Studi Deskriptif Mengenai Optimisme Pada Penyandang Tuna Netra di Yayasan "X" di Kota Jakarta.

(1)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul studi deskriptif mengenai derajat optimisme pada

penyanda g tuna netra di Yayasan “X” Jakarta. Penelitian ini dilakukan untuk menjelaskan gambaran mengenai derajat optimisme pada penyandang tuna netra

di Yayasan “X” Jakarta. Tipe penelitian adalah penelitian deskriptif, dimana penelitiannya bersifat menjelaskan mengenai fenomena yang terjadi.

Alat ukur yang digunakan berupa kuesioner yaitu Attributional Style Questionnaire (ASQ) dari Martin E. P. Seligman (1990) yang diterjemahkan dan dimodifikasi oleh peneliti. Jumlah item yang digunakan adalah 35 yang diambil dari 48 item berdasarkan uji validitas dengan kriteria yang digunakan oleh Lisa Friedenberg dan Kaplan. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 30 orang dengan karakteristik responden yaitu penyandang tuna netra yang masih aktif

mengikuti kegiatan di yayasan “X: di kota Jakarta. Sampling yang digunakan

adalah purposive samping. Pengolahan data menggunakan teknik analisis deskriptif yang digambarkan dalam bentuk distribusi frekuensi dan tabulasi silang.

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa sekitar 90% Penyandang

tuna netra di yayasan “X” Jakarta memiliki optimisme rendah dan 10 % memiliki

derajat optimisme tinggi. Namun pada ketiga dimensi optimisme yaitu permanence, pervasiveness, dan personalization kurang berkaitan dengan derajat optimisme rendah pada penyandang tuna netra. Faktor-faktor yang melatarbelakangi eksplanatory style, kritik dari orang lain, dan kejadian traumatis pada optimisme tidak berkaitan dengan derajat optimisme rendah. Namun terdapat faktor yang mempengaruhi derajat optimisme yaitu perlakuan diskriminasi dan penyebab tuna netra.

Penelti mengajukan saran agar dilakukan penelitian lanjutan mengenai derajat optimisme pada tunanetra yang bersekolah di sekolah yang ditujukan anak berkebutuhan khusus agar peneltii dapat mengetahui perbedaan penyandang Tunanetra yang bersekolah di sekolah umum dan Sekolah anak

berkebutuhan khusus. dan kepada Yayasan “X” agar dapat memberi dorongan berupa semangat yang diperlukan guna meningkatkan derajat optimisme pada penyandang tunanetra sehingga mampu mengembangkan bakat dan meningkatkan pengetahuan yang berguna untuk meningkatkan kualitas hidup penyandang tuna netra, Memberi informasi kepada Yayasan “X” agar dapat memberi dorongan berupa semangat yang diperlukan guna meningkatkan derajat optimisme pada penyandang tunanetra sehingga mampu mengembangkan bakat dan meningkatkan pengetahuan yang berguna untuk meningkatkan kualitas hidup penyandang tuna netra.


(2)

vii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL LEMBAR PENGESAHAN

ABSTRAK……….iii

KATA PENGANTAR...iv

DAFTAR ISI...vii

DAFTAR TABEL...x

DAFTAR FIGUR...xi

DAFTAR BAGAN...xii

BAB I : PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan ... 1

1.2. Identifikasi Permasalahan ... 10

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian ... 10

1.3.1 Maksud Penelitian ... 10

1.3.2 Tujuan Penelitian ... 10

1.4. Kegunaan Penelitian... 11

1.4.1 Kegunaan Teoritis ... 11

1.4.2 Kegunaan Praktis ... 11

1.5. Kerangka Pemikiran ... 12

1.6 Bagan Kerangka Pemikiran... 19


(3)

viii BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Teori Optimisme ... 21

2.1.1 Definisi Optimisme ... 21

2.1.2 Dimensi-dimensi optimisme... 22

2.1.3 Keuntungan Optimisme...25

2.1.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi optimisme...28

2.2 Tunanetra... ....30

2.2.1 Definisi Tunanetra ... ....30

2.2.2 Faktor penyebab...31

2.2.3 Berdasarkan waktu kemunculan...32

2.2.4 Gejala-gejala Tunanetra...33

2.2.5 Perkembangan anak tuna netra 2.3. Masa remaja ... 37

2.3.1. TahapPerkembangan Remaja ... 37

2.3.2 Ciri-ciri masa Remaja ... 37

BAB III : METODOLOGI PENELITIAN 3.1. RancanganPenelitian ... 42

3.2 Bagan Rancangan Penelitian...42

3.3. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 42

3.3.1 Variabel Penelitian ... 42

3.3.2 Definisi Operasional ... 43


(4)

ix

3.4.1 Alat ukur Optimisme... 44

3.4.2 Prosedur pengisian dan skoring kuesioner ... 45

3.4.3 Validitas dan reliabilitas Alat ukur ... 45

3.4.4 Prosedur pengisian kuesioner optimisme………46 3.5 Data pribadi dan penunjang.... ... 47

3.6.Validitas ... 48

3.7 Reliabilitas ... 49

3.8 Populasi dan teknik penarikan sampel ... 50

3.8.1 Populasi sasaran ………..50

3.8.2 Karakteristik populasi… ... 50

3.8.3 Teknik penarikan sampel ... 51

3.7 Teknik analisis data………..51 BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil penelitian...53

4.1.1 Gambaran responden bedasarkan jenis kelamin...53

4.1.2 Gambaran responden berdasarkan tingkat pendidikan...54

4.1.3 Gambaran responden berdasarkan usia...54

4.1.4 Gambaran responden berdasarkan penyebab ketunanetraan...55

4.1.5 Gambaran hasil penelitian...56

4.1.6 Gambaran responden berdasarkan dimensi permanence...57

4.1.7 Gambaran responden berdasarkan dimensi pervasiveness...57

4.1.8 Gambaran responden berdasarkan dimensi personalization...58


(5)

x BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan...71

5.2 Saran...71

5.2.1 Saran teoritis...72

5.2.2 Saran Praktis...72

DAFTAR PUSTAKA... 73

DAFTAR RUJUKAN ... 74 LAMPIRAN


(6)

xi

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 - Pembagian Item-item dalam kuesioner Explanatory Style....…... 45

Tabel 3.2 Kriteria Kelompok Derajat Optimisme Setiap Aspek…………....50

4.1.1 Distribusi frekuensi bedasarkan jenis kelamin...53

4.1.2 Distribusi frekuensi berdasarkan tingkat pendidikan...54

4.1.3 Distribusi frekuensi berdasarkan usia...54

4.1.4 Distribusi frekuensi berdasarkan penyebab ketunanetraan...55

4.1.5 Distribusi frekuensi derajat optimisme...56

4.1.6 Distribusi frekuensi berdasarkan dimensi permanence...57

4.1.7 Distribusi frekuensi berdasarkan dimensi pervasiveness...57


(7)

xii

DAFTAR BAGAN

Bagan 1.1 KerangkaPemikiran... 19 Bagan 3.1 RancanganPenelitian ... 42


(8)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1

Kata Pengantar

Lampiran 2

Kuesioner ‘’ASQ”

Lampiran 3

Data Penunjang

Lampiran 4

Kuesioner derajat optimisme sebelum validasi

Lampiran 5

kuesioner derajat optimisme setelah validasi

Lampiran 6

Hasil penelitian

Lampiran 7

Gambaran responden

Lampiran 8

Crosstab derajat optimisme dengan

faktor-faktor yang mempengaruhi


(9)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang Masalah

Anak berkebutuhan khusus (ABK) adalah anak yang memiliki hambatan dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukan pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik. Yang termasuk kedalam ABK antara lain: tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa,

tunalaras, kesulitan belajar, gangguan prilaku, anak berbakat, anak dengan gangguan kesehatan. Istilah lain bagi anak berkebutuhan khusus adalah anak luar biasa dan anak cacat(geniofarm, 2010:11).

Salah satu anak berkebutuhan khusus adalah tunanetra yaitu individu yang memiliki hambatan pada fisik khususnya penglihatan.Kaufman & Hallahan

mengungkapkan bahwa tuna netra adalah individu yang memiliki lemah penglihatan atau akurasi penglihatan kurang dari 6/60 m atau tidak lagi memiliki penglihatan. Tunanetra dapat diklasifikasikan kedalam dua golongan yaitu: buta total (Blind) yaitu jika orang tidak dapat melihat 2 jari di mukanya atau tidak memiliki sisa penglihatan sedikitpun. Mereka tidak dapat menggunakan huruf selain huruf Braille. Yang kedua adalah low vision yaitu jika pengidap masih bisa menerima rangsang cahaya dari luar, tetapi ketajamannya kurang atau pengidap

hanya mampu membaca headline pada surat kabar

(www.keluargasehat.wordpress.com).

Secara ilmiah ketunanetraan dapat disebabkan oleh berbagai faktor, apakah itu faktor dalam diri (internal) ataupun faktor dari luar (eksternal). Hal-hal


(10)

2

Universitas Kristen Maranatha yang termasuk faktor internal yaitu faktor-faktor yang erat hubungannya dengan keadaan bayi selama masih dalam kandungan: faktor gen (sifat pembawa keturunan), kondisi psikis ibu, kekurangan gizi, keracunan obat dan sebagainnya. Faktor eksternal yaitu faktor-faktor yang terjadi pada saat atau sesudah bayi dilahirkan. Misalnya: kecelakaan, terkena penyakit siphilis yang mengenai matanya saat dilahirkan, pengaruh alat bantu medis (tang) saat melahirkan sehingga sistem syarafnya rusak, kurang gizi atau vitamin, terkena racun, virus trachoma, panas badan yang terlalu tinggi, dan peradangan mata karena penyakit, bakteri, atau virus (Geniofarm,2010: 17)

Penyandang tuna netra belum mendapat perlakukan yang layak, mendapatkan sarana yang tidak memadai sangat menyulitkan bagi penyandang disabilitas untuk berkembang.Disamping itu banyak pandangan masyarakat yang cenderung tidak menganggap para penyandang tuna netra.Penyandang tuna netra mendapat perlakuan diskrimatif.Padahal mereka sangat membutuhkan bantuan individu awas sebagai penyemangat hidupnya bukan malah mendiskriminasikan hidupnya. (www.tituitbom.com)

Perlakuan diskriminasi tersebut banyak terjadi di universitas yang mengindikasikan penolakan terhadap penyandang tuna netra. Selain itu juga di tempat bekerja banyak pendang tuna netra yang mendapatkan diskriminasi misalnya terdapat penyandang tuna netra yang sudah mendapatkan gelar S3 tetapi pada saat melamar kerja, penyandang tuna netra tersebut hanya ditempatkan sebagai operator telephone dengan alasan ketunannetraan yang dialaminya. (www.blindzone.com). Perlakuan diskriminasi lainnya yaitu penyandang tuna


(11)

3

netra yang tidak diperkenankan untuk menumpang pesawat dengan alasan tidak adanya pendampingan (www.mitranetra.com)

Penyandang tuna netra memiliki masalah dalam perkembangan kognitif, motorik, emosi dan sosial dibanding dengan anak–anak normal pada umumnya karena pengenalan atau pengertian terhadap dunia luar, penyandang tuna netra tidak dapat diperoleh secara lengkap dan utuh (Sutjihati,2007). Perkembangan emosi penyandang tunanetra akan sedikit mengalami hambatan dibandingkan dengan individu yang awas. Keterhambatan ini terutama disebabkan oleh keterbatasan kemampuan penyandang tunanetra dalam proses belajar. Pada awal masa kanak-kanak, penyandang tunanetra mungkin akan melakukan proses belajar mencoba-coba untuk menyatakan emosinya, namun hal ini tetap dirasakan tidak efisien karena penyandang tunanetra tidak dapat melakukan pengamatan terhadap reaksi lingkungannya secara tepat. Akibatnya pola emosi yang ditampilkannya mungkin berbeda atau tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh diri maupun lingkungannya.

Penyandang tunanetra juga banyak menghadapi masalah dalam perkembangan sosial.Masalah-masalah yang dialaminya adalah ketakutan menghadapi lingkungan sosial yang lebih luas atau baru, perasaan rendah diri, perasaan malu terutama pada saat membina relasi sosial. Keterbatasan anak untuk dapat belajar sosial melalui proses identifikasi dan imitasi, serta sikap-sikap masyarakat yang sering kali tidak menguntungkan seperti penolakan, penghinaan dan sikap tak acuh (Sutjihati, 2007).


(12)

4

Universitas Kristen Maranatha Perkembangan sosial anak tunanetra itu sangat bergantung pada bagaimana perlakuan dan penerimaan lingkungan terutama lingkungan keluarga terhadap anak tunanetra itu sendiri. Bila perlakuan dan penerimaannya baik, maka perkembangan sosial anak tunanetra tersebut akan baik dan begitu juga sebaliknya. (Sutjihati, 2007 ).

Hasil penelitian para ahli mengungkapkan mengenai pandangan dan sikap orang awas terhadap penyandang tunanetra yang menganggap bahwa penyandang tunanetra pada umumnya memiliki sikap tidak berdaya, sifat ketergantungan, tidak pernah merasakan kebahagiaan, memiliki sifat kepribadian yang penuh dengan frustasi-frustasi, resisten terhadap perubahan cenderung kaku dan cepat menarik tangan dari lawannya pada saat bersalaman, mudah mengalami kebingungan ketika memasuki lingkungan yang tidak familiar yang ditunjukkan dengan perilaku-perilaku yang tidak tepat (Sutjihati, 2007).

Untuk mengatasi hambatan-hambatan yang dialami oleh penyandang tuna

netra, yayasan “X” di kota Jakarta yang memiliki siswa sebanyak 40 orang memiliki visi sebagai pengembang dan penyedia layanan guna terwujudnya kehidupan tunanetra yang mandiri, cerdas dan bermakna dalam masyarakat. Selain itu, Yayasan tersebut memiliki misi agar mampu mengurangi dampak ketunanetraan dengan melakukan rehabilitasi dan mengembangkan potensi serta keahlian untuk memperluas peluang tenaga kerja sehingga dapat mewujudkan masyarakat inklusi yang mengakomodir berbagai perbedaan. Tunanetra memiliki keterbatasan dalam indra pengelihatan, maka proses pembelajaran yang diajarkan


(13)

5

di Yayasan “X” lebih menekankan pada banyak keahlian lain diluar hal yang mereka pelajari di sekolah / universitas tempat mereka mengeyam pendidikan setiap hari. Oleh karena itu prinsip yang harus diperhatikan dalam memberikan pengajaran kepada anak tunanetra adalah media yang digunakan harus bersifat taktual dan bersuara, contohnya adalah penggunaan tulisan braille, gambar timbul. Sedangkan media yang bersuara adalah tape recorder.Untuk membantu tunanetra beraktivitas di sekolah luar biasa mereka belajar mengenai Orientasi dan Mobilitas.Orientasi dan Mobilitas diantaranya mempelajari bagaimana tunanetra mengetahui tempat dan arah. Dengan belajar hal-hal tersebut tersebut maka akan memberikan rasa percaya diri dan keyakinan terhadap penyandang tuna netra.

Hal tersebut dilandasi bahwa penyandang tunanetra juga menginginkan suatu harapan untuk berhasil akan masa depannya seperti orang dengan penglihatan normal lainnya yang mempunyai kesempatan untuk berhasil. Sebagai contoh banyak lulusan dari yayasan tersebut pada saat ini sudah banyak yang dapat menyelesaikan jenjang pendidikan tingkat sekolah maupun universitas. Beberapa dari mereka juga sudah banyak yang bekerja di beberapa instansi. Untuk meraih keberhasilan, penyandang tunanetra dituntut untuk memiliki sikap optimisme dalam menghadapi masalah dalam kehidupannya. Ketika penyandang tuna netra memiliki optimisme hidup dan semangat yang tinggi secara nyata mereka dapat meraih masa depan yang diinginkan. Penyandang yang mempunyai sikap optimis dalam menghadapi masa depannya biasanya akan selalu berpikir positif dan mengerjakan segala sesuatu dengan semaksimal mungkin walaupun dia menemui kesulitan dan hambatan dalam melaksanakan tugas tersebut,


(14)

6

Universitas Kristen Maranatha walaupun hambatan tersebut datang dari dirinya sendiri, misalnya dia mempunyai kekurangan yang dapat menghambat aktivitasnya sehari-hari tetapi dia tetap akan berusaha sebaik-baiknya untuk mencapai target yang diinginkannya.

Penyandang tuna netra di yayasan “X” mendapat pelatihan kurang lebih selama 6 bulan dan dapat diperpanjang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan. Mereka mendapat pelajaran setiap seminggu 2 kali masing-masing dua jam pelajaran. Subjek Pelajaran yang dipilih pun tergantung pilihan masing-masing individu. Biasanya mereka memilih pelajaran bahasa asing seperti bahasa inggris dan Mandarin. Selain itu juga terdapat banyak subjek pelajaran lain seperti komputer yang bisa mengeluarkan suara, orientasi mobilitas ataupun memasak. Yang nantinya akan digunakan mereka untuk menambah skill yang akan menambah pengetahuan dan bekal mereka kedepan. Mereka juga terkadang dapat menyalurkan bakat-bakat yang memiliki kemampuan yang bagus. Lulusan dari yayasan mereka banyak yang kemudian disalurkan ke berbagai macam instansi. Kebanyakan dari instansi tersebut pun banyak yang mencari langsung dan bertanya ke yayasan tersebut, lulusan dari yayasan mereka pun ada yang menjadi chef di salah satu kafe terkenal di bandung dan jakarta.

Seligman mengungkapkan pengertian optimisme sebagai berikut,

“optimisme adalah sikap individu dalam menghadapi keadaan , baik keadaan yang

baik (good situation) maupun keadaan yang buruk (bad situation)”. Keadaan yang dimaksud adalah peristiwa-peristiwa baik atau buruk yang terjadi di kehidupannya. Individu yang optimis akan melakukan usaha dalam mengatasi keadaan yang tidak menguntungkan bagi dirinya, berpikir bahwa keadaan yang


(15)

7

buruk merupakan tantangan, tidak merasa cepat putus asa, memiliki dukungan sosial dan pada akhirnya memiliki kesehatan yang lebih baik. Dan terdapat tiga dimensi yang mempengaruhinya yaitu Permanency, Pervasiveness, dan

Personalization (Seligman, 1990)

Dengan keterbatasan yang dimiliki tunanetra akan tercermin bagaimana penderita tunanetra tersebut memandang kehidupannya serta peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupannya baik peristiwa yang baik (good situation) maupun peristiwa yang buruk (bad situation). Setiap orang mempunyai kebiasaan yang berbeda-beda dalam berpikir tentang penyebab terjadinya suatu peristiwa maupun keadaan.Seperti ketika mereka harus melanjutkan pendidikan di tingkat yang lebih tinggi, merasa yakin atau tidak yakin mereka bisa mendapatkan pekerjaan yang mereka inginkan, keyakinan diri untuk menikah, serta kemampuan untuk menghadapi perubahan-perubahan.

Sebagian besar penderita tunanetra memiliki belief bahwa penyandang tuna netra sulit untuk disembuhkan meskipun menjalani pengobatan. Belief ini diperoleh dari proses belajar dari pengalaman-pengalaman orang di sekitar mereka. Belief ini akan mempengaruhi eksplanatory style anak tunanetra terhadap peristiwa-peristiwa yang mereka alami, yang berhubungan dengan hambatan fisik, dan hambatan sosial akibat ketunanetraannya. Hal ini juga akan menyulitkan penderita tunanetra dalam menjalani kehidupannya sehingga menyebabkan penderita tunanetra merasa putus asa dan tidak mau bersosialisasi karena takut


(16)

8

Universitas Kristen Maranatha ditolak orang lain serta tidak mau menetapkan target yang lebih tinggi untuk meraih cita-citanya.

Dengan mengikuti pelatihan di yayasan tersebut dan diajarkan beberapa keterampilan. mereka merasa bahwa keterampilan tersebut membuat mereka memahami banyak hal yang mereka tidak ketahui sebelumnya. Keterampilan tersebut juga dapat membantu mereka untuk menjadi bekal keterampilan untuk masa depan mereka, keterampilan tersebut juga dapat meningatkan kualitas hidup mereka, hal tersebut juga merupakan hasil dari keinginan dan usaha yang ingin mereka capai demi masa depan yang lebih baik.

Berdasarkan wawancara yang dilakukan terhadap kepala yayasan “X”, diperoleh data bahwa sebanyak 75% remaja yang ada di yayasan tersebut memiliki semangat yang tinggi, misalnya mereka memiliki kecenderungan untuk meraih prestasi belajar dan tidak tergantung kepada orang lain. Sisanya sebanyak

25 % penyandang tunanetra yang berusia remaja di Yayasan “X” memiliki

kecenderungan untuk berperilaku pasif seperti kurang memiliki minat untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi misalnya hanya mencapai jenjang pendidikan SD.

Hasil survei awal yang dilakukan terhadap 10 orang penyandang tuna netra, diperoleh data sebanyak 30% siswa mengatakan bahwa mereka mengalami ketunanetraan sejak lahir dan mereka menghayati bahwa cacat yang dialami merupakan sesuatu yang sifatnya permanen, beranggapan bahwa cacat yang dialami tidak akan bisa disembuhkan dengan alasan bahwa cacatnya merupakan


(17)

9

bawaan sejak lahir. Sehari-harinya mereka juga sering mengalami bahwa banyak perubahan secara menyeluruh terjadi pada dirinya karena menyandang tunanetra seperti kesulitan dalam bersosialisasi atau melakukan kontak dengan orang lain misalnya merasa minder dan merasa canggung jika berinteraksi dengan orang yang tidak memiliki kelainan. Mereka juga seringkali sulit beradaptasi dengan lingkungan baru karena sering dianggap remeh dan sebelah mata. Selain itu juga, mereka menganggap bahwa cacatnya ini akan semakin parah yang diakibatkan oleh dirinya sendiri, karena mereka tidak melakukan upaya-upaya untuk meringankan kecacatan yang diderita.

Hasil lainnya diperoleh bahwa sebanyak 50% penyandang tuna netra yang sudah megalami kebutaan sejak lahir. Mereka menghayati dengan ketunanetraannya tersbut masih dapat menjalalani kehidupan sehari-hari dengan cara mengikuti pelatihan di yayasan tersebut dapat meningkatkan keterampilan yang menunjang kehidupan mereka.Mereka juga masih berusaha untuk dapat lebih mandiri. Keterampilan yang diperoleh bisa diterapkan di sekolah tempat mereka mengenyam pendidikan seperti dapat lebih membantu mereka dalam ekskul bahasa asing sehingga dapat lebih unggu dibanding teman mereka yang tidak memiliki kekurangan dalam pengelihatan. Mereka menganggap bahwa kecacatannya ini terkadang sebagai akibat dari dirinya sendiri karena mereka tidak melakukan upaya untuk meringankan kecacatannya seperti tidak ingin mengkonsumsi vitamin maupun memakai kacamata.


(18)

10

Universitas Kristen Maranatha Berdasarkan hasil wawancara juga diperoleh sebanyak 20% mengungkapkan bahwa mereka mengalami ketunanetraan pada usia anak-anak dimana mereka terkena suatu penyakit yang pada akhirnya menyebabkan ketunanetraan. Penyandang tunanetra menghayati bahwa kecacatan sebagai sesuatu yang sementara karena merasa bahwa kecacatan yang dimilikinya lebih ringan dan masih bisa diobati, mereka juga meyakini bahwa dengan mengikuti

kegiatan di yayasan “X” sangat membantu kegiatannya di sekolah tempat mereka belajar sehari-hari. Kecacatan ini tidak terlalu mempengaruhi kehidupannya, tidak ada perubahan yang signifikan terhadap kehidupannya karena mereka merasa diterima oleh lingkungan serta tidak mengalami kesulitan jika berinteraksi dengan orang lain. Sehari-hari jika mereka berinteraksi dengan orang lain, mereka juga seringkali merasa dianggap seperti orang yang tidak memiliki kekurangan dalam pengelihatan. Mereka juga menganggap bahwa penyakit ini disebabkan oleh adanya pengaruh dari orang lain seperti konsumsi obat yang berlebihan oleh ibunya pada masa kehamilan sehingga menyebabkan kebutaan pada janin.

Berdasarakan wawancara tersebut dapat diketahui terdapat perbedaan individu dalam menghayati ketunanetraan. Ada yang memandang secara positif, dan ada yang memandang negatif. Cara pandang individu dapat dikatakan Optimis, apabila memandang kejadian/peristiwa yang tidak menyenangkan sebagai keadaan yang sementara, tidak terjadi di seluruh ruang kehidupanya dan bukan dirinyalah yang menyebabkan keadaan tersebut. Namun apabila individu memandang kejadian/peristiwa yang tidak menyenangkan sebagai keadaan yang


(19)

11

menetap terjadi di seluruh ruang kehidupannya, dan dirinyalah sebagai penyebab keadaan tersebut maka dapat dikatakan individu tersebut pesimis.

Berdasarkan hasil wawancara tersebut, yang menunjukan bahwa optimisme penyandang tuna netra berbeda-beda, maka peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana gambaran optimisme pada penyandang tuna netra usia

remaja di Yayasan “X” di kota Jakarta.

1.2 Identifikasi masalah

Melalui penelitian ini ingin diketahui gambaran mengenai optimisme pada

penyandang tuna netra di Yayasan “X” di kota Jakarta.

1.3 Maksud dan tujuan penelitian

1.3.1 Maksud Penelitian

Untuk mengetahui gambaran mengenai optimisme pada penyandang tuna

netra di Yayasan “X” di kota Jakarta dengan faktor-faktor yang mempengaruhi.

1.3.2 Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui gambaran lebih lanjut mengenai optimisme pada

penyandang tuna netra di Yayasan “X” di kota Jakarta., beserta dimensi Permanency, Pervasiveness, dan Personalization.


(20)

12

Universitas Kristen Maranatha 1.4 Kegunaan Penelitian

1.4.1 Kegunaan teoritis

1. Memberikan masukan pada bidang ilmu Psikologi, khususnya untuk bidang psikologi anak luar biasa

2. Sebagai bahan pertimbangan bagi peneliti lain bila ingin meneliti hal-hal yang berkaitan dengan optimisme pada penyandang tuna netra dan anak berkebutuhan khusus lainnya.

1.4.2 Kegunaan Praktis

1. Memberikan hasil bagaimana gambaran optimisme pada penyandang tuna netra dengan menyampaikan penjelasan tersebut kepada penyandang tuna netra. Bagi penyandang tuna netra yang memiliki optimisme tinggi agar dapat mempertahankan dan bagi para penyandang tuna netra dengan optimisme yang rendah agar tidak putus asa dalam menghadapi keputusan sehari-harinya.

2. Memberikan informasi kepada pihak pengajar Yayasan “X” di kota Jakarta mengenai optimisme pada penyandang tuna netra. Informasi dapat digunakan untuk membimbing para penyandang tuna netra.

3. Memberi informasi kepada keluarga pasien mengenai optimisme yang


(21)

13

dapat membantu mempertahankan atau meningkatkan optimisme dalam menjalani hidup sebagai penyandang tuna netra.


(22)

14

Universitas Kristen Maranatha 1.5 Kerangka Pemikiran

Tuna netra adalah orang yang memiliki ketajaman penglihatan 20/200 atau kurang pada mata yang baik, walaupun dengan memakai kacamata, atau daerah yang penglihatanya sempit sedemikian kecil sehingga yang terbesar jarak sudutnya tidak lebih dari 20 derajat. (Daniel P. Hallahan dalam Mardiani Busono, 1988). Model pendidikan bagi penyandang tuna netra antara lain pendidikan khusus (SMULB), pendidikan terpadu, guru kunjung, dan pendidikan inklusif namun ada juga yang mengenyam pendidikan di sekolah umum (Mangunsong Frieda, 1998)

Di Indonesia terdapat beberapa pendidikan terpadu tuna netra salah

satunya Yayasan “X” yang berada di Kota Jakarta. Yayasan “X” menyediakan

pelatihan dan pendidikan dengan tujuan meningkatkan kualitas dan partisipasi tunanetra, serta Umumnya sebagian besar siswa di Yayasan “X” tersebut berada pada masa perkembangan remaja dan dewasa awal yang memiliki rentang usia 13-27 tahun.

Menurut Santrock, remaja merupakan masa transisi antara masa kanak-kanak dan dewasa, yang dimulai dari usia 10-13 tahun dan berakhir pada usia 18-22 tahun. Tahapan remaja adalah tahapan dimana perubahan sangat banyak terjadi.Mulai dari perubahan secara biologis, kognitif dan sosiomosional. Dalan setiap tahapan perkembangan yang harus dilalui oleh masing-masing individu, ada tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhi, seperti mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupunn wanita, menerima


(23)

15

keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif. Masa remaja merupakan masa yang penuh gejolak.Masa remaja juga merupakan masa yang penting dalam pencapaian prestasi. Tekanan sosial dan akademis mendorong para remaja tuna netra kepada beragam peran yang harus mereka bawakan. Peran yang seringkali menuntut tanggung jawab yang lebih besar .prestasi merupakan hal yang sangat penting bagi mereka dan mereka mulai melihat bahwa kesuksesan dan kegagalan masa kini untuk meramalkan keberhasilan di kehidupan di masa yang akan datang. Para renaja tuna netra juga memiliki peran dan tanggung jawab yang besar ditengah kekurangan yang mereka miliki.Para remaja tuna netra bukan saja harus memiliki prestasi yang baik didalam bidang akademis, mereka juga harus memiliki keahlian khusus agar mereka dapat diterima di masyarakat.

Menurut Lowenfeld dalam Cartwright (1984), terdapat 3 daerah yang dapat terpengaruh sebagai akibat dari kerusakan pengelihatan. Pertama adalah perkembangan kognitif dan kemampuan konseptual yang merangsang dan mengarahkan tingkah laku dan ketepatan informasi yang diterima seseorang dari lingkunganya dihubungkan dengan apa yang dipikirkanya. Jika seseorang mengalami kerusakan pada pengelihatanya maka akan terdapat keterbatasan-keterbatasan dalam memperoleh informasi. Kedua yaitu perkembangan motorik, perkembangan motorik anak tuna netra cenderung lambat. Dengan adanya kerusakan pada indra pengelihatan, maka ia memiliki Body Awareness dan kemampuan orientasi yang kurang baik karena kurang dapat mengkordinasikan gerakan dan memperkirakan bagaimana bergerak secara aman. Terakhir adalah


(24)

16

Universitas Kristen Maranatha perkembangan sosial, anak dengan cacat pada pengelihatanya akan memiliki masalah dalam penyesuaian sosial, tidak berdaya dan bergantung pada orang lain.

Para remaja tuna netra tersebut bisa berhasil ataupun tidak berhasil pada bidang pendidikan tergantung dari pengetahuan mereka untuk beradaptasi. Oleh karena itu penyandang tuna netra remaja akan memiliki cara pandang tertentu terhadap kecacatanya atau kondisi yang memberikan tekanan pada dirinya. Cara pandang ini dapat terbagi menjadi 2, yaitu cara pandang yang positif sehingga penyandang tuna netra remaja ini menjadi Optimis. Dan cara pandang negatif, sehingga penyandang tuna netra remaja menjadi pesimis dalam menjalani hidupnya.

Menurut Martin E.P Seligman (1990), Optimisme adalah cara individu memandang kehidupan dan peristiwa-peristiwa baik maupun buruk yang terjadi dalam kehidupannya. Individu yang memiliki sikap optimis merupakan individu yang tidak mudah menyerah, melihat suatu keadaan buruk sebagai sesuatu yang sifatnya sementara dan bukan dirinya yang menjadi penyebab keadaan buruk tersebut. Dengan demikian individu yang optimis akan berusaha mencari jalan keluar untuk memecahkan masalahnya.

Pada diri penyandang tuna netra dasar optimisme ini terletak pada bagaimana memandang peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupannya.Setiap individu memiliki kebiasaan (habit) yang berbeda-beda dalam berpikir tentang penyebab dari suatu keadaan, kebiasaan, dan Seligman


(25)

17

(1990) menyebutnya sebagai Explanatory style.Explanatory style tidak diturunkan melainkan dipelajari seiring dengan pengalaman kehidupan.

Terdapat tiga dimensi yang digunakan dalam berpikir tentang suatu peristiwa, yaitu permanency, pervasiveness, dan personalization. Permanency membahas mengenai waktu, yaitu apakah peristiwa yang terjadi ini bersifat menetap atau sementara. Apabila penyandang tuna netra berpikir bahwa kecacatanya akan dialami seumur hidup disebut dengan permanence bad (PmB), sedangkan apabila tuna netra merasa bahwa kecacatanya bisa disembuhkan disebut sebagai permanence good (PmG). Pervasiveness membahas mengenai situasi, berkaitan dengan ruang lingkup dari peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupannya dipandang sebagai sesuatu yang menyeluruh atau khusus. Apabila penyandang tuna netra berpikir bahwa kecacatanya dapat mempengaruhi relasi sosial dan perkembangan emosi tuna netra maka disebut sebagai

pervasiveness bad (PvB), sedangkan apabila penyandang tuna netra berpikir

bahwa kecacatanya tidak akan memiliki aspek kehidupan yang lain seperti menjalin relasi sosial dan memiliki prestasi disebut sebagai pervasiveness good (PvG). Personalization membahas mengenai diri, yaitu membicarakan pihak yang menjadi penyebab peristiwa dalam kehidupan seseorang, yaitu dalam diri atau luar diri. Apabila penyandang tuna netra berpikir bahwa kecacatanya disebabkan oleh orang lain maka disebut sebagai personalization bad (PsB), sebaliknya apabila penyandang tuna netra berpikir kecacatanya disebabkan oleh dirinya sendiri disebut sebagai personalization good (PsG).


(26)

18

Universitas Kristen Maranatha Pada dasarnya penyandang tuna netra dikatakan Optimis apabila memandang kejadian atau peristiwa yang tidak menyenangkan sebagai keadaan yang sementara (PmB - temporary), tidak terjadi di seluruh ruang kehidupannya (PvB - specific), dan bukan dirinyalah yang menyebabkan keadaan tersebut (PsB -

external). Contohnya apabila penyandang tuna netra merasa bahwa

ketunanetraanya dapat disembuhkan, kecacatanya juga tidak mempengaruhi aspek kehidupanya yang lain misalnya tidak mempengaruhi relasi sosialnya, tidak mempengaruhi emosinya dan tuna netra juga merasa bahwa kecacatanya disebabkan faktor diluar dirinya seperti kesehatan ibunya yang memiliki kedaan yang kurang baik pada saat mengandung dirinya. Namun apabila penyandang tuna netra memandang kejadian atau peristiwa yang tidak menyenangkan sebagai keadaan yang menetap (PmB - permanence), terjadi di seluruh ruang kehidupannya (PvB - universal), dan dirinyalah sebagai penyebab keadaan tersebut (PsB - internal), maka dapat dikatakan individu tersebut pesimis. Contohnya apabila penyandang tuna netra merasa bahwa ketunanetraanya tidak dapat disembuhkan dan akan terus berlangsung seumur hidup, dan dapat mempengaruhi seluruh aspek kehidupan seperti memiliki motivasi yang rendah karena merasa tidak mampu, selain itu penandang tuna netra merasa bahwa dirinya adalah penyebab dari kecacatanya. Hal ini menggambarkan bahwa individu tersebut pesimis.

Bossio (1991), mengungkapkan bahwa definisi pesimis adalah ketidakmampuan diri seseorang untuk mengontrol kejadian di masa depan dan selalu membayangkan hasil yang buruk untuk memperolehnya, dalam hal ini


(27)

19

penyandang tuna netra yang memiliki pesimis menunjukkan sikap yang mudah menyerah terhadap kondisi yang dialaminya dan tidak melakukan usaha untuk memperbaiki kondisi dirinya, seperti dengan tidak mengatasi gejala-gejala ketunanetraan tersebut dengan melakukan terapi dan pengobatan-pengobatan.

Faktor yang mempengaruhi optimisme pada penyandang tuna netra adalah

Explanatory style ibu, kritik dari orang lain; seperti, keluarga dan orang lain

disekitarnya, serta kejadian traumatis. Explanatory style ibu mempengaruhi optimisme penyandang tuna netra, karena penyandang tuna netra, sewaktu kecil akan belajar dari orang tuanya terutama ibu yang mengasuhnya melalui kata-kata yang diucapkan oleh ibunya ketika menjawab pertanyaan penyandang tuna netra. Mengenai kritik-kritik yang diberikan orang lain kepada penyandang tuna netra, ketika mereka mengalami kegagalan juga akan dapat mempengaruhi Explanatory

style pada dirinya. Hal ini disebabkan karena penyandang tuna netra akan

mendengarkan secara teliti isi dan macam dari kritikan tesebut. Selain itu penyandang tuna netra, juga akan akan memperhatikan bagaimana cara orang lain menyampaikan kritikan tersebut terhadap dirinya. Kejadian traumatis yang dialami penyandang tuna netra, semasa kecil akan mempengaruhi derajat optimismenya, karena bentuk penerimaan terhadap suatu peristiwa akan berkaitan dengan optimismenya saat ini ini. Keyakinan terhadap penerimaan pada suatu peristiwa, kemudian akan berkembang menjadi suatu kebiasaan penyandang tuna netra, dan akan membentuk Explanatory style di masa anak-anak dan remaja.


(28)

20

Universitas Kristen Maranatha Faktor-faktor diatas dapat mempengaruhi optimisme. Apabila individu memiliki eksplanatory style ibu yang merasa optimis terhadap kesembuhan anaknya, mendapat kritikan yang membangun dari orang lain, dan tidak memiliki kejadian yang traumatis maka individu tersebut cenderung memiliki derajat optimisme yang tinggi. Namun sebaliknya jika individu tersebut memiliki eksplanatory style ibu yang pesimis, mendapat kritik yang tidak membangun dan pernah memiliki kejadian traumatis maka cenderung pesimis.


(29)

21

1.6 Bagan kerangka pikir

Bagan 1.1 – Bagan Kerangka Pemikiran

Faktor yang mempengaruhi: Explanatory Style Ibu, Kritik Orang lain, dan Kejadian

Traumatis

Penyandang Tuna Netra di Yayasan

“X” di kota Jakarta

Optimisme

Dimensi Optimisme:

1. Permanence 2. Pervasiveness 3. Personalization

Optimis


(30)

22

Universitas Kristen Maranatha 1.7 Asumsi

 Optimisme pada penyandang tuna netra di yayasan “X” di kota Jakarta dapat berbeda-beda.

 Optimisme di yayasan “X” di kota Jakarta, didasari oleh tiga dimensi,

yaitu Permanency, Pervasiveness, dan Personalization.

 Karakteristik Penyandang tuna netra yang optimis adalah penyandang tuna netra yang cenderung akan memandang penyebab dari peristiwa-peristiwa buruk yang dialaminya sebagai sesuatu yang bersifat temporer (PmG), spesifik (PvG), dan eksternal (PsG).

 Karakteristik Penyandang tuna netra yang pesimis adalah Penyandang tunanetra yang cenderung akan memandang penyebab dari peristiwa-peristiwa buruk yang dialaminya sebagai sesuatu yang bersifat permanen (PmB), menyeluruh (PvB), dan internal (PsB).

 Faktor yang mempengaruhi derajat optimisme penyandang tuna netra adalah Explanatory Style ibu, kritik – kritik dari orang lain, dan kejadian traumatis.


(31)

71 Universitas Kristen Maranatha BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh melalui pengolahan data mengenai optimisme pada penyandang tuna netra di Yayasan “X” di Kota Jakarta, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

1. Sebagian besar penyandang tuna netra di Yayasan “X” di Kota Jakarta tergolong Pesimis

2. Penyandang tuna netra di Yayasan “X” di kota Jakarta memiliki tergolong Pesimis pada masing-masing dimensi yaitu pervasiveness, permanency,

personalization.

3. Optimisme Penyandang Tuna Netra di Yayasan “X” Jakarta tergolong pesimis, ditunjukan melalui dimensi yang juga tergolong Pesimis.

4. Eksplanatory style ibu, kritik dari orang lain, dan kejadian traumatis tidak menunjukan keterkaitan dengan optimisme yang dimiliki penyandang tuna netra di Yayasan “X”

5.2. Saran

5.2.1. Saran Teoretis

1. Bagi peneliti selanjutnya, dapat melakukan penelitian lanjutan mengenai kontribusi faktor-faktor yang mempengaruhi optimisme pada penyandang tuna netra.


(32)

72

Universitas Kristen Maranatha 5.2.2. Saran Praktis

1. Bagi peneliti lain yang ingin meneliti mengenai optimisme pada tunanetra agar dapat meneliti mengenai perbedaan penyandang Tunanetra yang bersekolah di sekolah umum dan sekolah anak berkebutuhan khusus/SLB. 2. Bagi Penyandang tuna netra di Yayasan “X” di Kota Jakarta yang pesimis

diharapkan dapat memandang good situation dan bad situation secara objektif sehingga dapat mengembangkan sikap optimis dalam menjalani aktivitas sehari-hari.

3. Memberi informasi kepada Yayasan “X” agar dapat memberi dorongan berupa motivasi guna meningkatkan optimisme pada penyandang tunanetra sehingga mampu mengembangkan bakat dan meningkatkan pengetahuan yang berguna untuk meningkatkan kualitas hidup penyandang tuna netra yang dapar dimasukan dalam sesi konseling yang diadakan secara rutin oleh pihak sekolah.


(33)

DAFTAR PUSTAKA

Geniofarm. 2010. Mengasuh dan mensukseskan anak berkebutuhan khusus. Jogjakarta:Garailmu

Gulo, W. 2002. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT Grasindo.

Hadi,Purwaka 2005. Kemandirian tunanetra. Jakarta:Departemen pendidikan nasional

Mangunsong,Frieda.1998. Psikologi dan pendidikan anak luar biasa.

Jakarta.Lembaga pengambangan sarana pengukuran dan pendidikab psikologi (LPSP3)

Somantri,Sutjihati.2007.Psikologi anak luar biasa.Bandung:Refika Aditama Santrock, J. W. 2002. Life-Span Development. Jakarta: Erlangga.

Seligman, Martin E.P. 1990. Learned Optimisme. Pocket Book. New York: Knopf.


(34)

74

DAFTAR RUJUKAN

Putri, Utari Indira. 2011. Studi deskriptif mengenai explanatory style pada watia

di kota Bandung.Skripsi.Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen

Maranatha

Ayesha, Nena Namira. 2011 Studi deskriptif mengenai derajat optimisme pada

odapus wanita dewasa awal di yayasan “X” Bandung.Skripsi Bandung. Fakultas

Psikologi Universitas Kristen Maranatha

Pedoman Penulisan Skripsi Sarjana Edisi Revisi : III. 2009. Bandung: Fakultas

Psikologi Universitas Kristen Maranatha

Lutvita. 19 Januari 2011 .Anak berkebutuhan khusus. (online)

(http://www.keluargasehat.wordpress.com), diakses 18 Agutus 2011. Saka. 20 November 2011. Disabilitas dan pandangan masyarakat. (online) (http://tituitbom.com), diakses pada tanggal 30 November 2011

Budi, 20 October 2011. Menghapus stigma dengan karya nyata. (Online)


(1)

1.6 Bagan kerangka pikir

Bagan 1.1 – Bagan Kerangka Pemikiran

Faktor yang mempengaruhi: Explanatory Style Ibu, Kritik Orang lain, dan Kejadian

Traumatis

Penyandang Tuna Netra di Yayasan “X” di kota Jakarta

Optimisme

Dimensi Optimisme:

1. Permanence

2. Pervasiveness 3. Personalization

Optimis


(2)

22

Universitas Kristen Maranatha

1.7 Asumsi

 Optimisme pada penyandang tuna netra di yayasan “X” di kota Jakarta dapat berbeda-beda.

 Optimisme di yayasan “X” di kota Jakarta, didasari oleh tiga dimensi, yaitu Permanency, Pervasiveness, dan Personalization.

 Karakteristik Penyandang tuna netra yang optimis adalah penyandang tuna netra yang cenderung akan memandang penyebab dari peristiwa-peristiwa buruk yang dialaminya sebagai sesuatu yang bersifat temporer (PmG), spesifik (PvG), dan eksternal (PsG).

 Karakteristik Penyandang tuna netra yang pesimis adalah Penyandang tunanetra yang cenderung akan memandang penyebab dari peristiwa-peristiwa buruk yang dialaminya sebagai sesuatu yang bersifat permanen (PmB), menyeluruh (PvB), dan internal (PsB).

 Faktor yang mempengaruhi derajat optimisme penyandang tuna netra adalah Explanatory Style ibu, kritik – kritik dari orang lain, dan kejadian traumatis.


(3)

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh melalui pengolahan data mengenai optimisme pada penyandang tuna netra di Yayasan “X” di Kota Jakarta, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

1. Sebagian besar penyandang tuna netra di Yayasan “X” di Kota Jakarta tergolong Pesimis

2. Penyandang tuna netra di Yayasan “X” di kota Jakarta memiliki tergolong Pesimis pada masing-masing dimensi yaitu pervasiveness, permanency,

personalization.

3. Optimisme Penyandang Tuna Netra di Yayasan “X” Jakarta tergolong pesimis, ditunjukan melalui dimensi yang juga tergolong Pesimis.

4. Eksplanatory style ibu, kritik dari orang lain, dan kejadian traumatis tidak menunjukan keterkaitan dengan optimisme yang dimiliki penyandang tuna netra di Yayasan “X”


(4)

72

Universitas Kristen Maranatha

5.2.2. Saran Praktis

1. Bagi peneliti lain yang ingin meneliti mengenai optimisme pada tunanetra agar dapat meneliti mengenai perbedaan penyandang Tunanetra yang bersekolah di sekolah umum dan sekolah anak berkebutuhan khusus/SLB. 2. Bagi Penyandang tuna netra di Yayasan “X” di Kota Jakarta yang pesimis

diharapkan dapat memandang good situation dan bad situation secara objektif sehingga dapat mengembangkan sikap optimis dalam menjalani aktivitas sehari-hari.

3. Memberi informasi kepada Yayasan “X” agar dapat memberi dorongan berupa motivasi guna meningkatkan optimisme pada penyandang tunanetra sehingga mampu mengembangkan bakat dan meningkatkan pengetahuan yang berguna untuk meningkatkan kualitas hidup penyandang tuna netra yang dapar dimasukan dalam sesi konseling yang diadakan secara rutin oleh pihak sekolah.


(5)

Jogjakarta:Garailmu

Gulo, W. 2002. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT Grasindo.

Hadi,Purwaka 2005. Kemandirian tunanetra. Jakarta:Departemen pendidikan nasional

Mangunsong,Frieda.1998. Psikologi dan pendidikan anak luar biasa.

Jakarta.Lembaga pengambangan sarana pengukuran dan pendidikab psikologi (LPSP3)

Somantri,Sutjihati.2007.Psikologi anak luar biasa.Bandung:Refika Aditama Santrock, J. W. 2002. Life-Span Development. Jakarta: Erlangga.

Seligman, Martin E.P. 1990. Learned Optimisme. Pocket Book. New York: Knopf.


(6)

74

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR RUJUKAN

Putri, Utari Indira. 2011. Studi deskriptif mengenai explanatory style pada watia

di kota Bandung.Skripsi.Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen

Maranatha

Ayesha, Nena Namira. 2011 Studi deskriptif mengenai derajat optimisme pada

odapus wanita dewasa awal di yayasan “X” Bandung.Skripsi Bandung. Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha

Pedoman Penulisan Skripsi Sarjana Edisi Revisi : III. 2009. Bandung: Fakultas

Psikologi Universitas Kristen Maranatha

Lutvita. 19 Januari 2011 .Anak berkebutuhan khusus. (online)

(http://www.keluargasehat.wordpress.com), diakses 18 Agutus 2011. Saka. 20 November 2011. Disabilitas dan pandangan masyarakat. (online) (http://tituitbom.com), diakses pada tanggal 30 November 2011

Budi, 20 October 2011. Menghapus stigma dengan karya nyata. (Online) (http://blindzone.com,) diakses pada tanggal 22 Desember 2011.