PENGARUH PENGGUNAAN MODEL GUIDED DISCOVERY LEARNING TERHADAP KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SISWA SMP : Penelitian Kuasi Eksperimen terhadap Siswa Kelas VIII pada Salah Satu SMP Di Kabupaten Bandung Barat.
ABSTRAK
Dian Purwanti (1106457). Pengaruh Penggunaan Model Guided Discovery Learning terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMP.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah kemampuan pemecahan masalah matematis siswa dengan menggunakan model guided discovery learning lebih baik daripada kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang menggunakan model pembelajaran ekspositori. Penelitian ini dilaksanakan di salah satu Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Metode yang digunakan adalah metode Quasi Experimental Design. Dengan desain yang digunakan The Randomized
Posttest-Only Control Group Design. Instrumen penelitian yang digunakan adalah
instrumen tes kemampuan pemecahan masalah matematis tipe uraian. Berdasarkan hasil pengolahan dan penganalisisan data posttest dapat disimpulkan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematis siswa dengan menggunakan model guided discovery
learning lebih baik daripada siswa yang menggunakan model pembelajaran ekspositori.
Kata kunci: model guided discovery learning, kemampuan pemecahan masalah matematis.
(2)
ABSTRACT
Dian Purwanti (1106457). The Effect of The Use of Guided Discovery Learning Models For Junior High School Students’ Mathematical Problem Solving Ability.
This study aims to showing that student’ mathematical problem solving ability using the model of guided discovery learning is better than student’ mathematical problem solving ability using the model of expository learning. This study implemented in one of the Junior High School in Lembang, West Bandung Regency. The method used is Quasi Experimental Design’s method. With design that used is Posttest-Only Control Group Design. The instrument’s study used is a test of instrument mathematical problem solving ability type description. Based on the result of processing and analyzing the data posttest can be concluded that students' mathematical problem solving ability using the model of guided discovery learning is better than students who use the model of expository learning.
(3)
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang diajarkan pada setiap jenjang pendidikan di Indonesia mulai dari Sekolah Dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA). Matematika adalah ilmu yang abstrak, materinya bersifat terstruktur dan saling berhubungan antar materi satu dengan materi lainnya. Sedangkan pembelajaran matematika merupakan usaha membantu siswa mengkonstruksi pengetahuan melalui proses. Proses tersebut dimulai dari pengalaman, sehingga siswa diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan yang harus dimiliki.
Sekolah Menengah Pertama (SMP) merupakan jenjang pendidikan dasar pada pendidikan formal di Indonesia setelah Sekolah Dasar (SD). Di SMP pelajaran matematika termasuk pelajaran wajib yang harus dikuasai oleh siswa. Menurut Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan tahun 2006, tujuan dari mata pelajaran matematika yaitu agar siswa memiliki kemampuan sebagai berikut:
1. Memahami konsep matematis, menjelaskan keterkaitan antarkonsep, dan
mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes, akurat, efisien dan tepat dalam pemecahan masalah.
2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi
matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.
3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,
merancang model matematis, menyelesaikan model, dan menafsirkan solusi yang diperoleh.
4. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media
lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.
5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu
(4)
matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. (BSNP, 2006, hlm. 346).
Tujuan pembelajaran tersebut menempatkan pemecahan masalah menjadi bagian penting dalam kurikulum matematika. Pandangan tersebut mengandung pengertian bahwa matematika dapat membantu dalam memecahkan persoalan baik dalam pelajaran matematika, pelajaran lain maupun dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Wahyudin (2003), pemecahan masalah bukan sekedar keterampilan untuk diajarkan atau digunakan dalam matematika, tetapi juga merupakan keterampilan yang akan dibawa pada masalah-masalah keseharian siswa atau situasi-situasi pembuatan keputusan. Oleh karenanya, kemampuan pemecahan masalah ini menjadi tujuan umum pembelajaran matematika. Walaupun kemampuan pemecahan masalah merupakan kemampuan yang tidak mudah dicapai, akan tetapi karena kepentingan dan kegunaannya maka kemampuan pemecahan masalah ini hendaknya diajarkan kepada siswa pada semua tingkatan. Hal ini berarti, kemampuan pemecahan masalah sangat penting dimiliki oleh setiap siswa dalam kehidupannya untuk membantu menyelesaikan masalah. Menurut Noer & Agnesa (2011, hlm. 121):
Berdasarkan hasil peninjauan pada penelitian pendahuluan, diketahui bahwa siswa masih sangat sulit mengemukakan pendapatnya sendiri ketika diminta untuk menyimpulkan hasil belajar dan atau dalam memecahkan masalah yang berbeda dari contoh-contoh soal yang telah dipelajari sebelumnya, sebagian besar siswa cenderung menghafal tanpa makna.
Menurut Syaiful dkk. (2011, hlm. 9), beberapa faktor yang menyebabkan siswa mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal-soal matematika non rutin diantaranya: (1) faktor pendekatan pembelajaran yang kurang membangun kemampuan pemecahan masalah matematis, dan (2) faktor kebiasaan belajar dengan cara menghafal.
Oleh karena itu, dalam proses pembelajaran di sekolah diperlukan metode atau model pembelajaran yang dapat membantu menciptakan, mengembangkan, bahkan meningkatkan kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki oleh siswa, termasuk kemampuan pemecahan masalah. Model-model pembelajaran yang dapat diterapkan juga sangat banyak. Salah
(5)
3
satunya adalah model guided discovery learning atau model pembelajaran penemuan terbimbing.
Model guided discovery learning (pembelajaran penemuan terbimbing) adalah model mengajar dimana guru memberikan contoh-contoh topik spesifik dan memandu siswa untuk memahami topik tersebut (Eggen, 2012, hlm. 177). Model guided discovery learning juga merupakan model pembelajaran yang bersifat student oriented dengan teknik trial and error, menerka, menggunakan intuisi, menyelidiki, menarik kesimpulan, serta memungkinkan guru melakukan bimbingan dan penunjuk jalan dalam membantu siswa untuk mempergunakan ide, konsep, dan keterampilan yang mereka miliki untuk menemukan pengetahuan yang baru. Menurut Siadari (Nupita, 2013, hlm. 4), keuntungan dari model guided discovery learning, yaitu: (a) pengetahuan ini dapat bertahan lama, mudah diingat dan mudah diterapkan pada situasi baru, (b) meningkatkan penalaran, analisis dan keterampilan siswa memecahkan masalah tanpa pertolongan orang lain, (c) meningkatkan kreatifitas siswa untuk terus belajar dan tidak hanya menerima saja, (d) terampil dalam menemukan konsep atau memecahkan masalah.
Menurut Hadi (Syaiful dkk., 2011, hlm. 9), hal yang menjadi ciri praktik pendidikan di Indonesia selama ini antara lain adalah pembelajaran yang berpusat pada guru. Kemudian diperkuat dengan temuan Wahyudin bahwa: “Guru matematik pada umumnya mengajar dengan metode ceramah dan ekspositori. Pada kondisi seperti itu, kesempatan siswa untuk menemukan dan membangun pengetahuannya sendiri tidak ada”, (Fauziah, 2010, hlm. 2).
Model pembelajaran Ekspositori merupakan model pembelajaran yang digunakan dengan memberikan keterangan terlebih dahulu seperti definisi, prinsip dan konsep materi pelajaran, kemudian memberikan contoh-contoh latihan pemecahan masalah dalam bentuk ceramah, demonstrasi, tanya jawab dan penugasan (Firmansyah, 2011). Siswa mengikuti pola yang diterapkan oleh guru secara cermat, mendengarkan dan mencatat apa yang disampaikan oleh guru, juga mengerjakan soal latihan dan bertanya jika tidak mengerti. Sedangkan guru dapat memeriksa pekerjaan siswa secara
(6)
individual, menerangkan lagi kepada siswa secara klasikal bila dirasakan banyak siswa yang belum jelas. Penggunaan model pembelajaran ekspositori merupakan model pembelajaran yang mengarah pada tersampaikannya isi pelajaran kepada siswa secara langsung dengan maksud agar siswa dapat menguasai materi pelajaran secara optimal. Sehingga Roy Killen (Sanjaya, 2006, hlm. 179) menamakan model pembelajaran ekspositori ini dengan istilah model pembelajaran langsung (dirrect intruction), karena dalam model ini materi pelajaran disampaikan langsung oleh guru dan siswa tidak dituntut untuk menemukan materi itu.
Menurut Tarsito Suharyono (Firmansyah, 2011), model pembelajaran ekspositori mempunyai kelebihan dan kekurangannya. Kelebihan model pembelajaran ekspositori adalah sebagai berikut:
1. Dapat menampung kelas besar, tiap siswa mempunyai kesempatan aktif
yang sama.
2. Bahan pelajaran diberikan secara urut oleh guru.
3. Guru dapat menentukan terhadap hal-hal yang dianggap penting.
4. Guru dapat memberikan penjelasan secara individual maupun klasikal.
Sedangkan kekurangan model pembelajaran ekspositori ini adalah sebagai berikut:
1. Pada model ini tidak menekankan penonjolan aktifitas fisik seperti
aktivitas mental siswa.
2. Interaksi berlangsung satu arah saja.
3. Pengetahuan yang didapat dengan model pembelajaran ekspositori cepat
hilang.
4. Kepadatan konsep-konsep dan aturan-aturan yang di berikan dapat
berakibat siswa tidak menguasai bahan pelajaran yang diberikan.
Dengan memperhatikan hal-hal diatas, maka model pembelajaran ekspositori dapat diterapkan pada kelas kontrol sebagai pembanding dari model guided discovery learning yang akan diterapkan pada kelas eksperimen.
(7)
5
Adapun penelitian sebelumnya yang relevan adalah sebagai berikut:
1. Penelitian yang dilakukan oleh Haryani Hasibuan (2014) pada siswa
Sekolah Menengah Atas dengan kesimpulan bahwa kemampuan pemahaman matematis siswa yang belajar dengan menggunakan metode guided discovery lebih baik daripada kemampuan pemahaman matematis siswa yang belajar dengan menggunakan metode konvensional.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Femilya Sri Zulfa (2014) pada siswa
Sekolah Menengah Atas dengan kesimpulan bahwa kemampuan penalaran matematis siswa yang belajar dengan menggunakan metode guided discovery learning lebih baik daripada kemampuan penalaran matematis siswa yang belajar dengan menggunakan pembelajaran konvensional.
3. Penelitian yang dilakukan oleh Syarifah Ambami (2013) pada siswa
Sekolah Dasar dengan kesimpulan bahwa pembelajaran matematika melalui Metode Penemuan Terbimbing dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. Sedangkan secara khusus, kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang memperoleh pembelajaran matematika melalui metode penemuan terbimbing lebih baik secara signifikan daripada siswa yang memperoleh pembelajaran matematika yang melalui metode konvensional.
4. Penelitian yang dilakukan oleh Neneng Watini (2013) pada siswa
Madrasah Tsanawiyah dengan kesimpulan bahwa kemampuan berpikir kreatif matematis siswa yang belajar dengan menggunakan metode guided discovery learning lebih baik daripada kemampuan berpikir kreatif matematis siswa yang belajar dengan menggunakan metode pembelajaran ekspositori.
5. Penelitian yang dilakukan oleh Fauzan Azmi (2012) pada siswa Sekolah
Menengah Atas dengan kesimpulan bahwa hasil belajar matematika siswa dengan menggunakan metode guided discovery lebih baik daripada hasil belajar matematika siswa dengan menggunakan metode konvensional.
6. Penelitian yang dilakukan oleh Asrul Karim (2011) pada siswa Sekolah
(8)
berfikir kritis siswa yang mengikuti pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing lebih baik.
Berdasarkan uraian diatas dan hasil-hasil penelitian yang relevan sebelumnya, penulis termotivasi untuk melakukan penelitian tentang pengaruh penggunaan model guided discovery learning terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis pada siswa SMP.
B. Rumusan Masalah Penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
Apakah kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang belajar dengan model guided discovery learning lebih baik daripada kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang belajar dengan model pembelajaran ekspositori?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan yang telah dirumuskan, maka penelitian ini pun memiliki tujuan sebagai berikut:
Mengetahui apakah kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang belajar dengan model guided discovery learning lebih baik daripada kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang belajar dengan model pembelajaran ekspositori.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi setiap kalangan pembaca baik secara teoritik maupun praktik. Adapun manfaat yang diharapkan adalah sebagai berikut:
1. Sebagai sumber referensi bagi pembaca atau peneliti untuk melakukan
penelitian selanjutnya.
2. Sebagai sumber referensi bagi pembaca untuk menambah pengetahuan
dan wawasan terkait dengan model guided discovery learning dan kemampuan pemecahan masalah matematis.
(9)
7
3. Sebagai acuan bagi pembaca khususnya mahasiswa calon guru untuk
menentukan model pembelajaran yang lebih baik untuk diterapkan dalam proses pembelajaran.
E. Definisi Operasional
Agar tidak terdapat perbedaan penafsiran, berikut dijelaskan beberapa istilah yang digunakan dalam penelitian ini, diantaranya:
1. Kemampuan pemecahan masalah matematis yang dimaksud adalah
kecakapan atau potensi yang dimiliki seseorang atau siswa dalam menyelesaikan soal cerita, menyelesaikan soal yang tidak rutin, mengaplikasikan matematika dalam kehidupan sehari-hari atau keadaan lain, dan membuktikan atau menciptakan atau menguji konjektur yang ditunjukkan dengan kemampuan siswa dalam: (1) Mengidentifikasi unsur-unsur yang diketahui, yang ditanya, dan kecukupan unsur yang diperlukan lainnya, (2) Merumuskan masalah matematis atau menyusun model matematika, (3) Menerapkan strategi untuk menyelesaikan berbagai masalah (sejenis atau masalah baru), (4) Menjelaskan atau
menginterpretasikan hasil sesuai permasalahan awal, dan (5)
Menggunakan matematika secara bermakna.
2. Model guided discovery learning ini merupakan model pembelajaran
yang bersifat student oriented dengan teknik trial and error, menerka,
menggunakan intuisi, menyelidiki, menarik kesimpulan, serta
memungkinkan guru melakukan bimbingan dan penunjuk jalan dalam membantu siswa untuk mempergunakan ide, konsep, dan keterampilan yang mereka miliki untuk menemukan pengetahuan yang baru dengan langkah-langkah: (1) Merumuskan masalah yang akan diberikan kepada siswa dengan data secukupnya, (2) Dari data yang diberikan oleh guru, siswa menyusun, memproses, mengorganisir, dan menganalisis data tersebut, (3) Siswa menyusun konjektur (prakiraan) dari hasil analisis yang dilakukan, (4) Konjektur yang dibuat oleh siswa tersebut diperiksa oleh guru, (5) Apabila telah diproses kepastian tentang kebenaran konjektur, maka verbalitas konjektur sebaiknya diserahkan juga kepada
(10)
siswa untuk menyusunnya, dan (6) Setelah siswa menemukan apa yang dicari, hendaknya guru menyediakan soal latihan atau soal tambahan untuk memeriksa apakah penemuan tersebut benar.
3. Model pembelajaran ekspositori adalah model pembelajaran yang
menekankan kepada proses penyampaian materi secara verbal dari seorang guru kepada sekelompok siswa dengan maksud agar siswa dapat menguasai materi pelajaran secara optimal.
(11)
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode eksperimen melalui pendekatan kuantitatif dengan Quasi Experimental Design, dikarenakan tidak memungkinkan untuk melakukan pengelompokkan secara acak. Bentuk Quasi Experimental Design yang digunakan adalah Posttest-Only Control Group Design. Dalam desain ini tidak dilaksanakan pretest, namun tetap dilakukan pengumpulan dan penganalisisan data yang diperoleh dari hasil nilai ujian harian siswa. Hal ini dilakukan untuk menyatakan kesamaan rata-rata kemampuan awal siswa.
Penelitian ini dilakukan terhadap dua kelas sampel yang dipilih dengan menggunakan teknik sampling purposive. Satu kelas sebagai kelas eksperimen, yaitu kelas yang menggunakan model guided discovery learning
(X1), sedangkan satu kelas lainnya sebagai kelas kontrol, yaitu kelas yang
menggunakan model pembelajaran ekspositori (X2). Dengan demikian bentuk
desain penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut: X1
X2
Keterangan:
X1 : Penggunaan model guided discovery learning
X2 : Penggunaan model pembelajaran ekspositori
: Posttest
B. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII pada salah satu SMP Negeri di Kabupaten Bandung Barat dan sampelnya dipilih dengan menggunakan teknik sampling purposive, yaitu teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2014, hlm. 124). Dalam hal ini akan dipilih dua kelas, yaitu kelas VIII-A dan kelas VIII-I. Kelas VIII-A sebagai kelas eksperimen yang memperoleh pembelajaran dengan model
(12)
guided discovery dan kelas VIII-I sebagai kelas kontrol yang memperoleh pembelajaran dengan model pembelajaran ekspositori.
C. Variabel Penelitian
Menurut Sugiyono (2014, hlm. 60), variabel penelitian merupakan segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari, sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut dan kemudian dapat ditarik kesimpulannya. Penelitian ini memuat dua buah variabel, yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebas (variabel independen) merupakan variabel yang memberikan pengaruh atau yang menjadi sebab terjadinya perubahan pada sesuatu, sedangkan sesuatu yang dipengaruhi oleh variabel bebas atau yang menjadi akibat disebut variabel terikat (variabel dependen).
Adapun variabel bebas dalam penelitian ini adalah model guided discovery learning, sedangkan variabel terikatnya adalah kemampuan pemecahan masalah matematis.
D. Instrumen Penelitian
Instrumen merupakan alat yang digunakan untuk melakukan sesuatu. Sedangkan penelitian memiliki arti pemeriksaan, penyelidikan, kegiatan pengumpulan, pengolahan, analisis dan penyajian data secara sistematis dan objektif. Dengan masing-masing pengertian kata tersebut di atas maka instrumen penelitian adalah semua alat yang digunakan untuk mengumpulkan, memeriksa, menyelidiki suatu masalah, atau mengumpulkan, mengolah, menganalisa dan menyajikan data secara sistematis serta objektif dengan tujuan memecahkan suatu persoalan atau menguji suatu hipotesis. Adapun instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah instrumen tes.
Jenis instrumen tes yang digunakan adalah tes tertulis tipe subyektif (uraian/essay). Jenis tes ini dipilih dengan pertimbangan, bahwa soal bentuk uraian sangat baik untuk menarik hubungan antara pengetahuan atau fakta-fakta yang telah ada pada struktur kognitif siswa dengan pengertian materi yang sedang difikirkannya. Seperti yang dikemukakan oleh Ruseffendi (Irvan,
(13)
20
2008) bahwa keunggulan dari tes berbentuk uraian adalah dapat menimbulkan sifat kreatif pada diri siswa dan hanya siswa yang telah menguasai materi yang dapat memberikan jawaban yang baik dan benar.
Instrumen tes yang digunakan pada penelitian ini adalah tes kemampuan pemecahan masalah matematis. Pemberian skor untuk tes kemampuan pemecahan masalah matematis ini berpedoman pada adaptasi dari Sumarmo (Andriatna, 2012), yaitu sebagai berikut:
Tabel 3.1
Pedoman Pemberian Skor untuk Kemampuan Pemecahan Masalah
Aspek yang dinilai Skor Keterangan
Pemahaman masalah
0 Salah menginterpretasikan soal/tidak ada
jawaban sama sekali
1 Salah mengiterpretasikan sebagian
soal/mengabaikan kondisi soal
2 Memahami soal selengkapnya
Perencanaan penyelesaian
0 Menggunakan strategi yang tidak
relevan/tidak ada strategi sama sekali
1 Menggunakan strategi yang kurang dapat
dilaksanakan/tidak dapat dilanjutkan
2
Menggunakan strategi yang benar tapi mengarah pada jawaban yang salah/tidak mencoba strategi lain
3 Menggunakan beberapa strategi yang
mengarah pada jawaban yang benar
Penyelesaian masalah
sesuai rencana
0 Tidak ada solusi sama sekali
1 Menggunakan beberapa strategi yang
mengarah pada jawaban yang benar
2 Hasil salah/sebagian hasil salah akan tetapi
(14)
Aspek yang dinilai Skor Keterangan
3 Hasil dan proses benar
Pemeriksaan kembali
hasil perhitungan
0 Tidak ada pemeriksaan/tidak ada keterangan
apapun
1 Ada pemeriksaan tetapi tidak tuntas
2 Pemeriksaan dilaksanakan untuk melihat
keterangan hasil dan proses
Agar instrumen yang digunakan dapat berfungsi sebagaimana mestinya, maka perlu dilakukan ujicoba terlebih dahulu pada siswa diluar sampel penelitian yang telah mempelajari materi yang akan diujikan. Pengolahan data hasil uji instrumen tersebut menggunakan bantuan Software Anates V4 tipe uraian.
1. Validitas
Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat kesahihan suatu alat evaluasi. Suatu alat evaluasi dapat dikatakan valid apabila alat tersebut mampu mengevaluasi apa yang seharusnya dievaluasi. Untuk menguji validitas setiap butir soal, maka skor-skor yang terdapat pada tiap butir soal dikorelasikan dengan skor totalnya. Skor tiap butir soal dinyatakan dengan skor X dan skor total dinyatakan dengan skor Y, dengan diperolehnya indeks validitas dari setiap butir soal, maka dapat diketahui butir-butir soal manakah yang memenuhi syarat (Arikunto, 1999, hlm. 78).
Untuk menguji validitas setiap butir soal digunakan rumus korelasi product moment dengan angka kasar (raw score), yaitu:
∑ ∑ ∑
√[ ∑ ∑ ][ ∑ ∑ ]
Dengan:
(15)
22
= banyak testi
= simpangan terhadap rata-rata dari setiap data pada kelompok variabel X
= simpangan terhadap rata-rata dari setiap data pada kelompok
variabel Y
(Suherman & Sukjaya, 1990, hlm. 154)
Menurut J.P. Guilford (Suherman, 2003, hlm. 113), koefisien
validitas dibagi ke dalam kategori-kategori seperti berikut ini:
0,90 ≤ ≤ 1,00 validitas sangat tinggi (sangat baik) 0,70 ≤ < 0,90 validitas tinggi (baik)
0,40 ≤ < 0,70 validitas sedang (cukup)
0,20 ≤ < 0,40 validitas rendah (kurang)
0,00 ≤ < 0,20 validitas sangat rendah
< 0,00 tidak valid
Setelah harga koefisien validitas tiap butir soal diperoleh, maka perlu dilakukan uji signifikan untuk mengukur keberartian koefisien korelasi berdasarkan distribusi kurva normal dengan menggunakan statistik uji-t, dengan persamaan:
√ Dengan:
= nilai hitung koefisien validitas
= nilai koefisien korelasi tiap butir soal
= banyak testi
Kemudian hasil di atas dibandingkan dengan nilai t dari tabel pada
taraf kepercayaan 95% dan derajat kebebasan . Jika
, maka koefisien validitas butir sangat signifikan.
Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan bantuan software Anates V4 tipe uraian, diperoleh hasil validitas sebagai berikut:
(16)
Tabel 3.2 Validitas Butir Soal No.
Soal rxy rtabel
Kriteria (Valid/Tidak
Valid)
Kategori Signifikansi (Sig.)
1 0,324 0,381 Valid Rendah -
2 0,783 0,381 Valid Tinggi Sangat Signifikan
3 0,892 0,381 Valid Tinggi Sangat Signifikan
4 0,861 0,381 Valid Tinggi Sangat Signifikan
Dari tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk soal nomor 1
kriteria validitasnya terkategori rendah dan karena rxy lebih kecil dari rtabel
sehingga soal nomor 1 tidak signifikan. Sedangkan untuk soal nomor 2, 3, dan 4 kriteria validitasnya terkategori tinggi dan rxy lebih besar dari rtabel
sehingga soal nomor 2, 3, dan 4 sangat signifikan.
2. Reliabilitas
Reliabilitas suatu alat evaluasi adalah suatu alat yang memberikan hasil yang tetap sama (konsisten). Hasil evaluasi itu harus tetap sama (relatif sama) jika pengukuran diberikan pada subjek yang sama meskipun dilakukan oleh orang yang berbeda, waktu yang berbeda, dan tempat yang berbeda pula. Tidak terpengaruh oleh pelaku, situasi, dan kondisi. Alat evaluasi yang reliabilitasnya tinggi disebut alat evaluasi yang reliabel.
Koefisien reliabilitas soal tipe uraian dihitung dengan
menggunakan rumus Cronbach Alpha, yaitu:
∑
Dengan:
= koefisien reliabilitas
= banyak butir soal
(17)
24
= varians skor total
(Suherman & Sukjaya, 1990, hlm. 194)
Tolak ukur untuk menginterpretasikan derajat reliabilitas alat evaluasi dapat digunakan tolak ukur yang dibuat oleh J.P. Guilford (Suherman, 2003, hlm. 139) sebagai berikut:
r11 < 0,20 derajat reliabilitas sangat rendah
0,20 ≤ r11 < 0,40 derajat reliabilitas rendah
0,40 ≤ r11 < 0,70 derajat reliabilitas sedang
0,70 ≤ r11 < 0,90 derajat reliabilitas tinggi
0,90 ≤ r11 ≤ 1,00 derajat reliabilitas sangat tinggi Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan bantuan software Anates V4 tipe uraian, diperoleh hasil perhitungan koefisien reliabilitasnya adalah 0,90. Hal ini berarti instrumen tes tersebut memiliki derajat reliabilitas sangat tinggi.
3. Daya Pembeda
Daya pembeda (DP) dari suatu butir soal menyatakan suatu kemampuan yang dimiliki oleh butir soal tersebut dalam membedakan antara testi yang mengetahui jawabannya dengan benar (pandai) dengan testi yang tidak dapat menjawab soal tersebut (atau testi yang menjawab salah). Dalam hal ini, daya pembeda sebuah butir soal merupakan kemampuan yang dimiliki oleh butir soal itu untuk membedakan antara testi (siswa) yang pandai (kemampuan tinggi) dengan siswa yang berkemampuan rendah.
Rumus untuk menentukan daya pembeda soal tipe uraian adalah:
̅̅̅ ̅̅̅̅ Dengan:
= daya pembeda
̅̅̅ = rata-rata skor kelompok atas untuk soal itu
(18)
= skor maksimal ideal (bobot) (Suherman & Sukjaya, 1990, hlm. 201)
Klasifikasi interpretasi untuk daya pembeda yang banyak digunakan adalah:
DP ≤ 0,00 sangat jelek
0,00 < DP ≤ 0,20 jelek
0,20 < DP ≤ 0,40 sedang
0,40 < DP ≤ 0,70 tinggi
0,70 < DP ≤ 1,00 sangat tinggi
Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan bantuan software Anates V4 tipe uraian, diperoleh hasil perhitungan daya pembeda untuk setiap soal sebagai berikut:
Tabel 3.3
Daya Pembeda Tiap Butir Soal No.
Soal Daya Pembeda Interpretasi
1 0,11 Jelek
2 0,48 Baik
3 0,37 Cukup
4 0,44 Baik
4. Indeks Kesukaran
Suatu hasil dari alat evaluasi dikatakan baik akan menghasilkan skor atau nilai yang membentuk distribusi normal. Jika soal tersebut terlalu sukar, maka frekuensi distribusi yang paling banyak terletak pada skor yang rendah karena sebagian yang besar mendapat nilai yang jelek. Sebaliknya jika soal yang diberikan terlalu mudah, maka frekuensi distribusi yang paling banyak pada skor yang tinggi, karena sebagian besar siswa mendapat nilai baik.
(19)
26
Derajat kesukaran suatu butir soal dinyatakan dengan bilangan yang disebut indeks kesukaran. Bilangan tersebut adalah bilangan real pada interval 0,00 sampai dengan 1,00. Soal dengan indeks kesukaran mendekati 0,00 berarti butir soal tersebut terlalu sukar, sebaliknya soal dengan indeks kesukaran 1,00 berarti soal tersebut terlalu mudah. Pengujian indeks kesukaran ini dilakukan pada dua tipe soal yaitu tipe objektif dan tipe uraian.
Rumus untuk menentukan indeks kesukaran butir soal, yaitu:
Dengan:
= indeks kesukaran
= jumlah benar untuk kelompok atas
= jumlah benar untuk kelompok bawah
= jumlah siswa kelompok atas
= jumlah siswa kelompok bawah
(Suherman & Sukjaya, 1990, hlm. 213)
Klasifikasi indeks kesukaran yang paling banyak digunakan adalah:
IK = 0,00 soal terlalu sukar
0,00 < IK ≤ 0,30 soal sukar
0,30 < IK ≤ 0,70 soal sedang
0,70 < IK ≤ 1,00 soal mudah
IK = 1 soal terlalu mudah
Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan bantuan software Anates V4 tipe uraian, diperoleh hasil perhitungan indeks kesukaran untuk setiap soal sebagai berikut:
(20)
Tabel 3.4
Indeks Kesukaran Tiap Butir Soal No.
Soal Indeks Kesukaran Interpretasi
1 0,30 Soal Sukar
2 0,57 Soal Sedang
3 0,73 Soal Mudah
4 0,69 Soal Sedang
Adapun untuk rekapitulasi hasil ujicoba instrumen secara keseluruhan disajikan dalam tabel berikut:
Tabel 3.5
Rekapitulasi Hasil Ujicoba Instrumen Tes No.
Soal Validitas Daya Pembeda
Indeks
Kesukaran Reliabilitas
1 0,32 (Rendah) 0,11 (Jelek) 0,30 (Sukar)
0,90 (Sangat Tinggi)
2 0,78 (Tinggi) 0,48 (Baik) 0,57 (Sedang)
3 0,89 (Tinggi) 0,37 (Cukup) 0,73 (Mudah)
4 0,86 (Tinggi) 0,44 (Baik) 0,69 (Sedang)
Berdasarkan analisis hasil ujicoba instrumen tes di atas, dapat dikatakan bahwa kualitas instrumen tes yang telah disusun cukup baik. Akan tetapi pada soal nomor 1, interpretasi daya pembedanya termasuk dalam kategori jelek. Melihat dari hasil jawaban siswa, hal tersebut dikarenakan kurang tepatnya dalam penggunaan kalimat pada soal sehingga siswa mengalami kesalahan dalam memahami soal. Dan karena terbatasnya waktu, maka instrumen soal nomor 1 tidak dirubah dan tetap digunakan untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah matematis siswa.
(21)
28
E. Prosedur Penelitian
Penelitian ini dilakukan melalui empat tahap, yaitu: tahap persiapan, tahap pelaksanaan, tahap analisis data, dan tahap penyusunan kesimpulan.
1. Tahap persiapan
Langkah-langkah yang dilaksanakan pada tahap ini adalah:
- Mengidentifikasi dan merumuskan permasalahan yang terdapat pada
pembelajaran matematika
- Mengajukan judul penelitian terkait masalah yang akan diteliti
- Penyusunan proposal penelitian
- Pelaksanaan seminar proposal penelitian
- Penyusunan instrumen penelitian
- Melaksanakan ujicoba instrumen
- Penentuan lokasi, populasi dan sampel penelitian yang akan diteliti
2. Tahap pelaksanaan
Langkah-langkah yang dilaksanakan pada tahap ini adalah:
- Pengumpulan data nilai ujian harian siswa pada kelas eksperimen dan
kelas kontrol
- Pengolahan data nilai ujian harian siswa pada kelas eksperimen dan
kelas kontrol
- Melaksanakan pembelajaran dengan model guided discovery learning
pada kelas eksperimen dan model pembelajaran ekspositori pada kelas kontrol
- Memberikan posttest pada kelas eksperimen dan kelas kontrol untuk
mengetahui kemampuan pemecahan masalah matematis siswa
3. Tahap analisis data posttest
Langkah-langkah yang dilaksanakan pada tahap ini adalah:
- Pengumpulan data kuantitatif yang diperoleh dari hasil posttest
- Pengolahan data kuantitatif yang diperoleh dari hasil posttest
4. Tahap penyusunan kesimpulan
Pada tahap ini langkah yang dilaksanakan adalah menyusun kesimpulan berdasarkan data yang telah diolah dan dianalisis agar dapat menjawab hipotesis yang telah dirumuskan.
(22)
F. Analisis Data
Setelah semua data terkumpul agar dapat menjawab hipotesis penelitian yang telah disampaikan pada bab dua, maka data yang telah diperoleh harus diolah dan dianalisis terlebih dahulu. Pada penelitian ini diperoleh data kuantitatif dari nilai ujian harian siswa dan hasil soal posttest setelah penerapan model guided discovery learning dan model pembelajaran ekspositori. Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan uji statistik.
Data yang akan dianalisis adalah data nilai ujian harian siswa dan hasil posttest dari kelas yang akan diterapkan model guided discovery learning dan kelas yang akan diterapkan model pembelajaran ekspositori. Analisis data nilai ujian harian siswa dan hasil posttest akan dilakukan dengan menggunakan bantuan software SPSS (Statistical Product and Service Solution) versi 20.0. Adapun analisis data yang akan dilakukan adalah uji kesamaan dua rata-rata yang digunakan untuk mengetahui apakah kelas yang akan diterapkan model guided discovery learning dan kelas yang akan diterapkan model pembelajaran ekspositori memiliki rata-rata yang sama atau tidak. Berikut adalah penjelasan tentang teknik analisis data yang dilakukan:
1. Analisis Data Nilai Ujian Harian
Analisis data nilai ujian harian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan awal siswa pada kedua kelas penelitian.
a. Uji Normalitas Data Nilai ujian harian
Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah data nilai ujian harian tersebut berasal dari populasi yang berdistribusi normal atau tidak. Uji normalitas ini dilakukan dengan bantuan software SPSS versi 20.0 menggunakan uji statistik Saphiro-Wilk. Dengan hipotesis sebagai berikut:
H0 : Data nilai ujian harian siswa berdistribusi normal
H1 : Data nilai ujian harian siswa tidak berdistribusi normal
Kriteria pengujian dengan mengambil taraf signifikansi α = 0,05
adalah menerima H0 jika nilai signifikan (Sig.) lebih besar atau sama
(23)
30
Jika data nilai ujian harian siswa kedua kelas penelitian berdistribusi normal, uji statistik selanjutnya yang dilakukan adalah uji homogenitas varians. Akan tetapi, jika data nilai ujian harian siswa salah satu atau kedua kelas penelitian tidak berdistribusi normal, maka uji homogenitas tidak perlu dilakukan melainkan akan dilakukan uji statistik non-parametrik, yaitu uji Mann-Whitney U untuk uji perbedaan dua sampel independen.
b. Uji Homogenitas Varians
Uji homogenitas varians dilakukan untuk mengetahui apakah data nilai ujian harian tersebut berasal dari varians yang homogen/sama atau tidak. Apabila data nilai ujian harian siswa kedua kelas penelitian berdistribusi normal, maka dilanjutkan dengan uji homogenitas varians. Uji homogenitas varians ini dilakukan dengan bantuan software SPSS versi 20.0 menggunakan uji Levene’s. Dengan hipotesis sebagai berikut:
H0 : Data nilai ujian harian siswa pada kelas yang akan diterapkan model
guided discovery learning dan kelas yang akan diterapkan model pembelajaran ekspositori bervarians homogen
H1 : Data nilai ujian harian siswa pada kelas yang akan diterapkan model
guided discovery learning dan kelas yang akan diterapkan model pembelajaran ekspositori tidak bervarians homogen
Kriteria pengujian dengan mengambil taraf signifikansi α = 0,05
adalah menerima H0 jika nilai signifikan (Sig.) lebih besar atau sama
dengan α, dan menolak H0jika nilai signifikan (Sig.) lebih kecil α.
c. Uji Kesamaan Dua Rata-Rata
Uji kesamaan dua rata-rata dilakukan untuk mengetahui apakah data nilai ujian harian siswa kedua kelas penelitian memiliki rata-rata kemampuan yang sama atau tidak. Apabila data nilai ujian harian siswa kedua kelas penelitian berdistribusi normal dan bervarians homogen, maka uji kesamaan dua rata-rata dilakukan dengan menggunakan uji t. Sedangkan apabila data nilai ujian harian siswa kedua kelas penelitian
(24)
berdistribusi normal dan tidak bervarians homogen, maka uji dua rata-rata
dilakukan dengan menggunakan uji t’. Adapun perumusan hipotesis untuk
uji kesamaan dua rata-rata ini adalah sebagai berikut:
H0 : �1 = �2
H1 : �1≠ �2
Dengan:
�1 adalah rata-rata nilai ujian harian siswa kelas yang akan menggunakan
model guided discovery learning
�2 adalah rata-rata nilai ujian harian siswa kelas yang akan menggunakan
model pembelajaran ekspositori
Kriteria pengujian dengan mengambil taraf signifikansi α = 0,05
adalah menerima H0 jika nilai signifikan (Sig.) lebih besar atau sama
dengan α, dan menolak H0jika nilai signifikan (Sig.) lebih kecil α.
2. Analisis Data Posttest
Analisis data posttest ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan pemecahan masalah matematis siswa pada kelas yang menerapkan model guided discovery learning dan pada kelas yang menerapkan model pembelajaran ekspositori.
a. Uji Normalitas Data Posttest
Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah data posttest tersebut berasal dari populasi yang berdistribusi normal atau tidak. Uji normalitas ini dilakukan dengan bantuan software SPSS versi 20.0 menggunakan uji statistik Saphiro-Wilk. Dengan hipotesis sebagai berikut:
H0 : Data posttest siswa berdistribusi normal
H1 : Data posttest siswa tidak berdistribusi normal
Kriteria pengujian dengan mengambil taraf signifikansi α = 0,05
adalah menerima H0 jika nilai signifikan (Sig.) lebih besar atau sama
dengan α, dan menolak H0jika nilai signifikan (Sig.) lebih kecil α.
Jika data posttest siswa kedua kelas penelitian berdistribusi normal, uji statistik selanjutnya yang dilakukan adalah uji homogenitas varians. Akan tetapi, jika data posttest siswa salah satu atau kedua kelas penelitian
(25)
32
tidak berdistribusi normal, maka uji homogenitas tidak perlu dilakukan melainkan akan dilakukan uji statistik non-parametrik, yaitu uji Mann-Whitney U untuk uji perbedaan dua sampel independen.
b. Uji Homogenitas Varians
Uji homogenitas varians dilakukan untuk mengetahui apakah data posttest tersebut berasal dari varians yang homogen/sama atau tidak. Apabila data posttest siswa kedua kelas penelitian berdistribusi normal, maka dilanjutkan dengan uji homogenitas varians. Uji homogenitas varians ini dilakukan dengan bantuan software SPSS versi 20.0 menggunakan uji Levene. Dengan hipotesis sebagai berikut:
H0 : Data posttest siswa pada kelas yang menggunakan model guided
discovery learning dan kelas yang menggunakan model pembelajaran ekspositori bervarians homogen
H1 : Data posttest siswa pada kelas yang menggunakan model guided
discovery learning dan kelas yang menggunakan model pembelajaran ekspositori tidak bervarians homogen
Kriteria pengujian dengan mengambil taraf signifikansi α = 0,05
adalah menerima H0 jika nilai signifikan (Sig.) lebih besar atau sama
dengan α, dan menolak H0jika nilai signifikan (Sig.) lebih kecil α.
c. Uji Kesamaan Dua Rata-Rata
Uji kesamaan dua rata-rata dilakukan untuk mengetahui apakah data posttest siswa kedua kelas penelitian memiliki rata-rata kemampuan pemecahan masalah matematis yang sama atau tidak. Apabila data posttest siswa kedua kelas penelitian berdistribusi normal dan bervarians homogen, maka uji dua rata-rata dilakukan dengan menggunakan uji t. Sedangkan apabila data posttest siswa kedua kelas penelitian berdistribusi normal dan tidak bervarians homogen, maka uji dua rata-rata dilakukan dengan
menggunakan uji t’. Adapun perumusan hipotesis untuk uji kesamaan dua
(26)
H0 : �1 = �2
H1 : �1 ≠ �2
Dengan:
�1 adalah rata-rata kemampuan pemecahan masalah matematis siswa pada
kelas yang menggunakan model guided discovery learning
�2 adalah rata-rata kemampuan pemecahan masalah matematis siswa pada
kelas yang menggunakan model pembelajaran ekspositori
Kriteria pengujian dengan mengambil taraf signifikansi α = 0,05
adalah menerima H0 jika nilai signifikan (Sig.) lebih besar atau sama
(27)
DAFTAR PUSTAKA
Abruscato, J. & DeRosa, D.A. (2010).Teaching Children Science A Discovery Approach.United Stated of America: Allyn and Bacon.
Ambami, S. (2013).Peningkatan Pemecahan Masalah Matematis Siswa Sekolah Dasar Kelas V Melalui Metode Penemuan Terbimbing.(Skripsi). Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.
Andriatna, R. (2012). Meningkatkan KemampuanPemecahan MasalahMatematis Siswa SMA melalui Menulis Matematika dalamPembelajaran Berbasis Masalah. (Skripsi). Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.
Arikunto, S. (1999).Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
Badan Standar Nasional Pendidikan. (2006). Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar untuk Matematika SMP-MTs. Jakarta: BSNP.
Carin, A.A. & Sund, R.B. (1985).Teaching Modern Science. Colombus: Charles E. Merril Publishing.
Eggen, P. & Kauchak, D. (2012).Strategi dan Model Pembelajaran. Jakarta: PT Indeks.
Fauziah, A. (2010). Peningkatan Kemampuan Pemahaman dan Pemecahan Masalah Matematika Siswa SMP Melalui Strategi REACT. Forum Kependidikan, 30 (1), hlm. 1-13.
Firmansyah.(2011). Pengertian Inquiri, Ekspositori dan Teori Pemahaman. Diakses dari: http://firmansyah100288.blogspot.com/2011/09/pengertian-inquiri-ekspositori-dan.html
Fitriani, G.P. (2014). Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMP dalam Pembelajaran Matematika dengan Strategi REACT.(Skripsi).Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.
Jaenudin, A. (2011). Mengembangkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa Sekolah Menengah Pertama Melalui Pembelajaran Matematika Realistik.(Tesis). Pendidikan Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.
Mahardika, G.A. (2013). Uji Validitas dan Reliabilitas.[Online].Diakses dari http://statistikapendidikan.com/wp-content/uploads/2013/05/Uji-Validitas-dan-Reliabilitas.Gilang-AM1.pdf.
Mutoharoh, S. (2011).Pengaruh Model Guided Discovery Learnig terhadap Hasil Belajar Kimia Siswa Pada Konsep Laju Reaksi.(Skripsi). UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
(28)
Noer, S.H. & Agnesa, T. (2011).Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMP Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah Open-Ended.Makalah Seminar Nasional Pendidikan MIPA (hlm. 118-129). Lampung: Unila.
Nupita, E. (2013). Penerapan Model Pembelajaran Penemuan Terbimbing untuk Meningkatkan Hasil Belajar dan Keterampilan Pemecahan Masalah pada Siswa Kelas V Sekolah Dasar.(Skripsi). Universitas Negeri Surabaya, Surabaya.
Polya, G. (1994). How to Solve It: A New Aspect of Mathematical Method. Princeton, NJ: Princeton Science Library Printing.
Prince, M.J. & Felder, R.M. (2006). Inductive Teaching and Learning Methods: Definitions, Comparisons, and Research Bases. Journal of Engineering Education, 95 (2), hlm 123-138.
Purnomo, Y.W. (2011). Efektivitas Model Penemuan Terbimbing dan Cooperative Learning Ditinjau dari Kreativitas Siswa pada Pembelajaran Matematika di Kelas IX SMP.(Tesis). Universitas Sebelas Maret, Semarang.
Purnomo, Y.W. (2011). Keefektifan Model Penemuan Terbimbing Dan
Cooperative Learning Pada Pembelajaran Matematika. Jurnal
Kependidikan, 41 (1), hlm. 23 – 33.
Ruseffendi.(2010). Dasar-dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non-Eksakta Lainnya. Bandung: Tarsito Bandung.
Sanjaya, W. (2006).Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana.
Sugiyono.(2012). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Suherman, E. & Sukjaya, Y. (1990). Evaluasi Pendidikan Matematika. Bandung: Wijayakusumah 157.
Suherman, E. (2010). Belajar dan Pembelajaran Matematika. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Suherman, E. Dkk. (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Suherman, E. Dkk. (2003). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Syaiful, Dkk. (2011). Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis
Melalui Pendekatan Matematika Realistik. Jurnal Pendidikan
(29)
50
Wahyudin.(2003). Peranan Problem Solving. Makalah Seminar Technical Cooperation Project for Development of Mathematics and Science for Primary and Secondary Education in Indonesia. Bandung: UPI Press. Wardhani, S. (2005). Prinsip Dasar Penilaian dan Penyusunan Perangkat. Tim
PPPG Matematika Yogyakarta: Depdiknas.
Watini, N. (2013). Pengaruh Metode Guided Discovery terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Siswa.(Skripsi). Universitas Swadaya Gunung Jati, Cirebon.
Wirantiwi. (2011). Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMA Melalui Model Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based Learning). (Skripsi). Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.
(1)
31
berdistribusi normal dan tidak bervarians homogen, maka uji dua rata-rata
dilakukan dengan menggunakan uji t’. Adapun perumusan hipotesis untuk
uji kesamaan dua rata-rata ini adalah sebagai berikut: H0 : �1 = �2
H1 : �1≠ �2 Dengan:
�1 adalah rata-rata nilai ujian harian siswa kelas yang akan menggunakan model guided discovery learning
�2 adalah rata-rata nilai ujian harian siswa kelas yang akan menggunakan model pembelajaran ekspositori
Kriteria pengujian dengan mengambil taraf signifikansi α = 0,05 adalah menerima H0 jika nilai signifikan (Sig.) lebih besar atau sama
dengan α, dan menolak H0jika nilai signifikan (Sig.) lebih kecil α.
2. Analisis Data Posttest
Analisis data posttest ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan pemecahan masalah matematis siswa pada kelas yang menerapkan model
guided discovery learning dan pada kelas yang menerapkan model
pembelajaran ekspositori. a. Uji Normalitas Data Posttest
Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah data posttest tersebut berasal dari populasi yang berdistribusi normal atau tidak. Uji normalitas ini dilakukan dengan bantuan software SPSS versi 20.0 menggunakan uji statistik Saphiro-Wilk. Dengan hipotesis sebagai berikut: H0 : Data posttest siswa berdistribusi normal
H1 : Data posttest siswa tidak berdistribusi normal
Kriteria pengujian dengan mengambil taraf signifikansi α = 0,05 adalah menerima H0 jika nilai signifikan (Sig.) lebih besar atau sama
dengan α, dan menolak H0jika nilai signifikan (Sig.) lebih kecil α.
Jika data posttest siswa kedua kelas penelitian berdistribusi normal, uji statistik selanjutnya yang dilakukan adalah uji homogenitas varians. Akan tetapi, jika data posttest siswa salah satu atau kedua kelas penelitian
(2)
tidak berdistribusi normal, maka uji homogenitas tidak perlu dilakukan melainkan akan dilakukan uji statistik non-parametrik, yaitu uji
Mann-Whitney U untuk uji perbedaan dua sampel independen.
b. Uji Homogenitas Varians
Uji homogenitas varians dilakukan untuk mengetahui apakah data
posttest tersebut berasal dari varians yang homogen/sama atau tidak.
Apabila data posttest siswa kedua kelas penelitian berdistribusi normal, maka dilanjutkan dengan uji homogenitas varians. Uji homogenitas varians ini dilakukan dengan bantuan software SPSS versi 20.0 menggunakan uji Levene. Dengan hipotesis sebagai berikut:
H0 : Data posttest siswa pada kelas yang menggunakan model guided
discovery learning dan kelas yang menggunakan model pembelajaran ekspositori bervarians homogen
H1 : Data posttest siswa pada kelas yang menggunakan model guided
discovery learning dan kelas yang menggunakan model pembelajaran ekspositori tidak bervarians homogen
Kriteria pengujian dengan mengambil taraf signifikansi α = 0,05 adalah menerima H0 jika nilai signifikan (Sig.) lebih besar atau sama
dengan α, dan menolak H0jika nilai signifikan (Sig.) lebih kecil α. c. Uji Kesamaan Dua Rata-Rata
Uji kesamaan dua rata-rata dilakukan untuk mengetahui apakah data posttest siswa kedua kelas penelitian memiliki rata-rata kemampuan pemecahan masalah matematis yang sama atau tidak. Apabila data posttest siswa kedua kelas penelitian berdistribusi normal dan bervarians homogen, maka uji dua rata-rata dilakukan dengan menggunakan uji t. Sedangkan apabila data posttest siswa kedua kelas penelitian berdistribusi normal dan tidak bervarians homogen, maka uji dua rata-rata dilakukan dengan
menggunakan uji t’. Adapun perumusan hipotesis untuk uji kesamaan dua
(3)
33
H0 : �1 = �2 H1 : �1 ≠ �2 Dengan:
�1 adalah rata-rata kemampuan pemecahan masalah matematis siswa pada kelas yang menggunakan model guided discovery learning
�2 adalah rata-rata kemampuan pemecahan masalah matematis siswa pada kelas yang menggunakan model pembelajaran ekspositori
Kriteria pengujian dengan mengambil taraf signifikansi α = 0,05 adalah menerima H0 jika nilai signifikan (Sig.) lebih besar atau sama
(4)
DAFTAR PUSTAKA
Abruscato, J. & DeRosa, D.A. (2010).Teaching Children Science A Discovery
Approach.United Stated of America: Allyn and Bacon.
Ambami, S. (2013).Peningkatan Pemecahan Masalah Matematis Siswa Sekolah
Dasar Kelas V Melalui Metode Penemuan Terbimbing.(Skripsi).
Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.
Andriatna, R. (2012). Meningkatkan KemampuanPemecahan MasalahMatematis
Siswa SMA melalui Menulis Matematika dalamPembelajaran Berbasis Masalah. (Skripsi). Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.
Arikunto, S. (1999).Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
Badan Standar Nasional Pendidikan. (2006). Standar Kompetensi dan Kompetensi
Dasar untuk Matematika SMP-MTs. Jakarta: BSNP.
Carin, A.A. & Sund, R.B. (1985).Teaching Modern Science. Colombus: Charles E. Merril Publishing.
Eggen, P. & Kauchak, D. (2012).Strategi dan Model Pembelajaran. Jakarta: PT Indeks.
Fauziah, A. (2010). Peningkatan Kemampuan Pemahaman dan Pemecahan Masalah Matematika Siswa SMP Melalui Strategi REACT. Forum
Kependidikan, 30 (1), hlm. 1-13.
Firmansyah.(2011). Pengertian Inquiri, Ekspositori dan Teori Pemahaman. Diakses dari: http://firmansyah100288.blogspot.com/2011/09/pengertian-inquiri-ekspositori-dan.html
Fitriani, G.P. (2014). Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis
Siswa SMP dalam Pembelajaran Matematika dengan Strategi REACT.(Skripsi).Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.
Jaenudin, A. (2011). Mengembangkan Kemampuan Pemecahan Masalah
Matematis Siswa Sekolah Menengah Pertama Melalui Pembelajaran Matematika Realistik.(Tesis). Pendidikan Pascasarjana Universitas
Pendidikan Indonesia, Bandung.
Mahardika, G.A. (2013). Uji Validitas dan Reliabilitas.[Online].Diakses dari http://statistikapendidikan.com/wp-content/uploads/2013/05/Uji-Validitas-dan-Reliabilitas.Gilang-AM1.pdf.
Mutoharoh, S. (2011).Pengaruh Model Guided Discovery Learnig terhadap Hasil
(5)
49
Noer, S.H. & Agnesa, T. (2011).Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMP Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah Open-Ended.Makalah Seminar Nasional Pendidikan MIPA (hlm. 118-129). Lampung: Unila.
Nupita, E. (2013). Penerapan Model Pembelajaran Penemuan Terbimbing untuk
Meningkatkan Hasil Belajar dan Keterampilan Pemecahan Masalah pada Siswa Kelas V Sekolah Dasar.(Skripsi). Universitas Negeri Surabaya,
Surabaya.
Polya, G. (1994). How to Solve It: A New Aspect of Mathematical Method. Princeton, NJ: Princeton Science Library Printing.
Prince, M.J. & Felder, R.M. (2006). Inductive Teaching and Learning Methods: Definitions, Comparisons, and Research Bases. Journal of Engineering
Education, 95 (2), hlm 123-138.
Purnomo, Y.W. (2011). Efektivitas Model Penemuan Terbimbing dan
Cooperative Learning Ditinjau dari Kreativitas Siswa pada Pembelajaran Matematika di Kelas IX SMP.(Tesis). Universitas Sebelas Maret,
Semarang.
Purnomo, Y.W. (2011). Keefektifan Model Penemuan Terbimbing Dan Cooperative Learning Pada Pembelajaran Matematika. Jurnal Kependidikan, 41 (1), hlm. 23 – 33.
Ruseffendi.(2010). Dasar-dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non-Eksakta
Lainnya. Bandung: Tarsito Bandung.
Sanjaya, W. (2006).Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses
Pendidikan. Jakarta: Kencana.
Sugiyono.(2012). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Suherman, E. & Sukjaya, Y. (1990). Evaluasi Pendidikan Matematika. Bandung: Wijayakusumah 157.
Suherman, E. (2010). Belajar dan Pembelajaran Matematika. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Suherman, E. Dkk. (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Suherman, E. Dkk. (2003). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Syaiful, Dkk. (2011). Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Melalui Pendekatan Matematika Realistik. Jurnal Pendidikan Matematikan dan Sains, 16 (1), hlm. 9-16.
(6)
Wahyudin.(2003). Peranan Problem Solving. Makalah Seminar Technical
Cooperation Project for Development of Mathematics and Science for Primary and Secondary Education in Indonesia. Bandung: UPI Press.
Wardhani, S. (2005). Prinsip Dasar Penilaian dan Penyusunan Perangkat. Tim PPPG Matematika Yogyakarta: Depdiknas.
Watini, N. (2013). Pengaruh Metode Guided Discovery terhadap Kemampuan
Berpikir Kreatif Matematis Siswa.(Skripsi). Universitas Swadaya Gunung
Jati, Cirebon.
Wirantiwi. (2011). Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis
Siswa SMA Melalui Model Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based Learning). (Skripsi). Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.