KENIKMATAN PANGAN DALAM AL-QUR’AN : STUDI PENAFSIRAN SURAT ‘ABASA AYAT 24-32.
KENIKMATAN PANGAN DALAM AL-
QUR’AN
(Studi Penafsiran Surat ‘Abasa Ayat 24
-32)
Skripsi:
Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ilmu al-Qur’an dan Tafsir
Oleh:
FEBRI ANA PUTRI NIM: E33211085
JURUSAN AL-QUR’AN DAN HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA 2015
(2)
ii
KENIKMATAN PANGAN DALAM AL-
QUR’AN
(Studi Penafsiran Surat ‘Abasa Ayat 24
-32)
Skripsi
Diajukan kepada
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu (S-1)
Oleh:
FEBRI ANA PUTRI NIM: E33211085
JURUSAN AL-QUR’AN DAN HADITS FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA 2015
(3)
(4)
(5)
(6)
viii
ABSTRAK
Febri Ana Putri, Kenikmatan Pangan dalam Al-Qur’an (Studi Penafsiran Surat
„Abasa Ayat 24-32)
Seiring perkembangan dari zaman ke zaman membuat manusia semakin lupa akan kenikmatan yang Allah berikan terutama dalam hal makanan. Padahal dengan begitu melimpahnya bahan makanan diciptakan, akan tetapi manusia justru mensalahgunakan. Seperti halnya, mencampuri makanan dengan boraks, pengawet ataupun yang lain. Bahkan sebelum diproduksi memberi campuran bahan kimia seperti suntikan atau semprotan. Hal ini justru menimbulkan kandungan gizi pada makanan hilang. Demikian terlihat bahwa realitanya manusia telah lupa betapa indahnya proses tumbuhnya tumbuhan serta bakal manfaatnya sangat urgen bagi makhluk Allah. Oleh karena itu, hasil penelitian dari problematika di atas menjadi ketertarikan dalam meneliti untuk menemukan solusi sehingga dapat memberi kesadaran pada diri manusia.
Masalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah 1) Bagaimana penafsiran surat ‘Abasa ayat 24-32. 2) Apa saja jenis kenikmatan pangan dalam surat ‘Abasa ayat 24-32.
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui penafsiran para ulama tentang surat ‘Abasa ayat 24-32 serta menemukan jenis-jenis kenikmatan pangan dalam surat tersebut.
Penelitian ini bersifat kepustakaan (library research) dengan menggunakan metode penyajian data deskriptif dan analitis. Metode deskriptif yang digunakan adalah metode tah}li>li>, mufassir menguraikan makna yang dikandung dalam al-Qur’an, ayat demi ayat, surat demi surat yang urutannya sesuai dengan mushaf. Pengumpulan data diperoleh dari beberapa kitab tafsir terkait pembahasan surat ‘Abasa ayat 24-32 dan beberapa karya tulis yang menyajikan uraian tentang keilmuan nikmat pangan serta karya-karya tulis lainnya yang relevan dengan penelitian ini.
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa menurut berbagai pendapat mufassir Allah telah mengajak manusia untuk merenungi kenikmatan pangan yang diberikan kepada makhluk-Nya. Melalui proses yang sangat indah, kemudian tumbuhlah mulai dari jenis biji-bijian seperti padi, gandum dan lain-lain. Bahkan tidak hanya itu, dilengkapi pula dengan pohon anggur, sayur-sayuran yang segar, pohon zaitun yang bisa dijadikan berbagai olahan, begitu juga dengan pohon kurma. Selain itu, kebun-kebun yang lebat dengan penuh berbagai macam tumbuhan terutamanya buah-buahan, yang dataran kebun telah terselimuti oleh rerumputan. Semua itu, terkemas dalam satuan makanan yang komplit baik makanan pokok maupun penyeimbang dan kaya gizi masing-masing. Sehingga dapat menjadi kebahagiaan baik manusia maupun hewan karena memiliki kandungan gizi yang saling melengkapi dan masih organik.
(7)
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ... iii
PENGESAHAN SKRIPSI ... iv
PERNYATAAN KEASLIAN... v
MOTTO ... vi
PERSEMBAHAN ... vii
ABSTRAK ... viii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... xii
PEDOMAN TRANSLITERASI... xv
BAB I : PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ... 1
B.Idenifikasi dan Batasan Masalah ... 8
C.Rumusan Masalah ... 9
D.Tujuan Penelitian ... 9
E. Kegunaan Penelitian ... 9
F. Penegasan Judul ... 10
G.Telaah Pustaka ... 11
H.Metode Penelitian ... 12
(8)
xiii
BAB II : TINJAUAN UMUM NIKMAT DAN PANGAN
A. Konsep Nikmat ... 19
B. Konsep Pangan ... 25
C. Jenis-jenis Tumbuhan yang Dapat Dimakan ... 30
BAB III : PENAFSIRAN SURAT ‘ABASA AYAT 24-32 A. Surat ‘Abasa Ayat 24-32 dan Terjemahnya ... 33
B. Penafsiran Ayat ... 33
1. Tafsir Mufradat ... 33
2. Munasabah ... 35
3. Tafsir Ayat ... 36
C. Jenis-jenis Kenikmatan Pangan dalam Surat ‘Abasa Ayat 24-32 ... 50
BAB IV : ANALISIS NIKMAT PANGAN MENURUT AL-QUR’AN SURAT ‘ABASA AYAT 24-32 A. Penafsiran Para Ulama’/ Mufasir pada Surat ‘Abasa Ayat 24-32 ... 55
B. Jenis-jenis Kenikmatan Pangan dalam Surat ‘Abasa Ayat 24-32 ... 65
BAB V : PENUTUP A. Simpulan ...78
(9)
B. Saran ... 80
(10)
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an merupakan wahyu Allah yang diturunkan kepada seluruh umat manusia melalui Nabi Muhammad untuk menjadi petunjuk dalam menjalani kehidupan ini. Serta merupakan karunia teragung yang diberikan Allah kepada kaum muslim. Adapun secara harfiyah, al-Qur’an adalah “bacaan sempurna”. Al-Qur’an tidak hanya mempelajari susunan redaksi dan berbagai macam bentuk kosakatanya saja. Namun, di samping itu kandungan yang tersurat, tersirat bahkan sampai kepada kesan yang ditimbulkannya.1
Sehingga terlihat jelas bahwa kandungan ayat-ayat al-Qur’an dapat memberi kontribusi besar terhadap kemajuan intelektual serta moral kepada umat Islam hingga akhir zaman. Sebagaimana dalam firman Allah swt surat al-Baqarah ayat 185 yang berbunyi:
ُرْهَش
َناَضَمَر
يِذَلا
َلِزْنُأ
ِهيِف
ُنآْرُقْلا
ىًدُ
ِساَنلِل
ٍتاَنّ يَ بَو
َنِم
ىَدُْْا
ْرُفْلاَو
ِناَق
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil).2
1
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1996), 3.
2
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: Sygma, 2005), 28.
(11)
2
Berbagai macam kajian serta kandungannya meliputi beberapa aspek, mulai dari kisah dan sejarah masa lalu umat manusia, kejadian alam, kejadian manusia, fenomena alam, janji dan ancaman, hukum hingga kesudahan alam raya dan nasib umat manusia dikemudian hari dan lain sebagainya. Semua telah dikemas dengan gaya bahasa yang indah serta memikat para pengkaji kebahasaan al-Qur’an.3 Sebagai kitab petunjuk, al-Qur’an bukan hanya memuat petunjuk -petunjuk tentang hubungan manusia dengan Tuhannya, akan tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan sesamanya (h}ablun min alla>h wa h}ablun min al-na>s), bahkan hubungan manusia dengan alam sekitarnya.4
Sudah bukan rahasia lagi bahwasannya isyarat-isyarat ilmiah dalam al-Qur’an bagaikan mata air yang tidak pernah kering. Setiap waktu muncul berbagai penemuan baru dan ketetapan-ketetapan ilmiah yang sebenarnya telah ditegaskan oleh al-Qur’an sebelumnya sejak 15 abad yang lalu. Al-Qur’an sangat banyak mengandung aneka ragam kebenaran ilmiah, sesuai dengan realita dari penerapan keilmuan. Semuanya ditemukan pada setiap tempat dan waktu serta senantiasa dibenarkan oleh peradaban manapun.
Al-Qur’an menjadikan setiap isyarat sebagai metode dalam mengarungi hakikat alam dan kehidupan. Ia berpengaruh kuat dalam menguatkan keimanan. Karena setiap ayat menyeru untuk menyembah Allah swt dan mentauhidkan-Nya selalu diiringi dengan pengarahan akal pikiran dengan meneliti bukti-bukti
3
Akmalin Noor dan Ahmad Fuad Mukhlis, Al-Qur’an Tematis Kisah-kisah dalam Al-Qur’an (Jakarta: Simaq, 2010), vii.
4
Said Agil Husain al-Munawwar, Al-Qur’an: Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki (Ciputat: Ciputat Press, 2002), 3.
(12)
3
keagungan Ilahi melalui ciptaan alam dan ketelitian penciptaan-Nya. Keajaiban dan keindahan penciptaan-Nya membuka akal dan pikiran manusia.5
Hakikat-hakikat ilmiah yang disinggung oleh al-Qur’an tersebut dikemukakannya dengan redaksi yang singkat dan sarat makna. Sekaligus tidak terlepas dari ciri umum redaksinya yakni memuaskan kebanyakan orang dan para pemikir. Dalam memahami redaksi al-Qur’an kebanyakan orang hanya ala kadarnya saja, sedangkan para pemikir melalui renungan dan analisis untuk mendapatkan makna-makna yang tidak terjangkau oleh kebanyakan orang.6 Hal tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah penafsiran.
Berbagai hasil dari sebuah penafsiran telah menyingkap berbagai pula kajian-kajian yang sejatinya umat manusia perlu memperhatikannya. Seperti halnya kajian kandungan al-Qur’an perihal mu’amalah, ibadah, aqidah dan lain-lain. Termasuk salah satunya yaitu kajian terkait kenikmatan pangan.
Adapun kajian yang dibutuhkan perenungan ialah mengenai kenikmatan pangan merupakan salah satu juga kajian yang banyak disinggung dalam kajian al-Qur’an. Karena pada dasarnya makanan adalah hal yang sangat urgen bagi kelangsungan hidup manusia. Bahkan tidak hanya bagi manusia saja, semua makhluk hidup yang diciptakan Allah di permukaan bumi ini, baik binatang maupun hewan.7
Namun, seiring dengan perkembangan zaman berkembang pula permasalahan terkait masalah pangan. Temasuk pada krisis pangan yang pernah
5
Muhammad Kamil Abdushshamad, Mukjizat Ilmiah dalam Al-Qur’an (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2002), 5-6.
6
M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1998), 165-166.
7Jamaluddin Mahra>n dan Abdul ‘Az}im Hafna> Muba>syir,
Al-Qur’an Bertutur Tentang Makanan dan Obat-obatan, ter. Irwan Raihan (Yogyakrata: Mitra Pustaka, 2006), 200.
(13)
4
terjadi di Indonesia diakibatkan oleh berbagai macam faktor yaitu perubahan iklim yang labil juga merupakan ancaman bagi ketahanan pangan Indonesia melihat tanaman pangan yang ada saat ini rentan terhadap berbagai penyakit dan kondisi yang masih labil tersebut. Sistem irigasi yang kurang terstruktur juga merupakan masalah yang harus diperhatikan. Salah satu kasus di daerah Pati, Jawa Tengah sebagai contoh kegagalan panen yang diakibatkan kekeringan lahan karena tidak ada supply air yang cukup.
Masalah pangan bagi suatu negara adalah suatu hal yang sangat krusial mengingat pangan adalah kebutuhan dasar bagi kehidupan manusia. Pangan tidak hanya sebuah komoditas yang diperjualbelikan di dalam pasar, tetapi merupakan hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam pasal 27 UUD 1945. Oleh karena itu, masalah pangan harus mendapat perhatian lebih dalam pemerintahan apalagi hal itu berkaitan dengan kemaslahatan seluruh warga negara Indonesia.8
Akan tetapi, hal ini telah diketemukan solusi penanganan dalam mengatasi kebutuhan pangan, yang biasa disebut politik pangan Yusuf.9 Dalam surat Yusuf ayat 47-49 dan 54-58 dijelaskan runtutan peristiwa yang dialami oleh Nabi Yusuf hingga beliau berhasil menangani krisis pangan yang dialami rakyat Mesir. Jadi dapat diambil ibrah dari kisah al-Qur’an yang secara aktual mampu meningkatkan produksi pangan bagi umat manusia.
8
Made Antara, Orientasi Penelitian Pertanian: Memenuhi Kebutuhan Pangan dalam Era Globalisasi (Jakarta: UII Press, 2000), 47.
9
Dimaksudkan mengkarder pemimpin yang cerdas dan bijaksana. Serta mampu diberi wewenang luas untuk menjamin ketersediaan pangan. Selain itu juga, ada pegawai-pegawai untuk mengumpulkan seperlima dari kelebihan panen gandum selama tujuh tahun kemakmuran untuk memperkuat stok pangan nasional. Lihat: Yonky Karman, Kompas, 8 April 2008, 45.
(14)
5
Ketika krisis pangan telah teratasi, timbullah permasalahan kekinian. Perihal manusia telah mempersalahgunakan adanya baik makanan pokok maupun makanan penyeimbang yang begitu melimpah. Seperti halnya beras, dan lain-lain. Mirisnya manusia memberi berbagai campuran. Seperti boraks, pewarna dan lain-lain. Padahal kandungan beras sangatlah berguna bagi tubuh manusia.
Belum lagi, makanan-makanan penyeimbang nasi. Mulai dari daging yang awalnya masih berupa hewan ternak. Justru hewan tersebut dipelihara tidak sesuai dengan semestinya. Semisal, hewan tersebut disuntik agar cepat tumbuh besar atau diminumkan air sebanyak mungkin agar berat hewan ternak semakin besar. Begitu juga dengan makanan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan (nabati). Adanya manusia justru menyemprot dengan pupuk kimia atau obat-obatan agar tanaman menarik untuk dipandang. Serta agar cepat tumbuh, terlihat berwarna cerah dan terasa manis buahnya (buatan).
Berbagai jenis makanan sejatinya memiliki manfaat atau gizi masing-masing yang berguna bagi tubuh manusia. Jika makanan tersebut dikembangkan tidak sesuai dengan semestinya. Adanya justru menjadi wabah penyakit dengan jangka panjang bagi yang mengkonsumsinya. Demikian terlihat sudah, bahwa manusia telah lupa akan nikmat yang diberikan-Nya. Buktinya, manusia telah menyia-nyiakan nikmat pangan yang Allah berikan yang seharusnya menjadi penguat ibadahnya.
Memandang problematika pangan dari masa ke masa, begitu juga ramai diperbincangkan diberbagai media. Perlu diingat kembali betapa Allah memberi kenikmatan pangan bagi kelangsungsan hidup manusia melalui prosesnya yang
(15)
6
sangat indah. Sebagaimana yang tercantum dalam al-Qur’an surat „Abasa ayat 24-32.
Setelah penciptaan manusia yang penuh keagungan Allah, pantas jika manusia memperhatikan (merenungi) proses makanan itu diciptakan serta makanan yang baik bagi tubuh manusia demi kelangsungan hidupnya. Selain merenungi, menjaganya itulah salah satu wujud syukur atas segala kenikmatan yang diberikan kepada hamba-Nya. Karena nikmat adalah segala kebaikan yang membahagiakan yang diberikan kepada manusia. Ima>m al-Ghaza>li pernah mengatakan bahwa, nikmat adalah setiap kebaikan, kelezatan kebahagiaan bahkan setiap keinginan yang terpenuhi.10 Apabila manusia telah menggunakan nikmat itu dengan sebaik-baiknya, maka Allah berfirman dalam surat Ibrahim ayat 7 sebagai berikut:
ْذِإَو
َنَذَأَت
ْمُك بَر
ْنِئَل
ُْتْرَكَش
ْمُكَنَديِزأ
ْنِئَلَو
ُْتْرَفَك
َنِإ
ِباَذَع
ٌديِدَشَل
ُ
٢
َ
Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".11
Ayat di atas menerangkan balasan bagi orang-orang yang mensyukuri dan mengingkari nikmat-Nya. Bagi orang yang mensyukuri nikmat-Nya maka Allah akan menambah nikmat-Nya dan bagi orang yang mengingkari nikmat-Nya maka Allah akan senantiasa memberi siksa yang sangat pedih.
Dasar motivasi dalam melakukan penelitian ini, perihal proses terbentuknya makanan yang sehingga menghasilkan makanan yang bergizi serta
10
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Hadist (Jakarta: Toha Putra, 1997), 13.
11
(16)
7
baik bagi tubuh manusia. Komitmen Islam yang begitu besar mengenai makanan serta Islam juga memandang bahwa makanan merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Sekaligus perhatian al-Qur’an yang begitu besar terhadap makanan, terbukti dari banyaknya ayat-ayat yang menjelaskan tentang makanan. Oleh karenanya makanan mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan jasmani dan rohani manusia.12 Tiada lain pemberian nikmat itu hanya bertujuan supaya beribadah semata-mata kepada Allah, hal ini berdasarkan firman Allah dalam surat al-Dzariyat ayat 56, sebagai berikut:
ِل اِإ َسْنإاَو َنِْْا ُتْقَلَخ اَمَو
ُ ِنوُدُبْعَ ي
٢٢
َ
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.13
Oleh karena itu, telah menjadikan ketertarikan dalam meneliti masalah ini. Untuk mendapatkan pengetahuan yang komprehensif tentang jenis-jenis kenikmatan pangan serta manfaat-manfaatnya begitu juga dengan proses bagaimana Allah menciptakan semua itu. Hanya saja difokuskan pada surat „Abasa ayat 24-32. Sehingga sekaligus manusia dapat meningkatkan iman serta syukurnya kepada Allah.
12
Mahran, Al-Qur’an Betutur..., 17.
13
(17)
8
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa, banyak ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan perihal makanan. Namun dalam kaitannya dengan penelitian ini, mengerucut pada permasalahan berikut ini: 1. Manusia telah mengabaikan makanan yang sejatinya sehat, halal dan lezat
untuk dikonsumsi.
2. Manusia semakin kurang bersyukur atas kenikmatan pangan yang Allah berikan. Padahal betapa indahnya Allah menciptakan berbagai tumbuhan untuk dikonsumsi oleh makhluk-Nya.
3. Kelalaian manusia yang ditimbulkan karena hawa nafsunya menjadikan manusia lupa betapa Allah menciptakan berbagai macam makanan yang melimpah. Justru manusia membuat makanan yang diolah tidak sesuai semestinya. Padahal sejatinya kandungan gizi dalam makanan tersebut sangat dibutuhkan bagi manusia.
Dengan adanya itu, penelitian ini dapat merenungi salah satu kenikmatan yang Allah berikan. Sehingga manusia hingga saat ini masih mampu menikmati kenikmatan yang lain. Mengingat keluasan kajian kenikmatan pangan yang tertera dalam al-Qur’an, maka permasalahan yang akan diangkat dalam rangka untuk memproyeksikan penelitian ini lebih lanjut adalah mengkonsentrasikan pada surat „Abasa ayat 24-32 yang khusus membahas kenikmatan pangan bagi makhluk Allah, serta menjadi penghidupan bagi manusia.
(18)
9
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah yang disusun sebagai berikut:
1. Bagaimana penafsiran surat „Abasa ayat 24-32?
2. Apa saja jenis kenikmatan pangan dalam surat „Abasa ayat 24-32?
D. Tujuan Penelitian
Bertolak dari rumusan masalah di atas, maka tujuan diadakannya penelitian ini meliputi dua aspek yaitu:
1. Menguraikan penafsiran surat „Abasa ayat 24-32.
2. Mendeskripsikan berbagai jenis kenikmatan pangan dalam surat „Abasa ayat 24-32.
E. Kegunaan Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini meliputi dua aspek yaitu:
1. Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat memperkaya pengetahuan seputar khazanah tafsir al-Qur’an dalam dunia akademik serta pengembangan penelitian sejenis.
2. Secara praktis, hasil penelitian ini dapat menambah wawasan serta mengingatkan kembali kepada masyarakat Islam dan segenap pembaca tentang tafsir yang berkaitan dengan jenis kenikmatan pangan serta relevansinya dengan al-Qur’an.
(19)
10
F. Penegasan Judul
Untuk memperjelas serta menghindari kesalahpahaman terhadap pokok bahasan skripsi yang berjudul Kenikmatan Pangan dalam al-Qur’an: Studi Penafsiran pada Surat „Abasa Ayat 24-32. Namun terlebih dahulu mengemukakan analisis semantik dari setiap istilah yang di angkat dalam judul skripsi ini diantaranya, penafsiran, kenikmatan, dan pangan sebagai berikut:
Penafsiran : Kata ‚penafsiran”berasal dari kata dasar ‘tafsir’ ditambah awalan ‚pe” dan akhiran ‚an”, menjadi kata sifat, yang mempunyai arti penjelasan, ulasan, atau komentar (tentang maksud dari sesuatu).14 Sedangkan istilah ‚tafsir” merupakan kata serapan yang berasal dari bahasa Arab tafsi>r dari kata benda al-fasr,15
sedang bentuk kata kerjanya adalah fassara-yufassiru dengan arti ‚keterangan dan ta’wil.16
Adapun secara terminologi tafsi>r adalah penjelasan tentang arti dan maksud firman-firman Allah sesuai dengan kemampuan
manusia.17 Sedangkan tujuan penafsiran adalah untuk
mengklarifikasi maksud sebuah teks.
14
Poerwodarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2003), 990.
15
Nasr Hamid Abu Zayd, Tekstualitas Al-Qur’an: Kritik Terhadap Ulumul Qur’an, terj. Khoiron Nahdliyyin (Yogyakarta: LkiS, 2005), 282.
16
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), 1055.
17Muh}ammad Abd al-‘Az}i>m al-Zarqa>ni>, Mana>hil al-‘Irfa>n fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n
, Juz II (Bairut: Da>r al-Fikr, t.t), 3-5.
(20)
11
Kenikmatan : Berasal dari kata dasar “nikmat” dengan imbuhan awalan “ke” dan akhiran “an” yang dapat diartikan, karunia, sedap, keenakan, kebahagiaan, atau selera.18
Pangan : Sama halnya artinya “makanan”19 atau penganan (panganan).20
Dari uraian semantik yang disebutkan di atas, dapat dipahami bahwa yang dimaksud judul di atas ialah mengulas serta menyingkap beberapa pendapat mufasir yang cenderung membahas tentang kenikmatan-kenikmatan pangan. Baik nantinya akan dikonsumsi manusia maupun hewan, namun difokuskan pada surat „Abasa ayat 24-32.
G. Telaah Pustaka
Sebuah karya merupakan kesinambungan pemikiran dari generasi sebelumnya dan kemudian dilakukan perubahan yang signifikan. Penulisan skripsi ini merupakan mata rantai dari karya-karya ilmiah yang telah lahir sebelumnya. Sehingga untuk menghindari kesan pengulangan dalam skripsi ini, maka penulis perlu menjelaskan adanya topik skripsi yang diajukan, dimana adanya beberapa penulisan yang berkaitan dengan jenis-jenis kenikmatan pangan menurut al-Qur’ansurat „Abasa.
Satu-satunya literatur yang berkaitan dengan kenikmatan pangan yaitu “Nikmat dalam Al-Qur’an”21 yang merupakan sebuah skripsi dari Ali Achmadi
18
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balali Pustaka, 2002), 782.
19
Julius C. Rumpak, Marcus Suso, Willie Koen, Sumarsono, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2000), 822.
20
(21)
12
pada jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya. Karya ini memfokuskan kajiannya pada masalah penafsiran tentang nikmat, dalam penelitiannya telah menggunakan metode maud}u’i yang telah menghimpun kemudian menjabarkan ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan nikmat. Namun kajiannya tidak menyebutkan secara spesifik kenikmatan apa yang terdapat dalam surat „Abasa ayat 24-32 dengan disertai proses terbentuknya berbagai jenis makanan dan manfaatnya bagi kelangsungan makhluk hidup. Seperti yang penulis lakukan dalam skripsi ini.
Meskipun karya di atas berkaitan dengan objek kajian yang sama, akan tetapi penelitian ini memiliki perhatian yang berbeda dengan penelitian di atas. Bahwa penelitian ini lebih menitikberatkan pada sisi pemahaman tafsir tentang kenikmatan pangan dalam surat „Abasa ayat 24-32. Sehingga akan dihasilkan bagaimana penafsiran surat „Abasa ayat 24-32 tentang kenikmatan pangan relevansinya dengan kelangsungan hidup manusia.
H. Metode Penelitian
Dalam usaha memperoleh data atau informasi yang dilakukan, maka penelitian ini menggunakan metode sebagai berikut:
1. Model Penelitian
Penelitian ini bersifat kualitatif yang dimaksudkan untuk mendapatkan data tentang kerangka ideologis, epistimologi dan asumsi-asumsi metodologis
21
Ali Achmadi, “Nikmat dalam Al-Qur’an”, skripsi yang diajukan pada Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel 2004.
(22)
13
pendekatan terhadap kajian tafsir dengan menelusuri secara langsung pada literatur yang terkait.
2. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian pustaka (library research), yaitu penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah dan memanfaatkan berbagai metode ilmiah.22
Jadi data yang dimaksud di sini adalah data yang disajikan dalam bentuk kata verbal, bukan dalam bentuk angka. Sumber-sumber yang dijadikan sebagai bahan penelitian kualitatif berasal dari bahan-bahan tertulis yang ada kaitannya dengan tema yang dibahas. Penelitian ini serangkai kegiatan ilmiah dengan mencari dan meneliti ayat yang dimaksud, kemudian mengelolanya memakai keilmuan tafsir.
3. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif, yaitu menuturkan dan menafsirkan data yang berkenaan dengan fakta, keadaan, variable dan fenomena yang terjadi pada saat penelitian berlangsung dan menyajikannya apa adanya.23 Berupa analisis yakni uraian atau bersifat penguraian24 yang
22
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005), 6.
23
M. Sabana, Dasar-Dasar Penelitian Ilmiyah (Bandung: Pustaka Setia, 2005), 89.
24
Pius. A. Partanto dan Dahlan Barry, Kamus Ilmiyah Populer (Surabaya: Arloka, 1994), 29.
(23)
14
berusaha mendeskripsikan konsep yang ada dalam al-Qur’ansurat „Abasa ayat 24-26.
Metode deskriptif yang digunakan dalam metode tah}li>li>, mufasir menguraikan makna yang dikandung dalam al-Qur’an, ayat demi ayat. Surat demi surat yang urutannya sesuai mushaf. Uraian tersebut menyangkut berbagai aspek yang dikandung ayat, seperti pengertian kosa kata, konotasi kalimatnya, latar belakang turunnya ayat (asba>b al-nuzu>l), keterkaitan dengan ayat yang mengiringi (muna>sabah), juga pendapat-pendapat yang berkenaan dengan tafsiran ayat-ayat tersebut, baik yang disampaikan oleh Nabi, sahabat, para tabi’in, maupun ahli tafsir lainnya.25
Dalam metode tah}li>li> biasanya hasil dari penafsiran ayat-ayat yang ditafsirkan mengikuti kecenderungan para mufasir dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an yang didasari oleh latar belakang keilmuan, pemikiran, lingkungan sosial, pendidikan dan lain-lain.26 Sehingga penafsiran dengan metode ini menampilkan beberapa corak tafsir seperti corak fiqhi>, sufi>, falsafi>, ‘ilmi>, lughawi>, dan adab ijtima>’i>.
25
Abd. al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maud}u’i (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), 12.
26
Nasruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Alquran (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2005), 31.
(24)
15
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, dan lain sebagainya.27
Sebagaimana tersebut di atas bahwa objek penelitian yang dikaji dalam penelitian ini adalah penafsiran surat „Abasa ayat 24-26 tentang kenikmatan pangan. Oleh karena itu, penelitian ini bersifat kualitatif yang berupa penelitian kepustakaan dengan cara mendokumentasikan data, baik data primer, sekunder maupun pelengkap, selanjutnya penelitian ini juga menghimpun data berupa artikel dan naskah lain yang berkaitan dengan objek permasalahan yang dikaji sebagai bahan komparasi.
5. Teknik Analisis Data
Semua data yang terkumpul, baik primer maupun sekunder diklasifikasi dan dianalisis sesuai dengan sub bahasan masing-masing. Selanjutnya dilakukan telaah mendalam atas karya-karya yang memuat objek penelitian dengan menggunakan analisis isi, yaitu suatu teknik sistematik untuk menganlisi isi pesan dan mengelolanya dengan tujuan menangkap pesan yang tersirat dari satu atau beberapa pernyataan.28
6. Sumber Data
Data yang diambil dalam penelitian ini bersumber dari dokumen-dokumen pustaka yang terdiri dari dua sumber, yaitu:
27
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta, Rhineka Cipta, 1989), 231.
28
Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1993), 76-77.
(25)
16
a. Sumber Primer adalah data autentik atau data yang berasal dari sumber pertama.29 Adapun sumber primer yang menjadi acuan adalah Tafsir al-Azha>r karya Hamka, Tafsir fi Dzilalil Qur’an karya Sayyid Quttub, Ru>h al-Baya>n fi> Tafsi>r al-Qur’a>n karya Isma>’il Haqqi> bin Mus{t{afa> al-Hanafi> al-Khalwati> al-Baruswi> dan Tafsir> al-Muni>r karya Wahbah al-Zuh{aili>.
b. Sumber Sekunder yaitu data yang materinya secara tidak langsung berhubungan dengan masalah yang diungkapkan.30 Adapun sumber sekunder yang penulis gunakan adalah berupa hadis-hadis Nabi SAW, kitab-kitab tafsir serta karya-karya para ulama dan cendekiawan lain yang berkaitan dengan tema pembahasan, baik itu berupa buku maupun artikel lepas. Sumber sekunder ini sifat dan bentuknya dapat berupa penjelas dan analisa dari sumber primer, guna mendukung dan melengkapi analisis.
Adapun sumber dari kitab-kitab tafsir di antaranya: 1. Ja>mi’ al-Baya>n fi> Ta’wi>l al-Qur’a>n karyaal-T{abari. 2. Safwah al-Tafa>sir karya al-S{a>bu>ni>
3. Tafsi>r al-Kabi>r karya Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>.
4. Ru>h al-Ma’a>ni> karya Shaha>b Di>n Sayyid Mah}mu>d Alu>si> al-Baghda>di>.
5. Tafsir al-Misbah karya Quraish Shihab.
29
Hadiri Nawawi dan Mimi Martini, Penelitian Terapan (Yogyakarta: Gajah Mada Unversity Press, 1991), 216.
30
(26)
17
6. Tafsi>r al-Tahri>r wa al-Tanwi>r karya Muhammad T{a>hir ibn ‘Ashu>r. 7. Al-Qur’an Bertutur Tentang Makanan dan Obat-obatan karya Dr.
Jamaluddi>n Mahra>n dan Dr. ‘Abdul ‘Az}im Hafna> Muba>shir.
8. Ensiklopedia Mukjizat Al-Qur’an dan Hadis karya Hisham T{albah.
I. Sistematika Pembahasan
Agar pembahasan ini tidak keluar dari jalur yang telah ditentukan dan agar lebih sistematis susunannya, maka skripsi ini dibagi dalam lima bab dengan sistematika sebagai berikut:
Bab pertama adalah pendahuluan, merupakan pertanggungjawaban metodologis, terdiri atas latar belakang masalah, identifikasi masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, penegasan judul, telaah pustaka, metodologi penelitian, dan sistematika pembahasan
Bab kedua menjelaskan tentang tinjauan umum nikmat dan pangan, yang pembahasannya meliputi konsep nikmat serta yang berkaitan dengan nikmat, konsep pangan sekaligus dilengkapi dengan jenis-jenis tumbuhan yang dapat dimakan.
Bab ketiga mengemukakan penafsiran surat „Abasa ayat 24-32, yang meliputi terjemahannya, munasabahnya, tafsir mufradatnya serta penafsiran-penafsiran menurut para mufasir.
Bab keempat menyajikan analisis nikmat pangan menurut al-Qur’an surat „Abasa ayat 24-32, yang meliputi penafsiran para ulama’/ mufassir pada surat
(27)
18
„Abasa ayat 24-32 dan analisis jenis-jenis kenikmatan pangan dalam surat „Abasa ayat 24-32.
Bab kelima merupakan penutup yang memuat uraian kesimpulan yang berisi jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam rumusan masalah dan saran-saran yang dimaksudkan sebagai rekomendasi untuk kajian lebih lanjut.
(28)
19
BAB II
TINJAUAN UMUM NIKMAT DAN PANGAN
A. Konsep Nikmat
Kata
ةمعن
berasal dari lafadz al-nu’mu (معَنلا
) yang memiliki jama’ yaitu an’um/ ni’am (معنأ
/
معن
) yakni yang berarti kesenangan, kebahagiaan, kesejahteraan dan kemakmuran.1 Menurut pakar bahasa al-Zujjaz menulis bahwa kata ni’mah (ةمعن
) diartikan sebagai antonim dari kata niqmah (ةمقن
) yang terangkai dari kata ketiga huruf yang berarti tidak menyenangi sesuatu disertai dengan kemarahan,2 atau murka, amarah. Sedangkan persamaannya ialah al-minnah (ةَنما
) yang berati juga anugerah.3Kata nikmat yg berdiri sendiri dalam suatu redaksi terulang di dalam al-Qur’an sebanyak 34 kali dan mengandung banyak arti antara lain anugerah, ganjaran, kelapangan, rezeki, kekuasaan dan kehalusan/ kelembutan.4
Penggunaan kata ini di sisi mengisyaratkan bahwa anugerah Allah yang mereka peroleh itu sedikit jika dibandingkan dengan apa yang di sisi Allah. Demikian al-Biqa’i atau lebih tepat dikatakan bahwa anugerah Allah yang mereka
1
Munawwir, Al-Munawwir: Kamus..., 1438.
2
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 370.
3
Kamus Bahasa Arab, “Ni’mat”, (Kamus Bahasa Arab Digital, ver.2.0).
4
M. Quraish shihab, Tafsir Al-Quran al-Karim (Bandung: Pustaka Hidayat, 1999), 522.
(29)
20
peroleh itu walau banyak tetapi pada hakikatnya sedikit jika dibanding dengan anugerah yang dapat mereka peroleh jika mereka taat kepada-Nya.5
Quraish Shihab dengan kata nikmah diartikan secara khusus dengan arti agama atau wahyu-wahyu Allah swt.6 Pemahaman ini dikuatkan dengan adanya surat al-Dhuha ayat 11 dengan kata h}addith yang pada dasarnya berarti sampaikanlah secara lisan. Tentunya apabila nikmat diartikan dengan agama maka anugerah petunjuk-petunjuk Allah sudah jelas.
Ibnu Abbas mengartikan nikmat itu adalah anugerah yang berupa diutusnya Nabi Muhammad kepada manusia untuk membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah saw yang jelas, menyucikan serta membersihkan diri mereka dari akhlak-akhlak yang rendah.7
Sedangkan arti lain nikmat yaitu selera, senang dan keinginan yang terpenuhi maksudnya.8 Menurut al-Naisabbury menyebutkan definisi nikmat adalah sesuatu kebahagiaan yang diberikan hamba-Nya dengan mengingat-ingat anugerah-Nya.9 Hal ini mengacu pada pengertian bersyukurnya Allah kepada hamba-Nya. Kebaikan hamba-Nya adalah kepatuhan kepada Allah dalam menjalankan semua apa yang diperintahkan dan menjauhi semua yang dilarang-Nya.
Ah}mad Must}afa al-Mara>ghi dalam tafsirnya menyatakan kata “ al-ni’mah” merupakan pahala yang diterima oleh seseorang dalam beramal sebagai
5
Shihab, Tafsir al-Misbah...., 370.
6
Shihab, Tafsir al-Qur’an..., 526.
7Abu Fida’ Ibnu Katsir al
-Dimasyqi, Tafsir Ibnu Katsir juz II (Bandung: Sinar Baru, 2002), 43.
8
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), 782.
9Al-Naisabury, Risalah al-Qushairiyah
(30)
21
imbalan amal perbuatannya.10 Berbeda dengan menurut al-Shaikh Burha>n al-Di>n, nikmah mempunyai arti anugerah Allah yakni anugerahnya merupakan sebuah aspek dari rahmat-Nya. Sehingga pada puncaknya setiap pengalaman yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari baik penyingkapan (kashf), rasa (dhauq), minuman (shurb), dan pemuasan dahaga adalah melalui rahmat Ilahi. Tanpa rahmat Allah manusia tidak dapat berbuat apa-apa.11
Adapula yang mengartikan nikmat sebagai bagian dari seseorang yang telah mempergunakan sesuatu pada arah yang sesuai dengan semestinya.12 Demikian pula apabila seseorang telah bertindak tidak sesuai dengan arah yang semestinya atau mempergunakan hal-hal itu tidak selayaknya maka orang tersebut dikatakan telah menutupi kenikmatan Allah.
Nikmat juga berarti kesenangan, sehingga kesenangan yang diberikan Allah kepada hambanya itu bermacam-macam. Akan tetapi pengertian kesenangan di sini mengandung arti apabila seseorang telah menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya maka kesenangan itu dapat dicapai di akhirat (surga).13
Sehingga dari beberapa pengertian nikmat yang dijelaskan oleh beberapa ulama’ maka pengertian nikmat secara global adalah anugerah Allah yang diberikan kepada manusia baik berupa kebaikan, kebahagiaan, pahala, rahmat dan yang bersifat baik, maka pada umumnya digunakan untuk menggambarkan
10Ah}mad Must}afa al-Mara>ghi>, terj.
Tafsir al-Maraghi juz IV (Mesir: Must}afa Babi al-Halabi, 1970), 13.
11Burhan al-Di>n Ibra>him al-Dasuqi>y,
Semua Anak yang Mengikuti Ajaran Nabi saw (Bandung: Mizan 1996), 215.
12
Shihab, Wawasan al-Qur’an..., 221.
13
(31)
22
anugerah Allah swt kepada hamba-hambanya yang sadar atau diharapkan dapat sadar untuk dapat mempergunakan dengan sebaik-baiknya.
Adapun macam-macam nikmat terdiri dari dua kategori, di antaranya sebagai berikut:
1. Nikmat Jasmani/ fisik
Nikmat fisik merupakan suatu kenikmatan yang dirasakan oleh tubuh manusia. Seperti halnya nikmat sehat, nikmat makanan dan minuman, nikmat bersetubuh, nikmat angin sepoi-sepoi, dan lain-lain.
2. Nikmat Rohani/ mental
Nikmat rohani merupakan nikmat yang dirasakan oleh roh atau jiwa manusia. Seperti halnya nikmat jiwa yakni nikmat ilmu pengetahuan, nikmat akal pikiran, nikmat perasaan, nikmat iman dan lain sebagainya.14
Memandang pada topik sebagaimana judul yang disebutkan di atas, maka secara eksplisit pembahasan perihal nikmat pangan termasuk pada nikmat jasmani/ fisik. Dalam hal ini, telah dikuatkan bahwasannya pengkajian tentang nikmat pangan yang dikorelasikan dengan al-Qur’an telah sesuai pada konsep nikmat.
Namun, dengan tersebutnya beberapa macam nikmat di atas bukanlah sekedar mengetahui macam-macamnya. Akan tetapi, kewajiban manusia untuk mensyukuri segala nikmat yang diberikan Allah. Adapun cara mensyukuri nikmat Allah terdapat beberapa macam, di antaranya:
14
Hasan al-Jailani, Menyingkap Kebahagiaan yang Tersembunyi (Jakarta: Kusuma Press, 1988), 35.
(32)
23
1. Mensyukuri dengan hati, dengan mengakui, mengimani dan meyakini bahwa segala bentuk kenikmatan ini datangnya dari Allah semata.
2. Mensyukuri dengan lisan, dengan memperbanyak ucapan alh{amdulillah (segala puji milik Allah) washshukru lilla>h (dan segala bentuk syukur juga milik Allah).
3. Mensyukuri dengan perbuatan.
a. Mempergunakan segala bentuk kenikmatan Allah untuk menunaikan perintah-perintah Allah, baik perintah wajib, sunnah maupun mubah. b. Mempergunakan segala bentuk kenikmatan Allah dengan cara
menghindari, menjauhi dan meninggalkan segala bentuk larangan Allah, baik larangan yang haram maupun yang makruh.15
Syukur dengan hati, lisan dan perbuatan ini hendaklah terefleksi dan tercermin pada setiap momentum yang bersifat z{ahir, bahkan yang tersamar sekalipun. Hal demikian, dianjurkan oleh al-Qur’an pada surat al-Ankabut ayat 17 sebagai berikut:
َنوُدُبْعَ ت َنيِذَلا َنِإ اًكْفِإ َنوُقُلَََْو اًناَثْوَأ ِهَللا ِنوُد ْنِم َنوُدُبْعَ ت اَََِإ
اًقْزِر ْمُكَل َنوُكِلََْ ا ِهَللا ِنوُد ْنِم
ُ َنوُعَجْرُ ت ِهْيَلِإ ُهَل اوُرُكْشاَو ُوُدُبْعاَو َقْزّرلا ِهَللا َدْنِع اوُغَ تْ باَف
٨٢
َ
Sesungguhnya apa yang kamu sembah selain Allah itu adalah berhala, dan kamu membuat dusta. Sesungguhnya yang kamu sembah selain Allah itu tidak mampu memberikan rezki kepadamu; Maka mintalah rezki itu di sisi Allah, dan
15
(33)
24
sembahlah Dia dan bersyukurlah kepada-Nya. hanya kepada- Nyalah kamu akan dikembalikan.16
Di samping itu juga patut dan bahkan wajib sekali untuk bersyukur kepada Allah. Apalagi perintah ini dipertegas oleh Allah dalam al-Qur’an surat al-Kautsar yang berbunyi:
ُ َرَ ثْوَكْلا َكاَنْ يَطْعَأ اَنِإ
٨
َ
ُ ْرَْْاَو َكّبَرِل ّلَصَف
٤
َ
“Sesungguhnya Kami telah memberikan nikmat yang banyak, maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah.”17
Nikmat atau rezeki yang diterima adalah barokah Allah, meskipun hanya kecil dan sedikit tetapi cukup dan menentramkan hati. Karena orang yang selalu bersyukur akan diberikan keidupan terasa menjadi tentram, damai, tenang, dan bahagia serta terhindar dari fitnah dan azab dunia serta akhirat.
Perintah atau anjuran-anjuran tersebut diatas adalah merupakan alat ukur untuk mengetahui seberapa jauh dalam membalas rasa syukur, serta kenikmatan dalam hal kesehatan serta hal yang membuat manusia mampu untuk memenuhi keinginannya terhadap Allah. Akan tetapi tentu saja semua hal yang berkaitan kenikmatan di dunia semua itu merupakan hanya kenikmatan sementara yang nantinya akan diambil oleh Allah.
16
Depag RI, Al-Qur’an dan..., 398.
17
(34)
25
B. Konsep Pangan
Kata pangan dimaksudkan adalah panganan18 yang berasal dari kata “makanan”.19Kata “makanan” berasal dari lafadz “al-at}’imah”. Kata “al-at}’imah” adalah bentuk jamak dari kata “t}a’a>m”. Menurut lughat ialah perkara yang dapat dimakan dan segala perkara yang dijadikan untuk kekuatan. Sebagaimana dalam firman Allah swt:
اَمَلَ ف
َلَصَف
ُتوُلاَط
ِدوُنُْْاِب
َلاَق
َنِإ
َهَللا
ْمُكيِلَتْبُم
ٍرَهَ نِب
ْنَمَف
َبِرَش
ُهْنِم
َسْيَلَ ف
ِِّم
ْنَمَو
َْل
ُهْمَعْطَي
ُهَنِإَف
ِِّم
اِإ
ِنَم
َفَرَ تْغا
ًةَفْرُغ
ِِدَيِب
اوُبِرَشَف
ُهْنِم
اِإ
ايِلَق
ْمُهْ نِم
اَمَلَ ف
َُزَواَج
َوُ
َنيِذَلاَو
اوُنَمآ
ُهَعَم
اوُلاَق
ا
َةَقاَط
اَنَل
َمْوَ يْلا
َتوُلاَِِ
ِِدوُنُجَو
َلاَق
َنيِذَلا
نُظَي
َنو
ْمُهَ نَأ
وُقاُم
ِهَللا
ْمَك
ْنِم
ٍةَئِف
ٍةَليِلَق
ْتَبَلَغ
ًةَئِف
ًةَرِثَك
ِنْذِإِب
ِهَللا
ُهَللاَو
َعَم
َنيِرِباَصلا
ُ
٤٢٤
َ
Maka tatkala Thalut keluar membawa tentaranya, ia berkata: "Sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan suatu sungai. Maka siapa di antara kamu meminum airnya; bukanlah ia pengikutku. dan Barangsiapa tiada meminumnya, kecuali menceduk seceduk tangan, Maka Dia adalah pengikutku." kemudian mereka meminumnya kecuali beberapa orang di antara mereka. Maka tatkala Thalut dan orang-orang yang beriman bersama Dia telah menyeberangi sungai itu, orang-orang yang telah minum berkata: "Tak ada kesanggupan Kami pada hari ini untuk melawan Jalut dan tentaranya." orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah, berkata: "Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah, dan Allah beserta orang-orang yang sabar."20
18
Poerwodarminto, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2001),705.
19
Dessy Anwar, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Terbaru (Surabaya: Amelia, 2003),309.
20
(35)
26
Berdasarkan ayat ini, t}a’a>m diungkapkan umumnya untuk segala perkara yang dapat dimakan dan kadang diungkapkan pula untuk perkara yang dapat diminum.21
Istilah makanan dalam bahasa Arab disebutkan dengan tiga buah istilah kata yaitu aklun, t}a’a>m, ghizaun,22 sedangkan di dalam al-Qur’an kata makanan disebutkan dalam empat istilah kata yaitu t}a’a>m, shariba, ghizaun dan m>aidah. Kata t}a’a>m dan berbagai bentuk derivasinya disebutkan sebanyak 48 kali dalam al-Qur’an,23 kata shariba disebutkan sebanyak 38 kali, kata ghizaun disebutkan sebanyak 2 kali dan kata ma>’idah disebutkan 5 kali dalam al-Qur’an. Ayat-ayat tersebut terdiri dari beberapa bentuk, diantaranya adalah dalam bentuk perintah dalam al-Qur’an yang terdapat 27 kali dalam berbagai konteks dan arti seperti dalam ayat 24 surat „Abasa.
Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia paling utama dan pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai komponen dasar untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas.24
Tujuan disusunnya undang-undang pangan adalah untuk melindungi konsumen dari resiko kesehatan serta membantu konsumen dalam mengevaluasi, dan memilih bahan dan produk pangan yang akan mereka konsumsi. Undang-undang pangan juga bertujuan untuk membantu dan membina produsen makanan
21Abu Sari’ Muhammad Abdul Hadi,
Hukum Makanan dan Sembelihan dalam Pandangan Islam, ter. H. Sofyan (Bandung: Trigenda Karya, 1997), 18.
22
Adib Bisyri dan Munawwir A. Fatah, Kamus al-Bisyri (Surabaya: Pustaka Progressif, 1991), 201.
23Muh{ammad Fu’ad ‘Abdul al-Baqi>, al-Mu’jam al-Muhfahras li> al-Fa>dz al-Qur’a>n
al-Kari>m (Beirut: al-Da>r al-Fikr, 1981 M/ 1410 H), 425-426.
24
(36)
27
dalam meningkatkan mutu produk yang dihasilkan serta memfasilitasi terjadinya perdagangan yang jujur. Disamping itu undang-undang pangan juga bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan masyarakat secara luas, serta meningkatkan kegiatan ekonomi negara.
Dalam menjabarkan petunjuk pelaksanaannya undang-undang pangan tersebut dibentuklah Peraturan Pemerintah. Sejauh ini telah ada dua Peraturan Pemerintah atau PP, yaitu PP No 69, tahun 1999, tentang Iabel dan Iklan. Sekaligus PP No 28, tahun 2004 tentang Mutu Gizi dan Keamanan Pangan.25
Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dan pembuatan makanan atau minuman.26
Jenis-jenis pangan dibedakan menjadi 2 bentuk, di antaranya:
1. Pangan segar adalah pangan yang belum mengalami pengolahan, yang dapat dikonsumsi langsung atau dijadikan bahan baku pengolahan, yang dapat dikonsumsi langsung atau dijadikan bahan baku pengolahan pangan. Misalnya beras, gandum, segala macam buah, ikan, air segar, dan sebagainya.
25Ali Madzkur, “Pengertian Pangan”,
http://www.pengertianahli.com/2013/11/pengertian-pangan-dan-jenis-jenis-pangan.html (Rabu, 25 Februari 2015, 15.10)
26
(37)
28
2. Pangan olahan adalah pangan atau minuman hasil proses dengan cara atau metode tertentu, dengan atau tanpa bahan tambahan. Pangan olahan dibedakan lagi menjadi dua jenis, yaitu:
a. Pangan olahan tertentu ialah pangan olahan yang diperuntukkan bagi kelompok tertentu, dalam upaya memelihara dan meningkatkan kualitas kesehatan kelompok tersebut.
b. Pangan siap saji ialah makanan atau minuman yang sudah diolah dan bisa langsung disajikan ditempat usaha atau di luar tempat usaha atas dasar pesanan.27
Adapun gizi pangan adalah zat atau senyawa yang terdapat dalam pangan yang terdiri atas karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral serta tanamannya yang bermanfaat bagi pertumbuhan dan kesehatan manusia.
Bagi tumbuhan, pangan disintesis sendiri dengan energi sinar matahari, mikro organisme hanya memerlukan sumber energi yang sederhana. Untuk hewan memerlukan pangan antara lain berupa tanaman dalam bentuk molekul yang kompleks.
Kekurangan pangan, dapat menimbulkan akibat yang sulit ditoleransi, terutama pada anak-anak balita sehingga masalah pangan menjadi sangat penting dan menentukan tingkat kesehatan (fisik, mental, sosial). Kekurangan pangan di Indonesia muncul dalam bentuk: (1) Kekurangan kalori-protein (KKP); (2) Kekurangan vitamin A; (3) Gondok endemik dan kretinin; (4) Anemia gizi
27
Cahyo Saparinto dan Diana Hidayati, Bahan Tambahan Pangan (Yogyakarta: Kanisisus, 2006), 14.
(38)
29
(kekurangan zat besi). Kekurangan pangan dan gizi, terutama pada balita dapat menurunkan kualitas manusianya, sehingga kualitas SDM dapat sangat terbatas.
Hal demikian berpengaruh pada produksi pangan, oleh karenanya Produksi pangan merupakan industri paling vital di dunia. Bahan pangan menyediakan sumber energi terbesar bagi proses kehidupan. Bisnis pertanian, produsen bahan kimia dan mesin-mesin pertanian, peghasil bibit tanaman pertanian, serta perusahaan pemroses makanan, terlibat dalam proses produksi pangan. Organisasi-organisasi pertanian raksasa yang disebut agrobisnis, memegang peranan besar dalam menentukan sesuatu yang dimakan.28
Pemerintah juga turut berperan dalam menentukan jenis makanan yang diproduksi, cara produksi, serta pendistribusian. Di tingkat global, para pakar lingkungan, juru kampanye prokeamanan pangan dan kelompok-kelompok LSM yang berusaha mewujudkan keadilan sosial, mempunyai pendapat berbeda sehubungan dengan hal ini. Dalam lingkup lokal hingga nasional, sekelompok kecil petani mandiri dan konsumen yang berpengetahuan memunculkan perdebatan seputar pangan. Manusia mempunyai hak dan kewajiban untuk mengetahui pandangan berbagai kelompok yang berbeda-beda sebelum menjatuhkan pilihan terhadap apa yang akan manusia konsumsi.29
Karena pada dasarnya manusia berupaya mendapatkan pangan dan mengolah pangan demi mempertahankan hidup. Segala bangsa dan setiap pemimpinnya tidak pernah lelah memikirkan cara mendapatkan pangan. Berbagai
28Rudi Wijaya, “Konsep Pangan”,
http://e-journal.uajy.ac.id/1589/3/2EP12752.pdf (Rabu, 25 Februari 2015, 15.32)
29
Jim Kerr, Pangan: Pro dan Kontra Pangan Modern (Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2009),5.
(39)
30
strategi, politik dan teknologi pangan dicari dan dijalankan agar pangan tetap tersedia.
Pergulatan itu akan terus terjadi di tengah ancaman ledakan jumlah manusia dan sedikitnya sumber pangan. Manusia diberkahi pikiran untuk terus berinovasi agar kehidupan itu berlangsung. Inovasi untuk mendapatkan pangan tidak akan berhenti ketika manusia masih berdiri di muka bumi.30
C. Jenis-jenis Tumbuhan yang Dapat Dimakan
Kehidupan manusia telah memiliki berbagai aktifitas, baik pagi hari hingga petang. Adapun dalam bergeraknya organ tubuh manusia pasti dibutuhkannya gizi dalam pangan. Tiada lain untuk memberi energi atau stamina yang sesuai kebutuhan personal manusia. Terlebih pada makanan berjenis tumbuh-tumbuhan. Oleh karenanya, tumbuh-tumbuhan memiliki gizi yang sarat kandungan vitamin sekaligus sebagian besar dapat dijadikan sebagai bahan dasar obat-obatan.
Berbagai macam jenis tumbuhan, sebagian besar dapat dikonsumsi mulai dari akar, batang, buah bahkan daunnya. Dengan begitu, dalam kehidupan sehari-hari manusia bahkan hewan bergantung dengan adanya perkembangan tumbuh-tumbuhan. Baik yang dikonsumsi itu untuk dimakan maupun untuk keperluan rumah tangga.31
30
Andreas Maryoto, Jejak Pangan: Sejarah, Silang Budaya dan Masa Depan (Jakarta: Kompas Buku, 2009), 250.
31
Helmi Sudiro, Urgensi Pangan dalam Kehidupan Sehari-hari (Semarang: Angkasa Press, 1989), 29.
(40)
31
Adapun jenis-jenis tumbuhan yang dapat dimakan telah dibedakan oleh beberapa bagian, di antaranya:
1. Buah-buahan
Adanya berbagai jenis buah-buahan seperti anggur, jeruk, kurma, mangga, jambu dan zaitun. Disamping dapat dikonsumsi untuk sekedar makanan sampingan (pencuci mulut). Namun, buah-buahan tersebut dapat diolah dalam berbagai olahan seperti, minuman, selai bahkan sup buah.
2. Sayur-sayuran
Sayur-sayuran merupakan bagian tanaman yang dimakan bukan sebagai makan pencuci mulut, pada umumnya dimasak dahulu (kecuali dimakan untuk lalap) dan dimakan bersama makanan pokok dan lauk-pauk lainnya. Terdapat berbagai macam sayur-sayuran seperti halnya sawi, brokoli, selada, kubis dan lain-lain.
3. Biji-bijian
Sebagian besar biji-bijian dijadikan makanan pokok bagi manusia. Seperti halnya biji gandum, biji padi dan biji jagung. Dikarenakan memiliki kandungan karbohidrat yang dibutuhkan pada tubuh manusia.32
Banyak orang tidak mengenal dan menyadari bahwa dari jenis tanaman sebenarnya sangat berguna dalam kehidupan sehari-hari, dapat memberikan gairah
32
(41)
32
dan semangat hidup yang lebih berguna. Jenis-jenis tumbuhan tersebut dipergunakan untuk penyembuhan penyakit, kesehatan serta perawatan jasmani dan rohani. 33
Namun, semua itu tetap dikonsumsi sesuai dengan kadar keseimbangan masing-masing tubuh personal. Jika tidak dikonsumsi dengan baik, walaupun makanan tersebut memiliki kandungan gizi yang besar, maka justru menjadikan kandungan tersebut sebagai awal timbulnya penyakit.
33
(42)
33
BAB III
PENAFSIRAN SURAT ‘ABASA AYAT 24
-32
A. Surat ‘Abasa Ayat 24-32 dan Terjemahnya
ُ ِهِماَعَط َلِإ ُناَسْنإا ِرُظْنَ يْلَ ف
٤٢
َ
ُ اًبَص َءاَمْلا اَنْ بَبَص اَنَأ
٤٢
َ
ُ اًقَش َضْرأا اَنْقَقَش َُث
٤٢
َ
اَنْ تَبْ نَأَف
ُ اًبَح اَهيِف
٤٢
َ
ُ اًبْضَقَو اًبَنِعَو
٤١
َ
ُ اَََْو اًنوُتْ يَزَو
٤٤
َ
ُ اًبْلُغ َقِئاَدَحَو
٠٣
َ
ُ اًبَأَو ًةَهِكاَفَو
٠٨
َ
ُ ْمُكِماَعْ نأَو ْمُكَل اًعاَتَم
٠٤
َ
24. Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya.
25. Sesungguhnya Kami benar-benar telah mencurahkan air (dari langit), 26. kemudian Kami belah bumi dengan sebaik-baiknya,
27. lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu, 28. anggur dan sayur-sayuran,
29. zaitun dan kurma,
30. kebun-kebun (yang) lebat,
31. dan buah-buahan serta rumput-rumputan,
32. untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu.1
B. Penafsiran Ayat
1. Tafsir Mufradat
َانْقَقَش
: Kata syaqaqna> adalah fi’il ma>d}i yang dihubungkan dengan d}omi>r “na>” (kami) yang artinya kami belah, kami bukakan, atau kami rekah. Ayat 26 ini menggambarkan betapa Allah swt telah menganugerahkan dan melimpahkan berbagai macam makanan yang dibutuhkan manusia dalam kehidupaan mereka di dunia. Allah swt mencurahkan air hujan di muka bumi ini dengan sangat cukup, kemudian merekahkan permukaan bumi1
Depag RI, Al-Qur’an dan..., 585.
(43)
34
supaya terbuka dan mendapat sinar matahari dan udara juga masuk menyuburkan bumi. Bumi menjadi subur dan segala macam tanam-tanaman pun tumbuh di muka bumi baik biji-bijian, sayur-sayuran, buah-buahan dan segala macam dan segala macam yang dubtuhkan manusia. kata syaqaqna> dengan menggunakan fi’il ma>d}i di sini bukan berarti terjadi pada masa yang lalu, tetapi menunjukkan benar-benar terjadi, pasti terjadi, sebagaimana kisah-kisah tentang hari Kiamat dan peristiwa hari akhirat yang menggunakan fi’il ma>d}i adalah menunjukkan hal itu benar-benar terjadi.2
اَبْلُغ
: Ghulb artinya lebat, pohon-pohon yang rindang, banyak daun dan cabang-cabangnya. Kata al-ghalb adalah bentuk isim masdar dari fi’il ghalaba-yaghlibu-ghalban wa ghalbatan yang artinya mengalahkan atau mengatasi. Ayat 30 yang berbunyi “wa hada>iqa ghulba>n” adalah ‘at}af atau sambungan dari ayat-ayat sebelumnya, yaitu mulai dari ayat 27, 28, 29 dan 30 yang artinya; maka Kami tumbuhkan di sana biji-bijian, anggur, sayur-sayuran, zaitun, kurma dan kebun-kebun yang rindaang, banyak cabangnya dan lebat daunnya. Dalam kalimat ini, kata ghulban adalah sebagai maf’u>l mut}laq yang menunjukkan jenis tumbuh-tumbuhan yang lebat dan rindang. Hal ini sesuai dengan kebutuhan manusia pada suasana kesejukan dimana sinar sinar dan panas matahari diserap oleh daun-daun yang hijau sehingga udara di sekelilingnya2
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya vol 10 (Jakarta: Widya Cahaya, 2011), 552.
(44)
35
menjadi sejuk dan segar, seperti sering dikatakan hutan yang lebat adalah paru-paru dunia.3
اَبأ
:
Ialah rerumputan tanpa manusia menabur benih-benihnya. Sekaligus yang biasa dimakan oleh hewan ternak seperti halnya keledai dan lain-lain.42. Munasabah
Setelah ayat-ayat yang lalu menguraikan perjalanan hidup manusia sejak nuthfah sampai dibangkitkan, dan menegaskan pula bahwa manusia belum menyelesaikan tugasnya, kini diuraikan anugerah Allah swt kepada manusia dalam hidup ini yang berupa pangan.5 Sekaligus Allah memperingatkan lagi nikmat-nikmat lain yang erat hubungannya dengan keperluan pokok hidup manusia yaitu makanan-makanan yang dimakan.6 Yaitu salah satu rezeki manusia yang telah tercantum dalam al-Qur’an, dan hal ini bertujuan agar manusia mengambil pelajaran dari bermacam-macam nikmat yang dikaruniakan Allah swt kepadanya, sehingga akan bersyukur dan taat kepada-Nya.7
3
Ibid., 552-553.
4
Muhyi> al-Di>n al-Darwi>shi>, I’ro>b al-Qur’a>n al-Kari>m wa Baya>nuhu jilid 8 (Damaskus: al-Da>r al-Yama>mah, t.t), 222.
5
Agama RI, Al-Qur’an dan..., 553.
6
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Kesan, Pesan dan Keserasian Al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati, 2002) 84-85.
7Muh{ammad ‘Ali al-S{a>bu>ni>, Safwah al-Tafa>sir Juz IV (Lebanon: al-Da>r al-Fikr, 2001),
(45)
36
3. Tafsir Ayat
Permulaan ayat 24 surat „Abasa telah tercantum lafadz falyanz}u>r, kata yanz}ur dapat berarti melihat dengan mata kepala bisa juga melihat dengan mata hati, yakni merenung/berfikir.8 T{a>hir Ibn ‘Ashu>r memahaminya di sini dalam arti melihat dengan mata kepala karena ada kata (
لإ
) ila/ke yang mengiringi kata tersebut. Dimaksudkan melihat dengan pandangan mata harus dibarengi dengan upaya berpikir dan inilah yang dimaksud oleh ayat di atas.9Ayat 24 surat „Abasa telah memberi pesan bahwa manusia disuruh melihat dan menyaksikan sendiri bagaimana pertalian hidupnya dengan bumi tempat dia berdiam. Kemudian merenungi dari mana datangnya makanan itu dan bagaimana tingkat-tingkat pertumbuhannya sehingga makanan itu telah ada saja dalam piring yang biasa terhidang di hadapannya.10 Serta memiliki kandungan makanan yang bergizi yang mengandung protein, karbohidrat, dan lain-lain. Sehingga memenuhi kebutuhan jasmaninya, serta manusia dapat merasakan kelezatan makanan dan minumannya yang juga menjadi pendorong bagi pemeliharaan tubuhnya agar tetap dalam keadaan sehat dan mampu menunaikan tugas yang dibebankan kepadanya.11
Oleh karena itu, makan adalah sesuatu yang paling lekat dan selalu ada pada manusia. Namun menurut al-T{abari> tidak hanya pada proses terbentuknya
8
Shihab, Tafsir al-Misbah..., 85.
9Muh{ammad al-T{a>hir Ibn ‘Ashu>r, al-Tah{ri>r wa al-Tanwi>r juz 30 (Tunisia: Da>r
al-Tu>nisia li Nathr, t.t), 129.
10
Hamka, Tafsir al-Azhar juz 30 (Jakarta: Pustaka Panjimas,1982), 51.
11
(46)
37
makanan, tetapi juga dimaksudkan pada (
هبارش
) yakni minumannya.12 Jadi, hendaklah manusia memperhatikan yang dimudahkan baginya tetapi sangat vital, di depan mata dan terjadi berulang-ulang. Supaya manusia memperhatikan ceritanya yang menakjubkan tetapi mudah bila dinisbatkan kepada hal-hal yang menakjubkan itu. Ini merupakan suatu mukjizat (keluarbiasaan) seperti luar biasanya penciptaan dan kejadian manusia. Setiap langkah dari langkah-langkahnya berada di tangan kekuasaan yang menciptakan.13Adapun yang diutarakan oleh Fakhr al-Di>n al-Ra>zi> dalam kitabnya, bahwa terdapat dua hal yang perlu diperhatikan dalam makanan yang dikonsumsi manusia. Yaitu mengetahui perkembangan adanya makanan sehingga wujudnya nampak sebagai makanan yang biasa dikonsumsi manusia dan harus bermanfaat bagi tubuh manusia serta halal menurut dalil-dalil al-Qur’an (tidak shubhat).14
Berbeda dengan apa yang dikatakan oleh Ibn „Abbas, bahwa seruan untuk memperhatikan makanannya itu agar kerendahan/ kehinaan atas kekuasaan manusia dan kebinasaan usia manusia.15 Berbeda juga dengan yang dikatakan oleh al-Shauka>ni>, menurut mujahid yakni (
هجرخ و
هلخدم
لإ
) yang12Abi Ja’far Ibnu Jari>r al-T{abari>, Tafsi>r al-Tabari> Jami’ al-Baya>n ‘an Ta’wi>l al-Qur’a>n
jilid 24 (Beirut: al-Da>r al-Hijr, t.t) 115.
13
Qut}t}ub, Tafsi>r fi>..., 181.
14
Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Tafsi>r al-Kabi>r wa Mafa>tih al-Ghaib jilid 3 (Beirut: Da>r al-Fikr, 1414 H), 62.
15
Isma>’il Haqqi> bin Mus}t}afa> al-H{anafi> al-Khalwati> al-Baruswi>, Ru>h al-Baya>n fi> Tafsi>r al-Qur’a>n jilid 10 (Beirut: al-Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.t), 342.
(47)
38
bermaksud menjelaskan bagaimana Allah memberi langkah-langkah penciptaan makanan bagi tubuh manusia,16 dalam hal ini terungkap pada ayat ke 25 surat „Abasa yang berbunyi:
ُ اًبَص َءاَمْلا اَنْ بَبَص اَنَأ
٤٢
َ
Sesungguhnya Kami benar-benar telah mencurahkan air (dari langit).17
Asal mulanya ialah bahwa bumi itu kering, maka turunlah hujan laksana dicurahkan dari langit. Maka bumi yang laksana telah mati itu hiduplah kembali.18 Sehingga dapat memenuhi kebutuhan semua makhluk-Nya, baik manusia, binatang, maupun tumbuh-tumbuhan secara mengagumkan.19
Pencurahan air dalam bentuk hujan adalah suatu hakikat (kenyataan) yang dapat diketahui setiap manusia dalam semua lingkungan dan apapun tingkat pengetahuan manusia. Ini adalah suatu hakikat yang dibicarakan kepada setiap manusia. Sedangkan apabila manusia itu mengalami kemajuan dalam pengetahuannya, maka dia akan mengetahui bahwa kandungan yang ditunjuki nash ini lebih jauh dan lebih luas dari pada hujan yang biasa terjadi setiap waktu dan dilihat setiap orang itu. Perkiraan paling dekat sekarang untuk menafsirkan keberadaan lautan luas yang airnya menguap kemudian turun kembali dalam bentuk hujan. Atau, perkiraan terdekat bahwa lautan ini
16Muh{ammad bin ‘Ali bin Muh{ammad al-Shauka>ni>, Fath al-Qadi>r jilid 5 (Qa>hirah:
al-Da>r al-Hadi>th, t.t), 454.
17
Depag RI, Al-Qur’an dan..., 585.
18
Hamka, Tafsir al-Azhar..., 51-52.
19
(48)
39
mula terbentuk di langit, kemudian dicurahkan dengan sungguh-sungguh ke bumi.20
Perkiraan ini, seandainya jika tidak dihubungkan dengan nash al-Qur’an, memperluas keterbatasan persepsi tehadap nash dan sejarah yang diisyaratkannya. Yaitu, sejarah pencurahan air dengan pencurahan yang sebenar-benarnya, dan apa yang dikemukakannya ini adalah benar. Ditemukan juga perkiraan lain mengenai asal-usul air di bumi ini, sedang nash al-Qur’an tetap up to date untuk membicarakannya kepada semua manusia pada semua lingkungan dan generasi.21
Mayoritas ulama’ membaca (inna>) dengan menggunakan kasrah karena menduduki isti’na>f, berbeda dengan para ulama Kuffah dan Rawaisul dari Ya’qub, membacanya menggunakan fathah karena kedudukannya menjadi badal dari (t}a’a>mih) disebutnya badal ishtima>l karena disebabkan proses turunnya hujan yang menghasilkan makanan, maka disebut mushta’mal alaih atau taqdi>r lam ‘illat. Adapun menurut al-Zujjaj, dibaca kasrah karena berkedudukan menjadi ibtida’ dan isti’na>f. Adapun jika terbaca fath{ah{, berarti bermakna badal dari t}a’a>m.22
Tidak jauh berbeda dengan yang dituturkan oleh T{a>hir ibn ‘Ashu>r, menurutnya mayoritas ulama’ membacanya (inna> s}ababna>) menggunakan hamzah kasrah (inna>) yang merupakan (al-jumlah baya>n li> al-jumlah). Adapun beberapa ulama’ seperti Imam „As}im, Hamzah, al-Kasa>i>, Khala>f, Rawais dari
20Qut}t}ub,
Tafsir fi..., 181.
21
Ibid., 181-182.
22al-Shauka>ni>,
(49)
40
Ya’qub menggunakan fathah yang merupakan isim badal ishtima>l dari (t}a’a>m) atau badal yang biasa disebut oleh sebagian ahli nahwu adalah badal mufass}}al min mujmal.23
Begitulah permulaan cerita makanan, “Sesungguhnya Kami benar-benar telah mencurahkan air”. Tidak seorang pun yang mengira bahwa Allah swt telah menciptakan air ini dalam berbagai bentuknya dan berbagai cerita kejadiannya. Manusia tidak mengira bahwa Allah telah mencurahkannya ke bumi dengan sungguh-sungguh, supaya cerita makanan ini berjalan sesuai alurnya.
Proses selanjutnya ialah pada ayat ke 26 surat „Abasa yang berbunyi,
ُ اًقَش َضْرأا اَنْقَقَش َُث
٤٢
َ
Kemudian Kami belah bumi dengan sebaik-baiknya.24
Ini merupakan kelanjutan tahap pencurahan air. Kisah ini sangat layak dikemukakan kepada manusia yang mula-mula melihat air tercurah dari langit dengan kekuasaan yang bukan kekuasaan dirinya, dan dengan pengaturan yang bukan manusia mengaturnya. Kemudian dia melihat bumi merekah dan tanahnya mengembang. Atau, ia melihat tumbuhan membelah bumi (tanah) dengan kekuasaan Yang Maha Pencipta tumbuh menurut cara dan bentuknya dan berkembang di udara di atas kepalanya.25
23‘Ashu>r, Tafsi>r al-Tahri>r...,
131.
24
Depag RI, Al-Qur’an dan..., 585.
25
(50)
41
Benih tanaman itu kecil dan kurus, sedang bumi (tanah) di atasnya (yang menindihnya) adalah berat. Tetapi, tangan yang mengaturnya membelah bumi untuknya dan membantunya tumbuh menerobos timbunanan tanah itu. Padahal, benih (tanaman yang masih berupa bakal batang, bakal daun dan sebagainya) itu kecil, lemas dan lembut. Ini adalah suatu keajaiban luar biasa yang dapat dilihat oleh setiap orang yang mau merenungkan terbelahnya tanah diterobos oleh tumbuh-tumbuhan untuk tumbuh. Juga dapat dilihat oleh setiap orang yang merasakan adanya kekuatan yang mutlak di baliknya, kekuatan yang halus dan tersembunyi dalam tumbuhan yang lembek dan lemas itu.
Apabila pengetahuan manusia semakin meningkat, maka berkembang pulalah jangkauan pemikirannya terhadap nash ini. Mungkin pembelahan bumi itu agar ia layak ditumbuhi tumbuh-tumbuhan dengan gambaran yang jauh melebihi apa yang manusia gambarkan di muka. Selain itu, agar supaya udara dan sinar matahari dapat masuk ke dalam bagian bumi. Sehingga tanahnya menjadi subur untuk menumbuhkan berbagai tanaman.26 Mungkin ia mencakup pengertian perekahan kerak bumi disebabkan penempatan besar yang diisyaratkan oleh perkiraan ilmiah sebagaimana disebutkan di muka. Juga disebabkan oleh unsur-unsur udara yang banyak yang oleh para ilmuwan sekarang diprediksi bahwa unsur-unsur ini bekerja sama untuk membelah kerak bumi yang keras di permukaan bumi yang merupakan kulitnya.27
Bumi yang tadinya kering dan keras sehingga tidak ada yang dapat tumbuh, dengan turunnya hujan maka lunaklah tanah tadi menjadi luluk/
26
Agama RI, Al-Qur’an dan..., 553.
27Quttub, Tafsi>r fi>
(51)
42
lumpur.28 Sehingga diperoleh lapisan tanah yang layak ditumbuhi tanaman. Adapun menurut penuturan al-Zuh{aili>, setelah terbelahnya bumi kemudian keluarlah sebuah tumbuhan. Sehingga semakin tinggi tampaklah wujud dari tumbuhan itu. Bahkan berbagai jenis tumbuhan kecil maupun besar, serta berbagai macam bentuk, dan warna. Namun dengan berbagai macam tumbuhan, yang dimaksudkan adalah seperti halnya makanan, obat-obatan, dan rumput-rumputan.29 Ini merupakan bekas atau dampak yang ditimbulkan oleh air sebagai kelanjutan sejarah pencurahan air itu, yang sangat serasi dengan apa yang diisyaratkan oleh nash-nash tersebut.
Selanjutnya, adalah tahap penyebaran biji-bijian sebagaimana yang diutarakan oleh al-T{abari> dalam karyanya yakni Jami’ al-Baya>n dengan menggunakan penyebutan (
عرزلا
ّبح
). Tepatnya tertera dalam ayat 27 surat „Abasa berbunyi:اَنْ تَبْ نَأَف
اَهيِف
اًبَح
ُ
٤٢
َ
Lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu.30
Ini meliputi semua biji-bijian, yang dimakan oleh manusia dalam semua wujudnya, dan dimakan oleh binatang dalam semua keadaan.31 Terdapat juga biji yang tumbuh menjadi makanan pokok bagi manusia dan dapat juga
28
Hamka, Tafsir al-Azhar..., 52.
29Wahbah al-Zuh{aili>, Tafsi>r al-Muni>r jilid 15 (Damaskus: al-Da>r al-Fikr, t.t), 439. 30
Depag RI, Al-Qur’an dan..., 585.
31
(52)
43
disimpan.32 Apalagi diperuntukkan bagi negeri-negeri yang makanan pokoknya berupa padi. Seperti halnya sawah juga dilulukkan lebih dahulu baru dapat ditanami benih. Termasuk benih padi, benih gandum, benih kacang dan jagung.33
Setelah ayat yang lalu menjelaskan bahwa Allah swt menumbuhkan biji-bijian, kemudian ayat selanjutnya menyebutkan beberapa tumbuhan yang tumbuh dari berbagai macam biji-biji. Di antaranya dalam ayat ke 28 surat „Abasa yang berbunyi:
ُ اًبْضَقَو اًبَنِعَو
٤١
َ
Anggur dan sayur-sayuran.34
Pada lafadz „wa ‘inaba>’ dimaksudkan sebagai ‘at}af atas lafadz „habba>’, serta tidak dari kelaziman ‘at}af yang mengkaitkan ma’t}u>f dengan keseleruhan yang mengkaitkannya ma’t}u>f alaih. Maka janganlah merusakkan tumbuhan anggur yang berasal dari terbelahnya bumi dan begitu juga pada tumbuhan lainnya.35
Lafadz “’inab” berarti anggur, itu sudah populer, dan “qad}b” adalah segala sesuatu yang dimakan dalam keadaan basah dan lembab yang berupa sayuran yang dipotong sekali sesudah kali lain.36
32
Muhammad ‘Ali al-S{a>bu>ni>, Safwah al-Tafa>sir jilid 5 ter. Yasin (Jakarta: al-Kauthar, 2012), 643.
33Hamka, Tafsir al-Azhar..., 52. 34
Depag RI, Al-Qur’an dan..., 585.
35
al-Baruswi>, Ru>h al-Baya>n..., 343.
(53)
44
Namun berbeda dengan pendapat al-T{abari> dalam kitab tafsirnya, lafadz “’inab” berarti (
بنع
مرك
) atau kebun anggur. Dan (ابضق
) yang berartiبضقلا
ةبطرلا
atau sayuran dari berbagai jenis tumbuhan yang biasa ahli Makkah menyebutnyaبضقلا
َتقلا
(potongan sayur).37 Namun al-Zuh}aili> menyamakanبضقلا
denganف
لعلا
atau makanan hewan.38Dengan mensejajarkan anggur sebagai buah-buahan yang dapat dimakan langsung dengan sayur-sayuran lain yang sangat diperlukan vitamin dan kalorinya bagi tubuh manusia, nampaklah bahwa keduanya itu sama pentingnya sebagai zat makanan.39
Tumbuhan selanjutnya yakni pada ayat 29 surat „Abasa yang berbunyi:
اًنوُتْ يَزَو
اَََْو
ُ
٤٤
َ
Zaitun dan kurma.40
Menurut Sayyid Quttub dalam tafsirnya, zaitun dan kurma sudah sangat populer di kalangan Arab.41 Zaitun selain dapat dimakan juga dapat pula diambil minyaknya.42 Adapun yang dimaksudkan (wa zaitu>na>) bukan berarti perasan dari buah zaitun, akan tetapi pohon buah zaitun yang hidup selama 3000 tahun yang kisahnya telah membawa berbagai manfaat khususnya bagi
37al-T{abari>, Jami’ al-Baya>n
..., 116.
38al-Zuh{aili>, Tafsi>r al-Muni>r
..., 439.
39Hamka, Tafsir al-Azhar..., 52. 40
Depag RI, Al-Qur’an dan..., 585.
41Q}uttub, Tafsir fi
..., 182
42
(54)
45
negara Arab dahulu. Oleh karena itu mereka memanfaatkannya untuk dimakan buahnya, minyaknya, mendapatkan sinar matahari, untuk pembersih yang berupa sabun. Bahkan biasanya nabi menjadikan sebagai obat dalam setiap waktu.43 Begitu juga dengan kurma, dapat dikonsumsi dengan berupa kurma basah maupun kurma kering.
Namun berbeda dengan pendapat Quraish Shihab, menyatakan bahwa arti dari (
اَ
) adalah pohon kurma bukan buahnya, begitu juga dalam Ru>h al-Baya>n fi> Tafsi>r al-Qur’a>n. Sebagaimana dalam kamus yang berarti pohon kurma dari lafadz (nakhla>n) jama’ dari (nakhlatun).44 Itu lebih manfaat jika dikonsumsi sebagai makanan, karena di dalam kurma yang terbungkus (kandungannya) mampu menolak racun dan sihir, bahkan pohonnya memiliki kelebihan yakni pembawaan otak bagi nabi Adam dahulu.45 Oleh karenanya, pohon kurma di samping buah kurma memiliki banyak keistimewaan yang dimanfaatkan oleh masyarakat Arab ketika itu. Mereka makan buah kurma dalam keadaan mentah, setengah matang dan matang. Mereka menjadikan dari buahnya arak dan bijinya makanan unta. Dari dahan pohon kurma, mereka minum airnya. Dari pelepahnya, mereka jadikan bahan rumah kediaman mereka, juga dari pohon itu mereka membuat tikar, tali, bahkan perlengkapan rumah tangga.4643al-Zuh}aili>, Tafsi>r al-Muni>r
..., 440.
44
Munawwir, Kamus al-Munawwir..., 1400.
45al-Baruswi>, Ru>h al-Baya>n
..., 343.
46
(1)
80
Dengan demikian, manusia memiliki gizi yang sejatinya dibutuhkan oleh manusia dalam melakukan aktifitas sehari-hari. Sehingga dengan demikian, kembali lagi pada niat manusia tersebut. Hendak memanfaatkan dengan baik atau justru mensalahgunakan (mengkufurinya). Begitu tak terhingga nikmat yang Allah berikan kepada hamba-Nya.
B. Saran
Telah disadari bahwa masih banyak kekurangan yang terdapat pada penelitian ini disebabkan keterbatasan dalam upaya meneliti. Karena itu perlu kiranya penelitian lebih lanjut dan lebih mendalam tentang kenikmatan pangan dengan menghimpun beberapa ayat yang berkaitan dengan makanan yang dibutuhkan pada organ tubuh manusia yang telah disebutkan dalam al-Qur’an dengan menggunakan pendekatan lainnya yang tidak diketahui. Sehingga manusia akan lebih merenungi segala kenikmatan pangan yang diberikan oleh Allah.
Semoga penelitian ini dapat bermanfaat dan mampu menjadi bahan pemikiran bersama demi meluas dan berkembangnya khazanah pemikiran dunia Islam. Sekaligus menambah keimanan serta syukur umat Islam atas kebesaran Allah yang telah diperlihatkan kepada hamba-Nya.
(2)
DAFTAR PUSTAKA
Abdushshamad, Muhammad Kamil. Mukjizat Ilmiah dalam Al-Qur’an (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2002.
Achmadi, Ali. “Nikmat dalam Al-Qur’an”, Skripsi tidak diterbitkan (Surabaya: Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel, 2004).
Agama RI, Departemen. Al-Qur’an dan Tafsirnya vol 10. Jakarta: Widya Cahaya, 2011.
Ahmad, Yusuf al-Hajj. Ensiklopedi Kemukjizatan Ilmiah dan Sunnah vol 6. Jakarta: PT Karisma Ilmu, t.t.
Ali Madzkur, “Pengertian Pangan”,
http://www.pengertianahli.com/2013/11/pengertian-pangan-dan-jeni-jenis-pangan.html (Rabu, 25 Februari 2015, 15.10)
Antara, Made. Orientasi Penelitian Pertanian: Memenuhi Kebutuhan Pangan dalam Era Globalisasi. Jakarta: UII Press, 2000.
Anwar, Dessy. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Terbaru. Surabaya: Amelia, 2003.
Arab, Kamus Bahasa. “Ni’mat”. Kamus Bahasa Arab Digital ver. 2.0.
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta, Rhineka Cipta, 1989.
‘Ashu>r, Muh}ammad al-T{a>hir Ibnu. Tafsi>r al-Tahri>r wa al-Tanwi>r juz 30. Tu>nisia: al-Dar al-Tu>nisia li Nathr, t.t.
Baidan, Nasruddin. Metodologi Penafsiran Alquran. Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2005.
Bisyri, Adib dan Munawwir A. Fatah. Kamus al-Bisyri. Surabaya: Pustaka Progressif, 1991.
al-Baghda>di>, Shaha>b al-Di>n al-Sayyid Mah{mu>d al-Alu>si. Ru>h al-Ma’a>ni> fi> Tafsi>r al-Qur’a>n al-’Az}i>m wa al-Sab’ Matha>ni> jilid 15. Beirut: Dar
(3)
al-Baid}a>wi>, al-Qa>d}i Na>shi>r al-Di>n Abu Sa’id Abdullah al-Shaira>zi>. Anwa>r al-Tanzi>l wa Asra>r al-Ta’wi>l jilid 3. Beirut: al-Da>r al-Rashi>d, 2000.
al-Baqi>, Muh{ammad Fu’ad ‘Abdul. al-Mu’jam al-Muhfahras li> al-Fa>dz al-Qur’a>n
al-Kari>m. Beirut: al-Da>r al-Fikr, 1981 M/ 1410 H.
al-Baruswi>, Isma>’il Haqqi> bin Mus}t}a>fa al-H{anafi> al-Khalwati>. Ru>h al-Baya>n fi> Tafsi>r al-Qur’a>n jilid 10. Beirut: al-Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.t.
al-Darwi>shi>, Muhyi> al-Di>n. I’ro>b al-Qur’a>n al-Kari>m wa Baya>nuhu jilid 8. Damaskus: al-Da>r al-Yama>mah, t.t.
al-Dasuqi>, Burha>n al-Di>n Ibra>him. Semua Anak yang Mengikuti Ajaran Nabi saw.
Bandung: Mizan 1996.
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Hadist. Jakarta: Toha Putra, 1997. Depdikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta, Balali Pustaka, 2002
al-Dimasyqi, Abu Fida’ Ibnu Katsir. Tafsir Ibnu Katsir juz II. Bandung: Sinar Baru, 2002.
Fachruddin. Ensiklopedia Al-Qur’an jilid I. Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992. al-Farmawi, Abd. al-Hayy. Metode Tafsir Maudhu’i. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1996.
Hadi, Abu Sari’ Muhammad Abdul. Hukum Makanan dan Sembelihan dalam Pandangan Islam, ter. H. Sofyan. Bandung: Trigenda Karya, 1997. Hamka. Tafsir al-Azhar juz 30. Pustaka Panjimas:Jakarta,1982.
Hidayat. Nikmatnya Hidup Bahagia. Solo: Pustaka Barokah, 2003.
al-Jailani, Hasan. Menyingkap Kebahagiaan yang Tersembunyi. Jakarta: Kusuma Press, 1988.
Karman, Yonky. “Politik Pangan Yusuf”, Kompas, 8 April 2008.
Kerr, Jim. Pangan: Pro dan Kontra Pangan Modern. Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2009.
Kilmah, Tim Baitul. Ensiklopedia Pengetahuan Al-Qur’an dan Hadis vol 4. Jakarta: Kamil Pustaka, 2013.
(4)
Lucas, Richard. Mujijat Tanaman. Semarang: Dahara Prize, 1994.
Mahran, Jamaluddin dan ‘Abdul ‘Az}i>m Hafna> Muba>syir. Al-Qur’an Bertutur
Tentang Makanan dan Minuman, terj. Irwan Raihan. Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2006.
al-Mara>ghi>, Ah}mad Must}afa>. Tafsi>r Mara>ghi>. Mesir: Must}afa> Babi> al-Hala>bi, 1970.
Maryoto, Andreas. Jejak Pangan: Sejarah, Silang Budaya dan Masa Depan. Jakarta: Kompas Buku, 2009.
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005.
Muhajir, Noeng. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin, 1993.
Mukhlis, Akmalin Noor dan Ahmad Fuad. Al-Qur’an Tematis Kisah-kisah dalam Al-Qur’an. Jakarta: Simaq, 2010.
al-Munawwar, Said Agil Husain. Al-Qur’an: Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki. Ciputat: Ciputat Press, 2002.
Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progresif, 1997.
al-Naisa>bu>ri>, Abi> al-H{usain Muslim bin al-H{ajja>j al-Qushairi> S{ah}i>h} Musli>m jilid 3. Al-Qa>hirah: Da>r Al-H{adith, 1991.
al-Naisa>bu>ri>. Risalah al-Qushairiyah. Surabaya: Risalah Gusti, 1996.
Nasional, Departemen Pendidikan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2002.
Nawawi, Hadiri dan Mimi Martini. Penelitian Terapan. Yogyakarta: Gajah Mada Unversity Press, 1991.
Partanto, Pius. A. dan Dahlan Barry. Kamus Ilmiyah Populer. Surabaya: Arloka, 1994.
Poerwodarminto. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2001.
(5)
al-Qurt}ubi>, Abi ‘Abdillah Muh}ammad bin Ah}mad bin Abi> Bakr. Al-Jami’ al -Ah}ka>mi> al-Qur’a>n jilid 19. Beirut: al-Mausu>sah al-Risa>lah, t.t.
Quttub, Sayyid. Tafsir fi Zhilalil Qur’an jilid 22. Jakarta: Gema Insani Press,
2003.
al-Ra>zi>, Fakhr al-Di>n. Tafsi>r al-Kabi>r wa Mafa>tih al-Ghaib jilid 3. Beirut: al-Da>r al-Fikr, 1414 H.
Rudi Wijaya, “Konsep Pangan”, http://e-journal.uajy.ac.id/1589/3/2EP12752.pdf (Rabu, 25 Februari 2015, 15.32).
Rumpak, Julius C. Marcus Suso. Willie Koen. Sumarsono. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2000.
al-S{abu>ni, Muh{ammad ‘Ali. Safwah al-Tafa>sir Juz IV. Lebanon: al-Da>r al-Fikr,
2001.
al-S{abu>ni>, Muh{ammad ‘Ali. Safwah al-Tafa>sir jilid 5 terj. Yasin. Jakarta: al-Kauthar, 2012.
Saparinto, Cahyo dan Diana Hidayati. Bahan Tambahan Pangan. Yogyakarta: Kanisisus, 2006.
Saurah, Abi> ‘I>sa> Muh}ammad bin ‘I>sa> bin. Sunan al-Tirmi>dhi> jilid IV . Beirut: Da>r Al-Fikr, 2005.
Shaikh, Abdullah bin Muh{ammad bin Abdurrah{man bin Ishaq Ali>. Luba>b
al-Tafsi>r min Ibn al-Kathi>r, terj. M. Abdul Ghaffar dan Abu Ihsan
al-Athari. Jakarta: Pustaka Imam al-Shafi’i, 2010.
al-Shauka>ni>, Muh{ammad bin ‘Ali> bin Muh{ammad. Fath al-Qadi>r jilid 5. Qa>hirah: al-Da>r al-Hadi>th, t.t.
Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Misbah: Kesan, Pesan dan Keserasian Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati, 2002.
, M. Quraish. Mukjizat Al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1998.
, M. Quraish. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati, 2002.
(6)
, M. Quraish. Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan, 1996.
Sudiro, Helmi. Urgensi Pangan dalam Kehidupan Sehari-hari. Semarang: Angkasa Press, 1989.
al-T{abari>, Abi Ja’far Ibnu Jari>r. Tafsi>r al-Tabari> Jami’ al-Baya>n ‘an Ta’wi>l al -Qur’a>n jilid 24. Beirut: al-Da>r al-Hijr, t.t.
T{albah, Hisham. Ensiklopedia Mukjizat Al-Qur’an dan Hadis, terj. Syarif Hade
Masyah. Jakarta: PT Sapta Sentosa, 2010.
Undang-Undang Pangan UU No. 18 Tahun 2012. Jakarta: Sinar Grafika, 2013.
al-Zarqa>ni>>, Muh}ammad Abd al-‘Az}i>m. Mana>hil al-‘Irfa>n fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n juz II.Beirut: Da>r al-Fikr, t.t.
al-Zuh{aili>, Wahbah. Tafsi>r al-Muni>r jilid 15. Damaskus: al-Da>r al-Fikr, t.t.
Zayd, Nasr Hamid Abu. Tekstualitas Al-Qur’an: Kritik Terhadap Ulumul Qur’an, terj. Khoiron Nahdliyyin. Yogyakarta: LkiS, 2005.