TEKNIK RUQYAH SHAR'IYYAH DALAM SUNAN ABU DAWUD NOMOR INDEKS 3891.

(1)

TEKNIK TERAPI RUQYAH SHAR’IYYAH

D

ALAM SUNAN ABU< DA<WUD NOMOR

INDEKS 3891

SKRIPSI

Oleh:

M. FATHURROHMAN

PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

NIM: E03212058


(2)

TEKNIK TERAPI RUQYAH SHAR’IYYAH D

ALAM SUNAN ABU<

DA<WUD NOMOR

INDEKS 3891

Skripsi

Diajukan kepada

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan

dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu (S-1) Ilmu Tafsir dan Hadis

Oleh:

M. Fathurrohman NIM: E03212058

PRODI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA 2016


(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

ABSTRAK

Hadis Tentang Teknik Ruqyah Shari’iyyah

Dalam Sunan Abu> Da>wud Nomor Indeks 3891

Oleh: M. Fathurrohman

Ruqyah shar’iyyah merupakan salah satu cara pengobatan yang diajarkan oleh Nabi Saw. Namun dewasa ini banyak praktik teknik ruqyah yang tidak syar’i sehingga dapat menjerumuskan masyarakat ke dalam proses ruqyah shar’iyyah yang tidak disyariatkan. Masalah yang diteliti dalam skripsi ini adalah (1) Bagaimana kualitas sanad dan matan hadis tentang teknik ruqyah shar’iyyah dalam Sunan Abu Dawud (2) Bagaimana kehujjahan hadis tentang teknik ruqyah shar’iyyah dalam Sunan Abu Dawud (3) Bagaimana pemaknaan hadis tentang teknik ruqyah shar’iyyah dalam Sunan Abu Dawud. Berkenaan dengan hal tersebut, dalam penelitian ini bersifat kepustakaan (library research), dalam menjawab penelitan tersebut dilakukan dengan pengumpulan data yang diperoleh dari kitab-kitab hadis dan sharh hadisnya,. Kemudian dilakukan analisa dengan melakukan takhrij terhadap hadis yang diteliti, melakukan kritik sanad maupun matan terhadap hadis yang diteliti dan mencari pemahaman dari pemaknaan hadis ini. Adapun hasil dari penelitian ini menjelaskan bahwa hadis tentang teknik ruqyah shar’iyyah dalam Sunan Abu> Da>wud ini bernilai S}ah}i>h} li Dha>tihi karena sudah memenuhi kriteria ke-S}ah}i>h}-an hadis dan juga hadis ini dapat dijadikan hujjah serta dapat diamalkan (maqbu>l ma‘mu>l bih) karena termasuk hadis muhka>m. Adapun pemahaman tentang teknik ruqyah shar’iyyah dalam kitab Sunan Abu> Da>wud bahwa (a) ruqyah merupakan pengobatan ilahiyah dan T}ibbu an- Naba>wi yang di dalamnya mengandung dhikrullah, tauh}i>d (berharap hanya kepada-Nya) dan meminta pertolongan dengan kemuliaan serta kekuasaan-Nya. Karena segala penyakit datangnya dari Allah, dan kesembuhan datangnya juga dari Allah. Sementara Rasulullah Saw telah mengajarkan bagaimana teknik-teknik cara pengobatan ila>hiyah yang benar sehingga dapat menyebabkan kesembuhan. (b) Ruqyah Shar’iyyah merupakam sebuah terapi syar’i dengan cara membacakan ayat-ayat suci al-Qur’an dan do’a-do’a perlindungan yang bersumber dari Rasulullah Saw. (c) Ruqyah Shar’iyyah bertujuan untuk melakukan terapi pengobatan dan penyembuhan bagi orang yang terkena gangguan dan penyakit.


(8)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia dalam hidupnya membutuhkan berbagai macam pengetahuan. Dalam hal ini terdapat dua sumber pengetahuan yaitu sumber pengetahuan

naqli dan ‘aqli. Sumber pengetahuan yang bersifat naqli ini merupakan pilar

dari sebagian besar ilmu pengetahuan yang dibutuhkan oleh manusia baik dalam agamanya secara khusus, maupun dalam masalah dunia pada umumnya. Adapun sumber yang paling otentik bagi umat Islam dalam hal ini adalah al-Qur’an dan al-Hadis.1

Hadis merupakan segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Saw, baik berupa perkataan, perbuatan, taqri>r (diamnya) maupun sifatnya.2 Kandungan al-Quran ada yang bersifat ijma>li>(global) dan umum, ada yang bersifat tafs}iliy (detail). Hal-hal yang bersifat umum, sudah barang tentu membutuhkan penjelasan-penjelasan yang lebih terang dalam penerapannya sebagai petunjuk dan kaidah hidup manusia. Muhammad sebagai Rasulullah telah diberi tugas otoritas untuk menjelaskan kandungan al-Qur’an itu. Bahkan untuk hal-hal yang bersifat teknis, penjelasan itu bukan hanya bersifat lisan lisan, tetapi juga

1 Manna’ Al-Qathan, Pengantar Studi Hadits, terj. Mifdhol Abdurrahman (Jakarta Timur:

Pustaka Al-Kautsar, 2005), 19.

2 Mahmud Thahan, Ilmu Hadits Praktis, terj. Abu Fuad (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah,


(9)

2

langsung amalan praktis.3 Umat Islam zaman dahulu hingga sekarang telah sepakat, terkecuali orang-orang yang berpaling menyalahinya, bahwa Hadis Nabi merupakan salah satu sumber hukum Islam.4

Terkait dengan Hadis sebagai sumber hukum Islam, salah salah satu ajaran yang terkandung di dalamnya adalah ajaran ruqyah shar’iyyah. Musdar Bustaman Tambusai memberikan penjelasan tentang ruqyah shar’iyyah di dalam bukunya yang berjudul Halal-Haram Ruqyah, bahwa ruqyah berasal dari bahasa Arab dengan makna yang sangat luas. Lafaz “ruqyah” diambil dari kata kerja: raqa – yarqi. Secara bahasa (etimologi), ruqyah berarti al-‘audhah atau at-ta’wi>dh, yaitu meminta perlindungan (isti’a>dhah). Sedangkan dalam bahasa Indonesia, ruqyah dapat pula diartikan sebagai jampi atau mantra.5 Namun kata mantra dalam dunia magic dapat dipahamhi sebagai kata sandi atau password. Oleh karena itu tidak pas apabila kata ruqyah diterjemahkan sebagai mantra. Dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), mantra didefinisikan sebagai “Perkataan atau ucapan yang memiliki kekuatan gaib misalnya dapat menyembuhkan penyakit, mendatangkan celaka dan lain sebagainya.”6 Atau “Susunan kata berunsur puisi (seperti rima, irama) yang

3 Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits (Bandung: Angkasa, t.th.), 55. 4Ibid., 45.

5 Musdar Bustaman Tambusai, Halal-Haram Ruqyah (Jakarta Timur: Pustaka Al- Kautsar, 2013), 8. 6 Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), 713.


(10)

3

dianggap mengandung kekuatan gaib, biasanya diucapkan dukun atau pawang untuk menadingi kekuatan gaib lain.7

Dari dua definisi yang diberikan oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia di atas dapat disimpulkan bahwa apa yang dibacakan oleh dukun atau paranormal kepada pasiennya dapat dikatakan ruqyah dalam pengertian mantra. Namun dalam terminologi syariat, mantra tidak termasuk dalam kategori ruqyah shar’iyyah yang dibolehkan karena ruqyah bukanlah segala macam ucapan atau perkataan yang bisa diambil dari manapun. Ruqyah bukanlah kata-kata yang tidak dapat dipahami, bukan pula kata-kata bijak seorang dukun atau paranormal, bukan pula ucapan ulama atau para wali, tetapi ruqyah shar’iyyah adalah bacaan ayat-ayat al-Qur’an dan doa-doa yang diajarkan oleh Rasulullah Saw.8

Adapun definisi ruqyah shar’iyyah sangat beragam sebagaimana yang disebutkan oleh para ulama, tetapi di antara definisi-definisi itu yang paling representatif adalah definisi yang diberikan oleh Syaikh Abul Aliyah Muhammad bin Yusuf Al-Jurjani dalam kitabnya Al-Ruqyah al-Shar’iyyah

min al-Kita>b wa al-Sunnah sebagaimana yang dikutip oleh Musdar Bustaman

Tambusai dalam bukunya Halal-Haram Ruqyah, bahwa “Ruqyah shar’iyyah adalah meminta perlindungan bagi orang yang sakit dengan cara membacakan sebagian ayat-ayat al-Qur’an, nama-nama Allah, dan sifat-sifat-Nya, disertai

7 Ibid.


(11)

4

dengan membacakan doa-doa yang syar’i dengan bahasa Arab atau dengan bahasa yang dapat dipahami maknanya lalu ditiupkan.”9

Sesungguhnya al-Qur’an adalah penawar dan rahmat bagi siapa saja yang percaya dan mengamalkan serta membacanya untuk mendapatkan kesembuhan dari Allah SWT dengan meyakini bahwa kesembuhan itu datangnya dari Allah SWT dzat yang maha pengasih lagi maha penyayang dan yang menurunkan Alquran. Maka tidak mengherankan jika dahulu para

salafu as-s}alih selalu berobat dengan Qur’an, sampai-sampai Ibnu

al-Qayyim al-Jauziyah pun pernah berkata bahwa “barangsiapa yang tidak mendapatkan kesembuhan melalui al-Qur’an maka Allah tidak akan menyembuhkannya.”10

Dewasa ini, banyak cara yang bisa dilakukan untuk menjaga kesehatan atau mengobati penyakit. Bisa dengan datang kepada dokter dan berobat kepadanya, klinik kesehatan, rumah sakit, tabib, pengobatan alternatif, atau cukup dengan meminum obat yang dapat dibeli di apotek. Semua pilihan tadi tentunya bergantung pada diri masing-masing yang disesuaikan dengan kayakinan, kecocokan, dan kemampuan ekonomi. Jika melihat dari jenis-jenis pengobatan yang ada, secara umum terbagi pada dua jenis pengobatan, yakni pengobatan medis dan pengobatan alternatif. Keduanya merupakan pilihan,

9 Ibid.,10.

10 Abul Fida’ Muhammad Izzat Muhammad Arif, Terapi Ayat Alquran Untuk Kesembuhan, terj. Saiful


(12)

5

bergantung keinginan dan keyakinan individu untuk mendapatkan kesembuhan penyakit dengan lebih cepat dan tidak memakan banyak biaya.

Terapi ruqyah shar’iyyah merupakan bagian dari pengobatan alternatif, cukup dengan membacakan ayat-ayat suci al-Qur’an atau dengan membacakan doa yang diajarkan oleh Rasulullah segala macam penyakit bisa disembuhkan. Tentu saja kesembuhan itu semata-mata bisa terjadi atas izin Allah Swt. zat yang menurunkan penyakit dan yang menyembuhkan. Adapun manusia sebagai makhluk yang hanya berusaha mendapatkan kesembuhan sementara hasilnya hanya Allah yang bisa menentukan.11

Di Indonesia, terapi ruqyah shar’iyyah merupakan salah satu terapi yang muncul secara fenomenal pada tahun 2000-an hingga saat ini di kota-kota besar hampir semua orang tahu apa itu ruqyah shar’iyyah, walaupun dari segi pemahaman mereka tentang ruqyah shar’iyyah dan praktiknya terdapat hal yang perlu diluruskan. Salah satunya adalah terkait teknik ruqyah

shar’iyyah itu sendiri. Ada persepsi di tengah masyarakat khususnya umat

Islam, bahwa semua ruqyah itu boleh dan benar asal yang melakukannya adalah seorang kiai, ustadz, buya, abah, atau wak haji meskipun dalam praktiknya ada jimat, rajah, al-Qur’an yang ditulis sebagai tangkal dan

11 Lutfil Kirom Az-Zumaro, Ajaibnya Pengobatan Air Yang Didoakan, (Yogyakarta: Semesta Hikmah,


(13)

6

syarat yang tidak syar’i seperti minum air dari tujuh sumur masjid dan lain sebagainya.12

Rasulullah merupakan teladan terbaik sepanjang zaman bagi manusia khususnya umat Islam dalam segala hal, tidak terkecuali dalam masalah pengobatan. Salah satu metode yang Rasulullah ajarkan dalam mengobati penyakit selain menggunakan ramuan herbal dan bekam adalah dengan terapi

ruqyah shar’iyyah. Dalam melakukan ruqyah, Rasulullah menggunakan

beberapa teknik, diantara teknik tersebut adalah menggunakan teknik usapan dan do’a sebagaimana yang dituturkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh ‘Uthma>n bin Abu> Al-‘Ash yang berbunyi:

ْعك نْب َا دْبع نْب ورْمع نأ ةفْيصخ نْب ديزي ْنع كلام ْنع يبنْعقْلا َا دْبع انثدح

يمُلا ب

هربْخأ سو هْيع َا ى ص يبنلا ىتأ هنأ صاعْلا يبأ نْب نامْثع ْنع هربْخأ ريبج نْب عفان نأ ا

ْحُْما سو هْيع َا ى ص َا وسر اقف ا ينكْهي داك ْد عجو يبو نامْثع

عْبس كنيميب ه

زع َا به ْذأف كلذ تْ عفف ا دجأ ام رش ْنم هترْد و َا ةزعب ذوعأ ْل و تارم

ناك ام لجو

ْ ه رْيغو ي ْه أ هب رمآ ْ زأ ْ ف يب

13 .

Telah menceritakan kepada kami Abdullah Al Qa'nabi dari Malik dari Yazid bin Khushaifah bahwa 'Amru bin Abdullah bin Ka'b As Sulami telah mengabarkan kepadanya, bahwa Nafi' bin Jubair mengabarkan kepadanya dari Utsman bin Abu Al 'Ash bahwa ia telah datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam -Utsman berkata; sementara aku sedang sakit yang hampir membinasakanku- Utsman berkata, "Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Usaplah menggunakan tangan kananmu sebanyak tujuh kali, lalu ucapkanlah: A'U<DHU BI 'IZZATILLA<HI WA QUDRATIHI MIN SHARRI MA< AJIDU (Aku berlindung kepada kemuliaan Allah dan kemampuan-Nya dari keburukan yang aku temui) '." Utsman berkata, "Lalu aku melakukan hal tersebut, maka Allah 'azza wajalla menghilangkan apa yang ada padaku, dan aku selalu memerintahkan keluargaku dan yang lainnya untuk mengucapkannya.

12 Tambusai, Halal-Haram…,5


(14)

7

Hal menarik di sini yang perlu untuk diteliti lebih dalam adalah, apakah status hadis di atas benar-benar sahih dan dapat diamalkan sehingga umat Islam memiliki alternatif untuk mendapatkan kesembuhan tanpa harus datang ke dokter. Juga apakah teknik dan bacaan do’a di atas dapat memberikan efek berupa kesembuhan karena yang membacakannya adalah seorang sahabat Nabi, ataukah dapat juga dilakukan oleh setiap umat Islam. Tidak hanya berhenti sampai disitu, hal yang juga penting untuk diketahui adalah bagaimana saja teknik ruqyah shar’iyyah yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad sehingga umat Islam tidak terjebak ke dalam praktik ruqyah shirkiyyah.

Dari permasalahan di atas, pembahasan tentang ruqyah shar’iyyah ini bukan hanya sekedar menarik tetapi sangat penting untuk diteliti. Dalam penelitian ini penulis ingin mengkaji hadis-hadis tentang teknik ruqyah

shar’iyyah dengan memfokuskan penelitian pada hadis dengan nomor indeks

3891, di mana pada hadis tersebut perlu diadakan pen-takhrij-an secara menyeluruh, meneliti keshahihan hadis baik dari segi sanad maupun matannya, kehujjahan hadis serta pemaknaannya.

B. Rumusan Masalah

Berkenaan dengan uraian di atas, diajukan beberapa pertanyaan sebagai berikut:


(15)

8

1. Bagaimana kualitas hadis tentang teknik ruqyah shar’iyyah dalam Sunan Abu Da>wu>d no indeks 3891?

2. Bagimana kehujjahan hadis tentang teknik ruqyah shar’iyyah dalam Sunan Abu Da>wu>d no indeks 3891?

3. Bagaimana pemaknaan hadis yang menerangkan tentang teknik ruqyah

shar’iyyah dalam Sunan Abu Da>wu>d 3891?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan pada rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui kualitas sanad dan matan hadis dalam kitab Sunan Abu> Da>wud no indeks 3891.

2. Mengetahui kehujjahan hadis tentang teknik ruqyah shar’iyyah dalam kitab Sunan Abu> Da>wud no indeks 3891.

3. Memahami tentang pemaknaan hadis yang menerangkan tentang teknik terapi ruqyah shar’iyyah no indeks 3891.

Berdasarkan tujuan di atas, diharapkan penelitian ini memberi manfaat: 1. Secara teoritik: diharapkan penelitian ini dapat memberikan kontribusi

bagi perkembangan pemikiran dalam dunia pengobatan alternatif serta menambah khazanah literatur studi hadis di Indonesia.


(16)

9

2. Secara praktis: diharapkan penelitian ini dapat diaplikasikan sehingga terapi ruqyah dapatdilakukan secara shar’i.

3. Secara institusional: diharapkan penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya untuk melakukan penelitian berikutnya.

4. Untuk menambah pengetahuan bagi diri penulis pribadi dan masyarakat luas tentang bagaimana kualitas dan pemaknaan hadis yang menerangkan tentanng teknik ruqyah shar’iyyah.

D. Penegasan Judul

Agar lebih mudah memahami penulisan skripsi ini, maka penulis akan mengemukakan pengertian dari kata atau istilah penting sesuai dengan pembahasan pada judul: “TEKNIK RUQYAH SHAR’IYYAH DALAM SUNAN ABU< DA<WUD NO INDEKS 3891.”

Adapun pengertian dari kata atau istilah penting tersebut adalah: 1. TEKNIK : Metode atau cara mengerjakan sesuatu14

2. RUQYAH : Meminta perlindungan bagi orang yang sakit dengan doa yang diajarkan Rasulullah atau dengan ayat Alquran

3. SHAR’IYYAH : Yang berdasarkan syariat

Penelitian ini merupakan upaya untuk mendapatkan informasi tentang teknik ruqyah shar’iyyah dari dalam kitab Sunan Abu> Da>wud setelah


(17)

10

dilakukan penelitian terkait kualitas hadis, kehujjahanserta pemaknan tentang hadis yang menerangkan tentang teknik ruqyah shar’iyyah.

E. Telaah Pustaka

Dalam menciptakan orisinalitas karya tulis ilmiah, cara yang dapat ditempuh adalah melakukan kajian yang merupakan rekomendasi dari penelitian-penelitian sejenis yang pernah dilakukan pihak lain.15 Adapun setelah dilakukan kajian terhadap penelitian-penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan pengobatan penyakit fisik dengan terapi ruqyah shar’iyyah belum banyak ditemukan, karena pada umumnya penelitian tentang ruqyah

shar’iyyah lebih difokuskan untuk mengobati atau mengusir gangguan jin dan

sihir. Di antaranya adalah:

1. Skripsi yang ditulis oleh Mizan Anshori dari Fakultas Dakwah Universitas Negeri Sunan Kalijaga dengan judul “Ruqyah Syar’i Penawar Sihir Dan Kesurupan Jin. Dalam skripsi ini peneliti ingin mengetahui bagaimana konsep dasar dan pelaksanaan ruqyah shar’iyyah sebagai penawar atau penyembuh terhadap pasien yang terkena guna-guna sihir dan kesurupan jin di pondok Baitussalam Prambanan Yogyakarta.

2. Skripsi yang ditulis oleh Duwiyati dari Fakultas Dakwah Universitas Negeri Sunan Kalijaga dengan judul “Terapi Ruqyah Syar’iyyah Untuk Mengusir Gangguan Jin.” Tidak jauh berbeda dengan skripsi yang ditulis


(18)

11

oleh Mizan Anshori di atas, skripsi yang ditulis oleh Duwiyati ini juga bertujuan untuk mengetahui konsep dasar terapi ruqyah syar’iyyah yang dipraktekkan di Baitur Ruqyah Syar’iyyah Kotagede, Yogyakarta.

3. Skripsi yang ditulis oleh Siti Fatimah dari Fakultas Ushuluddin dan Filsafat yang berjudul “Ludah Dan Tanah Sebagai Obat Dalam Sunan Abu> Da>wud Nomor Indeks 3895” Fokus penelitian skripsi ini adalah tentang khasiat ludah dan tanah sebagai obat serta kehujjahan hadis tersebut. Dari ketiga skripsi di atas, belum ditemukan adanya tema yang sama dengan penelitian yang hendak penulis lakukan. Selain obyek penelitiannya berbeda, konsentrasi yang diteliti juga berbeda dengan penelitian-penelitian di atas sehingga masih terdapat ruang penelitian yang sangat luas untuk meneliti hadis yang menerangkan tentang teknik ruqyah shar’iyyah dalam kitab Sunan Abu> Da>wud. Selanjutnya, penelitian ini diharapkan mampu memberi kontribusi positif terhadap khazanah keilmuan Islam dalam bidang pengobatan dengan ayat-ayat suci al-Quran dan doa-doa yang diajarkan Nabi atau yang lebih dikenal dengan istilah ruqyah shar’iyyah.

F. Metodologi Penelitian

Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Cara ilmiah berarti kegiatan penelitian itu didasarkan pada ciri-ciri keilmuan, yaitu rasional,


(19)

12

empiris dan sistematis.16 Berikut akan dipaparkan metode yang digunakan dalam penelitian ini.

1. Model Penelitian

Model penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian

library research, yaitu suatu riset kepustakaan dengan menggunakan metode

kualitatif. Penelitian ini bertujuan untuk mengumpulkan data yang diperoleh dari perpustakaan berupa buku-buku, kitab-kitab, naskah-naskah atau surat kabar yang memiliki keterkaitan dengan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.17

2. Metode Pengumpulan Data

Sebagaimana disebut di atas bahwa penelitian ini bersifat liberary

research. Oleh karena itu, teknik pengumpulan data yang penulis gunakan

dalam penelitian ini adalah dokumentasi, yakni mencari data-data hadis yang menerangkan tentang teknik ruqyah shar’iyyah dengan menggunakan data primer dan data sekunder.

3. Sumber Data

Dilihat dari sumber datanya, maka dapat dikualifikasikam menjadi dua sumber yakni sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer merupakan sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data, sedangkan sumber sekunder merupakan sumber yang

16 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2009), 2.


(20)

13

tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data.18 Adapun dalam penelitian ini, sumber primer dan sumber sekunder yang penulis gunakan antara lain:

a. Sumber Primer

1) Sunan Abu> Da>wud karya Sulaiman ibn al-Ash’as ibn Ishaq ibn Bashir ibn Shidad ibn Amr al-Azdi al-Sijistani.

2) ‘Aun al-Ma‘bu>d Sharh Sunan Abu> Da>wud karya Shamsul H}aq ‘Adhim ‘Abadiy.

b. Sumber Sekunder

1) H}alal-H}aram Ruqyah karya Musdar Bustaman Tambusai

2) Terapi Qur‘ani karya Achmad Zuhdi

3) At}-T}ib An-Nawa>wi, karya Ibn Qayyim Al-Jauziyah

4) Kaidah Kesahihan Hadis karya Syuhudi Ismail

5) Metodologi Penelitian Hadis karya Syuhudi Ismail

6) Kritik Hadis Pendekatan Historis Metodologis karya Umi

Sumbulah

7) Studi Kitab Hadis karya Zainul Arifin

8) Pengantar Studi Ilmu Hadis, karya Manna’ Al-Qaththan

dan karya lain yang relevan dengan pembahasan dalam penelitian ini.


(21)

14

4. Metode Analisis Data

Metode analisis data berarti menjelaskan data-data yang diperoleh melalui penelitian. Dari penelitian hadis yang secara dasar terbagi dalam dua komponen, yakni sanad dan matan, maka analisis data hadis akan meliputi dua komponen tersebut.

Dalam penelitian sanad, digunakan metode kritik sanad dengan pendekatan keilmuan rija>l al-hadith dan al-jarh} wa al-ta’dil dengan mencermati silsilah guru-murid dan proses penerimaan hadis tersebut (tah}ammul wa al-ada>). Hal ini dilakukan agar supaya diketahui integritas dan tingkatan intelektualitas seorang periwayat serta validitas pertemuan antara mereka selaku guru-murid dalam periwayatan hadis.19

Dalam penelitian matan, analisis data akan dilakukan dengan menggunakan analisis isi (content analysis). Pengevaluasian atas validitas matan diuji pada tingkat kesesuaian hadis (isi beritanya) dengan penegasan eksplisit al-Qur’an, logika atau akal sehat, fakta sejarah, informasi hadis-hadis lain yang berkualitas sahih serta hal-hal yang oleh masyarakat umum diakui sebagai bagian integral ajaran Islam.20

G. Sistematika Pembahasan

Untuk mempermudah pemahaman dalam penelitian ini, maka perlu adanya sistematika pembahasan sebagai berikut:

19M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2006), 127. 20Bustamin, Metodologi Kritik Hadis (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2004), 6.


(22)

15

BAB I Pendahuluan, yang meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, telaah pustaka, metodologi penelitian serta sitematika pembahasan. Bab ini digunakan sebagai pedoman acuan dan arahan sekaligus target penelitian agar penelitian dapat terarah dan pembahasannya tidak melebar.

BAB II Kerangka Teoritis, yang membahas tentang kriteria kesahihan hadis, teori kehujjahan hadis, teori pemaknaan hadis, lambang periwayatan. Bab ini merupakan landasan yang akan menjadi tolok ukur dalam penelitian ini.

BAB III Data penelitian, yang membahas tentang biografi singkat Abu> Da>wud dan kitab sunannya, komentar ulama terhadap Abu> Da>wud dan Kitab Sunannya, data hadis serta hadis penunjang dari kitab lainnya.

BAB IV Analisis data, yang berisi analisis dan pembahasan hadis tentang terapi ruqyah shar’iyyah dalam Sunan Abu> Da>wud. Bab ini mencakup penelitian sanad, matan, kehujjahan dan pemaknaan hadis.

BAB V Penutup, yang berisi kesimpulan yang merupakan jawaban dari rumusan masalah yang disajikan dalam penelitian ini dalam bentuk


(23)

16

pertanyaan dan bab ini juga berisi saran-saran yang konstruktif untuk pembaca demi perbaikan penulisan selanjutnya.


(24)

BAB II

TEORI KESAHIHAN DAN PEMAKNAAN HADIS

A. Kriteria Kesahihan Sanad Hadis

Keadaan sanad dan matan hadis sangat beragam. Hal itu dapat

dimaklumi karena kualitas dan kapasitas intekektual periwayat yang terlibat dalam periwayatan hadis juga sangat beragam. Sehingga hal tersebut memengaruhi kualitas hadis. Suatu hadis dapat dikategorikan sebagai hadis sahih jika memenuhi kriteria sebagai berikut:

1. Sanadnya bersambung

Yang dimaksud sanad bersambung adalah tiap-tiap periwayat dalam sanad hadis dari periwayat pertama hingga akhir terus

bersambung. Rangkaian periwayat hadis mulai dari mukha>rrij

sampai perawi yang menerima hadis dari Nabi saling memberi dan menerima riwayat hadis dari periwayat terdekat sebelumnya; keadaan itu berlangsung demikian sampai akhir sanad dari suatu

hadis.1

Di kalangan ulama hadis terkait dengan bersambungnya sanad

dikenal juga dengan sebuah istilah hadis muttas}il atau hadis

maus}ul. Hadis muttas}il atau maus}ul adalah hadis yang bersambung sanadnya, baik persambungan itu sampai kepada Nabi maupun

hanya sampai kepada sahabat Nabi saja. Jadi hadis muttas}il atau

1 M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), 111.


(25)

18

maus}ul ada yang marfu>’ (disandarkan kepada Nabi) dan ada yang mauqu>f (disandarkan kepada sahabat Nabi).2

Untuk mengetahui bersambung atau tidaknya suatu sanad, biasanya ulama hadis menempuh cara sebagai berikut:

a. Mencatat semua nama periwayat dalam sanad yang

diteliti.

b. Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat

melalui kitab-kitab rija>l al-h}adis, misalnya kitab

Tahdhi>b al-Tahdhi>b, susunan Ibn Hajar al-‘Atsqalaniy, Tahdhi>b Al-Kama>l, susunan Al-Mizziy dan kitab al-Kasyif susunan Muhammad bin Ahmad al-Dzahabiy. Sehingga dari kitab-kitab ini dapat diketahui kredibilitias periwayat serta hubungan kesamaan zaman dan hubungan antara guru dan murid dalam periwayatan hadis.

c. Meneliti kata-kata yang menghubungkan antara para

periwayat dengan periwayat terdekat dalam sanad,

yakni apakah kata-kata yang dipakai berupa h}addatsani>,

h}addatsana>, akhbarana>, ‘an, anna atau kata-kata

lainnya.3

Jadi suatu sanad hadis dapat dinyatakan bersambung apabila

seluruh periwayat dalam sanad itu thiqah (‘adil dan d}a>bit}) dan

2 Ibid.,112. 3 Ibid.


(26)

19

antara masing-masing periwayat dengan periwayat terdekat sebelumnya dalam sanad itu benar-benar telah terjadi hubungan periwayatan hadis.

2. Periwayat bersifat adil

Sifat adil adalah sifat dasar yang harus dimiliki oleh seorang periwayat yang dapat dipercaya. Periwayat yang tidak termasuk adil tidak dapat diterima riwayatnya, walaupun misalnya periwayat itu memiliki hafalan yang sempurna. Ketidakadilan seseorang menjadikan diri orang itu tidak dapat dipercaya

riwayatnya.4

Kata ‘adil berasal dari bahasa arab yang berarti

pertengahan, lurus, atau condong kepada kebenaran. Sedangkan

secara istilah para ulama berbeda pendapat.5 Al-Sauka>ni> dan

Al-Ghaza>li> memberikan kriteria perawi yang adil adalah setiap perawi

yang beragama Islam, baligh, berakal, memelihara muru>’ah, tidak

berbuat dosa besar seperti syirik, menjahuhi (tidak selalu berbuat) dosa kecil dan menjauhi hal-hal yang dibolehkan yang dapat

merusakkan muru>’ah.6

Secara umum dapat dinyatakan, ulama telah mengemukakan cara penetapan kadilan periwayat hadis yakni berdasarkan:

4 Ibid.,128.

5 Mahmud Manan, dkk, Studi Hadis, (Surabaya, IAIN Sunan Ampel Press, 2012), 157 6 Ismail, Kaedah Kesahihian…., 116.


(27)

20

a. Periwayat yang terkenal keutamaan pribadinya,

misalnya Ma>lik bin Anas dan Sufyan al-Sauriy, tidak

lagi diragukan keadilannya.

b. Penilaian dari kritikus periwayat hadis; penilaian ini

berisi pengugkapan kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri periwayat hadis.

c. Penerapan kaedah al-jarh} wa al-ta’di>l, cara ini

ditempuh, bila para kritikus periwayat hadis tidak sepakat tentang kualitas pribadi periwayat tertentu. Khusus untuk para sahabat Nabi, hampir seluruh ulama menilai mereka bersifat adil. Oleh karena itu, dalam proses penilaian periwayat hadis, pribadi sahabat Nabi tidak dikritik oleh

ulama hadis dari segi keadilan sahabat.7

Ta’dil dapat diterima tanpa menyebutkan alasan dan

sebabnya menurut pendapat yang s}a>h}i>h} dan mashhu>r, karena

sebabnya banyak sehingga sulit menyebutkannya. Sedangkan jarh} tidak boleh diterima kecuali dengan alasannya, karena hal itu terjadi disebabkan satu masalah dan tidak sulit menyebutkannya.8

3. Periwayat bersifat d}a>bit}

Menurut Ibn Hajar al-‘Athqa>laniy dan as-Sakha>wiy, yang

termasuk dalam kriteria periwayat yang bersifat d}abit} ialah orang

7 Ibid., 119.

8Manna Al-Qaththan, Maba>hith Fi> ‘Uluumi Al-Hadi>th, ter. Mifdhol Abdurrahman, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2014), 90


(28)

21

yang kuat hafalannya tentang apa yang telah didengarnya dan mampu menyampaikan hafalannya itu kapan saja ia

menghendakinya.9

Ada pula ulama yang menyatakan, orang d}abit} ialah orang

yang mendengarkan pembicaraan sebagaimana seharusnya; dia memahami arti pembicaraan itu secara benar; kemudian dia menghafalnya dengan sungguh-sungguh dan dia berhasil hafal dengan sempurna, sehingga dia mampu menyampaikan hafalannya itu kepada orang lain dengan baik. Sebagian ulama menyatakan,

orang yang d}a>bit} ialah orang yang mendengarkan riwayat

sebagaimana seharusnya; dia memahaminya dengan pemahaman yang mendetail dan dia hafal dengan sempurna, dan dia memiliki kemampuan yang demikian itu mulai dari saat dia mendengar riwayat sampai dia menyampaikan riwayat tersebut kepada orang

lain.10

Apabila berbagai pernyataan ulama tersebut digabungkan,

maka kriteria sifat d}a>bit} adalah sebagai berikut:

a. Periwayat itu memahami dengan baik terhadap riwayat

yang telah didengarnya (diterimanya).

b. Periwayat itu hafal dengan baik terhadap riwayat yang

telah didengarnya (diterimanya).

9 Ismail, Kaedah Kesahihian…., 116. 10 Ibid.


(29)

22

c. Periwayat itu mampu menyampaikan riwayat yang telah

dihafalkannya itu dengan baik kapan saja dia menghendakinya; sampai saat dia menyampaikan riwayat itu kepada orang lain.

Adapun cara penetapan ke-d}abit}-an seorang periwayat,

menurut berbagai pendapat ulama, dapat dinyatakan sebagai berikut:

a. Ke-d}abit}-an periwayat dapat diketahui berdasarkan

kesaksian para ulama.

b. Ke-d}abit}-an periwayat dapat diketahui juga berdasarkan kesesuaian riwayatnya dengan riwayat yang disampaikan oleh periwayat lain yang telah dikenal

ke-d}abit}-annya. Tingkat kesesuaian itu mungkin hanya

sampai ke tingkat makna atau mungkin ke tingkat harfiah.

c. Apabila seorang periwayat sekali-kali mengalami

kekeliuran, maka dia masih dapat dinyatakan sebagai

periwayat yang d}abit}. Tetapi apabila kesalahan itu

sering terjadi, maka periwayat yang bersangkutan tidak

lagi disebut sebagai periwayat yang d}abit}.11

Ke-d}abit}-an sendiri terbagi menjadi dua, yakni d}abit} s}adr dan

d}abit} kitab. D}}abit} s}adr adalah seorang periwayat yang hafal dengan


(30)

23

sempurna hadis yang diterimanya dan mampu menyampaikan dengan baik hadis yang dihafalkannya kepada orang lain. Sedangkan yang

dimaksud d}abit} kitab adalah seorang periwayat yang memahami dengan

baik tulisan hadis yang tertulis dalam kitab yang ada padanya ; apabila ada kesalahan tulisan dalam kitab, dia mengetahui letak kesalahannya.

Ke-d}abit}-an kitab ini sangat diperlukan bagi periwayat yang tatkala

menerima dan atau menyampaikan riwayat hadis melalui cara al-qira’ah

‘ala al-shaikh ataupun ijazah.12

4. Terhindar dari shudhu>dh (ke-shadh-an)

Ada tiga pendapat terkait penentuan shadh suatu hadis, yaitu: 1.

Menurut Muhammad Idris al-Sya>fi’i (W. 204 H/820 M) hadis shadh

adalah hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang thiqah tetapi

riwayatnya bertentangan dengan riwayat lain yang diriwayatkan

orang yang thiqah juga; 2. Menurut Al-Hakim al-Naisaburi (w. 405

H/1014 M), hadis shadh adalah hadis yang diriwayatkan oleh

periwayat yang thiqah secara mandiri, tidak ada periwayat thiqah

lainnya yang meriwayatkan hadis tersebut; dan 3. Menurut Abu

Ya’la al-Khalili (w. 405 H/1014 M), hadis shadh adalah hadis yang

sanadnya hanya satu buah saja, baik periwayatnya bersifat thiqah

maupun tidak bersifat thiqah.13

Pada umumnya ulama hadis mengikuti pendapat al-Syafi>’i di

atas. Dari penjelasan al-Syafi>’i tersebut dapat dinyatakan bahwa

12 Ibid., 122.


(31)

24

hadis s}adh, tidak disebabkan oleh (a) kesendirian individu periwayat

dalam sanad hadis, yang dalam ilmu hadis dikenal hadis fard mut}laq

(kesendirian absolut); atau (b) periwayat yang tidak thiqah. Hadis

baru kemungkinan mengandung shudhu>dh bila hadis itu memiliki

lebih dari satu sanad, para periwayat hadis tersebut seluruhnya thiqah, dan matan atau sanad hadis itu ada yang mengandung

pertentangan. Hadis yang mengandung shudhu>dh tersebut oleh

ulama disebut hadis shadh, sedang lawan dari hadis shadh disebut

sebagai hadis mah}fu>z}.14

5. Terhindar dari ‘illat

Menurut bahasa,‘illat merupakan isim maf’ul dari kata

a’allahu yang berarti yang cacat. Adapun menurut Istilah, hadis yang jika dicemati terdapat cacat yang merusak kesahihannya, meski

secara lahirnya selamat dari cacat (‘illat).15

Sebagaimana shudhu>dh hadis, ‘illat hadis juga dapat terjadi di

matan, di sanad, atau di matan dan sanad sekaligus. Akan tetapi yang

lebih sering terjadi ‘illat hadis adalah pada sanad. Ulama hadis

umumnya menyatakan, ‘illat kebanyakan berbentuk: 1. Sanad yang

tampak muttas}il dan marfu>’, ternyata muttas}il tetapi mauqu>f; 2.

Sanad yang tampak muttas}il dan marfu>’, ternyata muttas}il tetapi

mursal (hanya sampai ke al-t}abi’iy); 3. Terjadi percampuran hadis dengan bagian hadis lain; dan 4. Terjadi kesalahan penyebutan

14 Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis…., 123. 15 Thahan, Ilmu Hadis…., 121.


(32)

25

periwayat, karena ada lebih dari seorang periwayat memiliki

kemiripan nama sedang kualitasnya tidak sama-sama thiqah.16

Ulama hadis pada umumnya mengakui, shudhu>dh dan ‘illat

hadis sangat sulit untuk diteliti. Hanya mereka yang benar-benar mendalam pengetahuan ilmu hadisnya dan telah terbiasa meneliti

kualitas hadis yang mampu menemukan shudhu>dh dan ‘illat hadis.

Sebagian ulama hadis lain menyatakan, penelitian shudhu>dh hadis

lebih sulit daripada penelitian ‘illat hadis. Hal ini terbukti karena

belum ada ulama hadis yang menyusun kitab khusus tentang hadis shadh, sedang ulama yang menyusun kitab ‘ilal, walaupun jumlahnya tidak banyak tetapi telah ada. Adapun sebab utama kesulitan penelitian tentang kedua hal ini adalah karena kedua hal ini terdapat dalam sanad yang tampak sahih. Para periwayat hadis itu

bersifat thiqah dan sanadnya tampak bersambung. Shudhu>dh dan

‘illat hadis baru dapat diketahui setelah hadis itu diteliti lebih mendalam, antara lain dengan diperbandingkan dengan berbagai

sanad yang matannya mengandung masalah sama.17

B. Kriteria kesahihan matan hadis

Dari segi bahasa, matan berarti: punggung jalan (muka jalan);

atau tanah yang keras dan tinggi. Dari segi istilah, matan berarti materi

berita yang berupa sabda, perbuatan atau taqri>r Nabi yang terletak

16 Ibid., 132. 17 Ibid., 125.


(33)

26

setelah sanad yang terakhir.18 Kajian tentang matan penting untuk

dilakukan dalam penelitian hadis, karena sanad tidak akan bernilai baik

jika matannya tidak dapat dipertanggungjawankan keabsahannya.19

Penelitian matan hadis berbeda dengan penelitian sanad, demikian juga kriteria dan cara penilaian terhadap keduanya. Hal yang patut untuk diperhatikan dalam hubungannya dengan pelaksanaan kegiatan kritik sanad dan matan hadis adalah meneliti matan setelah melakukan penelitian terhadap sanadnya, sehingga matan yang diteliti akan bermanfaat jika sanad hadis yang bersangkutan telah memenuhi syarat untuk hujjah. Bila sanad bercacat berat, maka matan tidak perlu

diteliti sebab tidak akan bermanfaat untuk hujjah.20

Adapun untuk metode penelitian matan, menurut Syuhudi Ismail, kaidah yang dipergunakan untuk meneliti matan hadis adalah apakah matan tersebut sesuai atau tidak dengan petunjuk/atau ketentuaN-ketentuan umum dari:

1. al-Qur‘an

2. Hadis Mutawatir

3. Ijma’ ulama

4. Logika

Bagi matan hadis yang sesuai atau tidak bertentangan dengan empat macam tolok ukur diatas dinyatakan sebagai hadis sahih, sedang

18 Ismail, Pengantar Ilmu…., 21.

19 Bustamin, M. Isa, Metodologi Kritik…., 58.

20 M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan


(34)

27

yang bertentangan atau tidak sesuai dinyatakan sebagai hadis d}a’if atau

bahkan mawd}u>’.21

Tolok ukur yang empat macam di atas, oleh ulama diperinci lagi menjadi beberapa macam. Dr. Musthafa As-Siba’iy misalnya, dalam bukunya sebagaimana yang dikutip Syuhudi Ismail memuat tujuh macam. Dinyatakan bahwa suatu matan hadis dinilai berkualitas palsu (tidak berasal dari Nabi), apabila matan tersebut:

1. Susunan gramatikanya sangat jelek.

2. Maknanya sangat bertentangan dengan pendapat akal.

3. Menyalahi al-Qur’an yang telah jelas maksudnya.

4. Menyalahi kebenaran sejarah yang telah terkenal di zaman

Nabi.

5. Bersesuaian dengan pendapat orang yang meriwayatkannya,

sedang orang tersebut terkenal sangat fanatik terhadap madhabnya.

6. Mengandung suatu perkara yang seharusnya perkara tersebut

diberitakan oleh orang banyak, tetapi ternyata hanya diriwayatkan oleh seorang saja.

7. Mengandung berita tentang pemberian pahala yang besar untuk

perbuatan yang kecil, atau ancaman siksa yang berat terhadap

suatu perbuatan yang tidak berarti.22

21 Ismail, Pengantar Ilmu Hadis…., 178. 22 Ibid.


(35)

28

Menilai hadis hanya dari segi matannya saja tanpa menilai sanad dan rawinya merupakan suatu hal yang sangat berbahaya. Sebab para pemalsu hadis akan dengan sangat mudah untuk menyampaikan suatu pernyataan yang memenuhi tolok ukur di atas bila rangkaian sumber berita atau sanad tidak diadakan penelitian sebagaimana mestinya. Oleh karena itu metode yang lebih hati-hati dalam menilai suatu hadis adalah dengan menggunakan metode gabungan, yakni:

metode isnad dan matan.23

C. Teori kehujjahan hadis

Umat Islam zaman dahulu sampai zaman sekarang sepakat, terkecuali kelompok yang berpaling menyalahinya, bahwa hadis Nabi yang berupa sabda, perbuatan dan pengakuannya itu merupakan salah satu sumber hukum Islam. Banyak ayat-ayat al-Qur’an yang menunjukkan bahwa hadis merupakan sumber hukum Islam atau

sebagai dasar-dasar pokok syariat Islam.24 Ulama berdepakat bahwa

hadis yang dapat dijadikan sebagai hujjah adalah hadis yang maqbu>l,

sedangkan hadis yang tidak dapat dijadikan hujjah adalah hadis yang mardu>d.

1. Hadis maqbu>l

Maqbu>l, menurut bahasa berarti ma’khu>d (yang diambil) dan

musaddaq (yang dibenarkan atau diterima). Sedangkan menurut istilah adalah:

23 Ibid


(36)

29

25

لوبقلاى رشىعيمىهيفىترفاوتىام

“Hadis yang telah sempurna padanya, syarat-syarat penerimaan.”

Menurut Al-Baqi dan Jala>l al-Di>n as-Suyut}i kriteria hadis

maqbu>l adalah sebagai berikut:26

a. Perawinya adil

b. Perawinya d}a>bit} walaupun tidak sempurna

c. Sanadnya bersambung

d. Susunan kalimatnya tidak rancu

e. Tidak terdapat ‘illat yang merusak

f. Terdapat mata rantai yang utuh

Berikut pembagian hadis yang tergolong maqbu>l:

a. Hadis sahi>h li dha>tihi>, yaitu hadis yang sanadnya bersambung

melalui riwayat rawi yang adil lagi d}abit dari rawi yang semisal

hingga akhir sanad tanpa ada kejanggalan (shudhu>dh)dan cacat

(‘illat)yang merusak.27

b. Hadis sahi>hli ghairihi, yaitu hadis yang tidak memenuhi

sifat-sifat hadis maqbu>l secara sempurna, karena ia sebenarnya

25 Zainul Arifin, Ilmu Hadis, Historis dan Metodologis, (Surabaya: Pustaka Al-Muna, 2014), 156

26 Ridlwan Nashir, Ilmu Memahami Hadis Nabi Cara Praktis Menguasai Ulumul

Hadis dan Mushtolah Hadis, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2013), 105. 27 Thahan, Ilmu Hadis Praktis…., 39.


(37)

30

bukan hadis sahih namun naik derajatnya lantaran ada faktor

pendukung yang data menutupi kekurangan yang ada.28

c. Hadis h}asan li dha>tihi, yaitu yaitu hadis yang sanadnya

bersambung dengan para perawi-perawi yang adil dan daya ingatannya kurang sempurna mulai dari awal sanad sampai

akhir sanad tanpa kejanggalan (shudhu>dh) dan cacat (‘illat)

yang merusak.29

d. Hadis h>asanli ghairihi yaitu hadis d}aif yang dikuatkan dengan

beberapa riwayat lain, dan sebab ke-dhaif-annya bukan karena

kefasikan perawi hadis (yang keluar dari jalan kebenaran) atau

kedustaannya.30

Adapun hadis maqbu>l dibagi menjadi dua yakni ma’mu>l bihi>

(diterima dan dapat diamalkan ajarannya) dan ghairu ma’mu>l bihi>

(diterima dan tidak dapat diamakan ajarannya). Yang termasuk ma’mu>l bihi> adalah:31

a. Hadis muh}ka>m, yakni hadis yang telah memberikan pengertian

jelas.

b. Mukhtalif, yakni hadis yang dapat dikompromikan dari dua buah hadis atau lebih, yang secara lahiriah mengandung pengertian bertentangan.

28 Nashir, Ilmu Memahami Hadis Nabi…., 114. 29 Ibid., 120.

30 Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadis…., 124. 31 Arifin, Ilmu Hadis, Historis dan Metodologis…., 156.


(38)

31

c. Ra>jih}, yakni hadis yang lebih kuat, dan hadis na>sikh, yakni

hadis yang me-nasakh terhadap hadis yang datang terlebih

dahulu.

Adapun yang ghairu ma’mu>l bihi>dapat dibagi menjadi:32

a. Marjih}, yakni hadis yang kehujjahannya dikalahkan oleh hadis yang lebih kuat.

b. Mansu>kh, yakni hadis yang telag di-nasakh (dihapus), dan; c. Mutawaquf fi>h, yakni hadis yang kehujjahannya ditunda,

karena terjadinya pertentangan antara satu hadis dengan hadis lainnya yang belum bisa dikompromikan.

Jika dilihat dari ketetntuan-ketentuan hadis maqbu>l seperti

yang telah diuraikan di atas, maka hadis maqbu>l dapat digolongkan

menjadi dua, yaitu Hadis S}ah}i>h} dan H}asan.33

2. Hadis mardu>d

Mardu>d, menurut bahasa berarti “yang ditolak” atau yang

“tidak diterima”. Sedangkan mardu>d menurut istilah adalah:

34

ا عبى اى رشلاىكلتىدقف

“Hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat atau sebagian syarat

hadis maqbu>l.

32 Ibid., 157. 33 Ibid.


(39)

32

Tidak terpenuhinya persyaratan yang dimaksud, bisa terjadi pada sanad dan matan. Para ulama mengelompokkan hadis jenis

ini menjadi dua macam, yaitu Hadis d}ai>f dan hadis mawd}u>’.

Adapun beberapa faktor penyebab hadis d}ai>f tertolak adalah

sebagai berikut:35

a. Segi Rawi. Adanya unsur-unsur cacat pada rawi, baik dalam

hal keadilannya maupuun dalam ke-d}abit}-annya antara lain:

1. Unsur dusta, yakni berdusta dalam membuat hadis

walaupun hanya sekali seumur hidup. Hadis ini dikenal

dengan hadis mawd}u>‘.

2. Unsur tertuduh dusta, yakni perawi yang terkenal dalam

pembicaraan dusta, tapi belum dapat dibuktikan bahwa ia

pernah berdusta. Hadis ini dikenal dengan hadis matru>k.

3. Unsur kefasikan, yakni adannya kecenderungan dalam

amal, bukan kecurangan i’tikad, juga mereka berbuat maksiat.

4. Unsur kelengahan hafalan dan banyaknya kesalahan, yakni

lenngah dalam penerimaan hadis dan banyak salah dalam penyampaiannya. Hadis dari seorang yang fasiq, lengah

hafalan dan banyak salah dikenal dengan hadis munkar.


(40)

33

5. Unsur banyaknnya sangkaan buruk (waham), yakni salah

sangka seolah-olah hadis tidak ada cacat pada matan dan

sanadnya. Hal ini dikenal hadis mu‘allal.

6. Unsur menyalahi riwayat orang kepercayaan. Pada unsur

ini terdapat lima unsur hadis, yaitu; Hadis mudraj, Hadis

Maqlu>b, Hadis Mud}d}arib, Hadis Muh}arraf, dan Hadis Mus}ah}h}af.

7. Unsur tidak diketahuinya identitas rowi. Apabila hal ini

terjadi dikenal dengan istilah hadis Mubham.

8. Unsur penganut bid‘ah, yakni adanya kecurangan dan

i‘tikad yang berlawanan dengan yang diterima dari Nabi

dengan dasar shubhat. Hadis ini dikenal dengan hadis

mardu>d.

9. Unsur hafalan yang tidak baik, yakni menyalahi riwayat

orang yang lebih rajah atau karena buruk hafalan disebabkan karena lanjut usia, tertimpa bahaya, hilangnya

kitab. Bila pertama dikenal dengan hadis shadh dan kedua

dengan hadis mukhtali>t}.

b. Segi sanad. Hadis bisa dinyatakan d}ai>f bila sanadnya tidak

bersambung. Rawi murid tidak bertemu dengan rawi guru sehinga mengakibatkan ketidaksambungannya pada sanad. Hal tersebut terjadi dikarenakan sebab-sebab berikut ini:


(41)

34

1. Gugurnya sanad pertama, bahwa rawi yang menyampaikan

hadis kepada mudawwin. Hal ini dikenal dengan hadis

mu‘allaq.

2. Gugurnya sanad terakhir atau rawi pertama, bahwa

periwayatan hadis kepada Nabi tanpa menyebutkan dari sahabat mana ia menerima hadis tersebut. Hal ini dikenal

dengan hadis mursal.

3. Gugurnya dua orang rawi atau lebih secara berurutan, dan

hal ini dikenal dengan hadis mu’d}al.

4. Gugurnya seorang rawi atau lebih tetapi tidak berurutan,

dan hal ini dikenal dengan hadis munqat}i’.

c. Segi matan. Materi hadis terputus tidak sampai pada

Rasulullah, disebabkan dua hal, yakni:

1. Penisbatan kepada sahabat, bila ini terjadi maka hadis

disebut hadis mauqu>f yang didefinisikan sebgai berita yang

hanya dinisbatkan kepada sahabat, baik itu perkataan, atau perbuatan dan baik itu sanadnya bersambung atau terputus.

2. Penisbatan matan kepada tabi’i>n, dan apabila ini terjadi

maka hadis ini disebut hadis maqthu>‘ yang didefinisikan

sebagai perkataan atau perbuatan dari seorang tabi‘i>n serta

dinisbatkan kepadanya, baik sanadnya bersambung ataupun terputus.


(42)

35

Dapat disimpulkan, bahwa hadis d}ai>f itu berarti lemah dan

dinyatakan lemah, apabila pada jalur sanadnya ditemukan perawi yang tidak dipercaya atau pada matannya yang

terputus.36

D. Teori pemaknaan hadis

Bagaimana memahami hadis Nabi, memang merupakan persoalan yang urgen untuk dikedepankan. Persoalan ini berangkat dari realitas hadis sebagai sumber hukum kedua setelah al-Qur’an. Persoalannya menjadi semakin kompleks, karena keberadaan hadis itu sendiri dalam beberapa aspeknya berbeda dengan al-Qur’an. Dalam kaitannya

dengan al-Qur’an, pengkodifikasiannya secara mutawa>tir, qat}’iy

al-wuru>d, dijaga otentitasnya oleh Allah dan secara kuantitas sedikit lebih

banyak dibandingkan hadis. Sementara hadis nabi tidaklah demikian

kondisinya.37

Syuhudi Ismail dalam bukunya Telaah Ma’ani Al-Hadits

Tentang Ajaran Islam Yang Uiversal Temporal Dan Lokal menyatakan, bahwa hal-hal yang berkaitan erat dengan diri Nabi dan suasana yang melatarbelakangi atau sesuatu yang menyebabkan terjadinya hadis tersebut mempunyai kedudukan penting dalam pemahaman suatu hadis. Mungkin saja suatu hadis tertentu lebih tepat

36 Arifin, Ilmu Hadis, Historis dan Metodologis…., 168.

37 Suryadi, “Rekonstruksi Metodologis Pemahaman Hadis Nabi”, dalam Wacana Studi

Hadis Kontemporer, ed. Hamim Ilyas, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 2002), 137.


(43)

36

dipahami secara tersurat (tekstual), sedang hadis tertentu lainnya lebih

tepat dipahami secara yang tersirat (kontekstual).38

Menurutnya, pemahaman dan penerapan hadis secara tekstual dilakukan apabila hadis yang bersangkutan, setelah dihubungkan dengan segi-segi yang berkaitan dengannya, misalnya latar belakang terjadinya, tetap menuntut pemahaman sesuai dengan apa yang tertulis dalam teks hadis yang bersangkutan. Sementara itu, pemahaman dan penerapan hadis secara kontekstual dilakukan apabila “di balik” teks suatu hadis, ada petunjuk kuat yang mengharuskan hadis yang

bersangkutan dipahami dan diterapkan tidak secara tekstual.39

Adapun Yusuf al-Qaradhawi dalam bukunya Kaifa Nata’amalu

Ma’a As-Sunnati an-Nabawiyyah, beliau memaparkan setidaknya ada delapan poin penting yang mampu memberikan sebuah opsi bagi peneliti hadis dalam kaitannya dengan ilmu hadis. Dalam hal ini tentang petunjuk dan markah untuk memahami hadis Nabi dengan baik. Adapun poin-poin tersebut akan penulis jelaskan sebagai berikut:

1. Memahami hadis berdasarkan petunjuk al-Qur‘an.

Untuk memahami sunah dengan baik dan benar, agar terhindar dari penyimpangan, pemalsuan, serta takwil yang buruk, maka hendaklah suatu hadis dipahami berdasarkan petunjuk al-Qur’an

38 Syuhudi Ismail, Telaah Ma’ani Al-Hadits Yang Universal Temporal Dan Lokal, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2009), 6.


(44)

37

yang sudah pasti kebenarannya dan diyakini keadilannya. al-Qur’an merupakan ruh bagi keberadaan Islam dan fondasi bangunannya, yang mempunyai kedudukan sama dengan undang-undang pokok sebagai sumber perundang-undangan Islam. Sedangkan hadis Nabi merupakan penjelas perundangan itu secara terperinci. Dengan kata lain, hadis Nabi merupakan penjelas secara teoritis dan penerapannya. Artinya, penjelasan itu tidak boleh bertentangan dengan materi yang

dijelaskannya.40

2. Memadukan hadis yang topik pembahasannya sama

Untuk dapat memahami hadis secara benar, seorang peneliti harus menghimpun hadis-hadis sahih yang topik pembahasannya sama.

Dengan demikian hal-hal yang shubhat dapat dijelaskan dengnan

hal-hal yang muh}ka>m, dan hal-hal yang mut}laq dapat dibatasi dengan hal

yang muqayyad (terikat), dan hal-hal yang bermakna umum dapat

ditafsirkan oleh hal-hal yang bermakna khusus, sehingga jika hal ini dilakukan makna yang terkandung dalam hadis tersebut dapat menjadi

jelas dan tidak bertentagan dengan hadis yang lain.41

Diawal sudah dijelaskan bahwa fungsi hadis adalah menafsirkan al-Qur’an dan menjelaskan maknanya. Dengan kata lain bahwa hadis memerinci makna al-Qur‘an yang bersifat global, menafsirkan bagian al-Qur‘an yang masih belum jelas,

40 Dr. Yusuf Qardhawi, Kaifa Nata’amalu Ma’ al-Sunnah Nabawiyyah, terj. Bahrun Abubar (Bandung: Trigenda Karya, 1996), 96.


(45)

38

mengkhususkan yang umum, dan mengikat makna yang mutlak, maka sudah seharusnya ketentuan ini dipelihara dalam bagian hadis yang menafsirkan sebagian hadis lain. Apabila seorang peneliti hanya terfokus dalam satu hadis saja tanpa memadukannya dengan hadis yang lain, maka akan terjerumus ke dalam kesalahan dan

menjauhkannya dari pemahaman yang benar terhadap hadis tersebut.42

3. Memadukan atau mentarjih hadis-hadis yang (tampaknya)

betentangan.

Menurut kaidah, nas}-nas} syariat yang telah dikukuhkan itu tidak

mungkin bertentangan karena antara satu perkara yang haq tidak akan

bertentangan dengan perkara yang haq lainnya. Jika terdapat

pertentangan antara nash-nash yang ada di dalamnya, maka hal itu hanya menurut makna tekstualnya saja, tetapi tidak bertentangan pada hakikat dan kennyataannya. Atas dasar itu, seorang peneliti wajib menghilangkannya. Menurut Yusuf Qaradhawi, jika pertentagan itu

masih bisa dihilangkan dengan cara mengkolaborasikan dua nas} yang

bersangkutan tanpa harus bersusah payah mencari takwil yang jauh,

maka hal ini lebih utama daripada menggunakan cara tarji>h, karena

mentarjih sama dengan menafikan salah satu dari kedua nash yang

tampak bertentangan tersebut.43

4. Memahami hadis berdasarkan latar belakang, kondisi, dan tujuannya.

42 Ibid.


(46)

39

Poin penting berikutnya kaitannya dalam memahami hadis Nabi adalah dengan pendekatan sosio-historis, yaitu dengan mengetahui latar belakang ketika hadis diterbitkan kaitannya dengan sebab atau alasan tertentu yang tertuang dalam teks hadis atau tersirat dari maknanya, atau terbaca dari kenyataan yang melahirkan keberadaan hadis tersebut. Selain itu harus diketahui juga kondisi yang meliputinya serta di mana dan untuk tujuan apa hadis tersebut diucapkan. Sehingga dengan demikian, maksud hadis dapat diketahui

dengan jelas dan terhindar dari pemahaman yang menyimpang.44

Para ulama mengatakan bahwa faktor yang dapat membantu memahami al-Qur‘an dengan pemahaman yang baik adalah

mengetahui asba>b al-nuzu>l (latar belakang penurunannya), sehingga

tidak terjerumus kepada pemahaman yang salah. Jika asba>b al-nuzu>l

Alquran diperlukan bagi orang yang ingin memahami maknanya atau

hendak menafsirkannya, maka asba>b al-wuru>d hadis (latar belakang

penurunan hadis), lebih diperlukan lagi. Dengan pendekatan ini maka fungsi sunnah akan teraplikasikan yakni, menanggulangi sebagian besar masalah yang bersifat temporer, detail, dan berkaitan dengan tempat. Oleh karena itu hadis memiliki kekhususan dan rincian yang tidak terdapat di dalam al-Qur‘an. Untuk itu harus dibedakan hal yang bermakna khusus dan bermakna umum, yang bersifat temporer dan

yang bersifat tetap, yang bersifat juz‘i> (sebagian) dan yang bersifat


(47)

40

kulli (menyeluruh) yang masin-masing memiliki ketentuan hukum

tersendiri.45

5. Membedakan sarana yang berubah-ubah dan tujuan yang bersifat tetap

dari setiap hadis.

Sebagian orang banyak yang keliru dalam memahami hadis Nabi. Salah satu penyebabnya adalah mereka mencampuradukkan antara tujuan atau sasaran tetap yang dituju oleh suatu hadis dan merealisasikannya dengan sarananya yang bersifat temporer dan adakalanya berwawasan kedaerahan. Mereka hanya memusatkan perhatian kepada sarana-sarana tersebut , seakan-akan sarana itu merupakan tujuan yang dimaksud. Padahal bagi siapa saja yang benar-benar berusaha menggali makna yang terkandung di balik kata-kata yang tersurat dalam hadis, akan menemukan kejelasan bahwa hal yang terpenting adalah tujuan yang ingin dicapainya. Hal ini karena tujuan itu bersifat tetap dan permanen, sedangkan sarana adakalamya berubah-ubah, seiring dengan perubahan lingkungan, zaman, atau

tradisi yang berlaku serta faktor-faktor lain yang memengaruhinya.46

6. Membedakan makna hakiki dan makna majazi

Menurut Yusuf Qaradhawi, dalam banyak hadis terdapat

ungkapan Nabi yang bersifat majaz untuk menggambarkan makna

yang dituju dengan ungkapan indah dan sangat memikat. Majaz di sini

mencakup majaz lugha>wi, ‘aqli, dan isti‘a>rah, kina>yah dan isti’arah

45 Ibid. 46 Ibid., 162.


(48)

41

tamthiliyah, serta ungkapan lainnya atau lafazh lainnya yang tidak

mengandung arti yang sebenarnya. Memahami makna majazi, tidak

semudah memahami makna hakiki, karena dalam memahami redaksi

yang menggunakan lafazh majazi, memerlukan penafsiran atau

pena’wilan sehingga dapat diketahui maksud yang sebenarnya dari suatu hadis tersebut. Masih menurut Qaradhawi, takwil yang mengartikan makna hadis sebagai suatu kiasan, tidaklah ditolak oleh agama selama tidak mempersulit dan menyimpang, serta sepanjang masih ada hal yang mengharuskan untuk ditakwilkan. Pengertian

keluar dari makna hakiki kepada makna majazi adalah apabila terdapat

suatu tanda yang menghalangi penyampaian maksud makna hakiki menurut penilaian akal atau hukum syara’ yang benar, atau ilmu pasti,

atau kenyataan yang mendukungnya.47

7. Membedakan antara yang gaib dan yang nyata

Diantara kandungan hadis adalah membahas hal-hal yang berkaitan dengan alam gaib yang sebagiannya menyangkut makhluk-makhluk yang tidak dapat dilihat di alam nyata seperti para malaikat yang telah diperintahkan Allah untuk menangani berbagai macam

tugas dan juga jin, penduduk bumi yang dikenakan takli>f sama seperti

umat manusia, ia dapat melihat kita, tetapi kita tidak dapat melihatnya. Diantara mereka terdapat setan-setan, yaitu bala tentara iblis yang telah bersumpah di hadapan Allah bahwa dia akan menyesatkan manusia


(49)

42

dan menghiasi kebatilan dan kejahatan dengan keindahan supaya

mereka (manusia) mengerjakannya.48

Sebagaian hadis yang membicarakan perkara gaib ini ada yang

predikatnya tidak mencapai s}ahi>h, sehingga tidak dapat dijadikan

pegangan. Adapun pembahasan dalam perkara ini hanya menyangkut hadis-hadis yang terbukti kesahihannya dan bersumber dari Nabi. Sudah merupakan suatu kewajiban bagi seorang muslim menerima hadis-hadis yang telah terbukti kesahihannya. Tidak boleh seorang pun menolaknya hanya karena bertentangan dengan kenyataan yang biasa dialami atau mustahil terjadi menurut kebiasan manusia selama hal

tersebut masih bisa ditoleransi oleh rasio.49

8. Memastikan makna peristilahan yang digunakan oleh hadis

Suatu hal yang amat penting dalam memahami hadis Nabi dengan pemahaman yang benar adalah memastikan makna dan konotasi kata-kata tertentu yang digunakan dalam susunan kalimat hadis. Adakalanya konotasi kata-kata tertentu berubah karena perubahan dan perbedaan lingkungan. Masalah ini akan lebih jelas diketahui oleh mereka yang mempelajari perkembangan bahasa serta pengaruh waktu dan tempat terhadapnya. Sejumlah orang memang adakalanya membuat istilah dengan memakai lafaz-lafaz untuk menunjukkan kata tertentu yang belum ada istilahnya. Akan tetapi yang membahayakan adalah berkaitan dengan istilah atau kata yang

48 Ibid., 211. 49 Ibid., 212.


(50)

43

digunakan dalam al-Qur‘an maupun hadis, lalu diartikan sesuai dengan istilah masa kini yang akibatnya akan menimbulkan kekacauan dan

kekeliruan.50

E. Teknik terapi Ruqyah Shar’iyyah dan media yang digunakan

Dalam beberapa hadis Nabi Saw, dapat diketahui tentang

cara-cara melakukan ruqyah dan media yang dipergunakan, di antaranya

adalah dengan cara (a) sekedar membaca doa atau beberapa ayat al-Qur’an; (b) membaca do’a, meniup kedua telapak tangan kanan ke badan yang terasa sakit serta mengusapnya ke seluruh anggota badan; (c) membaca do’a, meniup dan sedikit meludah; (d) membaca do’a dan meletakkan tangan kanan ke badan yang terasa sakit serta mengusapnya; (e) membaca do’a dan meletakkan jari di tanah kemudian mengangkatnya; (f) membaca do’a dan memasukkan tangan ke dalam air yang dicampur dengan garam; (g) membaca do’a, menuangkan air zam-zam dan meminumnya; (h) memukul dada, meniup mulut dengan sedikit air ludah dan mengusap wajah sambil

membaca do’a.51

50 Ibid., 218.

51Achmad Zuhdi, Terapi Qur’ani Tinjauan Historis, Alquran-Al-Hadis dan Sains Modern, (Surabaya: Imtiyaz, 2015), 95.


(51)

BAB III

TINJAUAN REDAKSIONAL HADIS TENTANG TEKNIK

RUQYAH SHAR’IYYAH

DALAM SUNAN ABU

<

DA

<

WUD

A. Biografi Singkat Abu>Da>wud

Nama lengkap Abu> Da>wud adalah Sulaiman Ibn al-As}’as} ibn Isha>q ibn Bashir ibn Shidad ibn ‘Amr al-Azdi al-Sijistani>. Al-Sijistani> adalah nisbah pada tempat kelahirannya, yaitu sajistan, salah satu daerah yang terdapat di Bas}rah pada tahun 202 H.1

Abu> Da>wud terlahir di lingkungan dan keluarga yang yang religius, kedua orang tuanya merupakan seorang hamba yang taat beragama. Oleh orang tuanya, sejak kecil Abu> Da>wud dididik dan dikenalkan dengan ilmu-ilmu ke-Islaman yang sangat kaya. Selanjutnya, orang tuanya mendidik dan mengarahkan Abu> Da>wud agar menjadi ulama besar yang disegani.2

Sejak kecil, Abu> Da>wud sudah mencintai ilmu dan para ulama’ guna menimba ilmunya. Persiapan dirinya untuk mengadakan perlawatan ke berbagai negeri telah ia siapkan sebelum ia dewasa. Dalam menempa diri agar menjadi ulama besar, ia pergi ke beberapa negeri yaitu Kufah, Baghdad, Harrat, Rayy, Khurasan, Tarsus, Damaskus, Mesir dan Basrah. Abu> Da>wud mengunjungi Baghdad pada tahun 221 H. Hal ini menunjukkan bahwa ia memulai belajar tentang hadis dalam usia yang masih sangat muda, yakni pada usia 19 tahun.3

1 Zainul Arifin, Ilmu Hadis Historis & Metodologis, (Surabaya : Pustaka Al-Muna,

2014), 260.

2 Dhulmani, Mengenal Kitab-Kitab Hadis (Jogjakarta: Insan Madani, 2008), 102.


(52)

45

Dalam perjalanan studinya ini ia bertemu dengan beberapa ulama, dan dari mereka ia meriwayatkan Hadis. Sewaktu berada di Baghdad, ia mengajarkan hadis dan fiqih kepada penduduk di Baghdad dan kitab sunan Abu> Da>wud sendiri sebagai pegangan. Selanjutnya atas permintaan gubernur di Bashrah, yang juga saudara Khalifah Al-Muwafiq, meminta agar Abu> Da>wud menetap di Bashrah untuk menjadi guru, khususnya dalam bidang ilmu Hadis. Didalam kota ini pula Abu> Da>wud meninggal yakni pada tanggal 16 Syawwal 275 H yang bertepatan dengan tanggal 21 Februari 899 M. Selain ahli hadis, Imam Abu> Da>wud juga ahli dalam bidang fiqih, hal ini dapat dibuktikan dengan keberadaan kitab Sunannya yang bercorak fiqih.4

Perjalanan studinya ke berbagai negara telah berhasil mengantarkan Abu> Da>wud menjadi seorang al-Ha>fidh yang menguasai ‘illat al-h}adis, dirasat al-asa>nid dan atas keilmuan yang telah dikuasainya ini, juga menobatkan dirinya sebagai al-Faqih kedua dalam jajaran ulama al-muh}addithi>n setelah Imam Bukhori. Tercatat dalam bidang ilmu hadis, sekitar 300 ulama Hadis yang telah menjadi gurunya sebagaimana yang diperkirakan oleh Ibnu H}ajar al-‘Athqa>lani. Ulama yang menjadi guru Imam Abu> Da>wud banyak jumlahnya. Diantara guru-gurunya yang paling terkemuka adalah Ima>m Ah}ma>d ibn Hanbal, Abdulla>h Ibn Raja’, Abu> al-Wali>d al-T}ayalisi, dan lain-lain. Sebagian gurunya ada pula yang menjadi guru Imam al-Bukhari dan Muslim, seperti Ahmad Ibn Hanbal, ‘Uthma>n bin Abi T}alh}ah dan Qutaibah Ibn Sa’id. Diantara ulama yang mengambil hadis-hadisnya antara lain adalah puteranya sendiri yakni Abdullah, Nasa>’i,

4 Muh. Zuhri, Hadis Nabi: Telaah Historis dan Metodologis (Yogyakarta : Tiara Wacana,


(53)

46

Tirmidhi, Abu> Awa>nah, ‘Ali Ibn ‘Abd Al-S}amad, dan Ahmad Ibn Muhammad Ibn Harun.5

Abu> Da>wud melahirkan murid-murid hebat ahli hadis, kolektor hadis, kritikus maupun ahli pengulas hadis. Di antara mereka adalah Imam Abu ‘Isa al-Turmudhi, Abu ‘Abd Rahman Al-Nasa’i, Abu ‘Awanah, Abu Bakar al-Najjad, Abu Bashar al-Dawlabi, Abu ‘Ali al-Lu’lu’i, Abu Sa’id al-‘Arabi, Abu Bakar bin Dasah, dan ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdul Karim al-Ra>zi. Bahkan putra Abu> Da>wud , yakni Abu Bakar Abdullah juga dikenal sebagai imam yang alim dan pembesar di kalangan huffadh al-h}adis di Baghdad.6

B. Komentar Ulama tentang Abu> Da>wud

Sangat banyak sekali komentar-komentar positif yang diberikan oleh ulama-ulama besar terhadap sosok Abu> Da>wud . Tidak ada perselisihan di antara para ulama dan mereka sepakat menetapkan Imam Abu> Da>wud sebagai seorang al-h}afidh yang sempurna, serta memiliki ilmu yang melimpah, seorang ahli hadis yang terpercaya, wara’ sertra memiliki pemahaman yang dalam, baik dalam ‘ulumu al-Hadis maupun ilmu yang lain seperti ‘Ulu>mu al-Fiqh.7

Muhammad bin Ishaq al-Shaghani mengomemtari Abu> Da>wud sebagai orang yang sangat ahli dalam ilmu hadis, seperti halnya Nabi Dawud yang sangat menguasai besi. Sementara Abu Abdullah Shamsuddin Muhammad al-Dzahabi menyebut Abu> Da>wud sebagai Sayyid al-H}uffadh, atau penghulu ulama ahli hadis yang hafal ratusan ribu hadis Nabi, lengkap beserta matan dan sanadnya. Abu

5 Zainul Arifin, Ilmu Hadis Historis & Metodologis, (Surabaya : Pustaka

Al-Muna, 2014, 261

6 Abu al-Thayyib Muhammad Syams al-Haq al-‘Adhim Abadi, ‘Aun al-Ma’bud,

(Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), 4.


(54)

47

bakar al-Khallal mengatakan, “Abu> Da>wud merupakan seorang Imam yang terkenal di zamannya, tidak ada seorang ulama pun yang dapat menyamai derajatnya. Abu h}atim ibn H}ibban al-Busti menyatakan, “Abu> Da>wud adalah pemimpin dunia yang pengetahuannya tentang ilmu agama sangat mendalam, ilmunya luas, yang banyak hafalan hadisnya, ibadanya tekun dan memiliki kepribadian yang shalih serta pendirian agama yang kokoh.8

Sementara itu, Musa bin Harun yang juga seorang ulama hadis menyatakan, bahwa Abu> Da>wud adalah ulama yang tidak hanya hafal ribuan hadis, tetapi ia juga mengetahui ilmu tentangnya, ‘illatnya, dan sanad-sanadnya, Senada dengan Muhammad Sayyid bin Ishaq, Musa bin Harun juga menyatakan bahwa Abu> Da>wud sangat tekun ibadahnya, saleh pribadinya dan kokoh pendirian agamanya.9

Komentar lain datang dari ‘Ibnu ‘Arabiy yang menyatakan bahwa seseorang sudah dianggap cukup hanya berpegang dengan mush}af yang di dalamnya terdapat kitabullah dan kitabnya Abu> Da>wud, tanpa memerlukan kitab yang lain. Dari pernyataan ini menunjukkan betapa luasnya ilmu yang dimiliki oleh Abu> Da>wud sehingga kitabnya begitu luar biasa.10

Senada dengan Ibnu ‘Arabiy, Ibn al-Qayyim al-Jauziyah berkata bahwa Abu> Da>wud adalah seseorang yang memiliki kedudukan tinggi dalam dunia Islam, sehingga umat Islam merasa puas atas segala putusan yang ada di dalam salah satu kitab karengannya yaitu Sunan Abu> Da>wud .11

8 Abu Thayyib, ‘Aun al-Ma’bud…, 3.

9 Ibid.

10 Ash-Shidieqy, Pokok-pokok ilmu…193.


(55)

48

Adapun afiliasi dalam hal fiqih, ada beberapa pendapat. Pendapat pertama datang dari Abu H}asan al-S}ira>zi. Ia mengategorikan Abu> Da>wud ke dalam t}abaqat fuqaha’ Hanabilah, yakni bermadhhab fiqh Ahmad bin Hanbal dengan argument bahwa Imam Ibnu Hanbal merupakan guru besar bagi Abu> Da>wud .12

Jika Abu Hasan al-S}ira>zi berpendapat bahwa Abu> Da>wud berafiliasi kepada madhhab fiqihnya Ahmad bin Hanbal, lain halnya dengan Imam al-Subki. Ia cenderung menilai dalam hal fiqih Abu> Da>wud berafiliasi kepada Imam Syafi’i, hal ini terbukti Qut}ubu al-Di>n Abu Bakr bin Ahmad al-Yamani al-Syafi’i berkepentingan mensyarahi kitab Sunan Abu> Da>wud .13

Berbeda dengan dua pendapat di atas, Al-Dhahabi dan Dr. Muhammad Abu Shu’bah memiliki pendapat lain. Mereka menilai bahwa Abu> Da>wud merupakan seorang mujtahid independen, sebab Abu> Da>wud tergolong pendukung madzhab salaf. Hal ini dibuktikan oleh sikap loyalitas yang tinggi Abu> Da>wud terhadap sunnah dan mau menerima secara bulat ayat/hadis mutasha>bih tanpa harus melewati proses ta’wil dan beliau juga menghindari polemik yang terjadi pada ulama mutakallimin. Hal ini lah yang menjadikan kitab karyanya yakni Sunan Abu> Da>wud dapat diterima oleh berbagai fuqaha yang memiliki beragam madhhab.14

C. Karya-karyanya Dan Komentar Ulama Tentang Kitab Sunan Abu> Da>wud Abu> Da>wud mewariskan banyak keterangan dalam bidang hadis yang berisi masalah hukum. Di antara karya-karyanya antara lain: (1) Al-Mara>sil, (2)

Masa’il al-Ima>m Ah}mad, (3) Al-Nasikh wa al-Mansukh, (4) Al-Zuhd, (5) Ija>bat

12 Hasjim Abbas, Kodifikasi Hadis dalam Kitab Mu’tabar, (Surabaya: Bag.

Penerbitan FU IAIN SUNAN AMPEL, t.t), 62.

13 Ibid., 63. 14 Ibid.


(56)

49

‘an Sawwalat al-‘Ajjuri, (6) Risa>lah fi Was}f kita>b al-Suna>n, (7) ‘Asilah ‘an

Ahmad ibn Hanbal, (8) Qaul Qadr, (9) Dala>’il al-Nubuwwa>t (10) Al-Masa>’il allati H}alafa ‘Alaih al-Ima>m Ah}mad, (11) Tasmiyat al-Akhwan, (12) Akhbar al-Khawa>rij, (13) Fad}a>il al-Ans}ar, (14) Al-Tafarrud fi al-Suna>n, (15) Al-ba’th wa al-Nushur, (16) Al-Du’a>, (17) A’lam al-Nubuwwa>t, (18) Ibtida>’ al-Wah}y (19) Musnad Ma>lik, (20) Sunan Abi> Da>wud.15

Di antara karya-karya tersebut yang paling bernilai tinggi dan masih tetap beredar sampai sekarang adalah kitab al-Sunan, yang kemudian terkenal dengan nama “Sunan Abu> Da>wud .” Beliau telah membawa kitab ini kepada Imam Ah}mad bin H}anbal, dan ia telah memberikan pujian kepada kitab yang di dalamnya memuat sekitar 4.800 hadis. Namun menurut penelitian ulama, apabila

Abu> Da>wud sendiri mengatakan, bahwa ia telah menulis Hadis Nabi sebanyak 500.000 hadis, kemudian olehnya dipilih sejumlah 4800 hadis yang kemudian ia masukkan ke dalam kitab sunan Abu> Da>wud . Hadis yang amat lemah dan tidak sah sanadnnya oleh Abu> Da>wud diberikan keterangan di akhirnya. Di dalam kitab ini tidak dicantumkan hadis-hadis yang ditolak oleh semua orang. Adapun hadis-hadis yang dinilai tidak bermasalah oleh Abu> Da>wud tidak diberikan komentar apapun.16

Tidak sedikit hadis yang terdapat di dalam kitab Sunan Abu> Da>wud tidak terdapat di kitab hadis lainnya. Ulama telah memberikan perhatian yang cukup besar terhadap kitab yang memuat 5.274 hadis ini. Hal ini dapat dibuktikan

15 Muhammad Mustafa Azami, Metodologi Kritik Hadis (Bandung: Hidayah, 1996), 154.

16 Ash-Shiddiqiey, Sejarah dan Pengantar…,75.

Seluruh hadis yang termuat dalam kitab tersebut dihitung berulang-ulang, maka jumlah seluruhnya ada 5.274 hadis.


(1)

90

ىْيَلعىهَللاى َلصىِيِبنلاىِ ْ ىَشِئاعىْنعىَ ْرعىْنعى ا ِشىِنْباىْنعىٍكِلامىْنعىيِبنْعَقْلاىانَثدح

ىَلوس ىَ َأىمَلس ىِه

ِفىُأرْقيى َ ْشاىاَِإىَ اَكىمَلس ىِهْيَلعىهَللاى َلصىِهَللا

ىُأرْقَأىتْنُكىهعج ىد ْشاىا َلَفىُثُفْني ىِتاَِوع ْلاِبىِهُِْفنىي

ا َِكربىَئاج ىِ ِديِبىِهْيَلعىحُْمَأ ىِهْيَلع

45

.

“Telah menceritakan kepada kami Al Qa'nabi dari Malik dari Ibnu Syihab dari

'Urwah dari Aisyah isteri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam apabila sakit maka beliau membacakan surat-surat mu'awwidzat (minta perlindungan) dan meniupkannya. Ketika sakit beliau semakin keras, maka aku yang membacakan kepada beliau dan aku usapkan kepadanya dengan tangan beliau, dengan harapan mendapatkan berkahnya."

Jadi dapat disimpulkan diakhir pembahasan ini bahwa teknik ruqyah shar’iyyah yang terdapat dalam Sunan Abu> Da>wud dapat dilakukan dengan

beberapa teknik diantaranya menggunakan do’a al-ma’thurat, dan ayat-ayat

suci al-Qur’an dengan mengkombinasikannya dengan usapan, sentuhan, tiupan, ludah dan tanah sebagai sarana kesembuhan disertai keyakinan dan keimanan yang sungguh-sungguh bahwa kesembuhan datangnya hanya dari Allah, dan Allah akan menyembuhkan penyakit setiap hamba-Nya yang mau beriman kepada-Nya.


(2)

91

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari hasil penelitian terhadap hadis tentang teknik ruqyah syar’iyyah di dalam kitab sunan Abu> Da>wud Nomor Indeks 3891, maka didapatkan kesimpulan sebagai berikut:

1) Kualitas sanad dan matan tentang teknik ruqyah syar’iyyah di dalam kitab sunan Abu> Da>wud no Indeks 3891 ini adalah s}ah}i>h li dha>tihi karena perawi yang meriwayatkan hadis tersebut sesuai dengan kriteria kesahihan hadis yaitu penyebutan perawi hadis mulai dari pertama sampai terakhir sanadnya bersambung (muttas}il), seluruhnya bersifat thiqah (‘adil dan d}a>bit}), terhindar dari kejanggalan (shadh) dan tidak cacat

(‘illat). Sedangkan jika ditinjau dari segi matannya, hadis tersebut tidak bertentangan dengan al-Qur’an, hadis-hadis lain yang lebih kuat, panca indera dan juga akal sehat.

2) Hadis tentang teknik ruqyah shar’iyyahdi dalam kitab sunan Abu> Da>wud

no indeks 3891 dapat dijadikan h}ujjah karena termasuk hadis maqbu>l.

Dikatakan hadis maqbu>l karena hadis ini termasuk kriteria hadis s}ah}i>h} li

dha>tihi. Selain maqbu>l hadis ini juga bisa diamalkan (maqbu>l ma’mu>l bihi) karena termasuk kategori hadis muhka>m.


(3)

92

3) Pemahaman tentang teknik ruqyah syar’iyyah dalam kitab Sunan Abu Dawud merupakan pengobatan Ila>hiyah dan al-T}ibb al-Nabawi karena di

dalamnya mengandung dhikrullah, tauh}i>d (berharap hanya kepada-Nya)

dan meminta pertolongan dengan kemuliaan serta kekuasaan-Nya. Karena suatu penyakit datangnya dari Allah, dan kesembuhan datangnya juga dari Allah. Sementara Rasulullah telah mengajarkan bagaimana cara berdoa agar dapat diijabah oleh Allah berupa hilangnya penyakit atas izin-Nya.

B. Saran

1) Dengan selesainya penelitian ini diharapkan mampu merubah pola pikir masyarakat bahwasanya segala macam penyakit datangnya dari Allah, dan kesembuhan juga datangnya dari Allah. Seyogyanya sebagai hamba Allah berharap kesembuhan hanya kepada-Nya dan berusaha mengobatinya dengan cara pengobatan ila>hiyah yang telah dicontohkan Nabi Muhammad yakni dengan terapi ruqyah shar’iyyah dengan do’a yang telah diajarkan Nabi atau dengan ayat-ayat suci al-Qur’an.

2) Penelitian ini tidaklah sempurna, karena kesempurnaan hanya milik Allah. Penulis merasa jauh dari kesempurnaan dan masih banyak masalah yang belum dibahas. Hal ini disebabkan terbatasnya wawasan serta waktu yang penulis miliki. Oleh karena itu diharapkan skripsi ini dapat membantu pembaca sebagai pelengkap data-data pembahasan bagi peminat kajian yang sama, sehingga nanti menjadi sebuah karya tulis yang lebih


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Abadi>, Abu al-T}ayyib Muhammad Shams al-Haq al-‘Adhi>m, ‘Aun al-Ma’bu>d, Beirut: Da>r al-Fikr. 1995 M.

Abbas, Hasjim, Kodifikasi Hadis dalam Kitab Mu’tabar, Surabaya: Bag. Penerbitan FU IAIN SUNAN AMPEL. Tt.

Arif, Abul Fida’ Muhammad Izzat Muhammad Terapi Ayat Alquran Untuk Kesembuhan, terj. Saiful Aziz. Solo: Kafilah Publishing, 2011 M.

Arifin, Zainul, Ilmu Hadis Historis & Metodologis. Surabaya: Pustaka Al-Muna, 2014 M. Arikunto, Suharsimi, Metode Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek Jakarta: Rineka

Cipta, 1998 M.

Azami, Muhammad Musthafa, Memahami Ilmu Hadis. Jakarta: Lentera, 1995. ____________, Metodologi Kritik Hadis. Bandung: Hidayah, 1996 M.

Az-Zumaro, Lutfil Kirom, Ajaibnya Pengobatan Air Yang Didoakan. Yogyakarta: Semesta Hikmah, 2016 M.

Bustamin, M. Isa, Metodologi Kritik Hadis. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004 M. Departemen Agama, Ensiklopedi Islam Indonesia, vol. 1 Jakarta: Anda Utama, 1993 M. Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia.Jakarta: Balai Pustaka, 2001 M.

Dhulmani, Mengenal Kitab-Kitab Hadis. Yogjakarta: Insan Madani, 2008 M.

Ibnu Maja>h, Abu Abdullah bin Yazid Ibnu, Sunan Ibnu Majah, Beirut: Dar al-Fikr, 1996 M.

Imam Shamsuddin, Muhammad, Siya>r A’la>m An-Nubala>’, Vol. IV, Beirut:

Mu’assasah Al-Risa>lah, 1996 M.


(5)

__________, Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya. Jakarta: Gema Insani Press, 1998 M.

__________, Telaah Ma’ani Al-Hadits Yang Universal Temporal Dan Lokal. Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2009 M.

___________, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 1992 M. Jauziyah, Ibnu Qayyim, Al-T{ibb An-Nabawi, terj. Abu Umar Basyier Al-Maidani,

Jakarta: Griya Ilmu, 2012 M.

Kusmana, Suherli, Merancang Karya Tulis Imiah. Bandung: Rosda Karya, 2010 M. Manan, Mahmud dkk, Studi Hadis. Surabaya, IAIN Sunan Ampel Press, 2012 M. Al-Mizzi, Tahdhi>b al-Kama>l Fi Asma>’i Al-Rija>l, Vol. 8, Beirut: Muassasah Al-Risa>lah.

1994 M.

Moleong, Lexy J Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Kayra, 1998. Nashir, Ridlwan Ilmu Memahami Hadis Nabi Cara Praktis Menguasai Ulumul Hadis

dan Mushtolah Hadis. Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2013 M. Poerwodarminto, Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta :Balai Pustaka. T.t.

Qaradhawi, Yusuf, Kaifa Nata’amalu Ma’a as-Sunnati an-Nabawiyyah, terj. Bahrun Abubar Bandung: Trigenda Karya, 1996 M.

Qathan, Manna’, Pengantar Studi Hadits, terj. Mifdhol Abdurrahman. Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2005 M.

al-Qur’a>n dan Terjemahannya, Departemen Agama RI, 2012 M.

Ash-Shiddiqiey, M. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009 M.

Al-Sajastani, Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’ath, Sunan Abi> Da>wud, Vol. IV, Mesir: Da>r al-‘Ilmu, 1999 M.


(6)

Suprapta, Munzir, Ilmu Hadis, Jakarta: Rajawali Pers, 2003 M.

Suryadi, Rekonstruksi Metodologis Pemahaman Hadis Nabi, dalam Wacana Studi Hadis Kontemporer, ed. Hamim Ilyas, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 2002 M.

Tambusai, Musdar Bustaman, Halal-Haram Ruqyah. Jakarta Timur: Pustaka Al- Kautsar, 2013 M.

Thahan, Mahmud, Ilmu Hadits Praktis, terj. Abu Fuad. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2012 M.

TM, Ash-Shidieqy, Pokok-pokok ilmu Dirayah Hadis, Jakarta: Bulan Bintang. 1987 M. Wensick, A.J. Mu’jam al-Mufahras li Al-fa>z Al-Hadi>th al-Naba>wi, Leiden: E.J, Brill.

1967 M.

Zuhdi, Achmad, Terapi Qur’ani, Tinjauan Historis, Al-quran, Alhadis, dan Sains Modern, Surabaya: Imtiyaz, 2015 M.

Zuhri, Muh, Hadis Nabi: Telaah Historis dan Metodologis. Yogyakarta : Tiara Wacana, 1997 M.