METODE KRITIK MUHAMMAD NASR AL-DIN AL-ALBANI (W.1419 H) DALAM KITAB DA'IF AL-ADAB AL-MUFRAD.

(1)

METODE KRITIK

MUH{AMMAD NA<S{R AL-DI<N AL-’ALBA<<NI< (W. 1419 H)

DALAM KITAB D{A‘I<F AL-ADAB AL-MUFRAD

Skripsi:

Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ilmu Ushuluddin dan Filsafat

Oleh:

MOHAMMAD LUTFIANTO NIM. E03212029

PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA 2016


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

MOHAMMAD LUTFIANTO, 2016, Metode Kritik al-Alba>ni> dalam Kitab

D}a‘i>f al-Adab al-Mufrad, Skripsi Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas \islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

Masalah yang diteliti dalam karya ini berawal dari munculnya seorang tokoh hadis kontemporer yaitu Muh}ammad Na>s}r al-Din al-Alba>ni> yang mengklasifikasikan hadis sahih dan d}a’i>f yang tedapat kitab-kitab hadis yang terkenal ke dalam kitab yang berbeda. Salah satunya adalah kitab Adab al-Mufrad karya al-Bukhari yang dia takhrij kualitas hadisnya sehingga menghasilkan kitab D}a‘i>f al-Adab al-Mufrad. Disinilah peneliti tertarik untuk mengkaji kitab tersebut yang mana kitab karya ulama al-Bukhari bisa ditakhrij

oleh al-Alba>ni>.

Adapun masalah yang ada dalam penelitian ini adalah: 1) Apa kriteria hadis d}ai>f menurut al-Alba>ni>?, 2) Bagaimana kritik yang digunakan al-Alba>ni> dalam mengkritik ke-d}ai>if-an hadis dalam kitab al-Adab al-Mufrad? 3) Bagaimana pandangan ulama hadis terhadap kritik al-Alba>ni> tentang ke-d}ai>f-an hadis dalam kitab al-Adab al-Mufrad?

Penelitian ini bersifat kepustakaan (library reseach), dalam menjawab penelitian dilakukan metode takhrij al-Hadith, naqd al-Sanad dan naqd al-Matan.

metode-metode tersebut digunakan untuk mengetahui letak hadis yang semisal dalam kitab lain dan juga untuk mengetahui kualitas hadis baik dari segi sanad atau matannya.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah 1) Dalam mendefinisikan hadis d}ai>f

al-Alba>ni>> menggunakan kaidah yang telah ditetapkan oleh para ulama hadis, yaitu hilangnya salah satu syarat hadis sahih berupa persambungan sanad (ittis}a>l al-sanad), rawi yang adil (‘adallah al-ru>wah), rawi yang thiqah (thiqat al-ruwah), tidak shadh (‘adam al-shudhu>dh) dan tidak mengandung ‘illat (‘adam al-‘illat). 2) Metode kritik al-Alba>ni> seperti yang disebutkan bahwa ia mengikuti metode kritik yang telah diformulasikan oleh ulama terdahulu, yaitu menggunakan kritik sanad dan matan, hanya saja dia tidak bertaqlid terhadap seorangpun dalam menilai hadis, seperti hadis nomer 920 yang mana dinilai marfu’ oleh al-T{abarinamun al-Albani men-d}a>‘if-kannya serta menolak ta’lil yang dilakaukan Fad}lullah pada

tabaqah Sahabat yang majhul seperti pada hadis nomer 190 dan 888. 3) Tidak sedikit ulama yang mengomentari beberapa karyanya, ada yang membela ada juga yang mendiskreditkanya. Seperti dikatakan bahwa ia tidak memiliki guru, dan belajar secara otodidak sehingga ia tidak dapat dikatakan ahli hadis. Namun para pembelanya menatakan bahwa ia pernah berguru pada ayahnya dalam ilmu fiqh yang bermadhab hanafi, belajar al-quran dan tajwidnya serta menghatakan

riwayat H}afs} serta mendapat ijazah hadis dari Muhammad Raghib al-Tabbakh sekaligus sanad yang bersambung hingga Imam Ahmad bin Hanbal. Selain itu ia juga dikatakan tidak konsisten dalam menilai hadis. Namun ketidak konsistenan itu terjadi terjadi dalam wilayah praktek, bukan wilayah kaidah yang ia pakai.


(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

PERNYATAAN KEASLIHAN ... iii

PENGESAHAN SKRIPSI ... iv

ABSTRAK ... v

MOTTO ... vi

PERSEMBAHAN ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

PEDOMAN TRANSLETATOR ... xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 10

D.Kegunaan Penelitian ... 10

E. Landasan Teori ... 10

F. Kajian Pustaka ... 11

G.Metode Penelitian ... 12

H.Sistematika Pembahasan ... 16

BAB II METODE KRITIK HADIS A. Definisi Kritik Hadis ... 17

B. Metodologi Kesahihan Hadis 1. Kritik Sanad ... 19

2. Al-Jarh} wa al-Ta‘di>l ... 26

3. Kritik Matan ... 31

C. Kaidah Kesahihan Matan ... 32

1. Kaidah Kritik Matan ... 33

2. Kaidah Pemaknaan Hadis ... 34

D. Kriteria Hadis berdasarkan Kualitas 1. Hadis Sahih ... 37

2. Hadis Hasan ... 40

3. Hadis D{a’i>f ... 41


(8)

MUH}AMMAD NA>S}R AL-DI>N AL-ALBANI> > DAN KITAB D}A‘I<F AL-ADAB AL-MUFRAD

A. Biografi al-Alba>ni>

1. Nama Lengkap dan Masa Kecil Al-Alba>ni> ... 48

2. Awal Konsentrasi dalam Dunia Hadis ... 50

3. Guru-Guru Al-Alba>ni> ... 53

4. Murid-Murid Al-Alba>ni> ... 54

5. Penilaian Ulama tentang Al-Alba>ni> ... 54

6. Karya-Karya Al-Alba>ni> ... 56

7. Wafatnya ... 58

B. Pemikiran al-Alba>ni> tentang hadis dan Kritik Hadis 1. Pandangan Mengenai hadis, Sunah, ’Athar dan Khabar 58

2. Kritik Sanad dan Matan menurut Al-Alba>ni> ... 60

3. Jarh wa Ta’dil Menurut Al-Alba>ni> ... 61

4. Pembagian Hadis menurut Al-Alba>ni> ... 66

C. Kitab D}a’i>f al-Adab al-Mufrad 1. Latar Belakang Penulisan Kitab D}a’i>f al-Adab al-Mufrad 69 2. Sistematika Penulisan Kitab D}a‘i>f al-Adab al-Mufrad 72

BAB IV KRITIK AL-ALBA>NI> DALAM KITAB D{A‘I<f AL-ADAB AL-MUFRAD A. Hadis D}a‘i>f menurut al-Alba>ni> 1. Definisi Hadis D}a‘i>f menurut al-Alba>ni> ... 79

2. Kriteria hadis D}a‘i>f menurut al-Alba>ni> ... 83

B. Metode Kritik al-Alba>ni> dalam Kitab D}a‘i>f al-Adab al-Mufrad 90 C. Kritik al-Alba>ni> terhadap pentahqiq kitab al-Adab al-Mufrad 100 D. Pandangan ulama’ terhadap metode kritik al-Alba>ni> ... 104

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... ... 115

B. Saran ... 116 DAFTAR PUSTAKA


(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Agama Islam memiliki al-Qur‟an sebagai kitab suci sekaligus dasar rujukan pertama, sementara hadis merupakan dasar kedua setelah al-Qur‟an.

Keberadaan hadis dalam penggalian hukum Islam tidak bis dipisahkan dengan

al-Qur‟an, karena fungsi hadis sebagai penjelas sekaligus perinci terhadap hal-hal yang telah disebutkan dalam al-Qur‟an secara global.1

Sebagai landasan dasar syari‟at Islam, hadis berbeda dengan al-Qur‟an,

baik pada keotentikan dalilnya maupun taraf kepastian argumennya. Hadis dihadapkan pada fakta bahwa tidak ada dalil yang secara tegas menjamin keaslihan teks hadis sebagaimana al-Qur‟an yang telah Allah jamin keotentikannya sepanjang masa.2 Hal ini berimplikasi pada pengambilan hukum sehingga al-Qur‟an menempati urutan pertama dan hadis dalam urutan kedua dengan berbagai fungsinya atas al-Qur‟an.3

Para ulama, khususnya muh}addithi>n memberi perhatian besar dalam menjaga keotentikan hadis. Hal ini dikarenakan kebanyakan hadis diterima para sahabat melalui metode hafalan, meski ada pula fakta bahwa ada sebagian kecil sahabat yang menulisnya untuk kepentingan pribadi seperti jihad, dakwah atau perniagaan. Dengan demikian, tidak menutup kemungkinan diterimanya hadis

1 Abd al-Wahab Khalaf, ‘Ilm Us}u>l al-Fiqh (Jakarta: Da>r al-Kutu>b al-Islamiyyah, 2010). 37-38. 2 Al-Qur’an: 15 (al-Hijr) : 9.

3 Fungsi hadis atas al-Qur’an adalah sebagai penguat atas ayat-ayat al-Quran, sebagai penafsir

atas ayat al-Qur’an yang belum jelas, serta menetapkan hukum yang belum disebutkan secara


(10)

2

dalam taba>qah tabi‟in dan seterusnya akan terjadi perbedaan redaksi matan hadis. Potensi lain yang bisa timbul adalah adanya penambahan (ziya>dah) atau pengurangan hadis, bahkan pemalsuan hadis yang diriwayatkan untuk kepentingan pribadi dan kelompok, seperti mengklaim madzab yang dianut adalah yang paling benar. Sebagian dari masalah inilah yang melatarbelakangi pentingnya suatu gerakan kodifiksi terhadap hadis.

Tercatat dalam sejarah penulisan hadis, bahwa orang pertama yang berinisiatif untuk melakukan kodifikasi hadis secara resmi adalah khalifah „Umar ibn „Abd al-„Azi>z (w. 101 H). Dia mengirim surat edaran kepada para gubernur di daerah masing-masing untuk menunjuk beberapa ulama dalam rangka menghimpun hadis Nabi serta menyeleksi kualitasnya. Dengan dasar perintah itu, gubernur Madinah, Abu Bakar ibn Hazm memerintahkan kepada al-Zuhri> (w. 124 H) agar mengumpulkan dan menyeleksi hadis Nabi tersebut.4

Masa kodifikasi hadis mencapai puncaknya pada abad ke 3 Hijriyah. Pada masa inilah banyak muncul para ulama penghimpun hadis seperti Ah}mad b. H}anbal (w.241 H.), al-Bukha>ri> (w. 256 H), Muslim (w. 261 H.), Abu da>wud (w. 316 H), al-Tirmidhi> (w. 279 H), al-Nasa>‟i> (w. 302 H), Ibn Ma>jah (w. 273 H), al-Darimi> (w.280 H.), dan lain-lain. Dari ulama inilah pula muncul karya-karya mereka seperti S}ah}i>h} Bukha>ri, S> }ah}i>h} Muslim, Sunan Abi> Da>wud, Sunan Ibn Ma>jah, Sunan al-Nasa>’i>, Sunan al-Tirmidhi> dan berbagai karya hadis lainnya. Selain mengumpukan hadis dalam sebuah kitab, mereka juga melakukan penyusunan kitab-kitab lain yang mengikutinya sebagai pembanding dan patokan terhadap kitab hadis yang mereka tulis seperti kitab-kitab rijal, ‘illa>h, ta>rikh, dan


(11)

3

lain sebagainya. Misalnya al-Bukha>ri> menyusun kitab al-Adab al-Mufrad dan Imam Muslim menyusun pula kitab Ila>l.5

Meskipun masa penghimpunan hadis telah selesai pada abad ketiga Hijriyah, namun tidak serta merta menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang muncul setelahnya. Hasil ijtihad dan karya para ulama mutaqaddimi>n itu memang patut mendapat apresiasi, namun ijtihad dan karya tersebut tidaklah berhenti sampai di situ saja. Dengan kata lain, ijtihad dan karya tersebut tidak bisa lepas dari ketidak sempurnaan, karena standar yang digunakan ulama dalam kajian hadis, baik sanad ataupun matan berbeda satu dengan lainnya. Oleh karena itu pintu ijtihad dalam mengkritik beberapa hadis yang telah terbukukan masih relevan dan dibutuhkan.

Salah satu kegiatan studi hadis yang sering dilakukan oleh ulama hadis adalah kegiatan kritik hadis (naqd al-h}adi>th) terhadap naskah. Kritik tersebut berupa kritik pada materi hadis (naqd matn al-h}adi>th) maupun kritik pada ra>wi

hadis (naqd al-rija>l al-h}adi>th). Kegiatan ini bukanlah suatu bentuk kecurigaan akan perawi hadis, namun merupakan bentuk kehati-hatian dan untuk meyakinkan bahwa berita atau hadis tersebut berasal dari Nabi.

Pada masa Nabi, kegiatan kitik hadis tergolong mudah, karena keputusan

otentitas sebuah hadis berada pada Nabi. Para sahabat bisa langsung menanyakan tentang hadis yang dirasa janggal bagi mereka. Namun setelah wafatnya Nabi, kegiatan kritik hadis hanya bisa dilakukan dengan menanyakan kepada orang yang mendengar hadis itu dari Nabi. Hal ini seperti apa yang dilakukan oleh „Aisyah bint Abi Bakar ketika „Umar ibn Khatta>b wafat terbunuh. Ibn „Abba>s


(12)

4

mengatakan kepada „Aisyah bahwa menjelang wafatnya, „Umar berwasiat agar tidak ada dari anggota keluarganya yang menangisi kepergiannya. Alasannya, karena „Umar pernah menjumpai Nabi bersabda, “Mayat itu akan disiksa karena ia ditangisi oleh keluarganya.” Mendengar hal tersebut, „Aisyah langsung menjawabnya, “Semoga rahmat Allah tercurahkan untuk „Umar, Nabi tidak pernah bersabda seperti itu, namun beliau pernah bersabda, “Sesungguhnya Allah akan menambah siksa mayat orang kafir yang ditangisi oleh keluarganya.” „Aisyah menambahkan, “Cukuplah bagi kalian sebuah ayat yang mengatakan bahwa tidak ada seseorang menanggung beban dosa orang lain yaitu surat

al-An‟am ayat 164.”6

Selanjutnya kegiatan kritik hadis semakin ditingkatkan sejak terbunuhnya „Utsman ibn „Affa>n pada tahun 36 Hijriyah dan H}usain ibn „Ali> pada tahun 61 Hijriyah. Mulai saat itu pula, banyak golongan atau kelompok mencari dukungan dari hadis Nabi. mereka mencari hadis dengan tujuan agar bisa menguatkan argumen mereka untuk kepentingan pribadi, bahkan jika tidak ditemukan, mereka tidak segan untuk memalsukan hadis. Maka Sejak saat itulah dalam menyeleksi hadis para ahli hadis tidak hanya mengkritik matan hadis saja, namun mereka juga meneliti identitas periwayat hadis.7

Dalam perkembangannya, usaha kritik hadis yang dilakukan ulama hadis masa kontemporer ini dilakukan dengan menelaah kembali terhadap kitab-kitab yang telah mapan dibukukan. Seperti yang dilakukan oleh ahli hadis semisal Ibn Qayyi>m al-Jauzi>, Muh}ammad Ghaza>li>, Ibn Taimiyah, Muh}ammad Na>s{ir al-Di>n al-Alba>ni>, dan ulama hadis kontemporer lainnya. Ulama hadis masa kontemporer ini

6 Muslim bin Hajjaj, S}ah}ih} Muslim, (Beirut: Da>r al-Fikr), 370-371. 7Ali Mustafa Ya’qub, Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011), 4.


(13)

5

biasa meneliti ulang hadis-hadis yang telah tersebar dalam kitab-kitab penting yang menjadi rujukan umat, dengan menentukan kualitas dari hadis-hadis yang dijadikan h}ujjah. Seperti koreksi ulang yang dilakukan Muh}ammad Na>s}ir al-Di>n al-Alba>ni> terhadap H}asan al-Saqqa>f dalam kitab miliknya al-Tana>qud}a>t.8

Salah satu ulama hadis yang akan menjadi objek kajian pada penelitian ini adalah Muh}ammad Na>s}i>r al-Di>n al-Alba>ni>. Ia merupakan ulama hadis yang banyak mentakhrij kitab-kitab yang telah mapan seperti, al-Adab al-Mufrad

karya Imam al-Bukha>ri>, S}ahih} } Sunan Ibn Ma>jah karya Ibnu Ma>jah, sunan Ibn Da>wud karya Abi Da>wud dan kitab-kitab lainnya.

Selain itu, dia juga telah banyak men-takhri>j, men-tahqi>q dan men-ta’li>q

hadis dari kitab-kitab yang banyak dipakai pegangan ummat. Seperti yang dilakukannya dalam men-takhrij hadis dari kitab al-Mana>r al-Sabi>l, sebuah kitab pegangan mazhab Hanbali yang disusun oleh ‟Ibra>him b. Muh}ammad ibn Sa>lim.9 Al-Albani juga sering mengkritik ulama hadis terkenal misal Ibn Taimiyah yang dikenal sangat ketat dalam menggunakan hadis. Karya Ibn Taimiyah yang dikritik oleh Albani adalah al-Kali>m al-Tayyi>b, yang dinyatakan bahwa diantara 253 hadis yang terdapat di dalamnya, hanya 193 yang dinyatakan Sahih oleh Albani.10

Keutamaan dan kelebihan yang dimiliki Muh}ammad Nas}i>r al-Di>n al-Alba>ni> dalam bidang ilmu hadis pada zaman sekarang telah diakui banyak orang.„Abd „Azi>z ibn Ba>z mengatakan, “Aku tidak mengetahui ada orang setara

8 Na>s}ir al-Di>n al-Alba>ni, Koreksi Ulang al-Alba>ni, terj. Abd Munawwir (Jakarta: Pustaka Azzam,

2003),5.

9Rastana, Pemikiran Muhammad Nasir al-Din al-Albani tentang Kritik Hadis (Skripsi fakultas

Ushuluddin IAIN Sunan Kali Jaga, Yogyakarta, 2003),16.


(14)

6

dalam mengetahui ilmu hadis di zaman sekarang kecuali al-Alba>ni>.”11 Dia juga pernah ditanya tentang siapa mujaddid yang dimaksud dalam hadis Nabi yang keluar seratus tahun sekali12, beliau menjawab,”menurut pandanganku mujaddid abad ini adalah Muh}ammad Nas}i>r al-Din al-Alba> >ni>.”13 Muh}ammad ibn Ibrahim „aly14 juga berkat,” al-Alba>ni> merupakan ulama ahli sunnah yang senantiasa membela yang haq dan menyerang ahli kebatilan.”15

Selanjutnya fokus kajian penelitian ini adalah karya al-Alba>ni> dalam mentakhrij hadis-hadis yang ada dalam kitab al-Adab al-Mufrad karya Imam al-Bukha>ri>. Metode yang dia gunakan adalah dengan memisahkan antara hadis-hadis Sahih dan hadis-hadis d}a‘i>f dalam kitab tersebut yang dengan menyusun kitab tersendiri yang diberi nama S}ahi>h al-Adab al-Mufrad dan D}a‘i>f Adab al-Mufrad. Penulis lebih menfokuskan pada kajian kitab D}a‘i>f al-Adab al-Mufrad

sebagai bahan kajian penelitian ini.

Dalam menyeleksi hadis-hadis dalam kitab al-Bukha>ri> tersebut tidaklah mudah, al-Alba>ni> menghabiskan waktu lebih dari 40 tahun dalam mentakhrijnya.16 Meski demikian, sebagian ahli hadis menilai bahwa pengklasifikasian yang dilakukan al-Alba>ni> tidaklah diperlukan. Mereka menilai

11 Na>s}ir al-D>in al-Alba>ni>, Muhammad Nasiruddin Albani dalam Kenangan, terj. Abu Ihsan (Solo:

at-Tibyan),9.

12 Isi hadis ini adalah

اه يدل اِ ددج نم ة س ةئام لك سءر يلع ةماا ذِ ثعبي ها نا ‚Sesungguhnya Allah akan membangkitkan bagi umat ini setiap awal seratus tahun

seorang Mujaddid yang akan mngembalikan kemurnian agama ini.‛ 13 Na>s}ir al-D>in al-Alba>ni>, Muhammad Nasiruddin Albani dalam Kenangan, 163. 14 Beliau adalah Mufti kerajaan Saudi Arabiah. Lihat ibid.,165.

15 Nas}i>r al-D>in, Muhammad Nasiruddin Albani dalam Kenangan, 166.

16 Muhammad Na>s}ir al-Di>n al-Alba>ni>, D}a’i>f al-Adab al-Mufrad. Terj. Hery Wibowo dan Abd


(15)

7

cukuplah hasil takhrij suatu kitab menjadi penjelas suatu hadis dengan menyajikan format hadis pada aslinya.17

Kitab al-Adab al-Mufrad merupakan hasil karya seorang ahli hadis yang sangat berjasa besar dalam dedikasinya dalam bidang hadis yaitu Imam al-Bukha>ri>.18 Al-Bukhari dikenal sangat selektif dalam meriwayatkan hadis. terbukti dengan diakuinya kitab s}ah}ih} al-Bukhari sebagai kitab hadis paling otentik dan menjadi rujukan para peneliti hadis. Salah satu karangannya yaitu kitab al-Adab al-Mufrad yang juga terenal di kalangan ahli hadis. Namun terdapat hal yang menarik dari kitab al-Adab al-Mufrad ini adalah kitab ini merupakan kitab yang menjelaskan tentang adab dan akhlak yang mana al-Bukha>ri> tidak memasukkan hadis-hadis yang ada di dalam kitab al-Adab al-Mufrad ke dalam subbab dari kitab al-Ja>mi‟ al-S}ah}i>h}. Padahal di dalam karaktristik kitab ja>mi‘ telah memuat seluruh bab termasuk bab tentang adab dan akhlak.

Menurut al-Alba>ni>, dari sekian banyak hadis-hadis yang terdapat dalam kitab al-Adab al-Mufrad, ternyata di dalamnya tidak semua hadis berkualitas

s}ah}i>h. Banyak terdapat hadis } hasan dan d}a‘i>f yang tercantum dalam kitab tersebut. Kenyataan ini membuat pertanyaan besar karena pengarang dari kitab ini merupakan tokoh hadis besar yang terkenal dan selektif dalam periwayatan hadis.19 Seperti hadis yang diriwayatkan oleh „Abd al-Rah}ma>n b. Ajla>n,

17 Ibid., 16.

18 M.M. Abu Syuhbah, Fi Rih}a>b al-Sunnah al-Kutub al-S}ih}a>h} al-Sittah (Kairo: Majma’ al-Buhu>s

al-Islamiyyah, 1969), 43.

19 Muh}ammad Na>s}ir al-Di>n al-Alba>ni, D}a’i>f al-Adab al-Mufrad. Terj. Hery Wibowo dan Abd


(16)

8

ِنْب ِنَََْرلا ِدْبَع ْنَع ، ٍدَمَُُ َِِأ ٍِْثَك ْنَع ، َةَمَلَس ُنْب ُداَََ اَ َ ثَدَح : َلاَق ىَسوُم اَ َ ثَدَح

َنَاْجَع

ُْ َع َُللا َيِضَر ِباَطَْْا ُنْب ُرَمُع َرَم : َلاَق

: ِرَخ ِْْل اَُُُدَحَأ َلاَقَ ف ، ِناَيِمْرَ ي َِْْلُجَرِب

َرلا ِءوُس ْنِم دَشَأ ِنْحَللا ُءوُس : ُرَمُع َلاَقَ ف ، َتْبَسأ

.ِيْم

20

Bercerita Musa, dia berkata bahwa telah berkata pada kami ibn Salamah, dari Kathi>r ‘Abi Muh}ammad dari ‘Abd al-Rah}ma>n b. Ajla>nia berkata, ‚ Pernah ‘Umar b. Khat}t}ab lewat dihadapan dua orang yang sedang saling melempar, maka salah satu mereka berkata kepada yang lain,‛ Apakah yang kamu lempar tepat pada sasaran?‛, ‘Umar berkata,‛ Kejelekan lirik lagu lebih jelek dari jeleknya lemparan sesorang.”

Menurut al-Albani sanad hadis ini adalah dha‟if karena „Abd al-Rahman merupakan orang yang majhul.21

Contoh lain hadis yang dinyaakan d}a‘if oleh al-Alba>ni> adalah hadis nomer 38,

ح

لاق مصاع نب دَأ ا ثد

حيرش نب ةويح نع ب و نب يثدح لاق ْفع نب ديعس ا ثدح

نع جارد نع

ىلص ِ لا نع صاعلا نب ورمع نب ها دبع نع يدصلا لا نب ىسيع

امو موي ةْسم ي نايقتليل ْ مؤما يحور نا لاق ملسو يلع ها

بحاص اُدحأ ىأر

22

Diriwayatkan dari „Abdullah b. „Amr b. „As} dari Nabi, beliau bersabda, “Roh dua orang muslim bertemu sepanjang hari. Mereka tidak dapat melihatnya satu sama lain.”

Menurut al-Albani hadi ini d}a„if karena setelah diteliti ternyata hadis ini tidak terdapat pada kutub al-Sittah.23

Usaha yang dilakukan oleh al-Alba>ni> dengan men-tahri>j kitab Adab al-Mufrad berhasil melahirkan dua karya sekaligus, yaitu kitab S}ah}i>h} Adab al-Mufrad dan kitab D}a’i>f al-Adab al-Mufrad. Al-Alba>ni> berpendapat bahwa

20 Muhammad ibn ‘Isma>‘il al-Buh}ari>, al-‘Adab al-Mufrad (Riyadh, al-Maktabah al-Ma‘a>rif

Lilnasyr wa al-Tauzi>‘, 1986), 475.

21 Muh}ammad Na>s}ir al-Di>n al-Alba>ni>, D}a’i>f al-Adab al-Mufrad.175. 22 Muhammad ibn ‘Isma>il al-Buh}ari>, al-‘Adab al-Mufrad, 138-139.


(17)

9

pengklasifikasian hadis s}ah}i>h} dan d}a’i>f di suatu kitab sangatlah penting, karena tidak semua orang memahami hadis-hadis dalam suatu kitab tertentu.24 Hal ini untuk mempermudah pemahaman hadis bagi orang yang belum ahli terhadap hadis.

Penelitian ini berusaha mengangkat tema Metode Kritik Hadis Muh}ammad Na>s}ir al-Di>n al-Alba>ni> dalam kitab D}a>‘if Adbul Mufrad sebagai bahan penelitian yang akan dituangkan dalam sebuah karya ilmiah. Alasan mengangakat tema di atas adalah karena banyaknya masalah yang belum terungkap di dalamnya meliputi (1) bagaimana metode yang digunakan al-Alba>ni>

dalam mengkritik kitab yang disusun ulama hadis sekaliber al-Bukha>ri>. (2) adakah perbedaan metode diantara kedua ulama berbeda zaman tersebut dalam kajian mereka tentang hadis dan masih banyak masalah lainnya yang mengikutinya. B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka penelitian ini dapat dirumuskan pada beberapa permasalahan untuk menfokuskan pembahasan. Adapun rumasan masalah penelitian sebagai berikut:

1. Apa kriteria hadis d}ai>f menurut al-Alba>ni>?

2. Bagaimana kritik yang digunakan al-Alba>ni> dalam mengkritik ke-d}ai>if-an hadis dalam kitab al-Adab al- Mufrad?

3. Bagaimana pandangan ulama hadis terhadap kritik al-Alba>ni> tentang ke-d}ai>f-an hadis?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang diharapkan dalam penelitian ini adalah :


(18)

10

1. Memformulasikan kriteria hadis d}ai<f dalam pandangan al-Alba>ni>.

2. Mengungkap secara jelas metode al-Alba>ni> dalam mengkritisi kitab al-Adab al- Mufrad.

3. Mengetahui pandangan ulama terhadap kritik yang dilakukan al-Alba>ni> tentang ke-d}ai>f-an hadis

D. Manfaat Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini antara lain:

1. Secara teoritis penelitian ini merupakan kegiatan dalam rangka mengembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam bdang hadis dan ilmu hadis.

2. Sedang dalam tataran paktis, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumbangan pemikiran yang ilmiah dan objektif tentang pengukuran validasi hadis, yaitu penetapan hadis daif menurut muh}ammad Na>s}ir al-Di>n al-Alba>ni>

dalam kitab D}a‘i>f al-Adad al-Mufrad.

E. Landasan Teori

1. Ilmu kritik hadis adalah penetapan status cacat atau ‘adil pada perawi hadis dengan mempergunakan idiom khusus berdasarkan bukti-buktiyang mudah diketahui oleh para ahlinya, dan mencermati matan-matan hadis sepanjang Sahih sanadnya bertujuan untuk mengakui validitas atau menilai lemah dan upaya menyingkap kemusykilan pada matan hadis yang sahih serta mengatasi gejala kontradiksi antar matan dengan mengaplikasikan tolak ukur yang detail. 25

F. Kajian Pustaka


(19)

11

Setelah melakukan penelian awal yang sifatnya sementara, penulis belum menemukan begitu banyak karya ilmiah yang membahas tentang al-Albani. Hal ini dikarenakan kajian tokoh Albani masih termasuk hal yang baru yang mana dia baru wafat sekitar abad 20. Namun meski begitu, kita dapat mengenal al-Alba>ni>

dari karya-karyanya yang telah banyak beredar.

a. Kitab Al-’Imam al-Muh}addithi>n Muh}ammad Na>s}ir al-Di>n al-Alba>ni>, karya Umar Abu Bakar, dia mendiskripsikan dalam kitab ini tentang al-Alba>ni>

sejak lahir hingga meninggal dunia. Buku ini ditulis untuk mengenang kebesaran al-Alba>ni> dalam dunia Islam.

b. Hadis-hadis dalam Kitab al-Salat: Telaah kritis atas hasil penelitian Muh}ammad Na>s}ir al-Di>n al-Alba>ni>), karya Asep Ali Rahman. Dalam karya ini menjelaskan tentang kualitas keh}ujjahan hadis-hadis tentang Salat menurut penelitan al-Alba>ni>.26

c. Pemikiran Muh}ammad Na>s}ir al-Di>n al-Alba>ni> dalam keilmuan Hadis.

Karya ini merupakan tugas akhir atau Skripsi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta karya Rastana. Secara umum menjelaskan tentang prinsip dan kaidah Muh}ammad Na>s}ir al-Di>n al-Alba>ni> dalam kaidah kesahihan hadis dalam aplikasinya. Rastana juga menyimpulkan bahwa Albani adalah tokoh yang tergolong al-tawasut dalam memutuskan suatu hadis.27

Ketiga karya di atas memiliki fokus kajian masing-masing meski pada dasarnya obyek penelitian yang dituju adalah karya-karya al-Alba>ni>. Terlihat pada

26Asep Ali Rahmad, ‚Hadis-Hadis tentang Salat‛,(Skripsi fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kali

Jaga, Yogyakarta, 2003)

27 Rastana, Pemikiran Muhammad Nasir al-Din al-Albani tentang Kritik Hadis (Skripsi fakultas


(20)

12

karya pertama yang hanya menjelaskan ruwayat hidup al-Alba>ni>. Karya kedua hanya difokuskan pada hadis-hadis tentang salat, yang mana standart kehujjahannya memakai standart yang digunakan al-Alba>ni>. Sedangkan yang ketiga yaitu menjelaskan tentang pemikiran al-Albani tentang hadis ditinjau dari kesahihan hadis. Ketiga penelitian di atas bisa saja mendahului penelitian ini, namun secara ini dan fokus penelitian, kami sangat berbeda. Penelitian ini mengulas tentang metode kritik Albani dalam mend{a’i>fkan hadis.

G. Metode Penelitian

Sesuai dengan tema yang diangkat yaitu tentang metode kritik al-Alba>ni>

terhadap kitab D}a‘i>f al-Adab al-Mufrad yang objeknya tidak dapat diteliti secara statistik atau cara kuantifikasi. Oleh karena itu penelitian ini dikategorikan pada penelitian kualitatif.

Data pada penelitian kualitatif pada umumnya diperoleh dari sumber manusia atau human resources melalui observasi dan wawancara. Namun di samping itu ada juga sumber bukan manusia atau nonhuman resources, antara lain berupa dokumen, foto dan bahan statistik. Dokumen juga terdiri dari tulisan pribadi, buku harian, surat-surat, dan dokumen resmi.28 Setelah melihat tema skipsi di atas, data yang didapat bukan dari manusia melainkan berupa dokumen, baik buku atau catatan sejarah, maka penelitian ini termasuk pada jenis penelitian kepustakaan atau library research.

28Ibid., 200.


(21)

13

1. Bahan Penelitian

Sebagai ilmu normatif (meminjam istilah hukum), ilmu hadis memiliki cara kerja yang khas, yaitu pendekatan yang menggunakan konsep legis positivis. yang menyatakan bahwa hadis adalah norma-norma tertulis yang seterusnya menjadi pegangan oleh orang muslim dalam beramal. Dalam penelitian normatif, tidak dikenal adanya data, karena dalam penelitian ini sumber penelitian hadis diperoleh dari kepustakaan bukan dari lapangan, untuk itu istilah yang dikenal adalah bahan normatif. Dalam penelitian normatif bahan pustaka merupakan bahan dasar yang dalam ilmu penelitian umumnya disebut data sekunder.29 Data sekunder terbagi bahan primer dan sekunder.

a. Bahan primer, yaitu bahan penelitian yang bersifat mengikat dan mempunyai otoritas dalam penelitian ini, dalam hal ini berupa kitab yang diteliti seperti. D}a‘i>f Al-Adab al-Mufrad.

b. Bahan sekunder, yaitu bahan data yang membantu dan menunjang bahan primer dalam penelitian yang akan memperkuat penjelasan di dalamnya. Di antara bahan sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku, skripsi, jurnal dan dokumen yang mengulas tentang pemikiran al-Alba>ni> yang nantinya akan dijadikan sebagai analisis dalam penelitian ini. Adapun bahan sekunder penelitian ini sebagai berikut:

1) Al-H{adi>th wa al-Muh}addithu>n, karya Muhammad Abu Zahwu. 2) Al-Sunnah Qabl Al-Tadwi>n, karya Muhammad „Ajjaj al-Khati}b. 3) Al-Sunnah wa Makanatuha> fi Tashri>’ al-Islami>,Must}afa al-Shiba‟i

29Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Hukum Normatif Tinjauan Singkat (Jakarta: Rajawali


(22)

14

4) Ta>ri>kh al-Madha>hib al-Isla>miyyah, karya Muhammad Abu Zahrah. c. Bahan tersier, merupakan bahan data yang memberikan petunjuk atau

penjelasan terhadap bahan primer dan sekunder seperti kamus hadis, ensiklopedia, dan lain-lain.30

2. Teknik Pengumpulan Bahan

Pengumpulan bahan penelitian dalam penelitian libraru research adalah teknik dokumenter, yaitu dikumpulkan dari telaah arsip atau studi pustaka seperti, buku-buku, makalah, artikel, jurnal, koran atau karya para pakar.

Teknik dokumenter dalam penelitian hadis ini yaitu menggunakan bahan dengan cara menghimpun hadis-hadis dalam kitab al-Adab al-Mufrad. Yaitu dengan cara pertama, mengumpulkan hadis-hadis yang mengandung terindikasi

d}a‘i>f oleh al-Alba>ni>. Dan kedua yaitu mengumpulkan argument al-Alba>ni> yang digunakan dalam mend}a‟i>fkan hadis tersebut.31

3. Teknik Pengolahan Bahan

Dalam penelitian ini digunakan bahan penelitian dengan cara editing, yaitu pemeriksaan kembali bahan berupa data hadis yang diperoleh terutama dari kelengkapan, kejelasan makna, kesesuaian serta relevansinya dengan kelompok hadis yang lain.32 Setelah editing, langkah selanjutnya adalah coding

yaitu memberi catatan dan tanda pada hadis yang menyatakan jenis sumber bahan. Selanjutnya adalah rekonstruksi bahan yaitu menyusun ulang bahan

30 Jhonny Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Normatif (Malam: Bayu Media Publishing,

2006), 296.

31 Bustamin dan M. Isa H. A. Salam, Metodologi Kritik Hadis (Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada, 2004), 64-65.

32 Saifullah, Konsep Dasar Penelitian dalam Proposal Skripsi (Hand Out, Fakultas Syarian UIN


(23)

15

berupa hadis secara teratur, berurutan, logis, sehingga mudah dipahami dan diinterpretasi.33

4. Teknik Analisis Bahan

Setelah bahan data terkumpul, maka bahan penelitian tersebut dianalisis untuk mendapatkan konklusi. Teknik analisis bahan berarti menjelaskan data-data yang telah terkumpul dan diperoleh oleh peneliti melalui penelitian. Menganalisis data merupakan suatu langkah yang sangat kritis dalam penelitian. Oleh karenanya, peneliti harus dipastikan dengan benar pola analisis mana yang akan digunakan.34

Mengenai hadis-hadis yang akan diteliti dengan pendekatan keilmuan hadis, maka teknik yang digunakan untuk analisis isi (content analysis) adalah pendekatan pemahaman hadis (fiqh al-h}adi>th), periwayatan hadis, dan pemaknaan hadis (ma’a>ni> al-h}adi>th).

H. Sistematika Penulisan

Sistematika penuisan diperlukan agar suatu penelitian mempunyai arah pembahasan yang jelas karena memuat langkah-langkah pembahasan dalam penelitian. Maka dari itu dalam pembahasan penelitian ini akan dibagi menjadi lima bab dengan sistemaika sebagai berikut:

Bab I merupakan pendahuluan yang memuat seluk beluk penelitian meliputi latar belakang masalah, idenifikasi masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, telaah pustaka, metode penelitian, dan sistematika

33 Abdul Kadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004),

126.


(24)

16

pembahasan. Bab ini digunkan sebagai pedoman acuan serta target penelitian agar penelitian terlaksana secara terarah dan pembahasannya tidak melebar.

Bab II besisikan landasan teori tentang kritik hadis, yaitu meliputi teori kesahihan sanad, jarh wa ta’dil, teori kesahihan matan, dan teori ke-hujjah-an hadis. Bab ini merupakan landasan yang menjadi tolak ukur dalam penelitian.

Bab III merupakan tinjauan tentang penulis kitab yaitu al-Alba>ni> dan juga tentang kitab D}a’i>f al-Adab al-Mufrad yang meliputi: biografi al-Alba>ni>, pemikirannya tentang hadis dan kritik hadis, karaktristik kitab kitab D}a’i>f al-Adab al-Mufrad dan juga sistematika penulisannya.

Bab IV merupakan analisis tentang kritik al-Alba>ni> dalam kitab kitab

D}a’i>f al-Adab al-Mufrad yang meliputi kriteria hadis d}a’i>f menurut al-Alba>ni>, metode kritiknya dalam kitab kitab D}a’i>f al-Adab al-Mufrad, dan pandangan ulama tentang kritik al-Alba>ni> dalam kitab tersebut.

Bab V adalah penutup, bab ini berisi kesimpulan yang merupakan jawaban dari rumusan masalah yang disajikan dalam penelitian serta berisi juga saran-saran yang konstruktif dari pembaca demi perbaikan dalam penelitian selanjutnya.


(25)

BAB II

METODOLOGI KRITIK HADIS

A. Definisi Kritik Hadis

Secara etimologi, kata kritik (naqd) dalam bahasa arab mempunyai arti

sama dengan lafad al-tamyi>z yang mempunyai makna membedakan atau memisahkan.1 Lafadz naqd dalam bahasa arab biasa digunakan untuk sebuah istilah dalam penelitian, analisis, pengecekan dan pembedaan.2 Kritik dalam kamus bahasa Indonesia mempunyai makna menghakimi, membandingkan dan menimbang. Dalam pemakainnya kata ktritik sering dikonotasikan dengan makna yang tidak lekas percaya, tajam dalam analisa, dan koreksi baik atau buruknya suatu karya.3

Sedangkan menurut ulama hadis, kritik dikenal dengan istilah naqh

al-h}adi>s yaitu sebuah disiplin ilmu yang membahas tentang bagaimana membedakan antara hadis s}ah}i>h} dan d}a’i>f, mengetahui adanya illat pada hadis dan cara

menghukumi perawi-perawinya dengan tinjauan jarh wa ta‘dilnya dengan

menggunakan lafal-lafal khusus yang mengandung makna tertentu yang hanya diketahui oleh pakar ahli hadis.4 Menurut Ibnu Hatim al-Ra>zi (w. 327 H) sebagaiman dikutip oleh M.M. al-A„zami, naqd merupakan upaya menyeleksi

1Atho’illah Umar, ‚Budaya Kritik Ulama Hadis‛, Jurnal Mutawatir fakultas Ushuluddin UINSA,

Vol.1, No. 1, ( Surabaya, 2011), 138.

2 Hasyim Abbas, Kritik Matan Hadis versi Muhaddithi>n dan Fuqaha’(Yogyakarta: Teras, 2004),

9.

3 Dep. Pendidiikan dan Kebudayaan, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka.

1988), 466.


(26)

18

atau membedakan antara hadis s}ah}i>h} dan d}a’i>f, serta menetapkan para perawinya apakah termasuk kuat (thiqqah) atau cacat (marjuh).5

Dari beberapa pengertian tentang kritik hadis di atas, maka dapat kita pahami bahwa upaya kritik hadis bukan untuk membuktikan salah atau benarnya suatu hadis, karena Nabi mempunyai sifat ma‘s}um, yang dijamin terhindar dari kesalahan, tetapai tujuannya adalah menguji kejujuran para perawi hadis selaku perekam sejarah dan kandungan matan hadis di dalamnya. Kritik hadis ini pada dasarnya bertujuan untuk menguji dan menganalisis secara kritis kebenaran suatu hadis dapat dibuktikan, termasuk komposisi kalimat yang terdapat dalam matan.

B. Metodologi Kesahihan Hadis

Urgensi kritik hadis pada umumnya terdapat pada dua hal yaitu kritik sanad dan matan. Terdapat pendapat yang berbeda antara kaidah yang dianut oleh ulama hadis klasik dengan ulama kontemporer mengenai istilah kritik sanad dan matan. Ulama klasik berpendapat bahwa setiap sanad yang sahih, bisa dipastikan matannya juga sahih, begitu juga sebaliknya. Sementara ulama hadis kontemporer berpendapat bahwa kesahihan atau keda„ifan suatu sanad tidak mempengaruhi kualitas matan. Begitu pula sebaliknya, Kaidah ulama modern ini dicetuskan oleh ulama khalaf (setelah masa fitnah) karena banyaknya aksi pemalsuan hadis pada masa fitnah yang dilakukan oleh kaum shi‘ah, mu‘tazilah, zindiq, ahlu bid’ah dan kelompok lainnya. Mereka sengaja membuat matan palsu dan mencuri sanad dari hadis sahih atau muawatir sebagai penguat argumen kepentingan kelompok


(27)

19

mereka.6 Fenomena inilah yang membuat pentingnya kajian kritik sanad dan matan secara spesifik dengan tidak meniadakan hubungan erat antara keduanya.

1. Kritik Sanad

Kritik sanad mendapatkan perhatian terbesar dari para ulama hadis karena kebanyaan dari mereka menjadikan sanad sebagai patokan dasar kesahihan suatu hadis. Pemusatan perhatian ini mencakup keadaan perawi hadis serta ketersambungan sanad hadis yang disampaikan.

a. Kriteria kesahihan sanad hadis

Ibnu Al-S{alah membuat sebuah definisi hadis sahih yang disepakati oleh para muhaddisin. Ia berpendapat sebagaimana dikutip oleh M. Syuhudi Ismail :

ُدَ ْسُمْا ُثْيِد َحْا َو ُهَ ف : ُحْيِح َصلا ُثْيِد َحْا ا َمَأ

ِلد َعلْا ِل ْقَ ِب ُ ُداَ ْسِإ ُل ِصَتَ ي ىِذ َلا

ًاَلَعُمَاَو اًذاَش ُنْوُكَي َاَو ُ اَهَ تْ ُم ََِإ ِطِباَضلا

.

Adapun hadis sahih ialah hadis yang bersambung sanadnya (sampai kepada Nabi), diriwayatkan oleh (periwayat) yang 'adil dan d}abith sampai akhir sanad, (di dalam hadis tersebut) tidak terdapat kejanggalan (shadz) dan cacat ('illat).7

Berdasarkan definisi hadis di atas, dapat dipahami bahwa syarat-syarat hadis s}ahi>h dapat dirumuskan sebagai berikut:

a. Sanadnya Bersambung (Muttas}i>l)

Sanad bersambung adalah tiap-tiap perawi dalam sanad hadis menerima riwayat hadis dari perawi terdekat sebelumnya, keadaan itu

6 Ibid, 147.

7 Ibnu Al-Shalah, ‘Ulu>m Hadi>ts, ed. Nur Din Itr (Madinah Munawarah:

Al-Maktabah Al-Ilmiyah, 1972), 10; M. Syuhudi Ismail, Metodologi Kesahihan Sanad Hadis Nabi, Cetakan ke-1 (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), 64


(28)

20

berlangsung demikian sampai akhir sanad dari hadis.8 Jadi, seluruh rangkaian periwayat dalam sanad mulai dari periwayat yang disandarkan oleh mukha>rij (penghimpun hadis dalam karya tulisnya) sampai pada periwayat tingkat sahabat yang menerima hadis dari Nabi bersambung dalam satu periwayatan. Sementara itu, Imam Nawawi berpendapat bahwa suatu hadis bisa dikatakan muttas>il meskkipun hanya disandarkan sampai kepada tabi‟in atau setelah tabi‟in.9 Setiap perawi dalam sanad muttasil haruslah terbukti adanya proses penerimaan (tah}ammul) hadis dari sang guru hingga puncak sanad.

Untuk mengetahui bersambung suatu sanad, para muhaddithin menempuh langkah sebagai berikut:10

1) Mencatat semua nama periwayat dalam sanad yang diteliti

2) Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat

3) Meneliti kata-kata yang berhubungan antar periwayat yang terdekat

dalam sanad, yakni apakah kata-kata yang terpakai berupa

haddathani>, haddathana>, dan akhbarana> atau kata-kata lainnya. Melihat keterangan di atas maka suatu sanad hadis dapat dinyatakan bersambung jika seluruh periwayat dalam sanad itu benar-benar thiqqah („a>dil dan d}abit}) dan antara periwayat terdekat sebelumnya benar-benar telah terjadi hubungan periwayatan berdasarkan ketentuan tah}ammul wa al-‘a>da’ al-hadis (transformasi penyampaian dan penerimaan hadis).

8 Subhi al-Salih, ‘Ulu>m al-Hadi>th wa Mustalahahu (Beirut: al-Ilm Li al-Malayin, 1997), 145 9 Saifullah, dkk.,Metodologi Penelitian Hadis (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2013),161. Lihat: ‘Abdurrahman bin Abu bakar al-Suyuti, Tadrib al-Ra>wi fi Sharh Taqrib al-Nawawi (Kairo:Maktabah Dar al-Turath. 1972), 183.


(29)

21

b. Perawi Yang „Adil

Term „adil menurut bahasa berarti lurus, tidak dzalim, tidak menyimpang, dan jujur.11 Secara terminologi ‘a>dil adalah sifat yang melekat pada jiwa seorang perawi dan dapat menjadikan dirinya konsisten dalam menjalankan agama serta mampu memelihara ketaqwaan dan muru>’ah. Secara umum bahwa ‘a>dil adalah orang yang lurus agamanya, baik pekertinya dan bebas dari kefasikan serta hal-hal yang menjatuhkan keperwiraannya (muru’ah).12 Dengan demikian, perawi yang ‘a>dil adalah perawi yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1) Beragama Islam, yaitu seorang periwayat hadis haruslah orang yang beragama Islam ketika menyampaikan riwayatnya.

2) Mukallaf, adalah orang yang sudah baligh..

3) Taqwa, yaitu melaksanakan ketentuan agama dan meninggalkan

dosa-dosa besar serta tidak membiasakan melakukan dosa-dosa-dosa-dosa kecil. Dosa besar yang dilakukan seseorang akan menjadikan dia seorang yang fasiq, begitu juga jika dosa kecil yang dibiasakan dapat pula menjadikan dia fasiq. Jadi taqwa disini berarti menjauhi perbuatan-perbuatan dosa-dosa seperti syirik, fasiq dan bid’ah.13

Makna Al-‘Adl bukan berarti seorang itu tanpa dosa (ma’sum), karena tidak ada seorangpun yang dapat suci tanpa dosa, namun yang dimaksud ‘adl disini adalah ketaatan kepada Allah secara lahiriah

11W.J.S Poerwodarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarata: Balai Pustaka, 1985), 16 12Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushu>l al-Hadi>th…276


(30)

22

mendominasi kehidupannya dan tidak menjadikan dosa mewarnai hidupnya. Imam al-Shafi‟i mengatakan: ”saya tidak melihat seorang yang ketaqwaannya murni tanpa dosa kecuali Yahya ibn zakariya. Oleh karena itu, tingkat penilaian ‘Adl dalam hal ini bergantung pada kebiasaan perawi yaitu jika ketaqwaannya mendominasi dalam kehidupan sehariannya.”14

4) Memelihara muru>’ah dan meniggalkan sesuatu yang dapat

mencederainya. muru’ah juga diartikan memelihara diri dari berbuat dosa dan hal-hal yang merendahkan kehormatan (iffah). Adapun contoh prilaku yang dapat menciderai muru’ah seperti kencing di jalan, makan sambil berdiri dan lain sebagainya yang mana menurut tradisi setempat merupakan perbuatan yang kurang baik.

Sifat-sifat ‘adil perawi sebagaimana yang dimaksud dapat diketahui dan diteliti melalui:

1) Popularitas perawi dikalangan muhaddithin yaitu perawi yang terkenal keutamaan pribadinya.

2) Penilaian dari para kritikus perawi hadis tentang kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri perawi.

3) Penerapan kaidah jarh wa al-ta’di>l, jika tidak ada kesepakatan diantara para kritikus perawi hadis mengenai kualitas pribadi para perawi tertentu.15

14 Ibid.,147.


(31)

23

Khusus mengenai perawi hadis pada tingkat sahabat, jumhur ulama sepakat bahwa seluruh sahabat adalah „a>dil. Pandangan berbeda datang dari golongan Mu‟tazilah yang menilai bahwa Sahabat yang terlibat dalam pembunuhan „Ali dianggap fasiq dan periwayatannya pun ditolak.16 c. Perawi yang D}abit}

Secara bahasa d}abit} adalah berarti yang kokoh, kuat, tepat, dan hafal dengan sempurna.17 Sedangkan secara terminologi banyak berbeda pendapat, diantaranya menurut:

1) Ahli hadis, berarti kecerdikan seorang perawi dalam menerima hadis

dan memeliharanya, sehingga sewaktu menyampaikan ulang suatu hadis tidak terjadi kesalahan atau kerancuhan, baik bentuk hafalan maupun tulisan.18

2) Ulama ushul fiqh, berarti menekankan seorang perawi pada

kesempatan pemeliharaan serta kemampuan hafalan, terhindarnya dari kelupaan atau kerancuan diantara satu riwayat dengan lainnya, yang dimiliki oleh seorang perawi.19

Kategori d}abit terbagi menjadi dua, yaitu d}abt} al-s}adr dand}abt}

al-kitab. D}abi}t al-s}adr adalah seorang perawi yang teguh menjaga hafalan hadis dari gurunya dan dapat menyajikan hafalan tersebut kapan saja dikehendaki, sedangkan d}abt} al-kutub adalah kemampuan seorang

16Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Us}u>l al-H}adi>th…420.

17Lois Ma’luf, al-Munjid Fi al-Lughah wa al-‘A’lam (Beirut: Da>r al-Mashriq, 1992), 445. 18Rifa’at Fawzi Abdul Mutallib, Tausi>q as-Sunnah (Mesir: Maktabah al-Khanaji, 1981), 159. 19Ali HasbAllah, Us}u>l al-Tashri’ al-Islami (Mesir: Da>r al-Ma’arif, 1964), 45.


(32)

24

perawi menjaga tulisan hadisnya (setelah di-tas}h}ih}). Dimulai sejak ia mendengar hadis tersebut hingga meriwayatkannya kembali.20

Jadi yang termasuk kategori d}abt} adalah kemampuan menjaga hafalan di luar kepala dan menjaga hadis di dalam kitabnya. Hal ini berarti seorang perawi mampu memelihara hadis yang diterima dari gurunya dan dapat memlihara kitab hadis dari perubahan huruf,

penggantian isi, dan pengurangan ungkapannya jika ia

meriwayatkannya dari kitabnya.21

Adapun sifat-sifat ke-d}abit}-an perawi, menurut para ulama dapat diketahui melalui: (1) kesaksian para ulama (2) berdasarkan kesesuaian riwayatnya denga riwayat dari orang lain yang telah dikenal ke-d}abit} an-nya.22

Tingkat ke-d}abt}-an perawi menurut klasifikasi para ulama hadis ada 4 macam:23

1) Tam al-d}abt}, adalah seorang perawi yang memiliki kesempurnaan hafalan dan pemeliharaan, atau hampir sama tidak terdapat kelemahan dalam hafalan dan cacatannya.

2) Seorang perawi yang memiliki ke-d}abit}-an sama dengan ghullat-nya (kesalahan).

3) Seorang perawi yang memiliki ke-d}abit}-an lebih dari ghulat-nya 4) Seorang perawi yang mengalami ghulat lebih banyak dari d}abit}-nya.

20 Saifullah, dkk., Metodologi Penelitan Hadis. 151. 21Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Us}u>l al-H}adi>th232.

22Muhammad Nor Ichwan, Studi Ilmu Hadi>th (Semarang: RaSAIL Media, 2007), 126 23Abu Azam al-Hadi, Studi al-Hadith…153


(33)

25

Dari keempat klasifikasi di atas ada yang mutlak diterima periwayatannya, ada yang dipertimbangkan, dan ada juga yang mutlak ditolak oleh sebagian ulama dan jumhur ulama.

Menurut Muhaddithin seorang perawi yang mengalami banyak kekeliruan dalam meriwayatkan hadis adalah ditolak periwayatannya meskipun ia seorang yang bersifat adil. Menurut mereka seorang perawi yang banyak kekeliruan atau kerancuannya bukan termasuk orang yang memenuhi standar sebagai perawi hadis karena ia sangat rendah kualitas ke-d}abit}an-nya.24

d. Tidak Sha>dh (Janggal)

Al-Shafi’i> mengemukakan bahwa hadis sha>dh adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang periwayat thiqqah, namun riwayatnya tersebut bertentangan dengan orang banyak yang juga thiqqah. Pendapat inilah yang banyak diikuti karena jalan untuk mengetahui adanya sha>dh adalah dengan membanding-bandingkan semua sanad yang ada untuk matan yang mempunyai topik sama.

Berdasarkan definisi di atas, dapatlah diketahui bahwa syarat sha>dh adalah penyendirian dan perlawanan. Syarat hadis sha>dh ini bersifat komulatif. Jadi, selama tidak terkumpul padanya dua unsur tersebut, maka tidak dapat disebut sebagai hadis shadh.25 Pada umumnya, Muh}addithi>n mengakuai bahwa sha>dh dan illat hadis sangat sulit diteliti karena terletak

24Ibid, 154


(34)

26

pada sanad yang tampak sahih dan baru dapat diketahui setelah hadis tersebut diteliti lebih mendalam.

e. Tidak Ada ‘Illa>t

‘Illa>t secara etimologi artinya penyakit (cacat). Sedangkan secara terminologi muh}addithi>n adalah suatu sebab yang menjadikan cacatnya hadis dari kesahihannya.26

Para ulama muh}addithi>n mengklasifikasikan ‘illa>t menjadi tiga bagian, yaitu:

1) Sanad yang tampak muttas}}i>l dan marfu’, tetapi kenyataannya mauquf walaupun sanad-nya dalam keadaan muttas}}i>l.

2) Sanad yang tampak marfu’ dan muttas}}i>l tetapi kenyataannya mursal, walaupun sanad-nya dalam keadaan muttas}}i>l.

3) Hadis terjadi kerancuan karena bercampur dengan hadis lain. Sanad hadis juga terjadi kekeliruan penyebutan nama periwayat yang memiliki kesamaan nama dengan periwayat lain yang kualitasnya berbeda.27

2. Al-Jarh} wa al-Ta‘di>l a. Pengertian

Al-jarh} secara bahasa berarti luka yang mengalirkan darah. Para ahli hadis mendefinisikan al-jarh} sebagai terlihatnya sifat pada seorang rawi yang dapat menjatuhkan ke-‘adil-annya, dan merusak hafalannya serta

26Ali bin ‘Abdillah al-Madani, ‘Ilal al-Hadith wa Ma’rifat al-Rijal, editor ‘Abdul Mu’ti Amin (al

-Nashir: Daar al-Wa’yi Halab, 1980), 10


(35)

27

ingatannya, sehingga menyebabkan gugur riwayatnya atau melemahkannya kemudian ditolak.28

Secara bahasa al-ta‘di>l berarti taswiyyah (menyamakan). Sedang menurut istilah berarti lawan dari al-jarh}, yaitu pembersihan atau pensucian perawi dan ketetapan, bahwa ia ‘adl atau d}abt}.29

Ulama lain mendefinisikan al-jarh} dan al-ta‘di>l dalam satu definisi yakni ilmu yang membahas hal ihwal para perawi dari segi diterima atau ditolak riwayat mereka.30

b. Syarat kritikus hadis

Seorang kritikus hadis dapat menilai seorang perawi hadis secara cermat harus memenuhi kriteria umum

1) Seorang kritikus harus beriman, bertaqwa, wara‟ dan jujur. Kritikus hadis tidak mungkin dapat menilai secara benar jika tidak memiliki instrumen ini.

2) Sorang kritikus hadis harus mengetahui dengan benar sebab-sebab mencacat perawi (jarh}) atau memuji perawi (‘adl).

3) Seoran kritikus hadis harus mengetahui berkembangnya kata dalam

tata bahasa arab agar dapat menggunakan katta yang tepat dan terhindar dari kesalahan makna hadis.31

Sedangkan syarat khusus bagi kritikus hadis adalah sebagai berikut:

28Qaththan, Pengantar…, 82. 29Ibid.

30Al-Khati>b, Ushu>l al-H}adi>th , 168.


(36)

28

1) Bersikap menengah (i’tidal) dalam memuji perawi, sehingga

pujiannya tidak berlebihan dan tidak menurunkan derajat perawi diluar semestinya.

2) Tidak boleh mencacat perawi (jarh}) melebihi kebutuhan kritik hadis, karena sifat dasar kritik disini adalah darurat.

Seorang ritikus tidak diperkenankan hanya mengambil pencacatan saja jika kemudian ditemukan al-jarh} wa al-ta‘di>l dari kritikus lain. Tidak diperkenankan juga mencacat kepada orang yang tidak diperlukan untuk untuk dicatat.

c. Ulama yang populer berbicara al-jarh} wa al-ta‘di>l

Para ulama menyebutkan, bahwasanya sebagian sahabat dikenal sering berbicara mengenai perawi, mereka adalah: „Abdullah bin „Abba>s, „Abdullah bin Sala>m, „Ubada>h bin al-Shami>t, Anas bin Ma>lik, „A<ishah, Mereka menolak sebagian orang yang menyampaikan hadis kepada mereka jika diketahui perawi tersebut berdusta.32

Maka ketika muncul gerakan pemalsuan hadis, para ulama bangkit untuk memeranginya, mereka memperhatikan para perawi dan mengenali mereka. Dari sini, muncul sejumlah tabiin yang berbicara mengenai al-jarh}

wa al-ta‘di>l, di antaranya adalah: Sa„i>d bin al-Musayyab (w. 94 H), Sa„i>d bin Jubair (w. 95 H), „Ami>r al-Sha„bi> (w. 103 H), Muhammad bin Sirri>n (w. 110 H).

Pada pertengahan abad kedua Hijriah, mulai muncul sejumlah ulama peneliti dan ulama besar hadis yang pandai dalam mengetahui keadaan para


(37)

29

perawi, mereka adalah generasi kedua setelah tabi‟in, di antara mereka ini adalah: Ma„mar bin Ra>shid (w. 153 H) , Abd al-Rah}ma>n bin „Amr al-„Auza‟i> (w. 157 H), Shu„bah bin al-H}ajja>j (w. 160 H), Sufyan al-Thauri> (w. 161 H), Ma>lik bin Anas (w. 179 H), Abd Alla>h bin al-Mubarak (w. 181 H), Yahya bin Sa„i>d al-Qat}t}a>n (w. 198 H)33

Kemudian muncul generasi ketiga, di antara para tokoh terkenal pada generasi ini adalah: Abd Alla>h bin Zubair al-H}umaidi> (w. 219 H), Abu al-Wa>hid al-T}ayalisi> (w. 227 H), Yahya> bin Ma„i>n (w. 233 H), Ali> bin Abd Alla>h al-Madini> (w. 234 H), Ahmad bin H}anbal (w. 241 H)34

Kemudian datang setelah mereka generasi berikutnya, di antara para tokoh yang paling terkenal adalah: Muhammad bin Isma>„i>l al-Bukha>ri> (w. 256 H), Abu Zur„ah „Ubaid Alla>h bin Abu al-Kari>m al-Ra>zi> (w. 277 H), Abu H}a>tim Muhammad bin Idri>s al-Ra>zi> (w. 277 H)35

d. Bentuk dan tingkatan lafad al-jarh} wa al-ta‘di>l

Jumlah peringkat lafad yang berlaku untuk al-jarh} wa al-ta‘di>l tidak disepakati oleh para ulama. Ibnu H}a>tim al-Ra>zi> menetapkan empat tingkatan untuk masing-masing sifat al-ta‘di>l maupun al-jarh. Al-Dhahabi> dan al-„Ira>qi> menetapkan lima tingkatan. Sementara Ibnu H}ajar al-„Asqala>ni>

menetapkan enam tingkatan untuk hal yang sama.36

33Ibid., 86-87. 34Ibid. 35Ibid.

36Mahmud al-Thahhan, Metodologi KItab Kuning; Melacak Sumber, Menelusuri Sanad dan


(38)

30

Lafad-lafad dan peringkat al-ta‘di>l menurut klasifikasi al-Dhahabi>

yang diikuti al-„Ira>qi>, adalah:

1) Peringkat tertinggi diungkapkan dengan lafad al-ta’di>l yang diulang-ulang, yakni: thiqqah thiqqah, tha>bat tha>bat, tha>bat h}ujjah, tha>bat hafiz}, tha>bat mutqin dan lain-lain.

2) Disifati dengan lafad; thiqqah, tha>bat, mutqi>n.

3) Disifati dengan lafad: s}adu>q, la> ba’sa bihi, laisa bihi ba’sun.

4) Disifati dengan lafad: mah}alluhu al-sidq, jayyid al-H}adi>th, s}a>lih} al-H}adi>th, syaikh, wast}, s}adu>q insha Alla>h, arju an ba’sa bihi.37

Sedang peringkat lafad-lafad al-jarh} menurutnya adalah: 1) Peringkat terberat adalah: kadhb, dajja>l, wadda‘, yada‘ al-H>}adi>th. 2) Diungkapkan dengan lafad: muttaham bi al-kadhb, muttafaq ‘ala ta>rikh. 3) Diungkapkan dengan lafad: matru>k, laisa bi al-thiqah, sakatu ‘anhu. 4) Diungkapkan dengan lafad: wahm bi marrah, laisa bi syai‘in, d}a‘i>f

jiddan, d}a‘fuhu.

5) Peringkat paling ringan: yad}‘afu, fihi d}u’fun, qad d}a‘ufa, laisa bi al-qawwi>.38

e. Pertentangan Antara al-Jarh} dan al-Ta’di>l

Terkadang pernyataan-pernyataan ulama tentang al-jarh} dan al-ta’di>l terhadap seseorang yang sama bisa saling bertentangan. Sebagian men-jarh}-kannya, sedang sebagian yang lain men-ta’di>l-kannya. Bila

37Ibid.


(39)

31

demikian, diperlukan penelitian lebih lanjut. Para ulama dalam menyikapi masalah ini, terbagi menjadi tiga pendapat, yaitu:

1) Mendahulukan jarh} daripada ta‘di>l, meski yang men-ta‘di>l lebih banyak daripada yang men-jarh}. Karena yang men-jarh} mengetahui hal-hal yang tidak diketahui oleh yang men-ta‘di>l. Inilah yang dipegangi oleh mayoritas ulama.

2) Ta’di>l didahulukan daripada jarh}, bila yang men-ta’di>l lebih banyak, karena banyaknya yang men-ta’di>l bisa mengukuhkan keadaan perawi-perawi yang bersangkutan. Pendapat ini disanggah oleh sementara ulama, sebab yang men-ta’di>l meski lebih banyak jumlahnya, mereka tidak memberitahhukan hal-hal yang bisa menyanggah pernyataan yang men- jarh}.

3) Bila jarh} dan ta’di>l bertentangan, maka salah satunya tidak bisa didahulukan kecuali dengan adanya perkara yang mengukuhkan salah satunya, yakni keadaan diberhentikan sementara sampai diketahui yang lebih kuat diantara keduanya.39

3. Kritik Matan

Menurut ulama hadis, suatu hadis barulah dinyatakan sahih apabila kualitas sanad dan matannya adalah sahih. Namun pada kenyataannya banyak dijumpai suatu hadis yang sanadnya sahih tetapi matannya dianggap d}a‘i>f. Fenomena ini bukan karena kaidah kesahihan sanad yang digunakan, malainkan adanya faktor lain yang terjadi, diantaranya:


(40)

32

a. Terjadi kesalahan dalam melaksanakan penelitian matan, misalnya

kesalahan pendekatan dalam penelitian. b. Terjadi kesalahan dalam penelitian sanad

c. Karena matan hadis telah mengalami periwayatan secara makna sehingga

terjadinya kesalahan dalam pemaknaan40

Berbagai macam alasan diatas menunjukkan bahwa kegiatan kritik

matan sanggatlah dibutuhkan. Kritik matan merupakan sebuah upaya menseleksi matan hadis sehingga dapat dibedakan antara matan yang bisa diterima dan ditolak dengan menggunakan kaidah-kaidah kritik yang telah disepakati para ulama‟ hadis.41

Sebelum melakukan penelitian terhadap kualitas suatu matan

terlebih dahulu harus mengerti tentang syarat kasahihan matan, yaitu suatu matan harus terhindar dari shudhud dan ‘illat. Kegiatan ini sangat penting dan sulit karena belum adanya buku atau kitab yang secara khusus menghimpun hadis yang mengandung shudhud dan illat pada matan.42

C. Kaidah kesahihan matan

Ulama hadis tidak merumuskan tentang urutan penggunaan kaidah kesahihan matan. Penggunaan tolak ukur kesahihan matan disesuaikan dengan masalah yang didapatinya di dalam matan. Menurut Khatib al-Bagdadi, suatu matan hadis bisa diterima jika:

a. Tidak bertentangan dengan akal

40 A. Qadir Hasan, Ilmu Mushhalah Hadi>th ( Bandsung: Diponegoro, 2007),375-376.

41 Atho’illah Umar, ‚Budaya Kritik Ulama Hadis‛, Jurnal Mutawatir fakultas Ushuluddin

UINSA, Vol.1, No. 1, ( Surabaya, 2011), 153.


(41)

33

b. Tidak bertenangan dengan al-Qur‟an

c. Tidak bertentangan dengan hadis mutawatir

d. Tidak berentangan dengan ijma‟ ulama

e. Tidak bertentangan dengan dalil yang telah pasti

f. Tidak bertentangan dengan hadis ahad yang kualitasnya sahih.

Sedangkan menurut al-Dhahabi, tolak ukur penelitian matan ada empat macam, yaitu:

a) Tidak bertentangan dengan al-Qur‟an

b) Tidak bertentangan dengan hadis yang lebih kuat c) Tidak bertentangan dengan akal yang sehat

d) Susunan pernyataan menunjukkan sabda kenabian.43

1. Kaidah kritik Matan

Beberapa ulama hadis yang menfokuskan kajian dalam bidang kritik hadis seperti Ibnu Abi Hatim, Ibnu al-Hajjaj, al-„Iraqi, al-Dhahabi dan lain sebagainya, telah merumuskan kaidah-kaidah kritik matan. Beberapa kaidah kritik matan yang telah disepakati oleh ulama‟ hadis adalah

a. Melakukan komparasi terhadap hadis yang dikritik dengan riwayat-riwayat lainnya. Dengan kaidah ini dapat diketahui matan hadis mengandung idraj (tambahan), Qalb (pembalikan), ziyadah wa al-nuqsan (penambahan dan pengurangan), tash}if (perubahan titik), dan bentuk janggal lainnya yang dapat menimbulkan kesalahan dalam penafsiran hadis.


(42)

34

b. Komparasi terhadap hadis-hadis yang tampak bertentangan (ta’a>rud).

Kaidah ini dilakukan dengan teori naskh mansukh, al-jam’u

(kompromi) atau tarjih.

c. Komparasi matan hadis dengan peristiwa-peristiwa bersejarah yang kebenarannya diakui mayoritas ulama seperti peristiwa pengalihan kiblat.

d. Komparasi matan hadis dengan dalil-dalil hukum yang telah qat}’i e. Penilaian terhadap kualitas uslub yang dipakai dalam maan hadis.

Mayoritas ulama menolak hadis yang uslub-nya kacau, karena salah satu ciri hadis adalah keindahan uslub-nya dan kejelasan maknanya.44

2. Kaidah Pemaknaan Hadis

Bagi umat Islam pada umumnya, memahami hadis Nabi adalah hal yang penting. Namun tidak banyak orang yang dapat memahami sumber hukum Islam kedua tersebut. Kurangnya pedoman dan wawasan yang memadai menjadi salah satu penyebabnya.

Problematika memahami hadis sebenarnya telah diupayakan solusinya oleh para cendikiawan muslim baik dari kelompok mutaqaddimi>n maupun mutaakhkhiri>n melalui gagasan dan pikiran mereka dalam kitab-kitab sharh} maupun yang lain. Walaupun demikian, masih banyak hal yang harus dikaji kembali mengingat adanya kemungkinan faktor-faktor yang belum dipikirkan dan perlu dipikir ulang dalam wilayah yang melingkupi pemahaman teks hadis.

44 Atho’illah Umar, ‚Budaya Kritik Ulama Hadis‛, Jurnal Mutawatir fakultas Ushuluddin


(43)

35

Menurut Yu>suf al-Qard}a>wi>, ada beberapa petunjuk dan ketentuan umum untuk memahami hadis dengan baik agar mendapat pemahaman yang benar, jauh dari penyimpangan, pamalsuan dan penafsiran yang tidak sesuai, di antara petunjuk-petunjuk umum tersebut adalah:

a. Memahami hadis sesuai petunjuk Alquran.

b. Mengumpulkan hadis-hadis yang setema.

c. Mengkompromikan (al-jam‘u) atau menguatkan (al-tarji>h}) pada salah satu hadis yang tampak bertentangan.

d. Memahami hadis dengan mempertimbangkan latar belakangnya,

situasi dan kondisi ketika diucapkan, serta tujuannya.

e. Membedakan antara sarana yang berubah dan tujuan yang tetap.

f. Membedakan antara ungkapan yang bermakna sebenarnya dan yang

bersifat majaz dalam memahami hadis.

g. Membedakan antara alam ghaib dan alam kasat mata.

h. Memastikan makna dan konotasi kata-kata dalam hadis.45

Sedangkan menurut Muhammad Zuhri dalam bukunya Telaah

Matan Hadis, kaidah dalam pemaknaan Hadis adalah:

1. Dengan pendekatan kebahasaan, hal-hal yang ditempuh antara lain dengan: a. Mengatasi kata-kata sukar dengan asumsi riwa>yah bi al-ma‘na.

b. Mempergunakan ilmu ghari>b al-h}adi>th, yaitu suatu ilmu yang mempelajari makna-makna sulit dalam hadis.

45Yusuf Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi, terj Muhammad al-Baqir, (Bandung:


(44)

36

c. Teori pemahaman kalimat, dengan menggunakan teori hakiki dan majazi atau teori asba>b al-wuru>d hadis.

2. Dengan penalaran induktif, yaitu dengan langkah-langkah sebagai berikut: a. Menghadapkan hadis dengan Alquran dan hadis lain.

b. Memahami makna hadis dengan pendekatan ilmu pengetahuan.

3. Penalaran deduktif.46

Sedangkan menurut Bustamin dan M. Isa, langkah-langkah yang ditempuh dalam memahami hadis antara lain:

a. Dengan menghimpun hadis-hadis yang terjalin dengan tema yanga sama.

b. Memahami hadis dengan bantuan hadis sahih.

c. Memahami kandungan hadis dengan pendekatan Alquran.

d. Memahami makna hadis dengan pendekatan kebahasaan.

e. Memahami makna hadis dengan pendekatan sejarah (teori asba>b al-wuru>d hadis).47

Berdasarkan teori di atas, maka langkah-langkah yang bisa ditempuh untuk memahami makna hadis adalah:

a. Dengan pendekatan Alquran. Sebagai penjelas makna Alquran, makna hadis

harus sejalan dengan tema pokok Alquran

b. Dengan menghimpun hadis-hadis yang terjalin dalam tema yang sama.

c. Dengan menggunakan pendekatan bahasa, untuk mengetahui bentuk

ungkapan hadis dan memahami makna kata-kata yang sulit.

46Muhamammad Zuhri, Telaah Matan Hadis; Sebuah Tawaran Metodologis, (Yogyakarta: LESFI,

2003), 54-83.


(45)

37

d. Dengan memahami maksud dan tujuan yang menyebabkan hadis tersebut disabdakan (teori asba>b al-wuru>d).

e. Dengan mempertimbangkan kedudukan Nabi ketika menyabdakan suatu

hadis (teori maqa>mah),48

D. Kriteria Hadis Berdasarkan Kualitas 1. Hadis Sahih

Abu „Amr ibn al-Salah mengatakan bahwa hadis sahih adalah musnad yang sanadnya muttas}il melalui periwayatan orang yang adil lagi dabit mulai perawi pertama sampai ujungnya dan tidak diketemukan unsur shad sera illa>t. Imam Nawawi memberikan definisi tentang hadis sahih yaitu hadis yang muttasil sanadnya melalui periwayatan orang-orang yang adil lagi d}abit tanpa shadh dan illa>t.49

Hadis sahih dibagi menjadi dua, yaitu:

a) S}ah}i>h} li dha>tihi, hadis yang memenuhi keempat syarat hadis sahih yang telah dijelaskan di atas.

b) S}ah}i>h} li ghairihi, hadis sahih yang tidak memenuhi syarat-syarat secara maksimal, seperti d}abit-nya kurang.50

a. Kehujjahan Hadis Sahih

48Maqa>mat yang dimaksud adalah posisi Nabi ketika meproduksi teks Hadis yakni adakalanya

ketika dalam posisi sebagai Rasul, kepala Negara, pemimpin masyarakat, panglima perang, hakim, suami, dan manusia biasa. lihat: M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan

Kontekstual; Telaah Ma’ani al-Hadis tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), 4.

49 Utang \Ranuwijaya, \Ilmu Hadis (Jakarta, Gaya \Medika \Pratama, 1996), 155. 50 Ibid.,156.


(46)

38

Menurut para ulama ushu>liyyi>n dan para fuqaha’, hadis yang dinilai sahih harus diamalkan karena hadis sahih bisa dijadikan hujjah dalil syara‟.51 Hanya saja menurut Muhammad Zuhri, banyak peneliti hadis yang langsung mengklaim hadis yang ditelitinya sahih setelah melalui penelitian sanad saja. Padahal, untuk kesahihan sebuah hadis, penelitian matan juga sangat

diperlukan agar terhindar dari kecacatan dan kejanggalan. Karena

bagaimanapun juga, menurut ulama muhaddithi>n, suatu hadis dinilai sahih bukan karena tergantung pada banyaknya sanad. Akan tetapi suatu hadis dinilai sahih cukup kiranya kalau sanad dan matannya sahih, kendatipun perawinya hanya seorang saja pada tiap-tiap t}abaqah.52

Dalam konteks pengamalan hadis sahih ah}a>d, para ulama sepakat atas kewajiban mengamalkannya terhadap justifikasi halal dan haram, mereka berbeda pendapat tentang penetapan akidah dengan hadis sahih ahad. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa akidah tidak dapat diterapkan kecuali dengan dalil yang pasti (qat}‘i) yaitu Alquran dan hadis mutawa>tir. Sedangkan sebagian ulama lain seperti Ibnu H}azm al-Z}a>hiri> berpendapat bahwa hadis sahih itu memberikan kepastian dan harus diyakini, sedangkan ilmu yang pasti tersebut berasal dari ilmu yang rasional dan argumentatif, sehingga tidak dapat dicapai kecuali oleh orang-orang yang luas pengetahuannya dalam bidang hadis dan mengetahui karakteristik para rawi dan kecacatan hadis.53

51Al-T{ah{h{an, Taisi>r Must}alah …, 36. 52Rahman, Ikhtisar…, 119.


(47)

39

Namun demikian, tidak semua hadis maqbu>l itu boleh diamalkan. Oleh karena itu, pengklasifikasian hadis sahih bila ditinjau dari sifatnya, terbagi dalam dua bagian, yakni maqbu>l ma‘mu>l bihi dan maqbu>l ghairu ma‘mu>l bihi.

Dikatakan sebuah hadis itu maqbu>l ma‘mu>l bihi, apabila memenuhi kriteria sebagaimana berikut:

1) Hadis tersebut muh}kam yakni hadis yang maknanya tidak bertentangan dengan hadis lain, sehingga dapat digunakan untuk memutuskan hukum tanpa subh}at sedikitpun.

2) Hadis tersebut mukhtalif yang dapat dikompromikan, sehingga dapat diamalkan kedua-duanya.

3) Hadis tersebut ra>jih} yaitu hadis tersebut merupakan hadis terkuat di antara dua buah hadis yang berlawanan maksudnya.

4) Hadis tersebut na>sikh, yakni datang lebih akhir sehingga mengganti

kedudukan hukum yang terkandung dalam hadis sebelumnya. 54

Sebaliknya, hadis yang masuk dalam kategori maqbu>l ghairu ma‘mu>l bihi adalah hadis yang memenuhi kriteria antara lain:

1) Mutasha>bih, yaitu hadis yang sukar dipahami karena tidak dapat diketahui ta’wi>l-nya.

2) Mutawaqqaf fihi, yakni hadis yang saling berlawanan namun tidak dapat dikompromikan, di-tarji>h}, dan di-naskh.

3) Marju>h}, yaitu hadis yang kurang kuat daripada Hadis maqbu>l lainnya. 4) Mansu>kh, yaitu hadis terhapus oleh hadis maqbu>l yang datang berikutnya.


(1)

119

Bustamin dan M. Isa H. A. Salam. Metodologi Kritik Hadis. Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada, 2004.

Dep. Pendidiikan dan Kebudayaan. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 1988.

Dhahabi> (al). Al-Mu>qiz}ah fi ‘Ilm Mus}t}alah} al-Hadi>th. Halb: Maktabah al-Mat}bu>’a>t

al Isla>miyah, cet. 2, 1412 H

Dimyati, Moch. Penelitian Kualitatif: Paradigma Epistimologi, Pendekatan Metode

dan Terapan. Malang: PPs. Universitas Negeri Malang, 1990.

Ghari>b (al), Abd al-Basi>t} bin Yusuf. Al-Tanbi>ha>t Mali>hah ‘ala> ma> Tara>ja’a al -Allamah al-Muhaddith al-Alba>ni> min al-Aha>di>th al-D{a’u>fah wa al-S}ahi>hah Beirut: Da>r al-S{aha>bah, cet. 1,1421 H/2000 M.

Ghuma>ri> (al) al-Maghribi>, Abdullah. Juz’ fi>h al-Radd ‘ala> al-Alba>ni. Da>ral-Masha>ri>’,

Cet. 2, 1424 H/2004 M.

Ha>dy, ‘A>s}am Mu>sa>. ‘Ulum al-Hadi>th Li al- ‘Alamah al-Alba>ni>. Beirut; Dar al-Utsma>ni>yah, 2003.

Ha>kim (al), Abu Abdillah Muh}ammad. Al-Mustadrak ‘ala> al-s}ah}i>h}ain. Beirut: Da>r

Kutub al-‘Ulumi>yah, 2002.

Ibn Ash‘ath (al), Sulaiman. Sunan Abi Da>wud. Beirut: Da>r al-Fikr, tt.

Ibn Ibra>hi>m, Muh}ammad al-T{aybani, H}ayah al-Alba>ni> wa ‘A>t}aruh wa T{ana>’u al

-‘Ulama’ ‘alaih. Makatab al-Siddawa, 1987.

Ibn ‘I<>sa, Muh}ammad. Sunan al-Tirmi>dhi. Riyad}: Maktabah al-Ma‘a>rif li al-nash wa al-Tauzi>‘, 1823 M.

Ibrahim, Jhonny. Teori dan Metode Penelitian Normatif. Malang: Bayu Media

Publishing, 2006.

Ihsan, Abu. Muhammad Nasiruddin Albani dalam Kenangan. Solo: al-Tibya>n.

Ismail, Muhammad Syuhudi. Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual; Telaah

Ma’ani al-Hadis tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan

Lokal.Jakarta: Bulan Bintang, 1994

_________. Metodologi Kesahihan Sanad Hadis Nabi. Jakarta: Bulan Bintang, 1992. _________. Metodologi Penelitian Hadith Nabi. Jakarta: Bulan Bintang, 1992

Itr, Nur al-Din. Manhaj al-Naqd fi ‘Ulu>m al-Hadis. Damaskus: dar al-fikr, 1981

Jaila>ni (al), Fad}lullah fad}lullah al-S{amad fi Taud}i>h} al-Adab al-Mufrad. Jami>’ al -H{uqu>q al-Mah}fud}iyah, tt.

Kadir, Muhammad Abdul. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: Citra Aditya


(2)

120

Khatib (al), M ‘Ajjaj. al-Sunnah Qabl al-Tadwin. Kairo: Maktabah Wahbah, 1963.

_________. Usul al-Hadis. Beirut: Dar al-Fikr.

Munawwir, Abdul. Koreksi Ulang al-Albani. terj. Abd Munawwir. Jakarta: Pustaka Azzam, 2003.

Muslim. Sahih Muslim, Beirut, Dar al-Fikr, t.t.

Nawawi (al), Abu Zakariyah. al-Adhkar. Beirut: Dar al-Fikr, 1414 H.

Qadir, Abu Yahya Zakariya ibn Ghulam. Albani wa Manhaj Aimmah

al-Mutaqddimin fi ‘Ilm al-H}adi>th (Riyad: Maltabah al-Ma’arif, 143

Qardhawi, Yusuf Bagaimana Memahami Hadis Nabi, terj Muhammad al-Baqir,

Bandung: Karisma, 1997.

Qasimi (al), Muhammad Jamal al-Din. Qawid Tah}dith min Funun Must}alah

al-Hadith (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th.

Qat}t}an (al), Manna’, Mabahith fi ‘Ulu>m al-H}adi>th, terj. Misdhol Jakarta: Pustaka Kautsar, 2004.

Ranuwijaya, Utang.\ \Ilmu Hadis . Jakarta: Gaya \Medika \Pratama, 1996.

Rastana, Pemikiran Muh}ammad Na>s}ir al-Di>n al-Alba>ni> tentang Kritik Hadis. Skripsi fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kali Jaga, Yogyakarta, 2003.

Saifuddun, Anwar. Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.

Saifullah, dkk. Metodologi Penelitian Hadis. Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press,

2013

Saifullah, Konsep Dasar Penelitian dalam Proposal Skripsi. Fakultas Syarian UIN

Malang, 2004.

Salih (al), Subhi, ‘Ulum al-Hadith wa Mustalahahu. Beirut: al-Ilm Li al-Malayin,

1997.

Siba’iy (al), Mustafa, Hadis Sebagai Sumber Hukum, terj. Dja’far Abd

Muchith.Bandung: Diponegoro, 1993.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Hukum Normatif Tinjauan Singkat. Jakarta:

Rajawali Pers. 2006.

Thahhan, Mahmud. Taisir Musthalah al-Hadith, Beirut: Daar Alquran al-Karim

Umar, Atho’illah. Budaya Kritik Ulama Hadis, Jurnal Mutawatir fakultas Ushuluddin

UINSA, Vol.1, No. 1 Surabaya, 2011

Wahid, Abdul. al-Tawassila ‘ind al-‘Alba>ni>. Skripsi jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Ampel, 2012

Zuhri, Muhamammad. Telaah Matan Hadis; Sebuah Tawaran Metodologis.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Hasyim. Kritik Matan Hadis. Yogyakarta: Teras, 2004.

Abdurrahman, Muhammad. Pergeseran Pemikiran Hadis. Jakarta: Paramadina, 1999.

Abu Abdillah, Muh}ammad ibn Yazi>d. Sunan Ibn Ma>jah. Beirut: da>r al-Fikr.

Abu bakar, ‘Abdurrahman al-Suyuti. Tadrib al-Rawi fi Sharh Taqrib al-Nawawi

Kairo: Maktabah Dar al-Turath, 1972.

Abu Shuhbah. Fi Riha>b al-Sunnah al-Kutu>b al-S}iha>h al-Sittah. Kairo: Majma’ al

-Buhus al-isla>miyyah. 1969.

Ahmad, Muhammad. Ulumul Hadith. Bandung: CV. Pustaka setia, 2000.

Ahmad Ibn H}anbal, Musnad Ah}mad Ibn H}anbal, Beirut: Mu’asisah al-Risalah,

1999.

‘Aizuri (al), Abdurrahman bin Muhammad>. Juhu>d Alba>ni> fi

al-Hadi>thRiwayatan wa Dirayatan Riyad: Maktabah al-Rushd, Cet. 1, 1427 H Alba>ni> (al), Muhammad Na>s}ir al-Di>n Tamam al-Minnah fi al-Ta‘li>q ‘ala Fiqh

al-Sunnah (Dar al-Rayyah)

_________. al_Hadith Hujjah bi Nafsih fi al-‘Aqi>dah wa al-Ahka>m Riyadh,

Maktabah al-Ma’a>rif li al-nashr wa al-Tauzi’, 1425 H

_________. D}a’i>f al-Adab al-Mufrad. Terj. Hery Wibowo dan Ahmad, Abd

Kadir. ed. Ibn Muhammad Arsim, Jakarta: Pustaka Azzam, 2002.

_________. D}aif al-Adab al-Mufrad. Saudi Arabiyah, Maktabah al-Dali>l, 1998. _________. D}ai>f al-Targhi>b wa al-Tarhi>b. Riyad: Maktabah al-Ma’a>rif, 2000.

_________.S}ah}>ih} al-‘Adab al-Mufrad. Saudi Arabiyah, Maktabah al-Dali>l, 1997.

_________.Silsilah al-Ah}adi>th al-D{a’i>fah wa al-Mawd}u>‘ah wa Atharuha al

-Sayyi’ fi> al-Ummah. Riya>d}: Da>r al-Ma’a>rif, 1992)

Ali Rahmad, Asep, Hadis-Hadis tentang Salat. Skripsi fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kali Jaga, Yogyakarta: 2003.

Ali Ya’qub, Mustafa. Kritik Matan Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011.

Amin, Kamarudin. Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis Jakarta:

Hikmh, 2009

Bukhari (al), Muh}ammnad bin ’Isma’il. al-Adab al-Mufrad. Beirut: Dar al-Kutub

al-Islamy, 2011.

Bungin, Burhan. Metode Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metode kea rah


(4)

116

Bustamin dan M. Isa H. A. Salam. Metodologi Kritik Hadis. Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada, 2004.

Dep. Pendidiikan dan Kebudayaan. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta:

Balai Pustaka. 1988.

Dhahabi> (al). Al-Mu>qiz}ah fi ‘Ilm Mus}t}alah} al-Hadi>th. Halb: Maktabah

al-Mat}bu>’a>t al Isla>miyah, cet. 2, 1412 H

Dimyati, Moch. Penelitian Kualitatif: Paradigma Epistimologi, Pendekatan

Metode dan Terapan. Malang: PPs. Universitas Negeri Malang, 1990. Ghari>b (al), Abd al-Basi>t} bin Yusuf. Al-Tanbi>ha>t Mali>hah ‘ala> ma> Tara>ja’a

al-Allamah al-Muhaddith al-Alba>ni> min al-Aha>di>th al-D{a’u>fah wa al-S}ahi>hah Beirut: Da>r al-S{aha>bah, cet. 1,1421 H/2000 M.

Ghuma>ri> (al) al-Maghribi>, Abdullah. Juz’ fi>h al-Radd ‘ala> al-Alba>ni.

Da>ral-Masha>ri>’, Cet. 2, 1424 H/2004 M.

Ha>dy, ‘A>s}am Mu>sa>. ‘Ulum al-Hadi>th Li al- ‘Alamah al-Alba>ni>. Beirut; Dar al-Utsma>ni>yah, 2003.

Ha>kim (al), Abu Abdillah Muh}ammad. Al-Mustadrak ‘ala> al-s}ah}i>h}ain. Beirut: Da>r Kutub al-‘Ulumi>yah, 2002.

Ibn Ash‘ath (al), Sulaiman. Sunan Abi Da>wud. Beirut: Da>r al-Fikr, tt.

Ibn Ibra>hi>m, Muh}ammad al-T{aybani, H}ayah al-Alba>ni> wa ‘A>t}aruh wa T{ana>’u al

-‘Ulama’ ‘alaih. Makatab al-Siddawa, 1987.

Ibn ‘I<>sa, Muh}ammad. Sunan al-Tirmi>dhi. Riyad}: Maktabah al-Ma‘a>rif li al-nash wa al-Tauzi>‘, 1823 M.

Ibrahim, Jhonny. Teori dan Metode Penelitian Normatif. Malang: Bayu Media

Publishing, 2006.

Ihsan, Abu. Muhammad Nasiruddin Albani dalam Kenangan. Solo: al-Tibya>n. Ismail, Muhammad Syuhudi. Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual; Telaah

Ma’ani al-Hadis tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal.Jakarta: Bulan Bintang, 1994

_________. Metodologi Kesahihan Sanad Hadis Nabi. Jakarta: Bulan Bintang,

1992.

_________. Metodologi Penelitian Hadith Nabi. Jakarta: Bulan Bintang, 1992

Itr, Nur al-Din. Manhaj al-Naqd fi ‘Ulu>m al-Hadis. Damaskus: dar al-fikr, 1981

Jaila>ni (al), Fad}lullah fad}lullah al-S{amad fi Taud}i>h} al-Adab al-Mufrad. Jami>’ al -H{uqu>q al-Mah}fud}iyah, tt.

Kadir, Muhammad Abdul. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004.


(5)

117

Khatib (al), M ‘Ajjaj. al-Sunnah Qabl al-Tadwin. Kairo: Maktabah Wahbah,

1963.

_________. Usul al-Hadis. Beirut: Dar al-Fikr.

Munawwir, Abdul. Koreksi Ulang al-Albani. terj. Abd Munawwir. Jakarta:

Pustaka Azzam, 2003.

Muslim. Sahih Muslim, Beirut, Dar al-Fikr, t.t.

Nawawi (al), Abu Zakariyah. al-Adhkar. Beirut: Dar al-Fikr, 1414 H.

Qadir, Abu Yahya Zakariya ibn Ghulam. Albani wa Manhaj Aimmah

al-Mutaqddimin fi ‘Ilm al-H}adi>th (Riyad: Maltabah al-Ma’arif, 143

Qardhawi, Yusuf Bagaimana Memahami Hadis Nabi, terj Muhammad al-Baqir,

Bandung: Karisma, 1997.

Qasimi (al), Muhammad Jamal Din. Qawid Tah}dith min Funun Must}alah al-Hadith (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th.

Qat}t}an (al), Manna’, Mabahith fi ‘Ulu>m al-H}adi>th, terj. Misdhol Jakarta: Pustaka

Kautsar, 2004.

Ranuwijaya, Utang.\ \Ilmu Hadis . Jakarta: Gaya \Medika \Pratama, 1996.

Rastana, Pemikiran Muh}ammad Na>s}ir al-Di>n al-Alba>ni> tentang Kritik Hadis. Skripsi fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kali Jaga, Yogyakarta, 2003. Saifuddun, Anwar. Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.

Saifullah, dkk. Metodologi Penelitian Hadis. Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2013

Saifullah, Konsep Dasar Penelitian dalam Proposal Skripsi. Fakultas Syarian UIN Malang, 2004.

Salih (al), Subhi, ‘Ulum al-Hadith wa Mustalahahu. Beirut: al-Ilm Li al-Malayin,

1997.

Siba’iy (al), Mustafa, Hadis Sebagai Sumber Hukum, terj. Dja’far Abd

Muchith.Bandung: Diponegoro, 1993.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Hukum Normatif Tinjauan Singkat.

Jakarta: Rajawali Pers. 2006.

Thahhan, Mahmud. Taisir Musthalah al-Hadith, Beirut: Daar Alquran al-Karim

Umar, Atho’illah. Budaya Kritik Ulama Hadis, Jurnal Mutawatir fakultas

Ushuluddin UINSA, Vol.1, No. 1 Surabaya, 2011

Wahid, Abdul. al-Tawassila ‘ind al-‘Alba>ni>. Skripsi jurusan Tafsir Hadis

Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Ampel, 2012

Zuhri, Muhamammad. Telaah Matan Hadis; Sebuah Tawaran Metodologis.


(6)