LARANGAN ISTRI MENOLAK AJAKAN SUAMI BERSETUBUH DALAM KITAB SUNAN ABU DAWUD NO.INDEKS 2141)(KAJIAN MA'ANI AL-HADITH).

(1)

LARANGAN ISTRI MENOLAK AJAKAN SUAMI BERSETUBUH

DALAM KITAB SUNAN ABU DAWUD NO. INDEKS 2141)

(Kajian Ma’a>ni al-Hadi>th) SKRIPSI

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ilmu Ushuluddin dan Filsafat

Oleh MUZAMMIL NIM. E83212113

JURUSAN AL-

QUR’AN DAN

HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA


(2)

(3)

(4)

(5)

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademika UIN Sunan Ampel Surabaya, yang bertanda-tangan di bawah ini, saya:

Nama : MUZAMMIL

NIM : E83212113

Fakultas/Jurusan : USHULUDDIN DAN FILSAFAT / TAFSIR HADIS E-mail address : Zamielalief@gmail.com

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Perpustakaan UIN Sunan Ampel Surabaya, Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif atas karya ilmiah :

Sekripsi Tesis Desertasi Lain-lain (………)

yang berjudul :

LARANGAN ISTRI MENOLAK AJAKAN SUAMI BERSETUBUH DALAM KITAB SUNAN ABU DAWUD NO. INDEKS 2141

(Kajian Ma’a>ni al-Hadi>th)

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan Hak Bebas Royalti Non-Ekslusif ini Perpustakaan UIN Sunan Ampel Surabaya berhak menyimpan, mengalih-media/format-kan, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data (database), mendistribusikannya, dan menampilkan/mempublikasikannya di Internet atau media lain secara fulltext untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan atau penerbit yang bersangkutan.

Saya bersedia untuk menanggung secara pribadi, tanpa melibatkan pihak Perpustakaan UIN Sunan Ampel Surabaya, segala bentuk tuntutan hukum yang timbul atas pelanggaran Hak Cipta dalam karya ilmiah saya ini.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

Surabaya, 24 Agustus 2016 Penulis

( MUZAMMIL )

namaterangdantandatangan

KEMENTERIAN AGAMA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

PERPUSTAKAAN

Jl. Jend. A. Yani 117 Surabaya 60237 Telp. 031-8431972 Fax.031-8413300 E-Mail: perpus@uinsby.ac.id


(6)

ABSTRAK

Muzammil, 2016. LARANGAN ISTRI MENOLAK AJAKAN SUAMI

BERSETUBUH DALAM KITAB SUNAN ABU DAWUD NO. INDEKS 2141 (Study ma’a>ni al-Hadith). Skripsi Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

Berbagai fenomena yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat menuntut adanya penyelesaian hukum. Salah satu fenomena tersebut adalah perihal kekecewaan para suami kepada istri disebabkan menolak ajakannya untuk bersetubuh. Hal semacam ini bagi sebagian orang mungkin sudah dianggap sesuatu yang biasa, sehinnga mereka merasa problem tersebut tidak akan membawa dampak negatif bagi kelangsungan rumah tangga. Namun pada kenyataannya hal semacam ini bisa mengakibatkan dampak negatif seperti halnya memicu adanya pertengkaran dalam keluarga sehinnga memungkinkan terjadinya perceraian. Oleh karena itu, fenomena semacam ini seharusnya dicarikan solusi sebagai penyelesaiannya. Penelitian hadis yang terdapat dalam kitab Sunan Abu Dawud nomor indeks 2141 diharapkan dapat memberikan suatu pemahaman yang dapat dijadikan sebagai rujukan dan menjawab fenomena ini. Penelitian ini mengarah pada kualitas dan pemaknaan hadis. Dalam pengumpulan data digunakan metode library research (kepustakaan) dan dalam mengkaji data digunakan metode takhri>j, i’tiba>r, kritik sanad juga matan dan teori pemaknaan hadis. Penelitian hadis tentang larangan istri menolak ajakan suami bersetubuh menghasilkan bahwa hadis tersebut berkualitas s}ahi>h} li dza>tihi. Disamping itu matan hadis tersebut tidak bertentangan dengan tolak ukur yang dijadikan sebagai barometer penilaian ke-sahih-an matan, sehingga hadis ini dapat dijadikan sebagai hujjah dan dapat diamalkan. Sedangkan pemaknaan hadis yang dilakukan dengan pendekatan dila>lah al-‘iba>rah dan dila>lah al-isha>rah memberikan suatu pemahaman bahwa seorang istri tidak boleh menolak tanpa alasan ajakan suami bersetubuh sebab hal ini akan berdampak buruk bagi suami-Istri, baik dari sisi biologis atau psikologisnya.


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL HALAMAN ... .... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

MOTTO ... iv

PERSEMBAHAN ... v

ABSTRAK ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

TRANSLITERASI ... xiii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang …...……….…. 1

B. Identifikasi Masalah ……….… 5

C. Rumusan Masalah ...………. 5

D. Tujuann Penelitian ...……… 6

E. Kegunaan Penelitian ……….6

F. Penegasan Judul ...……… 7

G. Telaah Pustaka ……...……….. 7

H. Metodologi Penelitian ……….. 9


(8)

BAB II : METODOLOGI PENELITIAN HADIS LARANGAN ISTRI

MENOLAK AJAKA SUAMI BERSETUBUH

A. Pengertian Hadis ………. 15

B. Klasifikasi Hadis ...………. 15

1. Segi kuantitas ………... 16

2. Segi kualitas ………. 17

C. Metodologi Kritik Hadis ..…...………... 18

1. Pengertian kritik hadis ………. 18

2. Metodologi kesahihan sanad ……… 21

3. Metodologi kesahihan matan hadis ………. 24

4. Takhrij al-hadis ………. 31

5. Ilm al-jarh wa al-ta’dil ………. 32

6. I’tibar ……… 36

D. Teori Kehujjahan Hadis ..……….. 39

E. Bersetubuh dan Manfaatnya ………... 41

BAB III : ABU DAWUD DAN HADIS LARANGAN ISTRI MENOLAK AJAKAN SUAMI BERSETUBUH A. Abu Dawud ………. 45

1. Biografi ……… 45

2. Pandangan Ulama Terhadap Abu Dawud….……… 47

3. Aliran yang diikuti ………...………. 47


(9)

1. Metode Penyusunan Kitab Sunan Abu Dawud ...………49

2. Pandangan Ulama Terhadap Kitab Sunan Abu Dawud… 51 3. Kitab-kitab Syarh Sunan Abu Dawud …………..……… 52

C. Hadis Larangan Istri Menolak Ajakan Suami Bersetubuh Dalam Kitab Sunan Abu Dawu………... 53

D. Skema Sanad ...……….…….. 56

E. I’tibar ……….……. 62

BAB IV : ANALISI HADIS LARANGAN ISTRI MENOLAK AJAKAN SUAMI BERSETUBUH: RELEVANSI TEKS DAN KONTEKS A. Kualitas Sanad Hadis ………..… 63

B. Kualitas Matan Hadis …………...……….. 87

C. Kehujjahan Hadis ……….…..……… 90

D. Pemaknaan Hadis (ma’a>ni al-hadith) …...……….. 92

E. Tinjauan Sains dan Relevansi Hadis .………. 96

BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ……….. 102


(10)

1

BAB I

PENDAHULAN

A. Latar Belakang

Islam adalah agama fit}rah, agama yang selalu sesuai dengan tabiat dan dorongan batin manusia. Islam dapat memenuhi dorongan-dorongan tersebut pada

garis syari‟at Islam. Dorongan batin untuk mengadakan kontak antar jenis

laki-laki dan perempuan diatur dalam syari‟at perkawinan. Masalah ini menjadi

perhatian utama Islam sehingga dorongan tersebut diberi aturan hukum yang disebut hukum perkawinan.1 Aturan ini diterapkan oleh Allah dalam al-Qur‟an surat al-Nu>r: 32 :

















Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian[1035] diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.2

Selain itu, Rasulullah Saw Bersabda:

َع

ن

ِإ ب

ِن

ج

َر

ي

ِج

،

َع

ن

ِإ ب

َر

ِھا

ي َم

ب

َن

َم

ي

َس

َر

َ،

َع

ن

ع

َ ي

ِد

ب

ِن

َس

ِع ي

،د

َع

ِن

لا

َ

ي

َص

ل

ى

َ

يلع

لسو

م

َق

َ ا

:

نَم

بَحَا

يِتَر طِف

نَسَتَي لَف

يِت سِب

نِمَو

يِت س

َ اك لا

(

اور

يقھي لا

)

Dari ibnu Juraih, dari Ibrohim bin Maysaroh, dari Ubaid bin Said, dari Nabi Saw, Beliau bersabda: “Siapa saja yang mencintai fitrahku

1 Muhammad Thalib, Manajemen Keluarga Sakinah, (Yogyakarta: Pro-U, 2007), 29. 2

Departemen Agama RI, Al- Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang: Toha Putra, 2003), 549.


(11)

2

(ajaranku) hendaklah ia mengikuti teladan hidupku; dan diantara teladan hidupku adalah menikah”. )HR. Baihaqi(3

Apabila Perkawinan telah berlangsung dan dinyatakan sah menurut syarat dan rukunnya, maka akan menimbulkan akibat hukum lain. Dengan demikian, akan menimbulkan pula hak dan kewajiban selaku suami istri dalam keluarga.4 Suatu hal yang perlu dikaji kembali terkait hubungan suami istri dalam keluarga adalah hadis Nabi terkait larangan istri menolak ajakan suami bersetubuh, sehingga dari hadis tersebut timbul suatu wacana bahwa bersetubuh adalah hak prerogatif suami dan merugikan pihak istri.

Telah menjadi rahasia umum bahwa bersetubuh dalam Islam

pembahasannya sangat penting, bahkan dalam kehidupan sehari-hari bersetubuh dapat dijadikan sebagai obat. Apapun kesulitan atau permasalahan yang menimpa laki-laki disiang hari dapat dihilangkan dan dikalahkan dengan melakukan hubungan seksual secara benar. Bagi laki-laki, tidak ada obat yang paling baik dari pada hubungan seksual. Sedangkan bagi perempuan hubungan seksual yang benar dan nikmat dapat membantunya bisa merasakan kebahagiaan serta menghidupkan cinta dan kasih sayang.5

Hubungan seksual dan kesukaan melakukannya bukanlah monopoli laki-laki saja, perempuan-pun juga senang melakukannya. Kaidah kedokteran yang sudah umum menyatakan bahwa laki-laki akan sampai pada puncak aktivitas seksual

3 Ahmad bin Husain bin ali al-Baihaqi, Al-Sunan al Kubro>, (Bairut-Libanon: Da>r al-Kutub al-Ilmiyah, 1994), 124.

4 Abul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana Media Group, 2008), 155.

5 Thariq Kamal Al Nu‟aimi, Psikologi Suami Istri, terj, Muh. Muhaimin, (Yogyakarta:


(12)

3

pada usia 17 atau 18 tahun. Sementara perempuan sampai tingkat tesebut pada usia 36 atau 38 (laki-laki lebih cepat dalam proses hubungan seksual juga lebih cepat untuk sampai pada puncak aktivitas seksnya).6

Berdasarkan sabda Nabi Muhammad Saw, yang telah diriwayatkan oleh Imam Bukhari bahwasannya bersetubuh itu dapat membentengi diri terhadap godaan setan, mematahkan keinginan yang sangat kuat yang memenuhi pikiran, mencegah bencana akibat dorongan syahwat, menundukkan pandangan mata menjaga kemaluan dari perbuatan terlarang7.

Ibnu hazm berpendapat bahwa wajib atas suami untuk menyetubuhi istrinya minimal sekali dalam setiap masa suci, apabila dia mampu melakukan itu. Apabila dia tidak mampu melakukannya, dia durhaka kepada Allah berdasarkan firman-Nya dalam QS al-Baqarah : 223.8 Sedangkan bagi Imam Syafi‟i, beliau mengatakan bahwa “tidak ada kewajiban bagi seorang suami untuk mencampuri istrinya.” Karena hal itu merupakan haknya, sehingga tidak wajib atasnya sebagaimana hak-hak lainnya.9

Sementara dalam hal kewajiban istri melayani suami ketika diajak bersetubuh, Rasulullah Saw bersabda:

6

Ibid,. 627. 7

Ibn Hajar al-Asqala>ni, Fath} al-Ba>ri Sharh al-S}ahi>h al-Bukho>ri, diterjemahkan Amiruddin, Fathul Baari: Penjelasan kitab S}ah>ih al-Bukha>ri, (Cet. 1; Jakarta: Pustaka

Azzam, 2008), 20.

8 Kamil Muhammad „Uwaidah,

Fiqh Wanita, terj. M. Abdul Ghoffar E. M,

(JakartaTimur: Pustaka Al Kautsar, 2010), 441.

9Abdullah bin Ahmad bin Mahmud bin Qudamah, Al Mughni, (Bairut-Lebanon: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah t.t), 141.


(13)

4

اَنَثَدَح

ُدَمَحُم

ُنْب

وٍرْمَع

يِزاَر ا

،

اَنَثَدَح

ٌريِرَج

،

ْنَع

ِشَمْعَْْا

،

ْنَع

يِبَأ

ٍمِزاَح

،

ْنَع

يِبَأ

َةَرْيَرُه

،

ِنَع

ِيِبَن ا

َلاَق

" :

اَذِإ

اَعَد

ُلُجَر ا

ُهَتَأَرْما

ىَِإ

ِه ِشاَرِف

ْتَبَأَف

ْمََف

،ِهِتْأَت

َتاَبَف

َناَبْضَغ

،اَهْيََع

اَهْتَنَعَ

ُةَِئ َََمْا

ىَتَح

ََِبُْْت

"

Abu Dawud berkata: telah menceritakan kepada kami Muhammad ibn amr al-Raziy, telah menceritakan kepada kami Jarir, dari A‟mas, dari Abu Hazm, dari Abu Hurairah ra, dari Nabi Saw bersabda: “Apabila suami mengajak istri ke tempat tidurnya lalu istri enggan sehingga suami marah pada malam harinya, maka malaikat melaknat sang istri sampai waktu subuh”

Hadis tersebut telah dijelaskan dan diterapkan oleh para ulama-ulama terdahulu berdasarkan sosio-historis ulama pada masa itu. Sedangkan di era modern-kontemporer banyak isu-isu yang mengetengahkan tema tentang gender atau kesetaraan gender. Wanita-wanita di zaman ini banyak yang ikut andil dalam urusan menafkahi keluarga lebih-lebih wanita yang menanggung beban keluarga bagi para suami pekerja (namun belum mencukupi kebutuhan) atau suami yang tidak bekerja sama sekali, yang mana hal ini dapat berimplikasi dan berpengaruh terhadap kehidupan rumah tangga, keharmonisan, khususnya hubungan suami istri di atas kasur (bersenggama).

Berdasarkan penjelasan di atas, menurut penulis, akan menjadi sesuatu yang menarik untuk dikaji kembali mengenai bersetubuh (bersenggama) dengan istri sebagai hak prerogatif suami sehingga istri akan berdosa jika menolak ajakannya. Skripsi ini akan berfokus pada takhri>j al-hadi>th dan kajian ma’ani al-hadi>th, sedangkan hasil penelitian yang mengacu pada kaidah penelitian kepustakaan (library research) ini nanti akan disusun dalam laporan yang berbentuk skripsi


(14)

5

dengan judul “Larangan Istri menolak ajakan suami bersetubuh dalam kitab sunan Abu> Dawu>d No. indeks 2141 (kajian ma’a>ni al-hadi>th)

B. Indentifikasi Masalah

Hadis yang akan dikaji adalah hadis tentang larangan istri menolak ajakan suami bersenggama dalam kitab Sunan Abi> Dawu>d nomor indeks 2141. seperti yang diketahui, komponen dasar hadis terbagi menjadi dua, yakni sanad dan matan. Setelah penelitian nilai kualitas hadis melalui sanad, selanjutnya penulisan karya ilmiah ini difokuskan pada studi pemaknaan atas matan hadis larangan istri menolak ajakan suami bersetubuh yang terdapat pada kitab Sunan Abi> Dawu>d, serta relevansinya dimasa sekarang.

C. Rumusan Masalah

Dari pembahasan masalah diatas, penulis dapat merumuskan masalah menjadi tiga, yaitu:

1. Bagaimana kualitas hadis larangan istri menolak ajakan suami bersetubuh dalam sunan Abu> Da>wu>d nomor indeks 2141 dari segi matan dan sanadnya?

2. Bagaimana pemaknaan hadis larangan istri menolak ajakan suami bersetubuh dalam sunan Abu> Da>wu>d?

3. Bagaimana urgensi menerapkan hadis tersebut dalam kehidupan berumah-tangga?


(15)

6

D. Tujuan Masalah

Mengenai tujuan dalam penulisan karya ini pastinya tidak terlepas dari rumusan masalah yang kita bahas, tujuannya diantaranya adalah:

1. Mengetahui kualitas hadis larangan istri menolak ajakan suami bersetubuh dalam sunan Abu> Da>wu>d nomor indeks 2141 dari segi matan dan sanadnya. 2. Mengetahui pemaknaan hadis larangan istri menolak ajakan suami

bersetubuh dalam sunan Abu> Da>wu>d. sehingga dapat diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat.

4. Mengetahui urgensi menerapkan hadis tersebut dalam kehidupan berumah-tangga guna membentuk keluarga yang harmoni.

E. Kegunaan Penelitian

Beberapa hasil yang didapatkan dari studi ini diharapkan akan bermanfaat sekurang-kurangnya untuk hal-hal berikut:

1. Secara teoretis, penelitian ini merupakan kegiatan dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan tentang hadis, khususnya pada kandungan hadis tentang larangan istri menolak ajakan suami bersetubuh melalui pendekatan metodologis-fenomenologis.

2. Sedangkan secara praktis, manfaat atau kegunaan penelitian ini diharapkan agar mendapatkan kepastian terkait otentisitas hadis tentang larangan istri menolak ajakan suami bersetubuh tersebut untuk dapat dijadikan landasan atau pedoman dalam beramal bagi semua kalangan beserta aplikasi pada problematika yang terjadi.


(16)

7

F. Penegasan Judul

Untuk mempermudah dan menghindari kesalah-pahaman terhadap pokok pembahasan skripsi yang berjudul ini, maka perlu diuraikan kata-kata yang dianggap penting, antara lain:

Larangan : Perintah (aturan) yang melarang suatu perbuatan, atau sesuatu yang terlarang karena dipandang keramat atau suci.10

Menolak :Tidak menerima (memberi, meluluskan, mengabulkan);

menampik: dia tidak pernah menolak permintaannya.11

Suami-istri : Suami: pria yang menjadi pasangan resmi seorang wanita (istri), sedangkan Suami-istri: pasangan laki-laki dan perempuan yang telah menikah, laki-bini.12

Bersetubuh : Bersenggama, melakukan hubungan kelamin.13

G. Telaah Pustaka

Dalam penelusuran saya mengenai karya ilmiah yang membahas tentang persetubuhan suami istri, tidak satupun yang membahas larangan istri menolak ajakan suami bersetubuh dalam kitab sunan Abu> Dawu>d, namun tetap ada karya yang membahas tentang hubungan suami istri dengan sudut pandang atau tokoh yang lainnya.

10Departemen pendidikan Nasional, kamus besar bahasa Indonesia (Jakarta: Balai pustaka, 2005), 1089.

11Ibid., 1103. 12Ibid., 1016. 13Ibid., 302.


(17)

8

Skripsiyang berjudul “Studi Analisis Pemikiran Khaled M. Abu Al Fadl Tentang Hadith Abu Hurairah Dalam Masalah Istri Menolak Ajakan Suami Ke

Tempat Tidur”. Dalam skripsi ini penulis hanya terfokus pada pemikiran Khaled

M.Abu Al Fadl tentang hadith Abu Hurairah dalam masalah istri menolak ajakan suami ke tempat tidur dan Apa dasar hukum Khaled M. Abu Al Fadl dalam mengkritisi Abu Hurairah dalam masalah istri menolak ajakan suami ketempat tidur.

Skripsi yang berjudul “hak-hak reproduksi perempuan dalam teori (studi terhadap hak istri untuk menolak hubungan seksual dan menentukan kehamilan

dalam perspektif gender)” oleh Dhian Rachmawati Fakultas Syari‟ah UIN SUKA

Yogyakarta 2004.

Skripsi yang berjudul “penolakan istri terhadap ajakan hubungan seksual suami dalam perspektif maqasid asy-syari’ah” oleh Ani Mulyani Fakultas Syari‟ah UIN SUKA Yogyakarta tahun 2004.

Skripsi yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pasal 8 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Larangan Pemaksaan Hubungan Seksual”. Dalam skripsi ini menjelaskan faktor meningkatnya kekerasan seksual suami terhadap istri dalam rumah tangga dikarenakan masih kentalnya budaya patriarki dalam pola pikir masyarakat kebanyakan.

Berdasarkan telaah pustaka yang telah penulis sebutkan di atas, maka penelitian skripsi ini berbeda dengan penelitian sebelumnya. Oleh sebab itu, penulis merasa yakin untuk melaksanakan penelitian ini mengenai hadis larangan istri menolak ajakan suami bersetubuh dalam kitab sunan Abu> Dawu>d.


(18)

9

H. Metodologi Penelitian

1. Model penelitian

Penelitian ini menggunakan model penelitian kualitatif untuk mendapatkan data yang komprehensif tentang kedudukan, fungsi dan peranan istri dalam hubungan suami-istri dalam pemaknaan hadis.

Penelitian ini termasuk dalam penelitian non-empirik yang menggunakan metode library research (penelitian kepustakaan) dan kajiannya disuguhkan secara deskriptif analitis. Oleh karena itu sumber-sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari literature tertulis yang memiliki keterkaitan dengan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.

2. Metode penelitian

Penelitian dalam skripsi ini menggunakan beberapa metode, diantaranya adalah:

a. Takhri>j al-hadi>th, yaitu meneliti keberadaan hadis dalam kitab-kitab yang mu’tabarah.

b. Kritik sanad hadis , yaitu meneliti para perawi dengan cara mengetahui sejarah hidup perawi yang terdapat dalam sebuah sanad, baik itu kehidupan, sepak terjang, serta para guru dan muridnya.

c. Kritik matan hadis, yaitu metode untuk melakukan penelitian pada sebuah matan hadis. Diantaranya ialah dengan melakukan perbandingan-perbandingan dengan sumber-sumber lain.


(19)

10

d. Metode jarh dan ta’di>l, yaitu metode untuk mengkritisi para perawi dalam sebuah sanad, sehingga dapat diketahui sifat dan prilaku masing-masing perawi hadis.

e. Metode ma’a>ni al-hadi>th, yaitu metode yang digunakan dalam rangka memahami maksud dan tujuan yang terkandung dalam teks sebuah hadis.

Metode-metode tersebut bertujuan untuk mengetahui kualitas sanad dan matan hadis sebagai landasan hukum dan makna yang dikandungnya.

3. Sumber data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi dua klasifikasi, antara lain:

a. Sumber data primer

1) Sunan Abi> Da>wu>d karyaAbu Dawud

2) ‘Aun al-Ma’bu>d Sharah} Sunan Abi> Da>wu>d. Karya Ibn Qayyim al-Jauziyah.

b. Sumber data sekunder

1) Kitab-kitab hadis tujuh, yaitu S}ahi>h bukha>ri>, S}ahi>h Muslim, Sunan al-Turmudzi, dll.

2) Al-Mu’jam al-Mufahras li alfa>z} al-hadi>th al-Nabawi karya A.J Wensinck.

3) Psikologi suami istri karya Thariq Kamal Isma‟il

4) Metodologi penelitian hadis Nabi karya M. Syuhudi Isma‟il 5) Metodologi kritik hadis karya Bustamin dan M. isa H. A. Salam 6) Kaidah kesahihan sanad hadis karya M. Syuhudi Ismail


(20)

11

7) Kitab sharh hadis, seperti Sharh} Muslim li al-Nawawi dan lain-lain. 8) Telaah matan hadis, sebuah tawaran metodologi karya Muh. Zuhri 9) Ikhtis}a>r Mus}t}ala>h al-hadi>th karya Fatchurrahman.

4. Metode pengumpulan data

Dalam metode pengumpulan data, digunakan metode dokumentasi. Metode ini diterapkan terbatas pada benda-benda tertulis seperti buku, jurnal ilmiah atau dokumentasi tertulis lainnya.

Dalam penelitian hadis, penerapan metode dokumentasi ini dilakukan dengan dua teknik pengumpulan data, yaitu: Takhri>j al-hadi>th dan I’tibar al-hadi>th.

a. Takhri>j al-hadi>th secara singkat dapat diartikan sebagai kegiatan untuk mengeluarkan hadis dari sumber asli.14 maka Takhri>j al-hadi>th merupakan langkah awal untuk mengetahui kuantitas jalur sanad dan kualitas suatu hadis.

b. kegiatan I’tiba>r dalam istilahh ilmu hadis adalah menyertakan sanad-sanad lain untuk suatu hadis tertentu, apabila pada bagian sanad-sanad hadis tersebut tampak hanya terdapat seorang perawi.15

14 M. Syuhudi Ismail, Metodologi penelitian hadis Nabi, cet.1(Jakarta: Bulan Bintang, 1992), 41.


(21)

12

5. Metode analisis data

Metode analisis data berarti menjelaskan data-data yang diperoleh melalui penelitian. Dari penelitian hadis yang secara dasar terbagi dalam dua komponen, yakni sanad dan matan, maka analisis data hadis akan meliputi dua komponen tersebut.

Dalam penelitian sanad, digunakan metode kritik sanad dengan pendekatan keilmuan rija>l al-hadi>th dan al-Jarh wa al-ta’di>l. serta mencermati silsilah guru-murid dan proses penerimaan hadis tersebut (tahammul wa al-ada>’). hal itu dilakukan untuk mengetahui integritas dan tingkatan intelektualitas seorang periwayat serta validitas pertemuan antara guru dan murid dalam periwayatan hadis.

Dalam penelitian matan, analisis data akan dilakukan dengan menggunakan analisis isi (content analysis). pengevaluasian atas validitas matan diuji pada tingkat kesesuaian hadis (isi beritanya) dengan penegasan eksplisit al-Qur‟an, logika atau akal sehat, fakta sejarah, informasi hadis -hadis lain yang bermmutu shahih serta hal-hal yang diakui masyarakat umum sebagai bagian dari integralitas ajaran Islam.16

Dalam hadis yang akan diteliti ini pendekatan keilmuan hadis yang digunakan untuk analisis isi adalah ilmu asba>b al-wuru>d al-hadi>th yang digunakan untuk menyingkap suatu fakta dari sejarah sehingga dapat dicapai pemahaman suatu hadis dengan lebih komprehensif.


(22)

13

I. Sistematika Pembahasan

Untuk mempermudah penjelasan dari hasil penelitian ini, maka akan dibuat rangkaian pembahasan dengan sistematika sebagai berikut:

Bab I adalah pendahuluan, yang berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, telaah pustaka, metodologi penelitian, dan sistematika pembahasan. Hal yang sedemikian rupa disusun sebagai kerangka awal dalam melakukan penelitian.

Bab II adalah Landasan teori atau ilmu hadis. Bab ini terdiri dari pengertian dan klasifikasi hadis, keshahihan sanad dan matan, pembahasan tentang kritik hadis serta pemaknaan hadis.

Bab III adalah sajian data. Bab ini terdiri dari biografi Abu Dawud, pandangan ulama terhadap Abu Dawud, Aliran atau madzhab Abu Dawud, kitab Sunan Abu Dawud yang terdiri dari metode penyusunan, pandangan ulama terhadap kitab Sunan Abu Dawud, dan Kitab-kitab syarh Abu Dawud. Hal ini dimaksudkan untuk menjelaskan status Abu Dawud dan Kitabnya dikalangan para ulama. Kemudian dilanjutkan dengan menjelaskan data hadis yang akan dibahas, biografi pararawi hadis, skema sanad dan I‟tibarnya, bersetubuh serta manfa‟atnya.

Bab IV adalah analisis data. Bab ini berisi penjelasan tentang analisa terhadap kualitas sanad, kualitas matan, dan pemaknaan hadis dan disertai dengan kajian relevansi hadis tersebut di masa sekarang.


(23)

14

Bab V adalah penutup, yang di dalamnya terdiri dari dua poin, yakni kesimpulan dan saran-saran.


(24)

15

BAB II

METODOLOGI PENELITIAN HADIS LARANGAN ISTRI

MENOLAK AJAKAN SUAMI BERSETUBUH

A. Pengertian Hadis

Secara bahasa kata hadis berarti al-jadi>d (sesuatu yang baru) lawan kata dari al-Qadi>m (sesuatu yang lama) juga berarti al-khabar (berita), yaitu sesuatu yang dipercakapkan atau dipindahkan dari seseorang kepada orang lain. Kata jamaknya adalah al-aha>di>th.1

Secara terminologis, terdapat perbedaan antara ulama hadis dan ulama ushul dalam mendefinisikan makna hadis. ahli hadis mengemukakan bahwa hadis adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Saw baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, maupu sifatnya2. Sedangakan menurut ahli ushul yang dimaksud hadis adalah segala perkataan nabi yang dapat dijadikan dalil untuk penetapan hukum syariat3. Meskipun kedua pengertian diatas mempunyai perbedaan, namun keduanya sama-sama membatasi bahwa yang disebut hadis hanyalah hal-hal yang disandarkan pada Nabi Saw semata.

B. Klasifikasi hadis

Dalam menentukan klasifiksi hadis, harus terlebih dahulu ditentukan sudut pandang yang dipakai, yaitu:

1 Achmad Warson munawwir, kamus al-Munawwir: Arab Indonesia terlengkap (Pustaka progresif: Surabaya, 1997), 242.

2

Muhammad Ajjaj al Khatib, Us}u>l al Hadi>th: Ulu>muhu wa Mus}t}ala>h}uhu (Bairut; Libanon. 1992), 26.


(25)

16

1. Dari segi kuantitas sanad terbagi menjadi dua, yaitu: a. Hadi>th mutawa>tir

Secara bahasa lafadz mutawa>tir termasuk isim fa>’il dari lafadz tawa>tur, yang berarti terus menerus. Secara istilah hadi>th mutawa>tir adalah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang banyak pada semua t}abaqa>t (generasi), yang menurut adat mustahil mereka bersepakat untuk berdusta.4

b. Hadi>th Aha>d

Secara bahasa kata aha>d adalah bentuk jamak dari ahadun yang berarti satu. Sedangkan secara terminology adalah hadis yang di dalamnya tidak terpenuhi syarat-syarat hadi>th mutawa>tir.5

Mayoritas ulama berpendapat bahwa beramal dengan hadis ahad yang telah memenuhui persyaratan hadis maqbul hukumnya adalah wajib. Sedangkan hadis ahad terbagi menjadi tiga, yaitu:

1) Hadi>th mashhu>r, adalah hadis yang diriwayatkan oleh tiga perawi atau lebih namun belum mencapai tingkatan hadi>th mutawa>tir.6

2) Hadi>th ‘Azi>z, adalah hadis yang diriwayatkan oleh sedikitnya dua jalur rawi pada semua tingkatan sanad7.

3) Hadi>th ghari>b, adalah hadis yang dalam sanadnya terdapat seorang perawi yang menyendiri dala meriwayatkan.

4

Mahmud al-Tahhan, Taysi>r Mus}t}alah al-Hadi>th (Baerut: Da>r al-Fikr, t.t.),14.

Muhammad „Ajjaj al-Khatib, Us}ul Hadi>th: ‘Ulu>muhu wa mus}t}ala>h}uhu (Baerut: Da>r al-Fikr, 2006), 19.

5 Ibid., 19. 6 Ibid., 22. 7 Ibid., 24.


(26)

17

2. Dari segi Kualitasnya, yakni diterima atau ditolaknya suatu hadis terbagi menjadi dua, yaitu:

a. Hadi>th Maqbu>l

Yang dimaksud hadis maqbul adalah hadis-hadis yang bisa diterima dan bisa dijadikan hujjah. Hadis ini ada dua, yaitu:

a) Hadi>th S}ah}i>h}

Yaitu hadis yang bersambung sanadnya, dengan periwayatan perawi yang adil dan dhabit dari perawi pertama samapai perawi terakhir, tidak mengandung shadh dan illat.8

Berdasarkan definisi diatas, syarat-syarat hadis sahih adalah: 1) Diriwayatkan oleh perawi adil

2) D}abit}

3) Sanadnya bersambung

4) Tidak mengandung cacat (‘illat) 5) Matannya tidak janggal (Sh>adh)

Para ulama membagi hadis sahih menjadi dua macam, yaitu: S}ah}i>h li Dza>tihi dan S}ah}i>h li Ghairihi.

b) Hadi>th H}asan

Yaitu hadis yang bersambung sanadnya dengan periwayatan perawi yang adil dan d}abit, tetapi nilai kedhabitannyya kurang sempurna, serta selamat dari unsur shudu>dh dan illat.9

8Muhammad „Alawwi al-Maliki, al-Manhal al-Lat}i>f fi>> Us}u>l al-Hadi>th al-Shari>f (t.t.: Da>r al-Rahmah, t.t.), 38.


(27)

18

Sebagaimana hadis sahih, hadis hasan juga terbagi menjadi dua macam, yaitu:

1) Hasan li Dha>tihi yaitu hadis yang memenuhi syarat-syarat atau sifat-sifat hadis hasan.

2) Hasan li Ghairihi yaitu hadis yang tidak memnuhi syarat-syarat hadis hasan. Hadis ini kemudian menjadi hadis hasan karena ada rawi yang mu’tabar dengan adanya muttabi’ atau sha>hid.

b. Hadi>th Mardu>d

Yakni hadis yang ditolak, yakni tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Hadis yang tergolong hadis ini adalah hadis dha‟if. Hadis dha‟if adalah hadis yang di dalamnya tidak terdapat salah satu syarat hadis sahih dan syarat-syarat hadis hasan (hadi>th Maqbu>l).

C. Metodologi Kritik Hadis

1. Pengertian kritik hadis

Secara kebahasaan istilah “kritik” dapat dikatakan sebagai terjemahan dari kata

ادقن

-

دقي

-

دقن

yang berarti mengeritik ataupun melakukan penelitian secara

seksama10. Kata tersebut sering kali ditemukan dalPam literature bahasa arab, misalnya seperti ungkapan ر

وعشلادقنو

َكلادقن

(ia telah mengkritik bahasa dan puisinya) atau semakna dengan kata

زييمت

(tamyîz)11seperti terdapat pada ayat yang berbunyi

بيطلا نم ثي لازي ت ىتح

(sehingga ia mampu membedakan 9 Ahmad Umar Qashim, Qawa>’idUs}u>l al-Hadi>th (t.t. : Da>r al-Fikr, t.t.), 74.

10

A.W Munawwir, Kamus al-Munawwir ., 1452.

11 Bustamin dan M. Isa H.A. Salam, Metodologi Kritik Hadis (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2004), 5.


(28)

19

antara keburukan dan kebaikan).Sehingga tidak salah jika seorang pakar hadis abad ketiga Hijriah, Imam Muslim (w. 261 H / 875 M) memberi judul bukunya yang membahas metode kritik hadis dengan al-Tamyîz.

Sementara istilah kritik secara terminologi berarti berusaha menemukan kekeliruan dan kesalahan dalam rangka menemukan kebenaran.12 Jika istilah tersebut dikaitkan dengan hadis nabi maka yang dimaksud adalah upaya pengkajian dan penelitian secara seksama terhadap hadis nabi dalam rangka untuk menentukan orisinalitas hadis-hadis Rasululullah baik dari sisi sanad maupun matan. Tampaknya definisi inilah yang dimaksudkan dalam istilah kritik hadis, karena memang istilah kritik hadis dalam perbincangan para muhaddith seperti didefinisikan oleh Abu> Ha>tim ar-Ra>zi yang selanjutnya dikutip oleh MM. Azami adalah upaya menyelidiki (membedakan) antara hadis sahih dan d}aîf serta menetapkan status perawinya dari segi jarh} dan ta‘dî>l -nya.13

Begitu juga dengan definisi yang dimajukan oleh Muhammad Tahir al- Jawaby, beliau mendefinisikan ilmu kritik hadis sebagai langkah untuk memberikan ketentuan terhadap para periwayat hadis baik kecacatan atau keadilannya dengan menggunakan ungkapan-ungkapan tertentu yang dikenal oleh ulama-ulama hadis. Kemudian meneliti matan hadis yang telah dinyatakan sahih dari aspek sanad untuk menetukan keabsahan atau ke-d}aîf-an matan hadis tersebut, serta untuk mengatasi kesulitan pemahaman dari hadis yang telah

12 W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), 965.


(29)

20

dinyatakan sahih maupun untuk mengatasi kontradiksi pemahaman hadis dengan pertimbangan yang mendalam.14

Dari pengertian di atas, maka istilah kritik hadis bukan sebuah upaya pendistorsian melainkan sebagai upaya pelestarian terhadap hadis nabi, atau dengan kata lain istilah kritik tidaklah berkonotasi negatif melainkan sebaliknya berkonotasi positif dan tidak pula bertujuan untuk menguji ajaran Rasulullah melainkan untuk menguji daya tangkap dan kejujuran para perawi. Sehingga penolakan terhadap hadis tidak berarti menolak Rasulullah tetapi menolak klaim bahwa hadis tersebut berasal dari Rasulullah.15

Tentu saja kritik hadis perspektif ulama hadis sangatlah berbeda dengan kritik hadis perspektif para orientalis. Jika dalam perspektif ulama hadis, kritik hadis tidak lebih dari upaya penyeleksian terhadap hadis nabi sehingga dapat dibedakan hadis-hadis yang bernilai sahih ataupun sebaliknya, maka dalam perspektif orientalis, kritik hadis dimaksudkan sebagai upaya memberikan semacam kecaman sehingga berujung pada skeptisisme umat Islam terhadap otentisitas dan orisinalitas hadis sebagai kontekstualisasi Rasulullah terhadap ajaran Islam.16

14 Ibid., 11.

15 Muh. Zuhri, Telaah Matan Hadis: Sebuah Tawaran Metodologis (Yogyakarta: LESFI, 2003), 42.


(30)

21

2. Metodologi ke-sahih-an sanad

Sanad dalam periwayatan hadis mempunyai kedudukan yang sangat penting, sebab itulah berita yang disampaikan atau diungkapkan seseorang dikatakan sebagai hadis. Imam Nawawi menegaskan dari apa yang telah dikemukakan oleh Abdullah bin Al-Mubarak, apabila sanad suatu hadis berkualitas sahih, maka hadis tersebut bisa diterima, tapi apabila tidak, maka hadis tersebut harus ditinggalkan.17

Sanad bisa diketahui sahih dan dapat diterima, maka sanad tersebut harus memenuhi syarat-syarat berikut:

1) Ittis}a>l al-sanad(ketersambungan sanad)

Sanadnya bersambung, yang dimaksudkan adalah, masing-masing perawi yang ada dalam rangkaian sanad tersebut menerima hadis secara langsung dari perawi yang sebelumnya, kemudian disampaikan kepada perawi yang datang sesudahnya. Hal tersebut haruslah berlangsung dan dapat dibuktikan sejak perawi pertama (generasi sahabat), hingga perawi terakhir penulis hadis). Pembuktian selanjutnya sebagaimana dikembangkan oleh Imam Bukhari dengan adanya muasharah (semasa) dan liqa>’(bertemu langsung), sedangkan Imam Muslim sendiri hanya memberikan penegasan dengan cukup muasharah, sebab hal ini memungkinkan adanya pertemuan.

Untuk mengetahui ketersambungan sanad maka diperlukan pengetahuan mengenai lambang-lambang periwayatan hadis yang


(31)

22

digunakan masing-masing perawi. Lambang-lambang periwayatan hadis menggambarkan suatu bentuk metode dalam menerima hadis dari gurunya. Ulama hadis dalam hal ini memberikan pernyataan, bahwa ada delapan macam metode periwayatan hadis, yakni al-sima', al-qira’ah, al -ija>zah, almuna>walah, al-kita>bah, al-i’la>m, al-was}iyyah dan al-wajadah.18 2) ‘Ada>latu al-ra>wi (keadilan perawi)

Adil secara etimologi berarti lurus, tidak menyimpang, tulus, dan jujur. Seseorang dikatan adil apabila didalam dirinya tertanam sebuah sikap yang dapat menumbuhkan ketakwaan, dimana ia senantiasa melaksanakan perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya, juga

muru’ah-nya terjaga. Sifat-sifat keadilan para perawi sebagaimana

penjelasan diatas dapat difahami melalui:

a) Popularitas kepribadian yang tinggi tampak dikalangan ulama hadis. b) Penilaian dari para kritikus perawi hadis tentang kelebihan dan

kekurangan yang terdapat dalam kepribadiannya.

c) Penerapan kaidah al-jarh wa al-ta’di>l, apabila tidak ditemukannya kesepakatan diantara kritikus perawi mengenai kualitas pribadi para perawi.

Ulama ahlu sunnah berpendapat, bahwa perawi hadis pada tingkatan sahabat secara keseluruhan dinilai adil.19

18 Ibid., 354-357.


(32)

23

3) D}a>bt al-ra>wi(kecerdasan atau kecermatan perawi)

D}a>bit} secara etimologi berarti kokoh, kuat, dan hafal dengan sempurna. Seorang perawi dikatakan d}a>bit} apabila memiliki daya ingat yang sempurna terhadap hadis yang diriwayatkannya.

D}a>bit} dalam periwayatan sebagaimana telah dijelaskan, dalam hal ini terbagi menjadi dua:

a) D}a>bit} s}adriy, terjaganya periwayatan dalam ingatan, sejak menerima hadis hingga meriwayatkannya kepada perawi lain.

b) D}a>bit} kutubiy, terjaganya faliditas kebenaran suatu periwayatan melalui tulisan atau catatan.20

Apabila tiga syarat tersebut sudah terpenuhi, maka sanad hadis tersebut dapat dinyatakan sahih. sedangkan syarat sanadnya tidak shadh dan tidak „ilal merupakan sebagai pengukuh status ke-sahih-an suatu sanad hadis. Pengukuh dari tiga pokok status ke-sahih-an suatu sanad hadis, ialah:

a) Tidak Sha>dh

Sha>dh yang berarti janggal disini, maksudnya adalah suatu hadis yang bertentangan dengan hadis lain yang lebih kuat atau thiqah. Pengertian lebih jelasnya mengenai ketidak janggalan, adalah suatu hadis yang matannya tidak bertentangan dengan hadis lain yang tingkatannya lebih thiqah.21

20 Ibid..132.


(33)

24

b) Tidak mu’allal

Mu’allal secara bahasa asal katanya ‘illat yang berarti cacat, penyakit,

buruk. Maka hadis yang ber-‘illat berarti hadis yang cacat atau buruk. Sedangkan menurut istilah, kata ‘illat berarti suatu sebab yang tersembunyi atau tidak jelas yang dapat merusak ke-sahih-an suatu hadis. Pengertian lebih jelasnya mengenai ketidak cacatan, ialah hadis yang didalamnya tidak terdapat kesamaran atau keragu-raguan. Perlu dipahami bahwa ‘illat hadis bisa saja terjadi pada sanad dan matan atau keduanya sekaligus.22

3. Metodologi Ke-sahih-an Matan Hadis

Matan secara etimologi berarti punggung jalan atau bagian tanah yang keras dan menonjol keatas. Sedangkan matan hadis menurut Al-Tibi, sebagaimana di ungkapkan oleh Musfir Al-Damini:

أ ل

ف

ظا

ا

حل

د ي

ث

لا

ت

ى

ت

ت ق

و

م

ب ه

لا ا

م

ع

نا

ى

Kata-kata hadis yang dengannya terbentuk makna-makna.

Definisi tersebut menjelaskan bahwa setiap matan hadis tersusun dari elemen teks dan konsep. Berarti secara terminologi, Matan hadis adalah cerminan konsep ideal yang dibiaskan dalam bentuk teks, kemudian difungsikan sebagai sarana perumus keagamaan menurut hadis.

Langkah-langkah metodologis dalam menelusuri Matan hadis adalah sebagai berikut;

22 Ibid.,133-134.


(34)

25

1. Kriteria ke-sahih-an Matan hadis

karakteristik ke-sahih-an matan hadis dikalangan ulama hadis sangat bercorak. Corak tersebut disebabkan oleh perbedaan latar belakang, keahlian, alat bantu dan persoalan serta masyarakat yang dihadapinya. Sebagaimana pendapat al-Khatib al-Baghdadi, bahwa satu matan hadis dapat dinyatakan maqbu>l (diterima) sebagai matan hadis yang sahih apabila memenuhi unsur unsur sebagai berikut:

a) Tidak bertentangan dengan akal sehat.

b) Tidak bertentangan dengan al-Quran yang telah muhkam (ketentuan hukum yang telah tetap).

c) Tidak bertentangan dengan hadi>th mutawa>tir.

d) Tidak bertentangan dengan amalan yang telah menjadi kesepakatan para ulama masa lalu (ulama salaf).

e) Tidak bertentangan dengan dalil yang telah pasti.

f) Tidak bertentangan dengan hadis ahad yang kualitas ke-sahihannya lebih kuat.

Masalah bahasa, sejarah dan lain-lain yang oleh sebagian ulama disebut sebagai tolak ukur.23 Secara singkat Ibn al-Jauzi memberikan tolak ukur ke-sahih-an matan, yaitu setiap hadis yang bertentangan dengan akal maupun bertentangan dengan ketentuan-ketentuan pokok agama, pasti hadis tersebut tergolong hadis maud}u>’. Karena itulah Nabi Muhammad SAW telah

23 M. Syuhudi Isma‟il, Metodologi Penelitian hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), 126.


(35)

26

menjelaskan sesuatu yang bertentangan dengan akal sehat, demikian pula terhadap ketentuan pokok agama yang menyangkut akidah dan ibadah.24

2. Potensi bahasa teks matan

Bahasa teks matan dengan komposisinya bisa terbentuk melalui tehnik perekaman berita secara harfiyah atau talaqqi al-z}ahir dan formula teks bisa mencerminkan riwayat secara lafad. Bisa juga berasal dari talaqqi al-dala>lah yang difokuskan pada pengusaan inti konsep hingga formula redaksi matan terkesan tersadur (riwa>yah bi al-ma’na>). Oleh karenanya, peran kreatifitas perawi relatif besar dalam dua proses pembentukan teks redaksi matan tersebut.

Proses pembentukan teks matan tersebut biasanya memerlukan terapan kaidah sebagai bahan uji validitas, sehingga bisa memicu terjadinya mekanisme yang kondusif terhadap peluang penempatan sinonim (muradif), eufimisme (penghasulan), pemaparan yang bersandar pada kronologi kejadian, subjek berita sengaja dianonimkan lantaran kode etik sesama sahabat, hingga sampai pada fakta penyisipan (idraj), penambahan, tafsir teks (penjelasn yang dirasa perlu), ungkapan adanya keraguan (syak min al-rawi), dan sejenisnya.

Asas metodologi dalam pengujian bahasa redaksi matan difokuskan pada deteksi rekayasa kebahasaan yang bisa merusak citra informasi hadis dan ancaman penyusutan atau penyesatan inti pernyataan aslinya.25

24 Bustamin dan M. Isa H, A. Salam, Metodologi Kritik Hadis (Jakarta: PT.Raja Grafindo, 2004), 63.


(36)

27

3. Teori Pemaknaan Hadis dan Pendekatan dalam Pengembangan Kaidah Ke-sahih-an Sanad dan Matan Hadis

Memahami dan meneliti hadis untuk diteliti dan diambil sebagai hujjah, maka memerlukan berbagai pendekatan dan sarana keilmuan yang perlu dikaji. Beberapa rujukan telah dikemukakan oleh para ulama klasik sebagai keikut-sertaan mereka dalam perkembangan keilmuan umat Islam. Diantaranya ilmu ghari>b al-hadi>th, Mukhtalif al-Hadi>th, Ilmu Asba>b wuru>d al-Hadi>th, Ilmu Nasikh wal Mansu>kh, Ilmu ‘illal al-Hadi>th, dan sebagainya.

Sebagaimana diketahui bahwa jumlah hadis sebenarnya tidak bertambah lagi setelah wafatnya rasulullah SAW. Sementara permasalahan yang dihadapi oleh umat Islam terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Oleh karena itu, untuk memahami hadis secara cepat, diperlukan adanya suatu penelitian baik yang berhubungan dengan sanad hadis maupun matan hadis, dengan menggunakan berbagai disiplin ilmu dalam mencari kebenaran penafsiran melaui beberapa pendekatan yang komprehensif.

Adapun pendekatan-pendekatan yang dapat menggunakan adalah sebagai berikut:

a. Pendekatan Historis

Pendekatan ini dapat dipakai dalam mengkaji ke-sahih-an sanad dan matan hadis, sebab penelitian kedua bidang ilmu (hadis dan sejarah) adalah relevan, yakni sama-sama menganggap penting kedudukan kritik interen dan kritik eksteren.


(37)

28

Mengenai signifikasi penggunaan terhadap penelitian sanad, diantaranya: mengetahui kredibilitas persambungan sanad dengan mengkaji latar belakang sejarah dari masing-masing riwayat dari masing-masing periwayat, latar belakang dari suatu periwayatan dan penerimaan suatu hadis dan situasi masyarakat atau situasi politik pada periwayatan atau penerimaan hadis dari masing-masing periwayat.26

b. Pendekatan Antropologi

Pendekatan ini juga terkadang digunakan dalam mengkaji matan hadis, yaitu pendekatan Matan dengan relevansi situasi dan waktu antara waktu turun hadis dengan situasi dan waktu sekarang. misalnya pada sabda nabi: “Tidak berbagai suatu kaum yang dipimpin oleh perempuan” (H.R. Bukhari, Turmudzi dan Nasai, dari Abu Hurairah).27

Menurut Ulama Sunni, bahwa hadits tersebut dari segi sanad adalah sahih, Jumhur Ulama memahaminya secara tekstual hanya al-Thabari yang membenarkan wanita sebagai pemimpin sedangkan umatnya ulama Syafi‟iyah tidak membolehkan.

Dengan pendekatan antropologi maka kemungkinan yang dimaksud dalam hadis ini adalah bahwa wanita tidak cocok untuk menjadi pemimpin pada waktu itu, karena wanita pada waktu itu dianggap sebagai mahluk yang sama sekali tidak dihargai oleh masyarakat dan salah satu syarat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin adalah kewibawaan sedangkan pada masa itu, diri

26 Jalaluddin Rahman, Pemahaman Hadits; Perspektif Historis dalam Yunahar Ilyas dan

M. Mas‟udi (ed), Pengembangan Pemikiran terhadap Hadits, (Yogyakarta: LPPI, 1996), 144.

27 Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, al-Ja>mi’ al-S}ahi>h al-Bukha>ri, Juz. IV, (Beirut: Dar al-Fikr, t. th), 228.


(38)

29

wanita sendiri masih dianggap sebagai materi atau benda semata, apalagi untuk menjadi pemimpin.

Ketika wanita telah memiliki kewibawaan dan kemampuan untuk memimpin serta masyarakat bersedia menerimanya sebagai pemimpin, maka tidak ada salahnya wanita dipilih dan diangkat sebagai pemimpin. Padahal al-Quran sendiri memberikan peluang yang sama kepada kaum wanita dan kaum laki-laki untuk melakukan berbagai amal kebaikan.

c. Pendekatan Sosiologis

Pendekatan ini dapat digunakan untuk mendekati manusia dan masyarakat yang berkaitan dengan unsur-unsur. Proses serta hal-hal yang mempengaruhi dan hal-hal yang dipengaruhi, dari oleh dan dalam kehidupan berkelompok.28 Dengan demikian, maka pendekatan sosiologi dapat digunakan sebagai suatu pendekatan alternatif dalam pengkajian hadis jika pendekatan tersebut berpengertian melihat, menyadari dan menganalisa kiprah sosial seseorang atau kelompok dalam suatu masyarakat.

Salah satu contoh yang dapat dikemukakan mengenai pemahaman Ibnu Khadum terhadap hadis riwayat Ahmad bin Hambal dari Anas bin Malik dan Abu Bazrah, dinyatakan bahwa Nabi bersabda:

ا

ْل

ئ م

ة

م

ْن

ق

ر

ْي

ش

Menurut Ibnu Khaldun hadis ini tidak menunjukkan bahwa hal kepemimpinan pada etnis Quraisy melainkan pada kepemimpinan dan kewibawaannya pada masa Nabi sebagai etnis yang memenuhi masyarakat.

28 Romdon, Metodologi Ilmu Perbandingan Agama suatu Pengantar Awal, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1996), 106.


(39)

30

Sehingga pada suatu masa, ada orang yang bukan dari etnis Quraisy memiliki kewibawaan dan kemampuan untuk memimpin, maka orang itu dapat saja dijadikan sebagai pemimpin termasuk sebagai kepala Negara.

Dengan demikian, tampak jelas bahwa Ibnu Khaldun tidak memahami hadis tersebut secara tekstual, tetapi beliau memahaminya dalam konteks sosiologi masyarakat di masa Nabi, sebab pemahaman secara tekstual hanya akan menguntungkan pihak ethis Quraisy saja dan hanya mengacu pada kaedah kesahihan Matan hadis yang tentunya dapat menyebabkan penolakan kesahihan hadis tersebut, karena tidak sejalan dengan petunjuk Al-Quran yang menjadikan ketakwaan sebagai tolak ukur keutamaan seseorang atau suatu kaum.

d. Pendekatan Kebahasaan

Dalam pengkajian sanad hadits, juga dibutuhkan perhatian terhadap simbol-simbol tahammul yang dipergunakan disamping suatu Matan hadis harus diteliti kesempurnaan struktur bahasanya, maka pendekatan kebahasaan juga diperlukan dalam pengembangan kajian ke-sahih-an sanad dan matan hadis stukturalisme linguistik berupa mencari universalitas kebahasaan yang ditampilkan dalam telaah-telaah frase, klausa dan kalimat, sedangkan strukturalisme genetik lebih menekankan makna singkronik dari pada makna lain seperti makna simbolik, sehingga analisisnya perlu memperhatikan instrinsik teks dan gaya bahasa penutup.29

29 Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi III, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1998), 162-164.


(40)

31

e. Pendekatan Sains, termasuk didalamnya teknologi, kesehatan, dan sebagainya. Penggunaan pendekatan ini dalam pengkajian hadis dapat dipahami sebagai suatu metode yang digunakan untuk memahami hadis khususnya matan hadis dengan memperhatikan validitas ke-sahih-}an suatu hadis. Fakta-Fakta ilmiah dimaksud adalah penemuan-penemuan ilmiah dari ilmu-ilmu kealaman untuk sekedar membedakannya dengan pendekatan-pendekatan di atas, yang kesemuanya tergolong dalam ilmu-ilmu pengetahuan, yang pada hakekatnya juga masuk dalam cakupan sains.30

Oleh karena itu, maka fakta-fakta kealamanpun dari hasil temuan-temuan ilmiah, juga dapat dijadikan tolak ukur dalam mempertahankan ke-validan hadis yang dipandang daif hanya karena sulit dipahami oleh akal sehat.

4. Takhri>j al-Hadi>>th

Menurut istilah ulama hadis, takhrij adalah menunjukkan atau mengemukakan asal-usul hadis, sumber-sumber hadis secara lengkap berdasarkan metode periwayatannya serta sanadnya masing-masing yang dijadikan sumber pengambilan untuk kepentingan penelitian dan dijelaskan kualitas hadis yang bersangkutan.31

Langkah-langkah melakukan takhri>j al-hadi>th adalah sebagai berikut: 1. Melalui pengenalan nama shahabat perawi hadis.

2. Melalui pengenalan awal lafadz atau matan hadis.

30 Jujun Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), 93-96.

31 Mahmud al-Thahhan, Us}ul al-Takhrij wa dira>sah al-Asa>ni>d (Bairut: Da>r al-Qur’an al-Karim, 1979), 12.


(41)

32

3. Melalui pengenalan kata-kata yang tidak banyak beredar atau dikenal dalam pembicaraan, tetapi merupakan bagian dari matan hadis.

4. Melalui pengenalan topic yang terkandung dalam matan hadis

5. Melalui pengamatan tertentu terhadapa apa yang terdapat dalam suatu hadis, baik dari sanad atupun matannya.

5. Ilm al- Jarh wa al-Ta’di>l

Jarhdalam tinjauan bahasa merupakan bentuk masdar dari kata kerja jarh yang berarti membuat luka. Sedangkan dalam tinjauan istilah, Jarh berarti terbentuknya suatu sifat yang dalam diri perawi yang menodai sifat keadilan atau cacatnya sebauh hafalan dan kesempurnaan ingatannya, hingga menjadi sebab gugurnya periwayatan atau tertolaknya periwayatan.

Ta’di>l dalam tinjauan bahasa berasal dari kata ‘adlun yang berarti sifat lurus yang tertanam dalam jiwa. Sedangakan menurut istilah, adalah orang yang memiliki prinsip keagamaan yang teguh. Sehingga berita dan kesaksiannya dapat diterima, tetapi juga disertai dengan terpenuhinya syaratsyarat kelayakan ada’.

Jarh wa al-ta’dil secara jelasnya:

م لِع لَا

ِ لا

َي

ثَح

يِف

ِ اَو حَا

ِاَو رلا

نِم

َح

ي

ث

ِ و َق

اَوِر

َي

مِھِتا

وَأ

اَھِدَر

.

Ilmu yang membahas tentang keadaan para perawi dari segi diterima atau ditolaknya riwayat mereka.

Disiplin ilmu ini merupakan sebuah bagian kajian penting dalam ilmu hadis, sebab dengan ilmu inilah dapat dibedakan antara yang sahih dengan


(42)

33

cacat, diterima atau ditolak, karena masing-masing tingkatan Jarh wa al-ta’di>l memberikan bisa yang berbeda-beda.32

Merupakan suatu hal yang harus tampak dalam ilmu Jarh wa al-ta’di>l yang bisa memberikan transformasi logis dalam menentukan suatu nilai yang cermat dan tepat, adapun ketentuan-ketentuannya:

a. Kaidah-kaidah jarh wa ta’di>l

Kaidah-kaidah jarh wa ta’dil terbagi atas dua bagian, yaitu:

 Kritik eksternal (al-naqd al-kha>riji> atau al-naqd al-z}a>hiri), yang memiliki orientasi terhadap tata cara periwayatan hadis, dan sahnya periwayatan, serta kapasitas nilai kepercayaan pada perawi yang bersangkutan.

 Kritik internal (al-naqd al-dakhi>li atau al-naqd al-ba>tini), tujuan orientasinya adalah nilai sahih atau tidaknya suatu makna hadis dan karakteristik kesahihan hadis serta cacat dan janggalnya suatu hadis.33

Spesifikasi penilaian cacat haruslah jelas, maka nilai cacat terhadap perawi haruslah berbentuk empiris, sehingga dapat dibuktikan dengan realistis. Spesifikasi tersebut ada dalam lima kategori, yakni berbuat sesuatu diluar prosedur syari’at (bid’ah), periwayatan yang menyalahi riwayat perawiyang lebih kuat (mukhtalif), banyak salah dan keliru (ghalat), identitas yang tidak jelas (jaha>latu al-ha>l), dan terdapat dugaan bahwa sanad-nya terputus (inqita’u al-sanad).

32 Muhammad „Ajjaj Al-Khathib, Pokok-pokok Ilmu Hadis, terj. M. Qadirun Nur dan Ahmad Musyafiq (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2007), 233.

33 Salamah Noorhidayati, Kritik Teks Hadis; Analisis Tentang Al-Riwayah bi Al-Makna


(43)

34

b. Metode memahami keadilan dan cacatnya perawi serta hal-hal yang terkait.

Keadilan seorang perawi bisa diketahui melalui satu diantara dua hal: pertama, popularitas keadilannya dikalangan ahli ilmu, berdasarkan popularitas nilainya lebih tinggi dibanding dengan berdasarkan tazkiyah (nilai positif) dari satu atau dua orang. Kedua, dengan tazkiyah, pen-ta’dil -an or-ang y-ang telah terbukti adil terhadap or-ang y-ang belum dikenal keadilannya. Tazkiyah dinilai cukup apabila dilakukan oleh satu orang yang berstatus adil.

Demikian pula jarh bisa ditetapkan berdasarkan popularitas perawi. Orang yang dikenal kefasikan, kedustaannya, dan karakteristik yang semisalnya. Dengan hal tersebut dirasa cukup menentukan jarh berdasarkan informasi yang telah popular tersebut. Jarh juga bisa ditetapkan berdasarkan tajri>h yang diberikan oleh pen-tajri>h yang adil yang benar-benar memahami jarh. Tapi sebagian pendapat menyatakan, bahwa jarhhanya bisa ditetapkan berdasarkan dua orang pen-tajri>h.34 c. Syarat-syarat pen-ta’di>ldan pen-tajri>h.

Mu’addil dan jarih disyaratkan:

a) Memiliki kapasitas keilmuan yang tinggi. b) Taqwa

c) Tidak ujub pada diri sendiri (muta’assub) d) Memahami sebab-sebab jarh

34 Muhammad „Ajjaj Al-Khathib, Pokok-pokok Ilmu Hadis, ter. M. Qadirun Nur dan Ahmad Musyafiq (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2007), 240.


(44)

35

e) Memahami sebab-sebab tazkiyah (ta’dil).35

Kriteria lain yang harus dipenuhi, dengan menguatkan syarat-syarat diatas: Jujur, wira’i, tidak terkena jarh, tidak fanatik terhadap sebagian perawi.36 Apabila kriteria-kriteria tersebut sudah terpenuhi, maka kritiknya terhadap perawi bisa diterima. Dan jika tidak, maka kritiknya tidak bisa diterima.

d. Teori jarh wa ta’di>l

Pernyataan-pernyataan tentang jarh dan ta’di>l terhadap orang yang sama bisa saja terjadi pertentangan, sebagian men-tajri>h dan sebagian men-ta’di>l. apabila hal tersebut memang benar-benar terjadi, maka diperlukan adanya penelitian lebih lanjut tentang substansinya. Bisa saja terjadi men-tajri>h berdasarkan informasi jarh yang didengarnya terlebih dahulu mengenai seorang perawi, kemudian perawi tersebut bertaubat dan diketahui oleh perawi lain, yang kemudian men-ta’di>l-kannya. Dengan demikian sebenarnya tidak ada pertentangan. Dan adakalanya seorang perawi dikenal oleh salah seorang guru dengan hafalan yang kurang baik, dimana perawi tersebut tidak menulis dari guru itu, sebab ia mengandalkan hafalannya sewaktu hafalannya masih bisa diandalkan, tetapi dikenal hafiz} oleh guru yang lain, karena bertumpu pada kitab-kitabnya. Kondisi seperti ini juga tidak ada masalah.

35 Teungku Muhammad Hasbi Al-Siddiqi, Sejarah Dan Pengantar Ilmu Hadis (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1999), 331.

36 Muhammad „Ajjaj Al-Khathib, Pokok-pokok Ilmu Hadis, ter. M. Qadirun Nur dan Ahmad Musyafiq (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2007), 240.


(45)

36

Apabila kemungkinan-kemungkinan tersebut bisa diketahui, maka sikap tegas dalam menilai seorang perawi haruslah ada. Namun apabila tidak, maka jelas terdapat pertentangn antara jarh}dan ta’di>l. dalam hal ini, terdapat tiga pendapat dikalangan ulama hadis:

a) Jarh didahulukan dari pada ta’di>l, walaupun yang men-ta’di>llebih banyak dari pada yang men-tajri>h. Sebab yang men-tajri>h dapat memahami apa yang tidak dipahami oleh yang men-ta’di>l.

b) Ta’di>ldidahulukan atas jarh, apabila yang men-ta’di>llebih banyak, hingga bisa mengukuhkan terhadap keadaan para perawiyang bersangkutan. Namun jika hanya sekedar prosentase tersebut yang menjadi dasar, tanpa adanya pemberitahuan atau pemahaman yang menjadi tolok ukur penguat apabila ada orang yang men-tajri>h, maka ta’di>lyang didahulukan atas jarh tidak bisa dijadikan landasan.

c) Antara Jarh dan ta’di>l yang bertentangan tidak bisa didahulukan salah satunya kecuali dengan adanya perkara yang bisa mengukuhkan salah diantaranya, maka penelitian secara lanjut harus dilakukan, sampai diketahui mana yang lebih kuat.37

6. I’tibar

Kinerja sanad hadis yang sahih pasti diimbangi matan yang sahih, hal ini berlaku sepanjang rija>l al-hadi>thyang menjadi pendukung mata rantaisanad yang terdiri atas periwayat yang thiqah semua.38 Pengukuh dari tiga langkah metodologis penelitian hadis ialah metode takhri>j yang berfungsi sebagai sarana

37 Ibid., 241. 38 Ibid., 61.


(46)

37

pendeteksi asal hadis, kemudian dilanjutkan dengan proses i’tiba>r sebagai sarana lanjutan untuk mempermudah penelusuran dan mengetahui lafad hadis. Dengan demikian takhri>j menurut bahasa berarti tampak dari tempatnya, kelihatan, mengeluarkan, dan memperlihatkan hadispada orang dengan menjelaskan tempat keluarnya. Menurut istilah, Takhri>j ialah menunjukkan tempat hadis dari sumber hadis dengan menjelaskan sanadbeserta derajatnya.39

I’tiba>r menurut bahasa berarti ujian atau percobaan, pertimbangan atau anggapan.40 Nuruddin „Itr berpendapat, bahwa I’tiba>r secara istilah, ialah usaha untuk meneliti suatu hadis yang diriwayakan oleh seorang rawi, dengan mencermati jalur-jalur dan semua sanad-nya untuk mendeteksi kemungkinan adanya riwayat lain yang serupa baik dari segi lafad atau maknanya, dari sanad itu sendiri atau dari jalur sahabat yang lain, atau tidak ada riwayat lain yang menyerupainya, baik lafad maupun makna.

Konklusinya ialah, bahwa I’tiba>r merupakan upaya untuk mendeteksi kemungkinan adanya rawi lain, Muttabi’ atau sha>hid-nya hadis yang sebelumnya terdeteksi menyendiri (fard). Periwayatan dari jalur lain tersebut bisa dengan redaksi matan yang sama, maupun hanya sampai batas kesamaan substansi.

Muttabi’ secara istilah adalah hadis yang mengikuti periwayatnya rawi lain

sejak pada gurunya terdekat atau gurunya guru tersebut.41 Dengan demikian,

39Manna‟ Al

-Qaththan, Pengantar Study Ilmu Hadis, terj. Mifdlol Abdurrahman (Jakarta: Pustaka Al-Kauthar, 2005), 189.

40 Louis Ma‟luf, Al-Munji>d fi al-Lughah Wa al-A’la>m (Beirut: Da>r al-Masyriq, 1998), 484.


(47)

38

Muttabi’ adalah rawi yang statusnya mendukung pada tingkatan sanad selain

sahabat. Muttabi’ terbagi menjadi dua, yaitu:

1. Muttabi’ Ta>m, periwayatan si muttabi itu mengikuti periwayatan guru

mutaba’ sejak awal sanad, yaitu dari guru yang terdekat sampai guru yang

terjauh.

2. Muttabi’ Qas}i>r, persekutuan terjadi pada pertengahan sanad, yaitu mengikuti periwayatan guru yang terdekat saja, tidak sampai mengikuti guru yang terjauh.42

Istilah Shahi>d ialah suatu penerimaan hadis yang berada di tingkat sahabat, namun terdiri lebih dari satu orang.43 Definisi ini memberikan penekanan pada unsur rawi di tingkat sahabat.

Shahi>dterdiri dari dua macam, yaitu:

a) Shahi>ddengan kesamaan lafad (Shahi>d Lafd}an).

b) Shahi>ddengan tingkat kesamaan makna (Shahi>dMa’nan).

Proses I’tiba>r bisa dilakukan dengan pembuatan skema sanad terhadap hadis yang diteliti. Tiga hal penting yang perlu diperhatikan dalam pembuatan skema, yaitu:

a) Semua jalur sanad;

b) Semua nama rawi sanad; dan

42Al-Quraibi, al-Muqtarah fi 'Ilmi al-Mus}t}alah} (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1989), 399.


(48)

39

c) Metode periwayatan yang digunakan masing-masing rawi.44 Setelah proses tersebut final, selanjutnya dengan telaah hadis, baik kritik sanad, Matan, maupun pemaknaannya.

D. Teori kehujjahan Hadis

Standarisasi hadis yang tidak mencapai derajat mutawa>tir berarti aha>d, hadis aha>d jika ditilik dari segi kualitasnya terbagi atas: sahih, hasan dan d}ai>f. Tingkat kehujjahan masing-masing tertanam dalam karakteristik ketiganya. Sedangkan dari segi kuantitasnya terdiri atas mashhu>r dan ghari>b. hadis aha>d sendiri apabila bercorak thiqah, maka bisa dijadikan hujjah danma‟mul tentunya.

Kesepakatan untuk ber-hujjah dengan hadis sahih dan hasan telah di amini oleh para ulama hadis dan fiqih. Akan tetapi, didalam pemanfaatan hadis hasan untuk dijadikan landasan hukum haruslah memenuhi sekian syarat maqbu>l. Dalam hal ini diperlukan adanya pengkajian adanya sifat-sifat yang bisa diterima dan peninjauan secara seksama, dikarenakan adanya karakteristik maqbul tersebut ada berkualitas tinggi, standard dan rendah. Kualitas tinggi dan standarnya hadis adalah karkteristik dari hadis sahih, sedangkan karakteristik hadis hasan adalah kualitas rendah.

Nilai-nilai maqbu>l berarti ada dalam diri hadis sahih dan hasan, walaupun perawi hadis hasan dinilai dhabit, tetapi celah tersebut bisa di anulir dengan adanya popularitas sebagai perawi yang jujur dan adil. Respon selanjutnya keluar dari sebuah ungkapan bolehnya mengamalkan hadis d}ai>f dalam catatan sebatas fad}a>’ilu al-a’ma>l, ungkapan semacam ini telah merata dilapisan masyarakat.


(49)

40

Kalau saja setiap orang memahami bahwa yang dimaksud dengan mempermudah dalam hal keutamaan-keutamaan (fad}a>’ilu al-a’ma>l) merupakan landasan yang diambil dari hadis hasan yang tidak mencapai tingkat sahih, tentunya sikap kesadaran diri untuk tidak asal sesuka hati mengobral ungkapan diperbolehkannya mengamalkan hadis d}ai>fdalam hal keutamaan-keutaman.

Agama memberikan respon secara tegas dan tidak perlu diragukan lagi, bahwa riwayat yang d}ai>f tidak mungkin menjadi sumbernya. Sebab adanya dzan (prasangka) sedikitpun tidak berdampak positif terhadap kebenaran, sedangkan keutamaan-keutamaan, seperti halnya hukum-hukum termasuk tiang penyangga agama yang pokok. Maka, tiang-tiang penyangga tersebut tidak boleh rapuh ditepi jurang yang runtuh. Sebab itulah, menerima riwayat d}ai>f dalam hal keutamaan-keutamaan amal, meskipun memenuhi semua syarat yang diajukan oleh orang-orang yang suka mengambil kegampangan dalam masalah tersebut, sebenarnya haruslah dipertimbangkan dengan tegas dan kalau perlu ditolak. Adapun syarat-syarat itu, ialah:

a) Hadis yang diriwayatkan tidak terlalu d}ai>f.

b) Isi hadisnya masuk dalam prinsip umum yang telah ditetapkan dalam al-Quran dan hadis sahih.

c) Hadis yang bersangkutan tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat.

Pertimbangan secara tegas dan penolakan untuk menerima hadis yang tampak ke-d}ai>f-annya merupakan pilihan yang tepat, sebab masih banyak pilihan hadis-hadis sahih dan hasan, baik mengenai hukum-hukum agama maupun fadha>’il al-a’ma>l. Oleh karena itulah, diperlukan adanya pengukuh untuk


(50)

41

menetapkan sebuah nilai-nilai dari kalangan para penghafal hadis yang telah mencermati dari berbagai jalur yang berhubungan dengan hadis terkait, sehingga ditemukannya sebuah konklusi untuk menetapkan nilai hadis d}ai>f. 45

E. Bersetubuh dan Manfa’atnya

1. Pengertian dan dalil bersetubuh

Bersetubuh disebut juga dengan bersenggama, yang berarti melakukan hubungan kelamin. Dalam Islam, bersetubuh dikenal dengan istilah jima‟,

secara bahasa jima‟ berasal dari kata

اع ج

-

ع ي

-

ع ج

yang berarti berkumpul

dalam satu himpunan. Sedangkan secara terminology, jima berarti kegiatan memasukkan dzakar atau penis laki-laki ke dalam farj atau vagina perempuan walaupun hanya bagian kepala (hashafah) nya saja46.

Dalam Islam, diperbolehkannya laki-laki dan perempuan melakukan kegiatan persetubuhan (jima‟) adalah dengan syarat melangsungkan akad nikah terlebih dahulu karena dengan sebab nikahlah bersetubuh jadi halal, bahkan disunnahkan. Sedangkan persetubuhan yang terjadi diluar akad nikah disebut zina dan hukumnya haram47.

Dalil diperbolehkannhya bersetubuh (jima‟) dalam Islam terdapat dalam al-Qur‟an surat al-Mu‟minun: 5-7 :

45 Subhi al-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu Hadis, terj. Tim Pustaka Firdaus (Jakarta: Penerbit Pustaka Firdaus, 2007), 196-198.

46Hummairah, pengertian jima”, http://hummairah.blogspot.co.id/2012/06/jima bersetubuh-munurut-sunnah.html?m=1 (rabu, 06 Januari 2016, 16.30).


(51)

42





( ۵ )







( )







( ٧ )

Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, 6. Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki[994]; Maka Sesungguhnya mereka dalam hal Ini tiada terceIa. 7. Barangsiapa mencari yang di balik itu[995] Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas.

2. Bersetubuh dan kesehatan tubuh

Bagi orang Islam, jima (bersetubuh) atau berhubungan badan bukan hanya sekedar bersenang-senang, melainkan juga sebagai ladang yang berbuah pahala dengan catatan melakukannya dengan pasangan yang sah secara syar‟i. Rosulullah Saw bersabda, yang artinya:

“Sebaik-baik istri kamu adalah ia yang menjaga diri lagi pandai membangkitkan syahwat, yakni keras menjaga kehormatan kemaluannya, pandai membangkitkan syahwat suaminya”, (HR Dailami dari Anas r.a)

Dari berbagai macam penelitian, para ilmuan menemukan setidaknya ada 16 manfaat dari aktivitas jima‟ (bersetubuh) bagi kesehatan.48 Diantaranya adalah:

1) Keseimbangan antara kesehatan mental dan emosional dapat dipengaruhi oleh jima‟. Dalam kasus depresi ringan, setelah selasi berhubungan otak akan melepaskan endorphin yang dapat menurunkan tingkat stress, dan membawa perasaan bahagia.

48

Wanbul, “manfaat bersetubuh”, http://wanbul.blogspot.co.id/2013/03/16-manfaat-bersetubuh-suami-istri.html?m=1, (Rabu, 06 Januari 2016, 18.00).


(52)

43

2) Bagi wanita, bersetubuh dapat menjadi perawatan kecantikan. Sebab saat berhubungan tingkat estrogen pada tubuh wanita meningkat dua kali lipat dan ini dapat membuat rambut berkilau dan kulit menjadi lembut.

3) Menurut penelitian yang dilakukan Queens Univercity selama 10 tahun pada 1000 pria paruh baya di Belfast, Irlandia, menunjukkan bahwa berhubungan secara teratur dapat meningkatkan umur manusia. Mereka yang sering orgasme memiliki angka kematian setengah dari orang yang kurang mengalami orgasme. Hal ini disebabkan oleh tingkat hormone stress yang menurun setelah berhubungan.

4) Keluarnya keringat saat berhubungan dapat membersihka pori-pori kulit, dan mengurangi resiko pengembangan dermatitis.

5) Bersetubuh dapat mengurangi berat badan, membakar lemak dan karbohidrat. kegiatan ini dapat membakar 200 kalori.

6) Aktivitas jima membuat tubuh melepaskan feromon, zat kimia yang menarik lawan jenis.

7) Berhubungan jima‟ dapat bermanfaat untuk mempertajam indera

penciuman. Sebab setelah orgasme, peningkatan hormon prolaktin membuat sel-sel batang otak membentuk neuron baru pada saraf penciuman dan meningkatkan kemampuan penciuman seseorang.

8) Bersetubuh dapat menghilangkan rasa nyeri sepuluh kali lebih efektif dibandingkan dengan obat penghilang rasa sakit, sebab sebelum orgasme kadar hormone oksitosin meningkat lima kali dan melepaskan endorphin.


(53)

44

9) Satu sesi jimak yang baik dapat mengobati hidung tersumbat, antihistaminic alami yang mengobati asma dan demam tinggi.

10) Dapat menurunkan kolesterol, menyeimbangkan rasio antara kolesterol baik dan kolesterol jahat.

11) Hormon yang dilepaskan saat melakukan hubungan sangat baik untuk keduanya. Hormon estrogen melindungi jantung seorang wanita, tetapa pada jangka panjang dapat efisien melawan penyakit Alzheimer dan osteoporosis, sementara testosterone menguatkan tulang dan otot.

12) Dapat memperbaiki sirkulasi darah, terutama di otak sebab denyut jantung dan pernafasan dalam keadaan meningkat

13) Dapat menurunkan resiko terkena pilek dan flu, sebab berhubungan 2-3 kali seminggu dapat meningkatkan antibody immunoglobulin A sebesar 30% yang memacu system kekebalan tubuh.

14) Dapat menjadikan control kandung kemih menjadi baik, dengan memperkuat otot-otot panggul yang mengendalikan aliran urin.

15) Dapat menjadikan tidur lebih nyenyak, sebab setelah orgasme tubuh benar-benar santai.

16) Dapat mengurangi resiko kanker. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa frekuensi ejakulasi tinggi dan aktivitas jima terkait denga rendahnya resiko kanker prostat di kemudian hari.


(1)

102

BAB V PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dari uraian pada bab-bab sebelumnya tentang hadis yang membahas larangan

istri menolak ajakan suami bersetubuh, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Hadis tentang larangan istri menolak ajakan suami bersetubuh yang

diriwayatkan Abu Dawud ini termasuk hadis aha>d yang Ghari>b mutlaq dan

berkualitas s}ahih li Dhatihi. Sehingga hadis ini dapat dijadikan sebagai hujjah

dan landasan dalam pengambilan hukum agar dapat dijadikan sebagai solusi

dalam memecahkan problematika yang terjadi di masyarakat.

2. Substansi hadis tersebut pada dasarnya menjelaskan tentang larangan seorang

istri menolak ajakan suami jika hendak diajak untuk bersetubuh dengan

ancaman akan dilaknat oleh para malaikat sampai waktu pagi apabila ia

menolak ajakannya. Sekilas hadis ini tergolong mendiskriminasikan pihak

istri karena menjadikan kebutuhan seks sebagai hak prioritas suami dan istri

wajib memenuhi dan mematuhi perintahnya. Namun dari hadis tersebut

terdapat hikmah yang sangat besar manfaatnya bagi pasangan suami istri.

Diantaranya adalah bertambahnya keharmonisan pasangan, sebab dengan

berhubungan tidak hanya badan saja yang bersentuhan melainkan juga batin


(2)

103

B. KRITIK DAN SARAN

Memenuhi kebutuhan dan melampiaskan hasrat seksual yang dilakukan

pasangan suami istri agar mendapatkan kepuasan yang optimal adalah suatu hal yang

wajar. Namun, perbuatan tersebut seharusnya dimbangi dengan pengetahuan mereka

terhadap tatanan agama yang mengatur berbagai perilaku manusia, khususnya dalam

hal berkeluarga. Diantaranya ialah yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban

suami istri yang harus dipenuhi satu sama lain dan dilakukan dengan baik. Sehingga

dengan pengetahuan tersebut dapat mencegah hal-hal buruk terjadi dalam menjalin

hubungan yang baik antara suami istri.

Kajian terhadap hadis tentang larangan istri menolak ajakan suami bersetubuh

dalam skripsi ini tentunya masih banyak sekali kekurangan-kekurangan yang perlu

untuk disempurnakan, untuk itu diharapkan kajian ini dapat dilanjutkan dengan lebih

teliti dan mendalam. Sehingga kajian ini akan menjadi kontribusi bagi masyarakat


(3)

109

DAFTAR PUSTAKA

Syaraf al-haqq, Abu Abdirrahman.’Aun al-Ma’bu>d. Bairut-libanon, Da>r Ibn Hazm,

2005.

Munawwir, Achmad Warson, kamus Al-Munawwir: Arab Indonesia Terlengkap,

Pustaka progresif: Surabaya, 1997.

Ahmad bin Husain bin ali al-Baihaqi, Al-Sunan al Kubro>, Bairut-Libanon: Da>r

al-Kutub al-Ilmiyah, 1994.

al-Asqala>ni, Ibn Hajar. Fath al-Ba>ri Sharh S}ahi>h al-Bukho>ri, diterjemahkan

Amiruddin, Fathul Baari: Penjelasan kitab Shahih al-Bukhari, Cet. 1;

Jakarta: Pustaka Azzam, 2008.

Thalib, Muhammad. Manajemen Keluarga Sakinah, Yogyakarta: Pro-U, 2007.

Thariq Kamal Al Nu‟aimi, Psikologi Suami Istri, terj, Muh. Muhaimin, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2007.

Ghozali, Abul Rahman, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana Media Group, 2008.

Kamil, Muhammad „Uwaidah, Fiqh Wanita, terj. M. Abdul Ghoffar E. M, Jakarta

Timur: Pustaka Al Kautsar, 2010.

Ajjaj al Khotib Muhammad, Ushul al Hadits: Ulumuhu wa Mushtholahuhu, Bairut;

Libanon. 1992.


(4)

110

Abu al-Fida‟ al-Hafidz „Imaduddin Isma‟il Ibn „Umar Ibn Kathir, al-Ba’ith al-Hadi>s,

Beirut: Dar al-fikr, 1996.

Muhyiddin Ibn Sharaf al-Nawawi, Al-Taqri>b wa al-Taysi>r, Beirut: Dar Kutub

al-Arabi, 1985.

Abbas, Hasjim. Kodifikasi Hadis Dalam Kitab Mu’tabar, Surabaya: Bagian

penerbitan Fak. Ushuluddin IAIN Sunan Ampel, 2003.

Abbas, Hasjim. Kritik Matan Hadis, Yogyakarta: Teras, 2004.

Zuhri, Muhammad. Telaah Matan Hadis: Sebuah Tawaran Metodologis, Yogyakarta:

LESFI, 2003.

Munzier Suparta, Ilmu Hadis, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008.

Bustamin dan M. Isa H, A. Salam, Metodologi Kritik Hadis, Jakarta: PT.Raja

Grafindo, 2004.

Nawer Yuslem, Ulumul Hadis, Ciputat: PT. Mutiara Sumber Widya, 2001.

Jalaluddin, Rahman, Pemahaman Hadits; Perspektif Historis dalam Yunahar Ilyas

dan M. Mas‟udi (ed), Pengembangan Pemikiran terhadap Hadits,

Yogyakarta: LPPI, 1996.

Rahman, Fatchur. Ikhtisar Mushthalahul Hadis, Bandung: Alma‟arif, 1974.

Romdon, Metodologi Ilmu Perbandingan Agama suatu Pengantar Awal, Jakarta: PT.

RajaGrafindo Persada, 1996.


(5)

111

Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi III, Yogyakarta: Rake

Sarasin, 1998.

Jujun Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar

Harapan, 1996.

Noorhidayati, Salamah. Kritik Teks Hadis; Analisis Tentang Al-Riwayah bi Al-Makna

Dan Implikasinya Bagi Kualitas Hadis, Yogyakarta: TERAS, 2009.

Muhammad „Ajjaj Al-Khathib, Pokok-Pokok Ilmu Hadis, ter. M. Qadirun Nur dan Ahmad Musyafiq, Jakarta : Gaya Media Pratama, 2007.

Teungku Muhammad Hasbi Al-Siddiqi, Sejarah Dan Pengantar Ilmu Hadis,

Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1999.

Manna‟ Al-Qaththan, Pengantar Study Ilmu Hadis, ter. Mifdlol Abdurrahman, Jakarta: Pustaka Al-Kauthar, 2005.

Ash Shiddieqy, Hasbi. Sejarah dan pengantar ilmu hadis Jakarta: Bulan Bintang.

1991.

Al-Quraibi, al-Muqtarah fi 'Ilmi al-Mustalah, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1989.

Azami, Muhammad Mustafa. Metodologi Kritik Hadis, Terj. A. Yamin, Cet 2,

Bandung: Pustaka Hidayah, 1996.

Isma‟il, Syuhudi. Kaidah Kesahihan Sanad Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1988.

Dzulmani, Mengenal Kitab-kitab Hadis, Yogyakarta: Insan madani, 2008.


(6)

112

Rahman, Fatchur. Ikhtisa>r Musthalahul Hadi>s, Cet 10, Bandung: PT. Al-Ma‟arif,

1984.

Abu Syuhbah, Muhammad. Kutub al-sittah, Majma‟ al-Buhuts al-Islamiyah, 1969.

Ash-Siddiqiy, Hasbi. Pokok-pokok ilmu Dirayah Hadis, Jakarta: Bulan Bintang,

1981.

Al-Mizzi, Jamaluddin Yusuf Tahdi>b al-Kama>l fi> Asma>’ al-Rija>l, vol.27, Baerut: Muassisah al-Risalah,1987.

Zainuddin Abdurrahman bin Husain al-„Iraqi, al-Taqyid wa al-Idla>h Sharh

Muqaddimah Ibn al-Shala>h, Madinah: Maktabah al-salafiyah, 1969.

Fauzil Adhim, Muhammad. Mencapai Pernikahan Barokah, Yogyakarta: Mitra

Pustaka, 1999.

IAIN Sunan Ampel press (Firm). Studi Hadits, Surabaya: IAIN Sunan Ampel press,

2012.

http://www.sehatki.com/pernikahan-membuat-istri-Malas-berhubungan-seks.htm

(Selasa, 14 Juni 2016)

Wanbul, “manfaat bersetubuh”,

http://wanbul.blogspot.co.id/2013/03/16-manfaat-bersetubuh-suami-istri.html?m=1, (Rabu, 06 Januari 2016, 18.00).

http://m.kompasiana.com/pakcah/di-indonesia-40-perceraian-setiap-jam_54f357c074

55137 a2b6c7115 (Sabtu, 21 mei 2016)

http://m.kompasiana.com/bangdepan/inilahperceraian-tertinggi-di-indonesia_55094a