TRAFFICKING DALAM AL-QUR’AN (STUDI ANALISIS TERKAIT PENAFSIRAN SURAT AN-NUR,24: 33 DAN YUSUF, 12: 19-20).

(1)

TRAFFICKING DALAM AL-

QUR’A

<<<<<<<<<<<N

(Studi Analisis Terkait Penafsiran Surat

An-Nu>r

, 24: 33 dan Surat

Yu>suf

, 12: 20)

SKRIPSI:

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata

Satu (S-1) dalam Ilmu Al-Qur

an dan Tafsir

Oleh:

JULLUL WARA

NIM: E03212014

PRODI ILMU AL QUR

AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

v

ABSTRAK

Nama : Jullul Wara

Judul : Trafficking Dalam Al-Qur’a>n (Studi Analisis Terkait Penafsiran Surat An-Nu>r, 24: 33 dan Yusu>f, 12: 19-20)

Masalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah: Pertama, bagaimana penafsiran terhadap surat an-N>u>r, 24: 33 dan surat Yu>suf, 12: 19-20 dan teori apa yang dipakai?. Kedua, bagaimana kontekstualisasi penafsiran terhadap surat an-Nu>r, 24:33 dan Yu>suf, 12:20 beserta kaitannya dengan trafficking?

Dalam menjawab permasalahan tersebut, maka penelitian ini mengunakan jenis penelitian kualitatif, kemudian menggunakan metode penelitian library research (penelitian perpustakaan), sumber data primer yang digunakan berasal dari kitab tafsi>r Ibnu kathi>r, tafsi>r al-mis{ba>h, al-Maraghi> serta data sekunder yang berasal dari kitab-kitab tafsir yang lain atau buku-buku penunjang yang membahas tentang trafficking yang relevan dengan penelitian ini. selanjutnya analisis datanya menggunakan metode deskriptifkualitatif.

Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa para mufassir yakni Ibnu Kathi>r, Quraish S{ih{a>b dan Must{afa> al-Maraghi> sepakat bahwa dalam surat an-Nu>r lafad al-Bigha>’ diartikan dengan prostitusi dan ayat tersebut membicarakan eksploitasi seksual. Akan tetapi terdapat perbedaan kaidah yang mereka pakai, Quraish menggunakan kaidah kebahasaan atau semantik leksial dan kaidah بﺎ ا صﻮﺼﺨ ﻻ ﻆ ا مﻮ ﻌ ةﺮ ﻌ ا, sedangkan Ibnu Kathi>r dan Must{afa al-Maraghi> memakai kaidah ﻆ ا مﻮ ﻌ ﻻ بﺎ ا صﻮﺼﺨ ةﺮ ﻌ ا (yang menjadi landasan adalah kekhususan sebab bukan keumuman dari lafad).

Selanjutnya dalam surat Yu>suf, 12: 20 mereka terdapat perbedaan juga ketika menafsirkan d{amir kalimat sharauhu (mereka menjualnya). Ibnu Kathi<r berpendapat d{amir tersebut ditujukan kepada saudara-saudara Yu>suf , Ibnu Kathi>r mengukuhkan pendapatnya karena memakai muna>sabat kalimat antar kalimat dalam satu ayat, yaitu dikaitkan dengan ayat sesudahnya yakni lafad اﻮ ﺎ و

ﺪھاﺰ ا ﮫ . Sedangkan Must{afa> al-Maraghi> dan Quraish S{ih{ab berpendapat bahwa damir tersebut untuk para kafilah. mereka memakai

muna>sabah ayat antar ayat dalam satu surat yaitu merujuk kepada ayat sebelumnya yakni lafad ھدراو اﻮ رﺄ ةرﺎ تءﺎﺟو.

Adapun kontekstualisasi penafsiran surat an-Nu>r, 24: 33 dan Yu>suf, 12: 20 serta kaitannya dengan traffickng adalah berhubungan dan ada kaitannya. Di lihat dari pengertian dan unsur trafficking itu sendiri adalah perekrutan, pemaksaan, penjualan dan eksploitasi, maka ayat tersebut juga berbicara unsur-unsur tersebut, yakni dalam surat an-Nu>r, 24: 33 terdapat kalimat pemaksaan (اﻮھﺮ ﻻو), prostitusi (ءﺎﻐ ا), eksploitasi (Asba>b Nuzu>l ayat tersebut adalah seorang tuan melacurkan budak wanitanya dan dimanfaatkan hasilnya) dan dalam surat Yu>suf ayat 20 terdapak kalimat menjual (هوﺮﺷو) dan Yu>suf juga dijadikan pelayan sama orang yang membelinya (di eksploitasi).


(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iv

ABSTRAKSI ... v

KATA PENGANTAR ... vi

MOTTO ... ix

PERSEMBAHAN ... x

PEDOMAN TRANSLITERASI ... xi

DAFTAR ISI ... xiv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Kegunaan Penelitian ... 9

E. Kajian Pustaka ... 10

F. Metode Penelitian ... 11

G. Sistematika Pembahasan ... 14

BAB II TEORI ASBA<B AL-NUZU<L DAN MUNA<SABAT A. Asba>b al-Nuzu>l ... 16

1. Definisi asba>b al-Nuzu>l ... 16

2. Hubungan sebab akibat dalam kaitannya dengan asba>b al-Nuzu>l ... 17

B. Muna>sabat ... 22

1. Definisi muna>sabat ... 22


(8)

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG TRAFFICKING

A. Definisi dan Unsur-unsur Trafficking ... 28

B. Bentuk dan Modus Trafficking ... 33

1. Bentuk Trafficking ... 33

2. Modus Trafficking ... 42

C. Faktor-faktor Pendorong Terjadinya Trafficking ... 44

D. Trafficking di Indonesia ... 52

BAB IV PENAFSIRAN TERKAIT AYAT-AYAT TRAFFICKING A. Penafsiran Terhadap Surat An-Nu>r, 24: 33 ... 57

1. Penafsiran Ibnu Kathi>r ... 58

2. Penafsiran M. Quraish S{iha>b ... 65

3. Penafsiran Must{afa> Al-Maraghi> ... 71

B. Penafsiran Terhadap Surat Yu>suf, 12: 19-20 ... 73

1. Penafsiran Ibnu Kathi>r ... 74

2. Penafsiran M. Quraish S{iha>b ... 79

3. Penafsiran M. Must{afa> Al-Maraghi> ... 83

C. Analisis Terkait Beberapa Penafsiran Mufassir Terhadap Surat An-Nu>r, 24: 33 dan Yu>suf, 12: 19-20 Beserta Kaitannya Dengan Trafficking ... 86

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ` ... 99

B. Saran ... 101

DAFTAR PUSTAKA ... 102 LAMPIRAN


(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Arus kapitalisme yang berjalan dengan globalisasi, mengantarkan manusia pada materialistis. Tak dapat disangkal bahwa industrialisasi sebagai salah satu cirinya menunjukkan perkembangan yang semakin pesat. Berbagai komoditi yang dijadikan sebagai obyek dalam industrialisasi tersebut berdampak pada kreasivitas manusia dalam menemukan jenis komoditi yang mendatangkan banyak keuntungan (uang).

Salah satu kreasivitas bebas yang ditemukan oleh manusia adalah menjadikan manusia sebagai komoditi industri. Manusia diperdagang jual belikan, seperti layaknya komoditi lain. Sederhananya manusia berdagang manusia, istilah ini biasanya dikenal dengan trafficking.

Kegiatan trafficking menjadi isu global yang mengemuka. Dalam perkembangannya, perdagangan manusia adalah bentuk modern perbudakan yang luas terjadi di seluruh dunia. Memperdagangkan manusia adalah industri kejahatan yang cepat pertumbuhannya dan merupakan perbudakan dengan bentuk dan modus baru yang semakin canggih dan terstruktur. Hal ini terbukti bahwa perdagangan manusia berlangsung tidak hanya dalam negara saja tetapi juga melewati lintas batas negara.

Semestinya, eksploitasi terhadap manusia, baik terhadap perempuan ataupun anak-anak hilang di muka bumi seiring dengan perkembangan zaman


(10)

2

modern. perdagangan manusia dipandang sebagai musuh bersama oleh seluruh bangsa-bangsa yang ada di dunia karena merupakan pelanggaran besar bagi Hak Asasi Manusia (HAM) dan secara yuridis banyak ditentang diberbagai negara. Namun, kenyataan tidaklah demikian bahkan bisnis woman trafficking termasuk dalam tiga besar setelah perdagangan obat-obatan terlarang dan perdagangan senjata.

Dilihat dari aspek sosial, kegiatan trafficking lebih banyak disebabkan oleh faktor kemiskinan, baik pelaku maupun korban trafficking sehingga tidak sedikit orang tua membujuk, merelakan bahkan memaksa anaknya untuk diperdagangkan. Alasan lain dari munculnya trafficking gaya hidup masyarakat yang semakin memuja kekayaan materi, mementingkan kesenangan di atas segala hal.

Buruknya sistem ekonomi cikal juga yang membuat masyarakat sulit untuk bersaing, memaksa masyarakat mencari pekerjaan keluar negeri atau bahkan melakukan pekerjaan yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Hal ini diperburuk oleh dampak globalisasi yang tidak dapat dihindari oleh bangsa Indonisia. Yang mana faktor kemiskinan sering dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan bisnis, dimana korban diperjual belikan bagaikan barang yang tidak berharga melalui tipu muslihat.1 Sulitnya perekonomian mebuat masyarakat terjebak dalam lilitan hutang, kondisi inilah yang memaksa masyarakat terjebak dalam praktek trafficking yang berupa tindakan menyewakan tenaga anggota keluarga untuk melunasi hutang.

1

Chairul Bariah Mozasa, Aturan-aturan Hukum Trafficking; Perdagangan Perempuan dan Anak, (Medan: USU Pess, 2005), 3.


(11)

3

Apabila ditinjau dari aspek sejarah, jejak perbudakan selalu ada dalam setiap bangsa yang beradab. Terbukti kebudayaan Yahudi, Romawi dan Jerman kuno yang banyak mempengaruhi keberadaan hukum modern juga mengenal perbudakan. Bentuk perbudakan dibagi menjadi dua bagian yakni penghambaan petani dan perbudakan dalam rumah tangga. Tentunya praktek ini menimpa kaum lemah, terutama wanita dan anak-anak. Hal inilah yang menjadi masalah utama

trafficking, yaitu perbudakan atau eksploitasi atas kaum lemah baik terhadap wanita maupun anak-anak.2

Dalam tinjauan agama, Islam melarang trafficking dan menghapus segala bentuk anti-kemanusiaan seperti eksploitasi ataupun perbudakan. Manusia tidak boleh diperbudak atau mengekspotasi manusia lain dengan alasan apapun. Hal ini karena Islam telah mengangkat derajat manusia laki-laki maupun perempuan, anak-anak maupun dewasa. Orang-orang yang lemah harus senantiasa dilindungi oleh orang yang kuat. Pernyataan tersebut dijelaskan dalam Qur’a>n Q.S al-Isra>’: ayat 70

ﺸﺪﺴﺴ ﺴو

ﺎﺴ ﺸﺮﺴ

ِ ﺴ

ﺴمﺴدآ

ﺸُﺎﺴ ﺸ ﺴﺴﺴو

ِ

ﱢﺮﺴـﺸﺒ

ِﺮﺸ ﺴ ﺸﺒ ﺴو

ﺸُﺎﺴ ﺸـ ﺴزﺴﺜﺴو

ﺴِ

ِتﺎﺴ ﱢ ﺒ

ﺸُﺎﺴ ﺸ ﺴ ﺴو

ﻰﺴ ﺴ

ﺳﺮ ِ ﺴ

ﺸ ِ

ﺎﺴ ﺸﺴ ﺴ

ِ ﺸﺴـ

)

ﻀ٠

(

Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan.3

Secara lebih spesifik dalam surat an-Nu>r ayat 33 melarang tentang

trafficking sebagaimana berikut:

2

M. Alfatih Suryadilaga, Trafficking dalam Hadis dan Perkembangangnya dalam Konteks Kekinian dalam Jurnal Musawa, Vol. 4, No. 3, Oktober 2006, 315.

3


(12)

4

ِ ِﺸﺴـﺸﺴ ﺸ ﺴو

ﺴ ِﺬ ﺒ

ﺴنوُﺪ ِﺴ

ﺎ ًﺎﺴ ِ

ﻰ ﺴ

ُُﻬﺴـِ ﺸ ُـ

ُ ﺒ

ﺸِ

ِِ ﺸ ﺴ

ﺴ ِﺬ ﺒ ﺴو

ﺴنﻮُ ﺴـﺸ ﺴـ

ﺴبﺎﺴ ِﺸﺒ

ﺎ ِ

ﺸ ﺴ ﺴ ﺴ

ﺸُ ُ ﺎ ﺴﺸ ﺴأ

ﺸُﻮُ ِ ﺎﺴ ﺴ

ﺸنِﺐ

ﺸُ ﺸِ ﺴ

ﺸِﻬ ِ

ﺒ ًﺮﺸـﺴ

ﺸُﻮُ آ ﺴو

ﺸِ

ِلﺎ ﺴ

ِ ﺒ

يِﺬ ﺒ

ﺸُﺎﺴ آ

ﺴو

ﺒﻮُِﺮﺸ ُ

ﺸُ ِ ﺎﺴ ﺴـﺴـ

ﻰﺴ ﺴ

ِءﺎﺴ ِ ﺸﺒ

ﺸنِﺐ

ﺴنﺸدﺴﺜﺴأ

ﺎً ﺴﺴ

ﺒﻮُ ﺴـﺸ ﺴ ِ

ﺴضﺴﺮﺴ

ِةﺎﺴ ﺴﺸﺒ

ﺎﺴ ﺸـﺪ ﺒ

ﺸﺴﺴو

ِﺮﺸ ُ

نِﺈﺴ

ﺴ ﺒ

ﺸِ

ِﺪﺸﺴـ

ِﻬِﺒ ﺴﺮﺸ ِﺐ

ﺲﺜﻮُﺴ

ﺲ ِﺴﺜ

)

ﺼﺼ

(

Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. dan budak-budak yang kamu miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat Perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu.4

Kandungan dalam surat an-Nu>r di atas secara singkat dapat disimpulkan dalam beberapa hal. Pertama, kewajiban memberikan perlindungan terhadap mereka yang lemah, ini lebih ditujukan kepada kaum perempuan karena mereka adalah kelompok masyarakat yang dilemahkan dalam konteks masyarakat Arab ketika itu.

Kedua, kewajiban membebaskan orang-orang yang terperangkap dalam perbudakan. Ketiga, kewajiban menyerahkan hak-hak ekonomi mereka. Hak-hak mereka yang bekerja untuk majikannya harus diberikan. Keempat, haramnya mengekploitasi tubuh perempuan untuk kepentingan duniawi.

Secara implisit Nabi Muhammad saw. juga mengecam tindakan kejahatan semacam trafficking, salah satu hadis beliau yang berkaitan dengan anti

trafficking adalah hadis yang diriwayakan oleh al-Bukha>ri dan Ah{mad.

4


(13)

5

ﺎ أ ﺔ :ﷲﺒ لﺎ :لﺎ و ﷲﺒ ﻰ ﺒ ﷲﺒ ﻰ ﺜ ةﺮﺮ ﻰ أ

ﺮ ﺄ ﺒ ﺜ و ﺎ ﺮ غﺎ ﺜ و ﺜﺪ ﻰ ﻰ أ ﺜ ﺔ ﺎ ﺒ مﻮ

ﱠﺪ أ و ىﺜﺎ ﺒ ﺒوﺜﱡ ﺮ أ و ﺒﻮ ﻮ ﺒﺮ

Dari Abu H{urairah{ Radiyallahu‘anhu dari Nabi SAW bersabda: “ Allah SWT berfirman: ada tiga kelompok yang dihari kiamat nanti yang akan menjadi musuh besar saya. Pertama, seorang yang bersumpah atas namaku tapi tidak menepatinya. Kedua, seorang yang menjual orang merdeka kemudian memakan harganya. Ketiga, seorang yang menyewa tenaga seseorang pekerja yang telah menyelesaikan pekerjaan itu akan tetapi dia tidak membayar upahnya. ( HR. Imam Bukha>ri)

Hadis di atas menjelaskan bahwa Allah melaknat perdagangan manusia dan akan menjadi musuh Allah kelak di hari kiamat bagi siapapun yang memperdagangkan manusia baik anak-anak ataupun perempuan.

Di sinilah pemahaman dan aktualisasi agamawan Islam terhadap teks-teks suci, karena al-Qura>n merupakan kitab petunjuk yang dapat menuntun umat manusia menuju jalan kebenaran. Selain itu, al-Qura>n juga berfungsi sebagai pemberi penjelas terhadap segala sesuatu dan pembeda antara kebenaran dan kebatilan. Untuk mengungkap petunjuk dan penjelasan dari al-Qura>n, telah dilakukan berbagai upaya oleh sejumlah pakar dan ulama’ yang berkompeten untuk melakukan penafsiran terhadap al-Qura>n, sejak masa awal hingga sekarang ini. Meski demikian, keindahan bahasa al-Qura>n, kedalaman maknanya serta keragaman temanya, membuat pesan-pesannya tidak penah berkurang, apalagi habis, meski telah dikaji dari berbagai aspeknya.5

Trafficking adalah sebuah kejahatan kemanusiaan berupa perdagangan orang, dan menjadi isu global yang mengemuka pada saat ini. Adapun

5

Kementrian Agama RI, Tafsir al-Qur’a>n Tematik, Pembangunan Ekonomi Umat, M. Hanafi Muchlis. ed (Jakarta: Perpustakaan Nasional RI, 2012), xix.


(14)

6

kebanyakan yang menjadi korbannya adalah kaum wanita dan anak-anak. Berangkat dari fenomena ini penulis tertarik ingin meneliti dan mengkaji tentang

terafficking ketika dikaitkan dengan kitab suci al-Qur’a>n, apakah dalam salah satu surat atau ayat dalam al-Qur’a>n ada yang berbicara tentang trafficking? karena al-Qur’a>n itu sendiri adalah sebagai kitab pedoman yang tidak ada keraguan di dalamnya. Itulah sebabnya al-Qur’a>n di jadikan refrensi utama dalam menyelesaikan problem kehidupan yang semakin kompleks sesuai dengan jargon teologisnya yaitu s{a>lih li kulli zama>n wa maka>n.

Ternyata ketika bererbicara tentang trafficking ada tiga istilah dalam al-Qur’a>n yang hemat penulis mengandung pengertian atau unsur-unsur trafficking,

yaitu:

1. Menjual (Shira)

Dalam Q.S. Yu>suf, 12: 20

ُ ﺸوﺴﺮﺴ ﺴو

ﺳ ﺴﺴ ِ

ﺳ ﺸ ﺴ

ﺴِﺒ ﺴﺜﺴد

ﺳةﺴدوُﺪﺸﺴ

ﺒﻮُ ﺎﺴ ﺴو

ِ ِ

ﺴِ

ﺴ ِﺪِﺒﺰ ﺒ

)

ﺻ٠

(

Dan mereka menjual Yu>suf dengan harga yang murah, yaitu beberapa dirham saja, dan mereka merasa tidak tertarik hatinya kepada Yu>suf.6

Al-Qur’a>n menggunakan kata shara dalam ayat tersebut untuk menunjukkan indikasi atau adanya perilaku seseorang yang menjual seorang anak yaitu Nabi Yu>suf kepada orang lain.

2. Prostitusi (al-Bigha>’)

Dalam al-Qur’a>n kata al-Bigha>’ terdapat sebanyak 96 kali.7 Misalnya dalam Q.S. an-Nu>r ayat 33.

6


(15)

7

ﺴو

ﺒﻮُِﺮﺸ ُ

ﺸُ ِ ﺎﺴ ﺴـﺴـ

ﻰﺴ ﺴ

ِءﺎﺴ ِ ﺸﺒ

ﺸنِﺐ

ﺴنﺸدﺴﺜﺴأ

ﺎً ﺴﺴ

ﺒﻮُ ﺴـﺸ ﺴ ِ

ﺴضﺴﺮﺴ

ِةﺎﺴ ﺴﺸﺒ

ﺎﺴ ﺸـﺪ ﺒ

ﺸﺴﺴو

ِﺮﺸ ُ

نِﺈﺴ

ﺴ ﺒ

ﺸِ

ِﺪﺸﺴـ

ِﻬِﺒ ﺴﺮﺸ ِﺐ

ﺲﺜﻮُﺴ

ﺲ ِﺴﺜ

)

ﺼﺼ

(

Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu.8

Dalam ayat ini al-Qur’a>n berbicara prostitusi atau pelacuran yang mana al-Bigha>’ atau prostitusi ini adalah seks untuk pencaharian yang mengandung beberapa tujuan yang ingin diperoleh di antaranya uang. Al-Bigha>’ bisa diartikan juga kepada ekploitasi seks terhadap perempuan. 3. Perbudakan (Raqabah)

Kata raqabah dalam al-Qur’a>n diulang sebanyak enam kali dalam bentuk tunggal dan bentuk jama’. Adapun dalam bentuk Tunggal yaitu dalam Q.S. an-Nisa>’, 4: 92 diulang sebanyak tiga kali, Q.S. al-Ma>idah, 5: 9, Q.S. al–Muja>dalah, 58:3 dan Q.S. al-Balad ayat 13. Dan dalam bentuk jamaknya yaitu riqab, Misalnya dalam Q.S. an-Nisa>’ ayat 92, Q.S. al-Baqarah ayat 177, Q.S. At-Taubah ayat 60 dan Q.S. Muh{ammad ayat 4.

Dari penjelasan di atas, penulis tertarik membahas tema mengenai

Trafficking dalam al-Qura>n dengan menggunakan kajian tema terkait ayat-ayat

trafficking menurut beberapa penafsiran para mufassir.

Fokus pembahasan pada skripsi ini, tertitik dan tertuju pada ayat-ayat

Trafficking dalam al-Qur’a>n, yakni surat an-Nur>, 24: 33 dan surat Yu>suf ayat

7

Muh{ammad Fu’ad al-Ba>qi’, Mu’jam Mufah{ras li alfaz{ al-Qur’a>n al-Kari>m

(Indonesia: Maktabah Dahlan, tth), 167.

8


(16)

8

20. penulis hanya mengambil surat an-Nu>r, 24: 33 dan surat Yu>suf, 12: 20 karena hemat penulis hanya dua surat ini dalam al-Qur’a>n yang secara spesifik mengandung pengertian atau unsur-unsur trafficking. Dan fokus penelitian ini juga tertuju kepada penafsiran tiga mufassir yaitu Ibnu Kathi>r mewakili penafsiran bil-riwa>yat dan ra’yi, Ah{mad Must{afa> al-Maraghi> dan M. Quraish S{ih>ab yang mewakili penafsiran al-Adabi> al-Ijtima>’i> (sosial kemasyarakatan).

B. Rumusan Masalah

Agar lebih jelas dan memudahkan operasional penelitian, maka perlu diformulasikan beberapa rumusan permasalahan pokok, sebagai berikut:

1. Bagaimana penafsiran terhadap surat an-Nu>r, 24: 33 dan teori apa yang dipakai?

2. Bagaimana penafsiran terhadap surat Yu>suf, 12: 19-20 dan teori apa yang dipakai?

3. Bagaimana kontekstualisasi penafsiran terhadap surat an-Nu>r, 24: 33 dan surat Yu>suf, 12: 19-20 beserta kaitannya dengan trafficking?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, penelitian ini mempunyai beberapa tujuan yang ingin dicapai, di antaranya:


(17)

9

2. Mengetahui penafsiran terhadap surat Yu>suf, 12: 19-20 dan teori yang dipakai.

3. Mengetahui kontekstualisasi terhadap penafsiran surat an-Nu>r, 24: 33 dan surat Yu>suf, 12: 19-20 beserta kaitannya dengan trafficking.

D. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangsih keilmuan dalam bidang tafsir. Agar penelitian ini benar-benar berguna untuk pengembangan ilmu pengetahuan, maka perlu dikemukakan kegunaan dari penelitian ini.

Adapun kegunaan tersebut ialah sebagai berikut: 1. Kegunaan secara teoritis

Hasil penelitian ini berguna untuk menambah wawasan dalam pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam penelitian tafsir yang terkait dengan pengertian trafficking dalam al-Qur’a>n, ayat-ayat trafficking, dan penafsiran ayat-ayat trafficking.

2. Kegunaan secara praktis

Implementasi penelitian ini diharapkan bisa memberi kontribusi agar dapat memberi wawasan dan solusi terhadap masyarakat terhadap perilaku


(18)

10

E. Kajian Pustaka

Mengenai Penelitian tentang trafficking cukup banyak dan beragam. Namun keberagaman tema tersebut justru merefrensikan suatu yang berbeda, baik mengenai obyek maupun fokus penelitian. Hal ini dapat dipahami dalam beberapa penelitian sebagai berikut:

Dalam bentuk skripsi, “Trafficking Perempuan Dalam Hadis: Kajian Ma’a>ni Hadi>th”9 karya M. Shofwan membicarakan tentang pemaknaan hadis dan relevansinya terhadap trafficking masa kekinian.

Sedang dalam bentuk buku, Faqihuddin ‘Abdul Qadi>r dkk. menulis Fiqh Anti Trafficking Jawaban atas Berbagai Kasus Kejahatan Perdaganagan Manusia Dalam Perspektif Hukum Islam.10 Dalam bukunya hanya menjelaskan

trafficking berdasarkan kajian fiqh. Berbeda dengan penelitian ini, di mana peneliti mencoba mnguraikan trafficking dalam perspektif al-Qur’a>n.

Pada tulisan jurnal M. Alfatih Suryadilaga menulis Trafficking dalam Hadis dan Perkembangangnya dalam Konteks Kekinian.11 Tulisan ini membahas asal-usul trafficking, bentuk dan perkembangannya. Meski trafficking

permasalahannya dikaitkan dengan kekinian namun fokusnya adalah dihubungkan dengan hukum atau fiqh. Berbeda dengan penelitian ini yang fokusnya adalah terhadap penafsiran para ulama terhadap ayat-ayat trafficking dan implementasinya terhadap konteks kekinian.

9 M. Shofwan, “Trafficking Perempuan dalam Hadis: Kajian Ma’a>ni Hadi>th”, Skripsi

Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta 2009

10

Faqihuddin ‘Abdul Qadi>r, Fiqh Anti Trafficking Jawaban atas Berbagai Kasus Kejahatan Perdagangan Manusia Dalam Perspektif Hukum Islam (Cirebon: Fahmina Institut, 2006), 16.

11

M. Alfatih Suryadilaga, Trafficking Dalam Hadis dan Perkembangangnya Dalam Konteks Kekinian dalam Jurnal Musawa, Vol. 4, No. 3, Oktober 2006.


(19)

11

Beberapa buku yang dikemukakan di atas sedikit banyak akan mendukung dalam pembahasan penelitian ini. Namun, dari beberapa bahan pustaka tersebut tidak satupun yang spesifik membahas tentang trafficking dalam perspektif al-Qura>n. Oleh karena itu, penelitian ini berupaya menambahkan wacana mengenai

trafficking perspektif al-Qur’a>n: Studi analisis tekait penafsiran surat an-Nu>r, 24: 33 dan Yu>suf, 12: 19-20 dan kaitannya dengan isu trafficking saat ini.

F. Metode Penelitian

Sebagai karya ilmiah, maka tidak bisa dilepaskan dari penggunaan metode, karena metode merupakan pedoman agar kegiatan penelitian terlaksana dengan sistematis.12Dengan demikian, metode merupakan pijakan agar penelitian tercapai dengan maksimal. Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif beberapa kata-kata tertulis atau lisan dari suatu objek yang dapat diamati dan diteliti.13Di samping itu, penelitian ini juga menggunakan metode penelitian library research

(penelitian perpustakaan), dengan mengumpulkan data dan informasi dari

12

Anton Bekker dan Ahmad Haris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1999), 10.

13

Lexy J. Moleing, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), 3.


(20)

12

data-data tertulis baik berupa literatur berbahasa arab maupun literatur berbahasa indonesia yang mempunyai relevansi dengan penelitian.

2. Sumber Data

Data yang diperlukan dalam penelitian ini, bersumber dari dokumen perpustakaan tertulis, seperti kitab, buku ilmiah dan referensi tertulis lainnya. Data-data tertulis tersebut terbagi menjadi dua jenis sumber data. Yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder, yaitu:

a. Sumber data primer merupakan rujukan data utama dalam penelitian ini, yaitu:

1) Tafsi>r Ibnu Kathi>r 2) Tafsi>r al-Maraghi> 3) Tafsi>r al-Mis{ba>h{

b. Sumber data sekunder, merupakan referensi pelengkap sekaligus sebagai data pendukung terhadap sumber data primer. Adapun sumber data sekunder dalam penelitian ini diantaranya:

1) Penganten Pesanan Pos: Modus Operandi Human Trafficking di Indonesia, Zulkipli Lessy

2) Politik Perdagangan Perempuan, Andi Yentriani

3) Hati-hati Modus Baru Human Trafficking, Dwi Indah Puspita 4) Trafficking Tantangan Bagi Indonisia, Enny Zuhni Khayati 5) Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Nas{iruddin Baidan

6) Mafa>tih al-Ghaib, Fakhruddi>n al-Razi> 7) Tafsi>r al-Kashsha>f, Zamakhshari


(21)

13

8) Trafficking (Sebuah Pelanggaran Hak Asasi Perrempuan), Nurani 9) Tafsi>r Bahr al-Muhi>t{, Abu> Hayyan al-Andalus>i

10) Aspek Perdagangan Orang di Indonisia, Karya Dra. Farhana, M.H 3. Teknik Pengumpulan Data

Data-data dalam penelitian ini diperoleh dari buku-buku serta dukumen yang terkait dengan objek penelitian. Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan kartu data, yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkip, skripsi, buku, dan sebagainya.14 Sedangkan data yang berkaitan dengan analisis dilacak dari literatur dan penelitian terkait. Sumber skunder ini diperlukan terutama untuk mempertajam analisis.

4. Metode Analisis Data

Untuk sampai pada prosedur akhir penelitian, maka penulis menggunakan metode analisa data untuk menjawab persoalan yang akan muncul di sekitar penelitian ini. Data yang terkumpul, baik primer maupun sekunder diklasifikasi dan dianalisis sesuai dengan sub bahasan masing-masing. Setelah itu dilakukan telaah mendalam terhadap penafsiran ayat-ayat

trafficking dengan menggunakan Deskriptif Kualitatif.

Deskriptif yaitu menggambarkan atau melukiskan keadaan obyek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain) berdasarkan fakta-fakta yang tampak sebagaimana adanya dengan menuturkan atau menafsirkan

14

Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka Cipa, 1996), 234.


(22)

14

data yang berkenaan dengan fakta, keadaan, variable dan fenomena yang terjadi saat penelitian berlangsung dan menyajikan apa adanya.15

Penelitian Deskritif Kualitatif yakni penelitian berupaya untuk mendeskripsikan yang saat ini berlaku. di dalamnya terdapat upaya mendeskripsikan, mencatat, analisis, dan menginterpretasikan kondisi yang sekarang ini terjadi. Dengan kata lain penelitian deskriptif kualitatif ini bertujuan untuk memperoleh informasi-informasi mengenai keadaan yang ada.16

G. Sistematika Pembahasan

Penelitian ini akan disusun dalam beberapa bab dan sub bab sesuai dengan keperluan kajian yang akan dilakukan.

Bab pertama adalah pendahuluan yang merupakan pertanggung jawaban metodologis penelitian, terdiri atas latar belakang masalah, identifikasi, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, telaah pustaka, metodologi penelitian, dan sistematika pembahasan.

Bab kedua ialah landasan teori yang akan digunakan sebagai batu pijakan dalam penelitian ini, antara lain berisikan tentang: Pengertian asba>b al-Nuzu>l, kaidah asba>b al-Nuzul> berupa keumumam lafad dan kekhususan sabab, pengertian muna>sabat dan kaidah muna>sabat atau bentuk-bentuknya.

15

Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2002), 3.

16

Convelo G. Cevilla, dkk, Pengantar Metode Penelitian (Jakarta: Universitas Islam, 1993), 5.


(23)

15

Bab ketiga ialah penjelasan tentang pengertian trafficking dan Unsur-unsurnya, bentuk-bentuk dan modus trafficking, faktor-faktor trafficking, dan

trafficking di Indonesia.

Bab keempat, ialah data dan analisis. Pertama, penafsiran Ibnu Kathi>r terhadap surat an-Nu>r, 24: 33 dan Yu>suf, 12: 19-20 dan teori yang dipakai.

Kedua, Penafsiran Quraish S{ih{ab terhadap surat an-Nu>r, 24:33 dan Yu>suf, 12: 19-20 dan teori yang dipakai. Ketiga, penafsiran Must{afa al-Maraghi> terhadap surat an-Nu>r, 4:33 dan yu>suf, 12: 19-20 dan teori yang dipakai.

Bab kelima merupakan bab terakhir berisi kesimpulan dari uaraian-uraian yang telah dibahas dan diperbincangkan dalam keseluruhan penulisan penelitian. Bahasan ini sebagai jawaban terhadap masalah-masalah yang diajukan dalam rumusan masalah.


(24)

BAB II

TEORI ASBA<B AL-NUZU<L DAN MUNA<SABAT

A. Asba>b al-Nuzu>l

1. Definisi asba>b al-Nuzu>l

Asba>b al-Nuzu>l adalah peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa turunnya ayat, baik sebelum maupun sesudah turunnya, dimana kandungan ayat tersebut berkaitan atau dapat dihubungkan dengan suatu peristiwa.1

Al-Zarqa>ni> berpendapat secara subtansi yang dimaksud Asba>b al-Nuzu>l ialah sesuatu yang menjadi latar belakang turunnya suatu ayat baik berupa peristiwa atau dalam bentuk pertannyaan yang diajukan kepada Nabi SAW.2 Sedangkan Manna’ al-Qat{t{an berpendapat bahwa Asba>b Nuzu>l ialah sesuatu yang turun al-Qur’a>n berkenaan dengannya pada waktu terjadinya seperti suatu peristiwa yang tejadi atau ada pertanyaan.3

Dari berbagai definisi asba>b nuzu>l al-Qur’a>n yang dikemukakan di atas tampak tidak jauh dari yang dikemukakan oleh al-Zarqani. Artinya secara substansial, mereka sepakat bahwa yang dimaksud dengan asba>b al-nuzu>l ialah sesuatu yang menjadi latar belakang turunnya suatau ayat baik berupa peristiwa atau dalam bentuk pertanyaan yang diajukan kepada Nabi.4

1

M. Quraish S{iha>b, Kaidah Tafsi>r (Tangerang: Lentera Hati, 2013), 235.

2

Nas{iruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsi>r (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), 136.

3

Manna’ al-Qat{t{an, Pengantar Studi al-Qur’a>n (Jakarta: Pustaka al-Kauthar, 2013), 95.

4


(25)

17

2. Hubungan Sebab Akibat Dalam Kaitannya Dengan Asba>b Al- Nuzu>l Ulama telah membahas tentang hubungan antara sebab yang terjadi, dengan ayat yang turun. Hal seperti ini dianggap penting karena sangat erat kaitannya dengan penerapan hukum. Adanya perbedaan pemahaman tentang suatu ayat berlaku secara umum berdasarkan bunyi lafalnya, atau terkait sebab turunnya, mengakibatkan lahirnya dua kaidah antara lain:5

a. Kaidah al-Ibrah bi Umu>m al-Lafd{i La> Bikhus{u>s{ As-Saba>b

بﺎ ﺒ ﺠﻮ ﻆ ﺒ مﻮ ةﺮ ﺒ

(yang menjadi ibrah atau pegangan dalam memahami makna ayat ialah lafazhnya yang bersifat umum bukan sebabnya).6

b. Kaidah al-Ibrah bi Khus{u>s{ As-Saba>b La> bi Umu>m al-Lafd{i

ﻆ ﺒ مﻮ بﺎ ﺒ ﺠﻮ ةﺮ ﺒ

(yang menjadi ibrah atau pegangan dalam memahami makna ayat adalah kekhususan sebab bukan keumuman lafad).7

Dalam pengaplikasian atau pemakaian kaidah Asba>b al-Nuzu>l di atas, akan diberikan contoh ayat al-Qur’a>n surat al-Ma>’idah ayat 93, sebagaimana berikut:

ﺴ ﺸ ﺴ

ﻰﺴ ﺴ

ﺴ ِﺬ ﺒ

ﺒﻮُ ﺴآ

ﺒﻮُ ِﺴ ﺴو

ِتﺎ ﺴِ ﺎ ﺒ

ﺲﺘﺎﺴ ُ

ﺎ ﺴ ِ

ﺒﻮُِﺴ

ﺒﺴﺛِﺐ

ﺎ ﺴ

ﺒ ﺸﻮﺴـ ﺒ

ﺒﻮُ ﺴآ ﺴو

ﺒﻮُ ِﺴﺴو

ِتﺎ ﺴِ ﺎ ﺒ

ُ

ﺒ ﺸﻮﺴـ ﺒ

ﺒﻮُ ﺴآﺴو

ُ

ﺒ ﺸﻮﺴـ ﺒ

ﺒﻮُ ﺴﺸﺴأ ﺴو

ُ ﺒ ﺴو

ُِ

ﺴ ِ ِ ﺸ ُﺸﺒ

)

ﻂﺼ

(

Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan

5

Baidan, Wawasan Baru, 146.

6

Ibid.

7


(26)

18

yang saleh, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.8

Menurut pengertian arti ayat di atas, terkesan bahwa ayat itu membenarkan orang yang beriman makan atau minum apa saja, walaupun haram, selama mereka beriman dan bertakwa. Makna ini jelas salah, makna demikian adalah akibat ketiadaan pengetahuan tentang sebab turunnya ayat tersebut. Diriwayatkan bahwa ketika turun ayat pengharaman minuman keras, sementara sahabat Nabi bertanya: Bagaimana nasib mereka yang telah wafat, padahal tadinya mereka gemar meminum khamar? ayat di atas menjelaskan bahwa Allah tidak meminta pertanggungjawaban mereka yang telah wafat itu sebelum datangnya ketetapan hukum tentang haramnya makanan dan minuman tertentu selama mereka beriman.9

Demikian terlihat betapa Saba>b al-Nuzu>l dalam ayat ini dan sekian ayat yang lain amat dibutuhkan. Kendati demikian, harus diakui pula bahwa tidak semua ayat ditemukan riwayat sebabnya, sementara ada juga ayat dapat dipahami dengan baik tanpa mengetahui atau memperhatikan sebabnya.10

Dari redaksi riwayat yang menampilkan Saba>b al-Nuzu>l tersirat sifat sebab itu. Jika perawinya menyebut satu peristiwa, kemudian dia menyatakan Fa Nazalat al-Ayat

(

ﺔ ﻻا ْ َ َﺰَ َ

)

atau menegaskan bahwa ayat ini turun disebabkan oleh ini, yakni menyebutkan peristiwa tertentu, maka

8

Al-Qur’a>ndan Terjemahannya, al-Ma>idah, 5: 93. 9

S{iha>b, Kaidah Tafsi>r, 328.

10


(27)

19

berarti ayat tersebut turun semasa atau bersamaan dengan peristiwa yang disampaikan. Tetapi apabila redaksinya menyatakan nazalat al-Ayat fi

(

ﻲَ ﺔَ ﻻا ْ َ َﺰَ

)

yang menegaskan bahwa ayat ini turun menyangkut suatu hal, baru kemudian menyebut peristiwa, maka hal itu berarti bahwa kandungan ayat itu menckup peristiwa tersebut.11

Dalam konteks pemahaman makna ayat-ayat dikenal kaidah yang menyatakan:

بﺎ ﺒ ﺠﻮ ﻆ ﺒ مﻮ ةﺮ ﺒ

Patokan atau yang menjadi pegangan dalam memahami makna ayat ialah lafazhnya yang bersifat umum bukan sebabnya.

Setiap peristiwa memiliki atau terdiri dari unsur-unsur yang tidak dapat dilepaskan darinya, yaitu waktu, tempat, situasi tempat, pelaku, kejadian, dan faktor yang menyebabkan terjadinya peristiwa itu.

Kaidah di atas menjadikan ayat tidak terbatas berlaku terhadap pelaku, akan tetapi bagi siapapun selama redaksi yang digunakan ayat bersifat umum. Perlu diingat bahwa yang dimaksud dengan Khusu>s al-Saba>b adalah sang pelaku saja, sedang yang dimaksud dengan redaksinya yang bersifar umum harus dikaitkan dengan peristiwa yang terjadi, bukannya terlepas dari peristiwanya.12

Dalam Firman Allah Surat al-Ma>’idah ayat 33 diterangkan, sebagai berikut:

11

S{iha>b, Kaidah Tafsi>r, 328.

12


(28)

20

ﺎ ﺴ ِﺐ

ُءﺒ ﺴﺰﺴ

ﺴ ِﺬ ﺒ

ﺴنﻮُ ِﺜﺎ ﺴُ

ﺴ ﺒ

ُﺴﻮُﺴﺜﺴو

ﺴنﺸﻮﺴ ﺸﺴ ﺴو

ِ

ِضﺸﺜﻷﺒ

ﺒًدﺎ ﺴﺴ

ﺸنﺴأ

ﺒﻮُـ ﺴُـ

ﺸوﺴأ

ﺒﻮُ ﺴ ُ

ﺸوﺴأ

ﺴ ﺴُـ

ﺸِﻬ ِﺪﺸ ﺴأ

ﺸُﻬُ ُﺸﺜﺴأ ﺴو

ﺸِ

ﺳﺧ ِ

ﺸوﺴأ

ﺒ ﺸﻮﺴﺸـُـ

ﺴِ

ِضﺸﺜﻷﺒ

ﺴ ِ ﺴﺛ

ﺸُﻬﺴ

ﺲيﺸﺰِ

ِ

ﺎ ﺴ ﺸـﺪ ﺒ

ﺸُﻬﺴ ﺴو

ِ

ِةﺴﺮِ ﺒ

ﺲبﺒﺴﺬﺴ

ﺲ ِﻈﺴ

)

ﺼﺼ

(

Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.13

Salah satu riwayat menyatakan bahwa ayat ini turun berkaiatan dengan hukuman yang diterapkan oleh beberapa sahabat Nabi dalam kasus suku al-‘Urainiyin. Imam al-Bukhari meriwayatkan bahwa sekelompok orang dari suku ‘Ukal dan ‘Urainah datang menemui Nabi setelah menyatakan bahwa mereka telah Islam. Mereka mengadu tentang sulitnya kehidupan mereka. Maka Nabi memberi mereka sejumlah unta agar dapat mereka manfaatkan. Di tengah jalan mereka membunuh pengembala unta itu, bahkan mereka murtad. Mendengar kejadian tersebut Nabi mengutus pasukan berkuda yang berhasil menangkap mereka sebelum sampai di perkampungan mereka. Pasukan itu, memotong tangan, tangan dan kaki, serta mencungkil mata mereka dengan besi yang dipanaskan, kemudian ditahan hingga meninggal.14

Apabila memahami makna memerangi Allah dan Rasul-Nya dan melakukan perusakan di bumi dalam pengertian umum, terlepas dari Saba>b al-Nuzu>l, maka banyak sekali kedurhakaan yang dapat dicakup oleh redaksi

13

Al-Qur’a>n dan Terjemahannya, al-Ma>idah, 5: 33.

14


(29)

21

tersebut. Keumuman lafad itu terkait dengan bentuk peristiwa yang menjadi

Saba>b al-Nuzu>l sehingga ayat ini hanya berbicara tentang sanksi hukum bagi pelaku yang melakukan perampokan yang disebutkan oleh sebab di atas, yaitu kelompok orang dari suku ‘Ukal dan ‘Urainah, serta semua yang melakukan seperti apa yang dilakukan oleh rombongan kedua suku tersebut (perampokan).15

Sementara Ulama masa lampau tidak menerima kaidah tersebut. Mereka menyatakan bahwa:16

ِﻆﺸﺴﺸﺒ ِمﺸﻮُُ ِ ﺴ ِ ﺴ ﺒ ِﺠﺸﻮُ ُِ ة ﺴﺮﺸـِﺴﺒ

Pemahaman ayat ialah berdasarkan sebabnya bukan redaksinya, kendati redaksinya bersifat umum.17

Jadi menurut mereka ayat di atas hanya berlaku terhadap kedua suku tersebut, yakni suku ‘Ukal dan ‘ Urainah. Sementara sebagian Ulama berkata bahwa kendati kedua rumusan diatas bertolak belakang, tetapi hasilnya akan sama, karena hukum perampokan yang dilakukan selain mereka dapat ditarik dengan menganalogikan kasus baru dengan kasus turunnya ayat di atas.18

B. Muna>sabat

1. Definisi Muna>sabat

15

S{iha>b, Kaidah Tafsir, 239.

16

Ibid. 17

Ibid.

18


(30)

22

Tanas>bub dan muna>sabat berasal dari akar kata yang sama, yaitu , al-muna>saba>t, mengandung arti berdekatan atau bermiripan. Oleh karena itu ungkapan ن ﺎ ن si fulan itu mirip dengan fulan yang lain,

dua orang yang bersaudara disebut satu nasi>b ( ) karena keduanya

bermiripan.19As-Suyu>t{i mengatakan muna>sabat dalam bahasa adalah kepadanan dan kedekatan. Dan tempat kembalinya pada ayat-ayat adalah kepada suatu makna yang berhubungan dengannya, baik yang umum atau yang khusus, yang bersifat logis atau indrawi atau hubungan-hubungan yang lain atau juga keterkaitan yang besifat logika seperti antara sebab dengan akibat, antara dua hal yang sepadan, dua hal yang berlawanan dan sebagainya.20

Dari pengertian lughawi itu diperoleh gambaran bahwa tana>sub atau

muna>sabat itu terjadi minimal antara dua hal yang mempunyai pertalian, baik dari segi bentuk lahir, ataupun makna yang terkandung dalam kedua kasus itu. Al-Muna>sabat fi al-Illat dalam kajian us{ul fiqh (qiyas) ialah titik kesamaan atau kemiripan dua kasus dalam suatu hukum. Jadi muna>sabat

seperti digambarkan itu bisa dalam bentuk konkrit (hissi) dan bisa pula dalam bentuk abstrak (‘aqli atau khayali).21

Kedua bentuk muna>sabat itu ditemukan dalam al-Qur’a>n. Dari itu al-Alma’i mendefinisikan muna>sabat itu dengan “pertalian antara dua hal

19

Badruddi>n Abi> Abdilla>h al-Zarkashi, al-Burha>n Fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, ed. Muhammad Abu> al-Fadl Ibrahi>m (Mesir: Isa al-Ba>bal Halabi, t.t.), 35

20

Jala>luddin As-Suyu>t{i>, al-Itqa>n Fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n,Terj. Farikh Marzuki, dkk(Surabaya: Bina Ilmu, 2008), 529.

21


(31)

23

dalam aspek apapun dri berbagai aspeknya”.22Definisi ini umum sekali, karena itu bila diterapkan pada ayat-ayat al-Qur’a>n maka dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan muna>sabat dalam kajian ilmu tafsir ialah pertalian yang terdapat di antara ayat-ayat al-Qur’a>n dan surat-suratnya, baik dari sudut makna, susunan kalimat, maupun letak surat, ayat dan sebagainya. Inilah yang dimaksud Manna’ al-Qat{t{an dengan mengatakan bahwa muna>sabat mengandung pengertian ada aspek hubungan antara satu kalimat dengan kalimat lain dalam satu ayat, atau antara satu ayat dengan ayat lain dalam himpunan beberapa ayat ataupun hubungan surat dengan surat yang lain.23

Adapun Quraish S{ih{ab dalam mengedepankan pengertian

muna>sabat dalam ulu>m al-Qur’a>n adalah kemiripan-kemiripan yang terdapat pada hal-hal tertentu dalam al-Qur’a>n baik surat maupun ayat-ayat yang menghubungkan uraian satu dengan yang lainnya.

Dari beberapa definisi tentang mun>asabat di atas kendati tampil dalam redaksi yang berseda-beda, namun hakikatnya tak jauh berbeda. Bila diteliti lebih jauh, kesamaan itu dapat mengacu pada tiga kata kunci yaitu:

al-muraqa>bat (berdekatan), al-mushakalat (bermiripan), al-irtiba>t

(bertalian). Tartib al-Qur’a>n sebagaimana tersaji dalam mushaf yang ditemukan sekarang merupakan susunan yang mempunyai pertalian yang demikian kuatnya sehingga ayat-ayat dan surat-surat di dalamnya terasa sekali mempunyai hubungan erat satu sama lain.

22

Baidan, Wawasan Baru, 184.

23


(32)

24

2. Bentuk-bentuk Tana>sub

a. Muna>sabat antara surat dengan surat

Muna>sabat ini seperti surat-surat al-Fa>tihah, al-Baqarah, dan Ali Imran.24 Penempatan ketiga surat ini secara berurutan menunjukkan bahwa ketiganya mengacu pada tema sentral yang memberikan kesan masing-masing surat saling menyempurnakan bagi tema tersebut. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh al-Suyu>t{i> bahwa al-Fa>tihah mengandung tema sentral yaitu: ikrar ketuhanan, perlindungan kepada Tuhan, dan terpelihara dari agama Yahudi dan Nasrani. Sedangkan surat al-Baqarah mengandung tema sentral pokok-pokok (akidah) agama, sementara surat Ali Imran mengandung tema sentral menyempurnakan maksud yang terdapat dalam pokok-pokok agama itu.25

b. Muna>sabat antara nama surat dengan tujuan turunnya.

Keserasian serupa itu menurut al-Biqa’i merupakan inti pembahasan surat tersebut serta penjelasan menyangkut tujuan surat itu. Sebagaimana diketahui surat kedua dalam Qur’a>n diberi nama al-Baqarah yang berarti lembu betina. Cerita tentang lembu betina yang terdapat dalam surat itu pada hakikatnya menunjukkan kekuasaan Allah dalam membangkitkan orang yang telah mati, sehingga dengan demikian tujuan dari surat al-Baqarah adalah menyangkut kekuasaan Tuhan dan keimanan pada hari kemudian.26

24

Baidan, Wawasan Baru, 192.

25

Ibid.

26


(33)

25

c. Muna>sabat antar kalimat dengan kalimat dalam satu ayat.

Muna>sabat ini dapat dilihat dari dua segi, yakni a) muna>sabat

yang secara jelas dapat dilihat dan dikuatkan dengan huruf at{af, dan b)

muna>sabat dari dua kalimat dalam satu ayat tanpa huruf at{af. d. Muna>sabat antara ayat dengan ayat dalam satu surat.

Sebagai contoh dari muna>sabat ini ialah seperti ayat-ayat di awal surat al-Baqarah ayat 1 sampai ayat 20. Ayat-ayat tersebut dapat dikategorikan ke dalam tiga kelompok: pertama, berbicara tentang keimanan dari ayat 1-5. kedua, berbicara tentang kekufuran ayat 6-7 dan

ketiga, berbicara tentang kemunafikan dari ayat 8-20. Oleh karena itu, untuk membedakan ketiga kelompok ayat itu seara jelas, perlu ditarik hubungan ayat-ayat itu.

e. Muna>sabat antar fa>s{ilat (penutup) ayat dengan isi ayat tersebut.

Muna>sabat dalam bentuk ini diturunkan dalam berbagi pola yaitu:

a) Tamkin (memperkokoh), artinya dengan fa>s{ilat suatu ayat maka makna yang terkandung di dalamnya menjadi lebih kokoh dan mantap seperti kata اﺰ ﺰ ﺎ ﻮ (Maha kuat dan perkasa) dalam menutup ayat 25 dari surat al-Ahzab ( ﺎ ﻮ ﷲ نﺎ و لﺎ ا ﺆ ا ﷲ ﻰ و

اﺰ ﺰ ). Dijelaskan dalam ayat ini bahwa Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan. Hal itu bukan karena mereka lemah, melainkan untuk menunjukkan kemaha kuasaan dan keperkasaan Allah. Inilah pemahaman yang tersirat dalam fa>s{ilat ayat itu.


(34)

26

b) Ighal (penyesuaian dengan fasilat ayat sebelumnya,27 seperti اﻮ و اذإ

ﺮ ﺪ (apabila mereka berpaling membelakang) fas>i{lat ayat 80 dari al-Naml ﺮ ﺪ ﻮ و اذإ ءﺎ ﺪ ا ﺼ ا و . Dari sudut konotasi,

fas>ilat itu tidak memberikan makna baru, melainkan sekadar tambah penjelasan tentang arti ﺼ ا (orang tuli). Namun dari segi lafalnya, tambahan tersebut menjadikan fasilat ayat ini amat cocok dengan fa>s{ilat ayat 80 itu, yakni ا ﺤ ا.

c) Tas{dir, menyebut lafad fa>s{ilat dalam celah-celah redaksi ayat yang ditempati oleh fa>s{ilat itu baik di awal, di tengah, maupun di akhirnya.

d) Makna yang terkandung dalam fas{ilat telah disyaratkan dalam redaksi ayat yang ditempati fa>s{ilat itu seperti dalam ayat 37 dari ya>sin: نﻮ ﻈ ھاذﺈ رﺎﮭ ا ﮫ ﺢ ا ﮭ ﺔ او. fas>ilatنﻮ ﻈ (mereka dalam kegelapan) sama artinya dengan رﺎﮭ ا ﮫ ﺢ (kami tanggalkan darinya siang) karena apabila siang telah hilang pasti gelap langsung datang tanpa perantara. Jadi jelas kandungan makna fasilat نﻮ ﻈ tergambar dalam lafad رﺎﮭ ا ﮫ ﺢ tersebut.

f. Muna>sabat awal uraian surat dengan akhirnya

Adapun contoh muna>sabat ini seperti dalam ayat نﻮ ﺆ ا ﺢ أ ﺪ yang terletak di awal surat tersebut yang menegaskan bahwa orang-orang kafir tidak beruntung نوﺮ ﺎ ا ﺢ ﮫ إ. Pertalian tersebut terasa sekali

27


(35)

27

karena antara iman dan kufur tak ada batas, sama halnyadengan perumpamaan terang dan gelap.

g. Muna>sabat antara akhir suatu surat dengan awal surat berikutnya. Adapun muna>sabat ini seperti akhir surat an-Nisa>’ yang berisi perintah agar mentauhidkan Allah dan beribadah hanya kepada-Nya serta berlaku adil terhadap manusia, khususnya dalam pembagian harta warisan (ayat 172-174 dan 176). Kemudian pada awal al-Ma>idah penegasan-penegasan tersebut disusul pula dengan perintah memenuhi semua janji-janji baik janji kepada Allah maupun terhadap manusia ( ﺎﮭ أ ﺎ

ﺎ اﻮ وأ اﻮ ا ﺬ ا

دﻮ ). Dengan demikian tampak dan terasa dalam dalam benak pembaca dan pendengarnya suatu hubungan yang kuat dan serasi antara kedua surat itu.

Begitulah semua surat al-Qur’a>n disusun dalam mushaf sehingga terasa sekali al-Qur’a>n itu sebagai satu kesatuan yang utuh dari awal (surat al-Fa>tihah) sampai akhir surat an-Nisa>’.28

28


(36)

BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG

TRAFFICKING

A. Definisi dan Unsur-unsur Trafficking

Definisi trafficking adalah konsep dinamis dengan wujud yang berubah dari waktu kewaktu, sesuai perkembangan ekonomi, sosial dan politik. Sampai saat ini tidak ada definisi trafficking yang disepakati secara internasional, sehingga banyak perdebatan dan respon tentang definisi yang dianggap paling tepat tentang fenomena kompleks yang disebut trafficking ini.1

Misalnya Caouette memberi batasan tentang perdagangan sebagai suatu perekrutan dan transfortasi orang atau sekelompok orang di dalam dan melawati perbatasan nasional menggunakan kekerasan terhadap orang lain. para korban dirayu,ditipu,diculik atau dalam berbagai cara diakali untuk masuk prostitusi.2

Menurut Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) pasal 1 ayat 1, dedinisi trafficking adalah tindakan perekrutaan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penculikan, penipuan, penyekapan, peyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan hutang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh peretujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara

1

Nurani, Trafficking: Sebuah Pelanggaran Hak Asasi Manusia (Yogyakarta: Elsaq Press, 2011), 299.

2

These M Caouette, Needs Assesment On Cross Border Trafficking In Women And Children In The Mekkong Sub Region ( Bangkok: Thailand, 1998), 9.


(37)

29

maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.3

Pada tahun 1994 PBB mendefinisikan trafficking sebagai pergerakan dan penyelundupan orang secara sembunyi-sembunyi melintasi batas-batas negara dan internasional, kebanyakan berasal dari negara berkembang dan negara-negara yang ekonominya berada dalam masa transisi, dengan tujuan untuk memaksa perempuan dan anak-anak masuk ke dalam sebuah situasi secara seksual maupun ekonomi terkompresi, dan situasi eksploitatif demi keuntungan perekrut, penyelundup, dan sindikat kriminal seperti halnya aktivitas ilegal lainnya yang terkait dengan perdagangan (trafficking), misalnya pekerja rumah tangga paksa, perkawinan palsu, pekerja yang diselundupkan dan adopsi palsu.4

Menurut resolusi senat AS no. 2 tahun 199, trafficking adalah salah satu atau lebih bentuk penculikan, penyekapan, perkosaan, penyiksaan, buruh paksa atau praktek-praktek seperti perbudakan dan menghancurkan hak asasi manusia.

Trafficking memuat segala tindakan yang termasuk dalam proses rekruitmen atau pemindahan orang di dalam ataupun antar negara, melibutkan penipuan , paksaan atau dengan tujuan menempatkan orang-orang pada situasi penyiksaan atau eksploitasi seperti prustitusi paksa, penyiksaan dan kekejaman luar biasa, buruh di pabrik dengan kondisi buruk atau pekerja rumah tangga yang dieksploitasi.5

3

Zunly Nadia, “Perlindungan Kehidupan Perempuan Dalam Keluarga dan Masyarakat” Dalam Jurnal Musawa , Vol. 10, No. 2, Juli 2011.

4

Anonim, Human Right in Practice A Guide To Assist Trafficked Women And Children

(Bangkok: Global Alience Trafficking in Woman, 1999), 12.

5


(38)

30

Sebelum Undang-undang tindak pidana disahkan, pengertian tindak pidana perdagangan orang (trafficking) yang umum paling banyak digunakan adalah protokol PBB. Adapun menurut protokol PBB tersebut pengertian trafficking

adalah:

a. Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penjualan, penampungan atau penerimaan seseorang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk lain dari pemaksaan, penculikan, penipuan, kebohongan atau penyaalah gunaan kekuasaan atau posisi rentan atau memberi atau menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan agar dapat memperoleh persetujuan dari seseorang yang berkuasa atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitassi termasuk, paling tidak eksploitasi untuk melacurkan orang lain atau bentuk-bentuk lain dari eksploitasi seksual, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek serupa perbudakan, pengahambaa atau pengambilan organ tubuh.

b. Persetujuan korban perdagangan orang terhadap eksploitasi yang dimaksud yang dikemukakan dalam sub line (a).

c. Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan atau penerimaan seorang anak untuk tujuan eksploitasi dipandang sebagai perdagangan orang bahkan jika kegiatan ini tidak melibatkan satu pun cara yang dikemukakan dalam sub babline (a).

d. Anak adalah setiap orang yang berumur di bawah 18 tahun.6

6

Ruth Rosenberg, Perdagangan Perempuan dan Anak di Indonesia (Jakarta: USAID, 2003), 14-15.


(39)

31

Pengertian di atas tidak menekankan pada perekrutan dan pengiriman yang menentukan suatu perbuatan tersebut adalah tindak pidana perdagangan orang, tetapi juga kondisi eksploitatif terkait ke dalam mana orang diperdagangkan.

Dari pengertian tersebut ada tiga unsur yang berbeda yang saling berkaitan satu sama lainnya, yaitu:7

1. Tindakan atau perbuatan yang dilakukan, yaitu perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan atau penerimaan seseorang.

2. Cara: menggunakan ancaman, penggunaan kekerasa atau bentuk-bentuk paksaan lain, penculikan, tipu daya, penipuan, pemberian atau penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk memperoleh persetujuan dari orang-orang.

3. Tujuan atau maksud, untuk tujuan eksploitsi. Eksploitasi mencakup setidak-tidaknya eksploitasi pelacuran dari orang lain atau bentuk-bentuk eksplotasi seksual lainnya, kerja paksa, perbudakan, pengahambaan atau pengambilan organ tubuh.

Dari definisi di atas ada beberapa hal yang menjadi ciri utama dari beberapa pengertian trafficking yaitu:

1. Adanya proses perekrutan, pengiriman, eksploitasi, pemindahan, penampungan atau penerimaan manusia baik itu lintas wilayah maupun negara.

2. Ada pihak-pihak yang mendapatkan keuntungan dengan memanfaatkan perempuan maupun anak untuk melakukan sebuah pekerjaan (dibayar atau

7

Farhana, Aspek Hukum Perdagangan Orang di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), 21.


(40)

32

tidak), sebagai hubungan kerja yang eksploitatif (secara ekonomi atau seksusal), baik itu TKW, prostitusi, buruh manual atau industri, perkawinan paksa, atau pekerjaan lainnya.

3. Ada korban baik perempuan maupun anak yang karena keperempuanan dan kekanakannya dimanfaatkan dan di eksploitasi baik secara ekonomi maupun seksual, guna kepentingan pihak-pihak tertentu dengan cara paksa, disertai ancaman, maupun tipuan ataupun penculikan, penipuan, kebohongan, kecurangan atau penyalahgunaan kekuasaan. Dalam hal ini termasuk juga terhadap beberapa korban yang menyatakan persetujuan yang mana dipahami bahwa situasi-situai tertentu yang mengakibatkan para korban setuju, misalnya karena kebutuhan ekonomi, ada tekanan kekuasaan dan lain sebagainya.

Melihat dari beberapa definisi yang telah dipaparkan tentang pengertian

trafficking di atas dapat diambil benang merahnya bahwa kategori trafficking akan terpenuhi apabila memenuhi tiga unsur yaitu: proses, jalan atau cara dan tujuan. Proses disni meliputi perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan dan penjualan, sedangkan cara atau jalannya ialah dengan kekerasan,pemaksaan, penipuan, kebohongan dan penculikan. Adapun tujuannya adalah untuk eksploitasi, baik seksual atupun ekslpoitasi yang lain seperti perbudakan dan menjadikan pelayan.


(41)

33

B. Bentuk dan Modus Trafficking

1. Bentuk Trafficking

Seiring berjalannya waktu bentuk dan modus trafficking pun semakin komplek, banyak model dan bentuk perdagangan yang dipergunakan agar misi trafficking berhasil. Ini tidak dapat dipungkiri karena sudah menjadi fenomena yang menjamur diberbagai belahan dunia termasuk Indonisia. Adapun bentuk-bentuk tarfficking diantaranya adalah:

a) Eksploitasi Seksual

Eksploitasi seksual dibedakan menjadi dua yaitu: Pertama,

eksploitasi seksual komersial untuk prostitusi. Misalnya perempuan yang miskin dari kampung atau mengalami perceraian karena akibat kawin muda atau putus sekolah kemudian diajak bekerja ditempat hiburan kemudian dijadikan pekerja seks atau panti pijat. Korban bekerja untuk mucikari atau disebut juga germo yang punya peratutan yang eksploitatif, misalnya jam kerja yang tak terbatas agar menghasilkan uang yang jumlahnya tidak ditentukan.8 Korban tidak berdaya untuk menolak melayani laki-laki hidung belang yang menginginkan tubuhnya dan jika ia menolak maka sang mucikari tidak segan-segan untuk menyiksanya karena biasanya mereka punya bodigard-budigard yang mengawasi mereka. Kesempatan untuk melepaskan diri sangatlah sulit sekali, sehingga korban bagaikan buah si malakama. Jika korban protes maka mereka diharuskan membayar sejumlah uang sebagai ganti dari biaya

8


(42)

34

hidup yang digunakan oleh korban. Dalam prakteknya korban dalam posisi yang lemah dan diskenariokan untuk selalu tergantung atau merasa membutuhkan aktor baik untuk kebutuhan rasa aman maupun kebutuhan secara ekonomis.9

Kedua, eksploitasi non komersial, misalnya pencabulan terhadap anak, perkosaan dan kekerasan seksual. Banyak pelaku pencabulan dan perkosaan yang dapat dengan bebas menghirup udara kebebasan dengan tanpa dijerat hukum. Sementara perempuan sebagai korban harus menderita secara lahir dan batin seumur hidup bahkan ada yang putus asa dan mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri, ada juga yang karena tidak sanggup menghadapi semuanya terganggu jiwanya. Di Indonesia keberadaan perempuan yang dijerumuskan ke dalam prostitusi yang diperdagangkan seksualitasnya dan perempuan yang digunakan untuk memproduksi bahan-bahan pornugrafi merupakan fakta yang tidak terbantahkan. Dalam banyak kasus, perempuan semula dijanjikan oleh pihak-pihak tertentu untuk bekerja sebagai buruh migran, pembantu rumah tangga, pekerja restoran, pelayan toko, dan lain sebagainya. tetapi kemudian dipaksa pada industri seks pada saat mereka tida pada daerah tujuan.

Eksploitasi seksual baik yang komersial maupun yang non komersial kedua-duanya sama-sama menjadi penyakit penyebar HIV dan

9

Suyanto, Perdagangan Anak Perempuan, Kekerasan Seksual dan Gagasan Kebijakan

(Yogyakarta: Kerjasama Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM dengan Ford Foundation, 2002), 25.


(43)

35

AIDS, sebuah virus yang menggerogoti sistem kekebalan tubuh sehingga jika seseorang sudah tertular maka kekebalan tubuhnya sudah tidaki ada lagi. Dari tahun ke tahun penularan penyakit ini perkembangannya semakin pesat, yang tertular tidak hanya di kalangan masyarakat kota tapi juga sampai ke pelosok desa seperti papua.

Ini adalah masalah yang sangat besar, satu sisi agama dan negara mencegah dengan peraturan-peraturannya namun disisi lain kejahatan semakin merajalela dan semakin canggih.

b) Pekerja Rumah Tangga

Pembantu rumah tangga yang bekerja baik di luar maupun di dalam wilayah Indonesia dijadikan korban kedalam kondisi kerja yang dibawah paksaan, pengekangan dan tidak diperbolehkan menolak bekerja. mereka bekerja dengan jam kerja yang panjang, upah yang tidak dibayar.10

Selama ini juga pekerja rumah tangga tau yang disebut pembantu tidaklah dianggap sebagai pekerja formal melainkan sebagai hubungan informal antara pekerja dan majikan, dan pekerjaan kasar yang tidak membutuhkan keterampilan. upah yang diterima sangat rendah dibawah UMR yang tidak sebanding dengan pekerjaan yang dilakukan, dimana jam kerja yang sangat panjang, tidak ada libur, bahkan banyak yang tidak ada waku untuk istirahat. Perlakuan yang lebih buruk lagi adalah mereka diperlakukan layaknya budak, baik ketika menyuruh suatu pekerjaan atau

10

M. Shofwan, “Trafficking Perempuan dalam Hadis: Kajian Ma’a>ni Hadi>th”, Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta 2009. hlm, 19.


(44)

36

dalam hal makan, di mana mereka diberi makan yang sedikit dan tidak memenuhi standar gizi yang dapat memberikan asupan tenaga, dilarang menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya bahkan di luar negeri seringkali majikan dan agen menyita paspor TKW agar tidak bisa kabur jika mereka diperlakukan oleh semua majikan karena ada juga majikan yang baik dalam memperlakukan pembantu rumah tangganya bahkan menganggapnya sebagai keluarga.

c) Penjualan Bayi

Di sejumlah negara maju, motif adopsi anak pada keluarga modern menjadi salah satu penyebab maraknya incaran trafficker. Keluarga modern yang enggan mendapatkan keturunan dari hasil pernikahan menjadi rela mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk mengadopsi anak. Kebutuhan adopsi massal itulah yang menyebabkan lahirnya para penjual bayi, calo-calo anak dan segenap jaringannya.

Di sisi lain, negara-negara berkembang masih dipenuhi warga miskin dengan segala persoalannya, yang kemudian menjadi sasaran pencarian anak-anak yang akan diadopsi melalui proses perdagangan. Misalnya hilangnya 300 anak pasca sunami di Aceh yang kemudian dilarikan oleh LSM. Banyak pihak yang menduga anak itu dilarikan ke Amerika.11

Selama tahun 2007, gugus tugas anti trafficking Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (GTA MNPP) menemukan sekitar 500 anak

11


(45)

37

Indonesia yang diperdagangkan ke Swedia. Para trafficker tidak hanya mengambil anak-anak usia belita, usia sekolah dan remaja saja janinpun bisa mereka tampung.

Dari sumber yang sama menyebutkan bahwa pada tahun 2003 di perbatasan Indonesia-Malaysia harga orok bermata sipit dan berkulit putih dihargai sekitar 18.000 -25.000 Ringgit Malaysia. Sedangkan untuk orok bermata bundar dan berkulit hitam dihargai 10.000-15.000 Ringgit Malaysia.

Cara atau modus penjualan bayi bervariasi. Misalnya, beberapa buruh migran Indonesia yang menjadi korban sebagai perkawinan palsu saat di luar negeri, dipaksa untuk menyerahkan bayinya untuk diadopsi secara illegal. Dalam kasus lain, ibu rumah tangga Indonesia ditipu oleh pembantu rumah tangga kepercayaannya yang melarikan bayi majikannya kemudian menjual bayi tersebut kepasar gelap.

d) Jeratan Hutang

Jeratan hutang adalah salah satu bentuk dari perbudakan tradiional, di mana korban tidak bisa melarikan diri dari pekerjaan atau tempatnya bekerja sampai hutangnya lunas. Ini terjadi mislanya pada para TKW, di mana ketika mereka berangkat ke negara tujuan dibiayai oleh PJTKI dan mereka harus mengganti dengan gaji sekitar empat bulanan yang padahal jika dihitung-hitung baiaya yang dikeluarkan oleh PJTKI tidak sebanyak gaji TKW tersebut. Ini menjadikan para TKW harus tetap bekerja apapun kondisi yang dihadapi di lapangan sampai


(46)

38

habis masa kontrak. Karena itulah jeratan hutang dapat mengarah pada kerja paksa dan membuka kemungkinan terjadinya kekerasan dan eksploitasi terhadap pekerja.12

Pekerja kehilangan kebebasannya untuk bekerja karena orang yang menghutangkan ingin memastikan bahwa pekerja tidak akan lari dari hutangnya. Meskipun secara teori mereka hutang tersebut dapat dibayarkan dalam jangka waktu tertentu tetapi hutang tersebut akan terus ditingkatkan sampai si peminjam tidak dapat melunasinya.

e) Pengedar Narkoba dan Pengemis

Dunia saat ini sudah diserang virus berbahaya yang namanya narkoba. Narkoba sudah mengglobal di seluruh dunia dan sulit untuk dicegah penyebarannya mulai dari kota besar sampai kepelosok desa. karena secara materi hasil dari penjualan narkoba sangat fantastis dibanding dengan pekerjaan atau bisnis apapun.

Inilah salah satu yang menyebabkan orang-orang terjun kelingkungan mafia, karena satu sisi hasilnya sangat menggiurkan dan disisi lain ia sulit menemukan pekerjaan yang layak dengan penghasilan besar walaupun resikonya juga sangat besar. Kemudian juga dimanfaatkan oleh bandar-bandar narkoba untuk mengedarkan pil setannya juga menjadi penggunanya. Misalnya banyak kasus dalam tayangan berita di mana muda mudi tertangkap menyeludupkan narkoba termasuk heroin atau ganja tertangkap polisi. Mereka sangat sulit sekali

12


(47)

39

untuk membuka siapa yang ada dibalik mereka, karena biasanya mereka sudah diikat dengan perjanjian untuk tidak membuka dan kadangkala mereka sendiri tidak tau siapa pihak pertama atau pemilik barang haram tersebut. Akhirnya merekalah yang harus menerima resikonya sementara bandar narkobanya bebas melenggang.

Pekerjaan lain yang juga menjadi penyakit adalah adanya sindikat bagi para pengemis. Banyak perempuan-perempuan di lampu merah yang bahkan menggendong anak kecil dengan penampilan yang amat sangat tidak layak untuk masa sekarang ini yang serba modern berburu kepingan rupiah dari mereka-mereka yang punya rasa iba. Ternyata banyak diantara mereka yang dikordinir dan ditempatkan ditempat-tempat yang sudah ditentukan. Untuk mengatasi masalah ini, dibutuhkan kerja keras dari semua pihak dengan sungguh-sungguh dan bukan penyelesaian yang hanya bersifat formalitas belaka. Memang sudah ada upaya dari Dinas Sosial tapi ini mungkin baru sedikit karena buktinya semakin hari perempuan yang mengemis di jalanan makin banyak.

f) Pengantin Pesanan Pos (Mail order bride)

Kasus ini dapat terjadi salah satunya adalah karena tingginya mahar yang diminta oleh pihak perempuan, sementara laki-laknya tidak mampu secara ekonomi untuk memenuhinya sedangkan usia mereka lebih dari cukup untuk menikah. Maka salah satu caranya adalah dengan membeli perempuan dari luar negeri untuk dinikahinya karena tidak perlu memberikan mahar yang besar dan lebih mau menuruti apa maunya si


(48)

40

laki-laki. Ini dialami oleh seorang TKW dimana ia menceritakan bahawa ial telah menikah dengan laki-laki asal timur tengah, namun ironinya ketika perempuan tersebut hamil ia dipulangkan ke Indonesia dengan tanpa sepersenpun diberi nafkah dan biaya persalinan.13

Ada dua metode yang dikembangkan dalam melihat perkawinan sebagai salah satu penipuan. Pertama, perkawinan digunakan sebagai jalan penipuan untuk mengambil perempuan tersebut dan membawa ke wilayah lain yang sangat asing, namun sesampai di wilayah tujuan perempuan tersebut disalurkan dalam industri seks atau prostitusi.14 Ini sangat ironi sekali dan sangat bias gender, dimana seorang suami yang harusnya berkewajiban mencari nafkah untuk keluarga justru sebaliknya ia menghambur-hamburkan uang yang dikumpulkan istri. Mungkin ini karena pihak laki-laki merasa ia sudah membeli si perempuan sehingga ia menganggap bahwa perempuan itu adalah budaknya yang bisa bebas ia perlakukan. Kedua, adalah perkawinan untuk memasukkan perempuan ke dalam rumah tangga untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan domistik yang sangat eksploitatif bentuknya. Fenomina pengantin pesanan ini banyak terjadi dalam masyarakat keturunan cina di Kalimantan Barat dengan para suami berasal dari Taiwan walaupun dari Jawa Timur diberitakan telah terjadi beberapa kasus serupa.15

13

Nurani, Trafficking,308.

14

Farhana, Aspek Hukum Perdagangan Orang, 47.

15


(49)

41

Data dari Pusat Studi Wanita Universitas Tanjung Pura, setiap tahun kira-kira 50 perempuan kembali ke Singkawang dari Taiwan telah mengalami kekerasan dan penipuan. Kekerasan dan penipuan yang dilaporkan bermacam-macam yaitu dinikahkan dengan laki-laki yang lebih tua, berlainan dengan apa yang diberitahukan sebelumnya atau dengan laki-laki yang cacat mental atau fisik atau dinikahkan secara sah sebagai perempuan simpanan atau menjadi pelayan tanpa bayaran atau bekerja di pabrek dan dipaksa bekerja di prostitusi.16

g) Donor Paksa Organ Tubuh

Perdagangan organ tubuh manusia kini semakin merajalela seiring dengan kemajuan teknologi dibidang kedokteran, misalnya saja teknologi cangkok jantung, ini biasanya dipesan untuk mereka para penderita jantung yang berkantong tebal dan “turis cangkok” sebutan untuk para pasien yang datang ke negara-negara miskin untuk membeli organ tubuh orang-orang miskin. Di Indonesia, modus penjualan organ tubuh ini beranika ragam, ada yang menjual karena terdesak kebutuhan ekonomi, misalnya yang dilakukan seorang ibu demi memenuhi biaya hidup, pendidikan bahkan untuk pengobatan penyakit anaknya ia rela menjual organ ginjalnya atau juga yang dilakukan dengan cara menipu sang donor. Bahkan ditengarai ada kasus pembubuhan dengan tujuan mengambil organ tubuh korban kemudian dijual.

16


(50)

42

Modus lain adalah memanfaatkan organ tubuh para TKW yang meninggal di luar negeri. Untuk kasus ini seringkali ketika jenazah sampai di dalam negeri biasanya pihak keluarga tidak diperkenankan meliahat atau membuka peti jenazah. Sebenarnya ini sering terjadi tapi karena ketidak tahuan pihak keluarga akhirnya pihak keluarga hanya menuruti saja, padahal mungkin saja jenazah yang cukup lama tapi juga karena organ tubuh mayat sudah diambil untuk dijual yang mingkin saja dilakukan oleh pihak majikan ataupun pihak rumah sakit yang sudah bekerjasama dengan sindikat penjualan organ tubuh manusia.

2. Modus Trafficking

Dalam menjalankan operandinya para trafficker sering menggunakan mudus berupa iming-iming. Di antara modus-modusnya antara lain yaitu: a. Tawaran Kerja

Salah satu modus human trafficking yang sering dilakukan adalah penawaran kerja ke luar pulau atau luar negeri dengan gaji tinggi. Pelaku biasanya mendatangi rumah calon korbannya dan saat pemberangkatan juga tanpa dilengkapi surat keterangan dari pemerintah desa setempat. Cara tersebut dilakukan untuk menghilangkan kecurigaan sejumlah pihak, termasuk memberi kemudahan kepada keluarga korban untuk dapat diterima kerja tanpa harus mengurus sejumlah surat kelengkapan kerja di luar daerah atau negeri. Dari pihak orang tua korban sudah tidak


(51)

43

memperdulikan aturan atau kelengkapan surat-surat kerja karena sudah termakan oleh bujukan pelaku.17

Modusnya adalah para calo atau perantara memberi iming-iming bagi para korban dengan menawarkan bekerja di mall dan salon dengan gaji besar. Selanjutnya korban diserahkan pada germo yang kemudian dipekerjakan secara paksa sebagai wanita penghibur di tempat-tempat hiburan malam.

Selain aspek pemaksaan yang menyalahi aturan, aspek upah juga sangat merugikan para korban. Mereka hanya mendapatkan sedikit upah dari transaksi. pdahal sekali kencan korban diberi uang oleh hidung belang sekitar kurang lebih 500 ribu sekali kencan. Hal ini biasanya dijadikan dalih oleh para germo sebagai pembiayaan fasilitas antar jemput, baju, dan rias bagus serta modis agar lebih menarik.

b. Bius

Rayuan dan iming-iming pekerjaan bukan lagi menjadi modus yang paling sering dilakukan dalam human trafficking, tetapi saat ini orang bisa menjadi korban perdagangan manusia dengan kekerasan seperti dibius.

Modus ini menggunakan kekerasan, cara modus ini berawal dari penculikan terhadap korban, kemudian pelaku membiusnya dengan suntikan ataupun dengan alat yang lain yang digunakan untuk membius. Kemudian korban dibawa dan dipertemukan dengan sang bos. Setelah itu

17


(52)

44

korban diserahkan jaringan lainnya untuk dibawa ke negara lain tanpa membawa paspor untuk dipekerjakan secara paksa sebagai pekerja seks.

C. Faktor-faktor Pendorong Terjadinya Trafficking

Terjadinya Trafficking baik itu berupa kasus kekerasan maupun eksploitasi terhadap anak-anak dan perempuan disebabkan oleh beberapa faktor khususnya di Indonisia diantaranya ialah sebagai berikut:

1. Faktor Ekonomi

Ekonomi yang minim atau disebut kemiskinan menjadi faktor penyebab utama terjadinya Human Trafficking. Ini menunjukkan bahwa perdagangan manusia merupakan ancaman yang sangat membahayakan bagi orang miskin. Sudah bukan menjadi rahasia umum lagi bahwa rendahnya ekonomi membawa dampak bagi prilaku sebagian besar masyarakat. Ekonomi yang pas-pasan menuntut mereka untuk mencari uang dengan berbagai cara. Selain itu budaya konsumvitisme, juga ikut andil menambah iming-iming masyarakat untuk mencari biaya penghidupan. Semua ini menjadikan mereka dapat terjerumus ke dalam prostitusi dan tindak asusila lainnya.

Di sisi yang lain kurangnya lahan pekerjaan atau masih banyaknya angka pengangguran melengkapi rendahnya pendapatan atau ekonomi masyarakat. Keterbatasannya lahan pekerjaan yang dapat menampung perempuan dengan tingkat keterampilan yang minim menyebabkan banyak perempuan-perempuan menganggur sehingga kondisi inilah yang


(1)

100

kepada kakak-kakak (saudara-saudara) Yu>suf karena Ibnu Kathi>r memakai kaidah muna>sabat, yaitu muna>sabat kalimat antar kalimat dalam satu ayat. Adapun ayat yang dijadikan muna>sabatnya ialah merujuk kepada ayat sesudahnya yaitu lafad ﺪھاﺰ ا ﮫ ﻮ ﺎ و yang mana maksud dari mereka tidak senang kepadanya yaitu saudara-saudara Yu>suf, sedangkan para kafilah mereka senang kepada Yu>suf. Adapun menurut Quraish S{ih>ab dan Must{afa> al-Maraghi> d{amir tersebut kembali atau tertuju kepada para kafilah. Mereka memakai kaidah muna>sabat juga akan tetapi muna>sabat ayat antar ayat dalam satu surat. Adapun ayat yang dijadikan muna>sabat ialah ayat sebelumnya yaitu lafad ھدراو اﻮ رﺄ ةرﺎ تءﺎﺟو.

3. Adapun kontekstualisasi dalam penafsiran surat an-Nu>r ayat 33 dan Yu>suf 20 dengan trafficking dalam konteks kekinian terdapat keterkaitan dari keduanya, karena melihat unsur trafficking itu sendiri adalah perekrutan, pemaksaan, kekerasan dan eksploitasi, maka ayat tersebut juga berbicara unsur-unsur trafficking. Dalam surat an-Nu>r ayat 33 terdapat kalimat pemaksaan yaitu kalimat اﻮھﺮ و dan prostitus ءﺎ ا atau eklpoitasi seksual yang dilakukan seorang tuan terhadap budak wanitanya. Sedangkan dalam surat Yu>suf ayat 20 juga terdapat unsur trafficking yakni berupa perdagangan dan eksplotasi yaitu kalimat shara/menjual, yang mana seorang anak dijual yakni Yu>suf dan dalam penjualan itu Yu>suf pada akhirnya dijadikan pelayan oleh keluarga Qit{fi>r (di eksploitasi).


(2)

101

B. Saran

Penulis sadari bahwa penelitian ini masih jauh dari kata sempurna dan banyak kekurangan baik mengenai analisis ataupun mengenai pemaparan yang penulis peroleh dalam penelitian ini. Oleh karera itu, penulis berharap kepada peneliti selanjutnya untuk mengkaji lebih lanjut bagaimana al-Qur’a>n menanggulangi kejahatan trafficking dalam surat an-Nu>r, karena penulis lihat munasabah ayat tersebut juga mengandung makna tentang penanggulangan trafficking yang merupakan kejahatan kemanusiaan.


(3)

102

DAFTAR PUSTAKA

‘Abdul Qadi>r, Faqihuddin. Fiqh Anti Trafficking Jawaban atas Berbagai Kasus Kejahatan Perdagangan Manusia Dalam Perspektif Hukum Islam. Cirebon: Fahmina Institut, 2006.

Abi> Hayyan al-Andalu>si>, Muh{ammad. Tafsi>r al-Bah{r al-Muhi>t{. Beirut: Da>r al-Kutu>b al-Ilmiyah, 1993.

Al-Maraghi>, Ah{mad Must{afa>. Tafsi>r al-Maraghi>. Semarang: CV. Toha Putra,1989.

Al-Qat{t{an, Kholil Manna>’. Pengantar Studi Qur’a>n. Jakarta: Pustaka al-Kauthar, 2013.

Al-Zarkashi, Badruddi>n Abi> ‘Abdilla>h. al-Burha>n Fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n, ed. Muhammad Abu> al-Fadl Ibrahi>m . Mesir: Isa al-Ba>bal Halabi, t.t. Anonim. Human Right in Practice A Guide to Assist Trafficked Woman and

Children. Bangkok: Global Allience Trafficking in Woman, 1999.

Ari Kunto, Suharsim. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Kualitatif. Jakarta: Binika Cipta, 1996.

As{-S{abu>ni, Muh{ammad Ali>. Tafsi>r Ayat Ahka>m min Qur’a>n Al-Kari>m. Beirut: Da>r Ibn Abbud, 2004.

As-Suyu>ti>{, Jalaluddi>n. Al-Itqa>n fi> Ulu>m al-Qur’a>n, Terj. Farikh Marzuki, dkk. Surabaya: Bina Ilmu, 2008.


(4)

103

Bekker, Anton dan Ahmad Haris Zubair. Metodologi Penelitian Filsafat. Yogyakarta: Kansius, 1999.

Deparetemen Agama RI. Al-Quran dan Terjemahannya.

Fakhruddi>n al-Ra>zi, Muh{ammad. Tafsi>r Mafa>tih al-Ghaib. Beirut: Da>r al-Fikr, 1981.

Farhana, Dra. Aspek Hukum Perdagangan Orang di Indonisia. Jakarta: Sinar Grafika, 2012.

G. Gevilla, Convelo, Dkk. Pengantar Metode Penelitian. Jakarta: Universitas Islam, 1993.

H{ashbi Ash-S{iddiqy, Teungku Muha{mmad. Tafsi>r Al-Qur’a>n al- Maji>d. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000.

Ibnu Kathi>r, Abu> al-Fida>’. Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m Ibnu Kathi>r. Bandung: Sinar Baru Al-Gensindo, 2004.

J. Moleing, Lexy. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosdakarya, 2002. Kementrian Agama RI. Tafsir al-Qur’a>n Tematik, Pembangunan Ekonomi

Umat. Ed. Hanafi Muhlis. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI, 2012

M. Coutte, These. Needs Assesment On Cross Border Trafficking in Woman and Children in The Mekkong Sub Region. Bangkok: Thailand, 1998.

Mah{mu>d al-Alu>si, Shiha>buddi>n. Ru>h Ma’a>ni> fi> Tafsi>r wa al-Qura’a>n al-Az{i>m wa as-Sab’i al-Matha>ni>. Beirut: Da>r Ihya>’ at-Tura>th, t.th.


(5)

104

Mah{mu>d Ibnu ‘Umar Az- Zamakhshari, Abi> al-Qasi>m. Al-Kassha>f an-Haqa>’iq ghawa>mid at-Tanzi>l wa ‘Uyu>n al-Aqa>wi>l min Wuju>hu at-Ta’wi>l. Riyad{: Maktabah al-Abi>di>n, 1998.

Muh{ammad bin Yazi>d Ibn Maja>h, Abi>‘Abdilla>h. Sunan Ibnu Maja>h. Beirut: Da>r al-Jami>l, 1998.

Muzasa, Chairul Bariyah. Aliran-aliran Hukum Trafficking ( Perdagangan Perempuan dan Anak ). Medan: Usu Press, 2005.

Nadiya, Zunly. Perlindungan Kehidupan Perempuan Dalam Keluarga dan Masyarakat. Yogyakarta: Jurnal Musawa, Vol. 10 No. 2, 2011.

Nurani. Trafficking: Sebuah Pelanggaran Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: Elsaq Press, 2011.

Quraish S{ih>ab, Muhammad. Kaidah Tafsi>r . Tangerang: Lentera Hati, 2013. Rosenberg, Ruth. Perdagangan Perempuan dan Anak di Indonesia. Jakarta:

USAID, 2003.

S{ih{ab, M.Quraish. Tafsi>r Mis{ba>h{: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’a>n. Jakarta: Lentera Hati, 2002.

Sofwan, Muhammad. Trafficking Perempuan Dalam Hadis: Kajian Maani> Hadi>th. Skripsi (Yogyakarta: Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Usuluddin UIN Sunan Kalijaga, 2009)

Suryadilaga, M. Alfatih. Trafficking Dalam Hadis dan Perkembangannya Dalam Konteks Kekinian. Dalam Jurnal Musawa, Vol. 4 Oktober 2006.


(6)

105

Suyanto. Perdagangan Anak Perempuan, Kekerasan dan Gagasan Kebijakan. Yogyakarta: Kerja Sama Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM dengan Ford Foundation, 2002.

Yetriana, Andi. Politik Perdagangan Perempuan. Yogyakarta: Galang Press, 2004.