PENGATURAN BAGI PEDAGANG KAKI LIMA BERDASARKAN PERATURAN DAERAH KOTA DENPASAR NOMOR 3 TAHUN 2000.

(1)

SKRIPSI

PENGATURAN BAGI PEDAGANG KAKI LIMA

BERDASARKAN PERATURAN DAERAH KOTA

DENPASAR NOMOR 3 TAHUN 2000

DESAK NYOMAN OXSI SELINA NIM. 1216051047

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

PENGATURAN BAGI PEDAGANG KAKI LIMA

BERDASARKAN PERATURAN DAERAH KOTA

DENPASAR NOMOR 3 TAHUN 2000

Skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada

Fakultas Hukum Universitas Udayana

DESAK NYOMAN OXSI SELINA NIM. 1216051047

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(3)

(4)


(5)

(6)

KATA PENGANTAR

Om Swastyastu.

Dengan memanjatkan puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa dan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, atas berkat, rahmat serta karunia NYA, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul " PENGATURAN BAGI PEDAGANG KAKI LIMA BERDASARKAN PERATURAN DAERAH KOTA DENPASAR NOMOR 3 TAHUN 2000". Skripsi ini disusun dalam rangka untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Pembuatan skripsi ini tidak akan terselesaikan dengan baik tanpa adanya dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Penulis tak lupa mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini baik berupa bimbingan, arahan, saran dan dukungan teknis maupun moril. Pada kesempatan ini penulis ingin meyampaikan ucapan terima kasih setulus-tulusnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH.,MH, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana.

2. Bapak I Ketut Sudiarta, SH.,MH, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Udayana.

3. Bapak I Wayan Bela Siki Layang, SH.,MH, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Udayana.

4. Bapak I Wayan Suardana, SH.,MH, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Udayana.


(7)

5. Bapak Anak Agung Gede Oka Parwata. SH..Msi, selaku Ketua Program Ekstensi Fakultas Hukum Universitas Udayana.

6. Bapak Anak Agung Ketut Sukranatha, SH..MH. selaku Sekretaris Program Ekstensi Fakultas Hukum Universitas Udayana.

7. Bapak Prof. Dr. Ibrahim R., SH., MH, selaku Pembimbing I yang memberikan bimbingan serta wawasan lebih luas kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.

8. Bapak I Ketut Suardita, SH., MH. selaku Pembimbing II yang telah banyak memberikan arahan dan telah menyediakan waktunya untuk membimbing. 9. Ibu I Gusti Agung Ayu Dike Widhyaastuti, SH., MH, selaku Pembimbing

Akademik yang sabar dan penuh tanggung jawab membimbing selama menempuh perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

10. Bapak/Ibu dosen pengajar di Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah banyak memberikan ilmu pengetahuan kepada saya selama mengikuti perkuliahan.

11. Bapak/Ibu pegawai Laboratorium, Perpustakaan, Tata Usaha yang telah memberikan bantuan dalam hal administrasi selama mengikuti perkuliahan dan penyusunan Skripsi ini.

12. Orang tua tercinta beserta seluruh keluarga besar penulis yang penuh kesabaran, pengorbanan, dukungan, perhatian dan terus menemani serta memberikan semangat dalam penyusunan Skripsi ini.


(8)

13. Sahabat terkasih Dewa Gede Darma Yuda, SH yang telah menemani dan memberikan dukungan dalam penyusunan skripsi ini.

14. Sahabat serta teman-teman saya yang tidak dapat namanya disebutkan satu persatu yang selalu memberikan dukungan dalam penyusunan Skripsi ini.

Semoga segala kebaikan, bantuan serta petunjuk dari Bapak/Ibu, kawan-kawan dan saudara sekalian mendapatkan pahala dari Tuhan Yang Maha Esa dan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Akhir kata, apabila ada kekurangan didalam skripsi ini mohon dimaafkan dan besar harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Om Santhi, Santhi, Santhi, Om.

Denpasar, Februari 2016

(Desak Nyoman Oxsi Selina)

NIM. 1216051047


(9)

PENGATURAN BAGI PEDAGANG KAKI LIMA BERDASARKAN PERATURAN DAERAH KOTA DENPASAR

NOMOR 3 TAHUN 2000 ABSTRAK

Salah satu kegiatan yang berpotensi menimbulkan gangguan terhadap kebersihan dan ketertiban umum di Kota Denpasar adalah Pedagang Kaki Lima. Beberapa kegiatan PKL menggangu ketertiban umum misalnya mereka berjualan di areal trotoar yang merupakan fasilitas umum sehingga menghalangi pejalan kaki yang hendak menggunakan trotoar dan juga mereka berjualan di area badan jalan sehingga para pengendara mobil dan sepeda motor merasa terganggu dengan kegiatan mereka sehingga terjadi kemacetan lalu lintas.

Dari apa yang telah dikemukakan dalam latar belakang diatas, yang menjadi pokok bahasan di dalam penulisan skripsi ini adalah bagaimanakah pengaturan dan penataan bagi pedagang kaki lima di Kota Denpasar? dan bagaimanakah penegakan hukum dan kewenangan penertiban pedagang kaki lima di Kota Denpasar? Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaturan dan penataan bagi pedagang kaki lima di Kota Denpasar dan untuk mengetahui penegakan hukum dan kewenangan penertiban pedagang kaki lima di Kota Denpasar.

Jenis penelitian yang dipergunakan adalah penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan. Sumber bahan hukum yang dipergunakan adalah hukum primer, sekunder dan tersier, sedangkan teknik analisis bahan hukum mempergunakan cara deskriptif analis dan menyesuaikan dengan argumen hukum.

Pengaturan terhadap pedagang kaki lima di Kota Denpasar diatur dalam Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 3 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 15 Tahun 1993 tentang Kebersihan Dan Ketertiban Umum Di Kota Denpasar, namun di dalam Perda tidak dijelaskan dimana seharusnya tempat untuk mereka berjualan. Mengenai penataan pedagang kaki lima di Kota Denpasar tidak di atur dalam Perda Kota Denpasar Nomor 3 Tahun 2000 tersebut. Dalam Perda hanya mengatur mengenai pengertian, larangan dan sanksi pidana bagi Pedagang kaki lima namun tidak memberikan solusi terhadap berbagai masalah yang timbul akibat keberadaan pedagang kaki lima. Penegakan hukum bagi pedagang kaki lima di Kota Denpasar pada dasarnya ada dua bentuk upaya penegakan hukum yang dilakukan terhadap pedagang kaki lima yaitu upaya preventif dan upaya represif. Diharapkan untuk merevisi kembali Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 3 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 1993 disamping itu Satpol PP dalam melaksanakan penertiban juga harus lebih memperhatikan hak-hak pedagang kaki lima, sehingga tidak terjadinya konflik atau bentrokan. Diharapkan ke pada pemerintah Kota Denpasar melalui PD Pasar Kota Denpasar dapat menyediakan lokasi atau lahan khusus untuk tempat berjualan bagi para pedagang kaki lima yang mudah dijangkau masyarakat dan transportasi umum.

Kata kunci : Pedagang Kaki Lima, Penataan, Penegakan Hukum ix


(10)

PENGATURAN BAGI PEDAGANG KAKI LIMA BERDASARKAN PERATURAN DAERAH KOTA DENPASAR

NOMOR 3 TAHUN 2000 ABSTRACT

One of activities that have potency can arise bother on clean and public order at Denpasar city is street-seller. Some of street-seller that bother public order for example bother pedestrian who will to use trotoar and also they sell at street side so that the driver motorcycle and car fell disturbed by their activity so that make traffic jam.

From above background hence arise main issues in this study as follows how is arrangement of law enforcement and authority of policing of street seller at Denpasar city? This study aims to find out arrangement of law enforcement and authority of policing of street seller at Denpasar city.

This study was used normative law by using statue approach. Source of law was used primary, secondary and tertier law. While analisys technique of law material by using descriptive manner and adjusted by law argument.

Setting for the seller street at Denpasar city arranged in local regulation of

Denpasar city Number 3 in 2000 on change of local regulation of Denpasar city

Number 15 in 1993 on clean and public order at Denpasar city, but in local regulation do not explained that where they must to sell? On arragnement of street seller at Denpasar city not yet arranged in local regulation in Denpasar city Number 3 in 2000. in this local regulation just only arrange on understanding, prohibition and criminal sanction for the street seller but dont give solution toward the issue arised as result of existency of street seller. Enforcement of law for the street seller at Denpasar city basically there are two efforts of law enforcement has been conducted for the street seller as follows preventive and represive effort. It will be expected to re-revise of local regulation of Denpasar city Number 3 in 2000 on change of local regulation number 15 in 1993 beside that police civil in implementation of order should more attention on rights of street seller, so that will not occur conflict. Hoped the government of Denpasar city through PD Pasar Denpasar city able to provede location or special place for selling for the street seller and it easy to reach by public and public transportation.

Keywords: street seller, arrangement, law enforcemen.


(11)

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL DALAM ... i

HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA ... ii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

HALAMAN PENGESAHAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI ... iv

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ... v

KATA PENGANTAR ... vi

ABSTRAK ... ix

ABSTRACT ... x

DAFTAR ISI ... xi

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 6

1.3 Ruang Lingkup Masalah ... 7

1.4 Orisinalitas Penelitian ... 7

1.5 Tujuan Penelitian ... 8

1.5.1 Tujuan Umum ... 8

1.5.2 Tujuan Khusus ... 8

1.6 Manfaat Penelitian ... 9

1.6.1 Manfaat Teoritis ... 9

1.6.2 Manfaat Praktis ... 9

1.7 Landasan Teoritis ... 9


(12)

1.8 Metode Penelitian... 16

1.8.1 Jenis Penelitian ... 16

1.8.2 Jenis Pendekatan ... 17

1.8.3 Sumber Bahan Hukum ... 17

1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ... 18

1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum ... 19

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PEMERINTAH DAERAH, PENEGAKAN HUKUM, DAN PEDAGANG KAKI LIMA ... 20

2.1 Pemerintah Daerah Dalam Kerangka Otonomi Daerah ... 20

2.2 Peraturan Daerah ... 23

2.3 Penegakan Hukum ... 25

2.4 Pengertian Pedagang Kaki Lima ... 27

BAB III PENGATURAN DAN PENATAAN BAGI PEDAGANG KAKI LIMA DI KOTA DENPASAR ... 30

3.1 Pengaturan Bagi Pedagang Kaki Lima di Kota Denpasar ... 30

3.2 Penataan Pedagang Kaki Lima di Kota Denpasar... 36

3.3 Perlindungan Hukum bagi Pedagang Kaki Lima ... 37

BAB IV PENEGAKAN HUKUM DAN KEWENANGAN PENERTIBAN PEDAGANG KAKI LIMA DI KOTA DENPASAR ... 42

4.1 Penegakan Hukum Bagi Pedagang Kaki Lima di Kota Denpasar ... 42


(13)

4.2 Kewenangan Penertiban Pedagang Kaki Lima di Kota

Denpasar ... 50

BAB V PENUTUP ... 55

5.1 Kesimpulan ... 55

5.2 Saran ... 57

DAFTAR PUSTAKA ... 59


(14)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 ayat ( 3 ) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu segala tindakan dan kewenangan pemerintah harus berdasarkan atas hukum. Dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah sesuai dengan amanat Pasal 18 Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka pemerintah daerah diberi kesempatan untuk mengurus sendiri urusan pemerintahan sesuai dengan otonomi dan tugas pembantuan. Pelaksanaannya dilakukan melalui tugas pemerintah dan tugas pembangunan yang memerlukan suatu sistem administrasi pemerintah di daerah. Dalam Undang-Undang Dasar Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 pada BAB VI diatur dalam Pasal 18 tentang Pemerintahan Daerah, dijelaskan bahwa:

(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah

provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan Undang-Undang.

(2) Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan

mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

(3) Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.

(4) Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala

pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.

(5) Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali

urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat.

1 xiii


(15)

2

(6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan

peraturan-peraturan lainnya untuk melaksanakan otonomi dan tugas-tugas pembantuan.

(7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintah daerah diatur

dalam undang-undang.

Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maka pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Pasal 1 ayat ( 2 ) Undang-Undang No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pemerintah daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana yang dimaksud dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Selain itu tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan daerah, terutama dalam pelaksanaan pembangunan dan pelayanan terhadap masyarakat

serta untuk meningkatkan pembinaan kesetabilan politik dan kesatuan bangsa.1

Dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, disebutkan bahwa Otonomi Daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan

1

Sujamto, 1990, Otonomi Daerah Yang Nyata Dan Bertanggung Jawab, Cet. Kedua Ghalia Indonesia, Jakarta, hal 22.


(16)

3

pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Program pembangunan di daerah dalam era otonomi yang nyata, memberi pengertian adanya perubahan orientasi pelaksanaan pembangunan yang harus

dikelola dengan prinsip dan mekanisme yang profesional.2

Seiring dengan perjalanan dan perkembangan sistem pemerintahan daerah, pemerintah Kota Denpasar sebagai pemerintah di daerah bersekala kota menyelenggarakan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat. Bagi Kota Denpasar yang merupakan kota yang berwawasan budaya yang menjadi pusat kegiatan ekonomi, pemerintahan, dan pariwisata maka sudah tentu sangat memperhatikan masalah keamanan dan ketertiban lingkungannya. Salah satu masalah yang berkaitan dengan hal itu adalah keberadaan PKL dibeberapa tempat di wilayah Kota Denpasar yang cukup menjadi sorotan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum karena belum mendapat perlindungan hukum yang jelas dan penataan yang baik, meskipun sudah ada peraturan daerah yang mengatur hal tersebut.

Salah satu kegiatan yang berpotensi menimbulkan gangguan terhadap kebersihan dan ketertiban umum di Kota Denpasar adalah Pedagang Kaki Lima. Beberapa kegiatan PKL menggangu ketertiban umum misalnya mereka berjualan di areal trotoar yang merupakan fasilitas umum sehingga menghalangi pejalan kaki yang hendak menggunakan trotoar dan juga mereka berjualan di area badan jalan sehingga para pengendara mobil dan sepeda motor merasa terganggu dengan kegiatan mereka sehingga terjadi kemacetan lalu lintas.

2

Jiwa Atmaja, 2002, Otonomi Daerah Bali Kendala dan Harapan, Ikayana & Tabloid Taksu, Denpasar, hal. 174.


(17)

4

Dalam Pasal 1 huruf s Peraturan Daerah No 3 Tahun 2000 tentang perubahan atas Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 15 Tahun 1993 tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum di Kota Denpasar menegaskan bahwa yang dimaksud dengan pedagang kaki lima adalah pedagang yang dalam melakukan kegiatan usahanya, menjual maupun menjajakan barang dagangannya dengan cara berkeliling maupun menetap pada suatu lokasi yang bersifat sementara. Keberadaan PKL di Kota Denpasar memang membawa pengaruh di berbagai bidang kehidupan. Makin beragamnya jenis usaha yang dilakukan oleh PKL maka sampah dan limbah yang dihasilkan juga akan bertambah, sehingga tingkat pencemaran lingkungan akan semakin tinggi. Namun disisi lain kegiatan para PKL ternyata memberikan kontribusi yang besar dalam aktivitas ekonomi terutama dalam golongan ekonomi lemah.

Berkembangnya PKL dipicu oleh gagalnya pemerintah membangun ekonomi yang terlihat dari rendah dan lambatnya pertumbuhan ekonomi, tidak berkembangnya usaha-usaha di sektor riil yang pada akhirnya menyebabkan meningkatnya jumlah pengangguran. Meskipun tidak seperti kota-kota besar di Indonesia dimana penertiban PKL banyak di sorot pemerintah setempat untuk menjaga kebersihan dan ketertiban umum, namun di Kota Denpasar seharusnya mulai memperhitungkan keberadaan PKL dimana pengaturan, penataan, serta penegakan hukum bagi pedagang kaki lima sangatlah penting di lakukan agar tidak menimbulkan kekaburan norma dalam pelaksanaannya. Sebaiknya pemerintah Kota Denpasar mencarikan suatu tempat untuk melokalisir para PKL tersebut agar para PKL merasa aman dan nyaman menjalankan kegiatan usahanya,


(18)

5

karena pada umumnya para pedagang dalam menjajakan barang dagangannya selalu mencari dimana ada orang banyak contohnya seperti taman rekreasi dan tempat-tempat umum yang dimana tempat tersebut sering dikunjungi banyak orang. Apabila pemerintah Kota Denpasar masih tetap tidak mencarikan tempat yang layak dan sesuai bagi para Pedagang Kaki Lima untuk menjalankan usahanya maka, masalah-masalah yang berkaitan dengan penertiban para PKL akan terus terjadi. Bagaimanapun juga PKL adalah warga negara yang harus dilindungi hak-haknya, hak untuk hidup, bebas berkarya, berserikat dan berkumpul. Seperti tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 ayat (2): Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Maka dari itu dalam membantu Kepala Daerah dalam menyelenggarakan ketentraman dan ketertiban umum ialah dengan melakukan pembinaan kepada pedagang kaki lima, dan keberadaan pedagang kaki lima juga diharapkan tidak merusak atau menurunkan kualitas lingkungan hidup yang ada disekitarnya agar dapat tercipta tata ruang yang mempertahankan ekosistem lingkungan fisik maupun sosial yang ada di dalamnya. Hal ini tentunya menjadi pelajaran yang cukup berharga bagi pemerintah disemua tingkatan, baik pemerintah pusat, daerah, kota, maupun desa. Akan tetapi, dalam hal ini penulis lebih memfokuskan kepada pemerintah daerah. Sebab didaerah, pedagang kaki lima lebih leluasa karena kurangnya perhatian pemerintah daerah dalam mengatasi penataan lingkungan daerahnya dan juga minimnya fasilitas serta sempit dan kurangnya infrastruktur yang mendukung lancarnya segala aspek penataan kota,


(19)

6

keamanan dan ketertiban umum serta kenyamanan berlalu lintas dijalan pun akan terganggu, terutama bagi yang berjalan kaki sangat terganggu kenyamanannya.

Untuk itu dalam menertibkan keberadaan pedagang kaki lima tersebut dibentuk Satuan Polisi Pamong Praja yang bertugas untuk membantu Walikota Denpasar menegakkan Peraturan Daerah dan menyelenggarakan ketertiban umum serta ketentraman masyarakat. Satuan Polisi Pamong Praja berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pedoman Satuan Polisi Pamong Praja, merupakan perangkat pemerintah daerah dalam memelihara dan menyelenggarakan ketentraman dan ketertiban umum serta menegakkan peraturan daerah. Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka penulis tertarik

menulis judul skripsi yang berjudul “Pengaturan Bagi Pedagang Kaki Lima

Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 3 Tahun 2000”.

1.2 Rumusan Masalah

Dari apa yang telah dikemukakan dalam latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang akan menjadi pokok bahasan di dalam penulisan skripsi ini. Adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pengaturan dan penataan bagi pedagang kaki lima di Kota

Denpasar?

2. Bagaimanakah penegakan hukum dan kewenangan penertiban pedagang kaki


(20)

7

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Di dalam membahas permasalahan di atas maka dapat ditetapkan ruang lingkup masalah untuk menghindari terlalu luas dan menyimpang dari pokok-pokok permasalahan maka sangatlah diperlukan adanya pembatasan-pembatasan dalam penulisan skripsi ini, maka ruang lingkup pembahasannya disesuaikan dengan judul dan rumusan masalah seperti yang telah diuraikan diatas, mengenai hal yang akan dibahas adalah bagaimanakah pengaturan dan penataan bagi pedagang kaki lima di Kota Denpasar serta mengenai bagaimanakah penegakan hukum dan kewenangan penertiban pedagang kaki lima di Kota Denpasar.

1.4 Orisinalitas Penelitian

Dengan ini penulis menyatakan bahwa tulisan yang berjudul “Pengaturan Bagi Pedagang Kaki Lima Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor

3 Tahun 2000” adalah sepenuhnya hasil dari pemikiran dan tulisan yang ditulis

oleh penulis sendiri dengan menggunakan 2 (dua) skripsi sebagai referensi. Beberapa penelitian yang ditelusuri berkaitan dengan penelitian ini dapat dikemukakan sebagai berikut :

No Judul Skripsi Penulis Rumusan Masalah

1 Tindakan Pemerintah

Kota Denpasar Dalam

Menata Kegiatan

Pedagang Kaki Lima. (Tahun 2011)

I Putu Gede

Yogaditha Kusuma

1. Apa dasar kewenangan

pemerintah Kota

Denpasar menata

kegiatan pedagang kaki lima di wilayahnya?

2. Tindakan hukum apa

saja yang telah dan akan

dilakukan oleh

pemerintah Kota

Denpasar dalam menata kegiatan kaki lima?


(21)

8

2 Penegakan Peraturan

Daerah tentang

Kebersihan dan

Ketertiban Umum

terhadap pedagang kaki lima di Kota Denpasar. (Tahun 2009)

Ida Bagus Gede Oka

Sidhimantra

1. Bagaimanakah

pelaksanaan penegakkan peraturan daerah tentang

kebersihan dan

ketertiban umum

terhadap pedagang kaki lima di Kota Denpasar?

2. Hambatan-hambatan apa

yang terjadi dalam

pelaksanaan penegakkan peraturan daerah tentang

kebersihan dan

ketertiban umum

terhadap pedagang kaki lima di Kota Denpasar?

1.5 Tujuan Penelitian 1.5.1 Tujuan Umum

1. Untuk melatih mahasiswa dalam usaha menyatakan pikiran ilmiah secara tertulis.

2. Untuk melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya dalam bidang penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa.

3. Untuk perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya pengetahuan di bidang ilmu hukum.

4. Untuk mengembangkan diri pribadi mahasiswa ke dalam kehidupan sebelum terjun ke masyarakat.

1.5.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui pengaturan dan penataan bagi pedagang kaki lima di Kota Denpasar

2. Untuk mengetahui penegakan hukum dan kewenangan penertiban pedagang kaki lima di Kota Denpasar.


(22)

9

1.6 Manfaat Penelitian 1.6.1 Manfaat Teoritis

Penelitian ini dilakukan untuk pengembangan hukum khususnya untuk mengetahui upaya hukum dalam pengaturan pedagang kaki lima di kota denpasar. Penelitian ini juga dapat bermanfaat bagi pengembangan dalam penerapan ilmu hukum khususnya hukum pemerintahan serta meningkatkan pengetahuan di bidang hukum yang mengatur pedagang kaki lima, kebersihan dan ketertiban umum.

1.6.2 Manfaat Praktis

Secara praktis penelitian ini ditulis untuk dapat memberikan ide-ide atau tindakan guna membangun lingkungan yang tertib sesuai peraturan yang ada, serta memberikan sumbangan pemikiran bagi Pemerintah Daerah Kota Denpasar agar memberikan ruang usaha kepada pedagang kaki lima agar nyaman melakukan usahanya dan penerapan kebijakan dalam melaksanakan usaha kebersihan dan ketertiban umum tetap terlaksana.

1.7 Landasan Teoritis

Landasan teoritis yang nantinya digunakan dalam penelitian hukum merupakan sebuah pijakan dasar dalam membahas permasalahan-permasalahan hukum yang terkait dengan permasalahan tersebut. Adapun landasan teoritis yang digunakan dalam penelitian ini berupa Teori Negara Hukum, Teori Peraturan


(23)

10

Perundang-undangan, Teori Otonomi, Teori Kewenangan, dan Teori Perlindungan Hukum.

1.7.1 Teori Negara Hukum

Prinsip negara hukum senantiasa berkembang sesuai dengan perkembangan jaman, Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kompleksnya kehidupan masyarakat di era global. menurut pengembangan prinsip-prinsip negara hukum. Negara hukum adalah negara yang penyelenggaraan kekuasaan pemerintahannya didasarkan atas hukum . secara konstitusional Negara Indonesia adalah negara hukum, yang diketahui dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

menyebutkan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Untuk dapat

disebut sebagai negara hukum maka harus memiliki dua unsur pokok yakni adanya perlindungan Hak Asasi Manusia serta adanya pemisahan dalam negara.3

Dalam perkembangannya timbul dua teori negara hukum. Unsur-unsur rechtstaat

dikemukakan oleh Friedrich Julius Stahl dari kalangan ahli hukum Eropa barat kontinental sebagai berikut:

1. Perlindungan hak asasi manusia.

2. Pembagian kekuasaan berdasarkan trias politika. 3. Pemerintahan berdasarkan Undang-Undang. 4. Peradilan Tata Usaha Negara.4

3

Moh Kusnardi dan Bintang R. Saranggih, 2000, Ilmu Negara, Edisi Revisi, Cet 4, Gaya Media Pratama, Jakarta, hal.132

4

Ridwan, HR. 2011, Hukum Administrasi Negara, Edisi Revisi, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 3.


(24)

11

Lain halnya dengan AV Dicey dari kalangan hukum Anglo Saxon

memberikan pengertian the rule of law sebagai berikut:

1. Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law); tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang (absence of arbitrary power), dalam arti bahwa seseorang hanya boleh dihukum kalau melanggar hukum.

2. Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality before the law). Dalil ini berlaku baik untuk orang biasa maupun untuk pejabat; dan

3. Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang (di negara lain oleh undang-undang dasar) serta keputusan-keputusan pengadilan.

Konsep Rechtstaat lahir karena menentang absolutisme sehingga Sifatnya revolusioner sedangkan Rule Of Law berkembang secara evolusioner yang bertumpu atas sistem hukum Common Law.5

1.7.2 Teori Peraturan Perundang-undangan

Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dikenal dengan teori

jenjang hukum (stufentheorie) yang dikemukakan oleh Hans Kelsen, dalam teori

tersebut Hans Kelsen berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang dan berlapis dalam suatu hierarki dalam arti suatu norma yang lebih rendah berlaku bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotetis dan

fiktif yaitu norma dasar.6

Dimana dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang dimaksud Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang membuat

5

Ibid.

6

Maria Farida Indrati Soeprapto, 2010, Ilmu Perundang-Undangan: Jenis, Fungsi dan Materi Muatan, Kanisius, Yogyakarta, hal.41.


(25)

12

norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.

1.7.3 Teori Otonomi

Dalam Negara Kesatuan, otonomi merupakan hak kewenangan Pemerintah Pusat yang sebagian didelegasikan (dilimpahkan atau diberikan) kepada daerah yang kemudian disebut desentralisasi. Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan

perundang-undangan.7

Dalam pengertian otonomi daerah bahwa tujuan yang hendak dicapai dalam pemberian otonomi daerah adalah terwujudnya otonomi daerah yang nyata, dinamis dan bertanggung jawab. Dimana suatu wilayah Negara dibagi-bagi menjadi daerah-daerah yang diberi otonomi yaitu wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku, dalam hal ini sebagai urusan pusat diserahkan kepada daerah untuk menjadi urusannya sendiri.

Dalam hal ini pemerintah pusat maupun daerah memiliki tanggung jawab dan wewenang dalam melaksanakan pembangunan di segala bidang. Dengan kewenangan yang ada atas dasar adanya pemberian otonomi dari pusat kepada daerah mengakibatkan pemda berwenang membuat Peraturan Daerah sesuai dengan situasi dan kondisi daerah setempat sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang yang berlaku. Adanya Peraturan Daerah mengakibatkan

7

Moh Kusnardi dan Bintang R. Saranggih, 2000, Ilmu Negara, Edisi Revisi, Cet 4, Gaya Media Pratama, Jakarta, hal.42


(26)

13

Pemerintah Daerah berwenang melakukan tindakan atau perbuatan yang dianggap perlu demi menjaga keamanan dan ketertiban di daerahnya sesuai dengan ketentuan dalam peraturan daerah tersebut. Tindakan yang di ambil oleh pemerintah daerah dalam mengatasi setiap masalah yang timbul di daerahnya biasanya bersifat memaksa, dan pemerintah daerah berwenang untuk mengambil suatu tindakan atau upaya yang dianggap perlu, baik sebagai upaya perlindungan dan penegakan hukum terhadap akan terjadinya suatu peristiwa yang bertentangan dengan peraturan maupun tindakan yang bersifat menanggulangi bila peristiwa yang bertentangan dengan peraturan yang berlaku.

1.7.4 Teori Kewenangan

Dalam teori kewenangan, yang dimaksud dengan kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari yang diberikan oleh Undang-Undang, yaitu kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif atau administratif. Wewenang adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindakan hukum publik, misalnya wewenang menandatangani/menerbitkan surat izin dari seorang pejabat atas nama Menteri atau Gubernur Kepala Daerah, sedangkan kewenangan tetap berada di tangan Menteri/Gubernur Kepala Daerah, dalam hal ini terdapat pendelegasian wewenang. Jadi, di dalam kewenangan terdapat

wewenang-wewenang.8

8


(27)

14

Kewenangan secara teoritis dapat diperoleh melalui 3 (tiga) cara, yaitu atribusi, delegasi, dan mandat adapun penjelasannya sebagai berikut:

a. Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat

undang-undang kepada organ pemerintahan.9

b. Delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ

pemerintahan kepada pemerintahan lainnya.10

c. Mandat terjadi ketika organ pemerintahan telah mengijinkan kewenangannya

dijalankan organ lain atas namanya.11

1.7.5 Teori Perlindungan Hukum

Menurut Setiono, perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai

manusia.12

Perlindungan hukum dapat dibedakan menjadi dua yaitu:

a. Perlindungan Hukum Preventif

Perlindungan hukum preventif merupakan perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan maksud untuk mencegah suatu pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau batas-batasan dalam melakukan suatu kewajiban.

9

Ridwan HR, 2013, Hukum Administrasi Negara, Rajawali Pers, Jakarta, hal.102

10

Ibid, hal.102

11

Ibid, hal.102

12

Setiono, 2004, Rule of Law (Supremasi Hukum), Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Surakarta, hal.3


(28)

15

b. Perlindungan Hukum Represif

Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir berupa sanksi seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan apabila sudah

terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran.13

Setiap pemerintah daerah mempunyai wewenang untuk menegakkan hukum. Di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini belum ada Undang-Undang yang khusus mengatur mengenai pedagang kaki lima. Padahal fenomena pedagang kaki lima sudah merupakan permasalahan nasional karena setiap kota pasti ada pedagang kaki limanya. Pengaturan mengenai pedagang kaki lima ini hanya terdapat dalam peraturan daerah (Perda). Perda ini hanya mengatur tentang pelanggaran untuk kebersihan dan ketertiban umum khususnya pedagang kaki lima di daerah yang sudah ditentukan. Mengenai tempat-tempat yang dilarang untuk berjualan bagi pedagang kaki lima diatur dalam Peraturan Daerah Kota Denpasar No 3 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Denpasar No 15 Tahun 1993 tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum di Kota Denpasar, yaitu pada pasal 35 ayat (2) dan ayat (5) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

(2) Dilarang menjajakan barang dagangan seperti kosmetik, alat-alat dapur dan keperluan lainnya dengan masuk rumah tangga, kantor-kantor baik pemerintah maupun swasta kecuali sudah melapor dan mendapat rekomendasi dari aparat kelurahan/ desa/ banjar/ lingkungan/ kelompok/ instansi setempat.

(5) Dilarang melakukan kegiatan usaha sebagai pedagang kaki lima (K5) menggunakan mobil, gerobak dorong, gerobak dorong pemulung, becak, dan kendaraan roda tiga lainnya di jalan, emperan toko, pekarangan rumah, jalur hijau, taman, dan tempat-tempat umum lainnya.

13


(29)

16

Pelanggaran terhadap ketentuan peraturan daerah tersebut dalam penegakkan hukumnya dapat dikenakan berupa sanksi, sanksi itu berupa pidana kurungan atau denda. Setiap pemerintah daerah mempunyai wewenang untuk menegakkan hukum, dalam menegakkan peraturan daerah tersebut dibentuk Satuan Polisi Pamong Praja, dimana diatur dalam Undang-Undang No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah terdapat dalam pasal 255 ayat (1) menyatakan “Satuan polisi pamong praja dibentuk untuk menegakkan perda dan perkada, menyelenggarakan ketertiban umum dan ketentraman, serta menyelenggarakan perlindungan masyarakat”. Jadi dengan ketentuan tersebut Satuan Polisi Pamong Praja mempunyai tugas pokok yaitu membantu kepala daerah menegakkan perda dan peraturan kepala daerah menyelenggarakan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat.

1.8 Metode Penelitian

Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu, jadi ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah. Karena ideal dari ilmu adalah untuk memperoleh interelasi yang

sistematis.14

1.8.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ada dua yaitu penelitian hukum Normatif, dan penelitian hukum Empiris. Di dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan tipe penelitian hukum Normatif. Dimana Penelitian hukum

14

Bambang Sunggono, 2007, Metodelogi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo, Jakarta, hal.44


(30)

17

normatif adalah penelitian hukum yang mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek, yaitu aspek teori, sejarah, filosofi, perbandingan, struktur dan komposisi, lingkup dan materi, konsistensi penjelasan umum dan pasal demi pasal, formalitas dan kekuatan mengikat suatu undang-undang, serta

bahasa hukum yang digunakan.15

1.8.2 Jenis Pendekatan

Di dalam penelitian hukum normatif, jenis pendekatan yang dilakukan adalah dengan pendekatan perundang-undangan yaitu menganalisa dari sudut perundang-undangan dan pendekatan konseptual, dengan membangun konsep yang beranjak dari pandangan-pandangan sarjana dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum.

1.8.3 Sumber Bahan Hukum

Adapun bahan hukum yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini diperoleh dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier

1. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mengikat dalam

penelitian ini terdiri dari perundang-undangan yaitu:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

b. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995.

c. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999.

d. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014.

15

Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.101


(31)

18

e. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004

f. Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 3 Tahun 2000.

2. Sumber bahan hukum sekunder

Sumber bahan hukum sekunder yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini bersumber dari buku-buku. Buku-buku ini harus relevan

dengan topik penelitian ini.16

Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan

komentar-komentar atas putusan hukum.17

Dalam penelitian ini bahan hukum sekunder yang terutama adalah buku teks karena buku teks berisi mengenai prinsip-prinsip dasar ilmu hukum dan perundang-undangan klasik para sarjana yang mempunyai kualifikasi tinggi.

3. Sumber bahan hukum tersier

Sumber bahan hukum tersier dalam penelitian ini, yakni bahan hukum yang memberikan petunjuk, penunjang ataupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, contohnya : kamus, ensiklopedi,

indeks kumulatif dan seterusnya.18

1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Untuk memperoleh bahan-bahan hukum primer dan sekunder dilakukan dengan cara pencatatan dan dokumentasi tentang permasalahan yang di teliti, dikaitkan dengan jenis penelitian hukum normatif, maka teknik pengumpulan bahan hukum dimulai dengan mengkaji peraturan perundang-undangan, dan Peraturan Daerah tentang pedagang kaki lima.

16

Soejono Soekanto dan Sri Mamudji, 2003, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.13

17

Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, hal.144 18

Soejono Soekanto dan Sri Mamudji, 2006, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hal.13


(32)

19

1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum

Adapun teknik pengolahan dan analisis bahan hukum di dalam penulisan skripsi ini, akan dilakukan dengan cara deskriptif analis dan menyesuaikan dengan argumen hukum, kemudian selanjutnya bahan hukum tersebut diurai deskriptif guna memperoleh gambaran yang dapat dipahami secara jelas dan terarah untuk menjawab permasalahan, selanjutnya di evaluasi serta dihubungkan dengan permasalahan-permasalahan yang ada serta dapat ditarik suatu kesimpulan. Deskriptif adalah data yang telah dikumpulkan kemudian menguraikan sesuai dengan pokok permasalahan serta sekaligus menggambarkan hasil yang diperoleh

baik dalam bentuk teoritis maupun praktisnya.19

19


(33)

20

BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI PEMERINTAH DAERAH, PENEGAKAN HUKUM, DAN PEDAGANG KAKI LIMA

2.1 Pemerintah Daerah Dalam Kerangka Otonomi Daerah

Di dalam pemerintah daerah, pemerintah dan pemerintahan merupakan suatu hal yang berbeda. Dimana Pemerintah adalah lembaga atau badan-badan politik yang mempunyai fungsi melakukan upaya untuk mencapai tujuan Negara, sedangkan Pemerintahan adalah semua kegiatan lembaga atau badan publik dalam menjalankan fungsinya untuk mencapai tujuan Negara. Selanjutnya menurut Ermaya menyebutkan bahwa pemerintahan dapat dibedakan dalam pengertian luas dan dalam pengertian sempit. Pengertian dalam arti luas adalah segala kegiatan badan publik yang meliputi kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif dalam usaha mencapai tujuan Negara. Sedangkan dalam arti sempit pemerintahan adalah segala kegiatan badan publik yang meliputi kekuasaan eksekutif.20

Indonesia adalah sebuah Negara kepulauan yang seluruh daerahnya merupakan daerah otonom yang mendapat pengakuan oleh Negara. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Repulik

Indonesia dinyatakan bahwa “Negara Kesatuan Repulik Indonesia dibagi atas

daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupatan dan kota yang tiap-tiap Provinsi, Kabupaten, dan Kota itu, mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan Undang-Undang”.

20

Jazim Hamidi dan Mustafa Lutfi, 2010, Education Antara Realita Politik dan Implementasi Hukumnya, Gramedia Pustaka Umum, Jakarta, hal.138


(34)

21

Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014

tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa, “Pemerintahan Daerah adalah

penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan

Republik Indonesia Tahun 1945”. Sedangkan dalam Pasal 1 angka 6 menyatakan

bahwa, “Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom

untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan

masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Dimana Daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah, yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri, berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.21

Pembagian urusan pemerintahan di Indonesia, pada hakikatnya dibagi dalam kategori, yakni urusan pemerintahan yang dikelola oleh pemerintah pusat (pemerintah), urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah provinsi, urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/ kota.

Urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah, meliputi: 1. Politik luar negeri;

2. Pertahanan; 3. Keamanan; 4. Yustisi;

21


(35)

22

5. Moneter dan fiscal nasional; 6. Agama.22

Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah, terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib artinya penyelenggaraan pemerintahan yang berpedoman pada standar pelayanan yang manimal, dilaksanakan secara bertahap dan ditetapkan oleh pemerintah. Adapun untuk urusan pemerintahan yang bersifat pilihan, baik untuk pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan kabupaten/kota, meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.23

Konsep pemikiran tentang otonomi daerah, mengandung pemaknaan terhadap eksistensi otonomi tersebut terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pemikiran pertama bahwa prinsip otonomi daerah dengan menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya sebagaimana yang dimaksud seluas-luasnya mengandung makna bahwa daerah diberikan kewenangan membuat kebijakan daerah, untuk memberikan pelayanan peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat pada umumnya. Dan pemikiran yang kedua bahwa prinsip otonomi daerah dengan menggunakan prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menggunakan urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang

22

Siswanto Sunarno, 2009, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hal.34

23


(36)

23

senyatanya telah ada, serta berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan di daerah lainnya. Adapun

otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam

penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk mengembangkan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional.24

2.2 Peraturan Daerah

Kota Denpasar sebagai daerah otonom memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus sendiri daerahnya berupa unsur-unsur pemerintahan yang diserahkan secara luas oleh pemerintah pusat sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Peraturan daerah pada umumnya dapat diartikan sebagai instrumen aturan yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan daerah di masing-masing daerah otonom. Dimana peraturan daerah itu adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan bertujuan bersama Kepala Daerah, Gubernur atau Bupati/ Wali Kota. Peraturan Daerah terdiri atas Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 11 Undang-Undang No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah diatur urusan pemerintahan konkuren sebagaimana

24


(37)

24

dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) yang menjadi kewenangan daerah terdiri atas urusan pemerintahan wajib dan urusan pilihan,dan Pasal 12 menyebutkan:

(1) Urusan pemerintahan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) meliputi:

a. Pendidikan; b. Kesehatan;

c. Pekerjaan umum dan penataan ruang;

d. Perumahan rakyat dan kawasan permukiman;

e. Ketentraman, ketertiban umum, dan perlindungan masyarakat; dan f. Sosial;

(2) Urusan pemerintahan wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 ayat (2) meliputi:

a. Tenaga kerja;

b. Pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak; c. Pangan;

d. Pertahanan;

e. Lingkungan hidup;

f. Administrasi kependudukan dan pencatatan sipil; g. Pemberdayaan masyarakat dan desa;

h. Pengendalian penduduk dan keluarga berencana; i. Perhubungan;

j. Komunikasi dan Informatika;

k. Koperasi, usaha kecil dan menengah; l. Penanaman modal;

m. Kepemudaan dan olahraga; n. Statistik;

o. Persandian; p. Kebudayaan; q. Perpustakaan; dan r. Kearsipan;

(3) Urusan Pemerintahan pilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) meliputi:

a. Kelautan dan perikanan; b. Pariwisata;

c. Pertanian; d. Kehutanan;

e. Energi dan sumber daya mineral; f. Perdagangan;

g. Perindustrian; dan h. Transmigrasi.


(38)

25

Seperti yang telah dikemukakan Peraturan Daerah tersebut merupakan peraturan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan bertujuan bersama Kepala Daerah dan memuat materi muatan berupa penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta memuat materi muatan lokal sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan.

2.3 Penegakan Hukum

Setiap pemerintah daerah mempunyai wewenang untuk menegakkan hukum. Dimana penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.25

Pemerintah daerah dalam menjalankan roda pemerintahannya haruslah berdasarkan pada peraturan perundang-undangan hal ini merupakan konsekuensi dari Indonesia sebagai Negara hukum. Peraturan perundang-undangan tersebut telah ditentukan susunannya sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang salah satu diantaranya adalah Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia terlindung, hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat dilaksanakan secara normal, damai, tetapi dapat juga terjadi karena pelanggaran hukum. Dalam hal ini, hukum yang telah dilanggar itu harus ditegakkan. Melalui penegakan hukum inilah hukum menjadi

25

Soerjono Soekanto, 2012, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakkan Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, hal.5


(39)

26

kenyataan.26

Untuk dapat menegakkan hukum atau peraturan, Sudikno Mertokusumo, mengemukakan bahwa ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan yaitu:

1. Kepastian hukum atau (Rechtssicherheit)

Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan memperbolehkan sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib.

2. Kemanfaatan (Zweckmassigkeit)

Hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakkan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Jangan sampai justru karena hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan timbul keresahan di dalam masyarakat.

3. Keadilan (Gerechtigheit)

Masyarakat sangat berkepentingan bahwa dalam pelaksanaan atau penegakkan hukum, keadilan diperhatikan. dalam pelaksanaan atau penegakkan hukum harus adil. Hukum tidak identik dengan keadilan. Hukum itu bersifat umum, mengatur setiap orang. Bersifat menyamaratakan.27

Sebagai suatu kegiatan yang berhubungan dengan kegiatan rakyat maka pengaturan, penataan serta penegakan hukum pedagang kaki lima harus memiliki dasar hukum yang kuat, sehingga dalam pelaksanaannya dapat menciptakan rasa keadilan bagi pedagang kaki lima dan juga masyarakat. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 27 ayat (2) menyatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Dalam Pasal 28 D ayat (1) juga menyatakan bahwa tiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.

26

Sudikno Mertokusumo, 2005, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, hal.160

27


(40)

27

Demikian juga dengan hal nya pedagang kaki lima sebagai bagian dari kegiatan usaha kecil dalam pengaturan, penataan dan penegakan serta perlindungan hukumnya harus memiliki dasar hukum yang kuat dalam pelaksanaanya. Dengan dikeluarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil maka memberikan suatu landasan bagi pemerintah untuk lebih memberdayakan usaha kecil dengan jauh lebih baik lagi. Sejalan dengan hal tersebut maka Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah juga akan menjadi suatu acuan pelaksanaan otonomi daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan melaksanakan pembangunan nasional yang baik baik pusat maupun daerah, oleh pemerintah, masyarakat dan pihak swasta.

2.4 Pengertian Pedagang Kaki Lima

Pedagang Kaki Lima adalah pedagang yang dalam melaksanakan aktivitas usahanya sangat mudah bergerak dari satu tempat ketempat yang lain. Tempat menjalankan barang dagangannya biasanya berbentuk kereta dorong yang

umumnya disebut “rombong”. Jenis dagangan dapat berupa makanan, minuman

dan barang-barang keperluan sehari-hari, yang harganya relatif murah. Sehingga keuntungan yang dihasilkan juga tidak banyak, dan cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja.

Secara normatif pada Pasal 1 huruf s Peraturan Daerah Kota Denpasar No 3 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Denpasar No 15 Tahun 1993 tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum di Kota Denpasar


(41)

28

menyebutkan bahwa: “Pedagang kaki lima adalah pedagang yang dalam

melakukan kegiatan usahanya, menjual maupun menjajakan barang dagangannya dengan cara berkeliling maupun menetap pada suatu lokasi yang bersifat

sementara”.

Berikut adalah pengertian Pedagang Kaki Lima dari beberapa sumber antara lain:

a. Aldwin Surya

Menyatakan bahwa pedagang kaki lima awalnya berasal dari para pedagang yang menggunakan gerobak dorong yang memiliki tiga roda. Diatas kereta dorong itulah ia meletakkan berbagai barang dagangannya, menyusuri pemukiman penduduk dan menjajakan kepada orang-orang yang berminat. Dengan dua kaki pedagang kaki lima plus tiga roda kereta dorong itulah mereka kemudian dikenal sebagai pedagang kaki lima. Namun, pengertian PKL dan area tempat mereka berdagang mengalami banyak pergeseran, seiring dengan peningkatan populasi penduduk, PKL bermunculan di banyak tempat, tidak lagi harus menggunakan kereta dorong, dengan berbekal koran atau kardus bekas atau apa saja sebagai alas mereka siap menggelar barang dagangannya.28

b. Everes HD dan Rudiger Korff

“Pedagang Kaki Lima adalah bagian dari sektor informal kota yang mengembangkan aktivitas produksi barang dan jasa diluar kontrol

pemerintah dan tidak terdaftar”.29

28

Aldwin Surya, Pedagang Kaki Lima Enterpreneur yang Terabaikan,

http://www.smecda.com, diakses pada tanggal 4 November 2015.

29

Ali Acshan Mustafa, 2008, Model Tranformasi Sosial Sektor Informal, Inspire Indonesia dan In-Trans Publishing, Malang, hal.42


(42)

29

Berdasarkan pengertian dari beberapa pakar diatas, dapat disimpulkan bahwa Pedagang Kaki Lima pada dasarnya adalah suatu bentuk kegiatan ekonomi dari sektor informal dan merupakan salah satu bentuk respon migran dari masyarakat kecil atau miskin yang menjajakan barang dagangannya di emper atau di atas trotoar dalam kota, terhadap pembangunan antara daerah yang tidak merata, urbanisasi, meluasnya tingkat pengangguran, dan merebaknya tekanan kemiskinan.


(1)

dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) yang menjadi kewenangan daerah terdiri atas urusan pemerintahan wajib dan urusan pilihan,dan Pasal 12 menyebutkan:

(1) Urusan pemerintahan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) meliputi:

a. Pendidikan; b. Kesehatan;

c. Pekerjaan umum dan penataan ruang;

d. Perumahan rakyat dan kawasan permukiman;

e. Ketentraman, ketertiban umum, dan perlindungan masyarakat; dan f. Sosial;

(2) Urusan pemerintahan wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 ayat (2) meliputi:

a. Tenaga kerja;

b. Pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak; c. Pangan;

d. Pertahanan;

e. Lingkungan hidup;

f. Administrasi kependudukan dan pencatatan sipil; g. Pemberdayaan masyarakat dan desa;

h. Pengendalian penduduk dan keluarga berencana; i. Perhubungan;

j. Komunikasi dan Informatika;

k. Koperasi, usaha kecil dan menengah; l. Penanaman modal;

m. Kepemudaan dan olahraga; n. Statistik;

o. Persandian; p. Kebudayaan; q. Perpustakaan; dan r. Kearsipan;

(3) Urusan Pemerintahan pilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) meliputi:

a. Kelautan dan perikanan; b. Pariwisata;

c. Pertanian; d. Kehutanan;

e. Energi dan sumber daya mineral; f. Perdagangan;

g. Perindustrian; dan h. Transmigrasi.


(2)

Seperti yang telah dikemukakan Peraturan Daerah tersebut merupakan peraturan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan bertujuan bersama Kepala Daerah dan memuat materi muatan berupa penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta memuat materi muatan lokal sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan.

2.3 Penegakan Hukum

Setiap pemerintah daerah mempunyai wewenang untuk menegakkan hukum. Dimana penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.25

Pemerintah daerah dalam menjalankan roda pemerintahannya haruslah berdasarkan pada peraturan perundang-undangan hal ini merupakan konsekuensi dari Indonesia sebagai Negara hukum. Peraturan perundang-undangan tersebut telah ditentukan susunannya sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang salah satu diantaranya adalah Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia terlindung, hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat dilaksanakan secara normal, damai, tetapi dapat juga terjadi karena pelanggaran hukum. Dalam hal ini, hukum yang telah dilanggar itu harus ditegakkan. Melalui penegakan hukum inilah hukum menjadi

25

Soerjono Soekanto, 2012, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakkan Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, hal.5


(3)

kenyataan.26

Untuk dapat menegakkan hukum atau peraturan, Sudikno Mertokusumo, mengemukakan bahwa ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan yaitu:

1. Kepastian hukum atau (Rechtssicherheit)

Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan memperbolehkan sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib.

2. Kemanfaatan (Zweckmassigkeit)

Hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakkan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Jangan sampai justru karena hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan timbul keresahan di dalam masyarakat.

3. Keadilan (Gerechtigheit)

Masyarakat sangat berkepentingan bahwa dalam pelaksanaan atau penegakkan hukum, keadilan diperhatikan. dalam pelaksanaan atau penegakkan hukum harus adil. Hukum tidak identik dengan keadilan. Hukum itu bersifat umum, mengatur setiap orang. Bersifat menyamaratakan.27

Sebagai suatu kegiatan yang berhubungan dengan kegiatan rakyat maka pengaturan, penataan serta penegakan hukum pedagang kaki lima harus memiliki dasar hukum yang kuat, sehingga dalam pelaksanaannya dapat menciptakan rasa keadilan bagi pedagang kaki lima dan juga masyarakat. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 27 ayat (2) menyatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Dalam Pasal 28 D ayat (1) juga menyatakan bahwa tiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.

26

Sudikno Mertokusumo, 2005, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, hal.160

27


(4)

Demikian juga dengan hal nya pedagang kaki lima sebagai bagian dari kegiatan usaha kecil dalam pengaturan, penataan dan penegakan serta perlindungan hukumnya harus memiliki dasar hukum yang kuat dalam pelaksanaanya. Dengan dikeluarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil maka memberikan suatu landasan bagi pemerintah untuk lebih memberdayakan usaha kecil dengan jauh lebih baik lagi. Sejalan dengan hal tersebut maka Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah juga akan menjadi suatu acuan pelaksanaan otonomi daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan melaksanakan pembangunan nasional yang baik baik pusat maupun daerah, oleh pemerintah, masyarakat dan pihak swasta.

2.4 Pengertian Pedagang Kaki Lima

Pedagang Kaki Lima adalah pedagang yang dalam melaksanakan aktivitas usahanya sangat mudah bergerak dari satu tempat ketempat yang lain. Tempat menjalankan barang dagangannya biasanya berbentuk kereta dorong yang

umumnya disebut “rombong”. Jenis dagangan dapat berupa makanan, minuman dan barang-barang keperluan sehari-hari, yang harganya relatif murah. Sehingga keuntungan yang dihasilkan juga tidak banyak, dan cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja.

Secara normatif pada Pasal 1 huruf s Peraturan Daerah Kota Denpasar No 3 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Denpasar No 15 Tahun 1993 tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum di Kota Denpasar


(5)

menyebutkan bahwa: “Pedagang kaki lima adalah pedagang yang dalam melakukan kegiatan usahanya, menjual maupun menjajakan barang dagangannya dengan cara berkeliling maupun menetap pada suatu lokasi yang bersifat

sementara”.

Berikut adalah pengertian Pedagang Kaki Lima dari beberapa sumber antara lain:

a. Aldwin Surya

Menyatakan bahwa pedagang kaki lima awalnya berasal dari para pedagang yang menggunakan gerobak dorong yang memiliki tiga roda. Diatas kereta dorong itulah ia meletakkan berbagai barang dagangannya, menyusuri pemukiman penduduk dan menjajakan kepada orang-orang yang berminat. Dengan dua kaki pedagang kaki lima plus tiga roda kereta dorong itulah mereka kemudian dikenal sebagai pedagang kaki lima. Namun, pengertian PKL dan area tempat mereka berdagang mengalami banyak pergeseran, seiring dengan peningkatan populasi penduduk, PKL bermunculan di banyak tempat, tidak lagi harus menggunakan kereta dorong, dengan berbekal koran atau kardus bekas atau apa saja sebagai alas mereka siap menggelar barang dagangannya.28

b. Everes HD dan Rudiger Korff

“Pedagang Kaki Lima adalah bagian dari sektor informal kota yang mengembangkan aktivitas produksi barang dan jasa diluar kontrol

pemerintah dan tidak terdaftar”.29

28

Aldwin Surya, Pedagang Kaki Lima Enterpreneur yang Terabaikan,

http://www.smecda.com, diakses pada tanggal 4 November 2015. 29

Ali Acshan Mustafa, 2008, Model Tranformasi Sosial Sektor Informal, Inspire Indonesia dan In-Trans Publishing, Malang, hal.42


(6)

Berdasarkan pengertian dari beberapa pakar diatas, dapat disimpulkan bahwa Pedagang Kaki Lima pada dasarnya adalah suatu bentuk kegiatan ekonomi dari sektor informal dan merupakan salah satu bentuk respon migran dari masyarakat kecil atau miskin yang menjajakan barang dagangannya di emper atau di atas trotoar dalam kota, terhadap pembangunan antara daerah yang tidak merata, urbanisasi, meluasnya tingkat pengangguran, dan merebaknya tekanan kemiskinan.


Dokumen yang terkait

EVALUASI KEBIJAKAN PEDAGANG KAKI LIMA BERDASARKAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBER NOMOR 6 TAHUN 2008 BAB IV DAN BAB VI (STUDI KASUS PEDAGANG KAKI LIMA JALAN UNTUNG SUROPATI)

1 9 15

IMPLEMENTASI PERATURAN DAERAH NOMOR 08 TAHUN 2000 TENTANG PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) DI KECAMATAN KEMILING KOTA BANDAR LAMPUNG TAHUN 2015

0 6 67

DAMPAK RELOKASI PEDAGANG KAKI LIMA BERDASARKAN PERATURAN DAERAH KOTA SURAKARTA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN PEDAGANG KAKI LIMA TERHADAP USAHA PEDAGANG KAKI LIMA DI SURAKARTA

1 10 127

IMPLEMENTASI PERATURAN DAERAH (PERDA) KOTA YOGYAKARTA NOMOR 26 TAHUN 2002 TENTANG PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) DI KOTA YOGYAKARTA

1 7 74

PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KOTA YOGYAKARTA NOMOR 26 TAHUN 2002 TENTANG PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA

0 2 112

PENDAHULUAN Kesadaran Hukum Pada Pedagang Kaki Lima (PKL) Di Sekitar Stadion Manahan Surakarta Tahun 2013 (Tinjauan Yuridis Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Surakarta No. 3 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Pedagang Kaki Lima).

0 0 7

KEDUDUKAN HUKUM PEDAGANG DENGAN MEDIA MOBIL TOKO SEBAGAI PEDAGANG KAKI LIMA DIKAITKAN DENGAN PERATURAN DAERAH KOTA BANDUNG NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG PENATAAN DAN PEMBINAAN PEDAGANG KAKI LIMA.

0 0 1

ANALISIS TERHADAP PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA BERIZIN BERDASARKAN PERATURAN DAERAH KOTA BANDUNG NOMOR 04 TAHUN 2011 TENTANG PENATAAN DAN PEMBINAAN PEDAGANG KAKI LIMA DIHUBUNGKAN DENGAN ASAS KEMANFAAT.

0 0 1

PDF ini PROBLEMATIKA PEDAGANG KAKI LIMA BERDASARKAN PERATURAN DAERAH KOTA PADANG NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG KETERTIBAN UMUM DAN KETENTRAMAN MASYARAKAT (Studi Pedagang Kaki Lima) | Jilha | 1 PB

0 0 2

PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PENGATURAN PEDAGANG KAKI LIMA DI KOTA TEGAL - repository perpustakaan

0 0 9