Studi Deskriptif Tentang Derajat Culture Shick Pada Mahasiswa Toraja Semester Satu di Organisasi "X" Bandung.

(1)

i

Universitas Kristen Maranatha

ABSTRAK

Penelitian ini dilaksanakan untuk memperoleh gambaran yang lebih rinci mengenai derajat culture shock pada mahasiswa Toraja semester satu di organisasi “X” Bandung, serta gambaran mengenai komponen, aspek, dan indikator yang berkaitan dengan derajat culture shock. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Teknik penarikan sampel yang digunakan adalah purposive sampling. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 20 orang. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner culture shock yang terdiri dari 74 pasangan pernyataan yang dikonstruksi oleh peneliti berdasarkan teori culture shock (Oberg, 1960, dalam Ward, Bochner, & Furnham, 2001). Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif dan tabulasi silang. Data yang diperoleh diolah menggunakan SPSS versi 17.0.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah 6 orang mahasiswa Toraja semester satu di organisasi “X” Bandung mengalami culture shock dengan derajat tinggi, 9 orang mengalami culture shock dengan derajat sedang, dan 5 orang culture shock dengan derajat rendah. Komponen culture shock yang paling dominan selama mahasiswa Toraja mengalami culture shock adalah komponen afektif. Indikator yang paling dominan pada mahasiswa Toraja dengan derajat culture shock tinggi dalam komponen afektif adalah perasaan tidak aman (cemas) akan keselamatan dirinya. Indikator yang paling dominan pada mahasiswa Toraja dengan derajat culture shock sedang dalam komponen afektif adalah merasa kurang sabar dan perasaan ingin pulang ke rumah.

Peneliti menyarankan bagi peneliti lain yang bermaksud melanjutkan penelitian ini untuk meneliti tentang dampak culture shock, culture shock pada suku lain, teknik intervensi yang perlu dilakukan untuk mengurangi derajat culture shock kategori sedang dan tinggi, dan faktor-faktor yang membantu mahasiswa menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru.


(2)

ii

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR ISI

Lembar Judul Lembar Pengesahan

Abstrak………... i

Kata Pengantar... ii

Daftar Isi ... iv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ……….. 1

1.2 Identifikasi Masalah ………...… 10

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian ………... 10 1.3.1 Maksud Penelitian ……… 10 1.3.2 Tujuan Penelitian………...….…. 10 1.4 Kegunaan Penelitian ………... 11

1.4.1 Kegunaan Teoretis ………...…….... 11

1.4.2 Kegunaan Praktis ………...…...…………....11

1.5 Kerangka Pemikiran ………..………... 11


(3)

iii

Universitas Kristen Maranatha

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kebudayaan………..24

2.1.1 Definisi Kebudayaan……….24

2.1.2 Wujud Kebudayaan………..24

2.2 Sojourner………..25

2.2.1 Pengertian Sojourner……… 25

2.2.2 Tipe Sojourner………. 26

2.2.3 Masalah yang Dihadapi Sojourner………26

2.3 Kontak Interkultural dan Adaptasi………...27

2.4 Akulturasi……….28

2.4.1 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Akulturasi………28

2.4.1.1 Karakteristik Individu………28

2.4.1.2 Karakteristik Situasi………...30

2.5 Culture Shock………...32

2.5.1 Definisi Culture Shock………..32

2.5.2 Faktor Penyebab Culture Shock………32

2.5.3 Tahap-tahap Culture Shock………..33

2.5.4 Komponen Culture Shock……….34

2.6 Pembelajaran Budaya………...37

2.6.1 Interaksi Sosial………..37

2.6.2 Psikologi Sosial dari Pertemuan Antar Budaya………39

2.7 Stress, Coping, and Adjustment……….. 40


(4)

iv

Universitas Kristen Maranatha 2.7.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Stres,

Coping, dan Adjustment………...41

2.8 Dewasa Awal………. 47

2.8.1 Definisi Dewasa Awal………...47

2.8.2 Transisi dari Sekolah Menengah Atas Menuju Universitas………48

2.8.3 Perkembangan Kognitif………49

2.8.4 Perkembangan Sosioemosional……….50

2.8.4.1 Kesepian………50

2.9 Karakteristik Suku Toraja………51

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Rancangan dan Prosedur Penelitian ……….. 53

3.2 Bagan Rancangan Penelitian ………... 53

3.3 Variabel Penelitian, Definisi Konseptual dan Operasional…………..54

3.3.1 Variabel Penelitian ………..… 54

3.3.2 Definisi Konseptual………. 54

3.3.2 Definisi Operasional………..54

3.4 Alat Ukur Derajat Culture Shock …………..………... 56

3.4.1 Jenis Alat Ukur ………... 56

3.4.2 Prosedur Pengisian dan Sistem Pemberian Skor ………… 59

3.4.3 Data Penunjang……….60


(5)

v

Universitas Kristen Maranatha

3.4.4.1 Validiatas Alat Ukur ………...…… 60

3.4.4.2 Reliabilitas Alat Ukur ………...…. 61

3.5 Populasi dan Teknik Penarikan Sampel ……… 62

3.5.1 Populasi Sasaran Penelitian………. 62

3.5.2 Karakteristik Populasi ..………... 62

3.5.3 Teknik Penarikan Sampel ………...………...62

3.6 Teknik Analisis Data ………... 62

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian………... 64

4.1.1 Gambaran Responden……….. 64

4.1.2 Hasil Pengolahan Data………. 65

4.1.2.1 Derajat Culture Shock………... 65

4.1.2.2 Tabulasi Silang Derajat Culture Shock dengan Indikator Culture Shock……… 66

4.2 Pembahasan……… 75

4.2.1 Subyek Penelitian dengan Derajat Culture Shock Tinggi… 76 4.2.2 Subyek Penelitian dengan Derajat Culture Shock Sedang.. 80

4.2.3 Subyek Penelitian dengan Derajat Culture Shock Rendah.. 84


(6)

vi

Universitas Kristen Maranatha

BAB V KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan………. 87

5.2 Saran……….... 88

DAFTAR PUSTAKA………... 90

DAFTAR RUJUKAN……….. 91 LAMPIRAN


(7)

vii

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR TABEL

3.1 Tabel Gambaran Alat Ukur Derajat Culture Shock……… 57 3.2 Tabel Sistem Skor Untuk Alat Ukur Derajat Culture Shock………... 59 4.1 Tabel Persentase Responden Berdasarkan Lama Tinggal di Toraja………... 64

4.2 Tabel Persentase Responden Berdasarkan Lama Tinggal di Bandung……... 64

4.3 Tabel Derajat Culture Shock………... 65 4.4 Tabel Komponen Culture Shock………. 65


(8)

viii

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR BAGAN

1.1 Bagan Kerangka Pikir………. 22


(9)

ix

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR DIAGRAM

Diagram 4.1 Indikator merasa cemas jika dirinya akan sakit dan tidak ada yang merawat

Diagram 4.2 Indikator perasaan tidak aman (cemas) akan keselamatan dirinya. Diagram 4.3 Indikator merasakan seolah-olah dirinya sakit.

Diagram 4.4 Indikator sedih.

Diagram 4.5 Indikator merasa ingin marah Diagram 4.6 Indikator kurang sabar.

Diagram 4.7 Indikator perasaan rindu terhadap keluarga, teman, dan orang-orang terdekat.

Diagram 4.8 Indikator perasaan ingin pulang ke rumah. Diagram 4.9 Indikator merasa berada dalam kesendirian.

Diagram 4.10 Indikator merasa dirinya tidak diperhatikan oleh orang lain.

Diagram 4.11 Indikator merasa tidak mampu untuk melakukan aktivitas secara efektif.

Diagram 4.12 Indikator merasa kehilangan semangat dan energi.

Diagram 4.13 Indikator merasa tidak mampu menyelesaikan masalah walaupun masalah tersebut kecil.

Diagram 4.14 Indikator merasa takut untuk berinteraksi dengan masyarakat Bandung.

Diagram 4.15 Indikator merasa diri dimanfaatkan oleh orang lain.

Diagram 4.16 Indikator tidak memiliki keinginan untuk berinteraksi dengan orang lain.


(10)

x

Universitas Kristen Maranatha Diagram 4.17 Indikator menghabiskan waktu dengan melakukan kegiatan sendiri. Diagram 4.18 Indikator berusaha untuk tidak mengkritik masyarakat Bandung

dan nilai-nilai yang diyakininya.

Diagram 4.19 Indikator usaha yang berlebihan untuk berbincang-bincang dengan orang yang dianggap memiliki pola pikir yang sama

Diagram 4.20 Indikator usaha yang berlebihan untuk melakukan identifikasi dengan masyarakat setempat.

Diagram 4.21 Indikator usaha yang berlebihan untuk memahami segala hal yang terjadi di Bandung.

Diagram 4.22 Indikator mengembangkan sterotip negatif tentang budaya di Bandung.

Diagram 4.23 Indikator kurang memahami nilai-nilai yang diyakini masyarakat Bandung.

Diagram 4.24 Indikator menganggap nilai-nilai yang diyakini masyarakat di daerah asalnya lebih baik dibandingkan di Bandung.

Diagram 4.25 Indikator menganggap bahwa mempelajari bahasa yang digunakan di Bandung bukanlah hal yang penting.

Diagram 4.26 Indikator menganggap bahwa dirinya harus menyukai masakan yang ada di Bandung.

Diagram 4.27 Indikator menganggap dirinya sangat loyal dengan budaya daerah asalnya.


(11)

xi

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Tabel Tabulasi Silang antara Data Penunjang dengan Derajat Culture Shock

Lampiran 2 Kisi-Kisi Alat Ukur Derajat Culture Shock (Try Out) Lampiran 3 Kisi-Kisi Alat Ukur Derajat Culture Shock

Lampiran 4 Kata Pengantar Pengisian Kuesioner Lampiran 5 Petunjuk Pengisian Kuesioner Lampiran 6 Kuesioner Data Penunjang

Lampiran 7 Kuesioner Derajat Culture Shock (Try Out) Lampiran 8 Kuesioner Derajat Culture Shock

Lampiran 9 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur Derajat Culture Shock Lampiran 10 Data Skor Mentah Responden dan Norma Kelompok Lampiran 11 Data Skor Mentah Tiap Komponen

Lampiran 12 Hasil Perhitungan Tabulasi Silang Antara Derajat Culture Shock Dengan Indikator Culture Shock


(12)

1

Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan hal yang sangat penting untuk mengembangkan potensi diri dan mencapai impian masa depan. Dengan pertimbangan tersebut, orang tua mengijinkan dan mendukung anak mereka untuk menempuh pendidikan khususnya perkuliahan diluar daerah. Orang tua menginginkan anak-anaknya mendapatkan kualitas pendidikan terbaik yang tidak selalu mereka dapatkan di daerah mereka sendiri, walaupun dengan biaya yang tidak murah (http://wartawarga.gunadarma.ac.id). Hal ini dilakukan oleh masyarakat luar Pulau Jawa, seperti para orang tua di Toraja mendukung anak-anak mereka untuk menempuh pendidikan khususnya perkuliahan di pulau Jawa, karena para orang tua di Toraja menganggap bahwa perguruan tinggi di pulau Jawa memiliki kualitas yang lebih baik, jika dibandingkan perguruan tinggi yang berada di Toraja.

Banyak daerah yang dapat dijadikan sebagai pilihan untuk kuliah di pulau Jawa, misalnya kota Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Bogor, Semarang, Solo, Surabaya, maupun Malang. Kota-kota tersebut selain terkenal dengan kualitas pendidikan yang baik, terdapat banyak pilihan perguruan tinggi, baik berupa perguruan tinggi negeri maupun swasta yang menawarkan banyak pilihan fakultas, dan sudah terkenal ke seluruh Indonesia. Hal ini juga didukung oleh iklim kondusif yang mendukung proses belajar-mengajar (www.kompas.com).


(13)

2

Universitas Kristen Maranatha Salah satu kota yang saat ini banyak diminati oleh para pelajar untuk dijadikan sebagai tempat melanjutkan pendidikan adalah kota Bandung. Pembangunan dan perkembangan dunia pendidikan di kota Bandung lebih pesat bila dibandingkan dengan daerah lainnya di Indonesia sehingga menciptakan kualitas pendidikan yang lebih baik pula. Bandung memiliki beberapa Perguruan Tinggi berkualitas baik Perguruan Tinggi Negeri maupun swasta yang diakui di Indonesia, diantaranya adalah ITB, UNPAD, UNPAR, UKM, UNISBA, UNPAS, dan POLBAN (www.jabarprov.go.id).

Untuk beberapa waktu sejak kedatangan di Bandung, calon mahasiswa lebih sering berinteraksi dengan sesama masyarakat Toraja, terutama dengan mahasiswa Toraja yang sudah lama berada di Bandung. Interaksi ini terjadi karena faktor hubungan keluarga maupun ikatan alumi SMA. Calon mahasiswa akan mendapatkan bimbingan dan pendampingan, baik itu dalam penyesuaian diri dengan lingkungan baru maupun dalam mengurus kelanjutan pendidikan. Mulai dari masa bimbingan belajar, kehidupan sehari-hari di kosan hingga masa awal perkuliahan, mereka akan mendapatkan bimbingan dan pendampingan (hasil wawancara dengan pengurus organisasi “X”).

Selain memberikan bimbingan dan pendampingan, para senior calon mahasiswa secara bertahap mulai memperkenalkan organisasi mahasiswa Toraja di Bandung. Organisasi “X” merupakan sebuah organisasi independen yang dibentuk oleh mahasiswa Toraja yang ada di Bandung, Cimahi dan sekitarnya sebagai wadah untuk menampung aspirasi mahasiswa Toraja. Organisasi “X” dibentuk dengan tujuan untuk mempererat tali persaudaraan diantara mahasiswa


(14)

3

Universitas Kristen Maranatha Toraja serta untuk mewujudkan mahasiswa Toraja yang sadar dan bertanggung jawab terhadap tugasnya di tengah-tengah masyarakat dan mampu memberdayakan potensi dirinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya dan Toraja pada khususnya (AD/ART organisasi “X”).

Berdasarkan data dari pengurus organisasi “X” Bandung, jumlah anggota

organisasi “X” pada tahun 2006 adalah 43 orang, dengan jumlah mahasiswa baru sebanyak 11 orang. Pada tahun 2007, jumlah anggota organisasi “X” adalah 56

orang, dengan jumlah mahasiswa baru sebanyak 13 orang. Kemudian pada tahun 2008, anggota organisasi “X” berjumlah 63 orang, dengan jumlah mahasiswa baru

sebanyak 10 orang. Pada tahun 2009, anggota organisasi “X” berjumlah 80 orang,

dengan jumlah mahasiswa baru sebanyak 20 orang. Pada tahun 2010, anggota

organisasi “X” berjumlah 100 orang, dengan jumlah mahasiswa baru sebanyak 20

orang. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa dari tahun ke tahun jumlah

anggota organisasi “X” semakin bertambah, karena banyak siswa Sekolah

Menengah Atas yang berasal dari Toraja berminat untuk melanjutkan pendidikan di Bandung.

Kegiatan-kegiatan yang sering diadakan oleh pengurus organisasi “X” adalah melakukan kegiatan-kegiatan keakraban yang bertujuan untuk mempererat tali persaudaraan, yaitu mengadakan retreat untuk menyambut mahasiswa baru, olahraga bersama dengan anggota, dan menonton bersama di bioskop. Pengurus organisasi sering melakukan perkunjungan ke tempat tinggal (kost) tiap anggota, tujuannya agar anggota merasa diperhatikan dan tetap semangat mengikuti organisasi. Pengurus juga sering memberikan bantuan baik itu secara materi


(15)

4

Universitas Kristen Maranatha atupun moril kepada anggotanya apabila ada anggota yang mengalami kesulitan. Setiap memasuki tahun ajaran baru, organisasi “X” melakukan perkunjungan ke Toraja untuk memperkenalkan universitas yang berada di Bandung dan melakukan bakti sosial di daerah-daerah terpencil (hasil wawancara dengan pengurus oragnisasi “X”). Kegiatan yang mahasiswa Toraja lakukan ketika berada

dalam organisasi “X” membuat mereka merasa nyaman, mereka merasa berada dalam keluarga sendiri dan merasa seperti berada di Toraja.

Namun selama berada di Bandung, mahasiswa Toraja semester satu tidak hanya berinteraksi dengan orang Toraja tetapi mereka juga akan berinteraksi dengan orang dari daerah lain seperti Bandung, Jakarta, Medan, Papua, Ambon, Sukabumi, Surabaya, dan daerah lainnya. Saat berada di lingkungan kampus, tempat tinggal, ataupun saat berinteraksi dengan masyarakat Bandung, mahasiswa Toraja diharapkan mampu menyesuaikan diri dengan kondisi dan situasi yang berbeda dengan kondisi dan situasi di Toraja, seperti mereka harus menyesuaikan diri dengan sistem akademik yang berbeda dengan SMA, teman yang baru, bahasa, pergaulan, makanan, kebiasaan, lalu lintas, dan suasana tempat tinggal.

Dalam hal sistem akademik, mahasiswa dituntut lebih mandiri dan mahasiswa harus lebih aktif, serta berusaha mencari sendiri hal-hal yang dibutuhkannya untuk belajar di universitas. Jadwal masuk mahasiswa menjadi tergantung pada mata kuliah yang diambil, terkadang seorang mahasiswa tidak masuk di pagi hari, dan baru mendapat pelajaran di sore harinya, bahkan kadang tidak ada mata kuliah sama sekali dalam satu hari. Di SMA, Jadwal belajar biasanya penuh dan telah ditentukan oleh pihak kurikulum sekolah. Siswa tidak


(16)

5

Universitas Kristen Maranatha dapat memilih pelajaran sesuka hati dan bersekolah dengan pola datang pagi pulang sore. mahasiswa dapat memilih mata kuliah yang diinginkan sesuai dengan kewajiban dan kebutuhannya. (http://arishimahikaru.blogspot.com).

Ketika mahasiswa Toraja mulai memasuki dunia perkuliahan, mereka tidak tinggal lagi bersama keluarga ataupun senior yang berasal dari Toraja. Mereka tinggal dengan teman yang berasal dari daerah lain, seperti Medan, Jakarta, Papua, Sukabumi, Malang, Bandung, dan daerah lainnya. Ketika mahasiswa Toraja berkomunikasi dengan teman baru, mahasiswa Toraja harus menyesuaikan bahasa mereka. Mereka tidak lagi menggunakan bahasa Toraja melainkan bahasa yang umum digunakan dan dimengerti oleh semua orang, yaitu bahasa Indonesia.

Mahasiswa Toraja juga harus menyesuaikan bahasa mereka dengan bahasa yang digunakan oleh masyarakat Bandung, ketika mahasiswa Toraja berinteraksi dengan masyarakat di sekitarnya, yaitu bahasa Sunda ataupun bahasa Indonesia. Mahasiswa Toraja akan berinteraksi dengan masyarakat sekitar saat membeli makan di warung makan, belanja di toko, di angkutan umum, ataupun di jalan. Perbedaan lainnya yang menuntut mahasiswa Toraja menyesuaikan diri adalah makanan. Makanan di Bandung rasanya manis, sedangkan makanan di Toraja rasanya pedas. Mahasiswa Toraja juga harus menyesuaikan diri dengan kebiasaan yang sering dilakukan oleh masyarakat Bandung ataupun teman baru mereka karena kebiasaaan setiap orang ataupun daerah berbeda-beda.

Saat terjadi kontak budaya antara budaya di Bandung dan budaya Toraja, mahasiswa Toraja akan mengalami keadaan yang menyenangkan maupun tidak


(17)

6

Universitas Kristen Maranatha menyenangkan karena adanya perbedaan budaya. Apabila mahasiswa Toraja mengalami kondisi yang tidak menyenangkan, mereka akan mengalami kesulitan dalam beradaptasi dengan lingkungan yang baru serta kurang mampu dalam mengatasi kendala-kendala komunikasi dan budaya lainnya.

Saat perkuliahan dimulai, mahasiswa Toraja mulai menjalani kehidupan yang sesungguhnya di kampus. Mahasiswa Toraja merasa kurang nyaman dengan lingkungan kampus yang sangat berbeda dengan lingkungannya sewaktu di Toraja. Mahasiswa terbiasa mendapatkan dukungan dan pertolongan dari keluarga maupun teman-teman dalam mengerjakan tugas sekolah atau hal lainnya ketika berada di Toraja karena masyarakat Toraja menjunjung tinggi sikap tolong-menolong (Th. Kobong, 1983). Setelah berada di Bandung, mahasiswa Toraja harus mandiri dalam melakukan segala sesuatunya. Mahasiswa Toraja mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan teman di kampus, seperti dalam hal bahasa karena adanya perbedaan bahasa dan dialek diantara mahasiswa Toraja dan teman-temannya. Mahasiswa Toraja juga kurang percaya diri untuk memulai berkenalan dengan orang lain karena mereka takut di tolak dalam pergaulan, sehingga mereka cenderung menunggu agar orang lain yang mengajak mereka berbicara (hasil wawancara dengan mahasiswa semester satu di organisasi “X”).

Dalam kesehariannya, mahasiswa Toraja merasa kurang betah dengan situasi perkotaan yang sangat padat, arus lalu lintas yang macet, hal ini sangat berbeda dengan daerah asalnya yang sepi. Akibatnya, mahasiswa Toraja mengalami home sick yaitu mereka ingin pulang ke daerah asalnya karena adanya perbedaan yang mereka alami. Gejala-gejala yang dialami oleh mahasiswa Toraja


(18)

7

Universitas Kristen Maranatha disebut dengan culture shock, yaitu suatu keadaan negatif yang berhubungan dengan aksi yang diderita oleh individu yang secara tiba-tiba harus berpindah ke suatu lingkungan yang baru yang berbeda dengan lingkungannya selama ini (Oberg, 1960). Semua orang yang berada dalam situasi beda budaya berpotensi untuk mengalami culture shock. Pada umumnya, culture shock dialami oleh pendatang selama enam bulan sampai satu tahun pertama kedatangannya. Reaksi dari tiap-tiap individu terhadap culture shock yang dihadapi bisa berupa reaksi fisik ataupun psikis (Ward, Bochner, dan Furnham, 2001).

Faktor yang menyebabkan terjadinya culture shock adalah perubahan dalam hal makanan, tipe pakaian, tingkat ekonomi, tipe perilaku, bahasa, kebiasaan tidur, kebiasaan makan, kesempatan untuk melakukan kontak sosial, sikap terhadap agama yang dianut, jumlah teman se-daerah, topik-topik percakapan, alat transportasi yang digunakan, dan jumlah orang yang dikenal di lingkungan masyarakat (J.P. Spradley and M. Philips (1972) dalam Ward, Bochner, Furnham, 2001).Menurut Mulyana (2005), culture shock dapat terjadi karena adanya kesulitan dalam beradaptasi dengan lingkungan yang baru serta ketidakmampuan dalam mengatasi kendala komunikasi dan kendala-kendala budaya. Kesulitan dalam beradaptasi dengan lingkungan yang baru ini sering tampak sebagai rasa kehilangan, kerinduan terhadap keluarga, dan teman-teman lama.

Berdasarkan survei awal terhadap dua puluh (20) orang mahasiswa Toraja semester satu di organisasi “X” Bandung melalui kuesioner dan wawancara tentang penghayatan mahasiswa Toraja terhadap kebiasaan sehari-hari masyarakat


(19)

8

Universitas Kristen Maranatha Toraja diperoleh gambaran bahwa 100% mahasiswa Toraja mengatakan masyarakat di daerah asalnya menjunjung tinggi kebersamaan, menjaga sopan santun dalam berbicara, dan saling membantu. Masyarakat Toraja menggunakan bahasa Toraja ketika berkomunikasi dengan sesamanya orang Toraja dan mereka juga sangat menyukai makanan khas daerah asalnya.

Ketika mahasiswa Toraja ditanya mengenai masyarakat di Bandung, mahasiswa Toraja mengatakan bahwa masyarakat yang berinteraksi dengan mereka tidak murni lagi masyarakat asli Bandung tetapi ada yang berasal dari Medan, Jakarta, Surabaya, Ambon, Papua, dan Kalimantan. Sebanyak 60% mahasiswa Toraja mengatakan bahwa teman-teman mereka di kampus membuat kelompok, seperti teman mereka yang berasal dari Bandung hanya bergaul dengan sesama orang Bandung, mereka yang berasal dari Sumatera hanya bergaul dengan sesama orang Sumatera. Relasi yang terjadi antara mahasiswa Toraja dengan teman kuliah yang berasal dari Bandung dan daerah lainnya seperlunya saja. Teman mereka yang berasal dari Bandung seringkali menggunakan bahasa Sunda yang sulit dimengerti oleh mahasiswa Toraja. 40% mahasiswa Toraja mengatakan bahwa teman-teman mereka baik di kampus maupun di kos ramah mau menolong orang lain dan bergaul dengan siapa saja, serta mereka tidak mengalami kesulitan ketika berkomunikasi dengan teman yang berasal dari Bandung maupun dari daerah lain sebab teman mereka menggunakan bahasa Indonesia. Teman mereka menggunakan bahasa daerah ketika berkomunikasi dengan teman yang satu daerah dengan mereka.


(20)

9

Universitas Kristen Maranatha Mahasiswa Toraja mengatakan bahwa pada awal kepindahan mereka ke Bandung, mereka merasa kurang nyaman dengan lingkungan yang baru. Mereka harus menyesuaikan diri dengan makanan, teman yang baru, bahasa, dan tempat keramaian. 15% mahasiswa Toraja mengatakan mereka sempat mengalami diare dan mengalami penurunan nafsu makanan karena harus menyesuaikan diri dengan makanan yang rasanya manis sedangkan di Toraja makanannya pedas. 25% mahasiswa Toraja mengatakan mereka enggan untuk bergaul dengan lingkungan sekitar karena mereka tidak mengerti apa yang diungkapkan oleh orang lain karena masyarakat di Bandung menggunakan bahasa Sunda. Mahasiswa Toraja juga lebih waspada bila harus keluar rumah karena mereka takut orang asing mengganggu mereka serta mencuri barang mereka ketika berada di angkutan umum maupun jalan.

Sebanyak 20% mahasiswa Toraja selalu rindu pada teman-teman dan keluarga mereka di Toraja, sehingga mereka menangis bila rindu pada teman dan keluarganya di Toraja. 10% mahasiswa Toraja mengatakan dirinya merasa tidak nyaman dengan keramaian kota Bandung, seperti macet terjadi dimana-mana tiap hari sehingga mereka enggan untuk keluar rumah. Hal ini membuat mereka rindu untuk pulang ke daerah asalnya.

Sebanyak 30% mahasiswa Toraja mengatakan bahwa mereka senang bergaul dengan orang di sekitarnya. Bila mahasiswa Toraja tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan oleh temannya atau orang lain karena menggunakan bahasa Sunda, mereka akan menanyakan maksud dari pembicaraan itu. Mahasiswa Toraja juga mengatakan bahwa mereka tetap merindukan keluarga


(21)

10

Universitas Kristen Maranatha mereka sama seperti ketika mereka masih di Toraja dulu. Mahasiswa Toraja tetap waspada bila ingin keluar rumah.

Berdasarkan fenomena di atas, peneliti melihat adanya masalah yang muncul saat mahasiswa Toraja harus menyesuaikan diri dengan lingkungan di Bandung yang berbeda dengan daerah asalnya. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut tentang derajat culture shock yang dialami mahasiswa Toraja di organisasi “X” Bandung.

1.2 Identifikasi Masalah

Dari penelitian ini ingin diketahui bagaimana gambaran derajat culture shock pada mahasiswa Toraja semester satu di organisasi “X” Bandung.

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian

Untuk memperoleh gambaran mengenai derajat culture shock pada mahasiswa Toraja semester satu di organisasi “X” Bandung.

1.3.2 Tujuan Penelitian

Untuk memperoleh gambaran yang lebih rinci mengenai derajat culture shock pada mahasiswa Toraja semester satu di organisasi “X” Bandung, serta gambaran mengenai komponen, aspek, dan indikator yang berkaitan dengan derajat culture shock.


(22)

11

Universitas Kristen Maranatha

1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoritis

a. Memberikan informasi bagi ilmu psikologi lintas budaya di Indonesia mengenai culture shock.

b. Memberikan informasi bagi peneliti lain yang memerlukan bahan acuan untuk penelitian lebih lanjut mengenai culture shock pada mahasiswa semester satu.

1.4.2 Kegunaan Praktis

a. Memberikan informasi bagi mahasiswa Toraja semester satu yang mengalami culture shock tentang derajat culture shock yang dialami sehingga mereka bisa lebih mempersiapkan diri pada saat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru.

b. Memberikan informasi bagi organisasi “X” tentang mahasiswa Toraja semester satu yang mengalami culture shock sehingga organisasi “X” dapat membantu mahasiswa menyesuaikan diri di lingkungan yang baru.

1.5 Kerangka Pikir

Dewasa awal ditandai dengan terjadinya perpindahan jenjang pendidikan dari Sekolah Menengah Atas menuju Perguruan Tinggi (Santrock, 2002). Transisi dari Sekolah Menengah Atas menuju Perguruan Tinggi melibatkan gerakan menuju satu struktur sekolah yang lebih besar, interaksi dengan kelompok sebaya dari daerah yang lebih beragam dan kadang lebih beragam latar belakang etniknya


(23)

12

Universitas Kristen Maranatha (Belle & Paul, 1989, dalam Santrock, 2002). Transisi dari Sekolah Menengah Atas menuju Perguruan Tinggi dapat melibatkan hal-hal positif, seperti mahasiswa lebih merasa dewasa, lebih banyak pelajaran yang dapat dipilih, lebih banyak waktu untuk dihabiskan bersama kelompok sebaya, lebih banyak kesempatan untuk mengeksplorasi berbagai gaya hidup dan nilai-nilai, menikmati kemandirian yang lebih luas dari pengawasan orang tua, dan tertantang secara intelektual oleh tugas akademik. Tetapi transisi ini dapat menimbulkan hal negatif bila mahasiswa baru tidak mampu dalam menyesuaikan dirinya dengan lingkungan yang baru baik terhadap suasana belajar yang baru maupun interaksi dengan teman dan orang disekitarnya (Santrock, 2002).

Perpindahan tempat belajar menciptakan bertemunya dua atau lebih budaya di tempat yang baru. Menurut Koentjaraningrat (1990), kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Budaya memiliki tiga wujud yaitu, pertama budaya sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan-peraturan. Kedua, budaya merupakan sistem sosial dalam aktivitas di masyarakat. Ketiga, budaya dalam bentuk fisik yang merupakan hasil karya manusia.

Budaya dalam hal ini merujuk pada kebiasaan sehari-hari yang terjadi di dalam suatu masyarakat seperti cara berpakaian, perilaku laki-laki dan perempuan, sikap terhadap kebersihan, sikap terhadap agama, maupun relasi interpersonal (Mulyana, 2005). Menurut Bochner (1982, dalam Ward, Bochner, Furhnam, 2001) kontak antar kebudayaan dapat terjadi diantara penduduk dalam


(24)

13

Universitas Kristen Maranatha suatu bangsa yang memiliki budaya berbeda. Kontak terjadi ketika individu dari suatu komunitas mengunjungi daerah lain dengan beberapa tujuan seperti bekerja, bermain, belajar, pindah ataupun dalam rangka memberikan bantuan. Dalam hal ini mahasiswa Toraja yang datang ke Bandung mengalami kontak dengan budaya Sunda. Mahasiswa Toraja dan mahasiswa yang berasal dari Bandung saling berinteraksi dan menyesuaikan diri satu sama lain. Mahasiswa Toraja disebut juga sebagai sojourner, yaitu kelompok orang yang melakukan perpindahan dan tinggal sementara waktu di Bandung untuk mencapai tujuan mereka yaitu untuk menempuh pendidikan di Perguruan Tinggi.

Mahasiswa baru yang berasal dari Toraja saat datang ke Bandung akan menyesuaikan diri dengan lingkungan kampus, tempat tinggal baru (kos), teman baru, makanan baru, suasana kota, dan kebiasaan masyarakat Bandung yang berbeda dengan masyarakat Toraja. Proses masuknya seseorang ke dalam budaya baru, menyesuaikan diri dan beradaptasi lebih disebut akulturasi. Akulturasi adalah perubahan yang terjadi sebagai hasil kontak yang terus-menerus antara individu dengan budaya yang berbeda (Redfield, Linton, dan Herskovist, 1936 dalam Ward, Bochner, Furnham 2001). Akulturasi merupakan sebuah proses dasar yang bisa menjadi acuan apakah seseorang bisa melewati masa transisi budaya dengan baik atau tidak. Proses ini merupakan suatu tahapan yang tidak bisa dilepaskan ketika seseorang beradaptasi dengan budaya baru (Nagar, Pandey & Paulus, dalam Berry, Poortinga, Segall, dan Dasen 1999).

Selama mahasiswa Toraja berinteraksi dengan masyarakat di Bandung, interaksi tersebut dipengaruhi oleh karakteristik individu dan situasi. Karakterisitk


(25)

14

Universitas Kristen Maranatha individu terdiri atas kepribadian, kelancaran berbahasa, identitas budaya, latihan dan pengalaman. Semakin terlatih mahasiswa Toraja dalam menghadapi budaya di Bandung yang berbeda dengan budaya asalnya, semakin mempermudah mahasiswa Toraja untuk menerima budaya tersebut, sebab mereka sudah terbiasa dengan perbedaan antar budaya yang ada dan mereka dapat mentoleransi perbedaan tersebut. Semakin banyak pengalaman positif yang didapat dalam berinteraksi dengan budaya yang berbeda dengan budaya asalnya, semakin besar kemungkinan mahasiswa Toraja menerima budaya tersebut. Pengalaman dan latihan ini akan membuat mahasiswa Toraja semakin fleksibel dalam berinteraksi dengan orang di sekitarnya. Semakin sering mahasiswa Toraja mempelajari bahasa yang digunakan oleh masyarakat Bandung kemudian mempraktekkannya, maka mahasiswa Toraja akan semakin sering berinteraksi dengan masyarakat di sekitarnya karena mereka mengerti apa yang mereka bicarakan dengan menggunakan bahasa yang sama.

Semakin lama mahasiswa Toraja tinggal di daerah asalnya maka identitas budayanya akan semakin melekat, sehingga akan semakin besar kemungkinan mahasiswa Toraja mengalami kesulitan dalam berinteraksi dengan masyarakat di sekitarnya karena adanya perbedaan budaya (Ward, Bochner, dan Furnham, 2001). Identitas budaya merupakan penegasan, kebanggaan, dan evaluasi positif dari satu kelompok yang berhubungan dengan perilaku etnokultural, nilai-nilai dan tradisi (Phinney, 1992, dalam Ward, Bochner, dan Furnham, 2001). Misalnya, identitas budaya digunakan untuk menggambarkan keterikatan (seberapa besar mahasiswa Toraja merasa dirinya sebagai bagian dari masyarakat Toraja),


(26)

15

Universitas Kristen Maranatha sentralitas (seberapa penting masyarakat Toraja bagi identitas pribadi mahasiswa Toraja), evaluasi (penilaian positif atau negatif yang dilakukan oleh mahasiswa Toraja mengenai masyarakat Toraja), dan tradisi (praktek kebiasaan budaya dan penerimaan akan norma tradisional dan nilai-nilai kelompok yang sudah berlaku sejak dulu). Hal ini merujuk pada penerapan nilai-nilai budaya Toraja oleh mahasiswa Toraja dalam kehidupan sehari-harinya.

Kepribadian juga mempengaruhi cara berinteraksi mahasiswa Toraja di lingkungan. Literatur lintas budaya menunjukkan banyak bukti mengenai kualitas kepribadian yang adaptif dan pengalaman akulturatif. Authoritarianisme, kekakuan dan etnosentrisme misalnya, dipandang sebagai hal yang menghambat penyesuaian psikologis selama transisi lintas-budaya (Locke dan Feinsod 1982, dalam Ward, Bochner, Furnham, 2001) sedangkan ekstraversi dan kepekaan terhadap lingkungan dipandang sebagai hal yang dapat memfasilitasi proses adaptasi tersebut (Gardner 1962 dalam Ward, Bochner, Furnham, 2001).

Karakteristik situasi terdiri atas lamanya kontak budaya, banyaknya kontak dengan intra dan intergroup, frekuensi kontak sosial, relasi co-national (teman yang berasal dari daerah tempat mahasiswa menuntut ilmu), dan dukungan sosial. Frekuensi kontak sosial mahasiswa Toraja dengan mahasiswa yang berasal dari Bandung dapat memfasilitasi kemampuan mempelajari budaya spesifik untuk kehidupan di lingkungan budaya yang baru yaitu budaya masyarakat Bandung, dengan harapan mahasiswa Toraja dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat Bandung.


(27)

16

Universitas Kristen Maranatha Faktor lain yang juga mempengaruhi penyesuaian diri mahasiswa Toraja adalah kualitas interaksi intra dan inter-group. Interaksi intra- group adalah interaksi mahasiswa Toraja dengan masyarakat Toraja dan interaksi inter- group adalah interaksi mahasiswa Toraja dengan masyarakat Bandung. Semakin baik kualitas interaksi intra dan inter-group, semakin besar kemungkinan mahasiswa Toraja menerima perbedaan-perbedaan yang terjadi dan mampu menyesuaikan dirinya dengan masyarakat Bandung. Sebaliknya, bila kualitas interaksi intra dan inter-group kurang baik maka semakin besar kemungkinan mahasiswa Toraja menolak perbedaan yang terjadi dan kurang mampu menyesuaikan dirinya dengan masyarakat Bandung.

Relasi dengan co-national yaitu teman yang berasal dari daerah tempat mahasiswa menuntut ilmu, dalam hal ini teman yang berasal dari Bandung dan dukungan sosial merupakan sumber yang paling menonjol dan mengandung kekuatan untuk mendorong dan mendukung mahasiswa Toraja. Hubungan dengan co-national yaitu mahasiswa yang berasal dari Bandung bisa sangat membantu atau merugikan tergantung kepada sifat dari pendukung individual dan dinamika kelompok mereka (Sykes dan Eden, 1987, dalam Ward, Bochner, dan Furnham, 2001).

Dukungan dari keluarga pun sangat dibutuhkan oleh mahasiswa Toraja agar mereka tidak merasa sendiri di Bandung, seperti saat mahasiswa Toraja menghubungi keluarganya dengan menceritakan kegiatan sehari-hari yang dilakukan, lalu keluarganya memberi respon dengan mendengarkan cerita mereka. Menurut Adelman (1988) dan Fontaine (1986) (dalam Ward, Bochner, dan


(28)

17

Universitas Kristen Maranatha Furnham, 2001), dukungan sosial merupakan faktor yang signifikan dalam penyesuaian psikologis selama transisi lintas budaya. Dukungan sosial dapat diperoleh dari berbagai sumber, termasuk keluarga, teman, dan kenalan.

Perkembangan kognitif para mahasiswa Toraja akan mempengaruhi kemampuan persepsi mahasiswa Toraja terhadap budaya masyarakat Bandung. Para mahasiswa Toraja sedang berada pada tahap formal operational (Piaget dalam Santrock, 2002). Tahap formal operational pada masa dewasa awal secara kuantitatif lebih maju dibandingkan remaja karena adanya pertambahan pengalaman dan pengetahuan. Pada tahap ini, dikembangkan cara berpikir secara hipotesis-deduktif, yaitu kemampuan kognitif untuk mengembangkan hipotesis, memprediksi kemungkinan terburuk, dan cara-cara untuk menyelesaikan masalah. Individu secara sistematis akan membuat kesimpulan atau memutuskan mengenai cara mana yang paling baik untuk menyelesaikan permasalahan. Para mahasiswa Toraja akan menilai situasi yang dihadapinya selama berada di Bandung yaitu adanya perubahan-perubahan dalam hal kebiasaan yang berbeda dengan kebiasaan di daerah asalnya sebagai keadaan yang menyenangkan atau tidak menyenangkan. Mahasiswa Toraja mulai memikirkan tentang keadaan yang dialaminya dan pada akhirnya mereka membuat suatu keputusan mengenai cara yang tepat dalam menghadapi perubahan-perubahan budaya yang terjadi.

Apabila mahasiswa Toraja menilai bahwa situasi yang dihadapi selama berada di Bandung sebagai keadaan yang tidak menyenangkan dan memicu terjadinya stres (Ward, Bochner, Furnham, 2001), keadaan ini disebut dengan culture shock, yaitu suatu keadaan negatif yang berhubungan dengan aksi yang


(29)

18

Universitas Kristen Maranatha diderita oleh individu yang secara tiba-tiba harus berpindah ke suatu lingkungan yang baru yang berbeda dengan lingkungannya selama ini (Oberg, 1960). Faktor yang menyebabkan terjadinya culture shock adalah perubahan dalam hal makanan, tipe pakaian, tingkat ekonomi, tipe perilaku, bahasa, kebiasaan tidur, kebiasaan makan, kesempatan untuk melakukan kontak sosial, sikap terhadap agama yang dianut, jumlah teman se-daerah, topik-topik percakapan, alat transportasi yang digunakan, dan jumlah orang yang dikenal di lingkungan masyarakat (J.P. Spradley and M. Philips (1972) dalam Ward, Bochner, Furnham, 2001).

Oberg (dalam Ward, Bochner, Furnham, 2001) membagi 4 tahap reaksi emosional yang berhubungan dengan culture shock, yaitu pertama adalah tahap honeymoon yang menekankan pada reaksi seperti euphoria, kekaguman, dan antusiasme. Hari-hari pertama di Bandung akan membuat mahasiswa senang melihat hal-hal yang baru yang tidak ada di daerah mereka, seperti mall dan factory outlet, sehingga mereka merasa senang tinggal di lingkungan yang baru. Tahap kedua adalah tahap crisis, ditandai dengan perasaan tidak adekuat, frustasi, gelisah, dan marah. Perbedaan bahasa, konsep, nilai-nilai, tanda-tanda dan simbol-simbol membuat mahasiswa Toraja menjadi tak berdaya, frustrasi, cemas dan marah. Perasaan-perasaan ini berasal dari kesulitan yang dialami pendatang dalam menyesuaikan diri di lingkungan yang baru.

Tahap ketiga adalah recovery, termasuk didalamnya adalah resolusi terhadap krisis dan pemahaman tentang budaya. Pada tahap ini, mahasiswa Toraja mulai menerima perbedaan budaya yang dialami serta mulai beradaptasi dan


(30)

19

Universitas Kristen Maranatha bersahabat ke lingkungan yang baru meskipun masih mengalami sedikit ketegangan dan kecemasan. Tahap keempat yaitu adjustment. Pada tahap ini, mahasiswa Toraja merefleksikan kesenangan terhadap lingkungan barunya dan mampu berfungsi secara kompeten di lingkungan barunya. Mahasiswa Toraja mulai menikmati dan menerima lingkungan atau budaya di Bandung. Mahasiswa Toraja sudah bisa menerima kebiasaan masyarakat Bandung sebagai suatu cara hidup yang lain. Penyesuaian diri mereka sudah lengkap dan akhirnya mereka terbiasa terhadap lingkungan baru.

Saat mahasiswa Toraja mengalami culture shock, maka proses tersebut melibatkan komponen afektif, perilaku, dan kognitif (teori ABCs of Culture Shock yang dikemukakan oleh Ward, Bochner, dan Furnham, 2001) yaitu bagaimana mahasiswa Toraja merasa, berperilaku, berpikir, dan menerima budaya yang ada di Bandung. Komponen afektif menggambarkan keadaan emosi yang muncul ketika mahasiswa Toraja berhadapan dengan budaya yang tidak familiar. Komponen afektif meliputi kebingungan, kecemasan, disorientasi, curiga, dan harapan terus-menerus berada di tempat lain (Ward, Bochner, Furnham, 2001). Komponen perilaku menggambarkan bagaimana mahasiswa Toraja menyikapi situasi dan kondisi disekitarnya. Komponen ini berhubungan dengan pembelajaran budaya yang merupakan perluasan kemampuan sosial, meliputi aturan-aturan, perjanjian, serta asumsi yang mengatus interaksi interpersonal, termasuk komunikasi verbal maupun nonverbal (Ward, Bochner, Furnham, 2001). Komponen kognitif menggambarkan bagaimana mahasiswa Toraja berpikir tentang keberadaannya di Bandung. Dalam hal ini akan terlihat apakah mahasiswa


(31)

20

Universitas Kristen Maranatha akan mempertahankan atau mengubah identitas budayanya dengan adanya stereotip dari masyarakat, serta bagaimana mahasiswa mempertahankan harga dirinya dengan adanya tekanan, akulturasi, atau prasangka (Ward, Bochner, dan Furnham, 2001).

Komponen afektif terdiri atas tiga aspek, yaitu aspek pertama adalah mahasiswa Toraja merasakan ketegangan karena adanya usaha untuk beradaptasi secara psikis, seperti merasa cemas jika dirinya akan sakit dan tidak ada yang merawat, perasaan tidak aman (cemas) akan keselamatan dirinya, merasakan seolah-olah dirinya sakit, sedih, merasa ingin marah, dan kurang sabar. Aspek kedua adalah mahasiswa Toraja merasa kehilangan dan kekurangan keluarga dan teman, seperti perasaan rindu terhadap keluarga, teman, dan orang-orang terdekat, ingin pulang ke rumah, merasa berada dalam kesendirian, merasa dirinya tidak diperhatikan oleh orang lain. Aspek ketiga adalah mahasiswa Toraja merasa dirinya tidak berdaya karena tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan kota Bandung, seperti merasa tidak mampu untuk melakukan aktivitas secara efektif, merasa kehilangan semangat dan energi, dan merasa tidak mampu menyelesaikan masalah walaupun masalah tersebut kecil.

Komponen perilaku terdiri atas dua aspek. Aspek pertama adalah mahasiswa Toraja melakukan penolakan terhadap orang-orang di lingkungan Bandung, seperti tidak memiliki keinginan untuk berinteraksi dengan orang lain, menghabiskan waktu dengan melakukan kegiatan sendiri, merasa diri dimanfaatkan oleh orang lain, takut untuk berinteraksi dengan masyarakat Bandung. Aspek kedua adalah mahasiswa Toraja tidak menerima adanya


(32)

21

Universitas Kristen Maranatha perbedaan peran, harapan terhadap peran tersebut, nilai yang dianut, perasaan, dan identitas diri ketika berada di Bandung, seperti berusaha untuk tidak mengkritik masyarakat Bandung dan nilai-nilai yang diyakininya, usaha yang berlebihan untuk berbincang-bincang dengan orang yang dianggap memiliki pola pikir yang sama, usaha yang berlebihan untuk melakukan identifikasi dengan masyarakat setempat, usaha yang berlebihan untuk memahami segala hal yang terjadi di Bandung.

Aspek dari komponen kognitif yaitu mahasiswa Toraja tidak memahami adanya perbedaan bahasa, kebiasaan, nilai/norma, sopan santun di daerah asal dengan di Bandung, seperti mengembangkan sterotip negatif tentang budaya di Bandung, kurang memahami nilai-nilai yang diyakini masyarakat Bandung, menganggap nilai-nilai yang diyakini masyarakat di daerah asalnya lebih baik dibandingkan di Bandung, menganggap bahwa mempelajari bahasa yang digunakan di Bandung bukanlah hal yang penting, menganggap bahwa dirinya harus menyukai masakan yang ada di Bandung, dan menganggap dirinya sangat loyal dengan budaya daerah asalnya.

Secara teoritik, Oberg tidak menjelaskan mengenai derajat culture shock, tetapi hal ini dapat diketahui dari penghayatan mahasiswa terhadap ketidaknyamanan yang dialami akibat adanya perbedaan budaya. Mahasiswa Toraja yang mengalami culture shock dengan derajat yang tinggi akan lebih banyak indikator yang muncul pada aspek culture shock dalam komponen afektif, perilaku, atau kognitif. Mahasiswa Toraja yang mengalami culture shock dengan derajat sedang hanya sebagian indikator yang muncul pada aspek culture shock


(33)

22

Universitas Kristen Maranatha dalam komponen afektif, perilaku, atau kognitif. Mahasiswa Toraja yang mengalami culture shock dengan derajat rendah hanya sedikit atau bahkan tidak ada indikator yang muncul pada aspek culture shock dalam komponen afektif, perilaku, dan kognitif.

Bagan Kerangka Pikir:

Mahasiswa Toraja semseter satu di Organisasi

“X” Bandung

Kontak dengan budaya Sunda Menilai situasi Komponen dari culture shock, yaitu: affective, behavioral, dan cognitive Culture shock Rendah Sedang Tinggi Karakteristik individu: - Kepribadian

- Kelancaran berbahasa -Latihan dan pengalaman Identitas budaya

Karakteristik situasi: - Lamanya kontak budaya

- kualitas interaksi intra dan intergroup

-Frekuensi kontak sosial - Relasi co-national -Dukungan sosial

1.6 Asumsi Penelitian

a. Mahasiswa Toraja semester satu yang berada di organisasi “X” ketika pindah ke Bandung akan mengalami kontak budaya dengan budaya Sunda, sehingga timbul suatu proses yang disebut akulturasi.

b. Adanya perubahan-perubahan kebiasaan yang dialami mahasiswa Toraja ketika berinteraksi dengan masyarakat di Bandung dapat menyebabkan suatu keadaan yang tidak menyenangkan yang disebut culture shock. c. Saat mahasiswa Toraja mengalami culture shock, maka proses tersebut


(34)

23

Universitas Kristen Maranatha dirinya, yaitu bagaimana mahasiswa Toraja merasa, berperilaku, berpikir, dan menerima pengaruh budaya Sunda.

d. Mahasiswa Toraja semester satu mengalami culture shock dengan derajat yang berbeda-beda, yaitu: rendah, sedang, dan tinggi.


(35)

87

Universitas Kristen Maranatha

BAB V KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh melalui pengolahan data tentang derajat culture shock pada mahasiswa Toraja semester satu di organisasi

“X” Bandung yang berjumlah 20 orang, maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Mahasiswa Toraja mengalami culture shock dengan derajat tinggi sebanyak 6 orang, 9 orang mengalami culture shock dengan derajat sedang, dan 5 orang mengalami culture shock dengan derajat rendah. 2. Komponen culture shock yang paling dominan selama mahasiswa Toraja

mengalami culture shock adalah komponen afektif.

3. Indikator yang paling dominan pada mahasiswa Toraja derajat culture shock tinggi dalam komponen afektif adalah perasaan tidak aman (cemas) akan keselamatan dirinya. Indikator yang paling dominan pada mahasiswa Toraja dengan culture shock kategori sedang dalam komponen afektif adalah merasa kurang sabar dan perasaan ingin pulang ke rumah.


(36)

88

Universitas Kristen Maranatha

5.2 Saran

Dari hasil penelitian yang didapatkan, maka peneliti memberikan beberapa saran, yaitu:

a Saran Teoritis

Bagi peneliti lain yang bermaksud melanjutkan penelitian ini disarankan untuk :

1. Melakukan penelitian tentang dampak culture shock yang dialami oleh mahasiswa baru karena penelitian ini terbatas hanya meneliti tentang derajat culture shock.

2. Melakukan penelitian tentang culture shock terhadap suku lain karena penelitian ini terbatas hanya meneliti tentang culture shock pada suku Toraja.

3. Meneliti tentang intervensi yang perlu dilakukan untuk mengurangi derajat culture shock kategori sedang dan tinggi yang dialami mahasiswa baru.

4. Melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang membantu mahasiswa dalam mengurangi derajat culture shock yang dialami ketika berada di lingkungan yang baru.

b Saran Praktis

1. Bagi mahasiswa Toraja semester satu yang mengalami culture shock dapat menggunakan hasil penelitian ini sebagai informasi untuk lebih mengenali gejala-gejala culture shock yang dialami sehingga mahasiswa dapat


(37)

89

Universitas Kristen Maranatha mencari bantuan psikologis (misalnya konseling) untuk mengurangi derajat culture shock yang dialami.

2. Organisasi “X” dapat menggunakan hasil penelitian ini sebagai informasi

ketika organisasi “X” membantu mahasiswa Toraja semester satu menyesuaikan diri di lingkungan yang baru, seperti membuat suatu program atau kegiatan yang berhubungan dengan penyesuaian diri sehingga mahasiswa dapat mengurangi derajat culture shock yang dialami.


(38)

90

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR PUSTAKA

Berry, J. W., Poortinga, Y. H., Segall, M. H.,& Dasen, P. R. 1999. Psikologi Lintas Budaya: Riset dan Aplikasi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Furnham, A & Bochner. S. 1986. Culture Shock: Psychological Reactions to Unfamiliar Environments. United States of America: Methuen & Co. Ltd.

Gulo, W. 2002. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

Hidajat, V., & Sodjakusumah T. I. 2000. Jurnal Psikologi, vol.5, no.1. Hubungan antara Culture Shock dan Prestasi Akademis, 46-55.

Kobong, Th. 1983. Manusia Toraja Dari Mana, Bagaimana, Kemana.

Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Santrock, J. W. 2002. Life Span Development: Perkembangan Masa Hidup,

edisi 5, jilid 2. Jakarta: Erlangga.

Siegel, S. 1994. Statistika Non Parametrik untuk Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Ward, C., Bochner, S., & Furnham A. 2001. The Psychology of Culture Shock, 2nd edition. United States of America: Routledge.


(39)

91

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR RUJUKAN

Efnie, Indrianie. 2004. Studi Deskriptif Mengenai Dampak Culture Shock Pada Mahasiswa Semester 2 yang Berasal dari Luar Provinsi Jawa Barat pada Universitas Kristen Maranatha Bandung. Skripsi Sarjana. Tidak Dipublikasikan. Bandung: Universitas Kristen Maranatha.

Pentingnya Pendidikan bagi Kehidupan (http://wartawarga.gunadarma.ac.id, diunduh 31 Desember 2009)

Perbedaan Belajar di SMA dengan di Universitas (http://arishimahikaru.blogspot.com, diunduh 15 Juli 2010)

Universitas Di Jawa Masih Jadi Pilihan (http://www.kompas.com, diunduh 15 Juni 2009)


(1)

Universitas Kristen Maranatha dirinya, yaitu bagaimana mahasiswa Toraja merasa, berperilaku, berpikir, dan menerima pengaruh budaya Sunda.

d. Mahasiswa Toraja semester satu mengalami culture shock dengan derajat yang berbeda-beda, yaitu: rendah, sedang, dan tinggi.


(2)

87

Universitas Kristen Maranatha

BAB V KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh melalui pengolahan data tentang derajat culture shock pada mahasiswa Toraja semester satu di organisasi “X” Bandung yang berjumlah 20 orang, maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Mahasiswa Toraja mengalami culture shock dengan derajat tinggi sebanyak 6 orang, 9 orang mengalami culture shock dengan derajat sedang, dan 5 orang mengalami culture shock dengan derajat rendah. 2. Komponen culture shock yang paling dominan selama mahasiswa Toraja

mengalami culture shock adalah komponen afektif.

3. Indikator yang paling dominan pada mahasiswa Toraja derajat culture shock tinggi dalam komponen afektif adalah perasaan tidak aman (cemas) akan keselamatan dirinya. Indikator yang paling dominan pada mahasiswa Toraja dengan culture shock kategori sedang dalam komponen afektif adalah merasa kurang sabar dan perasaan ingin pulang ke rumah.


(3)

Universitas Kristen Maranatha

5.2 Saran

Dari hasil penelitian yang didapatkan, maka peneliti memberikan beberapa saran, yaitu:

a Saran Teoritis

Bagi peneliti lain yang bermaksud melanjutkan penelitian ini disarankan untuk :

1. Melakukan penelitian tentang dampak culture shock yang dialami oleh mahasiswa baru karena penelitian ini terbatas hanya meneliti tentang derajat culture shock.

2. Melakukan penelitian tentang culture shock terhadap suku lain karena penelitian ini terbatas hanya meneliti tentang culture shock pada suku Toraja.

3. Meneliti tentang intervensi yang perlu dilakukan untuk mengurangi derajat culture shock kategori sedang dan tinggi yang dialami mahasiswa baru.

4. Melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang membantu mahasiswa dalam mengurangi derajat culture shock yang dialami ketika berada di lingkungan yang baru.

b Saran Praktis

1. Bagi mahasiswa Toraja semester satu yang mengalami culture shock dapat menggunakan hasil penelitian ini sebagai informasi untuk lebih mengenali gejala-gejala culture shock yang dialami sehingga mahasiswa dapat


(4)

89

Universitas Kristen Maranatha mencari bantuan psikologis (misalnya konseling) untuk mengurangi derajat culture shock yang dialami.

2. Organisasi “X” dapat menggunakan hasil penelitian ini sebagai informasi

ketika organisasi “X” membantu mahasiswa Toraja semester satu

menyesuaikan diri di lingkungan yang baru, seperti membuat suatu program atau kegiatan yang berhubungan dengan penyesuaian diri sehingga mahasiswa dapat mengurangi derajat culture shock yang dialami.


(5)

90

Universitas Kristen Maranatha Berry, J. W., Poortinga, Y. H., Segall, M. H.,& Dasen, P. R. 1999. Psikologi

Lintas Budaya: Riset dan Aplikasi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Furnham, A & Bochner. S. 1986. Culture Shock: Psychological Reactions to Unfamiliar Environments. United States of America: Methuen & Co. Ltd.

Gulo, W. 2002. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

Hidajat, V., & Sodjakusumah T. I. 2000. Jurnal Psikologi, vol.5, no.1. Hubungan antara Culture Shock dan Prestasi Akademis, 46-55.

Kobong, Th. 1983. Manusia Toraja Dari Mana, Bagaimana, Kemana.

Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Santrock, J. W. 2002. Life Span Development: Perkembangan Masa Hidup,

edisi 5, jilid 2. Jakarta: Erlangga.

Siegel, S. 1994. Statistika Non Parametrik untuk Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Ward, C., Bochner, S., & Furnham A. 2001. The Psychology of Culture Shock, 2nd edition. United States of America: Routledge.


(6)

91

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR RUJUKAN

Efnie, Indrianie. 2004. Studi Deskriptif Mengenai Dampak Culture Shock Pada Mahasiswa Semester 2 yang Berasal dari Luar Provinsi Jawa Barat pada Universitas Kristen Maranatha Bandung. Skripsi Sarjana. Tidak Dipublikasikan. Bandung: Universitas Kristen Maranatha.

Pentingnya Pendidikan bagi Kehidupan (http://wartawarga.gunadarma.ac.id, diunduh 31 Desember 2009)

Perbedaan Belajar di SMA dengan di Universitas

(http://arishimahikaru.blogspot.com, diunduh 15 Juli 2010)

Universitas Di Jawa Masih Jadi Pilihan (http://www.kompas.com, diunduh 15 Juni 2009)