PERAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER GENERASI MUDA PASCA-KONFLIK AMBON: Studi Kasus Pada SMA Negeri 9. Kota Ambon.

(1)

i DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

LEMBARAN PERNYATAAN LEMBARAN PENGESAHAN ABSTRAK

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN

BAB I. PENDAHULUAN………...……..……... 1

A. Latar Belakang Penelitian.…...…………... 1

B. Rumusan Masalah... 16

C. Tujuan Penelitian dan manfaat Penelitian...………... 17

1. Tujuan Penelitian ... 17

2. Manfaat Penelitian... 18

D. Asumsi Penelitian....………... 19

E. Pertanyaan Penelitian... 19

F. Penjelasan Konsep... 20

1. Peran... 20

2. Karakter... 20

3. Pembelajaran PKn... 21


(2)

ii

G. Lokasi dan Subjek Penelitian... 24

BAB II LANDASAN TEORETIS... 26

A. Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan ... 26

B. Pengertian Konflik Sosial ... 36

C. Karakter Generasi Muda ... 38

D. Kehidupan Masyarakat Pasca Konflik... 46

E. Peran PKn Pasca Konflik... 62

BAB III METODE PENELITIAN... 74

A. Metode Penelitian... 74

B. Subjek Penelitian... 77

C. Teknik Pengumpulan Data... 81

1. Obsevasi Partisifasi... 81

2. Wawancara... 82

3. Studi Dokumenter... 83

4. Triangulasi Data... 84

D. Teknik Pengolahan dan Analisa Data... 86

1. Analisis Sebelum di Lapangan...,,,,...,... 89

2. Analisis Selama di Lapangan... 89

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 92

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian... 92

1. Orientasi Wilayah... 92


(3)

iii

3. Bidang Ekonomi... 94

4. Bidang politik dan Pemerintahan... 95

5, Kehidupan Sosial Budaya... 97

6. SMA Negeri 9. Ambon... 97

7. Strategi... 99

B. Deskripsi Hasil Penelitian... 100

1. Pengaruh Situasi Pasca Konflik Terhadap Pembelajaran PKn Di Sekolah ... 100

2. Bagaimana Situasi Pasca Konflik Berpengaruh Terhadap Pembinaan Karakter Generasi Muda... 106

a. Karakter Generasi Muda Terutama Siswa... 107

b. Bagaimana Guru Berperan... 114

c. Bagaimana Upaya PKn... 121

d. Bagaimana Hasil Dari Upaya PKn... 132

3. Kendala Yang Ditemui Dalam Pembentukan Karakter Generasi Muda Pasca Konflik... 139

a. Kendala Serta Kesulitan Guru Dalam Pembentukan Karakter Generasi Muda... 142

b. Faktor Sarana dan Prasarana... 156

c. Faktor Pengaruh Luar... 159

4. Berbagai Solusi Yang Digunakan Untuk Memecahkan Persoalan PKn Pembelajaran dan Pembinaan Karakter Gnerasi Muda Pasca Konflik... 164

a. Upaya Dinas Pendidikan... 165 b. Upaya Sekolah Dalam Pembinaan Karakter Generasi


(4)

iv

Muda... 167

c. Upaya MGMP Guru Dalam Pembinaan Karakter Generasi Muda... 172

d. Upaya Pihak Luar... 176

a) Masalah Politik... 191

b) Masalah Ketidak Keadilan... 192

c. Masalah Otonomi Daerah... 194

5. Upaya Koordinasi Antara Guru, Membentuk Organisasi Sosial Politik, Organisasi Kepemudaan dan Keluarga Dalam Karakter Generasi Muda... 202

a. Antara Guru PKn Dengan Guru-Guru Lain Di Seklah... 202

b. Sekolah Dengan Masyarakat Tentang Pembentukan karakter Generasi Muda... 207

c. Koordinasi Antara Guru... 210

d. Koordinasi Antara Guru Dengan Organisasi Kepemudaan... 214

e. Antara Guru Dengan Keluarga... 218

C. Pembahasan Hasil Penelitian... 220

1. Pengaruh Situasi Pasca Konflik Terhadap Pembinaan Karakter Generasi Muda... 220

2. Situasi Pasca KonflikBerpengaruh Terhadap Pembinaan Karakter Generasi Muda... 224

a) Karakter Generasi Muda Terutama Siswa... 224

b) Peran Guru ... 228


(5)

v

d) Bagaimana Hasil Dari Upaya PKn... 239

3. Kendala Yang Ditemui Dalam Proses Pembentukan Karakter Generasi Muda Pasca Konflik... 244

a) Guru Kesulitan Dalam Pembentukan Karakter Generasi Mud Pasca Konflik... 244

b) Faktor Sarana Dan Prasarana... 251

c) Faktor Pengaruh Luar... 253

4. Berbagai Solusi Yang Dilakukan Untuk Memecahkan Persoalan Pembinaan Karakter Generasi muda... 256

a) Upaya Dinas Pendidikan... 256

b) Upaya Sekolah Dalam Pembinaan aKarakter Generasi Muda... 258

c) Apa Upaya MGMP... 262

d) Upaya Pihak Lain... 264

5. Upaya Koordinasi Antar Guru, Masyarakat, Organisasi Sosial Politik, Organisasi Kepemudaan, dan Keluarga... ... 266

a) Koordinasi Antara Guru PKn Dengan Guru-Guru Lain Di Sekolah... 267

b) Koordinasi Sekolah Dengan Masyaraka... 270

c) Koordinasi Antara Guru Dengan Organisasi sosial Politik.. 275

d) Antara Guru Dengan Organisasi Kepemudaan... 278


(6)

vi

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI... 283

A. Kesimpulan Umum... 283

B. Kesimpulan Khusus ... 285

C. Rekomendasi... 286 DAFTAR PUSTAKA...


(7)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Sebagai makhluk sosial manusia selalu berinteraksi dengan manusia lainnya setiap saat dan dalam berbagai situasi. Apabila lebih dari satu individu memiliki kesamaan tujuan, maka terjadilah kerja sama, sebaliknya apabila lebih dari satu individu mempunyai kepentingan yang berbeda, maka muncullah masalah-masalah sosial seperti konflik yang terjadi di Ambon (Maluku), Ternate (Maluku Utara), Poso (Sulawesi Tengah), Kupang (Nusa Tenggara Timur)

Konflik merupakan suatu bentuk interaksi sosial ketika dua individu mempunyai kepentingan yang berbeda dan kehilangan keharmonisan di antara mereka. Pada dasarnya konflik adalah alami dan sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Seperti dikatakan Walter (199:1) ”the history of humankind and the rise and fall of

civilizations is unquestionably a story of conflict. Conflict is inherent in human activities.

It is omnipresent and foreordained.”

Penduduk asli kota Ambon tidak mencapai kemajuan yang berarti dalam kehidupan sosial ekonomi, tetapi para pendatang yang terdiri dari suku Buton, Bugis, Makasar, Jawa dan Sumatra Barat karena kegigihannya mendapatkan kemajuan yang pesat. Karena itu mereka berkembang sebagai pemilik uang yang dapat membeli tanah untuk perumahan dan sebagainya yang sebagian besar di daerah yang bertetangga dengan pemukiman Kristen bahkan di tengah-tengah pemukiman Kristen. Ini merupakan


(8)

2 kesalahan besar karena kurang memahami konflik yang terselubung antara Islam dan Kristen.

Pertumbuhan ini menimbulkan kebencian pihak Kristen yang merasa tanah peninggalan nenek moyang mereka telah diperkosa oleh pendatang, mereka merasa kehilangan warisan, diperparah lagi dengan berdirinya Masjid dipemukiman baru yang berdekatan dengan Gereja. Seperti kata Dr. Litaay “Awasi suku BBM, 4 orang saja sudah mendirikan Masjid”.

Ummat Islam asli Ambon atau Maluku sejak penjajahan Belanda telah memilih lapangan pekerjaan non Formal karena menolak kooperatif dengan Belanda. Mereka memilih pekerjaan sebagai pedagang, nelayan, pertukangan, petani bahkan kuli kasar. Masyarakat Suku Buton, Bugis Makasar dan Jawa sejak lebih seratus tahun yang lalu telah berdatangan ke Maluku khususnya pulau Ambon, Seram, Buru, pulau pulau Lease dan Maluku Utara. Selain karena kesamaan agama dengan Ummat Islam di daerah ini mereka juga punya kesamaan lapangan pekerjaan, karena itu suku-suku pendatang ini segera menyatu bah kan terjadi perkawinan antara para pedagang dan penduduk asli yang beragama Islam.

Sesudah RMS, terutama di atas 1960-an kedatangan pekerja-pekerja yang gigih ini terus bertambah sehingga dari segi jumlah telah terjadi lah pergeseran perimbangan yang berarti sehingga hampir sama dengan penduduk aslinya. Program transmigrasi telah membuat prosentasi jumlah yang beragama Islam terus bertambah, sedangkan mereka yang kurang berhasil di transmigrasi beralih ke kota Ambon dengan pekerjaan yang lebih sesuai karena itu para pendatang baru di Ambon termasuk mereka yang eks transmigrasi (Jawa dan Sunda) semakin banyak. Penolakan terhadap pendatang yang merupakan


(9)

3 pesaing pihak Kristen ini telah tampak sejak Dicky Wattimena menjadi Walikota Madya Ambon (1986-1991) saat barang dagangan para pedagang milik pendatang ini ditendang, ditumpahkan dagangannya dan dihardik agar keluar dari kota Ambon kembali dan ke daerah asalnya.

Dalam kerusuhan ini para pendatang dianggap sebagai penyebab rusaknya semangat Pela-Gandong karena mereka tidak mengamalkan tata krama Pela-Gandong. Penilaian ini terasa sangat dibuat-buat kare na ummat Islam penduduk asli Maluku sejak lama sadar bahwa Pela-Gandong tidak punya nilai apa-apa, apa lagi bagi kaum pendatang. Pela-Gandong sesungguhnya hanya ikatan kekerabatan antara 2 desa, jadi tidak mengikat seluruh masyarakat asli apa lagi hanya berlaku di Maluku bagian tengah saja, jadi dari segi kualitas ikatannya terlalu semu, prosentasenya berkisar 5% saja sebagai jaring pengaman. Di kota madya Ambon yang jumlah pendatang cukup banyak maka prosentasi itu semakin kecil.

Demikian juga terdapat perbedaan yang tajam antara perilaku budaya ummat Islam asli pulau Ambon yang dipengaruhi secara kuat oleh budaya Islam yang religius sementara pihak Kristen oleh budaya barat yang arogan dan ambtenar.

Berdasarkan konsep Parsons (1951), setiap sistem sosial diperlukan persayaratan fungsional. Diantara persyaratan-persyaratan itu di jelaskan bahwa setiap sosial harus dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan dan dengan tuntutan transformasi pada setiap kondisi tindakan warga (adaptation) berikutnya, tindakan warga diarahkan untuk mencapai tujuan bersama (goal attainment). Kemudian persyaratan lain adalah bahwa dalam interaksi antarwarga setidaknya harus ada suatu tingkat solidaritas, agar struktur dan sistem sosial berfungsi (integration) tanpaknya apa yang dikemukakan


(10)

4 Parson itu cukup relevan untuk dipakai sebagai salah satu dasar dalam menganalisis secara structural dan fungsional konflik lokal: dan atas dasar konsep Parsons ini pengetahuan mengenai konflik sosial akan lebih memadai. Sehubungan dengan itu Coser mengatakan bahwa konflik adalah suatu komponen penting dalam setiap interaksi sosial oleh karena itu menurut Coser (1974) bahwa konflik tidak perlu dihindari, sebab konflik tidak boleh dikatakan selalu tidak baik atau memecah belah atau merusak. Dengan kata lain konflik dapat menyumbang banyak bagi kelestarian hidup sosial, bahkan mempererat hubungan antaranggota.

Berbicara tentang fungsi ternyata tidak hanya sekedar berkaitan dengan hal peran, relasi fungsi tidak selalu terpadu (negatif) karena dapat saja relasi yang saling konflik lebih-lebih kalau di dalamnya ada cukup banyak fraksi. Dalam fungsi terdapat struktur, dalam fakta sosial terdapat struktur dan fungsi yang saling terkait erat (kalau tanpakaitan berarti bukan struktur). Teori fungsi tidak dirangcang dalam kaitannya dengan perubahan, sehingga antara keduanya agak sulit untuk dikaitkan. Sering teori ini hanya terbatas mengungkapkan hubungan-hubungan yang serasi atau seimbang (equilibrium) saja, dan kurang mampu melihat potensi-potensi konflik yang mungkin ada (Brown 1980). Pencampuran teori ini dengan teori perubahan, umumnya menyangkut perilaku, inipun memerlukan waktu yang panjang.

Dengan demikian, konflik sosial ambon dapat membeikan potensi perubahan terhdap cara pandang berpikir bagi masyarakat Maluku khususnya orang-orang pribumi yang sebelum konflik sosial perasaan gengsinya tinggi terhadap pekerjaan, jika pekerjaan itu menurutnya hina seperti; jadi tukan pikul bakul, tukan becak, berdagang di pasar. Namun setelah konflik sosial orang-orang pribumi yang tadinya tidak mau bekerja dan


(11)

5 merasa pekerjaan itu hina, akan bisa untuk menerima pekerjaan tersebut sebagai pekerjaan sehari-hari.

Ambon sebelum terjadinya konflik sosial pada tahun 1999, penataaan kota rapi, dengan lingkungan yang bersih, hingga mendapat julukan manisse, yang artinya manis atau indah. Karena itu, Ambon pernah beberapa kali mendapatkan Adipura. Problema sosial kota-kota besar seperti tuna wisma, kaki lima, pengamen-pengemis, sampah dan tindakan kriminal jarang dijumpai. Sebagaimana kota-kota besar lainnya, penduduk kota Ambon terdiri atas beragam ras, bangsa, dan etnik. Orang Arab dan China bersama etnis Bugis, Buton, dan Makasar (dikenal dengan sebutan “BBM”) memegang peran penting dalam perekonomian kota dan daerah. Sementara orang-orang Maluku yang juga terdiri atas beragam etnik cenderung terpinggirkan.

Berbeda dengan daerah-daerah lain di Indonesia yang didominasi pemeluk agama Islam, di Ambon sebanyak 49,2 % warganya memeluk agama Kristen Protestan, 44,3% memeluk agama Islam, 6,35 % Katholik, 0,07% Hindu, dan 0,04% Budha. Pemeluk Islam umumnya adalah pendatang, yaitu orang-orang Arab serta etnik “BBM”. Meski ada juga orang-orang Ambon dan Maluku yang memeluk agama Islam. Selain berperan dalam perekonomian untuk dapat bertahan hidup di daerah ini, para pendatang khususnya etnik Bugis, Buton, dan Makasar (BBM) juga bersedia bekerja di sektor-sektor informal yang cenderung dihindari penduduk asli. Hingga muncul kesan, perekonomian Ambon dan Maluku dikuasai pendatang dan pemeluk agama Islam.

Sistem kekerabatan yang sangat kuat diantara orang-orang Ambon, baik pemeluk Islam maupun Kristen kian mempertegas struktur sosial, ekonomi, dan politik. Jika ada seorang kepala daerah baru dilantik, ada kecenderungan pejabat-pejabat di


(12)

6 bawahnya akan diganti oleh mereka yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan si pejabat baru. Ikatan kekerabatan ini mudah sekali diamati, karena setiap orang “asli” selalu menggunakan nama fam atau “marga”.

Ambon di saat konflik sosial Sebagaimana kita ketahui bersama, sejak awal 1999 terjadi konflik sosial di Ambon yang kemudian menyebar hampir ke seluruh pelosok Maluku. Konflik ini menempatkan orang Islam yang dalam bahasa setempat disebut Acang (dari kata Hasan) berhadapan dengan orang Kristen yang biasa dipanggil Obet (dari kata Robert). Dalam konflik ini, kelompok Acang menguasai permukiman di daerah pantai dan dataran rendah. Sementara kelompok Obet menguasai dataran tinggi dan perbukitan. Rumah, toko, dan segala bangunan milik kelompok Obet yang dikuasai kelompok Acang saat itu, sebagian besar habis dijarah dan dibakar. Demikian pula sebaliknya, bangunan dan harta kekayaan kelompok Acang yang ada di daerah kekuasaan Obet, sebagian besar habis dijarah dan dibakar. Akibatnya, dapat kita saksikan, antara lain ratusan bahkan ribuan rumah penduduk dan toko dibakar. Sarana dan prasarana dasar, seperti kantor pemerintah, sekolah, jaringan telkom, jaringan PAM, juga menjadi sasaran. Pendek kata, kota menjadi lumpuh.

Tidak ada angka pasti berapa banyak korban jiwa yang jatuh waktu itu. Penyiksaan, pembunuhan, dan aneka macam perilaku “tak beradab” menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari saat ini. Masing-masing kelompok, Acang dan Obet, mengungsi ke tempat yang dianggap aman. Acang mengungsi ke kawasan yang dikuasai Acang, dan Obet mengungsi ke kawasan yang dikuasi Obet. Masyarakat terpecah dan terkotak-kota berdasar kelompok serta keyakinan.


(13)

7 Upaya mengakhiri konflik ini ternyata tidak mudah karena ada beberapa pihak yang diduga diuntungkan dengan adanya konflik. Bantuan dana dari berbagai pihak terhadap masing-masing kelompok yang berseteru menjadi “berkah” bagi sebagian orang. Ambon pasca konflik sosial Masyarakat kini tinggal terkotak-kotak, berdasarkan kelompok dan golongan. Kelompok Obet tinggal di wilayah-wilayah dataran tinggi atau daerah atas, sementara kelompok Acang di wilayah dataran rendah atau dekat pantai. Dalam kehidupan sehari-hari, interaksi antar kelompok sudah berjalan “normal”. Tapi, untuk tinggal berbaur dengan kelompok yang berbeda, masih dirasakan kurang “nyaman”. Etnis tertentu, terutama Cina yang umumnya bekerja sebagai pedagang dengan modal besar, memilih strategi menunggu situasi kondusif. Tanah dan rumah mereka tidak dijual, tapi dititipkan pada orang lain, aparat, atau tokoh masyarakat untuk menjaganya. Para penjaga ini diuntungkan dari dua sisi. Yaitu, dari pemilik rumah, mereka mendapat uang jaga. Jika ada pendatang yang mau menempati rumah (bekas terbakar) tersebut, mereka pun mendapat uang sewa tambahan.

Sebenarnya masyarakat sudah jenuh oleh kondisi sosial yang ada dan keamanan yang labil. Akibatnya, banyak yang apatis serta menjalani kehidupan hanya untuk kepentingan pribadi dan keluarganya sendiri. Bisa dikatakan hampir seluruh tatanan sosial hancur, warga terkotak-kotak, dan saling curiga. Kadang terjadi perkelahian antar-warga. Khususnya kalangan muda di satu kelurahan, terutama di daerah pengungsian. Minum-minuman keras hingga mabuk suatu kebiasaan di masa lalu masih banyak dilakukan hingga kini. Kondisi mabuk ini menjadi salah satu pemicu mudahnya muncul perkelahian-perkelahian tersebut.


(14)

8 Segera setelah konflik reda, sejumlah program/proyek kemanusiaan, baik dari pemerintah maupun Lembaga Sosial Masyarakat (LSM), mencoba masuk dengan maksud segera memulihkan Ambon. Kota yang semula berduka akibat konflik ini tiba-tiba mendapat “berkah” bantuan. Namun, tidak sedikit program yang dikucurkan tanpa perencanaan matang. Sehingga masyarakat cenderung memandang kehadiran suatu lembaga identik dengan kehadiran bantuan atau uang. Awalnya, Pilot Project juga disikapi seperti ini. Ketika Tim Pilot Project pertama kali masuk ke daerah ini, masing-masing stakeholder baik itu tingkat kota, kecamatan, maupun kelurahan sudah mendapat informasi tentang Pilot Project. Tapi, informasi yang didapat hanya terbatas dari buku Pedoman Umum Pilot Project.

Di sisi lain, konflik sosial ternyata tidak mempengaruhi gaya hidup masyarakat. Umumnya masyarakat Ambon masih mengutamakan penampilan luar (lifestyle), antara lain dengan menggunakan barang-barang bermerek terkenal atau berkualitas tinggi, meski mahal untuk kondisi saat ini. Seperti, baju, sepatu, perhiasan, serta alat rumah tangga yang cukup mewah. Perilaku konsumtif tersebut menimbulkan dampak sosial. Karena, tidak sedikit warga yang jatuh miskin akibat kerusuhan, namun pola hidupnya masih seperti sebelum kerusuhan. Yang merasa senang dengan situasi ini adalah para pedagang, karena kerusuhan ternyata tidak banyak berpengaruh terhadap pola konsumsi. Banyak pedagang, baik sektor formal maupun informal (kakilima) yang menyampaikan, pasca kerusuhan ini mereka tetap dapat menikmati keuntungan yang tinggi, serta perputaran modal yang cepat.

Beberapa pihak kuatir dengan situasi yang dapat berdampak kepada peningkatan angka kejahatan. Data kriminalitas di tingkat kota cenderung


(15)

9 mengindikasikan peningkatan. Upaya membangun kebersamaan dan menumbuhkan kembali semangat membangun telah diupayakan pemda, termasuk pemerintah kelurahan, dengan mengembalikan salah satu budaya setempat yang dikenal dengan masohi, atau gotong royong untuk menggalang kebersamaan. Kegiatan masohi dilakukan melalui satu kegiatan bersama. Dalam kegiatan ini semua masyarakat didorong ikut terlibat tanpa membedakan suku, agama, ras, dan golongan. Misalnya, dalam pembangunan gereja kaum, Muslim turut menyumbang. Sebaliknya, apabila kaum Muslim membangun mesjid, kaum Nasrani turut menyumbang. Kebiasaan lainnya yang mulai ditumbuhkan kembali adalah makan bersama (makan pattita) sebagai simbol kebersamaan dan persaudaraan. Semua kegiatan ini biasanya diikuti oleh tokoh-tokoh masyarakat, dan masyarakat umum.

Para siswa SMA sebagai generasi muda, diharapkan dapat menjadi warga negara yang baik dan bertanggung jawab sebagai mana dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara tegas dinyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter generasi muda serta peradaban bangsa bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara demokratis serta bertanggung jawab.

Hal tersebut tidak terlepas dari Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) yang diimplementasikan pada berbagai jenis dan jenjang pendidikan yang mempunyai tanggung jawab untuk membentuk warga negara yang baik. Namun, demikian masih ditemukan berbagai kendala. Kendala dan keterbatasan tersebut menurut Winataputra dan


(16)

10 Budimansyah (118-119: 2007) adalah (1). Masukan instrumental (instrumental input) terutama yang berkaitan dengan kualitas guru atau dosen serta keterbatasan fasilitas dan sumber belajar, dan (2) masukan lingkungan (environmental input) terutama yang berkaitan dengan kondisi dan situasi kehidupan politik negara yang kurang demokratis. Dengan demikian, pelaksanaan Pendidikan Kewarganegaraan tidak mengarah pada misi sebagaimana seharusnya. Beberapa indikasi empirik yang menunjukan salah arah tersebut antara lain; Pertama, proses pembelajaran dan penilaian dalam PKn lebih menekankan pada dampak instruksional (instructional efects) yang terbatas pada penguasaan materi (content mastery) atau dengan kata lain hanya menekankan pada dimensi kognitifnya saja sedangkan pengembangan dimensi-dimansi lainnya (afektif dan psikomotorik) dan memperoleh dampak pengiring (nurturant affects) sebagai ”hidden currikulum” belum mendapat perhatian sebagaimana mestinya. Kedua, pengolahan kelas belum mampu menciptakan suasana kondusif dan produktif untuk memberikan pengalaman belajar kepada siswa atau mahasiswa melalui perlibatan secara proaktof dan interaktif baik dalam proses pembelajaran di kelas maupun di luar kelas (intra dan ekstrakurikuler) sehingga berakibat pada miskinnya pengalaman belajar yang bermakna (meninggful

learning) untuk mengembangkan kehidupan dan perilaku siswa atau mahasiswa. Ketiga,

pelaksanaan kegiatan ekstar- kurikuler sebagai wahana ”hands-on experience” juga belum memberikan kontribusi yang signifikan untuk menyeimbangkan anatara penguasaan teori dan praktek pembiasaan perilaku dan keterampilan dalam kehidupan yang demokratis dan sadar hukum.

PKn sebagai sebuah sistem pendidikan atau lembaga yang semestinya menciptakan iklim yang kondusif untuk mendukung proses belajar dan mendidik warga


(17)

11 negara muda (siswa), proses belajar kondusif dan demokratis. Lingkungan yang damai dan menyenangkan adalah sangat kondusif untuk memfalitasi agar terjadinya proses belajar yang lebih baik. Sebaliknya konflik dan kekerasan dalam kehidupan di sekolah maupun masyarakat memberikan dampak negatif terhadap proses belajar siswa.

PKn sangat diperlukan dan memiliki nilai serta kedudukan yang sangat strategis bagi ‘national character building’ dalam arti seluas-luasnya terutama dalam membentuk warga negara yang baik. Meskipun demikian, dalam pelaksanaanya, PKn sangat rentan terhadap bias politik praktis penguasa (the ruling class) sehingga ia cenderung lebih merupakan instrumen penguasa dari pada sebagai wahana pembangunan watak anak bangsa berdasarkan konstitusi seperti yang dibuktikan oleh sejumlah hasil penelitian para ahli Civic Education (Apple, 1979, 1982; Bourdieu and Passeron, 1977; Snyders, 1976; Whitty, 1985) yang mengemukakan:

It (citizenship education ) has also often reflected the interests of those in power

in a particular society and thus has been a matter of indoctrination and the

estabilishment of idieological hegemony rather than of education “ (Cogan, 1998: 5)

PKn membentuk karakter warga negara mempunyai makna lebih tinggi dari pendidikan moral, karena bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, akan lebih dari itu PKn sebagai pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal yang baik sehingga peserta didik faham (domain kognitif) tentang mana yang baik dan mana yang buruk, mampu merasakan (domain afektif) nilai yang baik dan mau melakukannya (domain psikomotor). Seperti kata Aristoteles, karakter itu erat kaitannya dengan ”habit” atau kebiasaan yang terus menerus dipraktekkan dan dilakukan.


(18)

12 PKn diharapkan dapat mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang memiliki komitmen kuat dan konsisten untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hakikat Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara kebangsaan modern. Negara kebangsaan modern adalah negara yang membentuknya berdasarkan pada semangat kebangsaan atau nasionalisme yaitu pada tekad suatu masyarakat untuk membangun masa depan bersama di bawah satu negara yang sama walaupun warga masyarakat tersebut berbeda-beda agama, ras, etnik atau golongannya sesuai motto Bhineka Tunggal Ika.

PKn merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warga negara yang memahami dan mampuh melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warga negara yang cerdas, trampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. PKn semestinya mendidik siswa atau generasi muda untuk berkarakter baik dan mampu memecahkan masalah secara demokrasi, termasuk memecahkan masalah konflik mereka sendiri. Dengan demikian, pendidikan Kewarganegaraan mempunyai peran penting dalam menyediakan pengajaran resolusi konflik.

PKn diharapkan mampu membelajarkan siswa untuk memecahkan masalah-masalah sosial bukan konvensional yang hanya menuntut siswa untuk menghafal fakta-fakta, yang hanya menggunakan metode ceramah yang membosankan siswa, ataupun pendidikan yang hanya sekedar mewariskan nilai-nilai lama tanpa dikaji secara kritis, dan juga bukan pendidikan yang hanya menekankan pengusaan disiplin ilmu dan pengembangan intelektualisme. Dengan meminjam tipologi tradisi social studies dari Barr, Barth, dan Shermis (1978), Pendidikan Kewarganegaraan mampu membelajarkan


(19)

13 siswa untuk mampu memecahkan masalah-masalah sosial, termasuk konflik-konflik sosial yang bertumbuh pada tradisi social studies sebagai reflective inqiuiry (yang dikembangkan oleh Hunt and Metcalft, 1955).

PKn sebagai wahana pencerdasan bangsa sebagaimana menjadi tujuan nasional didalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak dapat dibiarkan terus menjadi alat kekuasaan saja, akan tetapi menjadi pilar nasib bangsa dan generasi muda penerus bangsa. Apabila kita simak bersama, bahwa dalam pendidikan atau mendidik tidak hanya mentransferkan ilmu semata, namun lebih jauh tentang pengertian dan pengetahuan itu yang lebih utama sehinggadapat mengubah atau membentuk karakter dan watak generasi muda seseorang agar lebih baik, lebih sopan dalam tataran etika maupun estetika maupun perilaku dalam kehidupan sehari-hari.

PKn adalah suatu hal yang benar-benar ditanamkan selain menanamkan fisik, mental, dan moral bagi generasi muda agar mereka menjadi manusia yang beriman dan taqwa serta menghargai nilai-nilai luhur budaya masyarakat setempat seperti yang tercantum dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas dan Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2003 tentang Standar Nasional Pendidikan .

Hasil analisis terhadap perkembangan PKn di Indonesia (Winataputra, 2001) menunjukkan adanya kelemahan-kelemahan yang begitu mendasar pada tahapan paradigma sehingga telah mengakibatkan ketidakpastian, baik dalam tataran konseptual maupun tataran praktisi. Kelemahan-kelemahan tersebut, setidaknya, terdiri atas empat kelemahan pokok, yakni: (1) Kelemahan dalam konseptualisasi PKn (2) Penekanan yang sangat berlebihan pada proses pendidikan moral behavioristik,


(20)

14 terperangkap pada proses penanaman nilai yang cenderung indoktrinatif (values

inculcation): (3) ketidakkonsisten terhadap penjabaran berbagai dimensi tujuan PKn ke

dalam kurikulum; dan (4) Keterisolasian proses pembelajaran dari konteks disiplin keilmuan dan lingkungan sosial budaya.

Sejalan dengan penilaian tersebut Wahab (1999) mengemukakan beberapa kelemahan yang ada pada PKn yang di masa yang lalu, (1) Terlalu menekankan pada aspek nilai moral yang menempatkan siswa sebagai objek yang berkewajiban untuk menerima nilai-nilai moral tertentu; (2) Kurang diarahkan pada pemahan struktur, proses, dan institusi-institusi negara dengan segala kelengkapannya; (3) Pada umumnya bersifat dogmatis dan relatif ; dan (4) Berorientasi pada kepentingan penguasa.

PKn masih jauh dari harapan, belum berhasil meningkatkan kecerdasan dan keterampilan anak didik, melainkan gagal dalam membentuk karakter dan watak kepribadian (nation and character building). Konsekuensi yang diterima konflik sosial terjadi dimana-mana, keinginan untuk melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pun disuarakan oleh beberapa daerah seperti Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Republik Maluku Selatan (RMS), dan Oraganisasi Papua Merdeka (OPM).

Sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Tomagola Tamrin (Ratnawati: 54-55 2006) bahwa di Maluku setiap komunitas (yang beragama Islam maupun Keresten), sebelum konflik, dapat dijadikan sebagai salah satu ‘modal’ suatu masyarakat yang memiliki toleransi beragama yang tinggi di Indonesia. Mereka memiliki faktor ‘permersatu’ yang cukup kuat, yaitu kultur (budaya) termasuk di dalamnya adalah apa yang disebut Luhulima sebagai “Agama Ambon”. Ketika terjadi konflik, kedua kelompok


(21)

15 masyarakat agama yang berbeda tersebut dapat diselesaikan lewat mekanisme tradisional yang dikenal dengan sistem pela gandong di Ambon atau Maluku.

Konflik Ambon terjadi tidak lama setelah kerusuhan Katapang dan Kupang, dengan kemungkinan besar merupakan ‘rangkaian’ dari bererapa peristiwa kekerasan lainnya (misalnya di Situbondo, Bayuwangi, Pontianak, dan lain-lain). Hal ini merupakan indikasi kuat dari ‘tangan-tangan jahat’ yang disinyalir Presiden Abdurrahman Wahid pada “Malam Basudara warga Maluku “se Jabotabek” pada 15 januari 2000. Dan sangat besar kemungkinannya, para aktor intelektual dan pelaku atau pendukung kerusuhan tersebut adalah mereka dari kelompok ‘status quo’ yang sedang melakukan fower struggle melawan kelompok pro reformasi. Para petualangan kekuasaan (anti reformasi) di Jakarta sengaja men-switch, men-design, atau membelokkan konflik vertical (Negara vis-à-vis masyarakat yang di Ambon antara lain yang ditandai dengan demonstarsi anti Dwi Fungsi TNI oleh kaum muda. Dalam hal ini Mahasiswa Universitas Pattimura sekitar bulan November 1998), menjadi konflik horizontal antara warga dengan menggunakan isu agama. Seperti diketahui, agama adalah salah satu titik rawan integrasi bangsa. Bersama-sama dengan isu suku, ras, dan antara golongan agama termasuk dalam kategori masalah SARA. ( Ratnawati: 57-2006)

Pentingnya sebuah bengsa memiliki nasionalisme positif di gambarkan pula oleh Bung Karno dengan mengutip pendapat pemimpin Mesir yang termashyur, Mustafa Kamil, sbb:

“Oleh karena rasa kebangsaanlah, maka bangsa-bangsa Jang terbelakang lekas mencapai peradaban, kebesaran dan kekuasaan. Rasa kebangsaan jang menjadi darah jang mengalir dalam urat-urat bangsa-bangsa jang kuat dan rasa


(22)

16 kebangsaanlah jang memberi hidup kepada tiap-tiap manusia jang hidup”, (Soekarno, 1930: 118)

Sebagai negara yang tengah menjalani peralihan dari negara otoriter militeristik ke negara yang menganut sistem demokrasi, Indonesia sanggat rawan dengan konflik. Konflik yang paling kentara adalah konflik horizontal, konflik antara masyarakat dengan kelompok masyarakat yang lain. Selama kurung waktu dari 1998 hingga sekarang, konflik horizontal menjadi pekerjaan rumah pemerintah dan tentu saja peran pemuda juga ikut dalam penentu perubahan dan menuntut dicari solusinya. Seperti konflik yang terjadi di Poso, Sulawesi Tengah, Ambon Maluku, di Kalimantan Barat dan Tengah, serta pergolakan daerah untuk menuntut pemerintahan sendiri seperti yang dilakukan oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Oragaisasi Papua Merdeka (OPM),. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka PKn masukan dapat menjadi resolusi konflik, termasuk bagaimana, pembinaan generasi muda pasca konflik. Dengan demikian PKn sebagai pendidikan politik dan moral dapat berperan meredam konflik-konflik sosial.

B. Rumusan Masalah

Bertolak dari latar belakang penelitian diidentifikasi rumusan masalah sebagai berikut :

1. Mengapa situasi pasca konflik sosial berpengaruh terhadap pembinaan karakter generasi muda?

2. Kendala apa yang ditemui dalam proses pembentukan karakter generasi muda pasca konflik sosial melalui PKn?


(23)

17 3. Solusi-solusi apa yang digunakan dalam kaitan dengan permasalahan pembinaan karakter generasi muda pasca konflik sosial yang dilakukan masyarakat, organisasi, sosial politik, organisasi kepemudaan dan keluarga ?

4. Bagaimana koordinasi antara guru dalam membentuk karakter generasi muda melalui pembelajaran PKn dengan peran masyarakat, organisasi sosial politik, organisasi kepemudaan dan keluarga ?

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauhmana implementasi pembinaan karakter generasi muda pasca konflik sosial dan solusinya melalui pendekatan yang diintergrasikan ke dalam Pendidikan Kewarganegaraan di Sekolah Menegah Atas.

Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk

1. Mengetahui pengaruh situasi pasca konflik sosial terhadap pembinaan karakter generasi muda.

2. Mengetahui kendala yang ditemui dalam proses pembentukan karakter generasi muda pasca konflik sosial.

3. Mengetahui solusi-solusi apa yang digunakan dalam kaitan dengan permasalahan pembinaan karakter generasi muda pasca konflik sosial yang dilakukan masyarakat, organisasi, sosial politik, organisasi kepemudaan,dan keluarga.


(24)

18 4. Mengetahui bagaimana koordinasi antara guru dalam membentuk karakter generasi muda melalui pembelajaran PKn di sekolah dengan peran masyarakat, organisasi sosial politik, organisasi kepemudaan dan keluarga.

2. Manfaat Penelitian

Secara teoretik, penelitian ini akan menggali, mengkaji dan mengorganisasikan PKn dalam membangun karakter generasi muda secara konseptual- filosofis yang akan menghasilkan landasan PKn dan kerangka dasar secara konseptual-teoritis tentang pengembangan karakter generasi muda bangsa sebagai bahan masukan bagi pengembangan PKn pembangunan karakter generasi muda bangsa. Temuan ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi:

1. Para akademisi atau komunitas akademik, khususnya dalam bidang PKn untuk bahan masukan ke arah pembangunan PKn sebagai pendidikan disiplin ilmu. 2. Para praktisi untuk pengembangan tenaga kependidikan dan keguruan di

lembaga pendidikan tinggi yang bertugas menghasilkan lulusan tenaga guru PKn.

3. Para pengembang kurikulum PKn baik pada jenjang pendidikan dasar, menengah, tinggi maupun lingkup masyarakat dan birokrasi.

4. Para praktisi PKn baik pada jenjang pendidikan dasar, menengah, tinggi maupun lingkungan masyarakat dan birokrasi.

5. Para pengambil kebijakan terutama yang terkait dengan program PKn dalam upaya mempersiapkan warga negara yang cerdas baik secara intelektual, emosional, sosial, maupun spiritual, dan tanggung jawab, serta mampu


(25)

19 berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara secara berkeadaban.

D. Asumsi Penelitian

Konflik bersifat alamiah, bagian dari kehidupan. Bila konfik dapat difahami, ia dapat menjadi suatu kesempatan untuk belajar dan berkreasi tantangan bagi orang-orang yang dalam konflik adalah menerapkan prinsip-prinsip kerja sama yang kreatif dalam hubungan antar manusia (Bodine, Crawford,and Schrumf, 1994).

Konflik sosial adalah aspek yang meresap dalam kehidupan, yang memberikan fungsi-fungsi personal dan sosial. Konflik dapat bersifat disfungsional, dan karena secara luas tersedia sebagai senjata yang sangat berbahaya, maka konflik dapat membawa ke arah kekerasan (violence) dan kematian. Namun demikian, konflik juga dapat bersifat produktif. Konflik merupakan media, dimana masalah-masalah dapat diungkapkan dan pemecahannya dapat dikembangkan. Konflik merupakan akar bagi perubahan personal dan sosial (Detusch and Raider, 2002).

E. Pertanyaan Penelitian

Dari fokus masalah penelitian yang diuraikan di atas, dapat diambil beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Mengapa situasi pasca konflik sosial berpengaruh terhadap pembinaan karakter generasi muda melalui PKn di sekolah ?

2. Kendala apa saja yang ditemui dalam proses pembentukan karakter generasi muda pasca konflik sosial melalui PKn di sekolah ?


(26)

20 3. Solusi-solusi apa yang digunakan dalam kaitan dengan permasalahan pembinaan karakter generasi muda pasca konflik sosial yang dilakukan masyarakat, organisasi, sosial politik, organisasi kepemudaan, keluarga dalam membentuk karakter generasi muda?

4. Bagaimana koordinasi antara guru dalam membentuk karakter generasi muda melalui pembelajaran PKn di Sekolah dengan peran masyarakat, organisasi sosial politik, organisasi kepemudaan dan keluarga ?

F. Penjelasan Konsep 1. Peran

Menurut ilmu sosial berarti suatu fungsi dibawakan oleh seseorang, atau lembaga organisasi ketika menduduki suatu posisi dalam struktur sosial tertentu.

2. Karakter

Dalam pengertian harafiah, karakter mempunyai makna psikologis atau sifat kejiwaan terkait dengan aspek kepribadian (personality), akhlak atau budi pekerti, tabiat, watak, sifat kualitas yang membedakan seseorang dari yang lain atau kekhasan (partikular quality) yang dapat menjadikan seseorang terpercaya dari yang lain. Dari konteks inipun, karakter mengandung unsur moral, sikap bahkan prilaku untuk menentukan apakah seseorang memiliki akhlak atau budi pekerti yang baik, terungkap pada saat seseorang itu melakukan perbuatan atau perilaku tertentu.

Membangun karakter (character building) adalah proses mengukir atau memahat jiwa sedemikian rupa, sehingga berbentuk unik, menarik, dan berbeda atau dapat dibedakan dengan orang lain. Ibarat sebuah huruf dalam alfabet yang tak pernah sama


(27)

21 antara yang satu dengan yang lain, demikianlah orang-orang yang berkarakter dapat dibedakan satu dengan lainnya termasuk dengan yang tidak atau belum berkarakter atau berkarakter tercela. ( http://koleksi-skripsi.blogspot.com/2008/07/teori-pembentukan-karakter.hmtl.)

3. Pembelajaran PKn.

Untuk mencapai tujuan PKn dengan paradigma baru perlu disusun materi dan model pembelajaran yang sejalan dengan tuntutan dan harapan PKn yakni mengembangkan kecerdasan warga negara (civic intelligence) dalam dimensi spiritual, rasional, emosional dan sosial, mengembangkan tanggung jawab warga negara (civic

responsibility), serta mengembangkan anak didik berpartisipasi sebagi warga negara

(civic participation) guna menopang tumbuh dan berkembangnya warga negara yang baik.

Pembelajaran PKn selayaknya dapat membekali siswa dengan pengetahuan dan keterampilan intelektual yang memadai serta pengalaman praktis agar memiliki kompetensi dan efektivitas dalam berpartisipasi. Oleh karena itu, ada dua hal yang perlu mendapat perhatian guru atau calon guru dalam mempersiapkan pembelajaran PKn di kelas, yakni bekal pengetahuan materi pembelajaran dan metode atau pendekatan pembelajaran.

Materi PKn dengan paradigma baru dikembangkan dalam bentuk standar nasional PKn yang pelaksanaannya berprinsip pada implementasi kurikulum terdesentralisasi. Ada empat isi pokok pendidikan kewarganegaraan, yakni:


(28)

22 (1) Kemampuan dasar dan kemampuan kewarganegaraan sebagai sasaran

pembentukan;

(2) Standar materi kewarganegaraan sebagai muatan kurikulum dan pembelajaran; (3) Indikator pencapaian sebagai kriteria keberhasilan pencapaian kemampuan; dan (4) Rambu-rambu umum pembelajaran sebagai rujukan alternatif bagi para guru.

Pendidikan Kewarganegaraan” di Indonesia merupakan terjemahan dari kepustakaan asing ’civic education’ atau ’citizenship education’ atau ’education for

citizenship’. Meskipun demikian, dua istilah tersebut pernah dibedakan ketika diadopsi

ke dalam bahasa Indonesia, khususnya dalam kurikulum Pendidikan Kewargaannegaraan tahun 1968. Istilah ’civic education’ biasanya diterjemahkan menjadi ’Pendidikan Kewargaan Negara’, disingkat PKN, sedangkan ’citizenship education’ biasanya diterjemahkan menjadi ’Pendidikan Kewarganegaraan’, disingkat PKn. Selain perbedaan istilah, secara konseptual dua istilah tersebut memiliki perbedaan ruang lingkup kajian seperti dapat dilihat dari pendapat Cogan dalam Sapriya, H. (2007: 26) yang menyatakan bahwa ’civic education’, umumnya nerujuk pada jenis mata pelajaran yang diselenggarakan dalam struktur sekolah formal. Mata pelajaran tersebut memfokuskan pada struktur, proses dan simbol-simbol pemerintahan, seperti lembaga-lembaga pemerintahan, proses penyelenggaraan pemerintahan, simbol-simbol negara, peran dan tanggung jawab warga negara. Sedangkan, PKn adalah istilah yang lebih inklusif dan merupakan pengalaman belajar di sekolah juga diluar sekolah baik non formal maupun informal yang terjadi di lingkungan keluarga, organisasi keagamaan, organisasi kemasyarakatan, media dan sebagainya yang membantu untuk membentuk totalitas warga negara.


(29)

23 Dalam penelitian ini, pengertian kewarganegaraan lebih difokuskan pada pengertian pertama, yakni Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dalam istilah ’civic

education’. Meskipun demikian, istilah yang akan digunakan dalam penelitian ini tetap

menggunakan istilah ’Pendidikan Kewarganegaraan’ mengingat istilah ini lebih memasyarakat dan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi II, 1995), dua istilah tersebut tidak memiliki perbedaan makna yang berarti.

4. Konflik Sosial

Konflik berasal dari kata kerja latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (biasanya juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya tidak berdaya

Tidak satu masyarakatpun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.

Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. Perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawa sertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pu yang tidak pernah mengalami konflik antara anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.


(30)

24 Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi, sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik.

Konflik adalah perlawanan mental sebagai akibat dari kebutuhan, dorongan atau tuntutan yang berlawanan tindakan perlawanan, karena ketidakcocokan atau ketidakserasian mengakibatkan berkelahi, berperang atau baku hantam. Menurut Webster dalam Dean G. Pruitt (1986), istilah ”conflict” di dalam bahasa aslinya berarti Suatu ” perkelahian , peperangan, atau perjuangan”, yaitu berupa konfrontasi fisik antara beberapa pihak. Dengan kata lain, istilah tersebut menyentuh aspek psikologis dibalik konfrontasi fisik yang terjadi, selain konfrontasi fisik itu sendiri. Secara singkat, istilah ”conflict” menjadi begitu meluas sehingga beresiko kehilangan statusnya sebagai sebuah konsep tunggal.

Menurut Webster dalam Dean G, Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin. (2004 : 9-10) konflik sosial berarti persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perceived divergence

of interest), atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonlfik tidak

dapat dicapai secara simultan.

G. Lokasi dan Subjek Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti mengambil lokasi penelitian di SMA Negeri 9 Kota Ambon Provinsi Maluku. Letaknya di gunung Nania atas desa Waiheru jarak dari pusat kota 14 km. Pada awalnya Sekolah ini berdiri bernama SMA Negeri 9 Unggulan. Namun, disaat konflik sosial yang terjadi di Ambon beberapa waktu yang lalu, sekolah ini tidak lagi difungsikan untuk kegiatan belajar mengajar. Siswa yang masuk ke


(31)

25 Sekolah tersebut benar-benar diseleksi melalui sekolah masing-masing. Seteleh konflik reda tahun 2003 sekolah ini dapat difungsikan kembali tetap dengan status SMA Negeri 9 Ambon. Atas inisiatif guru-guru dan orang tua siswa, Akan tetapi tidak lagi berlebel SMA Unggulan yang menjadi pertimbangannya adalah mengingat anak-anak usia sekolah menengah atas tidak dapat mengancam pendidikan sering tersendat-tersedat karena sekolah tersebut tidak difungsikan .


(32)

74 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Metode yang di gunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif . Penelitian kualitatif (qualitative research) adalah suatu penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktifitas sosial, sikap kepercayaan, resepsi dan pemikiran orang secara individu maupun kelompok. Dalam paradigma ini relaitas sosial dipandang sebagai sesuatu yang holistik/utuh, kompleks, dinamis, dan penuh makna (Nana Syaodih, 2005 : 60).

Konsep di atas sejalan dengan Lancoln dan Guba (1985:39), yakni ontologi ilmiah menghendaki adanya kenyataan-kenyataan sebagai keutuhan yang tidak dapat dipahami jika dipisahkan dari konteksnya. Penelitian deskriptif adalah jenis penelitian yang memberikan gambaran atau uraian atas suatu keadaan sejelas mungkin tanpa ada perlakuan terhadap obyek yang diteliti. Melihat penelitian kualitatif sebagai penelitian yang bersifat naturalistik. Penelitian ini bertolak dari paradigma naturalistik bahwa “ kenyataan itu berdimensi jamak”, penilitian dan yang di teliti bersifat interaktif , tidak bisa dipisahkan satu kesatuan bentuk secara simultan, dan bertimbal balik, tidak mungkin memisahkan sebab dan akibat, dan penelitian ini melibatkan nilai-nilai. Para peneliti mencoba memahami bagiman individu mempersepsi makna dari dunia sekitarnya. Melalui pengalaman kita mengkonstruksi pandangan kita tentang dunia sekitar, dan ini menentukan bagaimana kita berbuat.


(33)

75 Pendekatan kualitatif yang dipakai dalam penelitian ini berdasarkan pada pertimbangan yang secara signifikan mempengaruhi penajaman substansi penelitian. Pertimbangan itu adalah: metode kualitatif menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dan informan, obyek dan subyek penelitian bersentuhan langsung pamaparan di atas, dimaknai bahwa peneliti kualitatif merupakan suatu cara meneliti langsung tanpa rekayasa, atau intervensi dari pihak manapun sehingga memperoleh data deskriptif tentang perilaku manusia. Untuk menghindari kerancuan dalam pelaksanaan pengumpulan data secar operasional, maka Bogdan Biklen, (1982:27-29) mengemukakan lima karakteristik utama dari penelitian kualitatif yang adalah sebagai berikut:

1. Peneliti sendiri sebagai instrumen utama untuk mendatangi secara langsung sumber data.

2. Mengimplementasikan data yang dikumpulkan dalam peneliti ini lebih cenderung dalam bentuk kata-kata daripada angka.

3. Menjelaskan bahwa hasil penelitian lebih menekankan kepada proses tidak semata- mata kepada hasil.

4. Melalui analisa induktif, peneliti mengungkapkan makna dari keadaan yang diamati. 5. Mengungkapkan makna sebagai hal yang esensial dari pendekatan kualitatif.

Metode kualitatif lebih tepat dipergunakan saat penelitian berhadapan dengan fenomena ganda, dalam studi ini yang ditelitiadalah masalah konflik. Penelitian kualitatif dianggap peka, tajam dan mampu menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh terhadap pola-pola nilai yang dihadapi.

Pendekatan kualitatif merupakan sistem perangkat kerja dalam mengali, menguji dan membentuk teori, penelitian kualitatif menghendaki adanya kenyataan


(34)

76 sebagai keutuhan yang tidak dapat dipahami jika dipisahkan dari konteksnya. Sebab itu, peneliti mengambil tempat pada keutuhan dalam konteks dari fenomena yang ada, yang selanjutnya dalam penelitian deskripsi analitik, mempelajari masalah dalam masyarakat, yaitu tata cara yang berlaku serta situasi tertentu, kegiatan sikap, pandangan serta proses yang terjadi, sekaligus suatu pengaruh dari fenomena. Pendekatan deskriptif analitik mendeskripsikan dan memberikan penjelasan tentang fenomena yang ada, yaitu bagaimana situasi, kegiatan, proses dan penagaruh menjadi objek penelitian.

Dalam penelitian ini, terdapat beberapa karakteristik yang ditonjolkan; pertama. Peneliti bertindak sebagai alat peneliti utama (key instrument), dengan melakukan wawancara sendiri pada informan dan pengumpulan bahan yang berkaitan dengan objek penelitian dan peneliti terlibat aktif dalam proses penelitian, peneliti berpartisifasi aktif selama penelitian berlangsung dalam rangka menjaring data dan informasi dilokasi penelitian. Analisis data diolah selama berlangsungnya kegiatan penelitian.

Kedua, penonjolan rincian kontekstual artinya peneliti mengumpulkan dan mencatat data-data dengan rinci, yang berkaitan dengan masalah yang sedang diamati. Ketiga, melakukan triangulasi data, atau konfirmasi data dari lain, sebagai mana kata Maleong (1999:35) Triangulasi adalah suatu metode pengecekan atau pembanding data yang di peroleh dari salah satu sumber data ke sumber data lainny”, karena data yang telah diperoleh dari salah satu informan akan dikonfirmasi keabsahannya pada informan lainnya. Tujuan untuk memberi perbandingan informasi tentang hal yang diperoleh dari pihak, agar tingkat kepercayaan terhadap data cukup tinggi. Keempat, dengan menggunakan prespektif emik, artinya membandingkan pandangan informan, bagaimana ia memandang dan menafsirkan masalah dalam pandangan sendiri. Peneliti memasuki


(35)

77 lapangan dengan tidak membuat generalisasi dan berusaha untuk seakan-akan tidak mengetahui. Kemudian tidak mempengaruhi jalannya pikiran informan. Kemudian, dalam wawancara berikut, akan dilakukan receking bagi data yang diperoleh dari informan sebelumnya kelima, melakukan analisis sepanjang penelitian dilakukan. Analisis dengan sendirinya akan muncul saat tiba pada penafsiran data.

Ciri umum yang ditampilkan dalam penelitian kualitatif sebagaimana dikemukakan oleh Bogdan dan Taylor ( Hadi Subroto, 1982 :12), bahwa penelitian kualitatif merupakan penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang dan perilaku yang di amati, data yang di kumpulkan melalui penelitian kualitatif, lebih berupa kata-kata dari pada angka-angka.

Sejalan dengan ciri-ciri tersebut, ( Nasution, 2003 :10 ), secarah terperinci menjabarkan karakteristik penelitian kualitatif di antaranya lebih mengutamakan :

Perspetif emic, artinya lebih mementingkan pandangan responden, yakni

bagaimana ia memandang dan menafsirkan dunia dari segi penderianya. Penelitian tidak memaksakan pandangannya sendiri. Penelitian memasuki lapangan tanpa generalisasi, seakan- akan tidak mengetahui sedikitpun, sehingga mendapat perhatian penuh terhadap konsep-konsep yang di anut partisipan.

B. Subjek Penelitian

Dalam penelitian ini, sumber data di pilih secara purposife dan bersifat snowball

sampling. Sumber data pada tahap awal memasuki lapangan di pilah oleh orang yang

memiliki power dan otoritas pada situs atau objek yang di teliti, sehingga mampu ”membuka pintu” kemana saja peneliti akan mengumpulkan data. Dengan demikian


(36)

78 setelah peneliti melakukan penelitian hingga mendapat data jenuh. Oleh karena itu, maka sumber data atau subjek penelitian sebagai berikut :

Untuk mendapat informasi tentang pembentukan karakter Generasi Muda melalui PKn maka peneliti mewawancarai :

1. Guru PKn yang di pandang menguasai problem-problem PKn. Sampai pada data jenu artinya data yang sudah berulang.

2. Siswa. 3. Orang Tua 4. Tokoh Pemuda 5. Tokoh Masyarakat

Karena bersifat snowball sampling, maka informan yang sengaja ditetapkan oleh peneliti, dapat berkembang dilapangan apabila peneliti menemukan orang yang lebih mengetahui tentang permasalahan yang diteliti.

Sesuai dengan judul Tesis yang diajukan, penulis akan mencoba mengungkapkan masalah peran PKn dalam pembentukan karakter generasi muda pasca konflik di Ambon. Penelitian ini dilakukan terhadap guru-guru Pendidikan Kewarganegaraan, para Siswa, Orang TuaTokoh Pemuda, Tokoh Masyarakat dan di Kota Ambon pasca konflik..

Untuk mengungkap bagaimana peran PKn dalam membentuk karakter generasi muda pasca konflik dilaksanakan wawancara dengan guru PKn

1. Surijono (Guru Pendidikan Kewarganegaraan SMA 9 Ambon) 2. Abjan. Hi. Umar (Guru PKn SMA Negeri. 9 Kota Ambon) 3. Rita Setia Budi (Guru PKn SMA Negeri. 1 Kota Ambon)


(37)

79 4. John Tuankotta (Guru PKn SMA Negeri 1. Kota Ambon)

5. Pau Noya ( Guru PKn SMA Negeri 2. Kota Ambon )

6. Nanuleta (Guru PKn sebagai Kepalah Sekolah SMA 2 Ambon) 7. Piter (Guru PKn SMA Unggulan Siwa Lima Ambon)

8. Novita Mahubesi (Guru PKn SMA Negeri 7. Kota Ambon)

Penulis melakukan wawancara dengan para siswa untuk mengunkapkan bagai mana karakter siswa pasca konflik diantaranya:

1. Widiawati (Ketua Osis SMA Negeri 9 Ambon)

2. Abdul Karim umar (Mantan Ketua Osis SMA Negeri 9 Ambon) 3. Sony Tamalene ( Mantan Sekertaris Osis SMA Negeri 9 Ambon) 4. Sukiman Wali (Wakil Ketua Osis SMA Negeri 9 Ambon)

5. Anisa Rumbia ( Ketua Kelas XI IPB) 6. Sarman Tuhuteru ( Ketua Kelas XI IPS)

Selain itu penulis juga melakukan wawancara dengan beberapa orang tua untuk mengungkapkan bagaimana peran PKn dapat memberikan kontribusi kepada pembentukan karakter generasi muda pasca konflik, yaitu:

1. Bapak Saleh Lesi (orang tua siswa SMA Negeri 9 Ambon) 2. Suito Tamalene (Orang Tua Siswa SMA Negeri 9 Ambon) 3. Ruslan Hitimala (Orang Tua Siswa SMA Negeri 2 Kota Ambon) 4. Saleh Poipesi (Orang Tua Siswa SMA Negeri 3 Kota Ambon) 5. Umar Making (Orang Tua Siswa SMA Negeri 3 Kota Ambon)


(38)

80 Selain itu penulis melakukan wawancara dengan para tokoh pemuda untuk mengungkapkan bagaimana konflik mempengaruhi kehidupan bermasyarakat serta karakter pemuda dan langkah-langkah pemuda untuk menyelesaikan konflik tersebut yaitu:

1. Galib Renwarin (Kepala Pemuda Desa Poka Kota Ambon) 2. Tasman Ode (Kepala Pemuda Desa Waiheru Kota ambon) 3. Fatric Tohata ( Pimpinan Pemuda Kereja Kota Ambon)

4. Saleh Tuna (Pimpinan Pemuda Kapahaha Desa Batu Merah Kota Ambon)

5. Edwik Pirit Watwarin (Pimpinan Angkatan Muda Gereja Desa Batu Gaja Kota Ambon)

6. Nursin ( Bagian keputrian Majelis Ta,lim Batu Merah Dalam Kota Ambon)

Juga ditambah dengan sumber lain yaitu: para tokoh masyarakat untuk mengungkapkan bagaimana konflik dapat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat dan karakter generasi muda pasca konfli di Kota Ambon yaitu:

1. Erol Dekosta (Anggota Tim Rekonsiliasi masyarakat adat Desa Poka Rumah Tiga dan Jazira Leihitu)

2. Bapak Muhammad Mandala (Tokoh Masyarakat Desa Waiheru Kota Ambon) 3. Daud Kadise (Tokoh Masyarakat Desa Poka Rumah Tiga Kota Ambon) 4. Lanyong (Tokoh Masyarakat Desa Poka Rumah Tiga Kota Ambon) 5. Andi Tahalele ( Tokoh mhasyarakat Desa Waiheru Kota Ambon) 6. Ny. Elen Noya (Toko Masyarakat Desa Rumah Tiga Kota Ambon)

Setelah melakukan observasi dengan para guru, siswa, tokoh pemuda, tokoh masyarakat dan orang tua di Kota Ambon pasca konflik, penulis mengimplementasikan


(39)

81 pedoman wawancara dengan pembimbing satu , dan setelah selesai penulis menguhubungi subjek penelitian, yaitu: guru-guru PKn yang tahu tentang problem PKn pasca konflik di Kota Ambon, setelah semua itu selesai penulis juga mengubungi para siswa, tokoh pemuda, tokoh masyarakat dan orang tua, yang dianggap punya kompeten dalam bidang yang penulis teliti untuk menjelaskan maksud dan tujuan melakukan wawancara.

Data yang diperoleh melalui wawancara dengan guruPKn , para siswa, tokoh pemuda, tokoh masyarakat, dan orang tua untuk mendapatkan data secara praktis , maka penulis memadukan temuan-temuan berupa perjalanan mengajar PKn pasca konflik selama kurang lebih 6 tahun, dan data yang diperoleh melalui para siswa, tokoh pemuda, tokoh masyarakat, dan orang tua. Data hasil penelitian yang bersifat teoritis ini akan dipadukan dengan pengalaman yang bersifat riil sehingga akan memudahkan penulis untuk mengambil suatu kesimpulan.

C. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data dalam penelitian ini, maka digunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:

1. Observasi Partisipatif

Observasi ialah cara untuk mendeskripsikan apa yang sedang terjadi, siapa dan apa yang terlibat, kapan dan dimana sesuatu itu terjadi, dan mengapa sesuatu itu terjadi- paling tidak dari sudut pandang partisipan ketika mereka melakukan sesuatu dalam situasi tertentu. Hal yang sama dikemukakan oleh Patton, dalam Safriya, H. (2007: 139) yang menanamkan ”Naturalistic obsevation” yang dilakukan di lapangan (field) sebagai


(40)

82 sejumlah cara atau jenis metode untuk mengumpulkan data melalui observasi, yakni

”participant obsevation, field obsevation, qualitative observation, or field research”,

walaupun setiap istilah ini tergantung pada kondisi dan tujuan analisis kualitatif. Istilah-istilah observasi yang dikemukakan Patton tersebut pada dasarnya memiliki karakteristik yang sama, yakni obsevasi untuk kepentingan pengumpulan data kualitatif.

Menurut Black dan Champion, (1999:286) yakni mengamati dan mendengar prilaku seseorang selama beberapa waktu, tanpa melakukan manipulasi atau pengendalian serta mencatat penemuan yang memungkinkan atau memenuhi syarat untuk digunakan ke dalam tindakan penafsiran analisis.

Dalam observasi ini, peneliti terlibat dengan kegiatan sehari-hari orang yang sedang diamati atau yang digunakan sebagai sumber data penelitian. Sambil melakukan pengamatan, peneliti ikut melakukan apa yang dikerjakan oleh sumber data, dan ikut merasakan suka dukanya. Dengan obsevasi partisipan ini, maka data yang diperoleh akan lebih lengkap, tajam dan sampai mengetahui pada tingkat makna dari setiap perilaku yang nampak.

2. Wawancara

Wawancara, ialah cara untuk mengali informasi, pemikiran, gagasan, sikap dan pengalaman para pakar dan praktisi. Wawancara tatap muka dilakukan langsung antara peneliti dan nara sumber secara dialogis, tanya jawab, diskusi dan melalui cara lain yang dapat memungkinkan diperolehnya informasi yang diperlukan. Teknik wawancara ini merupakan metode pengumpulan data dan informasi yang utama untuk mendeskripsikan pengetahuan dan pengalaman informan.


(41)

83 Wawancara mendalam : merupakan kegiatan yang dilakukan sebagai upaya untuk memperoleh data dari informan yang berupa pedoman, perasaan dan makna sesuatu. Dalam wawancara dengan informan, peneliti memberikan keleluasaan kepada mereka untuk menjawab segalah pertanyaan, sehingga memperkuat data-data melalui pengamatan. Wawancara dilakukan secara tidak terstruktur dan memakai pedoman wawancara. Nasition, (1996:69) mengemukakan bahwa ”obsevasi saja tak memadai dalam melakukan penelitian, itu sebabnya observasi harus dilengkapi dengan wawancara”.

Dalam kaitannya dengan penelitian ini, maka peneliti melakukan wawancara kepada para tokoh masyarakat, organisasi sosial politik, organisasi kepememudaan dan keluarga selama beberapa kali, sehingga memperoleh data yang valid tentang peran PKn dalam pembentukan karakter generasi muda pasca konflik di Ambon.

3. Studi Dokumenter

Studi Dokumenter , ialah cara untuk menggali, mengkaji, dan mempelajari sumber-sumber tertulis baik dalam bentuk laporan penelitian, makalah, jurnal, kliping media masa, dan dokumen negara (pemerintah). Pemilihan metode ini dilandasi oleh pemikiran bahwa dalam sumber-sumber tertulis tersebut dapat diperoleh ungkapan gagasan, persepsi, pemikiran, serta sikap para pakar dan praktisi pendidikan kewarganegaraan.

Untuk mendukung ketersediaan data dan analisis data, peneliti memanfaatkan sumber-sumber lain berupa dokumen negara, catatan dan dokumen (non human

resource). Menurut Lincoln dan Guba (1985: 276-277) catatan dan dokumen ini dapat


(42)

84 pertanggungng jawaban. Dalam studi dokumentasi ini, peneliti akan memanfaatkan sumber kepustakaan berupa hasil penelitian, dan pembahasan konseptual dengan menggunakan teknik analisis yang dikaitkan dengan upaya pengembang karakter generasi muda yang lebih baik pasca konflik.

Arikunto, (1998:236) mengemukakan bahwa ”studi dokumenter merupakan teknik yang digunakan untuk mengkaji dan mencari data mengenai hal-hal atau catatan-catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, noutulen rapat, agenda dan sebaginya”. Lingcoln dan Guba, (1985:276-277) mengatakan bahwa dokumentasi dan catatan digunakan sebagai pengumpulan data didasarkan pada beberapa hal yakni:

1. Dokumen dan catatan ini selalu dapat digunakan terutama karena mudah diperoleh dan relatif lebih murah.

2. Merupakan info yang mantap baik dalam pengertian merefleksikan situasi secara akurat maupun dapat dianalisis ulang tanpa melalui perubahan di dalamnya.

3. Dokumen dan catatan merupakan sumber informasi yang kaya.

4. Kedunya merupakan sumber resmi yang tidak dapat disangkal, yang mengambarkan kenyataan formal.

5. Tidak seperti pada sumber manusia, baik dokumen maupun catatan nonkreatif, tidak memberikan reaksi dan respon atau perlakuan peneliti.

4. Triangulasi Data

Dalam teknik pengumpulan data, triangulasi diartikan sebagai teknik pengumpulan data yang bersifat mengabungkan dari berbagai teknik pengumpulan data dan sumber data yang telah ada. Bila peneliti melakukan pengumpulan data dengan triangulasi, maka sebenarnya peneliti mengumpulkan data yang sekaligus menguji


(43)

85 kredibilitas data, yaitu mengecek kredibilitas data dengan berbagai teknik pengumpulan data berbagai sumber data sebagai berikut

Teknik triangulasi, berarti peneliti menggunakan teknik pengumpulan data yang berbeda-beda untuk mendapatkan data dari sumber yang sama peneliti menggunakan obsevasi partisipatif, wawancara mendalam, dan dokumentasi untuk sumber data yang sama secara serempak.

Sugiyono, (2007:85) mengatakan bahwa ”nilai dari teknik pengumpulan data dengan triangulasi adalah untuk mengetahui data yang diperoleh convergent (meluas), tidak konsisten atau kontradiksi. Oleh karena itu dengan menggunakan teknik triangulasi dalam pengumpulan data, maka dapat diperoleh akan lebih konsisten, tuntas dan pasti”. Lebih lanjut Sugiyono mengambarkan proses triangulasi:


(44)

86 Wawancara

Mendalam

A

B

C

Gambar .01

Proses Triangulasi Data

Sumber data modifikasi dari buku Sugiyono, (2007:85)

Proses triangulasi data seperti yang telah digambarkan pada bagam di atas, merupakan salah satu bentuk pengecekan terhadap sumber-sumber hasil wawancara, yang dilakukan oleh peneliti, agar tetap menjungjung tinggi tingkat kebenaran data yang diperoleh peneliti.

D. Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak sebelum memasuki data, selama ini lapangan dan setelah di lapangan dalam hal ini Nasution (2003)


(45)

87 menyatakan ”analisis telah dirumuskan dan mejelaskan masalah, sebelum terjun ke lapangan, berlangsung terus sampai peneliti dan hasil peneliti. Dalam peneliti kualitatif, analisi data lebih difokuskan selama proses di lapangan bersama dengan pengumpulan data.

Teknik analisis data yang di gunakan dalam penelitian adalah analisis data kualitatif, mengikuti konsep yang diberikan oleh Miles and Huberman yakni : ” Aktifitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sampai datanya sudah jenuh. Aktifitas dalam analisis data, yaitu data reduction, data display dan conclusion drawing / verivication”. Ada tiga langka analisis di antaranya.

Mereduksi data berarti merangkum, melihat hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang jelas, dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya bila diperlukan. Reduksi data dapat dibantu dengan peralatan elektronik seperti komputer mini, dengan mengunakan kode pada aspek-aspek tertentu.

Lingcoln dan Guba (1985:345) mengatakan bahwa : Langkah pertama dalam pemerosotan satuan ialah peneliti hendaknya membaca dan mempelajari secara teliti seluruh jenis data yang sudah terkumpul. Setelah itu, usahakan agar satuan-satuan dan pemasukan ke dalam kartu indeks. Penyususnan satuan dan pemasukan ke dalam kartu indeks hendaknya dapat dipahami oleh orang lain. Pada tahap ini analisis hendaknya jangan dulu membuang satuan yang ada walaupun mungkin dianggap tidak relevan.


(46)

88 Tujuan analisis data yang dilakukan oleh peneliti yakni proses mencari dan menyusun cera sistimatis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan,, dan bahan-bahan lain, sihingga dapat muda dipahami, dan temuanya dapat diinformasikan kepada orang lain. Analisis data dilakukan dengan mengorganisasikan data, menjabarkannya ke dalam unit-unit sintesa, menyususn ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan yang dapat diceritakan kepada orang lain.

Menurut Creswell, (1998:147-150) langkah-langkah yang sering dipakai dalam penelitian fenomenologi adalah sebagai berikut:

1. Peneliti mulai dengan satuan deskripsi penuh mengenai pengalaman pribadinya tentang penomena tersebut.

2. Peneliti kemudian menemukan pernyataan-pernyataan, tentang bagaimana orang memahami topik yang diteliti, membuat daftar pertanyaan yang signifikan dan memperlakukan semua data secara sama.

3. Pertanyaan-pertanyaan ini kemudian dikelompokan ke dalam unut-unit makna”, peneliti membuat daftar unit-unit ini dan kemudian menulis sebuah deskripsi.

4. Peneliti kemudian melakukan refleksi pada deskripsi pribadinya dan menggunakan variasi imajinatif atau deskripsi struktural, mencari semua makna.

5. Peneliti kemudian menyususn suatu deskripsi menyeluruh dari makna dan esensi dari pengalaman tersebut.

Bertolak dari dasar konsep di atas, makna untuk memudahkan peneliti dalam proses menganalisis data dalam penelitian ini, maka peneliti menggunakan alur analisis yang adalah sebagai berikut:


(47)

89 1. Analisis sebelum di lapangan

Peneliti kualitatif telah melakukan analisis data sebelum peneliti memasuki lapangan. Analisis dilakukan terhadap data hasil studi pendahuluan, atau data sekunder, yang akan digunakan untuk menemukan fokus penelitian. Dalam kaitan dengan itu maka, peneliti telah melakukan analisis terhadap beberapa tesis dan hasil-hasil penelitian terdahuli di Maluku mengenai konflik horizontal. Analisis ini diharapkan dapat memberikan sedikit gambaran tentang masalah yang akan dikaji oleh peneliti.

Namun demikian fokus penelitian ini masih bersifat sementara, dan akan berkembang setelah peneliti masuk dan selama di lapangan. Sogiyono, (2007:90) mengibaratkan tahapan ini seperti:

Seseorang yang sedang mencari pohon jati di suatu hutan. Berdasarkan karakteristik tanah dan iklim, maka dapat diduga bahwa hutan tersebut ada pohon jatinya. Oleh karena itu peneliti dalam membuat proposal peneliti, fokusnya adalah ingin menemukan pohon jati pada hutan tersebut, berikut karakteristiknya. Setelah peneliti masuk ke hutan beberapa lama, ternyata hutan tersebut tidak ada pohon jatinya. ... kalau focus peneliti yang dirumuskan dalam proposal tidak ada di lapangan, maka peneliti akan merubah focusnya, tidak lagi mencari kayu jati di hutan, tetapi akan merubah dan mungkin setelah masuk hutan lagi tidak tertarik pada kayu jati, tetapi beralih kepada pohon-pohon yang lain, bahkan juga mengamati binatang yang ada di hutan tersebut.

2. Analisis Selama di Lapangan Model Miles and Huberman

Analisis data dalam penelitian kualitatif, dilakukan pada saat pengumpulan data berlangsung, dan setelah selesai pengumpulan data dalam periode tertentu. Pada saat wawancara, peneliti sudah melakukan analisis terhadap jawaban yang diwawancarai. Bila


(48)

90 jawaban yang diwawancarai setelah dianalisis terasa belum memuaskan, maka peneliti akan melanjutkan pertanyaan lagi, sampai tahap tertentu, diperoleh data yang dianggap kredibel.

Miles adn Huberman (1992) mengemukakan bahwa aktifitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sampai datanya sudah jenuh. Aktifitas dalam analisis data, yaitu data reduction, data

display dan conclution drawing / verification.

Langkah-langkah analisis ditunjukan pada gambar berikut ini.

ANALISIS Reduksi Data

Antisipsi Selamat Setelah

Display Data

Selamat Setelah

Kesimpulan/Verifikasi

Gambar: 02 Periode Pengumpulan Data

Sumber data : Miles dan Huberman, (1992:18).\

Reduksi data dapat diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan stranspormasi data yang muncul dari catatan-catatan lapangan. Reduksi data berlangsung secara terus menerus selama pengumpulan data berlangsung. Reduksi data merupakan bagian dari analisis yang menajamkan,


(49)

91 mengolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa hingga kesimpulan-kesimpulan akhir dapat diartikan dan diverifikasi.

Bagian kedua dari analisis adalah penyajian data, penyajian yang dimaksudkan adalah sekumpulan informasi tersusun yang memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian yang paling sering digunakan pada data kualitatif dalam bentuk teks naratif. Dalam hal ini Miles dan huberman (1992) menyatakan “the mos freguent from of display data for qualitative research dat in the

past been narrative tex” yang paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam

penelitian kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif.

Langkah ketiga dalam analisis kualitatif menurut Miles and Huberman adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan awal yang ditemukan masih bersifat sementara, dan akan berubah bila ditemukan bukti-bukti yang kuat yang mendukung tahapan pengumpulan data berikutnya. Tetapi apabila kesimpulan yang dikemukakan pada tahapan awal, didukung oleh bukti-bukti. Kesimpulan akhir tergantung pada besarnya kumpulan-kumpulan catatan lapangan, pengkodean, penyimpanan, dan metode pencairan ulang yang digunakan, serta kecakapan peneliti.


(50)

283 BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Berdasarkan hasil enelitian yang telah dilakukan, penulis memperoleh beberapa temuan penelitian yang kemudian dijadikan sebagai dasar untuk menarik kesimpulan berikut ini beberapa kesimpulan yang dapat diberikan sebagai berikut.

A. Kesimpulan Umum

Berdasarkan sejumlah temuan penelitian yang telah diuraikan di atas tampak

bahwa Pendidikan Kewarganegaraan berperan penting dalam pembentukan karakter generasi muda pacsa konflik sosial di Ambon. Hal tersebut dikarenakan: a) PKn yang dilaksanakan dipersekolahan tidak hanya menitipberatkan pada penguasaan meteri pembelajaran secara kognitif saja, tetapi meliputi pula pada pembentukan sikap karakter selaku generasi muda terutama siswa. Dengan kata lain, paradigma pembelajaran PKn sudah mulai berubah dari education abaout democracy ke arah education for democracy; b) Pembelajaran PKn sudah dilakukan dengan menggunakan metode pembelajaran yang tidak bersifat persekolahan saja akan tetapi PKn bisa dilakukan antara masyarakat organisasi sosial politik, organisasi kepemudaan dan keluarga, sehingga PKn lebih teredorong penguatan peran dan kedudukannya sebagai pendidikan karakter dan kesadaran berdemokrasi bagi generasi muda terutama siswa; dan c) Materi pembelajaran PKn pada dasarnya mengikuti prinsip dimana kurikulum diltekan.

Fokus pembinaan karakter generasi muda melalui PKn adalah bagian dari perlaku warga negara atau generasi muda, karena karakter generasi muda yang baik akan


(51)

284 terbentuk maka baik pula karakter warga Negara, namun PKn bukan satu-satunya wahana untuk membangun karakter sebab hakikat karakter tidak hanya terkait dengan kehidupan demokrasi dan hukum dalam konteks kehidupan bernegara melainkan termasuk karakter dalam kehidpan bermasyarakat berbangsa dan bernegara melainkan termasuk karakter dalam kehidupan di lingkungan keluarga juga. Pembinaan karakter generasi muda sebagai upaya semua pihak di Maluku guna mengembangkan potensi kepribadian manusia yang diwujudkan dalam bentuk sikap dan perilaku yang konsisten dipengaruhi oleh aspek psikologi, kesehatan, mental, seta pribadi individu generasi muda, serta konteks kehidupan masyarakat pasca konflik sosial.

Dengan demikian jika dilihat dari kondisi di atas telah memperkuat kedudukan PKn sebagai wahana pendidikan karakter dalam kehidupan demokrasi. Akan tetapi pada kenyataannya pembelajaran PKn masih dihadapkan pada beberapa kondisi empirik yang sifat kontraproduktif dengan kedudukan pembelajaran PKn sebagai wahana peningkatan kesadaran bermasyarakat berbagsa dan bernegara, diantaranya: 1) kompetensi guru termasuk keterbatasan sarana dan prasarana sekolah; dan 2) persoalan lingkunagan terutama yang berkaitan dengan kondisi dan situasi pasca konflik yang berpengaruh terhadap pembinaan karakter generasi muda yang kurang demokratis. Oleh karena itu, untuk mengatasi kendala tersebut Pendidikan Kewarganegaraan harus ditempatkan tidak hanya sebagai program pendidikan dipersekolahan saja, tetapi harus menjadi suatu pendidikan PKn yang bisa membentuk karakter generasi muda atau warga negara , serta sebagai suatu pendidikan politik dan pendidikan karakter bangsa yang harus diterapkan oleh pemerintah beserta seluruh stakeholders PKn.


(52)

285 B. Kesimpulan Khusus.

Adapun yang menjadi kesimpulan khusus dalam penelitian ini adalah:

1. Pengaruh PKn dalam pembinaan karakter generasi muda terutama siswa pasca konflik sosial sangat bermakna, oleh karena latar belakang sitasi pasca konflik yang dapat menciptakan efek-efek sosial yang buruk, serta terjadinya dekadensi moral, meningkatnya ketidak jujuran siswa dan kurangnya rasa hormat terhadap orang tua dan guru,

2. Yang menjadi kendala dari ketidak profesionalisme guru, yang ditandai dengan orientasi guru yang mengajar hanya mengejar waktu dan cepat untuk menyelesaikan materi tanpa menerapkan model-model pembelajaran yang membuat siswa merasa semangat merupakan kendala utama dari pembelajaran PKn dalam proses pembentukan karakter generasi muda pasca konflik sosial di Ambon.

3. Solusi dari Pemebelajaran PKn yang mampu mengerakan siswa untuk tahu tentang hak dan kewajiban sebagai warga negara, dan mengajarkan kepada siswa berjiwa demokrasi serta melupakan peritiwa-peristiwa yang tidak bermoral di lingkungan masyarakat maupun di sekolah merupakan solusi terbaik yang di gunakan dalam permasalahan pembinaan karakter generasi muda pasca konflik sosial .

4. Pembelajaran PKn yang dikoordinasikan antara guru dan masyarakat dapat mengembagkan sikap berpikir ,demokrasi dan nilai-nilai nasionalisme kepada para generasi muda yang merupakan salah satu kendaraan untuk memberikan pemahaman dan mengatasi krisis multidimensi serta mengantarkan siswa untuk mengetahui problem-problem yang terjadi dalam kehidupan masyarakat serta


(1)

Boulding, Kenneth E., (1962). Conflict and Defense: A General Theory. New York, Harper and Row, Publishers.

Brangson, M.S. (1998). The role of Civic Education: a Forthcoming Education Policy Task Force Position Paper from the Communitarian Network. Http://www.civiced.org. Clifford Geertz, (1983). The Religion of Java, edisi Indonesia, Abangan, Santri, priyayi Dalam

Masyarakat Jawa, Jakarta : PT Dunia Pustaka Jaya

Cogan, Jhon J, (1998). Developing The Civil Sicyety: The Role Of Civic Education. (paper). Presented In The Confrance On Civic Education For Civil Society, Organized by Cived In Colaboration With Visis. Bandung : Hotella Papandaya, Maret 16-17, 1999

Cogan, Jhon J. dan Derricot, R. (1998). Citizenship for the 21 Century: An International Perspeltive an Education.London: Cogan Page.

Costello, Patrick J.M. (2000). Citizenship education, cultural diversity and the development of thinking skills, dalam politics, Education and Citizenship, vol. VI (Eds, Leicester, M., Modgil, C. dan Modgil, S.). London and New York: Falmer Press.

Cronbach, Lee J. (1977). Education Psychology (3rd edition). New York : Harcourt Brace Jovanovich, Inc.

Creswell, W, Jhon. (1998). Qualitative Inquiry And Research Desing: Choosing Among Five Traditions : London : SAGE Publications.

Dean G. Pruit, dan Jeffrey Z. Rubin. (2004). Social Conflict Escalation, Stalemate, and Settlemen. Yogjakarta Pustaka Pelajar.


(2)

Djahiri Kosasi. (2006). Pendidikan Nilai Moral Dalam Dimensi Pendidikan Kewarganegaraan. Bandung : Laboratorium Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) FPIPS-UPI. Edward, J. dan Fogelman, K. (2000). Citizenship Education and Cultural diversity, dalam

Politics, Education and Citizenship, vol. VI (Eds, Leicester, M,. Modgil, Modgil, S.). London and NewYork: Falmer Press.

Pelly Usaman. (2004). Menghindari Konflik Generasi Ketiga. Makalah Seminar Nasional Ikatan Himpunan Mahasiswa Sejarah Se Indonesia (IKAHIMSI. Medan, 24-28

Februari 2004.

Pieris, Jhon. (2004). Tragedi Maluku Sebuah Krisis Peradaban. Jakarta : Yayasan Obor Indodnesia.

Park, R. E. (1924). The Concept Of Social Distance, Journal Of Applied Sociology, 339-344 Feith, Hebert, (1962). The Decline Of ontitutional Democracy In Indonesia Ithaca. New York:

Cornell University Press.

Guba, G, E dan Lingcoln, S. (1985). Naturalistic Inquiry. London : Sega Publications. Bavery. Hudson, Michael C, & Charles Lewis Taylor, (1972). World Handbook of Political & Social

indocators, New Haven and London, Yale University press.

Huliselan, M. (2002). Krisis Kebudayaan Konflik dan Kekerasan ”Laporan Penelitian Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional : Makasar.

Maleong. J. Lexy. (2000). Metode Penelitian Kualitatif. Remaja Rosdakarya : Bandung.


(3)

Pramita.

Mulayasana D. (2006). Manusia dan Pendidikan Kewarganegaraan Dalam Prespektif

Perubahan “laboratorium Pendidikan Kewarganegaraan FPIPS-UPI Bandung. M. Jamil Mukhsin. (2007). Mengelola Konflik Membangun Damai. Semarang Walisongo

Mediation Centere (WMC).

HAM Mushadi. (2007). Mediasi dan resolusi Konflik di Indonesia. Semarang : (Walisongo Mediation Centere) IAIN Walisongo Semarang

Muftahudin. (2004). Radikalisasi Pemuda. Jakarta : Pustaka Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation.

Miles dan Huberman. (1992). Analisis Data Kualitatif. UPI- Press : Jakarta.

Nasution S. (2003). Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif : Cetakan Ketiga. Bandung : Tarsito.

Noor Syam, M. (2006). Filsafat Ilmu. Malang, Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang.

Kastor Rustam. (2000). Konsfirasi Politik RMS dan Kristen menghancurkan Umat Islam di Ambon-Maluku. Yogjakarta : Widha Press.

Karl Mannheim, (1957). Systematic Sociology; An Introduction to The Study of Society, Routledge & Paul Keegan London,

Krisna, Ananda. (2006). Indonesia Under Attecki, Membangkitkan Kembali Jati Diri Bangsa.On Earth Media Bekerja Sama Dengan Internasional Intergration Morement, Jakarta. Lincoln, Y.S. & Guba, E.G. (1985). Naturalistic Inquiry. Baverly Hills: Sage Publication.


(4)

Sanusi, Ahmad (1999). Model Pendidikan Kewarganegaraan Menghadapi Perubahan danGejolak Sosial. Makalah yang dipresentasikan pada Conference on Civic Education for Civil Cociety, di Bandung 16-17 Maret 1999.

Salatalohi, Fahmi. (2004). Jumawa, Syindrome Lemming FKM/RMS, Kritik Akrasia, Kritik Autarki, Kritik Hilomorfisme. Yogjakarta : Isight Reference Offiset.

Sugiono. (2007). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung : Alfabeta.

Sunarso dan Kus Eddy Sartono, (2000). Pendidikan Kewarganegaraan, UPT MKU UNY, Universitas Negeri Yogjakarta.

Supriatna, Nana. (2007). Konstruksi Pembelajaran Sejarah Kritis. Bandung : Historia Utama Press.

Soekarno. (1930). Indonesia Mengugat, Pidato Pembelaan Bung Karno di Muka Hakim Kolonial. Jakarta Penerangan RI.

Suharsimin Arikunto. (1998). Prosedur Penelitian. Rineka Cipta : Jakarta.

Tanamal P. (2003). Dimensi Budaya dalam Situasi Konflik. http/kongres bud co id.

Wahab, A. azis. (1999). Pembelajaran Konsep dan Paradigma Pendidikan Kewarganegaraan Baru Indonesia Bagi Terbinanya Warga Negara Multidimensional (Paper), disampaikan Dalam Worskop On Civic Education Content Mapping Oktober, 18-19 18-1991 Hotel Papandayan, Bandung : Ciced.

Wahab, A. Azis. (1996). Politik Pendidikan dan Pendidikan Politik : Model Pendidikan

Kewarganegaraan Untuk Menuju Warganegara Global. Pidato Pengukuhan Guru Besar Pada IKIP Bandung.

Walter Isaard (1992). Understanding Codflict and the Science of Peace Cambridge, MA: Blackwell.

Winataputra Udin dan Budimansyah Dasim (2007). Civic Education, Konteks dan Landasan Bahan Ajar dan Kultur kelas, Bandung Sekolah Pasca Sarjana Universitas Pendidikan Indonesia


(5)

Winataputra, Udin S. (1999). Perkembangan Pendidikan Kewarganegaraan Sebagai Wahana Pendidikan Demokrasi di Indonesia. Paper disampaikan pada Workshop on the Development of Concepts and Content of Civic Education for Indonesian Schools.16-19 Oktober 1999di Bandung

Winataputra, Udin, S. (2001). Reorientasi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial di Erah Global. (makalah) Disampailkan Dalam Seminar Nasional dan Kongres Forum

Komunikasi Pimpinan FPIPS.

Megawangi, R. (2004). Pendidikan Karakter. Bandung Pustaka Mizan

Maftuh Bunyamin (2005). Implementasi Model Pembelajaran Resolusi Konflik Melalui

Pendidikan Kewarganegaraan Sekolah Menengah Atas. Bandung : Sekolah Pasca Sarjana Universitas Pendidikan Indonesia.

Moies Isnarmi (2006). Kerangka Konseptual Pendidikan Multikultural Transformatif Berdasarkan Pola Hubungan – Konflik Antara Etnik (Kajian Krisis Terhadap Laporan Media Masa Mengenai Konflik Ambon, Sambas, dan Sampit, dan Poso) Bandung : Sekolah Pasca Sarjana Universitas Pendidikan Indonesia.

Sapriya H. (2007). Pemikiran Pakar Tentang Pendidikan Kewarganegaraan Dalam

Pembangunan Karakter Bangsa. Bandung Sekolah Pasca Sarjana Universitas Pendidikan Indonesia.

Arif D, Baehaqi. (2008). Pengembangan Warganegara Multikultural. Bandung : Sekolah Pasca Sarjana Universitas Pendidikan Indonesia

Kardiman, Y. (2008). Membangun Kembali Karakter Bangsa Melalui Situs-Situs

Kewarganegaraan. Bandung : Sekolah Pasca sarjana Universitas Pendidikan Indonesia.

Sumber Lain :

Mhtml: file:/F/Gerakan%20Indonesia%bersatu20’’’.mht

http://koleksi-skripsi. Blogspot.com/2008/07teori-pembentukan-karakter. Hmtl http://id.wikipedia.org/wiki/konflik


(6)