protestan (Kecamatan Mori Atas dalam Angka, 2012).
b. Sarana dan Prasarana
Menurut data sarana dan prasarana kesehatan, di Kecamatan ini terdapat dua buah uskesmas di Desa Tomata dan Desa Lee, serta uskesmas pembantu di Desa Saemba, Gontara, Ensa, eonea, dan Kolaka, 15 posyandu yang tersebar disetiap desa, 5 polindes (pondok bersalin bersama) yang ada di Desa Saemba, Tomui Karya, Londi, Ensa, dan Kolaka, dan 12 pos KB yang tersebar disetiap desa.
(5)
Dibidang pendidikan, tersedia 13 Sekolah Dasar (SD) , 5 Sekolah Menengah ertama (SM) dan 3 Sekolah Menengah Atas (SMA), yang terdiri dari 2 sekolah umum dan 1 sekolah kejuruan.
c. Tingkat Pendidikan
Secara umum, hampir semua penduduk dewasa atau yang berusia 20 tahun ke atas di wilayah Kecamatan Mori Atas, bersekolah hingga SM dan SMA. Sementara itu, orang tua yang menginginkan agar anaknya melanjutkan ke perguruan tinggi, biasanya menyekolahkan anak mereka di luar kota, bahkan luar pulau, karena disekitar wilayah kecamatan atau kabupaten tidak memiliki perguruan tinggi.
d. Keadaan Sosial Ekonomi
Mata pencaharian masyarakat di Kecamatan Mori Atas antara lain pegawai negeri sipil (NS), TNI/OLRI, wirausaha, pedagang, tukang batu, serta tukang kayu.
e. Kesehatan
uskesmas Tomata dalam Kecamatan Mori Atas dalam angka mencatat sekurang-kurangnya 10 penyakit terbesar tahun 2013, yang terbesar adalah ISA dengan jumlah 1.710 kasus, diikuti urutan kedua yang terbesar adalah Gatriti/ Dypepia 634 kasus, selanjutnya Carie Denti 355 kasus, Hipertensi 319 kasus,
(6)
7
kecelakaan 204 kasus, penyakit kulit Alergi 180 kasus, Diare 168 kasus, penyakit kulit infeksi 148 kasus, Rematik 139 kasus, dan Gingivitis 117 kasus.
Kebanyakan masyarakat di Kecamatan Mori Atas berobat ke uskesmas terlebih dahulu. Dari uskesmas, jika pengobatan yang diberikan tidak mampu menyembuhkan penderita, maka ia akan berobat ke RSU dengan menggunakan fasilitas/ layanan Asuransi Kesehatan jika ia seorang NS dan kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat jika ia tergolong keluarga yang kurang mampu. Selain puskesmas dan RSUD, masyarakat juga memeriksakan kondisi kesehatan ke mantri.
4.1.3 Gambaran Khusus Lokasi Penelitian a. Gambaran Geografis
Desa Tomata merupakan ibu kota kecamatan dengan luas terbesar kelima di Kecamatan Mori Atas. Desa Tomata sebelah utara berbatasan langsung dengan desa Taliwan, Kecamatan Mori utara , sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Londi , sebelah Timur berbatasan dengan Desa Era, dan sebelah Barat berbatasan dengan Desa Gontara.
Daerah desa Tomata termasuk daerah subur, artinya sebagian besar luas wilayah digunakan sebagai lahan untuk pertanian, seperti sawah, untuk berkebun dengan ditanami coklat, jagung, singkong, pisang dan berbagai macam tumbuhan yang
(7)
dapat dikomsusi. Masyarakat juga menggunakan pekarangan untuk menanam rempah-rempah seperti kemangi, rica, tomat, daun bawang, serai, dan rempah-rempah lainnya. Tetapi beberapa tahun terakhir, lahan pertanian dan hutan yang ada di desa Tomata dialih fungsikan dengan penanaman kelapa sawit besar-besaran.
b. Gambaran Demografis
Wilayah desa Tomata terdiri dari 12 Rukun Tetangga (RT), yang dikepalai oleh ketua RT dan didampingi oleh sekertaris. Jumlah penduduk desa Tomata pada tahun 2013 adalah 1.858 orang dengan 961 lelaki dan 896 perempuan.
Mata pencaharian pokok sebagian besar masyarakat adalah petani dan NS. Selain itu, ada pula masyarakat yang bermata pencaharian sebagai pedagang, OLRI, TNI. Wilayah desa Tomata penduduknya mayoritas beragama Kristen protestan.
Sarana dan prasana yang tersedia di desa Tomata antara lain jalan raya dengan kondisi baik. Di wilayah ini juga memiliki satu puskesmas dan satu pertamina yang menjadi pusat pasokan bahan bakar di kecamatan Mori Atas. Karena merupakan ibu kota kecamatan, banyak terdapat kantor pemerintahan untuk kecamatan.
Sebagian besar penduduk desa Tomata memiliki tingkat ekonomi yang baik, itu dibuktikan dengan memiliki bangunan rumah yang terbuat dari tembok, berlantaikan keramik dan beratapkan
(8)
9
seng dan hamper setiap keluarga memiliki kendaraan pribadi seperti motor. Sementara itu sebagian besar penduduknya sudah memiliki WC yang sehat.
4.1.4 Tatanan Penelitian
enelitian ini dilakukan kepada penderita TB aru. engambilan data dilakukan mulai dari tanggal 15 Agustus sampai 8 September 2014. enelitian ini dilakukan di uskesmas Tomata, desa Tomata, kecamatan Mori Atas, Kabupaten Morowali, ropinsi Sulawesi Tengah. Data diperoleh melalui wawancara dengan ketiga riset partisipan yang mengalami penyakit TB aru.
4.2 Hasil Penelitian
enelitian ini mendeskripsikan konsep diri penderita TB aru dengan menggunakan lima indikator dari konsep diri, yaitu gambaran diri (body image), ideal diri (elf diri), harga diri (elf eteem), peran diri (elf role) dan identitas diri (elf identity), dan melibatkan tiga partisipan penderita paru di uskesmas Tomata.
Ketiga partisipan adalah laki-laki. artisipan I berumur 68 tahun, partisipan II berumur 57 tahun dan partisipan III berumur 68 tahun. Lama sakit yang diderita yaitu penderita I selama 1,5 tahun,
(9)
penderita II selama 1 tahun, dan partisipan III selama 1 tahun. Keseluruhan partisipan berdomisili di Tomata dan mengikuti program pengobatan di uskesmas Tomata. Selengkapnya tentang karakteristik partisipan dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 4.3 Karakteristik artisipan Secara Umum
Deskripsi Partisipan I Partisipan II Partisipan III
Usia 68 tahun 57 tahun 68 tahun
Agama rotestanKristen rotestanKristen rotestanKristen
Pendidikan SM SD SMA
Lama sakit
TC 1,5 tahun 1 tahun 1 tahun
Riwat penyakit - - rostat
Pekerjaan ensiunan etani Ketua adat
Jumlah anak 5 orang 2 orang 4 orang
4.2.1 Hasil Analisa Data 4.2.1.1 Riset Partisipan I
Nama Tn. A. Saat ini riset partisipan berusia 68 tahun. Tn. A merupakan pensiunan pegawai negeri. Sekarang tinggal bersama dengan istri. Anak-anak sudah berkeluarga semua. Saat ini, Tn. A dan istri memiliki 1 orang cucu yang dibiayai atau dihidupi mereka. Tn. A mengalami penyakit TB aru mulai tahun 1975 dan sempat sembuh beberapa saat. Ketika Tn. A mengalami kesembuhan, Tn. A melakukan kembali kebiasaan lamanya yaitu merokok dan mengkonsumsi alkohol, walaupun saat itu dalam jangka waktu beberapa tahun Tn. A tidak sakit. Dan awal tahun 2014, Tn. A didiagnosa dengan penyakit TB aru dan harus menjalani perawatan selama 6 bulan dengan meminum obat secara rutin.
(10)
41
Sebelumnya Tn. A pada tahun 90’an bekerja sebagai sopir bupati oso, dan setelah itu Tn. A pindah ke Tomata menjadi sopir camat. Selama menjadi sopir, Tn. A, sering mengkonsumsi alkohol walaupun di siang hari dan merokok. Selanjutnya partisipan didiagnosa TB aru oleh dokter.
Ciri-ciri fisik Tn.A adalah tinggi badannya sekitar ±170 cm, berkulit sawo matang, berambut lurus dan sudah beruban, tampak kurus. Selama wawancara berlangsung riset partisipan menjawab semua pertanyaan dengan santai. Dan riset partisipan menjawab semua pertanyaan yang diajukan oleh peneliti. Dan apabila ada pertanyaan yang tidak dipahami, riset partisipan akan bertanya dan peneliti akan mengulanginya. Riset partisipan juga terkadang memberikan jawaban dengan bercanda. Selama wawancara riset partisipan didampingi oleh istri, dan selalu menyetujui apabila istri juga menambahkan jawaban dari pertanyaan peneliti. Wawancara dilakukan pada tanggal 15 Agustus 2014 pukul 15.30 WITA bertempat di rumah riset partisipan.
Data-data yang diperoleh dari hasil wawancara dianalisa berdasarkan beberapa indikator yang dipakai untuk pedoman wawancara.
(11)
a. Gambaran Diri (ody image)
Indikator ini menjelaskan tentang tanggapan riset partisipan terkait dengan sikap riset partisipan terhadap tubuhnya, baik secara sadar maupun tidak sadar. Menerima dan menyukai bagian tubuh akan memberi rasa aman sehingga terhindar dari rasa cemas dan meningkatkan harga diri.
Riset partisipan memiliki gambaran diri yang positif. Dengan penerimaan diri yang baik, dengan tidak merasa cemas akan penyakit yang dialami. Riset partisipan mengungkapkan penyakit TB paru tidak mempengaruhi hubungan di lingkungan sosial . Bahkan banyak dukungan yang datang dari saudara dan teman-teman. Membangun hubungan yang baik dari awal dengan orang lain, banyak membantu riset partisipan untuk lepas dari gambaran diri yang negatif, khususnya rasa cemas dengan pandangan orang lain akan penyakit yang dialami oleh riset partisipan.
“penyakitku tidak mempengaruhi, Cuma berharap memang cepat embuh (Tn.A,15,16). Hubungan aya dengan yang lain baik, karena aya cukup dikenal di Tomata ini (Tn.A, 24,24). Kalau mereka datang jenguk aya, mereka pati peluk aya, tidak ada yang menjauhi aya karena penyakit ini.” (Tn.A.32,33).
Keluarga membantu untuk memenuhi kebutuhan spiritual partisipan dengan cara mendoakan partisipan untuk kesembuhannya dan kebiasaan jelek yang dilakukan partisipan
(12)
4
yaitu minum minuman beralkohol. Dengan adanya perubahan yang dialami oleh partisipan, yang sekarang tidak mengkonsumsi alkohol dan rokok membuat partisipan ada rasa bangga dari perubahan tersebut.
“dulu aya didoakan ama a punya anak-anak dan mama tua.” (Tn.A 131-133)
“aya berhenti minum dan merokok ekarang. Biar a udah liat minuman dan rokok ekarang, aya udah tidak berminat. Itu peritiwa yang luar biaa, aya berhenti minum dan rokok itu, aya yakin betul itu emua karena Tuhan.” (Tn.A 137-143)
Riset partisipan juga mengungkapkan, walaupun saat ini lagi sakit, itu tidak mengubah sifat yang dimiliki, salah satunya sifat periang.
“memang ekarang akit betul, tapi untuk ifat periang dan yang lainnya tidak ada yang berubah. Ya, ekarang juga lebih beremangat, karena udah meraa lebih baik.” (Tn.A 112-115).
b. Ideal Diri (self ideal)
Indikator ini menjelaskan akan persepsi riset partisipan tentang perilakunya, disesuaikan dengan standar pribadi yang terkait dengan cita-cita, harapan dan keinginan, dan nilai yang ingin dicapai.
Riset partisipan I memiliki ideal diri yang realistis. Ini didukung juga oleh dukungan dari keluarga dan orang sekitar yang positif, membuat riset partisipan menerima keadaannya
(13)
sekarang dengan tidak mempermasalahkan penyakit yang dialami. Kemauan untuk sembuh ada, tetapi dengan menjalankan pengobatan yang teratur, itu sangat membantu riset partisipan untuk cepat sembuh dan memberi harapan pasti ada kesembuhan. Riset partisipan juga sudah menyerahkan semuanya kepada Tuhan akan keadaannya sekarang sesuai iman partisipan, yang membuat partisipan tetap bersemangat untuk menjalani keadaannya sekarang.
“Meraa terbeban dengan penyakit ini, tetapi ya memang haru dilewati, banyak berdoa emoga Tuhan membantu dan memberkati itri aya juga yang udah kerja kera. Ketika aya didiagnoa penyakit TB paru, peraaan aya biaa aja.” (Tn.A 104-107, 118)
c. Harga Diri (self esteem)
Indikator ini menjelaskan bahwa riset partisipan memiliki harga diri yang rendah. Dengan mengalami penyakit TB paru, ia merasa itu menghambat aktifitasnya terutama sebagai kepala rumah tangga. Riset partisipan memiliki harapan dengan umurnya sekarang, ia masih bisa melakukan aktifitas yang merupakan tanggungjawabnya. Walaupun dengan keterbatasan aktifitas karena penyakit yang dialami, dukungan istri sangat membantu.
(14)
45
“penyakit ini menghambat pekerjaan aya, ebenarnya aya maih bia kerja dengan umur ekarang. Saya berharap aya cepat embuh.” (Tn.A 8-10)
d. Peran Diri (self role)
Indikator ini menjelaskan bahwa riset partisipan tidak memiliki kepuasan dalam menjalankan perannya khususnya sebagai kepala rumah tangga (RT). Segala pekerjaan yang sebenarnya yang harus dikerjakan, itu dikerjakan oleh istri. Selama riset partisipan mengalami penyakit TB paru, yang berperan besar dalam mengurus riset partisipan waktu sakit adalah istri. Dengan peran istri yang mengurus segalanya, dari mengurus rumah tangga sampai mengurus suami, itu menjadi beban tersendiri buat riset partisipan. Sehingga riset partisipan memiliki harapan bahwa ia akan cepat sembuh.
“Sebenarnya pekerjaan rumah untuk kepala rumah tangga agak terhambat, karena penyakit ini. Saya ebenarnya tidak enak, karena emua itri yang kerjakan.” (Tn.A 55-58)
Riset partisipan juga merasa tidak puas dengan perannya karena dalam keadaan sakit, mereka harus membiayai perkuliahan cucu mereka. Itu yang membuat istri harus kerja keras untuk mengurus partisipan yang sakit dan juga harus menambah biaya hidup.
“cucu aya kuliah di Palu, juruan Akbid. Sebenarnya gaji peniun kami cukup untuk maa tua. Tetapi karena
(15)
membiayai kuliah cucu kami, ehingga itu juga yang menjadi beban, dengan keadaan aya akit, itri aya haru rawat aya dan uru cucu kami juga. Saya elalu meraa kaian kepada dia. Semoga dia tetap ehat-ehat aja.” (Tn.A 99-100)
e. Identitas Diri (self identity)
Indikator ini menjelaskan bahwa kesadaran akan riset partisipan akan diri sendiri yang bersumber dari pengamatan dan penilaian, sebagai sintesis semua indikator yang diteliti dan menjadi satu kesatuan yang utuh.
Riset partisipan I memiliki identitas diri yang jelas. Analisa ini didukung oleh hubungan sosial yang baik, dengan tidak menarik diri dari lingkungan sosial. Selanjutnya didukung oleh ada semangat dalam diri sendiri untuk sembuh dan tidak mempermasalahkan diri karena penyakit yang diderita, dan riset partisipan menerima keadaan tersebut. Walaupun ada permasalah peran dalam rumah tangga, tetapi riset partisipan memiliki harapan yang besar untuk cepat sembuh. Dukungan doa dari istri dan anak-anak membuat riset partisipan juga menerima semua keadaannya sekarang.
“aya berhenti minum dan merokok ekarang, itu merupakan peritiwa yang luar biaa, aya bia demikian itu aya yakin karena campur tangan Tuhan. Betul-betul dan rajin berdoa, itu betul-betul membuat aya berhenti dari kebiaaan aya.” (Tn.A 137-143)
(16)
47 4.2.1.2 Riset Partisipan II
Nama Tn. B. Saat ini riset partisipan berumur 57 tahun dan karena penyakit yang dialami riset partisipan berhenti dari pekerjaannya sebagai buruh. Riset partisipan tinggal bersama istri dan 1 orang anak yang gangguan mental. Sebelum sakit, riset partisipan bekerja sebagai petani atau buruh bangunan di desa Tomata.
Keadaan Tn. B sekarang ini, menuntut ia untuk tetap beristrahat total di rumah dan menjalani pengobatan secara rutin. Awalnya Tn. B tidak mengakui kalau ia sakit TB aru, karena info yang Tn. B dapat, ia didiagnosa hanya mengalami penyakit sesak napas. Tetapi saat ini Tn. B mengikuti program pengobatan TB aru.
Ciri fisik riset partisipan adalah tinggi badannya sekitar ±150 cm, berkulit sawo matang, tampak kurus dan badan riset partisipan agak membungkuk, serta gerak yang dilakukan seperti berjalan tidak selincah orang yang normal. Selama wawancara, riset partisipan mau menjawab pertanyaan yang diajukan oleh peneliti, walaupun jawaban yang selalu diberikan tidak sesuai dengan fokus pertanyaan yang diajukan. Selama wawancara, riset partisipan juga jarang memberikan jawaban yang terbuka. Dan sesekali riset partisipan menanyakan kembali pertanyaan yang tidak dipahami.
(17)
Selama wawancara risep partisipan didampingi oleh istri. . Wawancara dilakukan pada tanggal 16 Agustus 2014 pukul 15.30 WITA.
Data-data yang diperoleh dari hasil wawancara dianalisa berdasarkan beberapa indikator yang dipakai untuk pedoman wawancara.
a. Gambaran Diri (ody image)
Indikator ini menjelaskan tentang tanggapan riset partisipan terkait dengan sikap riset partisipan terhadap tubuhnya, baik secara sadar maupun tidak sadar. Menerima dan menyukai bagian tubuh akan memberi rasa aman sehingga terhindar dari rasa cemas dan meningkatkan harga diri.
Riset partisipan memiliki gambaran diri yang rendah. Selama wawancara riset partisipan tidak mau mengakui kalau dirinya sakit TBC. Menurut data dari puskesmas Tomata, riset partisipan merupakan salah satu penderita TB aru.
“aya tidak ada penyakit TBC” (Tn.B, 50)
b. Ideal Diri (self ideal)
Indikator ini menjelaskan akan persepsi riset partisipan tentang perilakunya, disesuaikan dengan standar pribadi yang terkait dengan cita-cita, harapan dan keinginan, dan nilai yang ingin dicapai. Indikator ini tidak ditemukan pada riset partisipan. c. Harga Diri (Self esteem)
(18)
49
Indikator ini menjelaskan tentang tanggapan riset partisipan akan harga diri yang dicapai. Aspek utama harga diri adalah dicintai dan menerima penghargaan dari orang lain dan harga diri akan rendah jika kehilangan kasih sayang dan penghargaan orang lain.
Riset partisipan memiliki harga diri yang baik, karena dukungan keluarga dan orang disekitar membuat riset partisipan tidak merasa malu atau menarik diri karena penyakit yang dialami. enerimaan Tn. B akan penyakitnya membuat ia tidak segan untuk keluar rumah. Kunjungan orang-orang dari gereja membuat Tn. B juga merasa diterima di lingkungan sosial.
“mau menyeal bagaimana kalau udah kena penyakit.” (Tn.B115-116)
“aya tidak pernah mengeluh dengan penyakit aya.” Tn.B, 122-123)
d. Peran Diri (self role)
Indikator ini menjelaskan bahwa riset partisipan tidak memiliki kepuasan dalam menjalankan perannya khususnya sebagai kepala rumah tangga (RT). Segala pekerjaan yang sebenarnya yang harus dikerjakan, itu dikerjakan oleh istri.
(19)
Keinginan riset partisipan II untuk bekerja sangat besar. Tetapi dengan keadaannya sekarang membuat ia tidak bisa bekerja, dan itu yang membuat riset partisipan II merasa terbeban.
“terbeban hati, bagaimana aya mau kerja tapi tidak bia.(Tn.95-96)
e. Identitas Diri (self identity)
Indikator ini menjelaskan bahwa kesadaran akan riset partisipan akan diri sendiri yang bersumber dari pengamatan dan penilaian, sebagai sintesis semua indikator yang diteliti dan menjadi satu kesatuan yang utuh.
Riset partisipan II memiliki identitas diri yang jelas. Analisa ini didukung oleh penerimaan riset partisipan akan penyakitnya. Riset partisipan II juga tidak pernah mengeluh dengan keadaannya sekarang. Dukungan keluarga dan sosial membuat riset partisipan tidak pernah menarik diri. Tetapi dengan keadaannya sekarang, membuat riset partisipan II kurang puas dengan perannya. Dengan penerimaan dirinya membuat riset partisipan tetap bersemangat untuk sembuh.
“Oh makanya aya tidak pernah mengeluh, emangat teru.” (Tn.B 125-126)
(20)
51
Nama Tn. K Saat ini riset partisipan berumur 68 tahun. Riset partisipan merupakan ketua adat di desa Tomata, pernah juga menjabat sebagai kepala desa Tomata. Riset partisipan tinggal bersama istri dan 1 orang anak. Riset partisipan merupakan orang yang pekerja keras, walaupun sakit, riset partisipan masih pergi ke sawah untuk bertani, dan masih melakukan pekerjaan kalau berada di rumah, salah satunya yang sering dilakukan adalah menjemur padi hasil panen.
Riset partisipan juga memiliki penyakit lainnya yaitu protat, yang sudah melewati masa pengobatan. Awalnya riset partisipan sebenarnya akan melakukan operasi prostat, tetapi dalam pemeriksaan tubuh khususnya rontgen, riset partisipan didiagnosa TB paru.
Ciri-ciri fisik riset partisipan adalah tinggi badan ±170 cm, badan tampak kurus, kulit putih dan rambut sudah beruban. Selama wawancara berlangsung, riset partisipan mau menjawab semua pertanyaan yang diajukan oleh peneliti. Riset partisipan juga selalu memberikan jawaban yang terbuka, dan lebih bersemangat untuk menceritakan segala apa yang riset partisipan alami. Wawancara dilakukan pada tanggal 18 Agustus 2014 pukul 13.00 WITA.
(21)
Data-data yang diperoleh dari hasil wawancara dianalisa berdasarkan beberapa indikator yang dipakai untuk pedoman wawancara.
a. Gambaran Diri (ody image)
Indikator ini menjelaskan tentang tanggapan riset partisipan terkait dengan sikap riset partisipan terhadap tubuhnya, baik secara sadar maupun tidak sadar. Menerima dan menyukai bagian tubuh akan memberi rasa aman sehingga terhindar dari rasa cemas dan meningkatkan harga diri.
Riset partisipan yang ke III memiliki gambaran diri yang negatif. Karena subjek merasa cemas dengan penyakitnya. Walaupun subjek beranggapan dia sudah pasrah dengan keadaannya, tetapi subjek sangat berharap untuk sembuh. Dan ada penyesalan dalam diri riset partisipan sebab ketika partisipan sudah merasakan sakit, partisipan tidak memeriksakan diri secepatnya, sesuai saran dari keluarga maupun orang-orang terdekat.
“ebenarnya aya katakan lambat ya. Sebab elama aya udah 67 tahun, tidak pernah perika ecara utuh. Itulah kelemahan aya, aya raa itu ebetulnya kalau memang kita udah raa akit, kita pergi untuk perika.” (Tn. K 176-189)
(22)
5
erubahan juga dialami oleh riset partisipan dengan aktifitasnya, yang selama ini riset partisipan disibukan dengan pekerjaannya di sawah, kebun, maupun di lahan sawit. urubahan aktifitas membuat riset partisipan merasa cemas dengan apa yang selama ini dilakukan.
“iyo, belum lagi ini gumuli itu awah, kebun, awit, apa emua, iapa yang mau olah. Jadi memang kita gumuli emua.(Tn.K68-70)
b. Ideal Diri (self ideal)
Indikator ini menjelaskan akan persepsi riset partisipan tentang perilakunya, disesuaikan dengan standar pribadi yang terkait dengan cita-cita, harapan dan keinginan, dan nilai yang ingin dicapai. Indikator ini tidak ditemukan pada riset partisipan.
c. Harga Diri (Self esteem)
Dari indikator ini, riset partisipan memiliki harga diri yang rendah. Riset partisipan mengalami gangguan hubungan sosial dengan menarik diri dari lingkungan, dengan mengambil keputusan untuk tidak mengikuti kegiatan yang sering dilakukan, seperti ibadah pagi dan melaksanakan tanggung jawab sebagai ketua adat. Riset partisipan berpikir bahwa dengan penyakit yang dialami sekarang, takut mengganggu orang lain.
(23)
”ejak aya pernah di opname di RS Poo, ekarang aya tidak ibadah ubuh lagi, kalau dulu aya paling ering ibadah ubuh, karena aya ering batuk kalau ubuh. Sekarang juga aya malu ke kantor dea, karena nanti orang-orang beranggapan dengan keadaan akit begini, maih uka uru permaalahan orang lain.(Tn. K 100-113)
d. Peran Diri (self role)
Indikator ini menjelaskan bahwa riset partisipan merasa puas dengan perannya sekarang. Walaupun dalam keadaan sakit, peran masih dilakukan dengan baik. Walaupun ada rasa harga diri rendah karena pemikiran sendiri, tapi karena kepercayaan dari orang lain, sehingga riset partisipan merasa puas dengan perannya, khususnya peran di masyarakat. Sampai saat ini, riset partisipan masih memegang jabatan sebagai ketua adat di desa Tomata.
”dengan pengabdian di dea dan di Negara ini, jadi kepala dea, dia adat, penatua (Majeli di gereja) lalu, jadi aya enang ekali, udah beryukur kalau aya udah mati tiba-tiba.” (Tn.K 133-137)
e. Identitas Diri (self identity)
Indikator ini menjelaskan bahwa kesadaran akan riset partisipan akan diri sendiri yang bersumber dari pengamatan
(24)
55
dan penilaian, sebagai sintesis semua indikator yang diteliti dan menjadi satu kesatuan yang utuh.
Riset partisipan yang ke III memiliki identitas yang jelas. Riset partisipan menerima keadaan yang dihadapi sekarang. enerimaan akan penyakit yang dialami, walaupun ada penyesalan diawal membuat riset partisipan mengenali akan dirinya. Dukungan keluarga dan adanya kepercayaan dari masyarakat untuk mengemban tugas, itulah yang membuat riset partisipan tetap semangat untuk menjalani pengobatan, dan ada semangat dalam diri riset partisipan sendiri untuk sembuh.
“pertama kita minta embuh, maka berdoalah. (Tn.K, 41) “Dengan pengabdian di dea dan di negara ini. jadi kepala dea, di adat, ampe ekarang ini maih ketua adat, penatua lalu, jadi aya udah enang ekali, udah beryukur kalau aya udah mati tiba-tiba” (Tn.K 133-137)
4.3 Pembahasan
embahasan dilakukan pada kelima indikator dari konsep diri. Berdasarkan hasil analisa penelitian yang telah diperoleh, pembahasan dilakukan untuk menjawab pertanyaan tentang konsep diri penderita TB aru di uskesmas Tomata.
(25)
4.3.1 Gambaran diri (Body Image)
Dari hasil penelitian diketahui bahwa dari keseluruhan riset partisipan, partisipan I memiliki gambaran diri yang positif. Dilihat dari indikator yang mendukung, itu terjadi karena adanya dukungan keluarga maupun dukungan dari lingkungan sosial. Dukungan keluarga menurut Friedman (1998) adalah sikap, tindakan dan penerimaan keluarga terhadap penderita yang sakit. enerimaan dari keluarga inilah yang meningkatkan harga diri dan mengurangi rasa cemas akan penyakit yang dialami oleh riset partisipan.
enerimaan yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan sosial yang dirasakan oleh riset partisipan adalah dengan terjalin hubungan yang baik dengan orang lain dan itu dilihat dari cara mereka ketika menjenguk partisipan dengan memberikan pelukan. Itulah yang membuat riset partisipan merasa diterima. Hal ini didukung oleh pendapat Melisa (2012), yang menyatakan bahwa penderita tuberkulosis perlu mendapatkan dukungan sosial lebih, karena dukungan dari orang–orang secara langsung dapat menurunkan beban psikologis sehubungan dengan penyakit yang dideritanya. Selain itu, dukungan sosial dapat mempengaruhi tingkah laku individu, seperti penurunan rasa cemas, mudah putus asa, yang pada akhirnya dapat meningkatkan status kesehatan.
(26)
57
Dukungan yang lebih utama berasal dari keluarga partisipan juga tidak berhenti untuk memberi perhatian yang penuh kepada partisipan dengan membantu untuk memenuhi kebutuhan partisipan untuk makanan, jadwal minum obat serta dukungan spiritual. Sehingga, partisipan merasakan perubahan yang sangat luar biasa dalam hidupnya.
Riset partisipan yang ke II dan III memiliki gambaran diri yang negatif karena adanya penolakan dalam diri sendiri. Dukungan keluarga yang diterima sangat baik, tetapi penerimaan diri dari partisipan terhadap keadaannya yang masih sulit. Hal ini terjadi karena sebelum sakit, partisipan adalah pribadi yang sangat aktif dalam berbagai hal baik pekerjaan, pelayanan maupun dalam keluarga. Itu didukung juga karena adanya jabatan sebelumnya yang mendukung rasa penerimaan diri partisipan. Berdasarkan salah satu faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri yakni sumber internal, kekuatan dan perkembangan individu berasal dari dalam dirinya. Itu berarti partisipan harus bisa mengolah emosi dan pikirannya, sehingga partisipan dapat menerima keadaan dirinya saat mengalami sakit.
4.3.2 Ideal Diri (self ideal)
Indikator ini menjelaskan akan persepsi riset partisipan tentang perilakunya, disesuaikan dengan standar pribadi yang
(27)
terkait dengan cita-cita, harapan dan keinginan, dan nilai yang ingin dicapai.
Dari hasil penelitian, hanya riset partisipan I yang memiliki ideal diri yang realistis. Faktor yang mendukung adalah faktor internal, yaitu kemauan dari dalam diri sendiri untuk sembuh. Faktor internal ini bisa muncul karena adanya sumber eksternal yang mendukung, yaitu dukungan keluarga, khususnya dari istri yang selalu memperhatikan partisipan dengan mendorong untuk pengobatan teratur, dan bagaimana keluarga selalu mendukung dalam doa untuk kesembuhan partisipan. Selain itu, ketika partisipan menerima keadaannya sekarang dan menyerahkan semuanya kepada Tuhan, koping individunya lebih efektif sehingga partisipan mempunyai tujuan hidup yang dia akan capai yaitu kesembuhan.
4.3.3 Harga Diri (Self esteem)
Dari hasil penelitian diketahui bahwa dari keseluruhan partisipan, partisipan I dan III memiliki harga diri rendah, karena alasan penyakit yang dialami. Alasan yang melatarbelakangi hal tersebut yaitu menghambat aktifitas partisipan. Hal ini didukung oleh pendapat otter & erry (2010) yang menyatakan bahwa seseorang yang menderita penyakit kronis seperti TB aru akan mempengaruhi harga diri penderita baik secara langsung maupun
(28)
59
tidak langsung. Semakin banyak penyakit kronis yang mengganggu kemampuan beraktivitas yang mempengaruhi keberhasilan seseorang, maka akan semakin mempengaruhi harga diri.
Selanjutnya alasan yang membuat partisipan memiliki harga diri rendah adalah banyaknya harapan-harapan yang ingin dicapai partisipan dalam kehidupannya. Tetapi penurunan aktifitas dan perasaan malu karena mengetahui penyakitnya dapat tertular kepada orang lain membuat koping partisipan tidak adekuat yang membuat partisipan menarik diri.
Harga diri dari partisipan II tinggi, ini dipengaruhi oleh penerimaan diri partisipan dengan keadaannya, partisipan tidak malu dengan penyakit yang dialaminya, dan juga partisipan tidak menarik diri dari lingkungan sosial. Stuart, 2007 dalam teorinya mengungkapkan harga diri yang tinggi adalah perasaan yang berasal dari penerimaan diri sendiri tanpa syarat, walupun melakukan kesalahan, kekalahan, dan kegagalan, tetap merasa sebagai seorang yang penting dan berharga.
4.3.4 Peran Diri (Self Role)
Menurut Stuart, (2007) peran diri adalah serangkaian pola perilaku yang diharapkan oleh lingkungan sosial berhubungan dengan fungsi individu diberbagai kelompok sosial.
Dari hasil analisa peran diri dari setiap riset partisipan, riset partisipan I dan II tidak memiliki kepuasan dalam peran diri yang
(29)
dijalankan. Menurut Sayekti (1994) untuk mencapai keluarga yang bahagia, masing-masing anggota keluarga perlu memahami dan menjalankan fungsi keluarga. Respon dari kedua partisipan dengan peran diri mereka adalah keduannya merasa terbeban karena terhambatnya aktifitas dan peran mereka dalam keluarga. Banyak hal yang ingin dilakukan oleh kedua partisipan, tetapi keadaan menuntut pertisipan untuk tetap menjalani masa penyembuhan dan semua pekerjaan rumah tangga diambil alih oleh istri bahkan pemenuhan kebutuhan hidup dikerjakan oleh istri.
4.3.5 Identitas Diri (self identity)
Indikator ini menjelaskan bahwa kesadaran akan riset partisipan akan diri sendiri yang bersumber dari pengamatan dan penilaian, sebagai sintesis semua indikator yang diteliti dan menjadi satu kesatuan yang utuh.
Dari hasil analisa setiap riset partisipan, memiliki identitas yang jelas. Ini didukung oleh dukungan keluarga bagi mereka. ini sangat membantu para riset partisipan untuk memiliki identitas yang jelas. Dukungan keluarga sangat penting untuk para riset partisipan. Selain adanya dukungan keluarga, dukungan spiritual juga mendukung secara langsung. Adanya dukungan spiritual itu
(30)
61
membantu riset partisipan untuk menyerahkan semua keadaan mereka kepada Tuhan, dan itu meningkatkan kepercayaan mereka untuk berpengharapan. Kematangan umur itu juga membantu partisipan untuk berpikir secara realistis dengan apa yang mereka alami sekarang.
(1)
4.3.1 Gambaran diri (Body Image)
Dari hasil penelitian diketahui bahwa dari keseluruhan riset partisipan, partisipan I memiliki gambaran diri yang positif. Dilihat dari indikator yang mendukung, itu terjadi karena adanya dukungan keluarga maupun dukungan dari lingkungan sosial. Dukungan keluarga menurut Friedman (1998) adalah sikap, tindakan dan penerimaan keluarga terhadap penderita yang sakit. enerimaan dari keluarga inilah yang meningkatkan harga diri dan mengurangi rasa cemas akan penyakit yang dialami oleh riset partisipan.
enerimaan yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan sosial yang dirasakan oleh riset partisipan adalah dengan terjalin hubungan yang baik dengan orang lain dan itu dilihat dari cara mereka ketika menjenguk partisipan dengan memberikan pelukan. Itulah yang membuat riset partisipan merasa diterima. Hal ini didukung oleh pendapat Melisa (2012), yang menyatakan bahwa penderita tuberkulosis perlu mendapatkan dukungan sosial lebih, karena dukungan dari orang–orang secara langsung dapat menurunkan beban psikologis sehubungan dengan penyakit yang dideritanya. Selain itu, dukungan sosial dapat mempengaruhi tingkah laku individu, seperti penurunan rasa cemas, mudah putus asa, yang pada akhirnya dapat meningkatkan status kesehatan.
(2)
Dukungan yang lebih utama berasal dari keluarga partisipan juga tidak berhenti untuk memberi perhatian yang penuh kepada partisipan dengan membantu untuk memenuhi kebutuhan partisipan untuk makanan, jadwal minum obat serta dukungan spiritual. Sehingga, partisipan merasakan perubahan yang sangat luar biasa dalam hidupnya.
Riset partisipan yang ke II dan III memiliki gambaran diri yang negatif karena adanya penolakan dalam diri sendiri. Dukungan keluarga yang diterima sangat baik, tetapi penerimaan diri dari partisipan terhadap keadaannya yang masih sulit. Hal ini terjadi karena sebelum sakit, partisipan adalah pribadi yang sangat aktif dalam berbagai hal baik pekerjaan, pelayanan maupun dalam keluarga. Itu didukung juga karena adanya jabatan sebelumnya yang mendukung rasa penerimaan diri partisipan. Berdasarkan salah satu faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri yakni sumber internal, kekuatan dan perkembangan individu berasal dari dalam dirinya. Itu berarti partisipan harus bisa mengolah emosi dan pikirannya, sehingga partisipan dapat menerima keadaan dirinya saat mengalami sakit.
4.3.2 Ideal Diri (self ideal)
Indikator ini menjelaskan akan persepsi riset partisipan tentang perilakunya, disesuaikan dengan standar pribadi yang
(3)
terkait dengan cita-cita, harapan dan keinginan, dan nilai yang ingin dicapai.
Dari hasil penelitian, hanya riset partisipan I yang memiliki ideal diri yang realistis. Faktor yang mendukung adalah faktor internal, yaitu kemauan dari dalam diri sendiri untuk sembuh. Faktor internal ini bisa muncul karena adanya sumber eksternal yang mendukung, yaitu dukungan keluarga, khususnya dari istri yang selalu memperhatikan partisipan dengan mendorong untuk pengobatan teratur, dan bagaimana keluarga selalu mendukung dalam doa untuk kesembuhan partisipan. Selain itu, ketika partisipan menerima keadaannya sekarang dan menyerahkan semuanya kepada Tuhan, koping individunya lebih efektif sehingga partisipan mempunyai tujuan hidup yang dia akan capai yaitu kesembuhan.
4.3.3 Harga Diri (Self esteem)
Dari hasil penelitian diketahui bahwa dari keseluruhan partisipan, partisipan I dan III memiliki harga diri rendah, karena alasan penyakit yang dialami. Alasan yang melatarbelakangi hal tersebut yaitu menghambat aktifitas partisipan. Hal ini didukung oleh pendapat otter & erry (2010) yang menyatakan bahwa seseorang yang menderita penyakit kronis seperti TB aru akan
(4)
tidak langsung. Semakin banyak penyakit kronis yang mengganggu kemampuan beraktivitas yang mempengaruhi keberhasilan seseorang, maka akan semakin mempengaruhi harga diri.
Selanjutnya alasan yang membuat partisipan memiliki harga diri rendah adalah banyaknya harapan-harapan yang ingin dicapai partisipan dalam kehidupannya. Tetapi penurunan aktifitas dan perasaan malu karena mengetahui penyakitnya dapat tertular kepada orang lain membuat koping partisipan tidak adekuat yang membuat partisipan menarik diri.
Harga diri dari partisipan II tinggi, ini dipengaruhi oleh penerimaan diri partisipan dengan keadaannya, partisipan tidak malu dengan penyakit yang dialaminya, dan juga partisipan tidak menarik diri dari lingkungan sosial. Stuart, 2007 dalam teorinya mengungkapkan harga diri yang tinggi adalah perasaan yang berasal dari penerimaan diri sendiri tanpa syarat, walupun melakukan kesalahan, kekalahan, dan kegagalan, tetap merasa sebagai seorang yang penting dan berharga.
4.3.4 Peran Diri (Self Role)
Menurut Stuart, (2007) peran diri adalah serangkaian pola perilaku yang diharapkan oleh lingkungan sosial berhubungan dengan fungsi individu diberbagai kelompok sosial.
Dari hasil analisa peran diri dari setiap riset partisipan, riset partisipan I dan II tidak memiliki kepuasan dalam peran diri yang
(5)
dijalankan. Menurut Sayekti (1994) untuk mencapai keluarga yang bahagia, masing-masing anggota keluarga perlu memahami dan menjalankan fungsi keluarga. Respon dari kedua partisipan dengan peran diri mereka adalah keduannya merasa terbeban karena terhambatnya aktifitas dan peran mereka dalam keluarga. Banyak hal yang ingin dilakukan oleh kedua partisipan, tetapi keadaan menuntut pertisipan untuk tetap menjalani masa penyembuhan dan semua pekerjaan rumah tangga diambil alih oleh istri bahkan pemenuhan kebutuhan hidup dikerjakan oleh istri.
4.3.5 Identitas Diri (self identity)
Indikator ini menjelaskan bahwa kesadaran akan riset partisipan akan diri sendiri yang bersumber dari pengamatan dan penilaian, sebagai sintesis semua indikator yang diteliti dan menjadi satu kesatuan yang utuh.
Dari hasil analisa setiap riset partisipan, memiliki identitas yang jelas. Ini didukung oleh dukungan keluarga bagi mereka. ini sangat membantu para riset partisipan untuk memiliki identitas yang jelas. Dukungan keluarga sangat penting untuk para riset partisipan. Selain adanya dukungan keluarga, dukungan spiritual
(6)
membantu riset partisipan untuk menyerahkan semua keadaan mereka kepada Tuhan, dan itu meningkatkan kepercayaan mereka untuk berpengharapan. Kematangan umur itu juga membantu partisipan untuk berpikir secara realistis dengan apa yang mereka alami sekarang.