Studi Kasus Mengenai Gambaran Protective Factor danResiliency pada wanita yang Mengalami Kekerasan dalam Rumah Tangga di Komunitas X di Kota Bandung.

(1)

cara mewawancara dua responden korban kekerasan dalam rumah tangga. Panduan wawancara yang digunakan merupakan panduan wawancara yang dibuat oleh peneliti berdasarkan teori resiliency dan protective factor yang dikemukakan oleh Benard (2004). Validasi panduan wawancara ditentukan dengan menggunakan expert validity.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kasus S, protective factor yang dominan memengaruhi resiliency S adalah caring relationship dan opportunity to participate and contribute. Resiliency S sendiri secara keseluruhan termasuk baik. Meskipun demikian, pada kemampuan memaafkan, S masih kurang mampu untuk memaafkan keluarga pihak suaminya. Pada kasus H, protective factor yang dominan memengaruhi resiliency H adalah caring relationship. Meskipun H memiliki caring relationship, hal ini kurang membantu H untuk memiliki resiliency yang baik.

Peneliti menyarankan agar penelitian selanjutnya untuk membuat panduan wawancara yang mengintegrasikan perolehan data mengenai pengaruh protective factor terhadap resiliency dibandingkan dengan menggunakan dua panduan wawancara yang terpisah.


(2)

ii

Universitas Kristen Maranatha

This research was conducted in order to describe the protective factors’ influence toward the resiliency within women who suffered abusive marital relationship. This research is a qualitative research. The data was obtained through interviewing two victims of abusive marital relationship. The interview guidelines were constructed according to Benard’s theory of Resiliency (2004). The interview guidelines were validated with expert validity.

Result showed that on S’ case, the dominant protective factors which influenced S’ resilience were caring relationship and opportunity to participate and contribute. Overall, S was considered resilient. However, on forgiveness S still had difficulties to forgive her husband’s side of the family. On H’s case, the dominant protective factor which influenced H’s reslience was caring relationship. Even though H had caring relationship, the said dominant protective factor could not support H’s reslience well.

Researcher suggested for further research to construct an integrated interview guideline which directly obtain the influence of protective factors toward subject’s resilience rather than using two separated interview guidelines.


(3)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR SKEMA ... ix

DAFTAR LAMPIRAN……….... x

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Identifikasi Masalah………...9

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian………...9

1.3.1 Maksud Penelitian………9

1.3.2 Tujuan Penelitian………10

1.4 Kegunaan Penelitian……….10

1.4.1 Kegunaan Teoritis………..10

1.4.2 Kegunaan Praktis………...10

1.5 Kerangka Pemikiran……….11


(4)

v

Universitas Kristen Maranatha BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Resiliency………25

2.1.1 Pengertian Resiliency……….………...25

2.1.2 Personal Strength………..…………26

2.1.3 Protective Factors……….37

2.2 Kekerasan Dalam Rumah Tangga………..49

2.2.1 Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga…….49

2.2.2 Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga………..49

2.2.3 Faktor penyebab terjadinya KDRT……….50

2.2.4 Dampak KDRT pada korban………..52

2.3 Masa Dewasa Madya………52

2.3.1 Perkembangan Fisik………53

2.3.2 Perkembangan Kognitif………..55

2.3.3 Karir, Kerja, dan waktu Luang………...55

2.3.4 Perkembangan Sosio-Emosional……….58

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian………..60

3.2 Bagan Prosedur Penelitian………60

3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional………..61

3.3.1 Variabel Penelitian……….61

3.3.2 Definisi Operasional………...61


(5)

3.4.1 Kerangka Wawancara Resiliency dan Protective Factor….65

3.4.2 Data Penunjang………68

3.4.3 Validitas Kerangka Wawancara………..69

3.4.4 Kredibilitas Penelitian Kualitatif………69

3.5 Subjek Penelitian………69

3.6 Teknik Analisa Data………..70

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN 4.1 Kasus S………72

4.1.1 Gambaran S………..72

4.1.2 Anamnesa S……….73

4.1.3 Hasil Penelitian S………77

4.1.3.1 Protective Factors………77

4.1.3.2 Social Competence………...78

4.1.3.3 Problem Solving...79

4.1.3.4 Autonomy………80

4.1.3.5 Sense of Purpose and Bright Future………...81

4.1.4 Pembahasan S………82


(6)

vii

Universitas Kristen Maranatha

4.2.1 Gambaran H……….86

4.2.2 Anamnesa H………87

4.2.3 Hasil Penelitian H………92

4.2.3.1 Protective Factors………92

4.2.3.2 Social Competence………...93

4.2.3.3 Problem Solving...94

4.2.3.4 Autonomy………95

4.2.3.5 Sense of Purpose and Bright Future………...96

4.2.4 Pembahasan H………...97

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan………..102

5.2 Saran………103

5.2.1 Saran Penelitian Lanjutan………103

5.2.2 Saran Kegunaan Praktis………..103

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR RUJUKAN


(7)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Kisi-kisi Kerangka Wawancara Resiliency ... 42 Tabel 3.2 Kisi-kisi Protective Factor ... 44


(8)

ix

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR SKEMA

Bagan 1.1 Kerangka Pikir ... 23 Bagan 3.1 Prosedur Penelitian ... 36


(9)

DAFTAR LAMPIRAN

- LAMPIRAN 1 : DAFTAR PERTANYAAN SEMI-STRUCTURED INTERVIEW

- LAMPIRAN 2 : TRANSKRIP WAWANCARA

- LAMPIRAN 3 : SURAT PERNYATAAN KESEDIAAN MENJADI PARTISIPAN SKRIPSI - LAMPIRAN 4 : SKORING IBU S


(10)

1

Universitas Kristen Maranatha PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pernikahan merupakan salah satu tugas perkembangan dalam kehidupan. Manusia yang baru hadir di muka bumi ini dipelihara, di didik. Setelah meningkat menjadi usia dewasa kebutuhannya tidak dapat lagi dipenuhi oleh orang tuanya. Manusia memerlukan manusia lain yaitu manusia yang berada di luar rumah tangga orang tuanya. Manusia memerlukan kepuasan seks yang tidak dapat dengan segera dipenuhinya. Dia harus membangun rumah tangga dengan teman hidup yang diharapkannya dapat memberikan kepadanya keturunan melalui suatu ikatan yang dinamakan pernikahan, karena dengan pernikahan inilah yang akan dapat ikut serta menjamin kepuasan. (http://blog.iqbalir.com, diakses 4 Oktober 2012).

Keluarga adalah sekelompok orang yang terhubungkan oleh ikatan pernikahan, darah, atau adopsi; membentuk suatu rumah tangga tunggal; saling berinteraksi dan berkomunikasi dalam peran sosial yang timbal balik sebagai istri dan suami, ibu dan ayah, anak perempuan dan anak laki-laki, saudara perempuan dan saudara laki-laki; serta menciptakan dan memelihara suatu budaya yang sama (Burgess & Locke dalam Duvall, 1977). Keluarga mempunyai fungsi, yaitu : memberi afeksi, memberi rasa aman dan penghayatan diterima secara pribadi, memberi kepuasan dan a sense of purpose, memberi keyakinan akan kesinambungan dan persahabatan, menjamin kelangsungan sosialisasi,


(11)

menanamkan control dan pemahaman benar dan salah (Burgess & Locke dalam Duvall, 1977), namun fungsi keluarga menjadi tidak berfungsi jika terjadi konflik dan dalam penyelesaian masalahnya terjadi kekerasan dalam rumah tangga. Berikut ini ada beberapa pengertian mengenai pernikahan, menurut UU perkawinan No 1 tahun 1974 perkawinan adalah ikatan lahir batin seorang pria sebagai suami dan seorang wanita sebagai istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa. Adapula perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal, yang diakui Negara (Berdasarkan UU perkawinan No 1 tahun 1974).

Dalam pernikahan dapat terjadi beberapa permasalahan sperti perselingkuhan dan kekerasan dalam rumah tangga. Salah satunya adalah pada tanggal 20 April 2011 kasus kekerasan dalam rumah tangga yang dialami oleh Sulastrie yang berusia 50 tahun, sudah empat tahun terbaring lumpuh akibat penyiksaan suaminya dan kondisi Sulastrie kini tidak lebih dari sekedar mayat hidup (http//www.antaranews.com, diakses 4 Oktober 2012). Selain itu ada kasus kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi pada Yeni, Yeni disiksa secara fisik hanya karena yeni tidak diizinkan untuk pulang ke rumah orang tuanya (http//www.pikiran rakyat online.com, diakses 4 Oktober 2012). Yeni seringkali merasakan ketakutan apabila mendengar suara teriakan atau hantaman benda keras, menangis apabila teringat peristiwa kekerasan yang dialaminya, mempertanyakan mengapa kekerasan tersebut menimpa dirinya.


(12)

Universitas Kristen Maranatha Pada pasal 1 ayat 1 di dalam UU No. 23 tahun 2004, kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (Berdasarkan UU No 23 tahun 2004). Menurut Rismiyati (2005), kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Sedangkan kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan atau munculnya penderitaan psikis yang berat. Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan seks, hubungan seksual dengan cara tidak wajar atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain tujuan komersail atau tujuan tertentu. Penelantaran rumah tangga adalah perbuatan yang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut perjanjian atau hukum yang berlaku individu wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang terakhir adalah penelantaran bagi setiap orang yang mngakibatkan adanya ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah, sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut (Sumintapradja, 2010).

Indonesia saat ini sudah memiliki UU penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga No. 23 tahun 2004 yang menyatakan bahwa kekerasan dalam


(13)

rumah tangga merupakan tindakan kriminal, sehingga pelakunya dapat dihukum, namun jumlah kekerasan mengalami peningkatan setiap tahunnya, hingga tahun lalu kasus kekerasan dalam rumah tangga yaitu mencapai 113.878 kasus, yang 110.468 kasus diantaranya terjadi pada istri. Sementara yang lainnya terjadi dalam hubungan pacaran sebanyak 1.405 kasus. Jumlah korban tertinggi pada 2011 terjadi di daerah Jawa Tengah yang mencapai angka 25.628 korban. Setelah Jawa Tengah, Jawa Timur menempati urutan kedua korban kekerasan dan jumlah perempan korban kekerasan mencapai 24.555, kemudian diikuti wilayah Jawa Barat 17.720 , dan DKI mencapai angka 11.289.

Kekerasan dalam rumah tangga di Bandung pada tahun 2011 hingga kini masih sulit diungkap karena perempuan dan keluarga tidak mau melaporkannya dan menganggap kasus itu memalukan bahkan termasuk aib bagi perempuan, keluarga atau masyarakat. BKBPP Kabupaten Bandung sudah menyosialisasikan Undang-Undang (UU) Pencegahan KDRT tahun 2004, tapi masyarakat tetap tidak mau melaporkannya. Banyak perempuan wanita yang menjadi korban KDRT mengalami luka serius, mereka takut kepada suami atau takut tidak diberi makan. BKBPP Kabupaten Bandung, kini sudah menjalin kerjasama dengan kepolisian setempat dan lembaga-lembaga lainnya untuk menangani kasus KDRT itu (http//www.antaranews.com, diakses 4 Oktober 2012).

Komunitas X merupakan lembaga yang menyebarkan gagasan untuk pencegahan dan penanggulangan kekerasan dalam rumah tangga, adapun visi dan misi komunitas X adalah pelayanan yang pencegahan dan pelayanan yang optimal bagi korban kekerasa yang terjadi di masyarakat dengan cara menegakkan


(14)

hak-Universitas Kristen Maranatha hak asasi manusia. Data yang sudah masuk ke komunitas X hingga kini sudah ada 40 kasus kekerasan dalam rumah tangga yang kini sedang ditangani.

Sebagian besar istri tetap bertahan dengan pernikahannya dikarenakan alasan takut tidak memiliki biaya untuk menghidupi diri sendiri dan anak-anaknya. Faktor ketergantungan istri kepada suami dalam hal ekonomi memaksa istri menuruti semua keinginan suami meskipun ia merasa menderita. Bahkan jika sekalipun tindakan kekerasan dilakukan kepadanya ia tetap enggan untuk berpisah dengan pertimbangan demi kelangsungan pernikahannya, hidup dirinya sendiri dan pendidikan anak-anaknya ( Komunitas X akhir tahun 2012).

Kemampuan untuk beradaptasi dalam keadaan tertekan dalam ilmu psikologi dikenal sebagai resiliency. Resiliency merupakan kemampuan individu untuk dapat beradaptasi dengan baik dan mampu berfungsi baik walaupun berada di tengah situasi yang menekan atau banyak halangan dan rintangan ( Benard, 2004). Menurut Benard (2004), resiliency mengubah individu menjadi survivor dan berkembang. Individu yang resiliency akan mengalami keadaan yang sulit dan menekan, tetapi mereka mampu mengatur perilaku yang keluar tetap positif dalam menghadapi kesulitan tanpa menjadi lemah. Hal ini dapat dilihat dari empat kategori yang ada dalam personal strength atau manifestasi dari resiliency, yakni social competence, problem solving, autonomy, dan sense of purpose.

Social competence adalah Kemampuan sosial mencakup karakteristik, kemampuan dan tingkah laku yang diperlukan seseorang untuk membangun suatu relasi dan kedekatan yang positif terhadap orang lain. Social competence didapat dari indikator responsiveness, communication, empathy and caring, compassion,


(15)

altruism and forgiveness. Social competence adalah bagaimana seseorang berkomunikasi terhadap lingkungan setelah terjadi kekerasan dalam rumah tangga dan juga mampu mengungkapkan perasaan.

Problem Solving adalah kemampuan ini mencakup kemampuan berpikir abstrak, reflektif, dan fleksibel, mencoba mencari alternatif solusi dari masalah kognitif dan sosial. Problem solving adalah bagaimana seseorang menyelesaikan masalahnya dengan cara yang dapat diterima oleh lingkungan. Autonomy melibatkan kemampuan untuk bertindak dengan bebas dan untuk merasakan suatu sense of control atas lingkungan. Autonomy juga diasosiasikan dengan kesehatan yang positif dan perasaan akan kesejahteraan merasakan kebebasan dan berkehendak dalam melakukan suatu tindakan ( Deci dalam Benard, 2004). Sense of purpose and bright future adalah bagaimana seseorang memiliki keinginan orientasi, motivasi, harapan, antisipasi setelah mengalami kekerasan dalam rumah tangga.

Menurut hipotesa Benard (2004), resiliency berkembang karena adanya protective factors yang menciptakan iklim yang tepat untuk perkembangan resiliency dan memfasilitasi individu yang menjadi resiliency. Protective factors memiliki belonging, respect, identity, mastery, challange, dan meaning. Bernard menyatakan tiga protective factors yang terdapat dalam lingkungan---keluarga, sekolah, dan masyarakat, yaitu caring relationship, high expectation, dan opportunities to participate and contribute (Bernard, 2004). Protective factors adalah dukungan dan memiliki kehangatan yang berasal dari lingkungan dan konsisten.


(16)

Universitas Kristen Maranatha Berdasarkan wawancara dengan dua orang ibu yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga, ibu H bertahan dalam pernikahan mereka dikarenakan merasa tidak berdaya dengan keadaan ekonomi, kurang memiliki keinginan untuk bekerja dan hidup mandiri serta tidak mengetahui apa yang harus dilakukan sehingga bergantung kepada suaminya. Ibu H sulit untuk memaafkan perilaku suaminya yang membuat dirinya tersakiti, Kesulitan untuk bercerita atau mengungkapkan perasaan sehingga sulit untuk meminta bantuan kepada keluarga atau pihak lain dalam menyelesaikan kekerasan yang ibu H alami, merasa layak untuk mendapatkan kekerasan sehingga membuat ibu H kurang menghargai dirinya sendiri, kurang meyakini keberadaan tuhan bahwa kekerasan yang mereka alami akan berakhir sehingga akan melemahkan motivasi ibu H untuk berusaha mencari jalan dalam menghentikan kekerasan, pasrah dengan kekerasan yang menimpa dirinya sehingga membuat dirinya menerima perlakuan kekerasan.

Hal tersebut diatas cenderung dapat meningkatkan perilaku kekerasan dalam rumah tangga dan tidak resilient. Pada saat bergaul dengan lingkungan ibu H menunjukkan sikap hangat kepada tetangga sehingga memiliki hubungan yang cukup baik, suka membantu lingkungan rumahnya sehingga lingkungan pun membantu ibu H.

Dalam menghayati protective factor, ibu H lebih banyak mendapatkan kenyamanan dari lingkungan rumah sehingga membuat ibu H nyaman untuk tinggal dan menyekolahkan anak-anaknya dibandingkan dengan keluarga, mendapatkan dukungan hanya dari teman terdekatnya bahwa dirinya mampu untuk melewati masalah kekerasan yang dialami sehingga membuat ibu H


(17)

semangat dalam mencapai harapan yang ia inginkan, lingkungan rumah memberikan ibu H pekerjaan sehingga membuat ibu H bersyukur atas kesempatan pekerjaan yang diberikan.

Perilaku kekerasan dalam rumah tangga cenderung dapat berkurang dan dapat menjadi resilient jika Ibu S mendapatkan kekerasan dalam rumah tangga namun kekerasan tersebut berhenti karena ibu S merasa bahwa kekerasan yang dialami tidak hanya terjadi pada dirinya sendiri dan tidak menyalahkan dirinya sehingga membuat ibu S mampu memaafkan diri mereka sendiri, bercerita dan mengungkapkan perasaan kepada keluarga atau pihak lain sehingga mendapatkan saran dari permasalahan kekerasan yang ibu S hadapi, merasa layak untuk mendapatkan kebahagiaan sehingga membuat ibu S menghargai dirinya sendiri, meyakini bahwa tuhan akan memberikan jalan sehingga cenderung dapat meningkatkan harapan positif dalam dirinya terhadap kekerasan yang menimpa dirinya.

Saat berhadapan dengan lingkungan ibu S membangun hubungan yang luas dengan teman-temannya sehingga mempunyai banyak teman baik di dalam kota maupun di luar kota, apabila terdapat musibah atau acara salah salah satu keluarga atau teman ibu S akan berusaha untuk menyempatkan datang sehingga membuat keluarga dan teman-temannya membantu ibu S dalam masalah yang dihadapi.

Dalam menghayati protective factor, ibu S mendapatkan banyak dukungan; nasehat; saran dari keluarga dan teman-temannya sehingga mendapatkan informasi yang cukup banyak mengenai kekerasan yang dialaminya,


(18)

Universitas Kristen Maranatha mendapatkan dukungan dari keluarga dan teman-temannya sehingga membuat ibu B meyakini mampu menyelamatkan pernikahannya, ibu S diberikan kesempatan untuk membuat keputusan dari masalah yang dihadapi oleh pihak keluarga dan tetap mendukung apapun keputusan yang dibuat oleh ibu S.

Berdasarkan penjelasan yang dikemukakan diatas ditemukan bahwa fenomena tersebut mengganggu ibu dalam penyesuaian diri dan resiliency yang berbeda-beda dari setiap wanita yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga di kota Bandung. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai bagaimana pengaruh protective factor dan resiliency wanita yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga di komunitas X di kota Bandung.

1.2 Identifikasi Masalah

Dari penelitian ini ingin diketahui bagaimana gambaran protective factor dan resiliency pada wanita yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga di komunitas X di kota Bandung.

1.3 Maksud dan Tujuan penelitian

1.3.1 Maksud Penelitian

Maksud penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran dinamika mengenai protective factor dan resiliency pada wanita yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga di komunitas X di kota Bandung.


(19)

1.3.2 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran keterkaitan protective factor terhadap resiliency. Protective factor ditinjau dari aspek Caring relationship, High expectation, opportunities to participate and contribute sedangkan resiliency ditinjau dari aspek social competence, problem solving skills, autonomy, sense of purpose and bright future pada wanita yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga di komunitas X di kota Bandung.

1.4 Kegunaan Penelitian

1.4.1 Kegunaan Teoritis

1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tambahan mengenai gambaran protective factor dan resiliency pada wanita yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga, khususnya Psikologi Keluarga.

2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi untuk penelitian selanjutnya mengenai gambaran protective factor dan resiliency pada wanita yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga.

1.4.2 Kegunaan Praktis

1. Memberikan informasi bagi wanita yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga di kota Bandung tentang gambaran protective factor dan resiliency, sehingga mereka dapat menyesuaikan diri dalam situasi tekanan yang tinggi. 2. Memberikan masukan kepada keluarga resilient berupa informasi yang berkaitan dengan kekerasan dalam rumah tangga dan pemberian dukungan


(20)

Universitas Kristen Maranatha sehingga wanita yang mengalami kekerasan merasa dirinya tetap diterima dan dicintai.

3. Komunitas menggalangkan sistem support agar dapat menunjukkan kepeduliannya kepada wanita yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga, sehingga merasa dirinya diterima dan dihormati meskipun dirinya mengalami kekerasan dalam rumah tangga.

1.5 Kerangka Pemikiran

Manusia memiliki kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi seperti safety, love, respect, autonomy, challenge, meaning dalam kehidupannya. Dalam hal ini wanita yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga di kota Bandung juga memiliki kebutuhan-kebutuhan tersebut dan berada pada usia 33 – 45 tahun, yang merupakan tahapan dewasa madya (middle adulthood). Pada tahapan ini seseorang akan memasuki tugas perkembangan. Pada fase dewasa madya rasa aman, kesetiaan, dan daya tarik emosional antara pasangan lebih penting seiring menjadi dewasanya hubungan, terutama pada dewasa madya (Santrock, 2002). Hal-hal tersebut di atas menjadi tidak berfungsi ketika terjadi konflik yang menimbulkan kekerasan dalam rumah tangga.

Konflik yang menimbulkan kekerasan dalam rumah tangga memaksa ibu untuk bertahan dalam pernikahannya dikarenakan alasan anak, ekonomi, daya tahan dan kemampuan untuk beradaptasi ibu untuk menjaga kelangsungan pernikahannya menjadi terhambat. Begitu pula yang terjadi pada wanita yang


(21)

mengalami kekerasan dalam rumah tangga di kota Bandung (yang selanjutnya akan ditulis sebagai ibu).

Kemampuan untuk bertahan dan beradaptasi ibu dalam tekanan tinggi dalam ilmu psikologi dikenal dengan istilah Resiliency. Menurut Benard (2004), resiliency merupakan kemampuan individu untuk dapat beradaptasi dengan positif dan aspek-aspek resiliency mampu berfungsi baik walaupun berada di tengah situasi yang menekan atau banyak halangan dan rintangan (Resiliency refers to an individual’s ability to adapt successfully and function complently despite experiencing stress or adversity).

Menurut Benard (2004), resiliency memiliki empat aspek, yaitu : Social competence, probem solving, autonomy, sense of purpose and bright future. Social competence adalah kemampuan untuk membangun suatu relasi dan kedekatan yang positif terhadap orang lain. Social competence mencakup responsiveness, communication, emphaty and caring dan compassion, altruism, forgiveness. Responsiveness yaitu kemampuan ibu untuk mendapatkan respon positif dari orang lain seperti memberi ucapan selamat pagi kepada lingkungan, communication yaitu kemampuan ibu untuk menunjukkan ataumengungkapkan pemikirian atau perasaan, emphaty and caring yaitu kemampuan ibu untuk mengetahui bagaimana perasaan orang lain, compassion, altruism, and forgiveness keinginan ibu untuk peduli dan membantu meringankan beban orang lain.

Aspek yang kedua adalah problem solving skills yaitu kemampuan untuk mencari alternatif solusi dari suatu masalah. Problem solving skills dibangun


(22)

Universitas Kristen Maranatha oleh berbagai kemampuan yaitu planning, flexibility, resourcefulness, critical thinking and insight (Benard, 2004). Planning adalah kemampuan ibu untuk merencakan masa depannya, flexibility adalah kemampuan ibu melihat solusi alternatif seperti mencari berbagai macam cara agar tidak terjadi kekerasan kembali, resourcefulness adalah kemampuan ibu mempertahankan diri dengan melibatkan sumber daya eksternal, critical thinking adalah kemampuan untuk berpikir tingkat tinggi atau waspada, sedangkan insight adalah pemecahan kemampuan ibu yang paling mendalam.

Aspek yang ketiga adalah autonomy yaitu diasosiasikan dengan kesehatan yang positif dan perasaan akan kesejahteraan dan berkehendak dalam melakukan suatu tindakan. Adapun yang termasuk di dalam autonomy adalah positive identity, internal locus of control and initiative, self efficacy and mastery, humor (Benard, 2004). Positive identity yaitu kemampuan ibu untuk memiliki penilaian diri yang positif dan tetap percaya diri, internal locus of control yaitu perasaan umum ibu untuk mengendalikan dan memiliki kekuatan individual, self-efficacy and mastery yaitu kemampuan ibu dalam memiliki keyakinan bahwa ibu mampu untuk bangkit kembali, adaptive distancing and resistance adalah kemampuan ibu untuk melibatkan emosional dalam mengambil jarak dari fungsi keluarga, sekolah, dan komunitas, Sedangkan resistance adalah penolakan ibu untuk menerima pesan-pesan negatif mengenai diri, self awareness and mindfulness adalah kesadaran ibu yang meliputi observasi terhadap pemikiran, perasaan, atribusi, atau gaya memberikan penjelasaan pada seseorang, mindfulness adalah


(23)

kepekaan ibu terhadap konteks dan perspektif situasi tertentu, humor yaitu kemampuan ibu untuk tertawa, bermain.

Aspek yang keempat adalah sense of purpose and bright future. Sense of purpose and bright future merupakan perasaan ibu untuk memiliki orientasi untuk sukses, motivasi untuk berprestasi, memiliki harapan yang sehat, memiliki antisipasi. Sense of purpose and bright future dibangun oleh berbagai kemampuan yaitu goal direction, achievement motivation and educational aspiration, optimism and hope, dan faith, spirituality and sense of meaning (Benard, 2004). Goal direction, achievement motivation and educational aspiration, yaitu kemampuan ibu untuk mengarahkan diri pada tujuan, memiliki keinginan untuk berprestasi dan berkembang secara optimal sesuai dengan potensinya, special interest, creativity, and imagination adalah ibu memiliki minat khusus dan mampu menggunakan salah satu kreativitas ibu, optimism and hope yaitu keyakinan dan harapan yang positif ibu tentang masa depannya, faith, spirituality, and sense of meaning yaitu keyakinan agama (spiritualitas).

Setiap individu memiliki kemampuan resiliency yang berbeda-beda dalam dirinya. Kemampuan resiliency individu yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga tidak terlepas dari protective factors (Benard, 2004). Protective factors adalah faktor yang menciptakan iklim yang tepat untuk perkembangan resiliensi dan memfalisitasi ibu untuk menjadi individu yang resilient. Protective factors didapatkan dari caring relationships, high expectations, dan opportunities for participation and contribution yang diberikan oleh keluarga, teman sebaya, dan komunitas (Bernard, 2004).


(24)

Universitas Kristen Maranatha

Caring relationship adalah penghayatan ibu akan dukungan yang diberikan untuk ibu dalam bentuk cinta yang didasari oleh kepercayaan, cinta tanpa syarat, dan penghargaan yang positif. High expectation merupakan harapan yang jelas, positif, dan terpusat untuk ibu. Opportunities for participation and contribution adalah ibu diberikan kesempatan untuk menghadapi, menantang, dan tertarik mengikuti suatu kegiatan.

Ibu yang menghayati bahwa mereka memperoleh perhatian dari keluarga, teman, dan komunitas, maka akan terpenuhi kebutuhan safety dan love. Apabila kebutuhan tersebut terpenuhi maka ibu mampu berperilaku yang dapat menimbulkan orang lain dapat menerima saran yang diungkapkan oleh ibu (responsiveness), ibu mampu bercerita mengenai permasalahannya dan dimengerti orang lain (communication), ibu mampu mendengarkan cerita orang lain dan mampu memberikan saran atau masukan kepada orang lain (emphaty and caring), ibu juga mampu mengurangi rasa bersalah terhadap diri sendiri dan memaafkan pelaku kekerasan (forgiveness).

Ibu mampu merencanakan untuk bekerja (planning), ibu mampu mencari alternatif solusi lain dengan atau tanpa bantuan orang lain (flexibility), ibu mampu untuk meminta saran kepada keluarga atau pihak lain mengenai kekerasan yang dialami (resourcefulness), untuk menghindari kekerasan ibu melakukan sesuatu yang pelaku sukai seperti melayani suami, ibu mampu mengurus rumah tangga dengan baik dan bertindak tegas kepada pelaku agar tidak terjadi kekerasan


(25)

kembali (critical thinking), ibu mampu untuk mengendalikan diri untuk tidak menyakiti diri dan anak-anaknya (internal locus of control).

Ibu mampu untuk merasa bahwa dirinya berharga (positive identity), ibu mampu untuk tetap pergi dalam suatu kegiatan positif seperti pengajian, kumpul dengan tetangga (adaptive distancing), ibu mampu bersenda gurau dengan keluarga dan tetangga (humor).

Ibu mampu memikirkan rencana masa depannya seperti melamar pekerjaan dan mengatur waktu dengan anak-anak di rumah (goal direction, achievement, and educational aspirations), ibu mampu untuk memikirkan seperti membuka usaha kecil di rumah (special interest, creativity, and imagination), mampu untuk meningkatkan harapan positif dengan meyakini diri bahwa kekerasan yang dialami akan berakhir suatu hari nanti (optimism and hope), ibu mampu untuk meningkatkan kehidupan spiritual dengan mengikuti berbagai kegiatan agama, menjalankan ritual keagamaan di rumah maupun diluar rumah (faith, spirituality, and sense of meaning). Hal-hal tersebut diatas dapat mempengaruhi ibu untuk menjadi individu yang resilient.

Ibu yang kurang menghayati bahwa mereka memperoleh perhatian dari keluarga, teman, dan komunitas, maka akan kurang terpenuhi kebutuhan safety dan love. Apabila kebutuhan tersebut kurang terpenuhi ibu kurang mampu berperilaku yang dapat menimbulkan orang lain kurang dapat menerima saran yang diungkapkan oleh ibu (responsiveness), ibu kurang mampu bercerita mengenai permasalahannya (communication), ibu kurang mampu mendengarkan


(26)

Universitas Kristen Maranatha cerita orang lain dan kurang mampu memberikan saran atau masukan kepada orang lain (emphaty and caring), ibu juga kurang mampu mengurangi rasa bersalah terhadap diri sendiri dan memaafkan pelaku kekerasan (forgiveness).

Ibu kurang mampu merencanakan untuk bekerja (planning), ibu kurang mampu mencari alternatif solusi lain dengan atau tanpa bantuan orang lain (flexibility), ibu tidak meminta pertolongan kepada keluarga atau lingkungan rumah saat kekerasan terjadi seperti berteriak dan menelepon (resourcefulness), untuk menghindari kekerasan ibu melakukan sesuatu yang pelaku sukai seperti melayani suami, ibu kurang mampu mengurus rumah tangga dengan baik dan bertindak tegas kepada pelaku agar tidak terjadi kekerasan kembali (critical thinking), ibu kurang mampu untuk mengendalikan diri untuk tidak menyakiti diri dan anak-anaknya (internal locus of control).

Ibu merasa bahwa dirinya tidak berharga (positive identity), ibu kurang mampu untuk tetap pergi dalam suatu kegiatan positif seperti pengajian, kumpul dengan tetangga (adaptive distancing), ibu kurang mampu bersenda gurau dengan keluarga dan tetangga (humor).

Ibu kurang mampu memikirkan rencana masa depannya seperti melamar pekerjaan dan mengatur waktu dengan anak-anak di rumah (goal direction, achievement, and educational aspirations), ibu kurang mampu untuk memikirkan seperti membuka usaha kecil di rumah (special interest, creativity, and imagination), ibu kurang mampu untuk meningkatkan harapan positif dengan meyakini diri bahwa kekerasan yang dialami akan berakhir suatu hari nanti


(27)

(optimism and hope), ibu kurang mampu untuk meningkatkan kehidupan spiritual dengan mengikuti berbagai kegiatan agama, ibu kurang menjalankan ritual keagamaan di rumah maupun diluar rumah (faith, spirituality, and sense of meaning). Hal-hal tersebut diatas dapat mempengaruhi ibu untuk menjadi individu yang tidak resilient.

Ibu yang menghayati bahwa mereka memperoleh kepercayaan dari keluarga, teman, dan komunitas, maka akan terpenuhi kebutuhan respect. Apabila kebutuhan tersebut terpenuhi ibu akan terdukung untuk : dapat menceritakan perasaan ketika ditanya oleh keluarga atau kerabat , mulai mampu untuk lebih terbuka dan berdiskusi dengan keluarga atau kerabat mengenai masalah yang sedang dihadapi (communication), ibu menghayati bahwa dirinya mampu untuk mengerti perasaan orang lain dan peka terhadap permasalahan yang dihadapi oleh orang lain (empathy and caring), ibu dapat memberikan kepedulian secara timbal balik kepada keluarga dan tetangga ketika menghadapi masalah (compassion and altruism).

Ibu dapat memikirkan saran yang diberikan oleh keluarga dan kerabat dalam merencanakan masa depan (planning), ibu dapat mempertimbangkan nasehat dari keluarga dan kerabat untuk melakukan berbagai cara untuk mengurangi kekerasan (flexibility), ibu dapat fleksibel untuk meminta bantuan kepada keluarga dan tetangga seperti menelepon di waktu malam hari untuk meminta pertolongan (resourcefulness). Dapat memberanikan diri ibu untuk berkata tidak kepada pelaku kekerasan (critical thinking). Dapat menjadi pelajaran


(28)

Universitas Kristen Maranatha seperti mengambil hal positif dari masalah yang dialami (insight). Dapat membuat ibu mengendalikan diri untuk kuat dalam menghadapi masalah yang dialami (internal locus of control).

Ibu merasa percaya diri dalam menghadapi masalah seperti mengingat kembali pesan positif yang disampaikan oleh keluarga dan kerabat mengenai dirinya (self efficacy and mastery). Ibu dapat mendapatkan kesempatan untuk bekerja seperti mendapatkan penawaran dari keluarga atau kerabat (goal direction, achievement motivation, and educational aspirations). Ibu dapat mengaktualisasi diri seperti percaya bahwa dapat melewati masalah yang sedang dihadapi (optimism and hope). Hal-hal tersebut diatas dapat mempengaruhi ibu untuk menjadi individu yang resilient.

Ibu yang kurang menghayati bahwa mereka memperoleh kepercayaan dari keluarga, teman, dan komunitas, maka akan kurang terpenuhi kebutuhan respect. Apabila kebutuhan tersebut kurang terpenuhi ibu kurang mampu berperilaku yang dapat menimbulkan : kurang dapat menceritakan perasaan ketika ditanya oleh keluarga atau kerabat, kurang mampu untuk lebih terbuka dan kurang mampu berdiskusi dengan keluarga atau kerabat mengenai masalah yang sedang dihadapi (communication), ibu menghayati bahwa dirinya kurang mampu untuk mengerti perasaan orang lain dan kurang peka terhadap permasalahan yang dihadapi oleh orang lain (empathy and caring), ibu kurang dapat memberikan kepedulian secara timbal balik kepada keluarga dan tetangga ketika menghadapi masalah (compassion and altruism).


(29)

Ibu kurang dapat memikirkan saran yang diberikan oleh keluarga dan kerabat dalam merencanakan masa depan (planning), kurang dapat mempertimbangkan nasehat dari keluarga dan kerabat untuk melakukan melakukan berbagai cara untuk mengurangi kekerasan (flexibility), kurang fleksibel untuk meminta bantuan kepada keluarga dan tetangga seperti menelepon di waktu malam hari untuk meminta pertolongan (resourcefulness). Kurang dapat memberanikan diri ibu untuk berkata tidak kepada pelaku kekerasan (critical thinking). Kurang dapat menjadi pelajaran seperti kurang mengambil hal positif dari masalah yang dialami (insight). Kurang dapat membuat ibu mengendalikan diri dalam menghadapi masalah yang dialami (internal locus of control).

Ibu merasa kurang percaya diri dalam menghadapi masalah seperti kurang mengingat kembali pesan positif yang disampaikan oleh keluarga dan kerabat mengenai dirinya (self efficacy and mastery).

Ibu kurang dapat mendapatkan kesempatan untuk bekerja seperti mendapatkan penawaran dari keluarga atau kerabat (goal direction, achievement motivation, and educational aspirations), ibu kurang dapat mengaktualisasi diri seperti percaya bahwa dapat melewati masalah yang sedang dihadapi (optimism and hope). Hal-hal tersebut diatas dapat mempengaruhi ibu untuk menjadi individu yang tidak resilient.

Ibu yang menghayati bahwa mereka memperoleh kesempatan untuk melakukan suatu kegiatan dari keluarga, teman, dan komunitas, maka akan terpenuhi kebutuhan challenge, autonomy, dan meaning. Apabila kebutuhan


(30)

Universitas Kristen Maranatha tersebut terpenuhi, ibu mampu berperilaku yang dapat menimbulkan mampu untuk merencanakan langkah-langkah untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik seperti tidak menyia-nyiakan lapangan pekerjaan yang diberikan (planning), dapat membantu ibu untuk mendapatkan lingkungan yang luas sehingga akan mempunyai banyak kerabat yang dapat menolong dalam masalah kekerasan yang ibu alami seperti ibu meminta pertolongan kepada kerabat lain (resourcefulness). Dapat membantu ibu untuk memikirkan cara memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti menerima lapangan pekerjaan walaupun tidak sesuai dengan yang ibu inginkan (autonomy), dapat membuat ibu merasa berharga karena diterima oleh lingkungan seperti mendapatkan perhatian lebih dari lingkungan tersebut (positive identity), dapat membuat ibu mengalihkan pikiran-pikiran negatif seperti memiliki kegiatan-kegiatan yang positif (internal locus of control), ibu mampu menghayati bahwa ibu mampu melakukan suatu kegiatan meskipun sedang berada dalam tekanan (self awareness).

Dapat membantu ibu untuk mengikuti kursus (special interest, creativity, and imagination), ibu berdoa dan mengucap syukur bahwa ibu masih diberikan jalan oleh tuhan melalui orang lain untuk membantu ibu memperoleh kesempatan mengikuti kegiatan- kegiatan positif (optimism and hope). Hal-hal tersebut diatas dapat mempengaruhi ibu untuk menjadi individu yang resilient.

Ibu yang menghayati bahwa mereka kurang memperoleh kesempatan untuk melakukan suatu kegiatan dari keluarga, teman, dan komunitas, maka akan kurang terpenuhi kebutuhan challenge, autonomy, dan meaning. Apabila


(31)

kebutuhan tersebut kurang terpenuhi maka ibu kurang mampu berperilaku yang dapat menimbulkan mampu untuk : ibu kurang dapat merencanakan langkah-langkah untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik seperti menyia-nyiakan lapangan pekerjaan yang diberikan (planning), kurang dapat membantu ibu untuk mendapatkan lingkungan yang luas sehingga kurang mendapatkan banyak kerabat yang dapat menolong dalam masalah kekerasan yang ibu alami seperti ibu kurang berani meminta pertolongan kepada kerabat lain (resourcefulness).

Kurang dapat membantu ibu untuk memikirkan cara memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti menolak lapangan pekerjaan yang tidak sesuai dengan yang ibu inginkan (autonomy), kurang dapat membuat ibu merasa berharga karena kurang diterima oleh lingkungan seperti kurang mendapatkan perhatian lebih dari lingkungan tersebut (positive identity), kurang dapat membuat ibu mengalihkan pikiran-pikiran negatif seperti menghindari kegiatan-kegiatan yang positif (internal locus of control), ibu kurang mampu menghayati bahwa ibu mampu melakukan suatu kegiatan meskipun sedang berada dalam tekanan (self awareness and mindfulness).

Kurang dapat membantu ibu untuk mengikuti kursus (special interest, creativity, and imagination), ibu kurang mengucap syukur kepada tuhan bahwa ibu masih diberikan jalan oleh tuhan melalui orang lain untuk membantu ibu memperoleh kesempatan mengikuti kegiatan- kegiatan positif (optimism and hope). Hal-hal tersebut diatas dapat mempengaruhi ibu untuk menjadi individu yang tidak resilient.


(32)

Universitas Kristen Maranatha berdasarkan hal tersebut di atas, maka dapat dibuat bagan sebagai berikut :

Skema 1.1 Kerangka pikir

1.6 Asumsi

1. Wanita yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga di kota Bandung memiliki dinamika resiliency yang berbeda terlihat melalui social competence, problem solving, autonomy, sense of purpose and bright future.

2. Wanita yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga di kota Bandung yang menghayati protective factors akan terdukung dalam social competence, problem solving, autonomy, sense of purpose and bright future.

Ibu rumah tangga yang tidak bekerja yang mengalami kdrt di komunitas x di kota Bandung

Resiliency

Resilient

Tidak resilient

Social Competence Problem Solving Autonomy Sense of purpose

and Bright future

Adversity Protective factors


(33)

3. Wanita yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga di kota Bandung yang kurang menghayati protective factors akan kurang terdukung dalam social competence, problem solving, autonomy, sense of purpose and bright future.


(34)

102

Universitas Kristen Maranatha KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

S menghayati bahwa protective factors yang paling besar didapatkan dari keluarga yaitu adik, kakak, dan teman-temannya berikut konselor. Protective factors yang terbesar dalam diri S adalah caring relationship dan opportunities to participate and contribution. Meskipun demikian S masih mendapatkan high expectation dari lingkungannya. Ketiga hal ini menunjang S untuk memiliki resiliency yang baik, namun demikian dalam kemampuan forgiveness S kurang mampu memaafkan pihak keluarga suaminya.

H menghayati bahwa protective factors yang paling besar didapatkan dari anak, tetangga. Protective factors yang terbesar dalam diri H adalah caring relationship. Meskipun demikian High expectation dan Opportunities to participate and contribution yang dimiliki H kurang dapat menunjang kemampuan resiliency H dalam problem solving dan autonomy. Ketiga hal ini kurang menunjang S untuk memiliki resiliency yang baik. Dalam problem solving H kurang mampu untuk mencari alternatif solusi untuk menyelesaikan masalah dan H pun kurang mampu mendayagunakan bantuan orang lain. S kurang memiliki identitas positif karena merasa minder dan masih mempertanyakan Tuhan mengapa diri H mengalami kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh suaminya.


(35)

5.2 Saran

5.2.1 Saran Penelitian Lanjutan

1. Dalam penelitian ini yang diteliti adalah protective factors dan aspek-aspek resiliency. Pada penelitian selanjutnya disarankan untuk meneliti lebih lanjut dinamika gambaran antar aspek resiliency dan protective factors guna memperoleh gambaran resiliency yang lebih utuh.

5.2.2 Saran Kegunaan Praktis

1. Disarankan bagi S untuk mampu mempertahankan perilakunya yang berorientasi pada pemecahan masalah, kemandirian, optimisme, berorientasi pada tujuan dan mampu untuk lebih memaafkan pihak yang menyakiti dirinya.

2. Disarankan bagi H untuk mampu mempertahankan relasi hubungan yang hangat dengan lingkungan dan mengembangkan dalam pemecahan masalah, kemandirian, dan dalam menentukan tujuan yang lebih mengarah pada penyelesaian kekerasan.


(36)

Universitas Kristen Maranatha Babbie, Earl. 2010. The Practice of Social Research (12th ed.). Wadsworth:

Cengange Learning.

Benard, Bonnie. 2004. Resiliency : What We have Learned. San Fransisco: WestEd.

Elo, S dan Kyngas, H. 2007. The Qualitative Content Analysis Process. Finland: University of Oulu.

Fitria, Ayuningtyas. 2010. Studi Kasus mengenai Self-Esteem Pada Istri yang Pernah mengalami Kekerasan dalam Rumah Tangga di Kota Bandung. Universitas Kristen Maranatha.

Padget, D. K. 1998. Qualitative methods in social work research: challenge and reward. USA: Sage Publications.

Santrock, John W. 2002. Life Span development, Jilid II. Jakarta: Erlangga.

Sumintapradja, Elmira. 2010. Kekerasan terhadap Perempuan dalam Perspektif Psikologi dalam Kekerasan terhadap Perempuan. Munandar Sulaeman dan Siti Homzah (Eds). Bandung. PT. Refika Aditama.


(37)

Akibat Penyiksaan Suaminya. Diunduh dari http//www.antaranews.com pada tanggal 4 Oktober 2012.

Pikiran Rakyat. Kekerasan Kepada Yeni Dikarenakan Kekerasan Yang Dilakukan Oleh Suaminya. Diunduh dari http//www.pikiran rakyat online.com pada tanggal 4 Oktober 2012).

Subekti, SH. Prof. Undang-Undangperkawinan NO 1 tahun 1974. (Online)

Surya, 2010. Artikel Mengenai Pernikahan. Diunduh dari http://blog.iqbalir.com pada tanggal 4 Oktober 2010.


(1)

Universitas Kristen Maranatha

berdasarkan hal tersebut di atas, maka dapat dibuat bagan sebagai berikut :

Skema 1.1 Kerangka pikir

1.6 Asumsi

1. Wanita yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga di kota Bandung memiliki dinamika resiliency yang berbeda terlihat melalui social competence, problem solving, autonomy, sense of purpose and bright future.

2. Wanita yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga di kota Bandung yang menghayati protective factors akan terdukung dalam social competence, problem solving, autonomy, sense of purpose and bright future.

Ibu rumah tangga yang tidak bekerja yang mengalami kdrt di komunitas x di kota Bandung Resiliency Resilient Tidak resilient Social Competence Problem Solving Autonomy Sense of purpose and Bright future Adversity

Protective factors


(2)

24

3. Wanita yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga di kota Bandung yang kurang menghayati protective factors akan kurang terdukung dalam social competence, problem solving, autonomy, sense of purpose and bright future.


(3)

102

Universitas Kristen Maranatha 5.1 Kesimpulan

S menghayati bahwa protective factors yang paling besar didapatkan dari keluarga yaitu adik, kakak, dan teman-temannya berikut konselor. Protective factors yang terbesar dalam diri S adalah caring relationship dan opportunities to participate and contribution. Meskipun demikian S masih mendapatkan high expectation dari lingkungannya. Ketiga hal ini menunjang S untuk memiliki resiliency yang baik, namun demikian dalam kemampuan forgiveness S kurang mampu memaafkan pihak keluarga suaminya.

H menghayati bahwa protective factors yang paling besar didapatkan dari anak, tetangga. Protective factors yang terbesar dalam diri H adalah caring relationship. Meskipun demikian High expectation dan Opportunities to participate and contribution yang dimiliki H kurang dapat menunjang kemampuan resiliency H dalam problem solving dan autonomy. Ketiga hal ini kurang menunjang S untuk memiliki resiliency yang baik. Dalam problem solving H kurang mampu untuk mencari alternatif solusi untuk menyelesaikan masalah dan H pun kurang mampu mendayagunakan bantuan orang lain. S kurang memiliki identitas positif karena merasa minder dan masih mempertanyakan Tuhan mengapa diri H mengalami kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh suaminya.


(4)

103

5.2 Saran

5.2.1 Saran Penelitian Lanjutan

1. Dalam penelitian ini yang diteliti adalah protective factors dan aspek-aspek resiliency. Pada penelitian selanjutnya disarankan untuk meneliti lebih lanjut dinamika gambaran antar aspek resiliency dan protective factors guna memperoleh gambaran resiliency yang lebih utuh.

5.2.2 Saran Kegunaan Praktis

1. Disarankan bagi S untuk mampu mempertahankan perilakunya yang berorientasi pada pemecahan masalah, kemandirian, optimisme, berorientasi pada tujuan dan mampu untuk lebih memaafkan pihak yang menyakiti dirinya.

2. Disarankan bagi H untuk mampu mempertahankan relasi hubungan yang hangat dengan lingkungan dan mengembangkan dalam pemecahan masalah, kemandirian, dan dalam menentukan tujuan yang lebih mengarah pada penyelesaian kekerasan.


(5)

Universitas Kristen Maranatha

Benard, Bonnie. 2004. Resiliency : What We have Learned. San Fransisco: WestEd.

Elo, S dan Kyngas, H. 2007. The Qualitative Content Analysis Process. Finland: University of Oulu.

Fitria, Ayuningtyas. 2010. Studi Kasus mengenai Self-Esteem Pada Istri yang Pernah mengalami Kekerasan dalam Rumah Tangga di Kota Bandung. Universitas Kristen Maranatha.

Padget, D. K. 1998. Qualitative methods in social work research: challenge and reward. USA: Sage Publications.

Santrock, John W. 2002. Life Span development, Jilid II. Jakarta: Erlangga.

Sumintapradja, Elmira. 2010. Kekerasan terhadap Perempuan dalam Perspektif Psikologi dalam Kekerasan terhadap Perempuan. Munandar Sulaeman dan Siti Homzah (Eds). Bandung. PT. Refika Aditama.


(6)

DAFTAR RUJUKAN

Antara News, 2011. Kekerasan Dalam Rumah Tangga Yang Dialami Oleh Sulastrie Yang Berusia 50 Tahun, Sudah Empat Tahun Terbaring Lumpuh Akibat Penyiksaan Suaminya. Diunduh dari http//www.antaranews.com pada tanggal 4 Oktober 2012.

Pikiran Rakyat. Kekerasan Kepada Yeni Dikarenakan Kekerasan Yang Dilakukan Oleh Suaminya. Diunduh dari http//www.pikiran rakyat online.com pada tanggal 4 Oktober 2012).

Subekti, SH. Prof. Undang-Undangperkawinan NO 1 tahun 1974. (Online)

Surya, 2010. Artikel Mengenai Pernikahan. Diunduh dari http://blog.iqbalir.com

pada tanggal 4 Oktober 2010.