Penerapan Accelerated Learning untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Representasi Matematis Siswa SMP (Studi Kuasi Eksperimen pada Siswa Kelas VII Sebuah SMP Swasta di Bandung).

(1)

PENERAPAN ACCELERATED LEARNING UNTUK

MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH DAN REPRESENTASI MATEMATIS SISWA SMP

(Studi Kuasi Eksperimen pada Siswa Kelas VII Sebuah SMP Swasta di Bandung)

TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat dalam Memperoleh Gelar Magister Pendidikan Program Studi Pendidikan Matematika

Oleh:

R H YANTI SILITONGA 1302942

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA SEKOLAH PASCA SARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG


(2)

PENERAPAN ACCELERATED LEARNING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH DAN

REPRESENTASI MATEMATIS SISWA SMP

(Studi Kuasi Eksperimen pada Siswa Kelas VII Sebuah SMP Swasta di Bandung)

Oleh

R. H. Yanti Silitonga S.Pd UPI Bandung, 2010

Sebuah Tesis yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister Pendidikan (M.Pd.) pada Fakultas Pendidikan Matematika dan IPA

© R. H. Yanti Silitonga 2015 Universitas Pendidikan Indonesia

Juni 2015

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhya atau sebagian, dengan dicetak ulang, difoto kopi, atau cara lainnya tanpa ijin dari penulis.


(3)

R. H. YANTI SILITONGA NIM. 1302942

PENERAPAN ACCELERATED LEARNING UNTUK

MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH

DAN REPRESENTASI MATEMATIS SISWA SMP

(studi Kuasi Eksperimen pada Siswa Kelas VII Sebuah SMP Swasta di

Bandung)

DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH PEMBIMBING I :

Dr. H. Nanang Priatna, M.Pd.

NIP 196303311988031001

Mengetahui,

Ketua Jurusan Pendidikan Matematika

Drs. Turmudi, M.Ed., M.Sc., Ph.D.


(4)

DAFTAR ISI

Halaman

PERNYATAAN ………...………..…… i

ABSTRAK ………...……….. ii

KATA PENGANTAR ………...………. iv

UCAPAN TERIMA KASIH ………..……… v

DAFTAR ISI ………..……… vi

DAFTAR TABEL ………..……… viii

DAFTAR GAMBAR ……….……… xi

DAFTAR DIAGRAM ………...………. xii

DAFTAR LAMPIRAN ………..……… xiii

BAB I PENDAHULUAN ……… 1

A. Latar Belakang Masalah ………... 1

B. Rumusan Masalah ………. 6

C. Tujuan Penelitian ……….. 7

D. Manfaat Penelitian ………..……….. 8

E. Definisi Operasional ………. 9

BAB II KAJIAN PUSTAKA ……… 11

A. Kemampuan Pemecahan Matematis ………. 11

B. Kemampuan Representasi Matematis …………...……… 14

C. Accelerated Learning ……….………..………. 17

D. Pembelajaran Ekspositori ………. 23

E. Gaya Belajar Matematika Siswa …………...……… 24

F. Teori Belajar yang Mendukung ……… 26

G. Hasil Penelitian yang Relevan ………..……… 27

H. Hipotesis Penelitian ………..……… 30

BAB III METODE PENELITIAN …….……… 33

A. Metode dan Desain Penelitian ……..……… 33

B. Partisipan Penelitian ……….……… 35


(5)

vii

D. Pengembangan Bahan Ajar ………... 36

E. Instrumen Penelitian ……….… 37

1. Tes Kemampuan Pemecahan masalah dan Representasi Matematis ……….……….. 37

2. Skala Gaya Belajar ………. 49

3. Lembar Observasi ……….………….. 51

F. Prosedur Penelitian ………..……….……… 52

G. Analisis Data ……….……… 53

1. Teknik Analisis Data Hasil Tes ………... 54

2. Analisis Data Observasi ………..…… 57

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……… 58

A. Hasil Penelitian ……… 58

1. Analisis Hasil Kemampuan Pemecahan Matematis ….… 59 2. Analisis Hasil Kemampuan Representasi Matematis …... 77

3. Analisis Hasil Lembar Observasi ……….…… 98

B. Pembahasan Hasil Penelitian ……… 99

1. Kemampuan Pemecahan Matematis ……… 100

2. Kemampuan Representasi Matematis ……..……… 105

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI ………… 108

A. Kesimpulan ………..……….……… 108

B. Implikasi ……….…….………. 109

C. Rekomendasi ……….……… 110

DAFTAR PUSTAKA ………..…………..……… 112


(6)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman 3.1 Keterkaitan Variabel-variabel Pemecahan Masalah, Representasi,

dan Gaya Belajar Siswa pada Permasalahan Penelitian …….……….. 34

3.2 Pedoman Penskoran Butir Soal Kemampuan Representasi Matematis 38 3.3 Pedoman Penskoran Butir Soal Kemampuan Pemecahan masalah Matematis ………. 39

3.4 Uji Q-Cohran Hasil Timbangan Lima Ahli Validitas Muka Instrumen 40 3.5 Uji Q-Cohran Hasil Timbangan Lima Ahli Validitas Isi Instrumen … 41 3.6 Uji Q-Cohran Hasil Timbangan Lima Ahli Validitas Muka Instrumen 41 3.7 Uji Q-Cohran Hasil Timbangan Lima Ahli Validitas Isi Instrumen … 41 3.8 Uji Q-Cohran Hasil Timbangan Lima Siswa tentang Keterbacaan….. 42

3.9 Uji Q-Cohran Hasil Timbangan Lima Siswa tentang Kesulitan …….. 42

3.10 Uji Q-Cohran Hasil Timbangan Lima Siswa tentang Pemahaman ….. 43

3.11 Uji Q-Cohran Hasil Timbangan Lima Siswa tentang Keterbacaan …. 43 3.12 Uji -Cohran Hasil Timbangan Lima Siswa tentang Kesulitan ………. 44

3.13 Uji Q-Cohran Hasil Timbangan Lima Siswa tentang Pemahaman ….. 44

3.14 Interpretasi Koefisien Validitas Butir Soal ………..…… 45

3.15 Validitas Tes Kemampuan Pemecahan Masalah ………. 45

3.16 Validitas Tes Kemampuan Representasi Matematis ……… 45

3.17 Interpretasi Koefisien Reliabilitas ………... 46

3.18 Interpretasi Daya Pembeda Butir Soal ………. 47

3.19 Daya Pembeda Tes Kemampuan Pemecahan Masalah ……… 47

3.20 Daya Pembeda Tes Kemampuan Representasi Matematis ………….. 47

3.21 Interpretasi Indeks Kesukaran Butir Soal ………. 48

3.22 Indeks Kesukaran Tes Kemampuan Pemecahan Masalah …………... 48

3.23 Indeks Kesukaran Tes Kemampuan Representasi Matematis ……….. 48 3.24 Uji Q-Cohran Hasil Timbangan Lima Ahli Validitas Muka Angket

Gaya Belajar Siswa ………..


(7)

ix

3.25 Uji Q-Cohran Hasil Timbangan Lima Siswa Validitas Muka Angket

Gaya Belajar Siswa ……….………. 51

3.26 Kriteria Gain Ternormalisasi ……….………... 54 4.1 Statistik Deskriptif Skor Kemampuan Pemecahan Masalah

Matematis ………. 59

4.2 Klasifikasi Siswa Berdasarkan KKM ………..………. 60 4.3 Klasifikasi Siswa Berdasarkan N-Gain Kemampuan Pemecahan

Masalah Matematis ……….………. 61

4.4 Hasil Uji Normalitas Skor Pretes, Postes dan N-Gain Kemampuan

Pemecahan Masalah ………. 62

4.5 Uji Homogenitas Varians Skor Pretes ……….. 64 4.6 Hasil Uji Perbedaan Rata-Rata Skor Pretes Postes Kemampuan

Pemecahan Masalah Matematis ………... 65 4.7 Hasil Uji Perbedaan Rata-Rata Skor Postes Kemampuan Pemecahan

Masalah Matematis ……….. 66

4.8 Hasil Uji Perbedaan Rata-Rata Skor N-Gain Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis ………... 67 4.9 Data Rata-rata N-Gain Kemampuan Pemecahan Pemecahan Masalah

Matematis Berdasarkan Gaya Belajar Siswa ………...… 68 4.10 Uji Perbedaan Rata-rata Skor N-Gain Kemampuan Pemecahan

Masalah Matematis pada Kategori Gaya Belajar Visual ………. 71 4.11 Uji Perbedaan Rata-rata Skor N-Gain Kemampuan Pemecahan

Masalah Matematis pada Kategori Gaya Belajar Auditori ………….. 72 4.12 Uji Perbedaan Rata-rata Skor N-Gain Kemampuan Pemecahan

Masalah Matematis pada Kategori Gaya Belajar Kinestetik ………... 73 4.13 Uji Perbedaan Rata-rata Skor N-Gain Kemampuan Pemecahan

Masalah Matematis ditinjau dari Gaya Belajar Siswa pada Kelas

Accelerated Learning………

75

4.14 Uji Perbedaan Rata-rata Skor N-Gain KemampuanPemecahan Masalah Matematis ditinjau dari Gaya Belajar Siswa pada Kelas

Ekspositori ………

76


(8)

4.16 Klasifikasi Siswa Berdasarkan KKM ………...…… 80 4.17 Klasifikasi Siswa Berdasarkan N-Gain Kemampuan Representasi

Matematis ……….………… 80

4.18 Hasil Uji Normalitas Skor Pretes, Postes dan N-Gain Kemampuan

Representasi ………. 82

4.19 Hasil Uji Perbedaan Rata-Rata Skor Pretes Kemampuan

Representasi Matematis ……… 84

4.20 Hasil Uji Perbedaan Rata-Rata Skor Postes Kemampuan

Representasi Matematis ……… 85

4.21 Hasil Uji Perbedaan Rata-Rata Skor N-Gain Kemampuan

Representasi Matematis ……… 86

4.22 Data Rata-rata N-Gain Kemampuan Pemecahan Representasi Matematis Berdasarkan Gaya Belajar Siswa ………... 86 4.23 Uji Perbedaan Rata-rata Skor N-Gain Kemampuan Representasi

Matematis pada Kategori Gaya Belajar Visual ……… 89 4.24 Uji Perbedaan Rata-rata Skor N-Gain Kemampuan Representasi

Matematis pada Kategori Gaya Belajar Auditori ………….………… 90 4.25 Uji Perbedaan Rata-rata Skor N-Gain Kemampuan Representasi

Matematis pada Kategori Gaya Belajar Kinestetik ……….. 92 4.26 Uji Perbedaan Rata-rata Skor N-Gain Kemampuan Representasi

Matematis ditinjau dari Gaya Belajar Siswa pada Kelas Accelerated

Learning ………...

93

4.27 Uji Perbedaan Rata-rata Skor N-Gain Kemampuan Representasi Matematis ditinjau dari Gaya Belajar Siswa pada Kelas Ekspositori .. 94 4.28 Rangkuman Hasil Pengujian Hipotesis ……… 96


(9)

xi

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

3.1 Desain Penelitian Kelompok Kontrol Pretes-Postes Non-Random… 34 4.1 Interaksi antara Faktor Pembelajaran (Accelerated Learning dan

Ekspositori) dengan Faktor Gaya Belajar (Visual, Auditori, dan Kinestetik) terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis ..

77

4.2 Interaksi antara Faktor Pembelajaran (Accelerated Learning dan Ekspositori) dengan Faktor Gaya Belajar (Visual, Auditori, dan Kinestetik) terhadap Kemampuan Representasi Matematis ………


(10)

DAFTAR DIAGRAM

Diagram Halaman


(11)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

A VALIDASI INSTRUMEN ……… 116

A-1 Lembar Pertimbangan ……….. 117

A-2 Hasil Pertimbangan Angket Gaya Belajar Siswa ………. 125

A-3 Hasil Pertimbangan Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis ……… 126

A-4 Hasil Pertimbangan Tes Kemampuan Representasi Matematis 127 A-5 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Data Ujicoba Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis ………. 128

A-6 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Data Ujicoba Tes Kemampuan Representasi Matematis ………... 131

B PERANGKAT PEMBELAJARAN DAN INSTRUMEN 134 B-1 Silabus ………... 135

B-2 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (Kelas Accelerated Learning) ……….. 137

B-3 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (Kelas Ekspositori) ……. 148

B-4 Lembar Kerja Siswa ……….. 157

B-5 Angket Gaya Belajar Siswa ……….. 187

B-6 Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis .………….. 188

B-7 Tes Kemampuan Representasi Matematis ……… 199

B-8 Lembar Observasi Guru ……… 209

B-9 Lembar Observasi Siswa ……….……….. 210

B-10 Kerangka Berpikir ……….……… 211

C REKAPITULASI DATA ……….. 212

C-1 Data Angket Gaya Belajar Siswa ………. 213

C-2 Data Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis ………….. 215

C-3 Data Tes Kemampuan Representasi Matematis ………... 224

D UNSUR-UNSUR PENUNJANG PENELITIAN ……….. 231


(12)

(13)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Di era perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, semuanya berubah dengan cepat. Perubahan juga terjadi dalam dunia kerja. Perubahan yang terjadi saat ini dapat dilihat pada penggunaan tenaga manusia menjadi lebih banyak menggunakan tenaga mesin sehingga kemampuan tenaga kerja yang dibutuhkan dalam dunia kerja juga berubah. Sekarang yang dibutuhkan dalam dunia kerja adalah kemampuan untuk menggunakan mesin-mesin yang sangat canggih, kebutuhan tenaga kerja yang hanya mengandalkan tenaga otot sudah sangat jarang.

Perubahan yang serba cepat dalam semua bidang menyebabkan siswa akan menghadapi berbagai permasalahan yang harus diselesaikan dalam kehidupan mereka nantinya. Permasalahan yang akan dihadapi siswa di dunia kerja masih sukar untuk diprediksi. Oleh karena itu, siswa perlu diajarkan sejak dini tentang bagaimana caranya mengatasi permasalah yang akan mereka hadapi. Salah satu upaya agar siswa dapat mengatasi permasalahan adalah dengan mengajarkan matematika kepada siswa.

Menurut Suryadi (2005) banyak permasalahan dalam kehidupan sehari-hari yang dapat dilihat melalui cara pandang secara matematika serta dapat diselesaikan dengan menggunakan prinsip-prinsip matematika. BNSP (2006) mengemukakan bahwa matematika memiliki peranan penting dalam mengembangkan berbagai disiplin ilmu dan mengembangkan daya pikir manusia. Tidak ada satupun disiplin ilmu yang perkembangannya terlepas dari matematika. Bahkan, matematika adalah ilmu yang mendasari perkembangan teknologi. Oleh karena itu, matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang penting sehingga harus diajarkan di Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), dan Perguruan Tinggi.

Dalam standar Isi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) disebutkan bahwa tujuan mata pelajaran matematika di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) agar siswa memiliki kemampuan sebagai berikut: (1)


(14)

Memahamami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah. (2) Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika. (3) Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model, dan menafsirkan solusi yang diperoleh. (4) Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah. (5) Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika serta ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.

Kemampuan pemecahan masalah matematis sangat penting dalam pembelajaran matematika karena merupakan tujuan akhir dalam pengajaran matematika. Bahkan, menurut Branca (1980) kemampuan pemecahan masalah adalah jantungnya matematika. Cooney (Sumarmo, 2013:444) memaparkan bahwa kemampuan pemecahan masalah sangat penting agar siswa dapat menyelesaikan masalah yang dihadapinya dan membantu siswa berpikir analitis dalam mengambil keputusan dalam kehidupan sehari-hari.

Kemampuan pemecahan masalah matematis siswa perlu untuk dikembangkan. Ketika siswa dilatih melakukan pemecahan masalah dalam pembelajaran matematika, siswa diharapkan dapat menyelesaikan masalah matematika yang diberikan. Lebih lanjut, siswa diharapkan biasa dan mampu menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari, terlebih dalam kehidupannya nanti.

Proses pemecahan masalah matematis berbeda dengan proses menyelesaikan soal matematika. Perbedaan tersebut terkandung dalam istilah masalah dan soal. Menyelesaikan soal matematis belum tentu sama dengan memecahkan masalah matematis. Apabila suatu soal matematis dapat segera ditemukan cara penyelesaiannya, maka soal tersebut tergolong pada soal rutin dan bukan suatu masalah. Suatu soal matematis digolongkan masalah matematis apabila tidak dapat segera diperoleh cara menyelesaikannya namun harus melalui beberapa kegiatan lainnya yang relevan (Sumarmo, 2013: 444).


(15)

Selain kemampuan pemecahan masalah matematis, salah satu kemampuan matematis yang penting untuk dimiliki oleh siswa adalah kemampuan representasi matematis. Representasi matematis merupakan suatu hal yang selalu muncul ketika siswa mempelajari matematika pada semua tingkatan pendidikan. Pentingnya kemampuan representasi matematis tercantum dalam tujuan pembelajaran matematika dalam KTSP (2006) untuk tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) yakni agar siswa mampu menggunakan simbol matematis, tabel, diagram, dan lainnya.

Representasi adalah ungkapan-ungkapan dari suatu ide matematika yang ditampilkan siswa sebagai model atau pengganti dari suatu situasi masalah yang sedang dihadapinya sebagai hasil dari interpretasi pikirannya (NCTM, 2000). Representasi sangat penting untuk membantu siswa mengorganisasikan pikirannya, memudahkan pemahamannya, serta memfokuskannya pada hal-hal yang esensial dari masalah matematis yang dihadapinya. Lebih lanjut, Inayah (2013) mengungkapkan bahwa kemampuan siswa membuat representasi adalah sebagai sarana dalam memudahkan siswa dalam melakukan pemecahan masalah dan secara umum dapat meningkatkan kemampuan matematisnya.

NCTM (2000) menyatakan bahwa representasi yang dibangun oleh siswa ketika mereka menyelidiki ide-ide matematis berperan penting dalam membantu siswa memahami dan memecahkan masalah. Oleh karena itu, siswa harus diberi kesempatan untuk belajar membangun, menghaluskan dan menggunakan representasi mereka sendiri. Pendapat senada dikemukakan Gagatsis dan Shiakalli (Aisyah, 2012:222) yaitu kemampuan siswa dalam menterjemahkan dari satu representasi ke representasi lainnya merupakan faktor penting yang mempengaruhi kemampuan pemecahan masalah.

Montague (Inayah, 2013:31) memaparkan bahwa pemecahan masalah yang sukses tidak mungkin tanpa representasi masalah yang sesuai. Siswa yang mempunyai kesulitan dalam mempresentasikan masalah matematis akan memiliki kesulitan dalam melakukan pemecahan masalah. Representasi yang tepat akan memudahkan siswa dalam melakukan pemecahan masalah. Hasil penelitian Aisyah (2012) mengemukakan bahwa hubungan kemampuan representasi dan pemecahan masalah memiliki korelasi yang kuat. Baik atau tidaknya kemampuan


(16)

representasi matematis siswa akan mempengaruhi baik atau tidaknya kemampuan pemecahan masalah matematis siswa.

Berdasarkan pemaparan di atas, diketahui bahwa kemampuan pemecahan masalah dan representasi matematis merupakan kemampuan yang sangat penting untuk dikuasai siswa. Akan tetapi, fakta yang terungkap dalam beberapa hasil penelitian mengindikasikan bahwa kemampuan pemecahan masalah dan representasi matematis siswa masih rendah. Hasil penelitian Effendi (2012: 199) mengungkapkan kemampuan representasi siswa SMP masih rendah dilihat berdasarkan rata-rata skor siswa hanya 8,71 dari skor maksimal idealnya 16 artinya hanya 54,44% saja. Beberapa siswa skor kemampuan representasinya hanya mencapai 4, dengan kata lain hanya 25% dari skor maksimal ideal.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Dirgantoro (2014) menyimpulkan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematis siswa SMP masih rendah. Rendahnya kemampuan pemecahan masalah matematis siswa terlihat dari hasil pekerjaan siswa dalam pengerjaan soal yang rutin dan nonrutin dalam bentuk permasalahan matematis. Untuk soal non-rutin, dari 22 siswa yang diteliti, tidak ada seorang pun yang dapat menjawab dengan benar untuk soal dalam bentuk permasalahan matematis. Dalam pengerjaan soal rutin, dari 22 sampel siswa yang diteliti tersebut hanya empat orang siswa menjawab dengan benar.

Ruseffendi (2006) menyatakan bahwa dalam proses pembelajaran matematika terdapat sepuluh faktor yang mempengaruhi keberhasilan anak belajar yaitu kecerdasan anak, kesiapan anak, bakat anak, kemauan belajar, minat anak, model peyajian materi, pribadi dan sikap guru, suasana belajar, kompetensi guru, serta kondisi luar. Model peyajian materi sangat penting karena penyajian yang menarik, menyenangkan, sederhana, mudah dipahami, dan sesuai dengan kondisi siswa merupakan modal utama untuk memberikan rasa senang terhadap matematika.

Rose dan Nicholl (2009: 35) menyatakan bahwa accelerated learning

adalah proses menyerap dan memahami informasi baru dengan cepat dan menguasai informasi tersebut. Accelerated learning adalah suatu cara yang digunakan untuk meningkatkan kemampuan belajar siswa sehingga siswa dapat belajar dan memahami materi lebih cepat serta mengingat lebih banyak, membuat


(17)

belajar menyenangkan sehingga terjadi interaksi antara siswa dan guru yang aktif dengan demikian pembelajaran berjalan efektif.

Percepatan dalam accelerated learning diusahakan oleh guru kepada siswa melalui: pemberian tugas di rumah untuk membaca dan memahami materi pelajaran yang akan dipelajari berikutnya, memberi kesempatan untuk bertanya, menjawab pertanyaan, dan menjelaskan setiap jawaban yang diberikan, serta adanya interaksi, diskusi dan kerjasama dengan teman sehingga kemampuan pemecahan masalah dan representasi matematis siswa dapat ditingkatkan (Putra, 2012: 9).

Di lain pihak, gaya belajar matematika siswa juga mempengaruhi prestasi belajar siswa. Gaya belajar matematika adalah kombinasi dari bagaimana siswa menyerap dan kemudian mengatur serta mengolah informasi tersebut (De Porter dan Hernacki, 1999: 110). Gaya belajar merupakan cara belajar yang khas bagi siswa, bersifat individual yang kerapkali tidak disadari siswa. Menurut Rose & Nicholl (2009: 130) gaya belajar terbagi tiga yaitu auditori, visual dan kinestetik.

Siswa yang memiliki gaya belajar visual, belajar melalui melihat sesuatu, seperti melihat gambar, diagram, grafik dan peta konsep. Pembelajar visual ketika belajar lebih menyukai membaca, melihat teks, gambar dan mensketsanya. Siswa yang memiliki gaya belajar auditori belajar melalui mendengar sesuatu, seperti mendengar kaset, ceramah, diskusi dan debat. Pembelajar auditori ketika belajar senang mendengar informasi baru melalui penjelasan lisan, komentar, dan berdiskusi. Siswa yang memiliki gaya belajar kinestetik belajar melalui aktivitas fisik dan keterlibatan langsung, seperti melakukan kegiatan dan mengalami sendiri. Pembelajar kinestetik ketika belajar senang praktik supaya dapat langsung mengalami sendiri.

Cara-cara untuk mengenal gaya belajar matematika yang dimiliki siswa di antaranya dengan memperhatikan pemanfaatan sumber belajar matematika, cara memperhatikan pembelajaran matematika di kelas dan cara mudah bagi siswa untuk berkonsentrasi penuh saat belajar. Sagitasari (2010) memaparkan bahwa terdapat korelasi positif dan signifikan antara gaya belajar dengan prestasi belajar matematika siswa kelas VII SMP dengan nilai koefisien korelasi 0,393. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Handayani (2010) mengungkapkan bahwa prestasi


(18)

belajar siswa pada pokok bahasan akar, pangkat dan logaritma yang mempunyai gaya belajar auditori lebih baik prestasinya daripada siswa yang mempunyai gaya belajar kinestetik, siswa yang mempunyai gaya belajar visual prestasinya lebih baik daripada siswa yang mempunyai gaya belajar kinestetik, dan siswa yang mempunyai gaya belajar auditori prestasinya lebih baik daripada siswa yang mempunyai gaya belajar kinestetik.

Hasil penelitian Amalia (2012) dalam mengimplementasikan accelerated learning menunjukkan bahwa kemampuan penalaran dan komunikasi matematis siswa yang belajar dengan accelerated learning secara umum lebih baik daripada siswa yang belajar dengan pembelajaran ekspositori. Merujuk pada keberhasilan

tersebut, penulis tertarik untuk melaksanakan penelitian dengan judul, “Penerapan Accelerated Learning untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Representasi Matematis Siswa SMP”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut.

1. Apakah peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis antara siswa yang accelerated learning lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran ekspositori?

2. Apakah peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis antara siswa yang accelerated learning lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran ekspositori ditinjau berdasarkan gaya belajar (visual, auditori, dan kinestetik)?

3. Adakah interaksi antara faktor pembelajaran (accelerated learning dan ekspositori) dengan faktor gaya belajar (visual, auditori, dan kinestetik) terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis siswa?

4. Apakah peningkatan kemampuan representasi matematis antara siswa yang memperoleh accelerated learning lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran ekspositori?

5. Apakah peningkatan kemampuan representasi matematis antara siswa yang


(19)

pembelajaran ekspositori ditinjau berdasarkan gaya belajar (visual, auditori, dan kinestetik)?

6. Adakah interaksi antara faktor pembelajaran (accelerated learning dan ekspositori) dengan faktor gaya belajar (visual, auditori, dan kinestetik) terhadap kemampuan representasi matematis siswa?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menelaah tentang peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis antara siswa yang accelerated learning lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran ekspositori.

2. Menelaah tentang peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis antara siswa yang memperoleh accelerated learning lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran ekspositori ditinjau berdasarkan gaya belajar (visual, auditori, dan kinestetik).

3. Menelaah tentang interaksi antara faktor pembelajaran (accelerated learning

dan ekspositori) dengan faktor gaya belajar (visual, auditori, dan kinestetik) terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis siswa.

4. Menelaah tentang peningkatan kemampuan representasi matematis antara siswa yang memperoleh accelerated learning lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran ekspositori.

5. Menelaah tentang peningkatan kemampuan representasi matematis antara siswa yang memperoleh accelerated learning lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran ekspositori ditinjau berdasarkan gaya belajar (visual, auditori, dan kinestetik).

6. Menelaah tentang interaksi antara faktor pembelajaran (accelerated learning

dan ekspositori) dengan faktor gaya belajar (visual, auditori, dan kinestetik) terhadap kemampuan representasi matematis siswa.


(20)

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun secara praktis sebagai berikut.

1. Manfaat teroritis

Penelitian ini secara teoritis dapat dijadikan sebagai referensi dalam pembelajaran matematika, khususnya mengenai peningkatan kemampuan pemecahan masalah dan representasi matematis siswa dengan menggunakan

accelerated learning ditinjau dari gaya belajar (visual, auditori, dan kinestetik).

2. Manfaat praktis

a. Bagi siswa, pembelajaran matematika dengan menggunakan accelerated learning diharapkan dapat memotivasi siswa untuk lebih aktif dalam pembelajaran dan mampu meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan representasi matematis siswa.

b. Bagi guru, sebagai salah satu masukan untuk memilih dan mengembangkan alternatif pembelajaran yang sesuai untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan representasi matematis siswa.

c. Bagi peneliti, sebagai sarana dalam menerapkan metode ilmiah guna menghadapi permasalahan yang berkaitan dengan proses pembelajaran matematika.

3. Penentuan Ruang Lingkup

Untuk meneliti pengaruh accelerated learning terhadap kemampuan pemecahan masalah dan representasi siswa dalam matematika seharusnya dengan studi pelacakan secara komprehensif dan mendasar terhadap siswa dari berbagai aspek. Banyak aspek yang perlu dikaji secara seksama untuk memperoleh gambaran pengaruh suatu metode pembelajaran yang dieksperimenkan.

Namun demikian, karena hasil penelitian ini bermaksud untuk memperoleh gambaran yang lebih mendalam tentang kemampuan pemecahan masalah dan representasi matematis melalui tes, maka penelitian ini tidak mengkaji semua faktor pendukung kemampuan pemecahan masalah dan representasi matematis siswa dari semua aspek. Penelitian ini memiliki


(21)

keterbatasan-keterbatasan sebagai berikut: subjek penelitian ini adalah siswa Sekolah Menengah Pertama kelas VII dari sekolah yang termasuk kelompok sekolah sedang.

Rancangan pembelajaran pada penelitian ini penekanannya pada

accelerated learning yaitu suatu cara yang digunakan untuk meningkatkan kemampuan belajar siswa sehingga siswa dapat belajar dan memahami materi lebih cepat serta mengingat lebih banyak, membuat belajar menyenangkan sehingga terjadi interaksi antara siswa dan guru yang aktif dengan demikian pembelajaran berjalan efektif.

E. Definisi Operasional

Menghindari terjadinya kerancuan makna atau munculnya kesalahan dalam persepsi, berikut dikemukakan definisi operasional yang digunakan dalam penelitian ini.

1. Kemampuan pemecahan masalah matematis merupakan kemampuan memahami masalah yaitu mengidentifikasi kecukupan data untuk pemecahan masalah; merencanakan atau merancang strategi pemecahan masalah yaitu membuat model matematis dari suatu situasi atau masalah sehari-hari dan menyelesaikannya; melaksanakan perhitungan yaitu memilih dan menerapkan strategi untuk menyelesaikan masalah dalam atau di luar matematika; memeriksa kembali kebenaran hasil atau solusi yaitu menjelaskan atau menginterpretasikan hasil sesuai permasalahan asal serta memeriksa kebenaran hasil atau jawaban.

2. Kemampuan representasi matematis adalah menyajikan kembali data atau informasi dari suatu representasi ke representasi gambar, diagram, grafik atau tabel; menggunakan representasi visual untuk menyelesaikan masalah; menyatakan masalah atau informasi yang diberikan ke dalam persamaan matematis; menyelesaikan masalah dengan menggunakan persamaan matematis; menyusun cerita atau situasi masalah sesuai dengan representasi yang disajikan; menjawab pertanyaan dalam bentuk kata-kata atau teks tertulis.


(22)

3. Accelerated learning yaitu pembelajaran yang dibagi dalam enam langkah yaitu:

a. Mind (keadaan pikiran siswa), yaitu memotivasi pikiran siswa untuk siap belajar.

b. Acquire (memperoleh informasi dari guru), yaitu informasi yang benar-benar mendasar yang memancing siswa untuk menggali informasi selanjutnya.

c. Search Out (menyelidiki makna), yaitu siswa diberikan pertanyaan menantang pikiran dan tidak banyak berfokus pada fakta tetapi untuk mendorong siswa menganalisis, mengevaluasi, menilai, dan memecahkan masalah.

d. Trigger (memicu memori), yaitu siklus memicu memori (pengulangan) sangat penting dalam belajar.

e. Exhibit (memamerkan apa yang telah diketahui), yaitu setiap kelompok diberi waktu untuk mempresentasikan apa yang telah siswa ketahui. Kemudian kelompok lain diberikan kesempatan untuk bertanya.

f. Refleksi (merefleksikan cara belajar), yaitu siswa mengevaluasi cara dan hasil belajar, kemudian merencanakan cara belajar untuk meningkatkan kemampuan belajar.

4. Pembelajaran ekspositori yaitu pembelajaran yang diawali dengan guru menjelaskan materi, memberikan contoh soal yang berkaitan dengan materi, selanjutnya memberikan latihan soal. Siswa mendengarkan penjelasan guru, mencatat, bertanya jika tidak mengerti dan mengerjakan latihan soal secara individu atau bekerjasama dengan teman semejanya.


(23)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis

Suatu soal dikategorikan masalah atau bukan sangat tergantung pada siswa yang menghadapi soal tersebut. Masalah bagi seorang siswa belum tentu merupakan masalah bagi siswa lain. Suatu masalah untuk siswa pada jenjang sekolah tertentu belum tentu merupakan masalah untuk siswa jenjang sekolah yang lebih tinggi. Ruseffendi (2006) menyatakan bahwa suatu soal merupakan masalah bagi siswa apabila soal itu tidak dikenalnya atau siswa tersebut belum memiliki algoritma tertentu untuk menyelesaikannya.

Masalah dalam pembelajaran matematika adalah suatu soal atau pertanyaan yang bersifat menantang yang tidak dapat diselesaikan dengan prosedur rutin yang biasa dilakukan. Soal matematika tidak rutin adalah soal yang untuk sampai pada prosedur yang benar diperlukan pemikiran yang mendalam. Dikatakan soal matematika rutin jika soal tersebut soal yang biasa siswa temui sehingga siswa hanya menggunakan prosedur yang sering digunakan. Salah satu contoh soal rutin adalah soal yang diberikan hanya diganti angkanya saja dari soal serupa yang sebelumnya telah dipelajari.

Bell (1978: 310) mendefinisikan pemecahan masalah jika siswa menyadari adanya masalah dalam situasi tersebut, mengetahui bahwa masalah tersebut perlu diselesaikan, merasa ingin berbuat dan menyelesaikannya, namun tidak serta merta dapat menyelesaikannya. Pemecahan masalah merupakan bagian dari berpikir. Sebagai bagian dari berpikir, Arthur (Kesumawati, 2010: 34) mengemukakan bahwa latihan untuk memecahkan masalah akan meningkatkan kemampuan berpikir pada tingkat yang lebih tinggi. Sehingga dapat dikatakan kemampuan pemecahan masalah dalam matematika merupakan hal yang sangat penting untuk dimiliki seorang siswa dan juga merupakan salah satu faktor yang menentukan hasil belajar matematika siswa.

Branca (1980: 3-7) memaparkan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematis sangat penting dalam pembelajaran matematika karena merupakan tujuan akhir dalam pengajaran matematika bahkan kemampuan pemecahan


(24)

masalah adalah jantungnya matematika. Menurut Cooney (Sumarmo, 2013: 445) kemampuan pemecahan masalah sangat penting agar siswa dapat menyelesaikan masalah yang dihadapinya dan membantu siswa berpikir analitis dalam mengambil keputusan dalam kehidupan sehari-hari.

Pemecahan masalah memiliki tiga interpretasi yaitu pemecahan masalah sebagai: a) tujuan; b) proses; dan c) pendekatan. Pemecahan masalah sebagai tujuan berkaitan dengan bagaimana cara memecahkan masalah sampai berhasil. Pemecahan masalah sebagai proses adalah suatu kegiatan yang lebih mengutamakan pentingnya prosedur langkah-langkah, strategi atau cara yang dilakukan siswa untuk menyelesaikan masalah sehingga menemukan jawaban. Pemecahan masalah sebagai pendekatan yaitu pembelajaran diawali masalah kemudian siswa diberi kesempatan untuk menemukan dan mengkonstruksi konsep-konsep matematika. Dalam kenyataan di lapangan ketiga interpretasi mengenai pemecahan masalah tidak dapat dipisah-pisahkan namun saling terkait (Branca, 1980).

Dalam standar Isi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) disebutkan bahwa tujuan mata pelajaran matematika di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) agar siswa memiliki kemampuan sebagai berikut: (1) Memahamami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah. (2) Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika. (3) Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model, dan menafsirkan solusi yang diperoleh. (4) Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah. (5) Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika serta ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.

NCTM (2000) mengemukakan standar pemecahan masalah untuk siswa pra taman kanak-kanak sampai kelas XII adalah 1) membangun pengetahuan matematis baru melalui pemecahan soal; 2) menyelesaikan soal yang muncul


(25)

dalam matematika dan dalam konteks-konteks lain; 3) menerapkan dan menyesuaikan bermacam strategi yang sesuai untuk memecahkan soal; dan 4) mengamati dan mengembangkan proses pemecahan soal matematis. Lebih lanjut, Sumarmo (2013: 447) menyatakan bahwa indikator pemecahan masalah matematis adalah a) mengidentifikasi kecukupan data untuk pemecahan masalah; b) membuat model matematis dari suatu situasi atau masalah sehari-hari dan menyelesaikannya; c) memilih dan menetapkan strategi untuk menyelesaikan masalah dalam atau di luar matematika; d) menjelaskan atau menginterpretasikan hasil sesuai permasalahan asal serta memeriksa kebenaran hasil atau jawaban; dan e) menerapkan matematika secara bermakna.

Polya (1985) menyusun empat langkah atau tahapan yang harus ditempuh dalam pemecahan masalah yaitu: memahami masalah, merencanakan cara penyelesaian, melaksanakan rencana, dan menafsirkan hasilnya. Pada tahapan memahami masalah terdapat di dalamnya kegiatan mengidentifikasi konsep matematika yang terlibat, mengindentifikasi hubungan antar konsep tersebut, kemudian menyatakan hubungan konsep yang bersangkutan dalam bentuk model matematika masalah yang bersangkutan. Model matematika tersebut dapat berbentuk ekspresi matematis atau gambar, diagram, atau model matematika lainnya. Beberapa cara untuk membantu siswa mengatasi kesulitan dalam menyelesaikan masalah antara lain: a) Mengajukan pertanyaan untuk mengarahkan siswa bekerja; b) menyajikan isyarat (clue atau hint) untuk menyelesaikan masalah dan bukan memberikan prosedur penyelesaian; c) membantu siswa menggali pengetahuannya dan menyusun pertanyaan sendiri sesuai dengan kebutuhan masalah; d) membantu siswa mengatasi kesulitannya sendiri.

Ruseffendi (2006) menyebutkan langkah-langkah penyelesaian masalah ada lima langkah yaitu: merumuskan permasalah dengan jelas; menyatakan kembali persoalannya dalam bentuk yang dapat diselesaikan; menyusun hipotesis (sementara) dan strategi pemecahannya; melakukan prosedur pemecahan masalah; serta melakukan evaluasi terhadap penyelesaian. Pengukuran kemampuan pemecahan masalah secara parsial diutarakan oleh Sumarmo (2013: 445) yaitu empat langkah dari Polya dapat digunakan sebagai acuan dalam mengukur


(26)

kemampuan pemecahan masalah matematis. Dalam penelitian ini, untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah matematis siswa diberikan tes pemecahan masalah berupa soal-soal tentang materi yang diajarkan. Indikator yang menunjukkan kemampuan pemecahan masalah matematis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) memahami masalah yaitu mengidentifikasi kecukupan data untuk pemecahan masalah;

2) merencanakan atau merancang strategi pemecahan masalah yaitu membuat model matematis dari suatu situasi atau masalah sehari-hari dan menyelesaikannya;

3) melaksanakan perhitungan yaitu memilih dan menerapkan strategi untuk menyelesaikan masalah dalam atau di luar matematika;

4) memeriksa kembali kebenaran hasil atau solusi yaitu menjelaskan atau menginterpretasikan hasil sesuai permasalahan asal serta memeriksa kebenaran hasil atau jawaban.

B. Kemampuan Representasi Matematis

Hwang, Chen, Dung, & Yang (2007) mengemukakan bahwa representasi dalam psikologi umum merupakan proses membuat model konkret dalam dunia nyata ke dalam konsep abstrak atau simbol. Lebih lanjut, representasi dalam psikologi matematika bermakna deskripsi hubungan antara objek dengan simbol. Representasi adalah ungkapan-ungkapan dari suatu ide matematika yang ditampilkan siswa sebagai model atau pengganti dari suatu situasi masalah yang sedang dihadapinya sebagai hasil dari intrepretasi pikirannya (NCTM, 2000: 67).

Wahyudin (2008: 539) memaparkan bahwa representasi matematis sangat penting bagi siswa dan berhubungan erat dengan pemecahan masalah. Untuk dapat memecahkan masalah siswa perlu representasi baik berupa gambar, grafik, diagram, maupun representasi lainnya. Misalkan siswa diminta untuk menyelesaikan perkalian menggunakan sistem angka Romawi di mana siswa tidak terbiasa untuk menggunakan sistem angka Romawi. Siswa akan mengalami kesulitan dibandingkan saat siswa menggunakan notasi basis sepuluh dari sistem angka Arab untuk menyelesaikan perkalian. Lebih lanjut, Wahyudin (2008)


(27)

mengungkapkan apabila siswa memiliki akses ke representasi-representasi dan gagasan-gagasan yang siswa tampilkan, siswa tersebut akan memiliki sehimpunan alat yang secara signifikan memperluas kapasitasnya untuk berpikir secara matematis.

Lesh dkk (Kartini, 2011) membagi representasi yang digunakan dalam pendidikan matematika dalam lima jenis, meliputi representasi objek dunia nyata, representasi konkret, representasi simbol aritmetika, representasi bahasa lisan, atau verbal dan representasi gambar atau grafik. Kemampuan representasi bahasa atau verbal adalah kemampuan menerjemahkan sifat-sifat yang diselidiki dan hubungannya dalam masalah matematika ke dalam representasi verbal atau bahasa. Kemampuan representasi gambar atau grafik adalah kemampuan menerjemahkan masalah matematis ke dalam gambar atau grafik. Sedangkan kemampuan representasi simbol aritmetika adalah kemampuan menerjemahkan masalah matematika ke dalam representasi rumus aritmetika.

Goldin (2002: 208) mengungkapkan bahwa proses representasi matematis berlangsung dalam dua tahap yaitu secara internal dan eksternal (dipikirkan dan dituangkan). Representasi internal dari seseorang sulit untuk diamati secara langsung karena merupakan aktivitas mental dari seseorang di dalam pikirannya (minds-on). Tetapi representasi internal dari seseorang itu dapat disimpulkan atau diduga berdasarkan representasi eksternalnya dalam berbagai kondisi, misalnya melalui kata-kata, simbol, gambar, grafik, tabel, ataupun alat peraga.

Agar representasi matematis eksternal yang siswa sajikan dapat menggambarkan secara utuh atau sebagian besar representasi matematik internal yang ada dalam pikirannya (minds-on) maka kemampuan representasi siswa perlu terus ditingkatkan. Salah satu cara yang dapat meningkatkan kemampuan representasi matematis sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kartini (2011) yaitu dengan membiasakan siswa menggunakan bentuk-bentuk representasi ke bentuk presentasi lainnya dalam mengeskpresikan representasi matematis internal yang ada dalam pikiran.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hutagaol (2009) yaitu bahwa strategi multi representasi dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah siswa. Ide-ide atau konsep matematika yang abstrak dapat menjadi


(28)

konsep nyata dan lebih mudah dipahami jika disiasati atau disengaja dan direncanakan oleh guru untuk memunculkan multi representasi. Hal ini mengakibatkan adanya variasi dalam pembelajaran untuk memancing siswa produktif, sehingga tujuannya berupa hasil belajar bisa tercapai secara optimal.

Multi representasi adalah ungkapan-ungkapan dari suatu ide matematika dalam berbagai bentuk (bahasa verbal, numerik, model, diagram, tabel, dan notasi aljabar) yang ditampilkan siswa sebagai model atau pengganti dari suatu situasi masalah yang sedang dihadapinya sebagai hasil dari interpretasi pikirannya. Pemunculan suatu representasi dapat dirangsang atau dipicu oleh adanya situasi realistik dan akan lebih baik jika siswa merasa akrab dengan situasi tersebut.

Mudzakir (2006) menyimpulkan ragam representasi yang sering digunakan dalam mengkomunikasi matematika antara lain: (1) Representasi visual berupa diagram, tabel, atau grafik serta gambar. (2) Persamaan atau ekspresi matematis. (3) Kata-kata atau teks tertulis. Representasi visual berupa diagram, tabel atau grafik dapat dilakukan dengan (a) menyajikan kembali data atau informasi dari representasi diagram, grafik, atau tabel, (b) menggunakan representasi visual untuk menyelesaikan masalah. Bentuk operasional representasi visual berupa gambar adalah (a) membuat gambar pola-pola geometri, (b) membuat gambar bangun geometri untuk memperjelas masalah dan memfasilitasi penyelesaiannya.

Bentuk operasional representasi persamaan atau ekspresi matematis adalah (a) membuat persamaan atau ekspresi matematis dari representasi lain yang diberikan, (b) membuat konjektur dari suatu pola bilangan, (c) penyelesaian masalah dengan melibatkan ekspresi matematis. Lebih lanjut representasi kata-kata atau teks tertulis bentuk operasionalnya adalah (a) membuat situasi masalah berdasarkan data atau representasi yang diberikan, (b) menuliskan interpretasi dari suatu representasi, (c) menyusun cerita yang sesuai dengan suatu representasi yang disajikan, (d) menuliskan langkah-langkah penyelesaian masalah matematika dengan kata-kata atau teks tertulis. (e) membuat dan menjawab pertanyaan dengan menggunakan kata-kata atau teks tertulis.

Berdasarkan beberapa pengertian mengenai representasi sebelumnya, maka indikator kemampuan representasi yang akan diamati pada penelitian ini


(29)

adalah: (a) Representasi visual berupa diagram, grafik atau tabel, meliputi: (1) Menyajikan kembali data atau informasi dari suatu representasi ke representasi gambar, diagram, grafik atau tabel. (2) Menggunakan representasi visual untuk menyelesaikan masalah. (b) Persamaan atau ekspresi matematis, meliputi: (1) Menyatakan masalah atau informasi yang diberikan ke dalam persamaan matematis. (2) Menyelesaikan masalah dengan menggunakan persamaan matematis. (c) Kata-kata atau teks tertulis, meliputi: (1) Menyusun cerita atau situasi masalah sesuai dengan representasi yang disajikan. (2) Menjawab pertanyaan dalam bentuk kata-kata atau teks tertulis.

C. Accelerated Learning

Rose dan Nicholl (2009:35) menyatakan bahwa accelerated learning

adalah proses menyerap dan memahami informasi baru dengan cepat dan menguasai informasi tersebut. Dalam proses accelerated learning siswa dilibatkan secara aktif agar mencapai percepatan dalam mengenal dan menguasai konsep matematika yang diajarkan. Prinsip belajar accelerated learning yaitu mendukung emosi positif siswa sehingga siswa belajar dengan aktif dan tidak tertekan. Mengenalkan tokoh atau ilmuwan matematika yang sukses, memberitahukan manfaat materi yang akan dipelajari dalam kehidupan sehari-hari dan permainan membuat kerangka segiempat adalah cara yang dianggap dapat memunculkan emosi positif siswa.

Percepatan yang dimaksud dalam accelerated learning diusahakan oleh guru kepada siswa melalui: pemberian tugas di rumah untuk membaca dan memahami materi pelajaran yang akan dipelajari berikutnya, memberi kesempatan untuk bertanya, menjawab pertanyaan, dan menjelaskan setiap jawaban yang diberikan, serta adanya interaksi, diskusi dan kerjasama dengan teman sehingga kemampuan pemecahan masalah dan representasi matematis siswa dapat ditingkatkan (Putra, 2012: 9).

Dari pernyataan di atas disimpulkan bahwa accelerated learning adalah suatu cara yang digunakan untuk meningkatkan kemampuan belajar siswa sehingga siswa dapat belajar dan memahami materi lebih cepat serta mengingat lebih banyak, membuat belajar menyenangkan agar terjadi interaksi antara siswa dan guru yang aktif sehingga pembelajaran berjalan efektif.


(30)

Rose dan Nicholl (2009) mengemukakan keenam langkah dasar pembelajaran dengan accelerated learning, yaitu:

1. Mind (keadaan pikiran siswa)

Langkah ini bertujuan untuk memotivasi pikiran siswa untuk siap belajar. Pemberian motivasi dapat dilakukan dengan berbagai cara di antaranya yaitu menjelaskan kepada siswa bahwa setiap siswa dapat belajar hanya saja tiap siswa memerlukan waktu yang berbeda-beda untuk memahami sebagian pokok bahasan matematika; memberitahukan kepada siswa tentang manfaat mempelajari materi matematika yang akan dipelajari; pengenalan tokoh ilmuwan matematika yang sukses; permainan membuat kerangka segiempat dari lidi; siswa bersama-sama menciptakan motto kelas sehingga memberikan identitas kelompok. Misalnya: “aku dan kamu dapat melakukannya” yang diharapkan membangkitkan rasa kekeluargaan di antara siswa sehingga siswa saling membantu untuk dapat belajar dengan baik. Lebih lanjut, langkah mind juga bertujuan untuk menghilangkan persepsi yang kurang baik tentang matematika bahwa matematika adalah pembelajaran yang hanya terdiri dari kegiatan menghitung serta menumbuhkan sifat yang positif terhadap matematika.

2. Acquire (memperoleh informasi dari guru)

Informasi yang diberikan oleh guru hendaknya dibatasi pada informasi yang benar-benar mendasar yang memancing siswa untuk menggali informasi selanjutnya. Guru menyampaikan informasi baru berupa gagasan inti dari pokok bahasan yang akan diajarkan. Dalam proses pembelajaran, guru membentuk siswa dalam kelompok-kelompok belajar dan membimbing para siswa dalam menumbuhkembangkan keterampilan interpersonal (antar individu), belajar bekerja sama, belajar menyampaikan informasi, belajar bagaimana mengandalkan dan mempercayai pekerjaan orang lain dan berpemecahan masalah dengan baik.

Siswa diberi kesempatan berdiskusi dalam kelompok untuk menemukan apa yang belum mereka pahami dan apa yang sudah mereka pahami. Permasalahan yang tidak dapat diselesaikan dalam kelompok ditulis di sebuah kertas berupa pertanyaan. Seandainya tidak ada permasalahan maka


(31)

guru sebagai fasilitator dapat menambahkan pertanyaan-pertanyaan yang sesuai dengan indikator pembelajaran.

Putra (2012) memaparkan prosedur dari teknik pertanyaan dalam

accelerated learning yaitu 1) membagikan beberapa kertas ke setiap kelompok atau siswa; 2) setiap siswa atau kelompok diinstruksikan menulis pertanyaan mengenai materi yang tidak dipahami pada kertas yang telah disediakan oleh guru; 3) kelompok atau siswa yang mampu menjawab pertanyaan kelompok lain boleh menjawab atau memberikan solusi di depan kelas; 5) guru sebagai fasilitator dapat menambahkan pertanyaan; 6) pertanyaan yang tidak mampu dijawab kelompok atau siswa didiskusikan bersama oleh guru dan siswa. 3. Search Out (menyelidiki makna)

Siswa diberikan pertanyaan menantang pikiran dan tidak banyak berfokus pada fakta tetapi untuk mendorong siswa menganalisis, mengevaluasi, menilai, dan memecahkan masalah. Siswa diberikan kesempatan untuk menyelidiki dan menemukan sendiri penyelesaian masalah. 4. Trigger (memicu memori)

Siklus memicu memori (pengulangan) sangat penting dalam belajar. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan daya ingat para siswa, antara lain.

a. Guru mengajak siswa untuk mengulang butir-butir materi yang utama dengan cepat pada akhir setiap pelajaran.

b. Guru mengajak siswa untuk mengulang butir-butir kunci dengan cepat pada awal sesi pelajaran berikutnya.

c. Guru mengajak siswa untuk mengulang butir-butir dari pembelajaran selama seminggu, sekali seminggu.

d. Mengalokasikan waktu setiap bulan untuk mengulangi semua bahan pelajaran selama sebulan lalu.

e. Mengalokasikan waktu satu pertemuan setiap 6 bulan untuk mengulang semua bahan pelajaran selama 6 bulan lalu.

5. Exhibit (memamerkan apa yang telah diketahui)

Para siswa menilai apa yang telah mereka pelajari dan bagaimana strategi belajar siswa bekerja dengan baik. Hasil belajar diperoleh dari


(32)

sharing antar siswa, antar kelompok, dan antara yang tahu ke yang belum tahu. Setiap kelompok diberi waktu untuk mempresentasikan apa yang telah siswa ketahui. Kemudian kelompok lain diberikan kesempatan untuk bertanya.

6. Refleksi (merefleksikan cara belajar)

Siswa mengevaluasi cara dan hasil belajar, kemudian merencanakan cara belajar untuk meningkatkan kemampuan belajar. Refleksi merupakan respons terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang baru diterima. Misalnya ketika pembelajaran berakhir siswa merenungkan apa yang sudah diperoleh.

Menurut Meier (1997) ada empat tahap accelerated learning, yaitu (1) Tahap Persiapan, (2) Tahap Penyampaian, (3) Tahap Pelatihan, dan (4) Tahap Penampilan. Penjelasan secara lebih rinci mengenai empat tahap tersebut sebagai berikut:

1) Tahap Persiapan

Tahap ini berkaitan dengan mempersiapkan siswa untuk belajar. Persiapan bertujuan untuk menggugah minat siswa, memberi siswa perasaan positif mengenai pengalaman belajar yang akan siswa lalui dan menempatkan siswa pada suasana belajar yang optimal.

Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk melakukan tahap ini, antara lain:

a) Memberikan sugesti positif.

b) Menyatakan manfaat bagi siswa mempelajari materi yang akan diajarkan.

c) Menyatakan tujuan yang jelas dan bermakna mempelajari materi yang akan diajarkan.

d) Menggugah rasa ingin tahu dan menimbulkan minat. e) Mengajak siswa terlibat penuh sejak awal.

f) Pengenalan tokoh ilmuwan matematika yang sukses. 2) Tahap Penyampaian

Tahap Penyampaian dimaksudkan untuk mempertemukan siswa dengan materi belajar yang mengawali proses belajar secara positif dan


(33)

menarik. Tujuan dari tahap ini membantu siswa menemukan materi belajar yang baru secara menarik, menyenangkan dan relevan. Beberapa cara yang dapat dilakukan dalam tahap ini, antara lain:

a) Uji-coba kolaboratif dan berbagi pengetahuan. b) Pengamatan terhadap fenomena dunia nyata. c) Berlatih memecahkan masalah.

3) Tahap Pelatihan

Tahap pelatihan merupakan intisari dari accelerated learning. Dalam tahap ini pembelajaran yang sebenarnya berlangsung. Tujuan tahap ini adalah membantu siswa mengintegrasikan dan memadukan pengetahuan atau keterampilan baru dengan berbagai cara.

Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk melakukan tahap ini, antara lain:

i. Latihan belajar lewat praktik.

ii. Aktivitas pemecahan masalah dengan menjawab pertanyaan dari kelompok lain.

iii. Mengajar kembali. 4) Tahap Penampilan

Tahap ini bertujuan membantu siswa menerapkan dan mengembangkan pengetahuan serta keterampilan baru siswa pada pekerjaan, sehingga pembelajaran tetap melekat dan prestasi terus meningkat

Tahap ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain: i. Aktivitas penguatan lanjutan.

ii. Materi penguatan pascasesi. iii. Pengarahan berkelanjutan.

iv. Evaluasi prestasi dan umpan balik.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tahap-tahap penggunaan accelerated learning adalah sebagai berikut:

1. Tahap Persiapan

a. Siswa dibagi dalam kelompok. Satu kelompok terdiri dari 2-3 orang. b. Siswa diberikan motivasi siswa agar siap belajar.


(34)

c. Siswa diberikan apersepsi dengan mengingatkan kembali materi yang telah dipelajari.

d. Siswa diberikan penjelasan tujuan pembelajaran 2. Tahap Penyampaian

a. Siswa diberikan kesempatan untuk membangun pengetahuannya sendiri melalui LKS yang telah disediakan guru.

b. Siswa diberikan kesempatan berdiskusi dalam kelompok untuk menemukan apa yang belum mereka pahami dan apa yang sudah dipahami.

c. Permasalahan yang tidak dapat diselesaikan dalam kelompok ditulis di sebuah kertas berupa pertanyaan, seandainya tidak ada permasalahan maka guru sebagai fasilitator dapat menambahkan pertanyaan-pertanyaan yang sesuai dengan indikator pembelajaran.

d. Setiap kelompok diinstruksikan untuk mengambil pertanyaan yang berasal dari kelompok lain dan bertanggung jawab menyelesaikannya.

e. Setiap kelompok dibimbing untuk berdiskusi menyelesaikan pertanyaan yang berasal dari kelompok lain.

3. Tahap Pelatihan

Setiap kelompok diminta untuk mempresentasikan hasil diskusi mereka. Pertanyaan yang belum terjawab oleh siswa didiskusikan bersama oleh siswa dan guru.

4. Tahap Penampilan Hasil

a. Siswa dan guru melakukan refleksi tentang pembelajaran yang telah dipelajari.

b. Siswa dengan bimbingan guru menyimpulkan/merangkum materi pelajaran.

c. Siswa diberi PR agar menjadi lebih paham dan mengulang pelajaran di rumah.

d. Siswa diberi tugas oleh guru untuk membaca dan mempersiapkan materi selanjutnya.


(35)

D. Pembelajaran Ekspositori

Istilah ekspositori diambil dari konsep exposition, yang secara sederhana berarti memberikan penjelasan (Wahyudin, 2008: 290). Dalam pembelajaran, ekspositori berkaitan dengan pemberian berbagai fakta, gagasan dan informasi penting lainnya oleh guru kepada siswa. Pembelajaran ekspositori sering disamakan dengan ceramah, dimana guru memberikan informasi dan pengajaran berpusat pada guru. Namun, Ruseffendi (2006: 289) memaparkan bahwa ekspositori berbeda dengan ceramah. Pada pembelajaran ekspositori dominasi guru dikurangi dibandingkan pada pembelajaran ceramah, guru hanya memberikan informasi pada saat diperlukan. Ausubel (Ruseffendi, 2006: 290) mengemukakan pembelajaran ekspositori adalah salah satu pembelajaran yang efektif dan efisien dalam menanamkan belajar bermakna (meaningful). Meskipun begitu, bukan berarti pembelajaran ekspositori bila dipergunakan untuk semua topik matematika dan dalam situasi dan kondisi apapun akan menjadi pembelajaran yang efektif. Melalui penelitian yang dilakukan oleh Ausubel, kesimpulannya adalah pembelajaran ekspositori apabila dipergunakan sebagaimana mestinya dan sesuai dengan situasi dan kondisinya maka pembelajaran ekspositori adalah pembelajaran yang efektif.

Pembelajaran ekspositori adalah pembelajaran yang diawali dengan guru memberikan informasi yang penting misalnya menerangkan suatu konsep, mendemonstrasikan keterampilannya mengenai pola/aturan/dalil tentang konsep kemudian siswa diberikan kesempatan untuk bertanya. Guru memberikan contoh-contoh soal aplikasi konsep tersebut dan meminta siswa untuk menyelesaikan soal-soal di papan tulis atau di mejanya. Siswa dapat bekerja secara individual atau bekerjasama dengan teman semejanya atau siswa lain. Peran guru dalam pembelajaran ekspositori yaitu menjadi sumber data yang penting dan membimbing siswa untuk mendapatkan jawaban yang tepat sehingga arahan dan penjelasan dari guru harus jelas bagi siswa. Pertanyaan yang ambigu dan penjelasan yang membingungkan akan penghambat pembelajaran. Penggunaan sumber daya pembelajaran sangat penting dalam pembelajaran ekspositori karena siswa tidak mencari data untuk membuat interpretasi-interpretasi mereka sendiri.


(36)

Sebaliknya, siswa akan mencari dan mempelajari berbagai interpretasi dan rangkuman yang dihadirkan oleh guru.

E. Gaya Belajar Matematika Siswa

Setiap siswa belajar menurut caranya sendiri disebut gaya belajar. Nasution (2008) mengungkapkan bahwa gaya belajar adalah cara yang cenderung dipilih seseorang untuk menerima informasi dari lingkungan dan memproses informasi tersebut. Menurut De Porter dan Hernacki (1999) gaya belajar siswa adalah cara belajar yang khas, bersifat konsisten dan merupakan kombinasi dari bagaimana siswa tersebut menyerap dan mengatur serta mengolah informasi.

Lebih lanjut, Marsha (Sujarwo, 2012) berpendapat bahwa gaya belajar belajar merupakan hal yang penting karena pendidikan disesuaikan dengan keunikan individu. Perbedaan individu harus dihargai karena gaya belajar merupakan ungkapan dari keunikan setiap orang. Macam-macam gaya belajar menurut Kolb (Alsa, 2010: 4) terdiri dari eksplorasi, asimilasi, pemusatan, dan akomodasi. Siswa yang memiliki gaya belajar eksplorasi (diverging) menyukai melihat fenomena berdasarkan perspektif yang majemuk. Biasanya individu dengan gaya belajar ini menyukai bekerja dalam kelompok, lebih terbuka terhadap gagasan dan menghargai umpan balik meskipun bersifat personal. Siswa yang memiliki gaya belajar asimilasi (assimilating) senatiasa memahami permasalahan secara luas kemudian disimpulkan. Biasanya, siswa yang memiliki gaya belajar asimilasi menyukai teori yang dapat dirasionalisasi atau dilogikakan daripada nilai-nilai praktis. Dalam berakitivitas, siswa yang memiliki gaya belajar asimilasi menyukai aktivitas seperti membaca, mengeksplorasi model-model analitis, dan meluangkan banyak waktu untuk berpikir secara mendalam.

Siswa bergaya belajar pemusatan (converging) menyukai mencari sisi-sisi praktis dari teori atau gagasan, puas ketika dapat mengambil keputusan dengan tepat dan menyelesaikan permasalahan secara tuntas sehingga mereka lebih berminat pada tugas-tugas teknis daripada membicarakan mengenai isu-isu yang bersifat teoritis. Dalam belajar, siswa bergaya belajar pemusatan menyukai kegiatan belajar menggunakan eksperimen, demonstrasi, simulasi dan praktikum. Mengutamakan pada eksplorasi pengalaman-pengalaman yang menantang salah


(37)

satu ciri siswa yang memiliki gaya belajar akomodasi (accommodating). Lebih lanjut, siswa bergaya belajar akomodasi dalam mengatasi masalah belajar pada orang yang memiliki informasi dan wawasan luas. Siswa bergaya belajar akomodasi menyukai menyelesaikan tugas bersama-sama dengan orang lain dalam merencanakan tujuan, menyelesaikan tugas lapangan dan mencoba-coba cara yang unik dan kreatif dalam menyelesaikan tugas. De Porter dan Hernaci (1999) membagi gaya belajar yaitu terdiri dari visual, auditori, dan kinestetik. Pengkategorian ini hanya merupakan pedoman bahwa individu memiliki salah satu karakteristik yang paling menonjol.

Siswa yang memiliki gaya belajar visual belajar melalui melihat sesuatu. Pembelajar bergaya belajar visual senang melihat gambar atau diagram, pertunjukkan, peragaan atau menlihat tayangan video. Siswa yang memiliki gaya belajar auditori belajar melalui mendengar sesuatu. Pembelajar bergaya belajar auditori senang mendengarkan kaset, ceramah, diskusi, debat, dan instruksi verbal. Siswa yang memiliki gaya belajar kinestetik belajar melalui aktivitas fisik dan keterlibatan langsung. Pembelajar bergaya belajar kinestetik senang bergerak, menyentuh dan mengalami sendiri. Pada penelitian ini gaya belajar yang akan diteliti pada siswa dibatasi pada gaya belajar visual, auditori, dan kinestetik. De Porter dan Hernacki (1999: 133) mengemukakan ciri-ciri siswa bertipe visual, auditori, dan kinestetik sebagai berikut:

a. Visual

(i) Perilaku rapi, teratur, teliti terhadap detail. (ii) Lebih mudah dalam mengingat apa yang dilihat daripada yang didengar. (iii) Mengingat dengan asosiasi visual. (iv) Lebih suka membacakan daripada dibacakan. (v) Mempunyai masalah untuk mengingat instruksi verbal kecuali jika ditulis, dan sering kali minta bantuan orang untuk mengulanginya.

b. Auditori

(i) Mudah terganggu oleh keributan. (ii) Senang membaca dengan keras dan mendengarkan. (iii) Suka berbicara, suka berdiskusi, dan menjelaskan sesuatu panjang lebar. (iv) Mempunyai masalah dengan pekerjaan-pekerjaan yang bersifat visualisasi, seperti memotong bagian-bagian sehingga sesuai satu sama lain.


(38)

c. Kinestetik

(i) Selalu berorientasi pada fisik, banyak gerak. (ii) Berbicara dengan perlahan. (iii) Belajar melalui manipulasi dan praktek. (iv) Menyukai buku-buku yang berorientasi pada plot dengan mencerminkan aksi dengan gerakan tubuh saat membaca.

F. Teori Belajar yang Mendukung

Pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan penelitian ini adalah pendekatan pembelajaran konstruktivisme. Ide inti dari konstruktivisme adalah siswa yang harus mengonstruksi pemahaman sendiri (Jacob, 2002:1). Menurut Piaget (Tim MKPBM, 2001:39), interaksi antar teman merupakan suatu mekanisme kunci untuk menanggulangi keterpusatan-diri sendiri. Interaksi antar siswa penting untuk mengonstruksi pengetahuan matematis, mengembangkan kompetensi pemecahan masalah dan penalaran, mendorong rasa percaya diri, dan memperoleh keterampilan sosial (Davidson, Lappan & Schram, dalam Jacob, 2002:2). Untuk mengkontruksi pengetahuan diperlukan pemikiran yang aktif tentang pengetahuan tersebut. Artinya siswa akan kesulitan untuk mengkonstruksi pengetahuannya apabila siswa tidak aktif sehingga siswa perlu dimotivasi untuk mengkontruksi pengetahuannya melalui aktivitas mengkritisi idea baru, mencari koneksi antar ide, dan mengalisis idenya sendiri maupun ide dari siswa lain. Ketika siswa melakukan aktivitas mengkontruksi pengetahuannya siswa memiliki kesempatan untuk memberi makna terhadap ide baru melaui proses mengubah ide-ide yang telah ada (Ibrahim, 2011: 39)

Pendekatan kontruktivisme dalam kaitannya dengan belajar, Cobb (Suherman, 2003:72) menguraikan bahwa belajar dipandang sebagai proses aktif dan kostruktif di mana siswa mencoba untuk menyelesaikan masalah yang muncul sebagaimana mereka berpartisipasi secara aktif dalam latihan matematika di kelas. Teori belajar konstruktivisme merujuk pada dua proses yang saling melengkapi yaitu asimilasi dan akomodasi dari Piaget. Asimilasi adalah proses yang melibatkan penggunaan skema yang ada untuk memberi arti terhadap pengalaman, sedangkan akomodasi adalah proses memodifikasi suatu rancangan yang telah ada dalam memandang sesuatu yang berlawanan dengan skema yang ada sedemikian hingga membentuk suatu rancangan baru.


(39)

Vygotsky (Ruseffendi, 2006: 133) mengungkapkan jarak antara tingkat perkembangan aktual dengan tingkat perkembangan potensial disebut zone of proximal development (zona perkembangan proksimal). Tingkat perkembangan aktual tampak dari kemampuan seseorang untuk menyelesaikan tugas-tugas dan memecahkan berbagai masalah secara sendiri. Sedangkan tingkat perkembangan potensial tampak dari kemampuan seseorang untuk menyelesaikan tugas-tugas dan memecahkan masalah ketika dibimbing orang dewasa atau ketika berkolaborasi dengan teman sebaya yang lebih mampu atau kompeten. Accelerated learning sesuai dengan teori Vygotsky yang mengemukakan bahwa proses belajar terjadi pada saat siswa berkolaborasi dengan orang lain dan kemudian dilakukan secara individual yang dalamnya terjadi proses internalisasi. Dalam accelerated learning juga terdapat proses diskusi, baik antar siswa maupun antara guru dengan siswa.

G. Hasil Penelitian yang Relevan

Beberapa penelitian tentang penerapan accelerated learning pada pembelajaran matematika menunjukkan hasil yang cukup mengembirakan (Silitonga, 2010; Meida, 2011; Amalia, 2012; Putra, 2012). Silitonga (2010) menerapkan accelerated learning untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematis pada siswa kelas VII dengan materi ajarnya adalah Segiempat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa yang belajar dengan accelerated learning

mencapai kemampuan komunikasi matematis yang lebih tinggi secara signifikan dari kelas kontrol. Meida (2011) memfokuskan penelitiannya pada peningkatan kemampuan penalaran matematis. Hasil penelitiannya adalah accelerated learning

meningkatkan kemampuan penalaran matematis siswa secara signifikan

Lebih lanjut, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Amalia (2012) mengungkapkan bahwa accelerated learning dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan koneksi matematis siswa SMP. Fokus penelitian yang dilakukan Putra (2012) adalah peningkatan kemampuan penalaran dan komunikasi pada siswa SMP kelas VIII, dengan memperhatikan kemampuan awal matematis siswa (tinggi, sedang, dan rendah). Penelitian ini menemukan bahwa peningkatan kemampuan penalaran dan pemecahan masalah matematis siswa yang mengikuti


(40)

accelerated learning lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran ekspositori berdasarkan keseluruhan. Dari paparan di atas, peneliti tertarik untuk menerapkan pembelajaran accelerated learning dalam pembelajaran matematika.

Senada dengan hasil penelitian yang dilakukan Inayah (2013) yang mengemukakan bahwa kemampuan pemecahan masalah dan representasi matematis dapat ditingkatkan dengan menggunakan pembelajaran kuantum. Hasil penelitian ini adalah peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis antara siswa yang memperoleh pembelajaran kuantum lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran ekspositori. Kategori peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis berada pada kategori sedang untuk kelas yang memperoleh pembelajaran kuantum dan pembelajaran sedang

Murni (2012) memberikan perhatian pada peningkatan kemampuan pemecahan masalah dan representasi matematis siswa SMP. Selain berdasarkan level sekolah (sedang dan rendah), peningkatan kemampuan pemecahan masalah dan representasi matematis siswa juga dilihat berdasarkan PAM (tinggi, sedang, dan rendah). Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah dan representasi matematis siswa antara yang diberi metakognitif berbasis soft skill dengan pembelajaran ekspositori berdasarkan keseluruhan, level sekolah, dan PAM.

Selanjutnya, Sabirin (2011) memfokuskan penelitiannya pada pengembangan kemampuan pemecahan masalah, komunikasi dan representasi matematis siswa. Hasil penelitian ini dianalisis selain berdasarkan tiga tingkatan kemampuan siswa yaitu tinggi, sedang, dan rendah, juga berdasarkan level sekolah yaitu tinggi dan sedang. Hasil menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan masalah, komunikasi, dan representasi matematis siswa yang belajar dengan pembelajaran berbasis masalah (PBM) lebih baik dibanding dengan siswa yang belajar dengan pembelajaran ekspositori ditinjau dari level sekolah dan KAM.

Hasil penelitian yang dilakukan Kesumawati (2010) pada siswa SMP menyatakan bahwa peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang mendapat pembelajaran matematika realistik lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional ditinjau dari keseluruhan siswa, peringkat sekolah (tinggi, sedang, dan rendah) dan berdasarkan PAM (tinggi, sedang, dan


(41)

rendah). Hasil penelitian yang dilakukan Sugiman (2010) yaitu peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa SMP pada pokok bahasan statistika dengan menggunakan pembelajaran matematika realistik lebih baik daripada prestasi belajar matematika siswa dengan menggunakan pembelajaran ekspositori ditinjau dari level sekolah (rendah, sedang, dan tinggi) dan berdasarkan KAM (bawah dan atas). Namun pada KAM tengah, peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa antara yang mendapat pembelajaran matematika realistik dan biasa tidak berbeda.

Hasil penelitian Kadir (2010) pada siswa SMP menyatakan bahwa siswa yang mendapat pembelajaran kontekstual berbasis potensi pesisir atau pembelajaran kontekstual pesisir memperoleh kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematis, serta keterampilan sosial yang lebih tinggi daripada siswa yang mendapat pendekatan konvensional. Siswa sekolah level sedang memperoleh kemampuan pemecahan masalah, dan komunikasi matematis, serta keterampilan sosial lebih tinggi daripada siswa level sekolah rendah. Siswa dengan PAM tinggi memperoleh kemampuan pemecahan masalah, dan komunikasi matematis, serta keterampilan sosial lebih tinggi daripada siswa dengan PAM sedang. Siswa dengan PAM sedang memperoleh kemampuan pemecahan masalah, dan komunikasi matematis, serta keterampilan sosial lebih tinggi daripada siswa dengan PAM rendah. Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan pemecahan masalah dan representasi matematis siswa dapat ditingkatkan. Melihat keberhasilan penerapan accelerated learning

dalam meningkatkan kemampuan matematis siswa, maka penelitian ini berfokus pada penerapan accelerated learning untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan representasi matematis.

Penelitian yang dilakukan Sujarwo (2012) berfokus pada pengaruh metode pembelajaran (kooperatif dan berbasis masalah) dan gaya belajar siswa (visual dan auditori) terhadap hasil belajar fisika siswa. Hasil penelitian menunjukkan hasil belajar fisika antara siswa yang memperoleh pembelajaran kooperatif lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah. Pada gaya belajar visual, siswa yang memperoleh pembelajaran kooperatif lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah. Pada gaya


(42)

belajar auditori, siswa yang memperoleh pembelajaran kooperatif lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah. Hasil belajar fisika antara siswa yang memiliki gaya belajar visual dengan pembelajaran kooperatif lebih baik daripada siswa yang memiliki gaya belajar auditori dengan pembelajaran berbasis masalah.

Hasil penelitian yang dilakukan Handayani (2010), yaitu prestasi belajar matematika siswa pada pokok bahasan akar, pangkat, dan logaritma yang memperoleh pembelajaran struktural think-pair-share lebih baik daripada prestasi matematika siswa yang memperoleh pembelajaran langsung. Prestasi matematika siswa yang mempunyai gaya belajar auditori lebih baik daripada siswa yang bergaya belajar kinestetik. Prestasi matematika siswa yang mempunyai gaya belajar visual lebih baik daripada siswa yang mempunyai gaya belajar kinestetik. Prestasi matematika siswa yang bergaya belajar auditori lebih baik daripada siswa yang bergaya belajar visual.

Pada gaya belajar auditori, model pembelajaran struktural think-pair-share

memberikan prestasi belajar matematika yang sama baiknya dengan model pembelajaran langsung. Pada gaya belajar visual, model pembelajaran struktural

think-pair-share memberikan prestasi belajar matematika yang sama baiknya dengan model pembelajaran langsung. Berbeda pada gaya belajar kinestetik, yaitu model pembelajaran struktural think-pair-share memberikan prestasi belajar matematika yang lebih baik daripada model pembelajaran langsung.

H. Hipotesis Penelitian

Adapun hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang memperoleh accelerated learning lebih baik secara signifikan daripada siswa yang memperoleh pembelajaran ekspositori.

2. Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang memperoleh accelerated learning lebih baik secara signifikan daripada siswa yang memperoleh pembelajaran ekspositori pada gaya belajar visual.


(1)

Dengan menggunakan taraf signifikansi  = 5%, maka kriteria pengujiannya sebagai berikut:

i. Jika nilai

2 1

sig. (2-tailed) kurang dari 0,05, maka H0 ditolak.

ii. Jika nilai

2 1

sig. (2-tailed) lebih dari atau sama dengan 0,05, maka H0 diterima.

d. Uji Mann-Whitney

Uji Mann-Withney paling sedikit satu kelas penelitian berdistribusi tidak normal.

Perumusan hipotesisnya sebagai berikut,

H0: Kemampuan pemecahan masalah dan representasi matematis siswa

pada kelas accelerated learning tidak lebih baik daripada kelas ekspositori.

H1: Kemampuan pemecahan masalah dan representasi matematis siswa

pada kelas accelerated learning lebih baik daripada kelas ekspositori. Dengan menggunakan taraf signifikansi  = 5%, maka kriteria pengujiannya sebagai berikut:

i. Jika nilai

2 1

sig. (2-tailed) kurang dari 0,05, maka H0 ditolak.

ii. Jika nilai

2 1

sig. (2-tailed) lebih dari atau sama dengan 0,05, maka H0 diterima.

e. Uji Kruskal-Wallis

Uji Kruskal_Wallis paling sedikit satu kelas penelitian berdistribusi tidak normal.

Perumusan hipotesisnya sebagai berikut,

H0: Kemampuan pemecahan masalah dan representasi matematis ketiga gaya belajar sama.


(2)

Dengan menggunakan taraf signifikansi  = 5%, maka kriteria pengujiannya sebagai berikut:

i. Jika nilai sig. (2-tailed) kurang dari 0,05, maka H0 ditolak. ii. Jika nilai sig. (2-tailed) lebih dari atau sama dengan 0,05, maka

H0 diterima.

2. Analisis Data Observasi

Data observasi diperoleh dari pengisian lembar observasi oleh pengamat atau observer selama proses pembelajaran. Data yang diperoleh melalui lembar observasi dalam bentuk tabel dianalisis dan dipresentasikan dalam kalimat.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Aisyah, S. 2012. Meningkatkan Kemampuan Representasi dan Pemecahan

Masalah Matematis Melalui Mathematical Modelling dalam Model Problem Based Learning. Tesis pada PPs UPI Bandung: Tidak diterbitkan Alsa. 2010. Eksplorasi Gaya dan Strategi Belajar Mahasiswa yang Mendukung

Pembelajaran Berpusat Mahasiswa. Disertasi pada SPs UGM Yogyakarta: Tidak diterbitkan.

Amalia. 2012. Pengaruh Accelerated Learning Cycle terhadap Kemampuan

Pemecahan Masalah dan Koneksi Matematis Siswa SMP. Tesis pada PPs UPI Bandung: Tidak diterbitkan

Bell, F. 1978. Teaching and Learning Mathematics (in Secondary School).

Dubuque, Iowa: Wm. C Brown Company Publishers.

Branca, N. A. 1980. Problem Solving as A Goal, Process and Basic Skill. Dalam Kruklik, S dan Reys, R.E. (Ed). Problem Solving in School Mathematisc.

Reston, VA: NCTM.

BNSP. 2006. Panduan Pengembangan Silabus Kurikulum Tingkat Satuan

Pendidikan (KTSP). Jakarta: CV. Laksana Mandiri

De Porter, B. dan Hernacki, M. 1999. Quantum Learning : Membiasakan Belajar

Nyaman dan Menyenangkan. Terjemahan Ary Nilandri. Bandung: Kaifa.

Effendi, L. A. 2012. Pembelajaran Matematika dengan Metode Penemuan

Terbimbing untuk Meningkatkan Kemampuan Representasi dan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMP. Tesis pada PPs UPI Bandung: Tidak diterbitkan.

Dirgantoro. 2014. Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan M-APOS untuk

Meningkatkan Kompetensi Strategis dan Kemandirian Belajar Siswa.

Tesis pada PPs UPI Bandung: Tidak diterbitkan.

Goldin, G. A. 2002. Representation in Mahtematical Learning and Problem Solving. In LD English (Ed) International Research in Mathematical Education IRME, 197-218. New Jersey: Lawrence Erlabaum Associaties.

Hake, R. R. 1999. Analizing Change/Gain Scores. [Online]. Tersedia:

http://www.physics.indiana.edu/sdi/AnalyzingChange-Gain.pdf [12

Desember 2013]


(4)

Hutagaol, K. 2009. Strategi Multi Representasi dalam Kelompok Kecil untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Sekolah Menengah Pertama. Disertasi pada SPs UPI Bandung: Tidak diterbitkan.

Hwang, W. Y., Chen, N.S., Dung, J. J., & Yang, Y.L. (2007). Multiple Representation Skiills and Creativity Effects on Mathematical Problem Solving using a Multimedia Whiteboard System. Education Tecnology & Society, Vol 10 No 2, pp. 191-212

Inayah. 2013. Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Representasi Multipel Matematis serta Self-Esteem Siswa Sekolah Menengah Pertama dengan Menggunakan Model Pembelajaran Kuantum. Tesis pada PPs UPI

Ibrahim. 2011. Peningkatan Kemampuan Komunikasi, Penalaran, dan

Pemecahan Masalah Matematis serta Kecerdasan Emosional melalui Pembelajaran Berbasis Masalah pada Siswa Sekolah Menengah Atas.

Disertasi pada SPs UPI Bandung: Tidak diterbitkan.

Jacob, C. 2002. Matematika Sebagai Komunikasi. Jurnal Matematika atau Pembelajarannya. Tahun VIII, Edisi Khusus, Juli 2002. Prosiding Konferensi Matematika XI UM Malang, Bagian I, Tahun VIII, Edisi Khusus, 378-382. Tidak Diterbitkan.

Kadir. 2010. Penerapan Pembelajaran Kontekstual Berbasis Potensi Pesisir sebagai Upaya Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik, Komunikasi Matematik, dan Keterampilan Sosial Siswa SMP.

Disertasi pada SPs UPI Bandung: Tidak diterbitkan.

Kartini, T. 2011. Mengembangkan Kemampuan Representasi Matematis dan Self

Efficacy siswa SMP melalui Reciprocal Teaching Model. Tesis pada PPs UPI Bandung: Tidak diterbitkan.

Kesumawati, N. 2010. Peningkatan Kemampuan Pemecahan Pemahaman,

Pemecahan Masalah, dan Disposisi Matematis Siswa SMP melalui Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik. Disertasi pada SPs UPI Bandung: Tidak diterbitkan.

Meida. 2011. Implementasi Metode Accelerated Learning Cycle dalam

Pembelajaran Matematika untuk Meningkatkan Kemampuan Penalaran Matematis siswa. Skripsi pada FPMIPA UPI Bandung: Tidak diterbitkan. Meier, D. 1997. The Accelerated Learning Handbook: A Creative Guide to

Designing and Delivering faster, More effective training Programs.Vol. 22.


(5)

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia. 2007. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: Kep. 244.MEN/V/2007. Tersedia: http://www.Ispmigas.com/standar/Boiler.pdf. [23 Desember 2013].

Mudzakir, H. S. 2006. Strategi Pembelajaran TTW untuk Meningkatkan

Kemampuan Representasi Matematik Beragam Siswa Sekolah Menengah Pertama (Eksperimen pada siswa kelas II SMP di Kab. Garut). Tesis SPs UPI Bandung: Tidak diterbitkan.

Murni, A. 2012. Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Representasi

Matematika Siswa SMP Melalui Pembelajaran Metakognitif Berbasis Soft Skills. Disertasi pada SPs UPI Bandung: Tidak diterbitkan.

Mutmainah, 2009. Kajian Korelasi Tata Jenjang. Skripsi FST UISN Maulana Malik Ibrahim Malang: Tidak diterbitkan.

NCTM. 1989. Curriculum and Evaluation Standard for School Mathematics. Reston, Virginia: NCTM.

NCTM. 2000. Principle and Standards for School Mathematic. Reston, Virginia: NCTM.

Nasution. 2008. Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar. Jakarta : Bumi Aksara

Polya. 1985. How to Solve It. A New Aspect of Mathematical Method. Second Edition. New Jersey: Princeton University Press.

Putra, D. 2012. Penerapan Accelerated Learning dalam Peningkatan Kemampuan

Penalaran dan Komunikasi Matematis Siswa Sekolah Menengah Pertama.

Tesis pada PPs UPI Bandung: Tidak diterbitkan.

Rose, C. dan Nicholl, M. J. (2009). Accelerated Learning for The 21st Century Cara Belajar Cepat Abad XXI. Nuansa: Bandung.

Ruseffendi, E. T. (1991). Penilaian Pendidikan dan Hasil Belajar Siswa Khususnya Dalam Pengajaran Matematika untuk Guru dan Calon Guru. Diklat Kuliah. Bandung: Tidak diterbitkan.

______________. (1998). Dasar-Dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non-Eksata Lainnya. Bandung: Tarsito.

______________. (2006). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan

Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.


(6)

Matematis Siswa SMP. Disertasi pada SPs UPI Bandung: Tidak diterbitkan.

Sagitasari, D. 2010. Hubungan Antara Kreativitas dan Gaya Belajar dengan Prestasi Belajar Matematika Siswa SMP. Skripsi pada FPMIPA UNY Yogykarta: Tidak diterbitkan.

Silitonga, R. H. 2010. Penerapan Metode Accelerated Learning dalam

Pembelajaran Matematika terhadap Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa SMP. Skripsi FPMIPA UPI Bandung: Tidak Diterbitkan.

Sugiman. 2010. Dampak Pembelajaran Matematika Realistik terhadap

Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Keyakinan Matematik Siswa Sekolah Menengah Pertama di Kota Yogyakarta. Disertasi pada SPs UPI Bandung: Tidak diterbitkan.

Sugiyono. (2013). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Penerbit Alfabeta. Suherman, E. 2003. Evaluasi Pembelajaran Matematika. Bandung: Jurusan

Pendidikan Matematika FPMIPA UPI.

Sujarwo, D. 2012. Pengaruh Metode Pembelajaran dan Gaya Belajar terhadap Hasil Belajar. Skripsi pada FKIP UMN Al-Washliyah Medan: Tidak diterbitkan.

Sulistyo, S. 2012. Enam Hari Jago SPSS 17. Yogyakarta: Cakrawala

Sumarmo, U. 2013. Kumpulan Makalah Berpikir dan Disposisi Matematik serta Pembelajaran. Jurusan Pendidikan Matematika-Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam-Universitas Pendidian Indonesia. Suryadi, D. 2005. Penggunaan Pendekatan Pembelajaran Tidak Langsung serta

Pendekatan Gabungan Langsung dan Tidak Langsung dalam Rangka Meningkatkan Kemampuan Berpikir Matematik Tingkat Tinggi Siswa SLTP. Disertasi pada PPS UPI Bandung: Tidak diterbitkan.

Tim MKPBM. 2001. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung:

Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA UPI.

Wahyudin. 2008. Pembelajaran dan Model-Model Pembelajaran Pelengkap

untuk Meningkatkan Kompetensi Para Guru dan Calon Guru Profesional.


Dokumen yang terkait

Pengaruh model pembelajaran Connected Mathematics Project (CMP) terhadap kemampuan Representasi matematis siswa: penelitian kuasi eksperimen di kelas VII SMP Muhammadiyah 17 Ciputat

9 68 187

PENERAPAN METODE GUIDED DISCOVERY UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN REPRESENTASI MATEMATIS DAN SELF-ESTEEM SISWA SMP: Kuasi Eksperimen pada Siswa SMP di Kabupaten Bulukumba.

2 21 46

Penerapan Accelerated Learning untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Self-Concept Matematis Siswa Kelas VII SMP.

0 0 5

PENGARUH PENGGUNAAN MODEL GUIDED DISCOVERY LEARNING TERHADAP KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SISWA SMP : Penelitian Kuasi Eksperimen terhadap Siswa Kelas VIII pada Salah Satu SMP Di Kabupaten Bandung Barat.

1 4 29

PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SISWA SMP DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN STRATEGI REACT : Studi Kuasi Eksperimen terhadap Siswa Kelas VIII SMP Negeri 35 Bandung.

0 17 30

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN GENERATIF UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SISWA SMP.

0 5 44

PENERAPAN MODEL LEARNING CYCLE 7E UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SISWA SMA: Penelitian Kuasi Eksperimen terhadap Siswa Kelas XI SMA Negeri 4 Bandung.

0 2 43

PENGARUH ACCELERATED LEARNING CYCLE TERHADAP KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH DAN KONEKSI MATEMATIS SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAM : Studi Kuasi-Eksperimen Pada Salah Satu Smp Negeri Di Pekanbaru.

19 47 56

PENERAPAN PENDEKATAN PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK SECARA BERKELOMPOK UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS DAN SELF CONFIDENCE SISWA SMP : Studi Kuasi Eksperimen pada Siswa Kelas VIII Salah Satu SMP Negeri di Ngamprah.

0 0 46

PENERAPAN PENDEKATAN PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK SECARA BERKELOMPOK UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS DAN SELF CONFIDENCE SISWA SMP : Studi Kuasi Eksperimen pada Siswa Kelas VIII Salah Satu SMP Negeri di Ngamprah.

2 9 46