AKHLAK GURU MENURUT AL-MĀWARDĪY DALAM KITAB ADAB AL-DUNYA WA AL-DIN

AKHLAK GURU MENURUT AL-

MĀWARDĪY

  

SKRIPSI

  Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

  Oleh: NURUL HIDAYAH

  NIM: 111-13-290

  

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

  

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA

2017

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan suatu proses pembelajaran yang terdiri dari tiga

  komponen yaitu guru, peserta didik dan materi. Ketiga komponen tersebut mempunyai posisi tertentu dimana semuanya akan berjalan saling keterkaitan.

  Adanya guru tentunya dengan kehadiran seorang peserta didik dan materi atau sebaliknya seorang peserta didik tidak akan sempurna dengan tanpa adanya seorang guru. Ini memberikan sebuah ketergantungan terhadap kebersamaan dan hubungan yang baik antara tiga komponen tersebut. Sehingga untuk menghasilkan output yang unggul tentunya ketiga komponen tersebut juga memiliki kualitas yang bagus terutama seorang guru dan peserta didik.

  Bila ditelusuri lebih dalam, proses belajar mengajar yang merupakan inti dari proses pendidikan formal di sekolah, di dalamnya terjadi interaksi antar berbagai komponen pengajaran. Komponen-komponen itu dapat dikelompokan ke dalam tiga kategori utama, yaitu: Guru, isi atau materi pelajaran dan Peserta didik.

  Interaksi antara tiga kelompok utama melibatkan sarana dan prasarana, sehingga tercipta situasi belajar mengajar yang memungkinkan tercapainya tujuan yang telah direncanakan sebelumnya. Dengan demikian guru yang memegang peranan sentral dalam proses belajar mengajar, setidak-tidaknya menjalankan tugas utama, sebagaimana yang tercantum di dalam undang- undang Guru dan Dosen adalah mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik. Kalau dijadikan kata benda, Guru adalah sebagai pendidik, pengajar, pembimbing, pengarah, pelatih, dan penilai (Sadulloh, 2014: 202).

  Keberhasilan pendidikan sangat banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya, kualitas guru, peserta didik, lingkungan (sekolah, keluarga, maupun masyarakat) dan proses pembelajaranya. Namun keberhasilan pendidikan sebagian besar bergantung pada kualitas guru baik dari segi penguasaan materi yang akan diajarkan maupun cara penyampaian pelajaran tersebut serta kepribadian guru yang baik. Sehingga siapapun peserta didiknya, bagaimana lingkungannya serta seperti apa proses pembelajaranya, guru mempunyai peranan yang sangat penting dalam mengantarkan keberhasilan peserta didik.

  Dalam proses pendidikan tidaklah berorientasi pada peserta didik yang mampu bersifat produktif dalam hal ekonomi seperti cepat dapat pekerjaan, mempunyai bakat keterampilan atau mampu berprestasi. Akan tetapi seorang peserta didik juga harus disiapkan menjadi pribadi yang berakhlak mulia dan berbudi luhur, seperti tujuan pendidikan nasional yang tertuang dalam UU RI Nomor 20 Tahun 2003 dijelaskan tentang fungsi dan tujuan pendidikan sebagai berikut: “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan

  

membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi

peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan

  

Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap kreatif, mandiri, dan

menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Sadulloh,

  2014: 74-75).

  Mencerdaskan kehidupan bangsa adalah sebuah janji yang harus dilunasi untuk setiap anak bangsa Indonesia. Pendidikan dapat dipandang sebagai proses penting untuk memenuhi janji kemerdekaan. Pendidikan yang berkualitas akan mencetak generasi masa depan yang juga berkualitas (Chotif, 2012: xiii). Pendidikan tidak bisa dilepaskan dari peran guru. Guru adalah ujung tombak proses pendidikan. Tanpa guru, tidak mungkin bangsa Indonesia bisa membuat konversi tingkat melek huruf dari 5% menjadi 92%. Tanpa guru, tidak mungkin program pendirian sekolah dan universitas dapat berhasil. Tanpa guru tidak mungkin muncul generasi yang berkualitas (Chotif, 2012: xiv).

  Sebenarnya banyak para tokoh pendidikan atau pemikir Islam dan sudah benar-benar terbukti keberhasilanya dalam proses pendidikanya. Tokoh abad klasik seperti Imam al-Ghozali, Ibnu Maskawih, Imam al-Mawardi, Ibnu Sina, dari abad pertengahan seperti Burhanudin al-Zarnuji, Ibnu Jamaah, sedang di abad sekarang ada seperti Imam Zarkasi, Zakiah Darajat. Mereka mengkaji bidang pendidikan mulai dari tujuan pendidikan, kurikulum, konsep atau etika guru dan peserta didik dalam belajar serta berbagai metode pembelajaran yang ditawarkannya.

  Jabatan guru telah hadir cukup lama di negara kita tercinta ini, meskipun hakikat, fungsi latar tugas dan kedudukan sosiologisnya telah banyak mengalami perubahan. Dulu dikatakan bahwa guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, dengan tugas yang berat mendidik peserta didiknya beliau digaji dengan upah yang sangat minim. Guru adalah seorang yang sangat mulia mempunyai derajat yang luhur di masyarakat, dengan menyampaikan ilmu yang merupakan amanat untuk disampaikan.

  Dengan berjalanya waktu kini profesi guru tidak lagi seperti dulu yang dianggap sangat berwibawa punya jasa besar. Sekarang guru hanyalah sebatas nama atau jabatan yang tertulis dalam lembaran putih. Nilai guru tidak lagi di dalam jiwa diri seorang guru. Hal ini tidak terlepas dari orientasi dari seorang guru itu sendiri. Profesi guru sekarang dijadikan sebagai lahan penghasilan, tempat bekerja. Peserta didik diwajibkan membeli buku pelajaran dari gurunya tanpa terkecuali. Para guru selalu menuntut hak-hak mereka lebih dulu tanpa memperhatikan kewajiban-kewajiban mereka. Mereka menuntut gaji tinggi, peserta didik harus pandai, harus lulus semua, mampu mengerjakan semua soal, menghormati guru. Padahal mereka apakah sudah melakukan tugasnya sebagai guru mengajarkan ilmu dengan benar?.

  Dahulu, bila peserta didik bertemu dengan gurunya, maka sang anak membungkuk seraya mengucapkan salam kepada sang guru. Bila sudah lama tidak bertemu dan suatu saat bertemu, sang peserta didik datang, menemui gurunya, karena gurunya yang sudah berjasa mendidiknya. Namun, sekarang perbuatannya seperti itu tidak pernah dilakukan, bahkan kadang kala mereka menghindar. Kita juga melihat, bilamana guru sedang merokok, maka tidak segan-segan peserta didiknya minta rokok kepada gurunya. Bahkan ada pula guru yang tidak segan-segan minta belikan rokok kepada peserta didiknya (Isjoni, 2006:166).

  Ketika terjadi kemerosotan nilai peserta didik, baik kognitif, afektik, maupun psikomotorik, banyak yang sering disoroti adalah peserta didiknya.

  Semestinya tidaklah peserta didik yang selalu disalahkan, cobalah lihat bagaimana proses pembelajaran yang terjadi dalam kelas.

  Bangsa dan masyarakat kita membutuhkan para guru yang mampu mengangkat citra dan arwah pendidikan yang terkesan sudah carut marut ini.

  Sehingga muncul kesulitan bagaimana harus dimulai, kapan dan siapa yang memulainya, serta dari mana harus dimulai. Kalaulah kita masing-masing menyadari, masih memilki rasa kepedulian dan mau berbagi rasa, carut marut pendidikan tentu akan dapat dianulir. Oleh sebab itu, kita harus memiliki satu persepsi, satu langkah dan satu tujuan bagaimana mengangkat “batang terendam” tersebut menjadi pendidikan bermutu. Tentunya diharapkan mampu mengangkat peringkat dan citra pendidikan yang termasuk terendah di asia (Isjoni, 2006:23).

  Guru memegang peranan yang sangat penting dan strategis dalam upaya membentuk watak bangsa dan mengembangkan potensi peserta didik dalam kerangka pembangunan pendidikan di Indonesia. Tampaknya kehadiran guru hingga saat ini bahkan sampai akhir hayat nanti tidak akan pernah dapat digantikan oleh yang lain, terlebih pada masyarakat Indonesia yang multikultural dan multibudaya, kehadiran teknologi tidak dapat menggantikan tugas-tugas guru yang cukup kompleks dan unik.

  Kewibawaan merupakan pancaran batin yang dapat menimbulkan pada pihak lain sikap untuk mengakui, menerima dan menuruti dengan penuh pengertian atas kekuasaan tersebut. Kewibawaan mendidik hanya dimiliki oleh mereka yang sudah dewasa rohani yang ditopang kedewasaan jasmani (Isjoni, 2006:163). Bila pendidik tidak memiliki sikap kewibawaan, maka akan berdampak pada kualitas pendidikan. Pendidik akan dipandang sebelah mata oleh peserta didik dan mereka bisa berbuat sesuka hati dan segala perintah pendidik tidak lagi didengar (Isjoni, 2006:165-166).

  Profesi guru itu merupakan peran yang mulya dihadapan Allah dan Rasul-Nya. Ditangan gurulah aset bangsa, yang bernama generasi itu, ditentukan seperti apa akhlak hingga membawa keselamatan dunia dan akhirat kelak. Oleh karenanya dibutuhkan seorang guru yang profesional, guru yang memiliki kompetensi yang disyaratkan untuk melakukan tugas pendidikan dan pengajaran. Oleh karena itu, membedah aspek profesionalisme guru berarti mengkaji kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru.

  Dalam Undang-Undang Tentang Guru dan Dosen Pasal 8 sampai Pasal 10 ditentukan bahwa seorang pendidik wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik sehat jasmani dan rohani, serta memilki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. kualifikasi akademik diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana (S1) atau program diploma empat (D-IV) yang sesuai dengan tugasnya sebagai guru untuk guru dan S-2 untuk dosen. Dalam undang-undang No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 10 dan Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 28, disebutkan guru yang berkualitas harus memiliki empat kompetensi, yaitu kompetensi pedagogik, profesional, kepribadian, dan sosial (Ashdiqoh, 2015:22).

  Oleh karena itulah, setiap orang yang menggeluti guru sebagai profesinya, harus melakukan berbagai hal terkait dengan ketentuan pokok atau kode etik guru. Kode etik guru diartikan sebagai aturan tata susila keguruan. Sebab kode etik guru ini sebagai salah satu ciri yang harus ada pada profesi guru itu sendiri (Ashdiqoh, 2015:3).

  Dalam hal ini untuk menciptakan pendidikan yang lebih bermutu, pemerintah juga ikut serta turun tangan salah satunya dengan cara mengeluarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

  Lebih lanjut untuk mewujudkan seorang guru yang baik dan profesional tidak terlepas dari pemikiran-pemikiran pendidikan seperti pemikiranya al- Ghozali, Ibn Sina, Ibnu Kholdun, Ibnu Maskawih, Imam al-Zarnuji, Imam Zarkasih, Zakiah Darajdat. Selain itu tidak ketinggalan jugapemikiran pendidikan Islam al-

  Māwardīy, yang terlahir pada tahun 360 H di Bashrah

  tepat pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Dimana saat itu ilmu pengetahuan mengalami kemajuan pesat. al-

  Māwardīy menawarkan

  pemikirannya tentang pendidikan yang lebih terkonsentrasikan pada etika guru sebagai pendidik. Kiranya etika guru yang di ungkap dalam kitab adab al-

  

dunya wa al-din ini akan bisa memotivasi dan mendorong guru pendidik untuk lebih baik dan profesional. Pemikiran beliau banyak terkonsentrasi pada masalah kepribadian seorang guru. Kepribadian inilah yang tampaknya diutamakan. Selain memiliki latar belakang ilmu keguruan dan penguasaan yang baik terhadap materi pelajaran yang diajarkanya, seorang guru juga harus memiliki kepribadian yang baik. Hal ini dapat dipahami karena penguasaan terhadap ilmu dan latar belakang pendidikan keguruan dapat dipelajari, sedangkan kepribadian merupakan hal yang sangat sulit dibentuk. Seperti pentingnya seorang guru memp unyai sikap tawadlu‟, ikhlas mengamalkan ilmunya untuk di sebarkan tanpa begitu mengharapkan materi, kasih sayang terhadap peserta didik tanpa kekerasan, tidak merendahkan atas kebodohan peserta didiknya. Dengan sikap-sikap tersebut akan mendorong guru untuk menjadi seorang guru yang profesional.

  Dari uraian di atas, begitu penting pendekatan dalam proses belajar mengajar, terutama seorang guru dalam mendidik peserta didiknya yang merupakan sebuah tanggung jawab besar untuk mencetak generasi bangsa yang cerdas dan berakhlak mulia. Maka penulis terdorong untuk mengadakan penelitian dengan judul

  “Akhlak Guru Menurut al-Māwardīy Dalam Kitab Adab Al-Dunya Wa Al-Din ”.

B. Rumusan masalah

  Berdasarkan latar belakang yang telah penulis kemukakan di atas, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam pembahasan adalah bagaimanakah Akhlak Guru menurut al-

  Māwardīy dalam kitab Adab al-Dunya waal-Din?

  C. Tujuan Penelitian

  Sesuai dengan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Akhlak Guru menurut al-

  Māwardīy dalam kitab Adab al-Dunya waal-Din .

  D. Kegunaan Penelitian

  Hasil kajian yang diperoleh dari penelitian ini memiliki beberapa manfaat di antaranya:

1. Bagi pribadi penulis, diharapkan akan mampu memotivasi dalam menuntut ilmu serta mempersiapkan untuk menjadi sang guru.

  2. Bagi mahasiswa IAIN Salatiga, semoga penelitian ini bisa menjadi inspirasi yang menumbuhkan semangat menulis dan menelaah lebih dalam karya-karya orang islam baik klasik maupun kontemporer.

  3. Bagi dunia pendidikan, terutama para guru dan calon guru, penelitian ini biasa dijadikan sebagai rujukan atau acuan dalam meningkatkan profesionalisme guru yang nantinya diharapkan mampu mencetak peserta didik yang berakhlak dan berbudi luhur.

E. Metodologi Penelitian

  Suatu jenispenelitian tidak akan dapat dilaksanakan dengan baik keberadaannya jika tanpa adanya metode penelitian yang tepat. Oleh karena itu, penggunaan metode yang tepat akan menghasilkan proses penelitian yang terarah. Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis kualitatif dan bersifat library research. Penulis mengggunakan beberapa jenis metode yaitu:

  1. Jenis penelitian Penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian kepustakaan

  (library research). Juga bisa disebut dengan istilah studi pustaka, ialah serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan penelitian (Mestika Zed, 2004:3).

  2. Sumber data Sumber data dalam penelitian adalah subyek dimana data diperoleh. Bila dilihat dari sumber datanya maka sumber data dalam penelitian ini adalah: a.

  Sumber primer atau data tangan pertama yaitu data yang diperoleh langsung dari subyek penelitian dengan menggunakan alat pengambilan data langsung pada subyek sebagai sumber informasi yang dicari, yaitu kitab Adab al-Dunya wa al-Din.

  b.

  Sumber sekunder yang merupakan sumber yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data, yaitu lewat dokumen (Azwar,1998:91) diantaranya adalah :

  1) Al-Māwardīy, Abu al-Hasan „Ali ibn Muhammad ibn Habib,

  “Kitab Al-Ahkam Al-Sulṭhoniyah”

  2) Mustafa al-Saqa, “Pengantar Adab al-Dunya Wa al-Din”

  3) Isjoni, “Gurukah Yang di Salahkan”

  4) Munif Chatib, “Gurunya Manusia”

  5) Moh. Uzer Usman, “Menjadi Guru Profesional”

  6) Suharsimi Arikunto, “Prosedur Penelitian”

  7) dan buku-buku pendukung lainnya.

  3. Metode Pengumpulan Data Penelitian ini sebagai studi kepustakaan (library research). Penulis menggunakan metode dokumentasi. Metode Dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, lengger, agenda dan sebagainya (Arikunto, 2010:274).

  4. Metode Analisis Data Data yang terkumpul, selanjutnya akan penulis analisis dengan mengemukakan teknik analisa data dengan cara: a.

  Reduksi Data Menurut Miles dan Huberman (1992 : 16), reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan- catatan tertulis di lapangan.

  b.

  Penyajian Data Alur penting selanjutnya penyajian data, yang dimaksud penyajian data adalah menyajikan sekumpulan informasi yang tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. c.

  Menarik Kesimpulan Kegiatan analisa yang terakhir adalah menarik kesimpulan. Dari permulaan pengumpulan data, seorang penganalisis kualitatif mulai mencari arti benda-benda mencatat keteraturan,pola-pola, penjelasan, konfigurasi-konfigurasi yang mungkin, alur sebab-akibat, dan proposisi (Miles dan Huberman, 1992: 16-19).

  Dari komponen analisis di atas, prosesnya saling berhubungan dan berlangsung terus-menerus selama penelitian berlangsung.

F. Penegasan Istilah 1.

  Akhlak Guru Akhlak dari segi bahasa berasal dari bahasa arab, yang berarti perangai, tabiat, watak dasar kebiasaan, sopan dan santun agama. Kata akhlak adalah jamak dari kata khulqun atau khuluq yang artinya sama dengan arti akhlak sebagaimana telah disebutkan di atas. Baik kata akhlak atau khuluq kedua-duanya dijumpai pemakaiannya di dalam al-

  Qur‟an maupun al-Hadist (Ardani, 2005:25).

  Secara terminologi, akhlak adalah suatu sikap yang mengakar yang

  darinya lahir sebagai perbuatan yang mudah dan gampang, tanpa perlu kepada pikiran dan pertimbangan. Jika sikap itu yang darinya lahir perbuatan yang baik atau terpuji, baik dari segi akal syara, maka ia disebut akhlak yang baik. Dan jika dia lahir darinya perbuatan tercel, maka sikap tersebut disebut akhlak buruk

  Sedangkan guru, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007: 377), diartikan sebagai orang yang pekerjaanya (mata pencahariannya, profesinya) mengajar. Sedangkan guru dalam pengertian sederhana menurut Djamarah adalah

  “orang yang memeberikan ilmu pengetahuan kepada peserta didik ”. Guru dalam pandangan masyarakat adalah orang yang melaksanakan pendidikan di tempat-tempat tertentu, tidak mesti di lembaga pendidikan formal, tetapi bisa juga di masjid, di surau atau dimushola, di rumah dan sebagainya ( Djamarah, 2000: 31). Dalam undang-undang tentang guru dan dosen dijelaskan, bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia didik jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah.

  Jadi dalam pembahasan disini, akhlak guru yang dimaksudkan adalah sikap yang berkaitan dengan perilaku seorang pendidik atau guru yang dipandang baik atau buruk berdasarkan akal pikiran.

2. Al-Māwardīy

  Adalah seorang tokoh ulama‟ terkemuka yang ahli dalam berbagai fan ilmu. Beliau dilahirkan pada tahun 364 H di Bashrah bertepatan pada tahun 974 M. Beliau hidup pada masa Dinasti Abbasiyah khalifah Al-Qadir dan Al-Qaim. Hidup dalam kondisi ilmu pengetahuan mengalami kemajuan pesat. Tidak hanya ilmu agama Islam saja, tetapi ilmu-ilmu seperti Yunani kuna juga sudah terserap dalam masa itu. Diantara karyanya yang monumental adalah kitab al-Ahkam al-Sultaniyah, mengambil tempat yang penting diantara risalah-risalah politik yang ditulis selama abad pertengahan. Serta reputasiya yang bagus mulai menjadi kepala hakim hingga sebagai diplomat untuk khalifah Abbasiyahal-Qa'im dan al-Qadir selama empat kali.

3. Kitab Adab al-Dunya wa al-Din

  Ini adalah diantara karya tulis imam al-

  Māwardīy mengenai

  masalah akhlak dan keutamaan-keutamaan dalam ritual keagamaan. Buku ini pernah ditetapkan oleh Kementrian Pendidikan di Mesir sebagai buku khusus pelajar Tsanawiyah selama lebih dari 30 tahun. (Al-Saqa, 1955:14).

G. Telaah Pustaka

  Dari hasil pencarian yang dilakukan melalui fasilitas pencarian di katalog digital perpustakaan IAIN Salatiga, untuk karya tulis dalam bentuk skripsi hingga tahun 2017 di IAIN Salatiga belum ada. Yang ada hanyalah buku yang ditulis sendiri oleh al-

  Māwardīy yakni Adab al-Dunya wa al-Din.

  Dan juga karya beliau yang banyak mengupas tentang masalah sosial-politik, seperti kitab al-Ahkam al-Sulthoniyah.

  Namun jika ditelusuri melalui jaringan internet, yang penulis temukan, ada beberapa karya ilmiah yang membahas tentang pemikiran pendidikan al-Mawardi, yaitu satu skripsi karya dari M. Bahrul ulum mahapeserta didik IAIN Sunan Ampel Surabaya, yang sekarang menjadi UIN.

  Tema yang diangkat adalah “Analisis Konsep Pendidikan Islam al-Māwardīy Dalam Kitab Adab al-Dunya Wa al-Din

  ”, skripsi tidak diterbitkan. Surabaya: Tarbiyah. IAIN Sunan Ampel, 2009. Dalam skripsi ini menjelaskan tentang pemikiran pendidikan menurut al-

  Māwardīy dalam kitab Adab al-Dunya wa al-

  Din . Menurut al- Māwardīyi pendidikan harus dilakukan dalam rangka

  mengembangkan dan memberdayakan potensi akal manusia untuk mewujudkan sebuah prilaku yang baik dalam rangka mewujudkan kebahagiaan yang paripurna. Untuk itu pendidikan harus dilakukan dalam rangka melatih pola kerja akal secara terus menerus dalam merespon lingkungan.Bentuk kegiatannya bisa dilakukan dengan mengisi akal dengan pengetahuan kognitif serta memperteguh keimanan.Selain itu, proses pendidikan ini harus dilakukan dalam upaya bagaimana pendidikan memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk menjadi mandiri dan menjadi dirinya sendiri.

  Yang kedua, jurnal yang ditulis oleh, saudara Mahmud Arif, dengan judul “Konsep Pendidikan Moral Dalam Khazanah Islam Klasik Telaah Pemikiran al-

  Māwardīy Dan Relevansi Kekiniannya”. Dijelaskan bahwa,

  pendidikan moral menurut al-

  Māwardīy bercorak religius-rasional, yaitu:

  secara intensif mendialektik- fungsionalkan akal dan syara' („aql matbu‟ wa

  

syar‟ masmu‟ ) untuk menumbuhkan kesadaran moral, konformitas terhadap

  norma atau nilai, dan otonomi diri, serta bercorak sosialisasi, yaitu: secara intensif mengakrabkan peserta didik dengan nilai dan norma sosial yang ada, dan memberikan keteladanan moral. Dalam interaksi edukatif, pendidikan moral berorientasi pada produk dan proses sekaligus, disertai penciptaan enviromental input positif.

  Dari paparan di atas, jelas bahwa penelitian tersebut mempunyai perbedaan dengan penelitian yang dilakukan penulis.Pertama, di dalam skripsi M. Bahrul Ulum menjelaskan pendidikan yang ditujukan dalam rangka mengembangkan dan memberdayakan potensi akal manusia untuk mewujudkan sebuah prilaku yang baik. Kedua, jurnalnya saudara Mahmud arif, menerangkancorak pemikiran al-

  Māwardīy tentang pendidikan moral yang

  dikaitkan dengan kekinian. Dengan demikian, menurut pengamatan penulis, penelitian yang yang memfokuskan pada kajian mendalam tentang etika guru menurut al-

  Māwardīy dalam kitab Adab al-Dunya wa al-Din dan Relevansinya

  dengan Profesionalisme Guru belum pernah dilakukan. Terutama di lingkungan IAIN Salatiga.

H. Sistematika Penulisan Skripsi

  Untuk memberikan arah yang tepat dan tidak memperluas obyek penelitian,maka perumusan sistematika pembahasan disusun sebagaimana berikut:

  Bab pertama, merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari pembahasan mengenai latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, penegasan judul, telaah pustaka, dan sistematika pembahasan. Hal ini dilakukan sebagai upaya pijakan dasar dalam melakukan penelitian.

  Bab kedua, riwayat al-

  Māwardīy yang berisi kelahiran dan masa

  kecil Imam al-

  Māwardīy, latar belakang pendidikan, aktifitas sosial politik, dan pemikiran al-Mawardi mengenai sosok seorang guru. Bab ketiga, deskripsi kitab adab al-dunya wa al-din. Bab ini menerangkan tentang gambaran umum kitab adab al-dunya wa al-din dan sistematika kitab adab al-dunya wa al-din.

  Bab keempat, deskripsi pemikiran al-

  Māwardīy. Bab ini

  menguraikan pengertian dan penjelasan masalah akhlak guru, akhlak guru perspektif al-

  Māwardīy.

  Bab kelima, yaitu penutup yang berisi kesimpulan dari pembahasan bab-bab sebelumnya yang mengacu pada tercapainya tujuan penelitian.

  Kemudian berdasarkan kesimpulan, diberikan saran-saran yang kontruktif.

  Dengan demikian, penelitian ini berisikan lima bab yang antara bab satu dengan bab yang lainya merupakan satu kesatuan pemikiran yang masing- masing tidak bisa berdiri sendiri. Dan akhirnya bisa menelurkan sebuah pemahaman baru dalam disiplin ilmu.

BAB II BIOGRAFI AL- MĀWARDĪY A. Identitas al-Māwardīy Nama lengkapnya adalah Abu al-Hasan

  „Ali ibn Muhammad ibn Habib al- Māwardīy al-Barīy.Abu al-Hasan adalah nama paggilanya (nama kinayah ), sedang al-Ba

  ṣrīy karena beliau lahir di tanah Bashrah. Beliau

  (Al-Saqa, dilahirkan pada tahun 364 H di Bashrah bertepatan tahun 974 M. 1995: 3). Nama al-

  Māwardīy dinisbatkan pada air mawar (mā‟ul wardi) karena

  bapaknya adalah penjual air mawar. Dalam bahasa latin dikenal dengan sebutan Alboacen (972-1058 M)

  al- Māwardīy hidup pada masa pemerintahan dua Kholifah Abbasiyah

  II yaitu, al-Qodir (381-422 H/991-1031 M) dan al-Qoim (422-467 H/1031- 1074 M)yaitu masa dimana ilmu pengetahuan yang dikembangkan umat islam mengalami kejayaan.al-

  Māwardīy melahirkan banyak ulama hebat

  dengan pemikiran-pemikiranya dalam bidang ilmu pengetahuan. Maka tidak mengherankan jika al-

  Māwardīy tumbuh sebagai pemikir Islam yang ahli (Nata, 2001: 43).

  dalam bidang fiqh, sastrawan serta sebagai politikus

  Al- Māwardīy adalah ulama fiqh yang bermadzhab Syafi‟iyyah. Ia

  mendalami ilmu fiqh dari gurunyaAbu Hamid al-

  „Isfirāyiniydalam kuliah

  rutin yang diadakan di sebuah Masjid yang terkenal dengan nama Masjid Abdullah ibnu al-Mubarak, di Bagdad (Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, 1992: 636).

  Menurut pengakuan muridnya,

  Ahmad ibn Ali bin Thābit al-

  

Khatib , bahwa dalam bidang hadits al- (Al-

Māwardīytermasuk Thiqah Saqa,1995: 4).

  Kendati al-

  Māwardīy tergolong penganut madzhab Syafi‟i, akan tetapi

  dalam bidang teologi ia juga memiliki beberapa corak pemikiran yang rasional. Hal ini tidak terlepas dari kondisi sosial masa itu, dimana saat itu dinasti Abbasiyah sejak masa al-Makmun pernah menganut paham Mu‟tazilah yang di jadikan sebagai aqidah resmi negara. Meski setelah zamannya al-

  Mutawakil telah berganti paham Asy‟ariyah, namunketika Bani Buwaihi menguasai pemerintahan Abbasiyah, paham Mu‟tazilah kembali lagi ke dalam pemerintahan ( Tim Karya Ilmiah, 2008: 227).

  Namun itu semua belum menjamin bahwa al-

  Māwardīy sebagai

  penganut mu‟tazilah. Meskipun terlihat juga dalam pernyataan Ibnu al-Ṣalah yang menyatakan bahwa dalam beberapa persoalan tafsir yang dipertentangkan antara Ahli al-

  Sunah dan Mu‟tazilah, al-Māwardīy lebih cenderung kepada Mu‟tazilah. Akan tetapi masih ada beberapa pemikiran al-

  

Māwardīy yang tidak sesuai dengan pemikiran Mu‟tazilah. Diketahui

  Mu‟tazilah berpendapat bahwa Al-Qur‟an sebagai mahluk, sedangkan al- (Al-Saqa, 1995: 5).

  Māwardīy berpendapat bahwa al-Qur‟an adalah al-Qadīm Al- Māwardīy juga termasuk seorang ulama yang mempunyai sifat

wara‟,(menjahui maksiat dan shubhat), ketaqwaan dan keikhlasan kepada

  Allah. Hal ini dapat dilihat pada diri al-

  Māwardīy yang tidak mau

  menyebarkan karangan kitabnya semasa masih hidup. Baru saat beliau akan meninggal karya ilmiahnya mendapatkan izin untuk dipublikasikan. Karena

  (Al-

  kaitanya ini berhubungan dengan keikhlasan Māwardīy, 2006: xxvii).

  Al- Māwardīy wafat hari selasa akhir bulan Rabiul Awal tahun 450 H (Al-

  bertepatan dengan tanggal 26 Mei tahun 1058 M

  Māwardīy, 2006: 15). Ketika itu beliau berumur 86 tahun. Jenazah al-

  Māwardīy dimakamkan

  diperkuburan B

  ābarb di Baghdad. Bertindak sebagai imam pada sholat jenazah beliau al-Khatib al-Baghd (Al-Saqa, 1995: 5).

  ādi B.

   Pendidikan al-Māwardīy Al- Māwardīy adalah seorang yang alim dari beberapa pemikir islam.

  Dengan pemikiranya yang cemerlang, karya-karyanya sangat mudah dicerna dan dipahami. Beliau mewariskan beberapa karya ilmiah untuk umat islam dalam peradaban Islamiyah. Dia juga ahli fiqh dari beberapa pembesar fiqh madzhab Syafi‟i. al-Māwardīy adalah seorang tokoh politik terkenal dimasa bani Abbasiyah (Al-Saqa, 1995: 3).

  Pada awalnya al-

  Māwardīy menempuh pendidikan di negeri

  kelahiranyasendiri, yaitu Bashrah. Di kota tersebut al-

  Māwardīy sempat

  mempelajari Hadits dari beberapa ulama terkenal seperti al-asan ibn „Ali

  ibn Muhammad ibn al-Jabaly, Muhammad ibn ʻAdiy ibn Zuar al-Maqry, Muhammad ibn al-Ma ʻally al-ʼAzdy serta Jaʻfar bin Muhammad ibn al-Faḍ al- Baghdādi. Setelah mengenyam pendidikan di kota kelahiranya, beliau

  pindah ke Baghdad untuk mendalami ilmunya. Di Baghdad bermukim di

  Darb al-Za ʻfaronī, beliau bertemu dan belajar fan fiqh dari Shaikh Abu al-

  (al-Saqa, 1995: 3). Selain itu al-

  Ḥamid (Amad ibn Abi ohir al-Isfirayinī)

  

Māwardīyjuga pernah berguru pada Ibn Ishaq al-Isfirayinī, Imam al-Ṣaimirīy

dan Imam al- (Al- Khawarizimīy Māwardīy, 2006: 13).

  Diantara muridnya yang paling masyhur adalah Amad ibn ʻAli ibn

  

Thābit al-Khatib (392-463 H), seorang ulamaahli hadits yang terkenal dan

(Al-Saqa, 1995: 4). Abu al-

  Selain itu

  ʻIzz Amad ibn ʻUbaidillah ibn Kādishi

  diantara murid-muridnya adalah: 1.

  Abu al-Faḍl ʻAbdullah bin Ibrahim bin Amad al-Hamdani terkenal dengan sebutaan al-Maqdisi, wafat tahun 488 H.

  2. Abu al-FaḍlAmad bin Ḥasan bin Khoirun al-Baghdadi, terkenal dengan sebutan Ibnu Baqilani. Wafat tahun 488 H.

  3. Amad bin ʻAbdullah bin Muhammad bin Amadal-Baghdadi, masyhur dengan sebutanibn kadish al-

  ʻAkbari. Wafat tahun 526 H.

  4. al-QoḍiAbu al-ʻAbbas Amadbin Muhammad al-Jurjani.

  5. Abu al-Qasim ʻAli bin al-Ḥusain binʻAbdullah al-Rabi‟i, terkenal dengan sebutan ibnu

  ʻArabiyyah. Wafat tahun 5032 H.

  6.

  ʻAbdul Wa ḥid bin ʻAbdul Karim bin Hauzan al-Qusyairīy. Terkenal dengan sebutan Rukun al-Isl

  ām, wafat tahun494 H.

  7. Abu Muhammad ʻAbdul Ghani bin Bāzl bin Ya ḥya, wafat tahun 483 H.

  8. Muhammad bin ʻAbdullah bin Abi al-Baqa‟ Abu al-Far ḥ, wafat tahun 499 H.

  9. Abu Bakar Amad bin „Ali bin Badrān al- Ḥalwanīy.

  10.

  ʻAbdul al-Raman bin ʻAbdul al-Karim bin Hauzanal-Qusyairīy Abu

  Man ṣur, wafat tahun 482 H.

11. Mahdi bin „Ali al-Isfirayinī Abu ʻAbdullah.

  12.

  „Ali bin Sa‟id bin ʻAbdul al-Raman al-„Abdarīy Abu al-Ḥasan, wafat tahun 493 H (A l-

  Māwardīy, 2006: 6).

  Al- Māwardīy juga tercatat sebagai ulama yang banyak melahirkan

  karya-karya tulis. Jumlahnya tidak kurang dari 12 judul, yang secara keseluruhan dapat dibagi dalam 3 kelompok(A l-

  Māwardīy, 2006: 5).

  Pertama, kelompok pengetahuan agama. Yang termasuk diantaranya adalah kitab tafsir yang berjudul al-

  Nukat wal „Uyūn. Namun buku ini belum

  pernah diterbitkan dan naskahnya masih tersimpan di Perpustakaan

  Qallīj „Ali

  di konstantinopel, Perpustakaan

  Kūbaryali dan Rāmbūr di India. Kemudian

  kitab al-awī Kabīr, buku fiqh yang jumlahnya 20 juz dengan 4000 halaman. Imam al-

  Isnawi seorang ahli hukum dari kalangan madzhab Syafi‟i yang hidup pada abad ke-8 H berkomentar, tidak sebuah kitab pun dalam madzhab

  (Tim Penulis IAIN Syarif

  Syafii yang bisa menandingi kitab al-Hawi Hidayatullah, 1992: 636).

  Kitab

  „Iqna‟ berupa ringkasan dari kitab al-Ḥawī Kab īr yang jumlahnya 40 halaman. Kitab Adab al-Qāi, kitab ini tidak

  diterbitkan dan naskahnya masih tersimpan di Perpustakaan Sul

  āimanīyah Qastantin īyah.

  Kedua, kelompok pengetahuan politik dan ketatanegaraan. Diantaranya kitab al-A

  ḥkām al-Sulonīyah yang popular dikalangan dunia Islam. Karena tidak pernah ada sebelumya kitab yang membahas secara khusus dan detail tentang sosial politik. Hanya beberapa kitab fan Fiqh yang menyelipkan sedikit permasalahan sosial poitik. Kitab ini banyak dicetak di Mesir dan berbagai penjuru dunia. Kitab Na

  ṣīat al-Mulūk, berisi nasihat- nasihat seorang pemimpin, belum diterbitkan dan masih tersimpan di Paris.

  Kitab

  Tashīl al-Naar wa Ta‟jīl al- afar berisi masalah politik dan

  pemerintahan. Kitab

  Qawānīn al-Wizārah wa Siyāsah al-Muluk, berisi tentang uraian mengenai ketentuan kementrian dan politik raja.

  Ketiga, kelompok pengetahuan bidang akhlak. Diantaranya kitab al-

  Nawu dan al-Amthal wa al- ikam berisi 300 Hadits, 300 hikmah, 300 syair.

  Kemudian kitab al-Bughyah al-

  „Ulya fi Adab al-Din wa al-Dunya yang sekarang dikenal dengan kitab Adab al-Dunya wa al-Din.

  Kitab Adab al-Dunya wa al-Din sangat bermanfaat bagi semua orang khususnya bagi pelajar di Madrasah TsanawiyahAl Azhar, karena buku ini pernah ditetapkan oleh Kementrian Pendidikan di Mesir sebagai buku pegangan disekolah-sekolah selama lebih dari 30 tahun (Al-Saqa, 1995: 14).

  Kitab ini telah banyak dicetak di mesir dan negara eropa seperti di Berlin Jerman dengan namaAdab wa al-Dunya wa al-Din, ada juga yang dicetak di India dengan nama al-Bughyah al- „Ulya Fi Adab al-Dunya wa al-Din. Kemungkinan besar nama yang kedua ini adalah nama asli kitabnya. Sedangkan namaAdab al-Dunya wa al-Din adalah penyebutan nama oleh penerbit yang kemudian menjadi masyhur namanya (Al-Saqa, 1995: 12).

C. Sosial Politik Masa al-Māwardīy

  Zaman yang dijalani seorang manusia itu berpengaruh secara signifikan dalam perilakunya dan pola fikiranya pada masa mendatang.Dengan peran yang dimilikinya, seseorang bisa saja menjadi orang berpengaruh pada masanya. Juga tidak diragukan lagi, bahwa sistem pemerintahanitu mempuyai pengaruh besar dalam kehidupan dan perilaku individu. Begitu juga yang terjadi di masyarakat seperti, kemakmuran, kemiskinan, arus pemikiran, penyebaran ilmu, menjamurnya jumlah ulama, banyaknya produktivitas buku-buku mereka, kemajuan dan kemunduran dunia ilmu pengetahuan. Itu semua sangat mempengaruhi kehidupan individu seseorang seperti al-

  Māwardīy.

  Berkat keahlianya dalam bidang hukum Islam,al-

  Māwardīy dipercaya

  untuk memegang jabatan sebagai hakim dibeberapa kota, seperti di Utsuwa (daerah Iran) dan di Baghdad. Dalam kaitan ini al-

  Māwardīy pernah diminta

  oleh penguasa pada saat itu untuk menyusun kompilasihukum dalam madzhab Syafi ‟i, yang selanjutnya dinamai al-Iqra‟. Karir al-Māwardīy selanjutnya dicapai pada masa Kholifah Al Qoim (1031-1074 M). Pada masa ini pula al-

  Māwardīy mendapat gelar sebagai Afḍal al-Quḍat (Hakim

  Agung) (Nata, 2001: 45). Pada zamannya al-

  Māwardīy adalah tokoh profil

  tinggi. Dan akhirnya ditunjuk sebagai kepala Qadi dari Baghdad dan kemudian dipercayakan dengan berbagai tanggung jawab atas nama Khilafah.

  Empat kali ia menjabat sebagai diplomat atas nama Khalifah al-Qa'im (422- 1031, 428/1037, 434/1042 dan 435/1043), penggantinya al-Qadir juga dipercayakan kepada al-

  Māwardīysebagai diplomat dalam bernegosiasi (http://en.wikipedia.org/wiki/al-

  dengan para pemimpin Bani Buwaih Māwardīy).

  Kondisi dunia Islam saat itu terbagi kedalam tiga negara yang tidak akur dan saling mendendam terhadap yang lain. Di mesir terdapat Negara Fathimiyah, di Andalusia terdapat negara Bani Umaiyah, dan di Irak terdapat negara Bani Abbasiyah. Hubungan di antara Khalifah-khalifah tersebut didasari dengan permusuhan sengit, sebab masing-masing dari keduaanya berambisi untuk menghancurkan satu sama lain. Adapun kondisi internal Khalifah di Baghdad dan sekitarnya, sesungguhnya pemegang kekuasaan sepenuhnya adalah bani Buwaihi. Khalifah sendiri tidak mempunyaai peran penting, bahkan ia adalah barang mainan ditangan mereka (Al-

  Māwardīy, 2006: xxiv).

  Dalam kajian sosial politik, secara pasti al-

  Māwardīy hidup pada masa

  kemunduran dinasti Abasiyah.Pada masa ini kekhalifahan yang berpusat di Baghdad sedang mengalami degradasi yang berakibat melemahnya sistem pemerintahan yang berakhir pada jatuhnya Daulah Abasyiyah pada 21 Muharram tahun 656 H/10 Pebruari 1258 pada pasukan Hulagu Khan (Tim

  

Karya Ilmiah,2008:287). Indikatornya antara lain banyak dinasti yang lahir

  melepaskan diri dari kekuasaan Abasyiyah dan mendirikan kerajaan-kerajaan kecil diluar wilayah Abbasyiyah.

  Namun demikian, ada beberapa hal yang perlu dicatat, bahwa ketika dinasti ini mengalami kemunduran dibidang politik, bidang filsafat dan ilmu pengetahuan terus berkembang dan juga banyak melahirkan ilmuan-ilmuan besar seperti al-

  Māwardīy, al-Ghazali dan berdirinya madrasah yang terkenal dengan namaNizamiyah.

  Yangterlihatdalam kajian ilmiah, kondisi pada abad keempat dan abad kelima hijriah adalah munculnya fenomena taklid (fanatik buta) terhadap Imam-imam madzhab: Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Muhammad bin Idris Asy Syafi‟i dan Imam Ahmad bin Hambal. Sebab langka sekali ada diantara pengikut madzhab-madzhab di atas yang keluar dari madzhab Imamnya dan metodologi ijtihad Imamnya. Kendati taklid (fanatik buta) madzhab muncul pada abad tersebut, namun abad tersebut terasa istimewa dengan munculnya banyak sekali ulama

  ‟ dalam berbagai disiplin ilmu dan banyak sekali buku-buku dalam berbagai disiplin ilmu dikarang.

BAB III DESKRIPSI KITAB ADAB AL-DUNYA WA AL-DIN A. Kitab Adab Al-dunya Wa Al-din Kitab Adab al-Dunya wa al-Din merupakan sebuah kitab yang berisi

  tentang konsep pendidikan Islam. Dalam kitab ini dibahas tentang akhlak manusia dalam membangun kehidupan di dunia, baik yang berhubungan dengan sosial kemasyarakatan maupun urusan agama, dalam rangka mencapai kebahagiaan dunia dan akherat.

  Dalam konteks ini al-

  Māwardīy tampaknya menghendaki bahwa dalam

  melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan ataupun sosial kemasyarakatan, manusia harus disertai dengan prilaku sosial yang santun (al-akhlak al-

  karimah ). Kesantunan prilaku sosial ini menurut al- Māwardīyakan terbentuk

  ketika manusia mampu memaksimalkan potensi akalnya dalam mermbaca fenomena alam dan ayat-ayat Allah yang ada dilingkungan sekitarnya.

  Al- Māwardīy dalam membahas setiap detail dari kajian kitab ini

  menggunakan pendekatan yang menggabungkan antara pendekatan rasional dan pendekatan nash-nash Al- Qur‟an dan Hadits. Hal ini bisa dipahami dengan posisi al-

  Māwardīy sebagai seorang Ahli Fiqih bermazhab Syafi‟i (Hudlori Bik, 1995:140-142).

  Sebagaimana diketahui, bahwa as- Syafi‟i adalah seorang tokoh pemikir fikih yang menggabungkan dua metode dalam menentukan pemikiran mazhabnya. Metode tersebut adalah metode istidlal dengan nash-nash Al- Qur‟an dan Hadits dan metode berpikir rasional.

  Sebagai seorang Ahli Hadits dengan pola pikirnya ini, as- Syafi‟i sebenarnya dipengaruhi oleh pola pikir gurunya yaitu imam Malik bin Anas

  (Hudlori Bik, 1995:131-133). Sedangkan pola pikir rasionalnya dipengaruhi oleh pola pikir dari madzhab Hanafiyah. (Hudlori Bik, 1995:127-129 dan 141) Selain itu as-S yafi‟i hidup pada masa kejayaan Mu‟tazilah (Nasution,

  2002: 40) sehingga pada waktu itu teologi Mu‟tazilah ini menjadi ideologi negara dan pola pikir rasional menjadi berkembang pada masa itu, dengan ditandai munculnya para filosof dan ahli sains. Pergumulannya dengan penganut Mu‟tazilah ini juga dimungkinkan memberikan sumbangsih pemikiran dalam diri beliau yang membuatnya menerima pola pikir rasional dalam metode berfikirnya. Disini agaknya al-

  Māwardīy benar-benar seorang

  Penganut Madzhab Syaf i‟i yang setia.

  Kitab Adab al-Dunya wa al-Din dinilai sebagai kitab yang amat bermanfaat. Kitab ini pernah ditetapkan oleh kementrian pendidikan di Mesir sebagai buku pegangan di sekolah-sekolah tsanawiyah selama lebih dari 30 tahun. Selain di Mesir, kitab ini diterbitkan pula beberapa kali di Eropa, sementara itu ulama Turki bernama Hawais Wafa Ibn Muhammad Ibn Hammad Ibn Halil Ibn Dawud al-Zarjany pernah menjelaskan kitab ini dan diterbitkan pada tahun 1328.

  Menurut perkiraan sejarah, al-

  Māwardīy memberi judul kitab ini

  dengan judul al-Bughyah al-Ulya. Tetapi kemudian Kitab ini dikenalkan dengan namaAdab al-Dunya wa al-Din ketika dicetak dieropa oleh para pencetak buku.