EFEKTIVITAS KONSELING KOGNITIF-PERILAKU DALAM MENINGKATKAN KESADARAN IDENTITAS GENDER.

(1)

i

EFEKTIVITAS KONSELING KOGNITIF-PERILAKU DALAM MENINGKATKAN KESADARAN IDENTITAS GENDER

(Penelitian Subjek Tunggal bagi Siswa yang Memiliki Aspek Peran Sosial Sebagai Pria yang Rendah di Kelas XI SMAN 13 Bekasi)

T E S I S

diajukan untuk memenuhi sebagian dari syarat untuk memperoleh gelar Magister Pendidikan Bimbingan dan Konseling

oleh

Saeful Ramadon NIM 1201563

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

2015


(2)

LEMBAR PENGESAHAN

SAEFUL RAMADON

EFEKTIVITAS KONSELING KOGNITIF-PERILAKU DALAM MENINGKATKAN KESADARAN IDENTITAS GENDER

disetujui dan disahkan oleh pembimbing: Pembimbing I,

Prof. Dr. H. Syamsu Yusuf LN, M. Pd. NIP. 19520620 198002 1 001

Pembimbing II,

Dr. Hj. Euis Farida, M.Pd. NIP. 195901 109843 2 001

Mengetahui,

Ketua Program Studi Bimbingan dan Konseling

Prof. Dr. Uman Suherman AS., M.Pd, NIP. 19620623 198610 1 001


(3)

(4)

Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.

Sungguh, yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.

Sungguh, Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti”.

(terjemah Qur’ an Surah Al Hujurat [49] : 13)

Dari Ibnu Abbas ra., Rasulullah saw., melaknat Laki-laki yang menyerupai perempuan, dan perempuan yang menyerupai laki-laki. (HR.Tirmidzi)

Sebuah persembahan sederhana, untuk peradaban Islam yang mulia.


(5)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul “Efektivitas Konseling Kognitif-Perilaku dalam Meningkatkan Kesadaran Identitas Gender” ini beserta seluruh isinya adalah benar-benar karya saya sendiri. Saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika ilmu yang berlaku dalam masyarakat keilmuan. Atas pernyataan ini, saya siap menanggung resiko/sanksi apabila di kemudian hari ditemukan adanya pelanggaran etika keilmuan atau ada klaim dari pihak lain terhadap keaslian karya saya ini.

Bandung, Nopember 2015 Yang membuat pernyataan,

Saeful Ramadon NIM. 1201563


(6)

Saeful Ramadon, 2015

EFEKTIVITAS KONSELING KOGNITIF-PERILAKU DALAM MENINGKATKAN KESADARAN IDENTITAS GENDER

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

ABSTRAK

Saeful Ramadon (2015). Efektivitas konseling kognitif-perilaku dalam meningkatkan kesadaran identitas gender.

Penelitian didasarkan pada permasalahan kesadaran identitas gender siswa yang rendah mengacu pada aspek peran sosial sebagai pria atau wanita dalam Inventori Tugas Perkembangan Siswa SMA. Penelitian bertujuan untuk membuktikan efektifitas konseling kognitif-perilaku dalam meningkatkan kesadaran identitas gender siswa. Pendekatan penelitian secara kuantitatif dan metode yang digunakan yaitu subjek tunggal dengan desain A-B. Sampelnya adalah siswa kelas XI IPS yang memiliki profil individu hasil pengolahan ATP rendah pada aspek peran sosial sebagai pria atau wanita. Hasil penelitian menunjukkan konseling kognitif-perilaku efektif untuk meningkatkan kesadaran identitas gender siswa. Efektifitas tersebut terlihat pada perbandingan skor sebelum dan setelah intervensi yang digambarkan dalam bentuk grafik pada masing-masing subjek penelitian. Guru bimbingan dan konseling diharapkan menjadikan konseling kognitif-perilaku menjadi salah satu alternatif untuk meningkatkan kesadaran identitas gender siswa yang juga merupakan salah satu tugas perkembangan yang harus diselesaikan oleh siswa. Peneliti selanjutnya juga diharapkan dapat memperluas subjek penelitian sesuai jenjang pendidikan, hal ini dikarenakan standar kompetensi kemandirian siswa dan inventori tugas perkembangan siswa juga mulai diterapkan sejak jenjang Sekolah Dasar sampai dengan jenjang Perguruan Tinggi, serta menguji efektivitas konseling kognitif-perilaku dalam setting kelompok.


(7)

Saeful Ramadon, 2015

EFEKTIVITAS KONSELING KOGNITIF-PERILAKU DALAM MENINGKATKAN KESADARAN IDENTITAS GENDER

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

ABSTRACT

Saeful Ramadon (2015). The effectiveness of cognitive-behavioral counseling in increasing awareness of gender identity.

The research is based on awareness of the problem of low gender’s student identity refers to social role aspects as a man or woman in the Inventory Task Development of High School Students. The study aims to prove the effectiveness of cognitive-behavioral counseling in improving students' awareness of gender identity. Quantitative research approaches and methods used are single-subject design with AB. The samples are students of class XI IPS profile individuals who have low ATP processing results in the social role aspects as a man or a woman. The results showed cognitive-behavioral counseling is effective to improve students' awareness of gender identity. Effectiveness is seen from comparison of the average baseline scores and scores of interventions described in graphic form on each of the research subjects. Guidance and counseling teacher is expected to make a cognitive-behavioral counseling be an alternative to increase awareness of gender identity of students who also is one of the tasks that must be alleviated by the development of the students. Researchers are also expected to expand further research subjects appropriate level of education, because the standard of students 'independence and competence development of students' assignments inventory also applied since elementary school level up to the level of Higher Education, as well as test the effectiveness of cognitive-behavioral counseling in a group setting.


(8)

Saeful Ramadon, 2015

EFEKTIVITAS KONSELING KOGNITIF-PERILAKU DALAM MENINGKATKAN KESADARAN IDENTITAS GENDER

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu i

KATA PENGANTAR

Sesungguhnya Allah swt,. menciptakan manusia dalam bentuk sebaik-baiknya. Dalam kajian psikologis, manusia memiliki tugas perkembangan yang harus dicapai pada setiap fasenya. Salah satu fase dalam rentang kehidupan manusia yang digunakan untuk mengaktualisasikan diri adalah fase remaja. Pada fase remaja, pembentukan dan perkembangan identitas diri merupakan isu sentral dalam penyelesaian tugas perkembangan di fase ini. Identitas diri ini berkembang dan terbentuk secara utuh termasuk identitas gender di dalamnya.

Informasi yang keliru, pengambilan kesimpulan yang tidak tepat atas informasi yang diterima, sikap overgeneralization akibat pengalaman individu terkait interaksi sesama dan antar jenis kelamin, serta perilaku maladaptif akibat gagal membedakan antara imajinasi dan realita merupakan tanda-tanda terbentuknya belief system yang salah dalam proses perkembangan identitas dan kesadaran gender. Restrukturisasi kognitif merupakan bagian dari model konseling kognitif-perilaku yang bertujuan untuk menentang pikiran dan emosi yang salah akibat informasi yang diterima, dengan menampilkan bukti-bukti atau informasi baru dalam rangka menata keyakinan yang benar terkait dengan perkembangan identitas gender seorang individu.

Semoga tesis ini dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak sebagai upaya peningkatan mutu layanan bimbingan dan konseling di sekolah maupun di lembaga-lembaga lain. Akhir kata hanya kepada Allah swt,. penulis memohon supaya apa yang telah dikerjakan selama ini menjadi amal yang bernilai ibadah. Aamiin.

Bandung, Nopember 2015

Saeful Ramadon NIM. 1201563


(9)

Saeful Ramadon, 2015

EFEKTIVITAS KONSELING KOGNITIF-PERILAKU DALAM MENINGKATKAN KESADARAN IDENTITAS GENDER

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu ii

UCAPAN TERIMA KASIH

Bismillahirrahmaanirrohiim

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah swt., yang telah memberikan pengetahuan dan ilmu kepada penulis dalam

menyelesaikan tugas akhir yang berjudul “Efektivitas Konseling Kognitif-Perilaku dalam Meningkatkan Kesadaran Identitas Gender”. Shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Rasul Allah Muhammad saw., beserta keluarga dan para sahabatnya.

Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa dalam penyelesaian tesis ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan, arahan, dan motivasi dari berbagai pihak, untuk itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. H. Syamsu Yusuf LN, M.Pd. selaku Pembimbing I penulis yang ditengah-tengah kesibukannya, telah memberikan bimbingan, arahan dan motivasi, sehingga tesis ini dapat diselesaikan.

2. Dr. Hj. Euis Farida, M.Pd. selaku Pembimbing II, yang di tengah-tengah kesibukannya, telah menyempatkan waktu memberikan bimbingan, petunjuk, arahan, serta memberikan motivasi bagi penulis sehingga tesis ini dapat diselesaikan.

3. Prof. H. Furqon, Ph. D. selaku Rektor Universitas Pendidikan Indonesia periode 2015 – 2020 beserta jajaran Wakil Rektor yang telah memberikan kesempatan belajar di Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia.

4. Prof. Dr. H. Sunaryo Kartadinata, M.Pd. selaku Rektor Universitas Pendidikan Indonesia periode 2010 - 2015, sekaligus ketua Tim Perancang Aplikasi Inventori Tugas Perkembangan.

5. Prof. Dr. H. Didi Suryadi, M.Ed. selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, beserta jajaran Asisten Direktur yang telah memberikan motivasi dalam menyelesaikan tugas belajar di Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia.


(10)

Saeful Ramadon, 2015

EFEKTIVITAS KONSELING KOGNITIF-PERILAKU DALAM MENINGKATKAN KESADARAN IDENTITAS GENDER

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu iii

6. Prof. Dr. Uman Suherman AS., M.Pd, dan Dr. Amin Budiamin, M. Pd,. selaku Ketua Departemen dan Sekretaris Departemen Psikologi Pendidikan dan Bimbingan/ Bimbingan dan Konseling.

7. Seluruh dosen Prodi Bimbingan dan Konseling Universitas Pendidikan Indonesia, yang tanpa mengurangi rasa hormat tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

8. Dra. Hj. Henny Widhaningsih, M. Si. selaku Kepala SMA Negeri 13 Kota Bekasi yang telah memberikan ijin dan dukungan untuk menyelesaikan studi.

9. Rekan-rekan guru BK SMA Negeri 13 Kota Bekasi: Siti Hotijah, S.Pd., Niken Octawindyanti, S. Psi, dan Annisa Sukma Hapsari, S. Pd.

10.Ananda AS, POT dan RE semoga kalian berhasil menyelesaikan tugas-tugas perkembangan kalian pada setiap fase.

11.Rekan-rekan Angkatan 2012 Program Studi Bimbingan dan Konseling Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Semoga silaturahmi kita tetap terjaga.

12.H. Marji bin Gindu Abu Bakar dan Hj. Siti Ayanih, abi dan umi tercinta terima kasih untuk pengorbanan yang tak terbalaskan.

13.Istriku Rachmawati, A. Md., anak-anakku Khalid Masy’ al dan Tsani Athaya Rahman, yang telah sabar dan penuh pengertian memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan tesis ini. Semoga Allah swt,. memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua.

Akhirnya, atas segala bantuan, bimbingan, dorongan dan do’a yang telah diberikan dengan tulus dan ikhlas, penulis ucapkan jazakumullahu khairan

katsiran, semoga dicatat sebagai kebaikan dan mendapat pahala dari Allah swt,.

Aamiin.

Bandung, Nopember 2015

Saeful Ramadon NIM. 1201563


(11)

Saeful Ramadon, 2015

EFEKTIVITAS KONSELING KOGNITIF-PERILAKU DALAM MENINGKATKAN KESADARAN IDENTITAS GENDER

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu iv DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL LEMBAR PENGESAHAN LEMBAR PERNYATAAN ABSTRAK

KATA PENGANTAR ... i UCAPAN TERIMA KASIH ...

DAFTAR ISI .………...

ii iv

DAFTAR TABEL ………..………….………...

DAFTAR GRAFIK ………...

vi vii BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Penelitian ………..….……... 1 1.2Identifikan dan Perumusan Masalah……….….………

1.3 Tujuan Penelitian ……….………..

8 10

1.4Manfaat Penelitian ……….…………

1.5Struktur Organisasi Tesis………...…

10 11 BAB II PENERAPAN KONSELING KOGNITIF PERILAKU UNTUK MENINGKATKAN KESADARAN IDENTITAS GENDER SISWA 2.1 Konseling Kognitif-Perilaku

2.1.1 Pengertian dan Karakteristik Konseling Kognitif-

Perilaku ………

2.1.2 Asumsi Dasar dan Tujuan Konseling Kognitif-

Perilaku ………..……….. 2.1.3 Proses dan Prosedur Konseling Kognitif-Perilaku ..……….... 2.2 Karakteristik Peserta Didik Sekolah Menengah ……….. 2.3 Tugas-tugas Perkembangan Remaja ………....

12 15 17 19 22 2.3.1Standar Kompetensi Kemandirian Siswa ….….………..……

2.4 Konsep Identitas Gender ……….

2.4.1 Pengertian Identitas Diri .. ……….. 2.4.2 Perkembangan Identitas Diri …..………

2.4.3 Status Identitas Diri ……….

2.4.4 Karakteristik Remaja yang Memiliki Identitas Diri ….………….. 2.4.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Identitas Diri ... 2.4.6 Gangguan Identitas Gender ………..………..…. 2.4.7 Beberapa Hasil Penelitian yang berkaitan dengan Aspek Peran

Sosial sebagai Pria atau Wanita ... 24 25 25 26 29 31 32 35 41 2.5 Konseling Kognitif-Perilaku untuk Meningkatkan Kesadaran

Identitas Gender ………...

2.6 Asumsi Penelitian ………. 43 44

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan dan Desain Penelitian ..………. 3.2 Populasi dan Sampel Penelitian ..………. 3.3 Desain Operasional Variabel ….……….. 3.3.1Konseling Kognitif-Perilaku ………...

46 47 48 48


(12)

Saeful Ramadon, 2015

EFEKTIVITAS KONSELING KOGNITIF-PERILAKU DALAM MENINGKATKAN KESADARAN IDENTITAS GENDER

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu v

3.3.2Tugas Perkembangan Siswa Sekolah Menengah Atas …………... 50 3.4 Pengembangan Instrumen Penelitian …….……….. 52

3.4.1 Kisi-kisi Instrumen ……….……….…

3.4.2 Validitas dan Reliabilitas Instrumen ITP-SMA ………..

3.5 Langkah-langkah Penelitian………..………

3.5.1 Pengumpulan data ..………

3.5.2 Pelaksanaan Baseline ………..

3.5.3Perancangan Intervensi ………...

3.6 Teknik Analisa Data ……….… 52 53 55 55 56 56 56 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian .………...

4.1.1Rancangan Konseling Kognitif-Perilaku dalam meningkatkan Kesadaran Gender Siswa di SMA Negeri 13 Kota Bekasi Tahun

Ajaran 2015/2016 ………

4.1.1.1Rasional ………..

4.1.1.2 Tujuan ………. 4.1.1.3 Prosedur Teknik konseling Kognitif-Perilaku ……… 4.1.1.4 Asumsi Intervensi ………... 4.1.1.5 Sasaran Intervensi ………... 4.1.1.6 Sesi Intervensi ………. 4.1.1.7 Indikator Keberhasilan ……… 4.1.1.8Langkah-langkah Implementasi Konseling

KognitifPerilaku untuk Meningkatkan Kesadaran Identitas Gender Siswa ……….. 4.1.2 Perkembangan Tingkat Kesadaran Identitas Gender Siswa yang

Diberi Konseling Kognitif-Perilaku ……… 4.1.2.1 Deskripsi Subjek Penelitian ……… 4.1.2.2 Pelaksanaan Konseling Kognitif-Perilaku

untuk Meningkatkan Kesadaran Identitas Gender Siswa .. 4.1.2.3 Peningkatan Kesadaran Identitas Gender Siswa

mengacu pada Aspek Peran Sosial sebagai Pria

atau Wanita ………..…….. 4.1.3 Gambaran Peningkatan Kesadaran Identitas Gender

Siswa mengacu pada Aspek Peran Sosial sebagai Pria atau Wanita yang Diberi Konseling Kognitif

Perilaku ……….…..

4.2 Pembahasan ………..

4.3 Keterbatasan Penelitian …..……….

58 58 58 60 61 62 63 63 65 65 66 66 69 80 86 91 91 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

5.1 Kesimpulan ………... 93

5.2 Rekomendasi ……… 94

DAFTAR PUSTAKA ………

LAMPIRAN-LAMPIRAN ...

96 102 RIWAYAT HIDUP


(13)

Saeful Ramadon, 2015

EFEKTIVITAS KONSELING KOGNITIF-PERILAKU DALAM MENINGKATKAN KESADARAN IDENTITAS GENDER

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu vi

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Standar Kompetensi Kemandirian (SKK) Peserta Didik ………… 6 Tabel 2.1 Delapan Tahap Perkembangan Psikososial menurut

Erikson ………...……….. 27

Tabel 2.2 Klasifikasi Status Identitas Diri menurut Marcia …....………. 29 Tabel 3.1 Kisi-kisi Instrumen Inventori Tugas Perkembangan siswa

SMA (ITP-SMA 2003) ……….….…...……...…… 54

Tabel 3.2 Hasil Perhitungan Reliabilitas Instrumen Inventori Tugas

Perkembangan (ITP 2003) ...………. 56 Tabel 4.1

Tabel 4.2

Jadwal Pelaksanaan Konseling ……… Perbedaan Skor Kesadaran Identitas Gender Siswa pada Aspek Peran Sosial sebagai Pria atau Wanita Sebelum dan Sesudah

Intervensi ………...……….……….

70


(14)

Saeful Ramadon, 2015

EFEKTIVITAS KONSELING KOGNITIF-PERILAKU DALAM MENINGKATKAN KESADARAN IDENTITAS GENDER

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu vii

DAFTAR GRAFIK

Gambar 4.1 Baseline Konseli RE sebelum Mendapatkan Intervensi ………… 67 Gambar 4.2 Baseline Konseli POT sebelum Mendapatkan Intervensi ……….. 68 Gambar 4.3 Baseline Konseli AS sebelum Mendapatkan Intervensi ………… 69 Gambar 4.4 Grafik Kondisi Kesadaran Identitas Gender RE Sebelum dan

Setelah Intervensi ………... 81

Gambar 4.5 Grafik Kondisi Kesadaran Identitas Gender POT Sebelum dan

Setelah Intervensi……… 83

Gambar 4.6 Grafik Kondisi Kesadaran Identitas Gender AS Sebelum dan


(15)

1

Saeful Ramadon, 2015

EFEKTIVITAS KONSELING KOGNITIF-PERILAKU DALAM MENINGKATKAN KESADARAN IDENTITAS GENDER

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Penelitian

Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna, hal ini

tertera jelas dalam kitab suci Al Qur’an, Allah swt. berfirman :

"Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia, dalam bentuk yang sebaik-baiknya." –(terjemah Qur’ an Surah At-Tiin [95] : 4)

Kesempurnaan tersebut dikarenakan setiap manusia dibekali akal dan pikiran dalam menyelesaikan setiap tugas perkembangan yang dihadapinya pada setiap fase rentang kehidupan. Havighurst (dalam Yusuf, 2001, hlm. 65) menyatakan bahwa tugas-tugas perkembangan yang khusus tersebut berkaitan erat dengan perubahan kematangan dan pertumbuhan, pengenalan identitas gender, orientasi seksual, masa sekolah, pilihan pekerjaan dan pengamalan nilai agama sebagai prasyarat untuk pemenuhan dan kebahagiaan hidupnya.

Pada aspek kesadaran identitas gender, secara ideal Havighurst memaparkan pencapaian penyelesaian tugas perkembangan ini antara lain; mengetahui perbedaan jenis kelamin, mempelajari peran sosial terkait konsep maskulinitas (bagaimana anak laki-laki bersikap sebagai pria) dan konsep feminitas (bagaimana anak perempuan bersikap sebagai wanita), mencapai peran sosial maskulinitas atau feminitas, keberhasilan memilih pasangan, belajar hidup bersama orang lain sebagai pasangan, membina keluarga, membesarkan anak, dan mengatur rumah tangga.

Dengan kata lain, kebingungan individu terkait dengan identitas jenis kelamin yang dimilikinya serta ketidaktahuan akan konsep maskulinitas dan feminitas merupakan ketidakberhasilan pencapaian tugas perkembangan pada aspek kesadaran identitas gender. Kondisi individu yang memiliki kebingungan atas identitas jenis kelamin yang dimilikinya lazim disebut sebagai gangguan identitas gender, fenomena ini lebih dikenal dengan istilah transgender.


(16)

2

Saeful Ramadon, 2015

EFEKTIVITAS KONSELING KOGNITIF-PERILAKU DALAM MENINGKATKAN KESADARAN IDENTITAS GENDER

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Sejatinya, proses seorang anak mulai belajar mengidentifikasikan dirinya, apakah ia laki-laki atau perempuan berawal ketika individu berusia tiga tahun (Santrock, 2003, hlm. 369). Pada usia tiga tahun tersebut orang tua mulai memperkenalkan kepada anaknya bahwa ia adalah anak laki-laki atau anak perempuan, lengkap beserta peran ataupun kebiasaan-kebiasaan berdasarkan jenis kelaminnya. Seorang anak mulai mengenal jenis kelaminnya secara permanen pada usia 6 - 7 tahun dengan memahami adanya perbedaan alat genital antara laki-laki dan perempuan (Baron, 2000, hlm. 192). Orangtuapun terus memberikan pembelajaran peran sesuai dengan jenis kelamin anak melalui jenis permainan yang diberikan, jenis baju yang digunakan, teman sepermainannya, pernak-pernik yang dimiliki serta nilai-nilai yang diajarkan harus sesuai dengan jenis kelamin anak sejalan dengan semakin bertambahnya usia sang anak (Santrock, 2003, hlm. 371).

Selain melalui orang tua, anak juga mendapatkan gambaran peran gender dari keluarga dan kerabat dekat (Hurlock, 2002, hlm. 206). Seorang anak laki-laki akan mengembangkan identitas maskulinnya melihat dari figur ayah atau pamannya, sedangkan anak perempuan akan mengembangkan identitas femininnya melihat dari figur ibu atau bibinya (Bornstein & Masling, 2002). Permasalahan timbul ketika orangtua tidak menampilkan peran yang tepat sesuai dengan jenis kelaminnya. Hasil penelitian Francis (2006) tentang peranan orangtua terhadap proses pembentukan identitas gender pada seorang transgender didapat data, bahwa anak laki-laki yang mengalami gangguan tersebut melihat ayahnya sebagai figur pria dewasa yang kurang positif.

Selain orang tua dan keluarga terdekat, keberadaan sahabat, teman sebaya dan guru di sekolah merupakan faktor yang juga dapat mempengaruhi perkembangan identitas gender (Soetjiningsih, 2010, hlm. 10). Anak laki-laki sering pula mengalami konflik dalam mempelajari gambaran peran gender di masa remajanya (Santrock, 2003, hlm. 374; Watts, et.al, 2005). Konflik tersebut dikarenakan ibu dan guru menginginkan remaja laki-laki berperilaku maskulin disatu sisi, tetapi juga harus rapi, memiliki sopan santun dan baik budi di sisi yang lain. Sebaliknya ayah dan teman sebaya menggambarkan perilaku maskulin


(17)

3

Saeful Ramadon, 2015

EFEKTIVITAS KONSELING KOGNITIF-PERILAKU DALAM MENINGKATKAN KESADARAN IDENTITAS GENDER

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

seorang laki-laki dengan kemandirian, permainan kasar dan mengutamakan kekuatan fisik. Gabungan gambaran peran gender tersebut mempersulit anak laki-laki untuk mengetahui peran gender seperti apa yang harus ia lakukan. Kondisi ini turut mendorong terjadinya penyimpangan identitas gender pada anak laki-laki.

Penyimpangan peran gender pada anak laki-laki juga dipengaruhi oleh media massa (Condry, 1989; Huston & Alvarez, 1990; dalam Santrock, 2003, hlm. 316). Menurut Huston & Alvarez (1990, dalam Santrock, 2003, hlm. 316) masa remaja awal merupakan suatu masa yang sangat sensitif terhadap pesan-pesan yang disampaikan oleh televisi (TV) salah satunya tentang peran gender. TV yang saat ini merupakan bagian integral dari masyarakat, tanpa disadari mempengaruhi penampilan dan perilaku masyarakat (Bellak, dalam Gauntlet, 2008, hlm. 272). Tampilan artis televisi, selebritis atau siapapun yang dikagumi dan menjadi tokoh idola, menyebabkan terjadinya proses imitasi atau belajar observasional dengan memperhatikan apa yang orang katakan atau lakukan (Soetjiningsih, 2010, hlm. 10).

Di satu sisi, bila mengacu kepada teori belajar sosial Bandura, televisi dapat menjadi media belajar bagi individu dalam pembentukan identitasnya. Hal ini sejalan dengan pandangan Master & Johnston, Feldmen (1990, hlm. 360) bahwa penyebab lain gangguan identitas gender adalah faktor belajar. Pembentukan identitas gender juga dapat ditinjau melalui pendekatan teori kognitif. Menurut Liben (2008) dalam teori developmental-constructivist, individu aktif mencari, mengatur dan menggunakan informasi yang dimiliki dalam kehidupan sosial mereka. Dengan kata lain, dapat disimpulkan menurut teori kognitif bahwa perkembangan kesadaran gender individu dibentuk oleh kemampuan kognitif anak, ketertarikan dan karakteristik personal lainnya.

Sedangkan di sisi yang lain, informasi yang disampaikan televisi tidak sepenuhnya benar. Salah satu contoh dampak tayangan televisi terhadap perkembangan gender adalah tayangan sinetron, komedi ataupun reality show yang menampilkan tokoh yang berperilaku kebanci-bancian yang disajikan secara menarik dan lucu, sehingga penonton remaja tertarik untuk meniru tokoh tersebut. Akibat lebih lanjut dari sikap meniru perilaku kebanci-bancian atau transgender,


(18)

4

Saeful Ramadon, 2015

EFEKTIVITAS KONSELING KOGNITIF-PERILAKU DALAM MENINGKATKAN KESADARAN IDENTITAS GENDER

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

menyebabkan perilaku menyimpang tersebut menjadi melekat dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini ditengarai turut mendorong peningkatan jumlah anak laki–laki yang mengalami gangguan identitas gender.

Beberapa penelitian menegaskan adanya kaitan antara media massa dalam hal ini televisi dengan perkembangan kesadaran identitas gender. Hasil penelitian Martiana (2007) melihat adanya hubungan antara durasi menonton TV dengan sikap seksual remaja, dimana dalam penelitian ini keberadaan tayangan acara yang vulgar atau cenderung menjurus pornoaksi memiliki korelasi dengan peningkatan libido atau hasrat seksual pada remaja. Sementara itu, hasil penelitian Marchelia Diaz (2011) dengan judul Persepsi Mahasiswa tentang Presenter Transgender dalam Program Musik di Televisi (Studi tentang Olga Syahputra pada Program Musik "Dahsyat" di RCTI) memberi gambaran bahwa penampilan seorang selebritis akan mempengaruhi persepsi pemirsa. Dengan kata lain, penonton acara tersebut akan melihat kondisi perilaku transgender adalah realitas sosial yang harus diterima.

Terkait fenomena perkembangan individu dengan gangguan identitas gender, Zucker et all (2008) dalam penelitiannya yang terbatas, berdasarkan data individu yang ditangani oleh klinik terapi anak, selama kurang lebih 30 tahun, pasien dengan gangguan identitas gender mengalami peningkatan signifikan. Hanya saja, secara statistik angka pasti penderita gangguan identitas gender memang sangat sulit didapatkan. Van Kesteren et all (1996) memaparkan, data statistik di Belanda, negara yang membolehkan pernikahan sesama jenis, memperkirakan 2 sampai 5 % dari penduduk Belanda mengalami gangguan identitas gender, dimana telah dilaporkan sekitar 1 dari 12.000 anak yang terlahir sebagai laki-laki menjalani operasi pergantian kelamin.

Kondisi yang sama dapat ditemui di Amerika, bahwa tercatat antara 0.25 – 1 % dari penduduk Amerika tercatat sebagai transeksual. Sementara Olyslager & Conway (2007) menegaskan, bila mengacu kepada teori gunung es jumlah ini diperkirakan lebih kecil dari jumlah seluruhnya karena data ini didapatkan dari transeksual yang tercatat atau melaporkan diri telah melakukan penggantian alat kelamin. Kampanye sebagian kecil masyarakat yang mengatas namakan Hak


(19)

5

Saeful Ramadon, 2015

EFEKTIVITAS KONSELING KOGNITIF-PERILAKU DALAM MENINGKATKAN KESADARAN IDENTITAS GENDER

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Asasi Manusia dan kebebasan berekspresi, serta gaya hidup permisif dan budaya

liberal yang yang dianut masyarakat Barat, diyakini menjadi pemicu

meningkatnya perkembangan individu dengan gangguan identitas gender.

Joźkow (2010) secara sederhana menggambarkan individu dengan gangguan identitas gender memiliki karakteristik berupa perasaan tidak nyaman atau rasa ketidaksesuaian yang menetap terhadap anatomi seksual yang dimilikinya. Sementara menurut Shechner (2010, hlm. 132) gangguan tersebut lebih sering terjadi pada laki-laki dan biasanya dikarakteristikkan dengan (a) keinginan untuk menjadi jenis kelamin yang berlawanan dengan kodrat yang dimilikinya. (b) cross dressing, mengenakan pakaian yang berkebalikan dengan jenis kelaminnya. (c) memilih kegiatan yang biasanya dilakukan oleh kaum lawan jenisnya (secara normal), dan (d) tidak menyukai karakteristik seksual baik secara fisik maupun fungsi dari tubuhnya.

Joźkow (2010) menambahkan, penderita gangguan identitas gender ini mengalami ketertarikan seksual kepada sesama jenis sejak kecil. Di usia remaja, perasaan diri sebagai seorang homoseksual inilah yang menyebabkan kecemasan dan gangguan kesehatan mental lain. Jika gangguan ini menetap hingga dewasa, baik pada pria maupun wanita, satu hingga dua pertiga kasus tumbuh menjadi seorang homoseksual. Menurut hasil penelitian Rita Soebagio, seorang peneliti INSIST (Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization, Lembaga Kajian Pemikiran dan Peradaban Islam), memaparkan sejarah perkembangan penyakit HIV/AIDS, penyakit dengan ciri spesifik penurunan kekebalan tubuh (imunitas) ini, pada awalnya dinamakan sebagai GRID (Gay Related Immune

Deficiency). Hal tersebut dikarenakan fakta yang mengejutkan, bahwa seluruh

pasien yang menderita penyakit ini menjalankan perilaku homoseksual (RepublikaOnline diakses pada 06-02-2015).

Dalam data Centers for Disease Control and Prevention, CDC (2012), insiden HIV pada homoseksual meningkat sebanyak 12% sejak 2008-2010. Di Amerika, dari 1.1 juta penduduk yang terinfeksi HIV, 52% nya adalah kaum homoseksual. Dimana HIV pada homoseksual bertanggung jawab menyumbangkan 2/3 dari total kasus baru HIV. Hal ini menunjukkan betapa


(20)

6

Saeful Ramadon, 2015

EFEKTIVITAS KONSELING KOGNITIF-PERILAKU DALAM MENINGKATKAN KESADARAN IDENTITAS GENDER

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

tingginya resiko terinfeksi HIV pada kaum homoseksual. Hasil penelitian Purcel et al., pada tahun 2010 dalam Abdul Ghofir (2013) menunjukkan bahwa pada 100.000 pasangan homoseksual, 692 pasang diantaranya dipastikan menderita HIV. Ini menunjukkan bahwa hubungan antar laki laki 60 kali lebih rentan di infeksi virus (insistnet.com diakses pada 06-02-2015). Kemenkes RI merilis data tahun 2006, terdapat sekitar 35.300 orang waria di Indonesia, 3500 orang diantaranya berada di Jabodetabek. 28.8% dari waria Jabodetabek masih berusia remaja. Dan sebanyak 58.8% dari waria remaja di atas, hanya mengenyam pendidikan dasar (Surveilans Terpadu Biologis Perilaku, STBP pada kelompok beresiko tinggi di Indonesia, 2007).

Aspek kesadaran identitas dan peran gender, dalam Rambu-rambu

Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal,

pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional (sekarang Kementerian Kebudayaan dan Pendidikan Dasar Menengah) merupakan salah satu Standar Kompetensi Kemandirian (SKK) Peserta Didik pada setiap jenjang pendidikan mulai dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi. Sedangkan Standar Kompetensi Kemandirian Sekolah Lanjutan Tingkat Atas pada aspek kesadaran gender dapat digambarkan pada tabel berikut :

Tabel 1.1.

Standar Kompetensi Kemandirian (SKK) Peserta Didik

SKK Jenjang Tataran/Internalisasi Tujuan

Pengenalan Akomodasi Tindakan

Kesadaran gender Sekolah Lanjutan Atas Mempelajari perilaku

kolaborasi antar jenis dalam ragam

kehidupan

Menghargai keragaman peranan laki-laki atau perempuan sebagai aset kolaborasi dan keharmonisan hidup

Berkolaborasi secara harmonis dengan lain jenis dalam keragaman peran

Sumber :

Depdiknas. 2007. Rambu-Rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan


(21)

7

Saeful Ramadon, 2015

EFEKTIVITAS KONSELING KOGNITIF-PERILAKU DALAM MENINGKATKAN KESADARAN IDENTITAS GENDER

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Menurut Havighurst (dalam Yusuf, 2001, hlm. 66) tugas perkembangan yang berhasil dituntaskan akan membawa kebahagiaan dan kesuksesan dalam menuntaskan tugas perkembangan periode selanjutnya. Sementara apabila gagal, akan menyebabkan ketidak bahagiaan pada diri individu, menimbulkan penolakan di masyarakat, dan kesulitan-kesulitan dalam menuntaskan tugas berikutnya. Kesadaran identitas gender rendah atau gejala gangguan identitas gender merupakan salah satu bentuk fenomena atau permasalahan baru yang muncul di sekolah, termasuk di SMA Negeri 13 Kota Bekasi.

Bimbingan dan Konseling memiliki peranan yang penting dalam membantu meningkatkan kesadaran identitas gender siswa. Hal ini sejalan dengan upaya menangkal dan mencegah perilaku-perilaku maladaptif yang merupakan garapan bimbingan dan konseling untuk mengembangkan potensi konseli dan memfasilitasi secara sistemik dan terprogram dalam mencapai standar kompetensi kemandirian (Depdiknas, 2007, hlm. 193). Bimbingan dan Konseling dapat membantu memfasilitasi siswa agar mampu mengembangkan kesadaran identitas gender melalui layanan bimbingan dan konseling pribadi-sosial. Bantuan yang diperlukan bersifat responsif dalam rangka mengentaskan masalah gangguan identitas gender siswa. Pelayanan responsif merupakan pemberian bantuan kepada konseli yang menghadapi kebutuhan dan masalah yang memerlukan pertolongan segera, sebab jika tidak, dapat menimbulkan gangguan dalam proses pencapaian tugas-tugas perkembangan yang lain (Depdiknas, 2007, hlm. 209). Oleh karena itu, guru Bimbingan dan Konseling memiliki peranan penting dengan menggunakan strategi yang dimilikinya agar siswa memiliki kesadaran gender yang matang. Adapun strategi layanan yang diberikan kepada siswa dalam meningkatkan kesadaran gendernya adalah dengan diberikan layanan responsif melalui konseling.

Menurut Mruk (2006, hlm. 23) beberapa usaha dapat dilakukan untuk mengatasi masalah yang terkait dengan masalah identity pada remaja diantaranya adalah dukungan sosial (dalam hal ini lingkungan memberi dukungan sosial kepada remaja), modifikasi atau konseling kognitif-perilaku, konseling kelompok, strategi kebugaran fisik serta strategi spesifik yang digunakan pada populasi


(22)

8

Saeful Ramadon, 2015

EFEKTIVITAS KONSELING KOGNITIF-PERILAKU DALAM MENINGKATKAN KESADARAN IDENTITAS GENDER

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

tertentu seperti play therapy. Willets & Crewell (dalam Indraswari, 2011, hlm. 7) mengungkapkan bahwa konseling kognitif-perilaku paling efektif digunakan pada remaja sebab memberikan banyak kebebasan bagi remaja untuk mengontrol pikiran dan perilakunya sendiri.

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang penerapan konseling kognitif-perilaku untuk meningkatkan kesadaran identitas gender siswa SMA Negeri 13 Kota Bekasi Tahun Ajaran 2014/2015.

1.2Identifikasi dan Perumusan Masalah

Secara teoritis, konseling kognitif-perilaku dapat membantu secara psikologis untuk memahami citra diri seseorang dan mengarahkannya dalam mengubah keyakinan yang salah tentang dirinya, dalam hal ini keyakinan akan kesadaran identitas gender. Menurut Malik Badri, pakar psikologi klinis dan pengajar di International Islamic University Malaysia yang juga pendiri International Association of Muslim Psychologists mengatakan, gangguan identitas gender bisa disembuhkan melalui terapi kognitif, misalnya menumbuhkan kesadaran dan motivasi. Terapi behavior bisa dilakukan juga, misalnya dengan cara menjauhkan dari komunitasnya (RepublikaOnline diakses pada 06-02-2015 ).

Tajiri (2012) memaparkan dalam disertasinya, bahwa konseling kognitif-perilaku terbukti efektif dapat meningkatkan kemampuan kontrol diri kognitif-perilaku seksual remaja (siswa) MAN Ciparay dan MAS Al-Mukhlisin di Kabupaten Bandung salah satunya pada indikator kemampuan memutuskan pilihan perilaku atas stimulus seksual ke sesama jenis.

Terapi kognitif memandang problem psikologis sebagai pembendungan dari proses penempatan seperti pikiran yang salah, membuat kesimpulan tidak benar pada basis informasi tidak tepat dan keliru, gagal membedakan antara fantasi dan realita (Corey, 2005, hlm. 283). Terapi kognitif bertujuan untuk mengidentifikasi pikiran-pikiran yang keliru ini dan menggantikannya dengan yang lebih adaptif, sebuah proses yang dikenal sebagai restrukturisasi kognitif. Konselor dapat mengambil peran sebagai pembimbing aktif yang berusaha untuk


(23)

9

Saeful Ramadon, 2015

EFEKTIVITAS KONSELING KOGNITIF-PERILAKU DALAM MENINGKATKAN KESADARAN IDENTITAS GENDER

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

menyadarkan konseli dari pola pikir yang terganggunya (disorder) serta menolong konseli mengoreksi dan memperbaiki persepsi serta sikapnya dengan menunjukkan bukti yang berlawanan/ sebaliknya atau dengan mendatangkannya pada konseli. Konseling dalam pendekatan kognitif perilaku memfokuskan perhatian dan bidang garapannya terhadap proses kognitif yang terjadi pada konseli (John Mc Leod, 2008, hlm. 151; Surya, 2003, hlm. 76).

Konseling kognitif-perilaku merupakan salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan yang terkait dengan pembentukan identitas pada remaja (Mruk, 2006, hlm. 23). Mruk juga menjelaskan delapan intervensi yang mengarah pada harga diri yang efektif, yaitu: (1) Acceptance and

caring (penerimaan positif tak bersyarat); (2) Consistent, positive (affirming) feedback (memberikan umpan balik secara positif dan konsisten); (3) Cognitive restructuring (restrukturisasi kognitif), yaitu teknik yang menghasilkan kebiasaan

baru pada konseli dalam berpikir, merasa, dan bertindak dengan cara mengidentifikasi kebiasaan bermasalah, memberi label pada kebiasaan tersebut, dan menggantikan tanggapan/persepsi diri yang negatif/irasional menjadi lebih rasional atau realistis; (4) Natural self-esteem moments, yaitu meningkatkan kesadaran konseli tentang peran harga diri pada pengalaman hidup dan membuat perubahan pada saat itu; (5) Assertiveness training, yaitu pelatihan yang mengajarkan keterampilan ketegasan yang didasarkan pada keyakinan bahwa manusia memiliki hak yang sama dan sederajat dengan orang lain; (6) Modelling; (7) Problem-solving skills (keterampilan pemecahan masalah); dan (8)

Opportunities for practice (praktek/latihan).

Mengacu pada teori kognitif, remaja yang memiliki kesadaran identitas gender yang rendah ditengarai menerima, mengolah dan memaknai informasi bahkan membangun keyakinan (belief) yang salah dalam proses pembentukan identitas gendernya. Hal ini sejalan dengan tujuan restrukturisasi kognitif, yaitu mengajak konseli untuk menentang pikiran dan emosi yang salah dengan menampilkan bukti-bukti yang bertentangan dengan keyakinan mereka tentang masalah yang dihadapi.


(24)

10

Saeful Ramadon, 2015

EFEKTIVITAS KONSELING KOGNITIF-PERILAKU DALAM MENINGKATKAN KESADARAN IDENTITAS GENDER

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Teknik restrukturisasi kognitif mengidentifikasi gangguan emosional

(emotional disorder) dengan mencari emosi negatif, pikiran otomatis dan

keyakinan utama. Konselor diharapkan mampu:

1. Memberikan bukti bagaimana sistem keyakinan dan pikiran otomatis sangat erat hubungannya dengan emosi dan tingkah laku, dengan cara menolak pikiran negatif secara halus dan menawarkan pikiran positif sebagai alternatif untuk dibuktikan bersama. Dengan kata lain, membantu konseli untuk mencari keyakinan yang sifatnya dogmatis dalam diri konseli dan secara kuat mencoba untuk menguranginya.

2. Memperoleh komitmen konseli untuk melakukan modifikasi secara menyeluruh, mulai dari pikiran, perasaan sampai tindakan, dari negatif menjadi positif.

Berdasarkan identifikasi masalah mengenai kesadaran identitas gender siswa dan metode konseling kognitif-perilaku sebagai usaha untuk mengatasinya, secara umum rumusan masalah yang akan diteliti pada penelitian ini adalah

“apakah metode konseling kognitif-perilaku dapat meningkatkan kesadaran

identitas gender siswa?”

Rumusan masalah dirinci menjadi pertanyaan penelitian sebagai berikut. 1. Bagaimana rancangan intervensi konseling kognitif-perilaku efektif dalam

meningkatkan kesadaran identitas gender siswa?

2. Seberapa besar peningkatan skor melalui penerapan konseling kognitif-perilaku dalam meningkatkan kesadaran identitas gender siswa?

1.3Tujuan Penelitian

Tujuan umum yang ingin dicapai dari penelitian adalah memperoleh gambaran secara empiris metode konseling kognitif-perilaku dalam meningkatkan kesadaran identitas gender siswa. Adapun tujuan khusus yang ingin dicapai dari penelitian sebagai berikut.

1) Memperoleh rancangan intervensi konseling kognitif-perilaku dalam meningkatkan kesadaran identitas gender siswa.

2) Mengetahui besaran peningkatan skor melalui penerapan konseling kognitif-perilaku dalam meningkatkan kesadaran identitas gender siswa.


(25)

11

Saeful Ramadon, 2015

EFEKTIVITAS KONSELING KOGNITIF-PERILAKU DALAM MENINGKATKAN KESADARAN IDENTITAS GENDER

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

1.4Manfaat Penelitian

1) Bagi Program studi Bimbingan Konseling

Bagi program studi Bimbingan Konseling, hasil penelitian ini dapat menambah khazanah keilmuan Bimbingan Konseling berupa hasil penelitian tentang metode konseling kognitif-perilaku, menambah wawasan dan informasi terkait tugas perkembangan individu terutama pada aspek kesadaran identitas dan peran gender siswa.

2) Bagi Guru Bimbingan dan Konseling/ Konselor

Bagi guru Bimbingan dan Konseling, hasil penelitian ini dapat menjadi panduan layanan bimbingan dan konseling untuk meningkatkan kesadaran identitas gender siswa melalui layanan bimbingan dan konseling.

1.5Struktur Organisasi Tesis

Berdasarkan buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Universitas

Pendidikan Indonesia (2014) maka sistematika penulisan laporan penelitian (tesis)

yang akan disusun adalah sebagai berikut :

Bagian awal, berisi tentang halaman judul, lembar persetujuan, pernyataan keaslian tulisan, motto dan persembahan, abstrak, kata pengantar, ucapan terima kasih, daftar isi, daftar tabel, daftar bagan dan daftar lampiran.

Bab I Pendahuluan, pada bab ini dikemukakan tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan struktur organisasi tesis.

Bab II Landasan Teori, membahas teori yang melandasi permasalahan tesis yang merupakan kerangka teoritis yang diterapkan dalam tesis, serta posisi teoritik peneliti. Pada bab ini berisi tentang karakteristik peserta didik Sekolah Menengah Atas, tugas-tugas perkembangan remaja, perkembangan identitas diri, perkembangan identitas gender, gangguan identitas gender, keterkaitan kesadaran identitas gender dan strategi konseling kognitif-perilaku, konsep dan langkah langkah konseling kognitif-perilaku, serta asumsi penelitian.

Bab III Metode Penelitian, bab ini berisi penjabaran rinci mengenai metode penelitian yang digunakan, termasuk definisi operasional variabel, serta


(26)

12

Saeful Ramadon, 2015

EFEKTIVITAS KONSELING KOGNITIF-PERILAKU DALAM MENINGKATKAN KESADARAN IDENTITAS GENDER

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

komponen seperti lokasi penelitian, subjek penelitian, desain dan prosedur penelitian, serta teknik analisa data.

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan, bab ini mengemukakan tentang hasil penelitian dan pembahasan penelitian, yang akan menjadi jawaban pemasalahan yang diangkat pada penelitian ini.

Bab V Penutup, bab ini berisi tentang simpulan dari hasil penelitian serta rekomendasi yang diberikan oleh peneliti terhadap hasil penelitian.

Bagian akhir, berisi daftar pustaka serta lampiran-lampiran yang mendukung dan daftar riwayat hidup.


(27)

46

Saeful Ramadon, 2015

EFEKTIVITAS KONSELING KOGNITIF-PERILAKU DALAM MENINGKATKAN KESADARAN IDENTITAS GENDER

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1Pendekatan dan Desain Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran identitas gender yang merupakan salah satu aspek tugas perkembangan siswa sekolah menengah atas dengan menggunakan metode konseling kognitif-perilaku. Layanan responsif konseling kognitif-perilaku ini didasarkan atas hasil Analisis Tugas Perkembangan individu siswa Sekolah Menengah Atas, terutama pada aspek peran sosial sebagai pria atau wanita yang merupakan pengejawantahan dari gambaran kesadaran gender.

Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif yang digunakan untuk mendapatkan data numerikal berupa skala tingkat kesadaran identitas gender yang dimiliki oleh siswa SMA Negeri 13 Kota Bekasi tahun ajaran 2014/2015. Creswell (2012) menjelaskan pendekatan kuantitatif dipilih sebagai pendekatan penelitian ketika tujuan penelitian yaitu menguji teori, mengungkapkan fakta-fakta, menunjukkan hubungan antar variabel dan memberikan deskripsi.

Penelitian dengan pendekatan kuantitatif menekankan pada data berupa angka-angka (numerical) yang pengolahan datanya dilakukan dengan metode statistik. Penelitian kuantitatif dilakukan untuk menemukan signifikansi perbedaan kondisi atau hubungan antar variabel yang diteliti. Dalam konteks penelitian ini pendekatan ditujukan untuk mengetahui perbedaan perubahan antara sebelum dilakukan tindakan (treatment) dan setelah dilakukan tindakan.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen subjek tunggal (single subject experiment). Metode tersebut hanya melibatkan satu peserta saja, tetapi dapat juga mencakup beberapa subjek penelitian, berkisar 3 sampai 8 subjek. Setiap subjek berfungsi sebagai kontrol bagi dirinya sendiri. Hal ini dapat dilihat dari kinerja subjek sebelum, selama, dan setelah diberi perlakuan (Horner, 2005, hlm.166). Metode ekperimen subjek tunggal dilakukan untuk


(28)

47

Saeful Ramadon, 2015

EFEKTIVITAS KONSELING KOGNITIF-PERILAKU DALAM MENINGKATKAN KESADARAN IDENTITAS GENDER

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

memperoleh gambaran mengenai efektivitas intervensi yang dilaksanakan secara sengaja dan sistematis melalui konseling kognitif-perilaku dalam meningkatkan kesadaran identitas gender siswa mengacu pada aspek peran sosial sebagai pria atau wanita. Desain subjek tunggal yang digunakan adalah desain A-B dengan skema sebagai berikut :

Gambar 3. 1

Desain Penelitian Subjek Tunggal

Keterangan:

A : Baseline (kondisi sebelum intervensi) B : Intervensi (kondisi saat intervensi diberikan)

Penggunaan desain AB memungkinkan peneliti untuk mengetahui dinamika perkembangan kesadaran identitas gender siswa pada saat sebelum diberikan intervensi konseling kognitif-perilaku dan setelah diberikan intervensi konseling kognitif-perilaku.

3.2Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi pada penelitian adalah seluruh siswa kelas XI SMA Negeri 13 Kota Bekasi. Subjek penelitian dipilih menggunakan purposive sampling, yaitu subjek yang secara sengaja dipilih karena memiliki karakteristik tertentu. Dalam proses penentuan subjek penelitian, peneliti melakukan tahapan awal berupa telaah data, pada tahap ini peneliti melihat grafik profil individual setiap siswa laki-laki kelas XI mengacu kepada Analisis Tugas Perkembangan, peneliti memilah data profil individu yang memiliki grafik rendah pada aspek peran sosial sebagai pria. Tahap selanjutnya peneliti melakukan observasi, pada tahap

A B

O O O X X X


(29)

48

Saeful Ramadon, 2015

EFEKTIVITAS KONSELING KOGNITIF-PERILAKU DALAM MENINGKATKAN KESADARAN IDENTITAS GENDER

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

observasi ini peneliti mencocokan data ATP siswa yang rendah pada aspek kesadaran gender dengan tampilan perilaku dan sikap yang terlihat. Apakah siswa tersebut memiliki karakteristik feminin atau wajar wajar saja. Tahap berikutnya peneliti mencocokkan dengan informasi yang beredar terkait dengan tampilan feminin subjek. Wawancara singkat dengan walikelas, guru bidang studi juga sejawat guru BK lain, menjadi tolak ukur dipilih atau tidaknya siswa sebagai subjek penelitian. Dari rangkaian proses pemilihan subjek penelitian tersebut terpilih tiga orang siswa laki-laki yaitu RE kelas XI IPS 3, POT kelas XI IPS 2 dan AS kelas XI IPS 1, ketiga siswa tersebut bersedia untuk mengikuti proses konseling kognitif-perilaku sampai selesai.

3.3Definisi Operasional Variabel

Definisi operasional variabel dalam penelitian ini dibagi menjadi dua definisi, yaitu : (1) konseling kognitif-perilaku, sebagai teknik yang digunakan dalam penelitian ini, dan (2) aspek peran sosial sebagai prian atau wanita dalam Inventori Tugas Perkembangan siswa SMA sebagai acuan tingkat kesadaran identitas gender siswa, yang dijadikan dasar pengambilan sampel, pelaksanaan pre

test dan post test. Definisi operasional tersebut, dipaparkan di bawah ini :

3.3.1 Konseling Kognitif-Perilaku

Konseling kognitif-perilaku yang diterapkan pada penelitian merujuk pada teori Beck (1964) yaitu pendekatan konseling yang menitik beratkan pada restrukturisasi atau pembenahan kognitif yang keliru akibat kejadian yang merugikan dirinya baik secara fisik maupun psikis. Terapi ini akan diarahkan kepada modifikasi fungsi berpikir, merasa dan bertindak, dengan menekankan otak sebagai penganalisa, pengambil keputusan, bertanya, bertindak, dan memutuskan kembali. Sedangkan pendekatan pada aspek behavioral diarahkan untuk membangun hubungan yang baik antara situasi permasalahan dengan kebiasaan mereaksi permasalahan. Kemudian individu belajar mengubah perilaku, menenangkan pikiran dan tubuh sehingga merasa lebih baik, berpikir lebih jelas dan membantu membuat keputusan yang tepat. Hingga pada akhirnya dengan


(30)

49

Saeful Ramadon, 2015

EFEKTIVITAS KONSELING KOGNITIF-PERILAKU DALAM MENINGKATKAN KESADARAN IDENTITAS GENDER

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

konseling kognitif-perilaku diharapkan dapat membantu siswa dalam menyelaraskan berpikir, merasa dan bertindak.

Secara operasional yang dimaksud konseling kognitif-perilaku dalam penelitian adalah upaya memfasilitasi siswa memperbaiki kekeliruan berfikir, serta merancang pola perilaku yang tepat dalam mengembangkan peran sosial sebagai siswa laki-laki, sehingga dapat meningkatkan kesadaran identitas gender, yang langkah-langkahnya sebagai berikut :

a. Pertama, memfasilitasi siswa untuk belajar mengenali dan mengubah kesalahan dalam aspek kognitif.

Siswa yang memiliki peran sosial sebagai laki-laki yang rendah, memiliki pandangan negatif terhadap sesama jenis kelaminnya, sehingga terjadi proses generalisasi yang keliru, atau pandangan yang keliru tentang hubungan percintaan dikalangan remaja, serta informasi dari media massa terkait peran sosial sebagai pria atau wanita yang ambigu atau tidak jelas, semua hal tersebut menanamkan keyakinan yang salah terkait dengan perkembangan identitas gender pada subjek penelitian.

Harapan pada tahap ini adalah siswa mampu mengenal kekeliruan berfikir dan mengubah cara pandang melalui cara berfikir yang tepat, serta memberikan ide untuk mengubah cara pandang serta sistem kepercayaan siswa yang keliru terhadap perkembangan identitas gender.

b. Kedua, mengubah hubungan yang salah antara situasi permasalahan dengan kebiasaan mereaksi permasalahan.

Kekeliruan dalam berfikir pada siswa yang memiliki aspek peran sosial sebagai siswa laki-laki yang rendah menyebabkan perasaan menolak untuk bersikap dan berperilaku sebagaimana layaknya siswa laki-laki kebanyakan. Tahap ini membantu siswa mengidentifikasi perilaku yang tepat untuk belajar mengembangkan peran sosial sebagai siswa laki-laki. Sehingga dengan cara berfikir baru akan terbentuk keyakinan baru siswa terkait peran sosial sebagai


(31)

50

Saeful Ramadon, 2015

EFEKTIVITAS KONSELING KOGNITIF-PERILAKU DALAM MENINGKATKAN KESADARAN IDENTITAS GENDER

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

siswa laki-laki serta melahirkan sikap dan perilaku yang lebih baik dan memiliki kesadaran identitas gender yang berkembang sebagaimana mestinya. c. Ketiga, individu belajar mengubah perilaku, menenangkan pikiran dan tubuh

sehingga merasa lebih baik, serta berpikir lebih jelas.

Pendekatan yang dilakukan adalah behavior (berfokus kepada tingkah laku), sebagai rangkaian dari konseling kognitif-perilaku, dengan harapan siswa dapat mereduksi perilaku yang keliru melalui aktivitas baru yang direncanakan sebelumnya. Keberhasilan dalam melakukan rencana perubahan perilaku dapat memunculkan kepercayaan baru yang lebih positif terkait dengan kesadaran identitas gender.

3.3.2 Tugas Perkembangan Siswa Sekolah Menengah Atas

Standar kompetensi kemandirian peserta didik atau siswa sesuai dengan tugas-tugas perkembangannya mencakup aspek perkembangan landasan hidup religius, landasan perilaku etis, kematangan emosi, kematangan intelektual, kesadaran tanggung jawab sosial, kesadaran gender, pengembangan pribadi, perilaku kewirausahaan, wawasan dan kesiapan karir, kematangan hubungan dengan teman sebaya, serta kesiapan diri untuk menikah dan berkeluarga.

Secara konseptual, tugas perkembangan siswa sekolah menengah atas diartikan sebagai suatu tugas yang berkaitan dengan sikap, perilaku, atau keterampilan yang seyogianya dimiliki oleh siswa sekolah menengah atas yang muncul pada periode tertentu dalam rentang kehidupannya, dimana apabila tugas-tugas itu dapat berhasil dituntaskan akan membawa kebahagiaan dan kesuksesan dalam menuntaskan tugas perkembangan pada fase berikutnya; sementara apabila gagal akan menyebabkan ketidakbahagiaan pada diri siswa tersebut, menimbulkan penolakan masyarakat, dan kesulitan-kesulitan dalam menuntaskan tugas-tugas perkembangan pada fase berikutnya.

Secara operasional, tugas perkembangan siswa sekolah menengah atas dalam penelitian ini didefinisikan sebagai derajat tinggi/rendah skor respons subjek terhadap pernyataan yang mengindikasikan aspek (1) landasan hidup


(32)

51

Saeful Ramadon, 2015

EFEKTIVITAS KONSELING KOGNITIF-PERILAKU DALAM MENINGKATKAN KESADARAN IDENTITAS GENDER

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

religius, (2) landasan perilaku etis, (3) kematangan emosional, (4) kematangan berpikir, (5) kesadaran tanggung jawab, (6) peran sosial sebagai pria atau wanita, (7) penerimaan diri dan pengembangannya, (8) kemandirian perilaku ekonomi, (9) wawasan dan persiapan karir, (10) kematangan hubungan dengan teman sebaya, (11) persiapan diri untuk pernikahan dan hidup berkeluarga.

Kematangan atau tingkat pencapaian dalam tugas perkembangan didasarkan kepada model ego developmental dari Lovinger dengan beberapapertimbangan (Kartadinata, 2001), diantaranya adalah :

1. Model ego development merupakan model perkembangan manusia yang terstruktur tak beragam (invariant) dan cocok untuk mengukur perkembangan dalam budaya pluralistik.

2. Model ego development merupakan model holistik yang menekankan keterkaitan berbagai fase kehidupan manusia.

3. Model ego development tempak berkorelasi tinggi dengan model lain, seperti model Erikson, Kohlberg dan Perry.

Berikut adalah empat tingkat ego development pada tugas perkembangan siswa sekolah menengah atas atau individu remaja akhir menurut Lovinger (Kartadinata, 2001). Tingkat Sadar Diri (Sdi), dengan ciri-ciri : (a) mampu berpikir alternatif, (b) melihat harapan dan berbagai kemungkinan dalam situasi, (c) peduli untuk mengambil manfaat dari kesempatan yang ada, (d) orientasi pemecahan masalah, (e) memikirkan cara hidup, serta (f) penyesuaian terhadap situasi dan peranan.

Tingkat Seksama (Ska), dengan ciri-ciri : (a) bertindak atas dasar nilai internal,(b) mampu melihat diri sebagai pembuat pilihan dan pelaku tindakan, (c) mampu melihat keragaman emosi, motif, dan perspektif diri, (d) peduli akan hubungan mutualistik, (e) memiliki tujuan jangka panjang, (f) cenderungmelihat peristiwa dalam konteks sosial, (g) berpikir lebih kompleks dan atasdasar analisis.

Tingkat Individualistik (Ind), dengan ciri-ciri : (a) peningkatan kesadaran individualitas, (b) kesadaran akan konflik emosional antara kemandirian dengan


(33)

52

Saeful Ramadon, 2015

EFEKTIVITAS KONSELING KOGNITIF-PERILAKU DALAM MENINGKATKAN KESADARAN IDENTITAS GENDER

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

ketergantungan, (c) menjadi lebih toleran terhadap diri sendiri dan orang lain, (d) mengenal eksistensi perbedaan individual, (e) mampu bersikap toleran terhadap pertentangan dalam kehidupan, (f) membedakan kehidupan internal dan kehidupan luar dirinya, (g) mengenal kompleksitas diri, dan (h) peduli akan perkembangan dan masalah-masalah sosial.

Tahap Otonomi (Oto) dengan ciri-ciri kemandirian : (a) memiliki pandangan hidup sebagai suatu keseluruhan, (b) cenderung bersikap realistik dan objektif terhadap diri sendiri maupun orang lain, (c) peduli akan faham abstrak seperti keadilan sosial, (d) mampu mengintegrasikan nilai-nilai yang bertentangan, (e) peduli akan self-fulfillment (pemuasan kebutuhan diri), (f) ada keberanian untuk menyelesaikan konflik internal, (g) respek terhadap kemandirian orang lain, (h) sadar akan adanya saling ketergantungan dengan orang lain, dan (i) mampu mengekspresikan perasaan dengan penuh keyakinan dan keceriaan.

Tingkat pencapaian tugas perkembangan siswa sekolah menengah atas yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tingkat atau tahap dengan skor perlindungan diri (2,00 – 2,99), konformitas (3,00 – 3,99), sadar diri (4,00 – 4,99) dan seksama (5,00 – 5,99). Jadi peningkatan yang dimaksud adalah adanya perubahan skor dari kecil menjadi besar atau dari tahap perlindungan diri ke tahap yang lebih tinggi berdasarkan hasil analisis tugas perkembangan (ATP).

3.4Pengembangan Instrumen Penelitian 3.4.1 Kisi-kisi Instrumen

Jenis instrumen pengungkap data penelitian ini adalah Inventori tugas Perkembangan (ITP) di sekolah menengah atas yang dikembangkan oleh Kartadinata dkk (2003), yang terdiri dari 66 item ditambah dengan dengan 11 item untuk menguji konsistensi. Dalam tabel 3.1. dirumuskan kisi-kisi instrumen Inventori Tugas Perkembangan siswa SMA (ITP-SMA) dengan satuan aspek dan sub-aspek perkembangan, serta indikator yang menunjukkan pencapaian tertinggi (Otonom).


(34)

53

Saeful Ramadon, 2015

EFEKTIVITAS KONSELING KOGNITIF-PERILAKU DALAM MENINGKATKAN KESADARAN IDENTITAS GENDER

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Kisi-kisi Instrumen Inventori Tugas Perkembangan siswa SMA (ITP-SMA 2003)

No. Aspek Indikator No. Butir

Pernyataan 1. Landasan hidup

Religius

Bersyukur dan berdo’a,

beribadah dan belajar agama, keimanan dan sabar

1, 12, 23, 34, 45, 56, 67 2. Landasan perilaku

Etis

Jujur, hormat kepada orangtua, sikap sopan dan santun, ketertiban dan kepatuhan.

2, 13, 24, 35, 46, 57, 68

3. Kematangan emosi Kebebasan dalam

mengemukakan pendapat, tidak cemas, pengendalian emosi, kemampuan menjaga stabilitas emosi.

3, 14, 25, 36, 47, 58, 69

4. Kematangan Intelektual

Sikap kritis, sikap rasional, kemampuan membela hak pribadi, kemampuan menilai

4, 15, 26, 37, 47, 59, 70 5. Kesadaran

tanggung jawab

Mawas diri, tanggung jawab atas tindakan pribadi, partisipasi pada lingkungan, disiplin.

5, 16, 27, 38, 49, 60, 71 6. Kesadaran gender Perbedaan pokok laki-laki dan

perempuan, peran sosial sesuai jenis kelamin, tingkah laku dan kegiatan sesuai jenis kelamin, cita-cita sesuai jenis kelamin.

6, 17, 28, 39, 50, 61, 72

7. Pengembangan Pribadi

Kondisi fisik, kondisi mental, pengembangan cita-cita, pengembangan pribadi.

7, 18, 29, 40, 51, 62, 73 8. Perilaku

Kewirausahaan

Upaya menghasilkan uang, sikap hemat dan menabung, bekerja keras dan ulet, tidak mengharap pemberian orang.

8, 19, 30, 41, 52, 63, 74

9. Wawasan dan kesiapan karir

Pemahaman jenis pekerjaan, kesungguhan belajar, upaya meningkatkan keahlian, perencanaan karir.

9, 20, 31, 42, 53, 64, 75

10. Kematangan hubungan dengan teman sebaya

Pemahaman tingkah laku orang lain, kemampuan berempati,

kerjasama, kemampuan

hubungan sosial.

10, 21, 32, 43, 54, 65, 76


(35)

54

Saeful Ramadon, 2015

EFEKTIVITAS KONSELING KOGNITIF-PERILAKU DALAM MENINGKATKAN KESADARAN IDENTITAS GENDER

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

untuk menikah dan berkeluarga

hidup, kesiapan menikah,

membangun keluarga,

reproduksi yang sehat.

55, 66, 77

3.4.2 Validitas dan Reliabilitas Instrumen ITP-SMA

Inventori Tugas Perkembangan (ITP) merupakan instrumen pengukur kematangan atau tingkat pencapaian tugas perkembangan dengan model konstruk tiga dimensi, yaitu dimensi isi atau aspek perilaku, tingkatan perkembangan dan jenjang pendidikan. Isi perilaku didasarkan kepada teori developmental task dari Havighurst, dan tingkatan perkembangan dilandaskan kepada teori ego

development dari Jane Loevinger. Kedua dimensi ini kemudian dipasangkan

dengan jenjang pendidikan sebagai target populasi yang akan menggambarkan tingkat perkembangan idel peserta didik bagi setiap jenjang pendidikan dalam keseluruhan dimensi.

Berdasarkan laporan riset unggulan terpadu VIII Sunaryo Kartadinata,dkk. pada tahun 2001 mengenai pengembangan perangkat lunak analisis tugas perkembangan siswa dalam upaya peningkatan mutu layanan dan manajemen bimbingan dan konseling di sekolah, hasil timbangan pakar dan praktisi lapangan atas butir-butir item Inventori Tugas Perkembangan, diperoleh keterangan bahwa75,84% item dinilai sebagai item yang mampu mengukur indikator, 19,8% perlu direvisi, dan 4,36% dikategorikan sebagai item yang harus diganti. Atas item-item yang masuk ke dalam dua kategori terakhir telah dilakukan revisi pada tahun berikutnya (2002) dan penambahan item atau sub-aspek perkembangan (2003), kemudian dilakukan uji coba lanjutan. Data ini sekaligus merupakan indikator validitas isi butir item yang dikembangkan. Perhitungan reliabilitas antar penimbang menunjukkan hasil matrik korelasi yang cukup bervariasi. Hal ini menunjukkan kecenderungan adanya variasi konsistensi antar penimbang yang tidak begitu tinggi.

Hasil uji lapangan ITP menunjukkan bahwa butir-butir item ITP memiliki tingkat keterbacaan yang tinggi yang ditujukkan dengan kemudahan subjek untuk


(36)

55

Saeful Ramadon, 2015

EFEKTIVITAS KONSELING KOGNITIF-PERILAKU DALAM MENINGKATKAN KESADARAN IDENTITAS GENDER

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

memahami dan menjawab setiap butir item. Rentang waktu pengisian ITP berkisar antara 15 sampai 50 menit. Berdasarkan judgement guru/pembimbing terdapat kecocokan yang cukup baik antara profil perkembangan siswa yang diperoleh dari hasil uji coba, dengan perilaku nyata subjek sehari-hari. Kecenderungan ini dapat menjadi indivkator bagi validitas empirik butir-butir item.

Reliabilitas instrumen ditunjukkan sebagai derajat keajegan (konsistensi) skor yang diperoleh oleh subjek penelitian dengan instrumen yang sama dalam kondisi yang berbeda. Derajat konsistensi diperoleh sebagai proporsi varians skor perolehan subjek. Dalam hal ini, skor perolehan terdiri dari skor skor murni dan skor kekeliruan alat pengukuran. Sebagai tolok ukur, digunakan klasifikasi rentang koefisien reliabilitas sebagai berikut:

< 0,20 0,21 – 0,40 0,41 – 0,70 0,71 – 0,90 0,91 – 1,00

derajat keterandalan sangat rendah derajat keterandalan rendah

derajat keterandalan sedang derajat keterandalan tinggi

derajat keterandalan sangat tinggi

Perhitungan statistik berkenaan dengan reliabilitas ITP berdasarkan hasil uji coba yang dihitung dengan teknik alpha Cronbach memberikan hasil seperti dalam tabel berikut.

Tabel 3.2.

Hasil Perhitungan Reliabilitas Instrumen ITP (2001)

Jenjang Pendidikan N Rata-rata St. Deviasi Teknik Alpha

Cronbach (rtt)

SD 313 4,77 0,173 0,243

SLTP 323 4,11 0,300 0,700

SLTA 336 3,08 0,291 0,748

PT 219 5,59 0,210 0,432

Berdasarkan klasifikasi rentang koefisien reliabilitas sebelumnya, maka reliabilitas intrumen ITP-SLTA (0,748) berada dalam kategori tinggi. Untuk kualitas ITP sendiri, setelah dilakukan penelitian oleh para pakar, uji coba, revisi


(37)

56

Saeful Ramadon, 2015

EFEKTIVITAS KONSELING KOGNITIF-PERILAKU DALAM MENINGKATKAN KESADARAN IDENTITAS GENDER

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

dan uji keterpakaian serta evaluasi dalam beberapa siklus yang berkesinambungan selama beberapa tahun, maka dapat dikatakan validitas dan reliabilitasnya cukup baik dan terpercaya.

3.5Langkah-langkah Penelitian

Penelitian ini kiranya akan menempuh tiga langkah utama dimulai dari pengumpulan data, hingga proses intervensi. Langkah-langkah yang akan dilakukan pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

3.5.1 Pengumpulan data

Proses pengumpulan data dimulai dengan melihat hasil Analisis Tugas Perkembangan Siswa, dengan menggunakan software ITP/ATP SMA grafik Analisis Tugas Perkembangan siswa per individu pada tiap aspek (11 aspek bagi siswa SLTA) mudah dilihat. Peneliti juga mendapat masukan dari rekan guru BK lain, Wali Kelas serta Guru Bidang Studi terkait siswa dengan kesadaran identitas gender rendah yang di gambarkan berperilaku kebanci-bancian.

3.5.2 Pelaksanaan Baseline

Sampel dipilih dari siswa yang memiliki kesesuaian antara hasil Analisis Tugas Perkembangan dan laporan guru lain serta hasil observasi peneliti selama siswa berada di lingkungan sekolah. Tahapan selanjutnya, peneliti melaksanakan tahapan baseline sebanyak tiga kali untuk mengetahui stabilitas aspek peran sosial sebagai pria atau wanita menggunakan Inventori Tugas Perkembangan SMA. Dari proses tersebut sampel penelitian dipilih sebanyak tiga orang siswa laki-laki kelas XI yang bersedia mengikuti keseluruhan sesi konseling kognitif perilaku.

3.5.3 Perancangan Intervensi

Rancangan intervensi konseling kognitif perilaku dalam meningkatkan kesadaran identitas gender disusun berdasarkan hasil pre-test dan karakteristik sampel penelitian. Rancangan intervensi yang dilakukan hasil dari validasi dengan komponen yang meliputi: rasional, berisi latar belakang diperlukannya konseling kognitif perilaku dalam meningkatkan kesadaran identitas gender siswa; tujuan intervensi; prosedur konseling kognitif perilaku; asumsi intervensi; sasaran


(38)

57

Saeful Ramadon, 2015

EFEKTIVITAS KONSELING KOGNITIF-PERILAKU DALAM MENINGKATKAN KESADARAN IDENTITAS GENDER

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

intervensi; sesi intervensi, yakni paparan mengenai kegiatan setiap sesi konseling; indikator keberhasilan konseling kognitif perilaku dalam meningkatkan kesadaran identitas gender siswa; dan langkah-langkah implementasi konseling kognitif perilaku dalam meningkatkan kesadaran identitas gender siswa.

3.6 Teknik Analisis Data

Pada penelitian dirumuskan dua pertanyaan penelitian. Secara berurutan, masing-masing pertanyaan penelitian dijawab dengan cara sebagai berikut : 1. Pertanyaan penelitian pertama mengenai efektivitas teknik konseling kognitif

perilaku dirumuskan ke dalam hipotesis “konseling kognitif perilaku efektif dalam meningkatkan kesadaran identitas gender siswa”, pengujian hipotesis dilakukan pada setiap individu yang menjadi subjek penelitian, yakni membandingkan kondisi skor aspek peran sosial sebagai pria atau wanita pada

baseline dan treatmen yang telah dilakukan.

2. Pertanyaan penelitian ke dua mengenai gambaran peningkatan kesadaran identitas gender siswa yang diberi teknik konseling kognitif perilaku dijawab dengan melakukan analisis terhadap data hasil penelitian. Data disajikan melalui grafik dalam rangka melihat visualisasi dari perubahan aspek peran sosial sebagai pria atau wanita yang terdapat dalam Inventori Tugas Perkembangan siswa SMA. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Sunanto, dkk., (2006) analisis data pada penelitian eksperimen pada umumnya menggunakan teknik statistik inferensial, sedangkan pada penelitian subyek tunggal analisis data cukup dilakukan dengan menggunakan statistik deskriptif yang sederhana berupa grafik.


(39)

93

Saeful Ramadon, 2015

EFEKTIVITAS KONSELING KOGNITIF-PERILAKU DALAM MENINGKATKAN KESADARAN IDENTITAS GENDER

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1.Kesimpulan

Dampak psikologis dari belum matangnya atau rendahnya kesadaran identitas gender pada siswa adalah munculnya konsep diri negatif terkait dengan keunikan sikap femininnya. Konsep diri ini terbentuk dari proses penempatan pikiran yang salah, kondisi penerimaan fenomena menyimpang Lesbian Gay

Biseksual dan Transeksual (LGBT), konsekuensi atas kesimpulan tidak benar pada

basis informasi yang tidak tepat dan keliru, sikap overgeneralization akibat pengalaman individu dalam bergaul dengan sesama jenis, perilaku maladaptif akibat gagal membedakan antara fantasi dan realita.

Sehingga, tanpa pemberian informasi yang relevan, tanpa fakta-fakta yang dipaparkan dalam proses klarifikasi dan penataan pikiran yang benar, tanpa proses pembentukan keyakinan yang positif dan tanpa proses pembelajaran dan modifikasi perilaku, akan sangat sulit untuk dapat mencapai kemampuan kognisi yang akan menghasilkan belief systems positif terkait dengan perkembangan kesadaran gender siswa. Permasalahan kesadaran peran gender yang belum matang dapat ditingkatkan melalui teknik restrukturisasi kognitif. Sedangkan gejala gangguan identitas gender dapat diatasi dengan pendekatan konseling kognitif-perilaku. Pendekatan ini juga efektif mencegah potensi penyimpangan hubungan sesama jenis.

Dalam proses konseling kognitif-perilaku yang menggunakan teknik restrukturisasi kognitif didapat temuan yang berbeda pada masing-masing subjek. Pada konseli RE, perubahan skor pada grafik hasil Analisis Tugas Perkembangan peningkatan tidak terlalu signifikan, begitu pula perubahan perilaku yang dihasilkan setelah dilakukan proses konseling kognitif-perilaku. Pada konseli RE, peneliti mengambil kesimpulan bahwa pihak-pihak terdekat dalam hal ini keluarga dan teman dekat konseli di ektrakurikuler dance, kurang memotivasi perubahan sikap dan perilaku konseli RE yang feminin bahkan cenderung permisif. Pada konseli POT perubahan kognisi dan perilaku mengalami peningkatan yang lebih baik dibanding konseli RE, latar belakang konseli POT


(1)

Saeful Ramadon, 2015

Depdiknas. (2007). Penataan pendidikan profesional konselor dan layanan bimbingan dan konseling dalam jalur pendidikan formal. Jakarta.

Di Ceglie, D., Sturge, C., & Sutton, A., Guidance for management of gender identity disorder in children and adolescents. Royal College of Psychiatrist, London, Council Report.

Dobson, K. S., & Khatri, N. (2000). Cognitive therapy: Looking backward, looking forward. Journal of Clinical Psychology, 56, 907-923.

Erikson, E. H. (1989). Alih bahasa Agus Cremers. Identity and life cycle. Jakarta: Gramedia.

Fakih, M. (2004). Analisis gender dan transformasi sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Fausiah, F & Widury, J. (2003). Bahan ajar mata kuliah psikologi abnormal. Jakarta. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Feldmen, R. S. (1990). Understanding psychology. (edisi kedua). New York: Mc. Graw-Hill Publishing Company.

Francis, Nangoi Priscilla. (2006). Peranan orang tua terhadap proses pembentukan identitas gender pada waria. (Skripsi) Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Jakarta.

Freud, Sigmund. (2006). Three essays on the theory of sexuality. London : Hogart Standar Edition.

Fuhrmann, Barbara S. (1990). Adolescence, adolescents. London : Scott, Foresman and Company.

Gainor, (2008). Definition of terms : Sex, gender, gender identity, sexual orientation. The guidelines for psychological practice with lesbian, gay and bisexual clients. American Psychological Association, 24, 426-431. Gauntlett, David. (2008). Media, gender and identity: an introduction. Oxon

Routledge.

Guidance for Massachusetts Public Schools Creating a Safe and Supportive School Environment. (2011)

Guindon, M.H. (2010). Self esteem across the lifespan. New York: Routledge Taylor & Francis Group.

Haddoc, G., Maio, G.R., (2004). Contemporary perspectives on the psychology of attitudes. New York : Psychology-Press.


(2)

Hafidz, Dedi Herdiana. (2010). Model konseling kognitif perilaku untuk menangani adiksi obat. (Disertasi) Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.

Hardiyanti, Nita Q. (2012). Program bimbingan pribadi sosial berdasarkan identitas personal peserta didik. (Skripsi) Psikologi Pendidikan dan Bimbingan Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.

Heinoa, et al. (2003). Early puberty is associated with mental health problems in middle adolescence. http:// www.iumsp.ch, diperoleh tanggal 20 April 2015.

Hurlock, E. B. (2002). Alih bahasa Iswidayanti dan Soedjarwo. Psikologi perkembangan suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Jakarta: Erlangga.

Hurlock, E. B. (1980). Alih bahasa Iswidayanti, Soedjarwo dan Sijabad. Psikologi perkembangan.. Jakarta: Erlangga.

Hyde, J. S. (2005). The gender similarities hypothesis. American Psychologist, 60, 581–592.

Ingher, S. (2013). Internalized representation of father, gender identity, and well-being among gay in israel. Psychology, Community and Health, 2, 58-62.

Joźkow, P. (2010). Transsexualisme – diagnostik and therapeutic aspects. Poland: Department of Endocrinology, Diabetology and Isotope Therapy, Medical University of Wroclaw.

Kartadinata, Sunaryo, dkk. (2005). Petunjuk teknis penggunaan inventori tugas perkembangan siswa SLTA. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia. Kongseng, Anton. (1995). Menyingkap seksualitas. Jakarta: Obor.

Liben, L.S. (2008). Developmental gender differentiation: Pathways in conforming and nonconforming outcomes. Switzerland : Gay Lesbian Mental Health Community.

Maag, J.W. (2004). Behaviour management: From theoritical implications to practical applications. (edisi kedua). California: Thomson Warsworth.

Makmun, Abin Sy., (2004). Psikologi kependidikan. Bandung: Remaja Rosda Karya.


(3)

Saeful Ramadon, 2015

Masngudin. (2004). Kenakalan remaja sebagai perilaku menyimpang hubungannya dengan keberfungsian sosial keluarga kasus di Pondok Pinang pinggiran kota metropolitan Jakarta. http://www.depsos.go.id, diakses tanggal 22 September 2014

Marantz, S., & Coates, S. (1991). Mothers of boys with gender identity disorder: A comparison of matched controls. Journal of the American Academy of Child and Adolescent Psychiaty, 30, 310-315.

Marcia, J.E, et al.(1993) Ego identity a handbook for psychosocial research. Springer-Verlag New York Inc.

Marchelia, Diaz. (2011). Persepsi mahasiswa tentang presenter transgender dalam program musik di televisi (Studi tentang Olga Syahputra pada program musik “Dahsyat” di RCTI). (Skripsi) Fakultas Komunikasi Universitas Bina Nusantara, Jakarta.

Martiana, Marisa. (2007). Hubungan antara durasi menonton tv dan sikap

terhadap seksualitas pada remaja.

http://www.digilib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/, diperoleh tanggal 11 Maret 2014.

McLeod, John. (2008). Alih bahasa A.K. Anwar. Pengantar konseling : Teori dan kasus. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.

Money, J. (1994). The concept of gender identity disorder in childhood and adolescents after 39 years. Journal of Sex and Marital Therapy, 20, 163-177.

Monro, Surya. (2000). Theorizing transgender diversity: towards a social model of health, sexual and relationship therapy, Vol. 15. http://content.ebscohost.com. Diperoleh tanggal 11 Februari 2011.

Mruk, CJ. (2006). Self-esteem research, theory, and practice: Toward a positive psychology of self-esteem. New York: Springer.

Olyslager, Femke & Conway, Lyn. (2007). On the calculation of the prevalence of transsexualisme. http://ai.eecs.umich.edu. Diperoleh tanggal 14 Februari 2014.

Okanegara. (2007). Kondisi remaja indonesia saat ini. Sumber :

http://www.balebengong.net/2007/08/12/remaja-saat-ini-tragis-atau-strategis/

Oemarjoedi, A. Kasandra. (2003). Pendekatan cognitive behavior dalam psikoterapi. Jakarta: Kreativ Media.


(4)

Papalia, E. Diane. (2008). Alih bahasa A. K. Anwar. Human development. Jakarta: Prenada Media Group.

Rahmawati, Ani. (2004). Persepsi remaja tentang konsep maskulin dan feminim dilihat dari beberapa latar belakangnya. (Skripsi) Psikologi Pendidikan dan Bimbingan Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.

Ramli, M. (2005). Terapi perilaku kognitif. Dalam Mamat Supriatna & Ahmad Juntika Nurihsan (Penyunting), Pendidikan dan konseling di era global dalam Perspektif Prof. Dr. M. Djawad Dahlan. Bandung: Rizqi Press. Santrock, John,W. (2012). Alih bahasa Shinto dan Saragih. Remaja, jilid 1. (edisi

ketigabelas). Jakarta: Erlangga.

Santrock, John, W. (2007). Alih Bahasa Benedictine Widyasinta. Remaja.. Jakarta: Erlangga.

Santrock, John, W. (2003). Alih bahasa Shinto B. Adelar dan Sherly Saragih. Adolescence : Perkembangan remaja. (Edisi keenam). Jakarta: Erlangga. Sarafino, E.P. (1996). Principles of behavior change: Understanding behavior

modification techniques. Canada: John Wiley & Sons, Inc.

Sears,O.D., Johnathan L. F., and L. Anne, Peplau. (1994). Alih bahasa Michael Ardyanto. Psikologi sosial. Jakarta: Erlangga.

Shechner, T. (2010). Gender identity disorder : A literature review from a developmental perspective. Isr J Psichiatri Relat Sci, 47, 132-138.

Soetjiningsih, (2010). Tumbuh kembang anak. Jakarta : EGC.

Sunanto, Juang, Koji Takeuchi & Hideo Nakata. (2005). Pengantar penelitian dengan subjek tunggal. Jepang : CRICED University of Tsukuba.

Stoller, Robert. (1973). Splitting : A case of female masculinity. New York : Quadrangle.

Sugiyono. (2012). Metode penelitian pendidikan pendekatan kuantitatif, kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Sukmadinata, Nana S. (2009). Bimbingan dan konseling dalam praktek. Bandung: Maestro

Surveilans Terpadu Biologis Perilaku (STBP) pada kelompok beresiko tinggi di Indonesia, (2007). Rangkuman surveilans waria.


(5)

Saeful Ramadon, 2015

Surya, Mohamad. (2003). Psikologi konseling. Bandung : Maestro

Tajiri, Hajir. (2012). Model konseling kognitif-perilaku untuk meningkatkan kemampuan kontrol diri perilaku seksual remaja: Studi terhadap siswa Madrasah Aliyah Negeri Ciparay dan Madrasah Aliyah Swasta Al-Mukhlisin di Kabupaten Bandung. (Disertasi) Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.

Tessa, Indrayanti Alice. (2003). Hubungan gaya perlakuan orang tua dengan identitas peran jenis kelamin pada remaja akhir di daerah suburban. (Skripsi). Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran, Bandung.

Umar, Nazarudin. (2008). Perspektif jender dalam Islam. [Online]. Diakses dari http://media.Isnet.org/Islam/Paradina/Jurnal/Jender2.html.

VandenBos, Gary R. (2007). Dictionary of psychology. Washington DC : American Psychological Association (APA).

Van Kesteren, et al. (1996). Transgender population and number of transgender employees. [Online]. Diakses dari http://www/hrc.org/issues/9598.htm - 29k.

Watts, Randolph H, dkk. (2005). Boys' perceptions of the male role: Understanding gender role conflict in adolescent males. journal of men's studies. Harriman: Winter . Vol. 13, Iss. 2; pg. 267, http:// www. proquest.com, diperoleh tanggal 4 April 2015.

Willis, Sofyan, S. (2005). “Memahami perkembangan remaja”, dalam pendidikan dan konseling di era global. Bandung: Rizqi Press.

Willis, Sofyan, S. (2005). Remaja & permasalahannya. Bandung: Alfabeta. Yash, B. (2003). Transeksualisme : sebuah studi kasus perkembangan transeksual

perempuan kelelaki-lakian. Semarang : Aini.

Yuliati, Nanik. (2004). Model konseling kelompok berdasarkan pendekatan kognitif-perilaku untuk membantu remaja dalam menangani krisis identitas dan dampaknya pada penurunan tingkat problem psikososial: penelitan eksperimen kuasi di SMAN 1 Arjasa Jember. (Disertasi) Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.

Yusuf, Syamsu & Nurihsan, A. J. (2007). Teori kepribadian. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Yusuf, Syamsu. (2006). Psikologi perkembangan anak dan remaja. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.


(6)

Yusuf, Syamsu & Nurihsan, A. J. (2005). Landasan bimbingan dan konseling, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Zucker, K.J., Bradley, S.J., Anderson, A.O., Kibblewhite, S.J., & Cantor, J.M. (2008). Letter to the editor : Is gender identity disorder in adolescents coming out of the closet? Journal of Sex and Marital Therapy, 34, 287-290.