Studi Deskriptif Mengenai Self-Concept pada Remaja Penyandang Tuna Netra Usia 13-18 Tahun di Panti Sosial "X" Kota Bandung.

(1)

kota Bandung.

Teori yang digunakan adalah teori self concept dari Fitts. Sampel penelitian ini adalah remaja penyandang tuna netra usia 13-18 tahun di Panti sosial “X” kota Bandung. Sampel berjumlah 46 remaja penyandang tuna netra. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif. pengumpulan data dilakukan menggunakan kuesioner Tennesee Self Concept (TSCS) dari William H. Fitts(1971). Data yang diperoleh berskala interval, selanjutnya diolah dengan menggunakan SPSS versi 17.0.

Berdasarkan pengolahan data secara statistik, diperoleh hasil lebih banyak responden (52%) memiliki self-concept positif dan sisanya (48%)memiliki self-concept negatif. Skor untuk setiap interaksi dimensi internal dan dimensi eksternal responden juga diperoleh hasil lebih banyak positif. Faktor-faktor pengalaman, kompetensi maupun aktualisasi diri tidak terlalu jelas kaitannya dengan self-concept remaja penyandang tuna netrausia 13-18 tahun di Panti sosial “X” kota Bandung.

Saran yang diajukan adalah melaksanakan penelitian mengenai hubungan self-concept dengan faktor-faktor yang memengaruhinya (pengalaman, aktualisasi diri, dan kompetensi)dengan memerhatikan cakupan indikator pada alat ukur. Dari segi guna laksana yaitu, bagi panti sosial “X” kota Bandung khususnya kepada ibu pendamping untuk merencanakan program yang dapat meningkatkan self-concept pada remaja penyandang tuna netra usia 13-18 tahun di Panti sosial “X” kota Bandung. Disamping itu, bagi remaja penyandang tuna netra mengenai self-concept dalam rangka meningkatkan kepercayaan diri dalam bergaul di lingkungan masyarakat.


(2)

iv

Universitas Kristen Maranatha

This study was conducted to determine how the image of self -concept in adolescents with visual impairment at the age of 13-18 years Social Homes " X " in Bandung .

In this study , a sample of the study were adolescents with visual impairment at the age of 13-18 years Social Homes " X " in Bandung . All members who meet the characteristics of the study population was used as a sample .

Measuring instruments used to measure self-concept is a modification of the Tennessee Self Concept ( TSCS ) of William H. Fitts (1971 ) . Data obtained ordinal scale , then processed using SPSS version 17.0 .

Based on statistical data processing , obtained results more respondents ( 52 % ) have a positive self-concept and the rest ( 48 % ) had a negative self-concept . Scores for each dimension of the interaction of internal and external dimensions of the respondents also obtained more positive results . The factors of experience , competence and self-actualization is not too obvious relation to self-concept adolescents 13-18 years with tuna netrausia in Social Homes " X " in Bandung . Suggestions put forward is carrying out research on the relationship of self-concept with the factors that influence it ( experience , self-actualization , and competence ) by watching coverage of the indicator on the gauge . In terms of order like that , for social institutions " X " in Bandung , especially to mothers companion to plan a program that can improve the self-concept in adolescents with visual impairment at the age of 13-18 years Social Homes " X " in Bandung . In addition, for adolescents with visual impairment on self-concept in order to increase the confidence in getting along in society .


(3)

ABSTRAK………iii

ABSTRACT………...iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ...xi

DAFTAR BAGAN………..xii

DAFTAR LAMPIRAN………....xiii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 8

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian ... 8

1.3.1. Maksud Penelitian ... 8

1.3.2. Tujuan Penelitian ... 9

1.4 Kegunaan Penelitian ... 9

1.4.1. Kegunaan Teoritis ... 9

1.4.2. Kegunaan Praktis ... 9

1.5 Kerangka Pikir ... 10

1.6 Asumsi ... 21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA


(4)

ix

Universitas Kristen Maranatha

2.1.1 Dimensi Self concept ... 23

2.1.2 Faktor-faktor yang memengaruhi Self concept ... 30

2.2 Remaja ... 32

2.2.1 Pengertian Remaja ... 32

2.2.2 Perkembangan Seksual pada Remaja ... 32

2.2.3 Ciri-ciri Masa Remaja ... 33

2.2.4 Tugas Perkembangan Remaja ……….36

2.3 Tuna Netra ... 37

2.3.1 Batasan Ketunanetraan ... 37

2.3.2 Klasifikasi Ketunanetraan ... 37

2.3.3 Penyebab Ketunanteraan dan Penanggulangannya ... 40

2.3.4 Karakteristik dan Permasalahan anak Tuna Netra ... 42

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Rancangan dan Prosedur Penelitian ... 45

3.2 Bagan Rancangan Penelitian ... 45

3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 45

3.3.1 Variabel Penelitian ... 45

3.3.2 Definisi Konseptual……….46

3.3.2 Definisi Operasional ... 46

3.4 Alat Ukur ... 49

3.4.1 Kisi-kisi Alat ukur ... 49


(5)

3.4.4.2 Data Penunjang ... 53

3.5 Validitas dan Reabilitas Alat Ukur ... 54

3.5.1 Validitas alat ukur...54

3.5.2 Reliabilitas alat ukur ... 55

3.6 Populasi Sasaran ... 55

3.7 Teknik Analisis Data ... 55

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian ...57

4.1.1 Data Demografi...57

4.1.2 Hasil Pengukuran Data Utama...59

4.1.3 Tabulasi Silang...62

4.2 Pembahasan...64

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan...80

5.2 Saran...81

5.2.1 Saran Teoritis...81


(6)

xi

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR PUSTAKA ... 82 DAFTAR RUJUKAN ... 83 LAMPIRAN ...


(7)

Tabel 3.3 Tabel Sistematika Penilaian ... 53


(8)

1

Universitas Kristen Maranatha PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Setiap orang ingin lahir dalam keadaan normal, namun pada kenyataannya ada orang yang dilahirkan dengan keadaan cacat. Bagi orang yang lahir dalam keadaan cacat seringkali merasa rendah diri karena kecacatan identik dengan ketidakmampuan. Orang yang lahir dalam keadaan cacat dihadapkan pada kenyataan yang tidak menyenangkan, karena ada kemungkinan seumur hidupnya akan menjadi seseorang yang cacat. Kecacatan mengurangi kesempurnaan tubuh seseorang, yang bersangkutan sadar akan penampilannya yang tidak mungkin dapat diubah, sehingga harus menerima keadaan tersebut. Keadaan cacat membawa pengaruh yang besar dalam kehidupan seseorang. Orang yang mengalami kecacatan memiliki masalah-masalah yang disebabkan kelainan fisik dan/atau psikisnya. Keadaan cacat tersebut akan memengaruhi tindakan dan aktivitas yang menjadi terbatas.

Berdasarkan Undang-undang no. 4 tahun 1997 (pasal 1;1) tentang penyandang cacat, yang dimaksud dengan penyandang cacat adalah setiap orang yang memunyai kelainan fisik dan atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya, yang terdiri dari penyandang cacat fisik (tuna netra, tuna daksa, tuna rungu, tuna wicara, tuna rungu wicara), penyandang cacat mental (tuna grahita dan tuna laras), penyandang cacat fisik dan mental (cacat ganda atau gabungan keduanya). Tuna netra merupakan salah satu jenis cacat fisik. Pengertian tuna


(9)

netra tidak saja mereka yang buta, tetapi mencakup juga mereka yang mampu melihat tetapi terbatas sekali dan kurang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan hidup sehari-hari (www.psychologymania.com). Tuna netra dapat terjadi pada siapa saja dan tidak memandang usia, termasuk pada masa remaja.

Masa remaja merupakan masa transisi yang dilalui oleh semua manusia sebelum memasuki masa dewasa awal, oleh karena itu pada masa remaja setiap individu mengalami proses untuk menjadi lebih dewasa. Untuk itu di masa remaja, remaja mulai mengembangkan perspektif pandangan ke arah masa depan seperti memiliki cita-cita yang realistik dan program yang jelas untuk mencapai apa yang menjadi harapannya. Seseorang yang memasuki masa remaja akan mulai mengidentifikasikan dirinya. Remaja mulai menanyakan mengenai identitas dirinya dan gambaran dirinya. Penilaian terhadap diri setiap remaja dapat berbeda-beda, tergantung penilaian yang mereka berikan untuk dirinya (Fitts, 1971).

Sama halnya dengan remaja normal, remaja penyandang tuna netra juga mulai mengidentifikasikan dirinya, menanyakan identitas diri dan gambaran dirinya. Kecacatan fisik yang dialami remaja penyandang tuna netra akan memengaruhi penilaian remaja penyandang tuna netra tersebut terhadap keadaan dirinya. Dalam mengembangkan konsep diri terjadi proses mengamati, berpikir, menilai, menerima umpan balik dari orang-orang di sekitarnya dan berusaha dengan berbagai cara untuk menyempurnakan dan mempertahankan diri sendiri. Gambaran tubuh merupakan salah satu hal yang memengaruhi pembentukan konsep diri. Remaja penyandang tuna netra akan mengalami kesulitan dalam memberi gambaran keadaan dirinya secara fisik (gambaran tubuh). Hal tersebut


(10)

Universitas Kristen Maranatha dikarenakan keterbatasan fisik dalam penglihatan yang dialami remaja penyandang tuna netra. Remaja penyandang tuna netra akan kesulitan mendeskripsikan dirinya secara fisik, apakah ia tampan, cantik atau tidak. Remaja penyandang tuna netra akan memperoleh penilaian dirinya sebagian besar melalui umpan balik dari orang tua, guru atau teman sebaya yang tidak mengalami kebutaan. Kebutaan yang dialami remaja juga akan berpengaruh terhadap pergaulan remaja penyandang tuna netra tersebut. Enam remaja penyandang tuna netra merasa rendah diri ketika harus berinteraksi atau bergaul dengan teman sebayanya yang tidak mengalami kebutaan. Namun, empat remaja penyandang tuna netra lainnya merasa tidak rendah diri ketika harus berinteraksi atau bergaul dengan teman sebayanya yang tidak mengalami kebutaan.

Sikap lingkungan di sekitar remaja penyandang tuna netra juga akan menjadi berbeda, biasanya lingkungan akan lebih bersikap mengasihani dan tidak banyak memberi tuntutan kepada remaja penyandang tuna netra. Sejalan dengan itu juga terdapat pandangan-pandangan negatif terhadap remaja penyandang tuna netra. Biasanya kemampuan remaja penyandang tuna netra dianggap lebih rendah daripada remaja yang tidak mengalami kebutaan, lingkungan menunjukan sikap yang menolak atau menyepelekan remaja penyandang tuna netra sehingga kemungkinan kepercayaan diri remaja penyandang tuna netra akan cenderung rendah, selain itu pemikiran dan penghargaan terhadap dirinya akan cenderung negatif. Remaja penyandang tuna netra memiliki tantangan yang lebih besar dalam menghadapi kehidupan dan dalam menyesuaikan diri di lingkungan dengan keterbatasan yang dimiliki. Sejauh mana kemampuan remaja penyandang tuna


(11)

netra untuk dapat mengatasi hambatan-hambatan yang ada di lingkungannya tergantung pada bagaimana remaja penyandang tuna netra memandang dirinya atau di psikologi disebut dengan istilah “self-concept”.

Fitts (1971) mendefinisikan self-concept sebagai keseluruhan kesadaran atau persepsi tentang diri yang diobservasi, dialami, dan dinilai oleh individu yang bersangkutan. Self-concept tidak dibawa sejak lahir melainkan merupakan hasil interaksi dengan lingkungan sekitarnya terutama dengan keluarga. Self-concept merupakan suatu hal yang sangat penting karena menentukan bagaimana remaja penyandang tuna netra mengarahkan tingkah lakunya dan memotivasi untuk berusaha mengatasi masalah yang dihadapi.

Khusus untuk penyandang tuna netra, pemerintah mendirikan Panti sosial di bawah wewenang Departemen Sosial untuk membantu memberikan pembinaan kepada para penyandang tuna netra agar penyandang tuna netra tersebut dapat merasa kembali bahwa harga dirinya berharga walupun dengan keterbatasan yang dimiliki. percaya diri dan dapat melakukan perannya dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan masyarakat. Panti sosial “X” di kota Bandung merupakan salah satu lembaga kesejahteraan sosial yang memiliki tanggung jawab untuk memberikan pelayanan kesejahteraan sosial kepada orang-orang yang memiliki keterbatasan. Panti sosial “X” ini merupakan panti sosial bagi penyandang tuna netra yang terbesar di Indonesia. Kekhasan Panti sosial “X” ini yaitu memiliki rehabilitasi formal dan rehabilitasi informal. Rehabilitasi formal merupakan rehabilitasi yang diberikan dalam hal pendidikan yaitu sekolah luar biasa (SLB) bagi penyandang tuna netra untuk mendapatkan pendidikan yang sama dengan individu pada


(12)

Universitas Kristen Maranatha umumnya. Rehabilitasi informal merupakan rehabilitasi yang diberikan bagi penyandang tuna netra untuk mengembangkan potensi belajar mengenai keterampilan seperti membuat kerajinan tangan, bermain musik dan memijit.

Melalui keterampilan dan pendidikan yang diperoleh di Panti sosial “X” di kota Bandung diharapkan remaja penyandang tuna netra mempunyai kemampuan yang dapat mereka andalkan setelah keluar dari Panti sosial “X” dan dapat menjalani kehidupannya sehingga mereka akan merasa dirinya lebih berharga, mandiri dan dapat diterima oleh lingkungannya dengan kekurangan yang dimilikinya sehingga diharapkan akan memiliki konsep diri yang positif. Salah satu tujuan dari Panti sosial “X” di kota Bandung adalah selain diharapkan dapat memersepsikan dan menilai dirinya secara positif, remaja penyandang tuna netra juga harus dapat bertanggung jawab dan mandiri terhadap dirinya sendiri. Hal ini sesuai dengan informasi yang diperoleh peneliti melalui wawancara dengan ibu pendamping yang bekerja di Panti sosial “X” di kota Bandung yang mengatakan bahwa remaja penyandang tuna netra dapat pulang dan pergi ke sekolah yang berada di lokasi Panti sosial “X” dengan menggunakan tongkat yang diberikan Panti sosial “X”. Bahkan ketika liburan seperti libur hari besar keagamaan, beberapa remaja penyandang tuna netra pulang ke kampung halamannya dengan menggunakan kendaraan umum tanpa di dampingi orang lain.

Panti sosial “X” di kota Bandung memberikan pengalaman-pengalaman positif bagi remaja penyandang tuna netra, memberikan kesempatan bagi remaja penyandang tuna netra untuk mengembangkan diri sehingga remaja penyandang tuna netra akan merasa lebih berharga seperti dengan mengikuti kegiatan


(13)

keterampilan, merasa didukung dan diterima di lingkungan. Selain itu remaja penyandang tuna netra juga mendapatkan perhatian dari ibu pendamping yang berada di Panti sosial “X” tersebut. Pengalaman-pengalaman tersebut dapat memengaruhi bagaimana remaja penyandang tuna netra menilai dirinya, yang pada akhirnya akan memengaruhi konsep diri mereka.

Pengalaman-pengalaman positif yang diberikan oleh Panti sosial “X” di kota Bandung tidak selalu dapat membentuk konsep diri yang positif karena hal tersebut bukan saja dipengaruhi oleh pengalaman yang diperoleh dari Panti sosial “X” namun dari lingkungan sekitar dan keluarga, serta dipengaruhi juga oleh kompetensi dan aktualisasi diri. Bila tidak disertai dengan penerimaan diri remaja penyandang tuna netra serta tidak didukung oleh kemampuan remaja penyandang tuna netra itu sendiri maka dapat membentuk konsep diri yang negatif.

Dari hasil survei awal yang dilakukan peneliti terhadap terhadap 10 remaja penyandang tunanetra di panti sosial “X” Bandung, diperoleh hasil sebagai berikut; 40% mengatakan bahwa mereka tidak dapat menerima keterbatasan yang mereka alami yaitu tidak dapat melihat, walaupun merasa bahwa dirinya tidak menarik namun mereka merasa cukup percaya diri dengan penampilan fisiknya, ketika menghadapi suatu masalah mereka tidak mudah menyerah, merasa bangga dengan kemampuan yang mereka miliki, walaupun tidak merasa nyaman bila bersama dengan individu yang tidak mengalami cacat netra, mereka mudah untuk bergaul dengan siapa pun, merasa bahwa orang tuanya selalu mendukung setiap kegiatan yang mereka lakukan. Dari pernyataan tersebut, remaja tuna netra


(14)

Universitas Kristen Maranatha memandang dan menilai dirinya cenderung positif, sehingga penghayatan seperti ini akan membentuk self-concept yang positif.

Sebanyak 60% remaja penyandang tuna netra mengatakan bahwa mereka merasa dirinya tidak menarik termasuk penampilan fisiknya, merasa menyesal menjadi remaja penyandang tuna netra yang mudah menyerah bila menghadapi suatu masalah, merasa tidak bangga dengan kemampuan yang dimilikinya walaupun beberapa dari mereka pernah berprestasi dalam bidang olah raga maupun akademik, merasa kurang nyaman bila berada bersama individu yang tidak mengalami cacat netra oleh karena itu mereka selalu menarik diri ketika bergaul dan berhadapan dengan individu yang tidak mengalami cacat netra. Dari pernyataan tersebut mereka menilai dan memandang dirinya cenderung negatif, penghayatan diri mereka memungkinkan pembentukan self-concept yang negatif.

Berdasarkan pemaparan di atas, ada remaja penyandang tunanetra yang memandang dan menilai dirinya berarti, disayangi oleh keluarga, berarti bagi lingkungan keluarga maupun lingkungan sosial, merasa dirinya cukup menarik, cukup berprestasi, pintar bergaul, memiliki keyakinan atau kepercayaan diri yang tinggi sehingga mereka memiliki self-concept yang positif dan mampu menghadapi persaingan serta mampu memanfaatkan potensi yang dimilikinya. Ada pula remaja penyandang tunanetra yang merasa dirinya tidak berarti baik di dalam lingkungan keluarga maupun di lingkungan masyarakat, merasa diri tidak menarik, merasa tidak pintar, memandang dirinya tidak dapat melakukan yang lebih baik dari remaja normal pada umumnya, memiliki keyakinan atau kepercayaan diri yang rendah sehingga mereka memiliki self-concept yang


(15)

negatif, yang menyebabkan remaja tunanetra menarik diri dari lingkungan pergaulan karena merasa malu, merasa dirinya tidak berguna, serta merasa rendah diri.

Berdasarkan fakta di atas, remaja penyandang tuna netra memiliki pandangan yang berbeda-beda mengenai dirinya yaitu beberapa dari remaja penyandang tuna netra ada yang memandang dirinya secara positif dan beberapa remaja penyandang tuna netra yang lain memandang dirinya secara negatif. Dalam hal ini peneliti tertarik ingin meneliti bagaimana sesungguhnya

self-concept pada remaja penyandang tunanetra usia 13-18 tahun di Panti sosial “X”

kota Bandung.

1.2 Identifikasi Masalah

Pada penelitian ini ingin diketahui bagaimana self-concept remaja penyandang tuna netra usia 13-18 tahun di Panti sosial “X” kota Bandung.

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian

Maksud penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran tentang

self-concept pada remaja penyandang tuna netra usia 13-18 tahun di Panti sosial “X”


(16)

Universitas Kristen Maranatha 1.3.2 Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui gambaran self-concept remaja penyandang tuna netra usia 13-18 tahun di Panti sosial “X” kota Bandung yang dilihat melalui interaksi dimensi internal dan eksternal.

1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoretis

• Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi bagi peneliti lain yang ingin meneliti lebih lanjut mengenai self-concept pada remaja penyandang tuna netra usia 13-18 tahun di Panti sosial “X” kota Bandung.

• Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tambahan bagi bidang ilmu Psikologi Perkembangan.

1.4.2 Kegunaan Praktis

• Memberikan informasi kepada remaja penyandang tuna netra mengenai

self-concept dalam rangka meningkatkan kepercayaan diri dalam bergaul

di lingkungan masyarakat.

• Memberikan informasi kepada Panti sosial “X” kota Bandung khususnya kepada ibu pendamping yang dapat dijadikan umpan balik untuk merencanakan program yang dapat meningkatkan self-concept pada remaja penyandang tuna netra di Panti sosial “X” kota Bandung.


(17)

1.5 Kerangka Pikir

Masa remaja merupakan masa transisi yang dilalui oleh semua manusia sebelum memasuki masa dewasa awal. Dalam masa ini remaja berkembang ke arah kematangan seksual, memantapkan identitas diri dan menghadapi tugas-tugas perkembangan yaitu mulai menanyakan mengenai identitas pada dirinya sendiri. Penilaian akan diri setiap remaja dapat berbeda-beda, tergantung penilaian yang mereka berikan untuk dirinya (Hurlock, 1994).

Sama halnya dengan remaja normal pada umumnya, remaja penyandang tuna netra juga mulai menanyakan mengenai identitas dirinya. Remaja tuna netra mengalami kerusakan atau gangguan pada indera penglihatan sehingga mereka tidak dapat melihat lingkungan di sekitarnya. Gangguan atau kerusakan yang terjadi pada mata akan sangat memengaruhi kehidupan remaja penyandang tuna netra termasuk memengaruhi self-concept. Remaja penyandang tuna netra dihadapkan pada suatu masalah yakni kondisi fisik yang mengalami kecacatan yaitu pada indera penglihatan sehingga mereka tidak dapat melihat. Kecacatan yang terjadi pada remaja penyandang tuna netra akan memengaruhi penilaian remaja penyandang tuna netra tersebut terhadap keadaan dirinya, hal ini juga yang terjadi pada remaja penyandang tuna netra yang berada di Panti sosial “X” kota Bandung. Remaja penyandang tuna netra sering mendapatkan diskriminasi dan stigma negatif dari masyarakat, oleh karena itu remaja penyandang tuna netra memiliki tantangan yang lebih besar lagi


(18)

Universitas Kristen Maranatha untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya. Keadaan tersebut cenderung memengaruhi bagaimana remaja penyandang tuna netra dapat mengenali, mempersepsi dan menghayati kondisi diri mereka atau dalam psikologi disebut dengan Self-concept.

Fitts (1971), mengatakan bahwa self-concept merupakan acuan penting yang menjadi indikator seseorang untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan guna menghadapi hambatan yang dialami individu.

Self-concept adalah penilaian seseorang tentang dirinya sendiri. Penilaian

diri ini menggambarkan sikap penolakan diri atau sikap penerimaan diri dan merupakan indikasi sejauh mana seseorang menganggap dirinya sebagai seseorang yang mampu atau berarti bagi orang lain. Self-concept tidak dibawa sejak lahir melainkan merupakan hasil proses pembentukan yang berlangsung sejak masa kanak-kanak berdasarkan pengolahan dari pengalaman yang didapat oleh individu melalui interaksinya dengan lingkungan terutama dengan keluarga.

Fitts membagi self-concept ke dalam dua dimensi pokok. Dua dimensi tersebut yaitu dimensi internal dan dimensi eksternal. Dimensi internal terdiri atas Identity self, Judging self dan Behavior self. Pertama, diri sebagai pelaku (Identity self) yaitu bagian dimensi internal dari diri yang paling mendasar. Konsep ini mempertanyakan “siapa saya?” yang didalamnya tercakup label-label atau symbol-simbol yang diberikan pada diri oleh individu yang bersangkutan untuk menggambarkan dirinya dan membangun identitasnya.


(19)

Kedua, diri sebagai pengamat dan penilai (Judging self) yaitu manusia cenderung untuk memberikan penilaian terhadap apa yang dipersepsikan. Selanjutnya, diri penilai ini lebih berperan menentukan apakah tindakan seseorang akan ditampilkan. Ketiga, diri sebagai pelaku (behavior self) yaitu penilaian seseorang terhadap tingkah lakunya atau caranya bertindak.

Dimensi kedua yaitu dimensi eksternal adalah penilaian yang timbul sebagai akibat interaksi individu dengan dunia luarnya, khususnya dalam hubungan interpersonal. Diri eksternal terdiri atas Physical self,

moral-ethical self, personal self, family self, dan social self. Pertama, diri

fisik (Physical self) menyangkut penilaian seseorang terhadap keadaan fisik, kesehatan, penampilan diri dan gerak motoriknya. Kedua, diri moral-etika (Moral-ethical self), hal ini menyangkut penilaian seseorang tentang dirinya ditinjau dari standar pertimbangan nilai-nilai moral dan etika yang meliputi batasan baik dan buruk, dan kepuasan seseorang dalam hubungannya dengan Tuhan. Ketiga, diri personal (Personal self) merupakan penilaian individu terhadap nilai-nilai pribadi, terlepas dari keadaan fisik dan hubungannya dengan orang lain dan sejauhmana merasa adekuat sebagai pribadi. Keempat, diri keluarga (Family self) merupakan penilaian diri individu sebagai anggota keluarga. Penilaian ini merujuk kepada seberapa jauh seseorang merasa dekat, dan kuat hubungannya terhadap dirinya sebagai anggota keluarga, tehadap peran maupun fungsi yang dijalankan selaku anggota keluarga. Kelima, diri sosial (Social self)


(20)

Universitas Kristen Maranatha yaitu bagian diri ini merupakan penilaian individu terhadap dirinya dalam berinteraksi dengan orang lain dalam lingkungan yang lebih luas.

Dimensi self-concept internal dan eksternal ini berinteraksi menjadi satu keseluruhan yang dinamis dan menyatu, sehingga membentuk 15 sub dimensi yaitu : physical identity, physical behavior,

physical judging, etichal identity, etichal behavior, moral-etichal judging, personal identity, personal behavior, personal judging, family identity, family behavior, family judging, social identity, social behavior, social judging.

Physical identity merupakan persepsi mengenai gambaran remaja

penyandang tuna netra tentang keadaan dirinya secara fisik. Physical

behavior merupakan persepsi mengenai perilaku remaja penyandang tuna

netra untuk menjaga penampilan dan kesehatan. Physical judging merupakan penilaian remaja penyandang tuna netra terhadap penampilan dirinya yang akan menentukan kepuasan remaja penyandang tuna netra akan dirinya dan seberapa jauh remaja penyandang tuna netra akan menerima dirinya. Remaja telah mengalami masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa remaja. Ia akan menghayati bahwa penampilan fisik merupakan hal yang penting. Selain itu bila orang–orang di lingkungan sekitarnya memberikan perhatian, remaja penyandang tuna netra akan menghayati gambaran fisiknya seperti tubuh saya menarik, kemudian ia akan menilai mengenai penampilan dirinya dengan mempertanyakan apakah saya seorang yang berpenampilan menarik yang selanjutnya ia


(21)

ingin menjaga penampilan dan kesehatan fisiknya. Remaja penyandang tuna netra yang mempersepsi bahwa dirinya lebih menerima dan berusaha merawat keadaan fisiknya walaupun memiliki keterbatasan penglihatan karena didukung oleh orang–orang yang ada di sekitarnya, menunjukan

self-concept yang cenderung positif. Sedangkan remaja penyandang tuna

netra yang mempersepsi keadaan fisiknya serba kekurangan dan tidak dapat menerima keadaan fisiknya, dapat menjadi rendah diri dan menarik diri untuk bergaul. Hal tersebut menunjukan self-concept yang cenderung negatif.

Moral-etichal identity merupakan persepsi tentang gambaran

remaja penyandang tuna netra mengenai nilai–nilai moral dan etika yang dipegangnya. Moral-etichal behavior merupakan persepsi mengenai perilaku remaja penyandang tuna netra untuk menjaga nilai–nilai moral dan etika yang dipegangnya. Moral-etichal judging merupakan penilaian remaja penyandang tuna netra tentang nilai – nilai moral dan etika yang dipegangnya, yang akan menentukan seberapa jauh remaja penyandang tuna netra akan menerima dirinya. Remaja penyandang tuna netra akan menghayati bahwa nilai–nilai moral penting untuk dipegang. Selain itu bila orang–orang di lingkungan sekitarnya memberikan contoh nilai–nilai moral dan etika, remaja penyandang tuna netra akan menghayati nilai– nilai moral dan etika yang ia pegang kemudian akan menilai moral yang dimilikinya, selanjutnya akan berusaha memperbaiki perbuatan-perbuatan yang dianggapnya salah atau tidak baik. Remaja penyandang tuna netra


(22)

Universitas Kristen Maranatha yang mempersepsi bahwa dirinya dapat menunjukan usaha untuk mengambil hikmah dari musibah yang dialaminya cenderung menunjukan

self-concept yang positif, sedangkan remaja penyandang tuna netra yang

mempersepsi dirinya tidak diajarkan mengenai nilai–nilai moral dan etika oleh orang–orang yang ada di sekitarnya dan menyalahkan Tuhan atau orang lain atas apa yang telah terjadi pada dirinya serta kurang memahami akan pentingnya nilai – nilai moral dan etika cenderung akan memiliki

self-concept yang negatif.

Personal identity merupakan persepsi mengenai gambaran dewasa

awal tentang keadaan kepribadiannya. Personal behavior merupakan persepsi mengenai perilaku remaja penyandang tuna netra untuk dapat mengendalikan dirinya. Personal judging merupakan penilaian remaja penyandang tuna netra tentang keadaan kepribadiannya yang akan menentukan kepuasan seseorang akan dirinya dan seberapa jauh seseorang akan menerima dirinya. Remaja penyandang tuna netra akan menghayati bahwa keadaan kebribadian merupakan hal yang penting. Selain itu bila orang–orang di lingkungan sekitarnya memberikan perhatian kepadanya, remaja penyandang tuna netra akan menghayati gambaran kepribadiannya, kemudian ia akan menilai mengenai pribadinya yang selanjutnya ingin dapat mengendalikan diri dan menjaga dalam segala situasi. Remaja penyandang tuna netra yang mempersepsi bahwa dirinya dapat menunjukan kelebihan dan mengimbangi kekurangan dirinya, dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan cenderung memiliki self-concept


(23)

positif, sebaliknya remaja penyandang tuna netra yang sulit menerima kekurangan dirinya yang memiliki cacat netra cenderung memiliki

self-concept yang negatif.

Family identity merupakan persepsi mengenai gambaran remaja

penyandang tuna netra tentang dirinya sebagai anggota keluarga. Family

behavior merupakan persepsi mengenai perilaku remaja penyandang tuna

netra untuk mencintai dan menjaga keluarganya. Family judging merupakan penilaian remaja penyandang tuna netra terhadap dirinya sebagai anggora keluarga yang menentukan kepuasan seseorang akan dirinya dan seberapa jauh seseorang akan menerima dirinya. Remaja penyandang tuna netra akan menghayati bahwa dirinya sebagai anggota keluarga itu merupakan hal yang penting. Selain itu bila orang–orang yang ada di sekitarnya seperti ayah, ibu, kakak/adik menerima dirinya sebagai anggota keluarga maka ia akan menilai bahwa dirinya diterima sebagai anggota keluarga, selanjutnya ia ingin mencintai dan menjaga keluarganya. Remaja penyandang tuna netra yang mempersepsi bahwa dirinya dapat menjalin hubungan harmonis dengan keluarga dan saudara– saudaranya, juga merasa dirinya tetap berharga walaupun memiliki banyak kekurangan cenderung memiliki self-concept yang positif. Sedangkan remaja penyandang tuna netra yang mempersepsi dirinya kurang dapat menciptakan, membina hubungan yang harmonis, cenderung menarik diri bahkan menjauhi keluarganya, dan merasa malu menjadi bagian dari keluarganya cenderung memiliki self-concept yang negatif.


(24)

Universitas Kristen Maranatha

Social identity merupakan persepsi remaja penyandang tuna netra

tentang dirinya dalam berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Social

behavior merupakan persepsi mengenai perilaku remaja penyandang tuna

netra untuk mampu memahami orang lain dan menyesuiakan diri terhadap lingkungan. Social judging merupakan penilaian remaja penyandang tuna netra terhadap dirinya dalam berinteraksi dengan lingkungan yang akan menentukan kepuasan seseorang akan dirinya dan seberapa jauh seseorang akan menerima dirinya. Remaja penyandang tuna netra akan menghayati dirinya dalam berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Selain itu bila orang–orang yang ada di lingkungan sekitarnya mendukung untuk bergabung dan menyuruhnya untuk tidak mengurung diri, remaja penyandang tuna netra akan menghayati dirnya sebagai bagian dari lingkunganya kemudian ia akan menilai mengenai sebarapa jauh kedudukan dirinya dalam lingkungan sosial yang selanjutnya ia ingin dapat memahami orang lain dan menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Remaja penyandang tuna netra yang mempersepsi bahwa dirinya tidak mengalami kesulitan untuk berinteraksi dengan lingkungannya cenderung menunjukan self-concept yang positif, sebaliknya remaja penyandang tuna netra yang merasa rendah diri dan membuatnya sulit untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya cenderung memiliki self-concept yang negatif.

Fitts (1971) mengemukakan faktor–faktor yang memengaruhi


(25)

Pengalaman yaitu bagaimana lingkungan mempersepsi individu terutama pengalaman interpersonal yang dapat meningkatkan perasaan-perasaan positif yang berharga. Hal ini juga dikemukakan oleh Lynch (1968, dalam Fitts, 1971:79), menurutnya remaja penyandang tuna netra yang memiliki

self-concept yang positif sebenarnya juga pernah mengalami pengalaman

yang negatif, namun hal tersebut dapat menambah wawasan dirinya dan dijadikan pelajaran ke depannya. Sedangkan Remaja penyandang tuna netra yang memiliki self-concept yang negatif biasanya dikarenakan banyaknya pengalaman negatif yang dialaminya dan hal tersebut membuat mereka menutup diri dari kehidupan. Remaja penyandang tuna netra yang hidup di lingkungan (orang tua, guru, ibu pendamping, teman-teman, masyarakat) yang mendukung dirinya cenderung akan memiliki

self-concept yang positif. Sebaliknya remaja penyandang tuna netra yang hidup

di lingkungan yang kurang memberikan dukungan menyebabkan remaja penyandang tuna netra merasa rendah diri dengan kecacatannya, cenderung akan memiliki self-concept negatif.

Aktualisasi diri merupakan upaya untuk merealisasikan potensi-potensi individu. Kata aktualisasi mengacu pada proses untuk membuat sesuatu menjadi nyata atau proses mengimplementasikan potensi yang dimiliki individu dalam kehidupan nyata. Umpan balik dari lingkungan, baik itu positif atau negatif sangatlah memengaruhi penilaian remaja penyandang tuna netra terhadap dirinya. Remaja penyandang tuna netra yang memiliki kesempatan untuk mengaktualisasikan potensi yang


(26)

Universitas Kristen Maranatha dimilikinya akan memiliki self-concept yang positif. Sebaliknya remaja penyandang tuna netra yang tidak memiliki kesempatan untuk mengaktualisasikan potensi yang dimilikinya akan memiliki self-concept yang negatif. Aktualisasi diri yang dapat dilakukan oleh remaja penyandang tuna netra adalah dengan merealisasikan minat dan bakat yang dimiliki dalam kehidupan sehari-hari dan diharapkan dapat membantu remaja penyandang tuna netra dalam menempuh masa depannya.

Kompetensi merupakan kemampuan yang dinilai remaja penyandang tuna netra atau orang lain dalam bidang-bidang tertentu yang ditampilkan sehingga mendapat penghargaan atau pengakuan dari orang lain. Reaksi dari orang lain, baik itu positif atau negatif akan mendatangkan suatu konsekuensi tertentu bagi diri remaja penyandang tuna netra. Apabila orang lain bersikap meremehkan kemampuan yang dimiliki remaja penyandang tuna netra, hal tersebut akan membawa dampak yang cukup besar bagi self-concept remaja penyandang tuna netra. Remaja penyandang tuna netra dengan keahlian dalam bidang tertentu seperti bermain musik, bernyanyi, membuat kerajinan, dapat memiliki

self-concept yang positif karena dengan keahlian tersebut remaja penyandang

tuna netra dapat mengembangkan dirinya secara optimal walaupun memiliki kecacatan sehingga dapat terjun ke masyarakat dan tidak menjadikan kecacatan fisiknya sebagai alasan yang menghambat dirinya. Sebaliknya remaja penyandang tuna netra yang kurang memiliki keahlian tertentu cenderung menunjukan penerimaan diri dan self-concept yang


(27)

negatif dibandingkan dengan remaja penyandang tuna netra yang memiliki keahlian tertentu.

Remaja penyandang tuna netra dengan self-concept yang positif akan memandang diri secara positif, memandang dirinya berharga, disukai dan diterima oleh lingkungan, yakin akan kemampuannya menyelesaikan masalah, serta optimistis dalam memandang masa depannya. Sedangkan remaja penyandang tuna netra dengan self-concept yang negatif akan memandang dirinya secara negatif, merasa dirinya tidak berarti dan ditolak oleh lingkungan, merasa gagal dalam menyelesaikan masalahnya serta pesimistis memandang masa depannya.

Untuk lebih memudahkan pemahaman uraian diatas, disajikan dalam bentuk bagan seperti dibawah ini :


(28)

Universitas Kristen Maranatha Bagan 1.5.1 Kerangka Pemikiran

1. 6 Asumsi

Self-concept terdiri atas dimensi internal yaitu Identity Self, Behavioral Self, Judging Self dan dimensi eksternal yaitu Physical Self, Moral-Etichal Self, Personal Self, Family Self, Social Self.

Eksternal Internal Physical Self Moral-Ethical Self Personal Self Family Self Social Self

Identity Self Physical identity Moral-etichal identity Personal identity Family identity Social identity Behavior Self Physical

behavior Moral-etichal behavior Personal behavior Family behavior Social behavior Judging Self Physical

judging Moral-etichal judging Personal judging Family judging Social judging Remaja penyandang tuna netra usia 13-18 tahun di Panti sosial “X” kota Bandung

Positif

Self-concept

Negatif Faktor yang memengaruhi

self concept :

1. Pengalaman 2. Aktualisasi diri 3. Kompetensi


(29)

• Dimensi internal dan eksternal tersebut berinteraksi menjadi 15 sub dimensi yaitu physical identity, physical behavior, physical

judging, etichal identity, etichal behavior, moral-etichal judging, personal identity, personal behavior, personal judging, family identity, family behavior, family judging, social identity, social behavior, social judging.

• Pembentukan self-concept dipengaruhi oleh pengalaman, aktualisasi diri dan kompetensi.

• Setiap remaja penyandang tuna netra usia 13-18 tahun di Panti sosial “X” kota Bandung dapat memiliki penilaian diri yang positif atau negatif.


(30)

80

Universitas Kristen Maranatha KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh melalui pengolahan data mengenai self-concept terhadap 46 orang remaja penyandang tuna netra usia 13-18 tahun di Panti sosial “X” kota Bandung, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :

1. Lebih banyak remaja penyandang tuna netra di Panti sosial “X” kota Bandung memiliki self-concept negatif.

2. Lebih banyak remaja penyandang tuna netra memiliki nilai yang positif pada setiap subdimensi dari interaksi dimensi internal dan dimensi eksternal, yaitu Physical judging, Physical behavior,

Moral-ethical identity, Moral-Moral-ethical judging, Moral-Moral-ethical behavior, Personal identity, Personal judging, Family identity, Family judging, Social identity, dan Social judging. Sedangkan nilai dari interaksi

dimensi-dimensi self-concept yang bernilai negatif hanya terdapat pada

Physical identity, Personal behavior, Family behavior dan Social behavior yang bernilai negatif.

3. Tidak ada kaitan antara self-concept dengan faktor pengalaman, aktualisasi diri maupun kompetensi yang dimiliki.


(31)

5.2 Saran

Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dikemukakan sebelumnya maka peneliti mengajukan berapa saran, yaitu :

5.2.1 Saran Teoritis

Pada penelitian ini ditemukan bahwa tidak ada kaitan antara self-concept dan faktor-faktor yang memengaruhinya (pengalaman, aktualisasi diri dan kompetensi) yang tidak sesuai dengan teori dari Fitts yang mengatakan bahwa ada kaitan antara faktor-faktor dengan self-concept, oleh karena itu penelitian selanjutnya disarankan untuk menguji hubungan antara self-concept dan faktor-faktor yang memengaruhi dengan memperhatikan cakupan indikator pada alat ukur.

 Peneliti selanjutnya disarankan untuk memilih karakteristik sampel yang lebih spsesifik jenis tuna netranya.

5.2.1 Saran Praktis

• Memberikan informasi bagi remaja penyandang tuna netra mengenai self-concept dalam rangka meningkatkan kepercayaan diri dalam bergaul di lingkungan masyarakat.

• Memberikan informasi kepada Panti sosial “X” kota Bandung, khususnya kepada ibu pendamping yang dapat dijadikan umpan balik untuk merencanakan program yang dapat meningkatkan

self-concept pada remaja penyandang tuna netra usia 13-18 tahun di


(32)

82

Universitas Kristen Maranatha Fitts, William H. 1971. The Self Concept And Self – Actulization. Los Angeles,

California : Western Psychological Services.

Friedenberg, L. 1995. Psychological Testing Design, Analysis, and Use. USA: Allyn dan Bacon.

Hurlock, Elizabeth E. (1994). Psikologi Perkembangan (Terjemahan) Edisi ke 5. Jakarta : Penerbit Erlangga.

Kaplan, R. M, & Saccuzzo, D. P. 2005. Psychological Testing: Principle,

applications, and issues (edition 6�ℎ). Belmont. Thomson Wadsworth. Nazir, M. 1988 Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia

Siegel, S. 1997. Statistic Nonparametrik untuk ilmu-ilmu sosial. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.

Sugiyono. 2005. Metode Penelitian Pendidikan pendekatan kuantitatif, kualitatif,


(33)

Penyandang cacat (http://ngada.org/004-1997bt.htm, diakses 20 februari 2013) Tuna netra (http://Psychologymania.com/, diakses 20 februari 2013)

Zaky (2012). “Studi deskriptif mengenai self concept pada lesbian di kota Bandung”. Universitas Kristen Maranatha.


(1)

Bagan 1.5.1 Kerangka Pemikiran

1. 6 Asumsi

Self-concept terdiri atas dimensi internal yaitu Identity Self,

Behavioral Self, Judging Self dan dimensi eksternal yaitu Physical Self, Moral-Etichal Self, Personal Self, Family Self, Social Self. Eksternal Internal Physical Self Moral-Ethical Self Personal Self Family Self Social Self

Identity Self Physical identity Moral-etichal identity Personal identity Family identity Social identity Behavior Self Physical

behavior Moral-etichal behavior Personal behavior Family behavior Social behavior Judging Self Physical

judging Moral-etichal judging Personal judging Family judging Social judging Remaja penyandang tuna netra usia 13-18 tahun di Panti sosial “X” kota Bandung

Positif

Self-concept

Negatif Faktor yang memengaruhi

self concept : 1. Pengalaman 2. Aktualisasi diri 3. Kompetensi


(2)

22

• Dimensi internal dan eksternal tersebut berinteraksi menjadi 15 sub dimensi yaitu physical identity, physical behavior, physical judging, etichal identity, etichal behavior, moral-etichal judging, personal identity, personal behavior, personal judging, family identity, family behavior, family judging, social identity, social behavior, social judging.

• Pembentukan self-concept dipengaruhi oleh pengalaman, aktualisasi diri dan kompetensi.

• Setiap remaja penyandang tuna netra usia 13-18 tahun di Panti sosial “X” kota Bandung dapat memiliki penilaian diri yang positif atau negatif.


(3)

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh melalui pengolahan data mengenai self-concept terhadap 46 orang remaja penyandang tuna netra usia 13-18 tahun di Panti sosial “X” kota Bandung, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :

1. Lebih banyak remaja penyandang tuna netra di Panti sosial “X” kota Bandung memiliki self-concept negatif.

2. Lebih banyak remaja penyandang tuna netra memiliki nilai yang positif pada setiap subdimensi dari interaksi dimensi internal dan dimensi eksternal, yaitu Physical judging, Physical behavior, Moral-ethical identity, Moral-Moral-ethical judging, Moral-Moral-ethical behavior, Personal identity, Personal judging, Family identity, Family judging, Social identity, dan Social judging. Sedangkan nilai dari interaksi dimensi-dimensi self-concept yang bernilai negatif hanya terdapat pada Physical identity, Personal behavior, Family behavior dan Social behavior yang bernilai negatif.

3. Tidak ada kaitan antara self-concept dengan faktor pengalaman, aktualisasi diri maupun kompetensi yang dimiliki.


(4)

81

5.2 Saran

Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dikemukakan sebelumnya maka peneliti mengajukan berapa saran, yaitu :

5.2.1 Saran Teoritis

Pada penelitian ini ditemukan bahwa tidak ada kaitan antara self-concept dan faktor-faktor yang memengaruhinya (pengalaman, aktualisasi diri dan kompetensi) yang tidak sesuai dengan teori dari Fitts yang mengatakan bahwa ada kaitan antara faktor-faktor dengan self-concept, oleh karena itu penelitian selanjutnya disarankan untuk menguji hubungan antara self-concept dan faktor-faktor yang memengaruhi dengan memperhatikan cakupan indikator pada alat ukur.

 Peneliti selanjutnya disarankan untuk memilih karakteristik sampel yang lebih spsesifik jenis tuna netranya.

5.2.1 Saran Praktis

• Memberikan informasi bagi remaja penyandang tuna netra mengenai self-concept dalam rangka meningkatkan kepercayaan diri dalam bergaul di lingkungan masyarakat.

• Memberikan informasi kepada Panti sosial “X” kota Bandung, khususnya kepada ibu pendamping yang dapat dijadikan umpan balik untuk merencanakan program yang dapat meningkatkan self-concept pada remaja penyandang tuna netra usia 13-18 tahun di Panti sosial “X” kota Bandung.


(5)

Friedenberg, L. 1995. Psychological Testing Design, Analysis, and Use. USA: Allyn dan Bacon.

Hurlock, Elizabeth E. (1994). Psikologi Perkembangan (Terjemahan) Edisi ke 5. Jakarta : Penerbit Erlangga.

Kaplan, R. M, & Saccuzzo, D. P. 2005. Psychological Testing: Principle,

applications, and issues (edition 6�ℎ). Belmont. Thomson Wadsworth.

Nazir, M. 1988 Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia

Siegel, S. 1997. Statistic Nonparametrik untuk ilmu-ilmu sosial. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.

Sugiyono. 2005. Metode Penelitian Pendidikan pendekatan kuantitatif, kualitatif, dan R&D. Bandung: CV. Alfabeta


(6)

DAFTAR RUJUKAN

Panti Sosial Bina Netra Wiyata Guna (http://Wyataguna.depsos.go.id/)

Penyandang cacat (http://ngada.org/004-1997bt.htm, diakses 20 februari 2013) Tuna netra (http://Psychologymania.com/, diakses 20 februari 2013)

Zaky (2012). “Studi deskriptif mengenai self concept pada lesbian di kota Bandung”. Universitas Kristen Maranatha.