Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penegakan Hukum terhadap Pasal 296 KUHP tentang Tindak Pidana Prostitusi oleh Polres Salatiga T1 312007078 BAB I

(1)

1

BAB 1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG.

Praktek prostitusi merupakan perbuatan yang merusak moral dan mental dan dapat menghancurkan keutuhan keluarga, namun dalam hukum positif sendiri tidak melarang pelaku praktek prostitusi tetapi hanya melarang bagi siapa yang menyediakan tempat atau memudahkan terjadinya praktek prostitusi. Dalam praktek prostitusi terdapat adanya mucikari, mucikari tersebut merupakan orang yang penghasilannya di peroleh dari perbuatan cabul yang dilakukan oleh wanita-wanita yang tinggal bersama dia serumah dengan para langganannya.

Mucikari diatur dalam Pasal 296 KUHP menyatakan bahwa : “ Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain dan menjadikannya sebagai pekerjaan atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah ”. Pasal 506 KUHP juga berlaku untuk mucikari yang rumusannya sebagai berikut : “ Barang siapa menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikannya sebagai pencarian, diancam pidana kurungan paling lama satu tahun ”. berdasarkan kedua Pasal tersebut dapat dikatakan terdapat pelarangan mengenai suatu perbuatan seorang yang mendapatkan keuntungan dari perbuatan cabul dan dapat menjadi mata pencahariannya. Dalam hal ini perbuatan tersebut dilakukan oleh seorang


(2)

2

mucikari. Disini para mucikari menggunakan seorang wanita untuk melakukan cabul dengan orang lain atau dapat disebutkan sebagai Pekerja Seks Komersial yang selanjutnya disebut PSK.

Praktek prostitusi telah ada di daerah Salatiga kelurahan Sarirejo yang dikenal dengan sebutan Sembir. Tempat prostitusi ini umumnya terdiri dari rumah-rumah kecil yang dikelola oleh mucikari atau germo yang dulunya sering digunakan masyarakat sekitar untuk melakukan hubungan intim (seks). Peraturan Daerah (PerDa) yang melarang segala bentuk pelacuran di Salatiga masih berlaku. Bahkan pada 1937 di masa kolonial, dalam perda tersebut sudah

disebutkan Ver Ordening Ter Beteugeling Van De Straat Prostitue (peraturan yang membatasi prostitusi). Dua tahun kemudian diperbarui menjadi Salatigase Bordeel Verorneing Dua ketetapan itu dipertegas pada era kemerdekaan dengan Perda Nomor 62 Tahun 1954. Perda terakhir ini hingga sekarang belum pernah direvisi, diubah ataupun diganti sehingga masih tetap berlaku. Terakhir terdapat Keputusan Wali Kota Madya Nomor 462.3/328/1998 tanggal 1 Juli 1998 tentang Penghentian dan Penghapusan Segala Bentuk Kegiatan Tuna Susila dan Usaha Rehabilitasi serta Resosialisasi dalam Sistem Lokalisasi di Sarirejo1.

Pada kenyataannya, pada tahun 2011 setelah adanya Peraturan Daerah (Perda) nomor 4 tahun 2011 pasal 2 dan pasal 3 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Salatiga adalah menjadikan kota Salatiga sebagai alat operasional pelaksanaan pembangunan di wilayah kota Salatiga, menjadikan pedoman untuk

1

http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2012/04/16/183339/Penataan-Sarirejo-Jangan-Rugikan-Siapa-pun


(3)

3

memformulasikan kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah Salatiga, mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, keseimbangan perkembangan wilayah kota Salatiga serta keserasian, memberikan arahan bagi penyusunan indikasi program utama dalam RTRW kota, pengarahan lokasi investasi yang dilaksanakan Pemerintah dan/atau masyarakat dan penetapan ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kota2.

Pemerintah telah merubah tempat tersebut yang dulunya menjadi tempat prostitusi di daerah sarirejo ini yang kini dikenal atau dijuluki oleh masyarakat setempat sebagai tempat untuk wisata karaoke bagi masyarakat di daerah salatiga. Tetapi masih saja disalahvgunakan oleh masyarakat untuk melakukan hubungan intim (seks), dimana masyarakat sekitar daerah Salatiga ini melihat bahwa selain mereka yang bekerja sebagai pemandu karaoke ada juga sebagian dari mereka yang menjajahkan dirinya untuk melakukan hubungan intim kepada setiap orang yang ingin melakukan hubungan intim.

Prostitusi dapat diartikan juga sebagai perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain dan menjadikannya sebagai pekerjaan atau kebisaan. Dengan demikian, pelaku prostitusi melakukan perbuatan tersebut selain untuk memenuhi kebutuhan seksnya, juga untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Prostitusi di kenal juga sebagai penyakit sosial yang hidup di tengah-tengah masyarakat, yang keberadaannya seperti kebiasaan manusia pada umumnya dan terus berkembang dalam bentuk-bentuk tindakan prostitusi itu sendiri.

2 Peraturan daerah kota salatia nomor 4 tahun 2011,tentang rencana tata Ruang Wilayah kota


(4)

4

Peran dari Kepolisian Salatiga dilihat dari Undang-Undang No.2 Tahun 2002 Tentang Kepolisan dinyatakan tentang tugas dan wewenang Kepolisian adalah menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat agar dapat menyelenggarakan proses pembangunan nasional dan tercapainya tujuan nasional yang terjamin keamanan, ketertiban, dan tegaknya hukum serta mencegah, dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk lainnya yang meresahkan masyarakat.

Dalam hukum pidana, dikenal adanya delik formal dan delik materiil. Delik formal adalah delik yang dianggap selesai dengan perbuatan itu, atau dengan perkataan lain titik beratnya berada pada perbuatan tersebut.3 Berdasarkan penjelasan delik tersebut diketahui bahwa suatu tindak pidana tersebut ada karna adanya perbuatan yang dilakukan. Berkaitan dengan Pasal 296 KUHP perbuatan yang dilakukan adalah memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dan dengan orang lain. Sedangkan jika dilihat dari delik biasa perbuatan tindak pidana yang sudah termasuk dalam peraturan perundang-undangan dianggap perbuatan tindak pidana. Berkaitan dengan Pasal 296 KUHP perbuatan ini sudah dianggap tindak pidana dan melanggar aturan serta norma-norma yang ada.

Sesuai dengan tugas dan wewenang kepolisian yang telah dijelaskan di dalam Undang-Undang Republik Indonesia No.2 Tahun 2002 Pasal 1 ayat 4 dan 5 tentang Tugas dan Wewenang Kepolisian, seharusnya praktek seperti ini yang terjadi di daerah salatiga khususnya daerah sembir tidak boleh dibiarkan, supaya

3


(5)

5

penegakan hukum terhadap kejahatan kesusilaan dan atau perdagangan orang dapat dilaksanakan dan dapat terlaksana dengan baik.

Prostitusi berasal dari bahasa Latin pro-stituere, yang berarti membiarkan diri berbuat zina.4 Sedang prostitue adalah pelacur yang dikenal pula dengan istilah WTS atau wanita tuna susila. Pelacur sering dianggap sebagai wanita yang tidak pantas kelakuannya dan bisa mendatangkan penyakit, baik kepada orang lain yang bergaul dengan dirinya, maupun kepada diri sendiri. Prostitusi adalah profesi yang menjual jasa untuk memuaskan kebutuhan seksual pelanggan. Biasanya pelayanan ini dalam bentuk menyewakan tubuhnya. Sehingga prostitusi bersifat negatif dan dapat digolongkan sebagai kejahatan terhadap masyarakat.

Prostitusi merupakan permasalahan yang sering menjadi wacana pembicaraan masyarakat di Salatiga. Prostitusi sering dikaitkan dengan masalah ekonomi dan sosial yang melanda Indonesia sehingga berdampak pada peningkatan skala dan kompleksitas yang di hadapi kaum wanita Indonesia. Kemiskinan yang tiada berujung seringkali membuat para wanita Indonesia menghalalkan segala cara untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, bahkan dengan cara menjual diri. Kondisi tersebut merupakan fenoma yang banyak terjadi bahkan tidak hanya di Indonesia bahkan juga terjadi di beberapa Negara Asia seperti Malaysia, Singapura, Vietnam, Thailand dan banyak Negara lainnya. Revolusi media cetak dan elektronikpun membawa dampak negatif terhadap masyarakat Indonesia seperti melemahnya hubungan kekerabatan antar keluarga, komunikasi antar keluarga, dan lingkungan sosial bahkan menurunnya nilai

4


(6)

6

moral seseorang dimata masyarakat luas. Hal tersebut juga seringkali memunculkan oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab yang mengkoordinir atau mengakomodasikan para pekerja seks. Keadaan ini membuat banyak para pekerja seks maupun pengguna jasa pekerja seks beresiko tinggi tertular penyakit yang disebabkan hubungan seksual terutama HIV-AIDS.5

Ditinjau dari sudut wanita sebagai PSK atau pelaku prostitusi, terdapat berbagai persoalan hidup yang hanya dapat diselesaikan hanya dengan satu jalan yaitu menjajahkan dirinya sendiri demi memenuhi kebutuhan hidup. Prostitusi sendiri sebenarnya sangat bertentangan dengan hukum di Indonesia yang diatur dalam Pasal 296 KUHP yang menyatakan :

“Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan

cabul oleh orang lain dengan orang lain dan menjadikannya sebagai pekerjaan atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu

rupiah.”6

Meskipun undang-undang di Indonesia tidak ada yang melarang prostitusi, ada beberapa peraturan perundang-undangan dan regulasi pemerintah yang menyentuh aktivitas seksual atas dasar kesepakatan bersama, atau istilah adalah seks komersial. Sejumlah pemerintah daerah memiliki peraturan daerah yang melarang pendirian lokalisasi. Dengan dasar hukum ini, aktivitas seksual atas dasar kesepakatan bersama di antara dua orang atau lebih dalam sebuah tempat

5Gunawan, Rudy (2000). „Sex sebagai Simbol‟. Jakarta: Grasindo.

6


(7)

7

yang bersifat pribadi atau "dipersiapkan" dapat dikategorikan sebagai tindakan kriminal. Ketentuan yang didasarkan pada definisi ini seharusnya sudah dibuang jauh-jauh. Berdasarkan prinsip universal tentang hak asasi manusia, setiap orang dewasa memiliki hak beraktivitas apa saja yang dianggap "menyenangkan" bagi tubuh mereka, yang dalam hal ini adalah seks.

Mengingat permasalahan prostitusi merupakan masalah yang rumit, maka diperlukan adanya suatu proses refleksi oleh semua pihak yang terkait mulai dari pemerintah, akademisi, kaum intelektual, dan masyarakat secara umum. Untuk memicu terjadinya hal tersebut diperlukan adanya penyadaran, bahwa kesadaran praktis yang selama ini ada dan oleh masyarakat sudah tidak berjalan lagi, yang terbukti dengan terpuruknya nasib para pekerja seks. Dengan tergoncangnya kesadaran praktis untuk kembali ke tahap kesadaran diskursif dimungkinkan adanya perubahan sosial pada prostitusi di negara kita dan bahkan di dunia.

Terdapat faktor-faktor penyebab suatu prostitusi. Ada dua faktor yang menjadi penyebab prostitusi yaitu :

(a) Faktor internal

Faktor internal adalah yang datang dari individu wanita itu sendiri, yaitu yang berkenaan dengan hasrat, rasa frustasi, kualitas konsep diri, dan sebagainya. Tidak sedikit dari para pelacur ini merupakan korban perkosaan, sehingga mereka berpikir bahwa mereka sudah kotor dan profesi sebagai pelacur merupakan


(8)

satu-8

satunya yang pantas bagi mereka. Karena kehidupan kelam yang mereka alami dulu membuat hati dan moral mereka terpuruk.

(b) Faktor eksternal

Faktor eksternal adalah sebab yang datang bukan secara langsung dari individu wanita itu sendiri, melainkan karena ada faktor luar yang mempengaruhinya untuk melakukan hal yang demikian. Faktor eksternal ini bisa berbentuk desakan kondisi ekonomi, pengaruh lingkungan, kegagalan kehidupan keluarga, dan sebagainya. Selain faktor internal dan eksternal ada beberapa peristiwa sosial penyebab timbulnya pelacuran, antara lain:

1. Tidak adanya undang-undang yang melarang pelacuran, juga tidak ada larangan terhadap orang-orang yang melakukan relasi seks sebelum atau diluar pernikahan. Hal ini semakin memperbanyak jumlah pelacur, karena tidak adanya sanksi yang tegas yang perlu mereka patuhi.

2. Merosotnya norma-norma susila dan keagamaan. Masyarakat sekarang sudah bersifat acuh tak acuh dan cenderung tidak memperdulikan sehingga mereka hanya mengurusi kehidupan pribadi tanpa memperdulikan norma-norma susila dan keagamaan dalam masyarakat.

3. Bertemunya macam-macam kebudayaan asing dan kebudayaan-kebudayaan setempat. Hal ini tidak terlepas dari asimilasi


(9)

9

kebudayaan, dimana kebudayaan Barat membuat norma-norma susila dan keagamaan semakin merosot.

Kepolisian Salatiga sudah semestinya mempunyai tugas dan tanggung jawab dalam menangani masalah-masalah yang ada, seperti kasus prostitusi di salatiga ini. Sebagaimana telah dijelaskan dalam Undang-Undang No.2 Tahun 2002 Pasal 1 ayat (4 dan 5), perihal Tugas dan Tanggung Jawab Kepolisian adalah memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dan juga menjaga kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan nasional dalam rangka tercapainya tujuan nasional yang ditandai oleh terjaminnya keamanan, ketertiban, dan tegaknya hukum, serta terbinanya ketentraman, yang mengandung kemampuan membina serta mengembangkan potensi dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah, dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk gangguan lainya yang dapat meresahkan masyarakat7

Polisi dalam menangani kasus prostitusi ini belum menemui adanya kasus tindak pidana prostitusi ini, dikarenakan masih ada juga tempat-tempat karaoke yang sering menjadikan tempat tersebut sebagai tempat prostitusi secara tersembunyi yang belum diketahui oleh pihak kepolisian, dan kepolisian harus lebih sigap dan siap untuk mengatasi kasus prostitusi di daerah Salatiga ini

7 Undang-Undang Republik Indonesia

No.2 tahun 2002 pasal 1 ayat 4 dan 5, tentang kepolisian Republik Indonesia.


(10)

10

khususnya di kelurahan Sidorejo agar praktek prostitusi tidak terjadi lagi dan tidak menggangu kenyamanan dan ketertiban masyarakat sekitar.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka yang menjadi inti permasalahan dalam penelitan ini adalah :

Tindakan hukum apa yang diambil oleh pihak Polres Salatiga dalam menanggulangi masalah prostitusi di kota Salatiga khususnya di lokalisasi Sarirejo?

C. Tujuan Penelitian.

Menganalisis strategi dan langkah hukum yang diambil Polres Salatiga terhadap prostitusi di kota Salatiga.

D. Manfaat Penelitian.

1. menganalisis strategi dan langkah-langkah yang akan diambil Polres Salatiga dengan cara mengelompokkannya menjadi dua cara yakni :

a. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat membantu memberikan sumbangan pemikiran dan pengembangan ilmu hukum khususnya hukum pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

b. Secara Praktis, penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi penegak hukum di Indonesia juga masyarakat luas khususnya masyarakat kota


(11)

11

Salatiga untuk ikut dan berperan serta dalam menanggulangi masalah prostitusi di kota Salatiga.

E. Metode Penelitian.

1. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis yuridis normatif, dimana penelitian normatif adalah penelitian yang mengacu pada norma-norma dan asas-asas hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan8, dan juga dilengkapi dengan penelitian yuridis sosiologis.

2. Bahan hukum

Penelitian menggunakan tiga jenis data yang meliputi :

a. Bahan hukum primer, KUHP, Undang-Undang Kepolisian Republik Indonesia No.2 tahun 2002, dan Perda no.4 tahun 2011

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang meliputi teori-teori para ahli atau pakar hukum yang relevan dengan penelitian ini.

c. Bahan tersier, dimana bahan tersebut merupakan bahan penunjang bagi hukum primer dan sekunder antara lain kamus umum, majalah, jurnal ilmiah dan surat kabar sebatas dipandang masih relevan dengan penelitian ini.

8


(12)

12

3. Tekhnik pengumpulan Bahan hukum

Tekhnik pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan cara kepustakaan atau library research. Teknik ini mengumpulkan literatur yang relevan dengan penelitian ini, sedangkan bahan hukum data primer dilakukan wawancara terhadap pihak kepolisian.

4. Unit analisis.

Analisis yang digunakan adalah analisis yuridis kualitatif terkait dengan pelaksanaan Peranan Polres Salatiga Dalam Menangani Prostitusi. Dengan menggunakan penalaran hukum deduktif dan interprestasi hukum.


(1)

7

yang bersifat pribadi atau "dipersiapkan" dapat dikategorikan sebagai tindakan kriminal. Ketentuan yang didasarkan pada definisi ini seharusnya sudah dibuang jauh-jauh. Berdasarkan prinsip universal tentang hak asasi manusia, setiap orang dewasa memiliki hak beraktivitas apa saja yang dianggap "menyenangkan" bagi tubuh mereka, yang dalam hal ini adalah seks.

Mengingat permasalahan prostitusi merupakan masalah yang rumit, maka diperlukan adanya suatu proses refleksi oleh semua pihak yang terkait mulai dari pemerintah, akademisi, kaum intelektual, dan masyarakat secara umum. Untuk memicu terjadinya hal tersebut diperlukan adanya penyadaran, bahwa kesadaran praktis yang selama ini ada dan oleh masyarakat sudah tidak berjalan lagi, yang terbukti dengan terpuruknya nasib para pekerja seks. Dengan tergoncangnya kesadaran praktis untuk kembali ke tahap kesadaran diskursif dimungkinkan adanya perubahan sosial pada prostitusi di negara kita dan bahkan di dunia.

Terdapat faktor-faktor penyebab suatu prostitusi. Ada dua faktor yang menjadi penyebab prostitusi yaitu :

(a) Faktor internal

Faktor internal adalah yang datang dari individu wanita itu sendiri, yaitu yang berkenaan dengan hasrat, rasa frustasi, kualitas konsep diri, dan sebagainya. Tidak sedikit dari para pelacur ini merupakan korban perkosaan, sehingga mereka berpikir bahwa mereka sudah kotor dan profesi sebagai pelacur merupakan


(2)

satu-8

satunya yang pantas bagi mereka. Karena kehidupan kelam yang mereka alami dulu membuat hati dan moral mereka terpuruk.

(b) Faktor eksternal

Faktor eksternal adalah sebab yang datang bukan secara langsung dari individu wanita itu sendiri, melainkan karena ada faktor luar yang mempengaruhinya untuk melakukan hal yang demikian. Faktor eksternal ini bisa berbentuk desakan kondisi ekonomi, pengaruh lingkungan, kegagalan kehidupan keluarga, dan sebagainya. Selain faktor internal dan eksternal ada beberapa peristiwa sosial penyebab timbulnya pelacuran, antara lain:

1. Tidak adanya undang-undang yang melarang pelacuran, juga tidak

ada larangan terhadap orang-orang yang melakukan relasi seks sebelum atau diluar pernikahan. Hal ini semakin memperbanyak jumlah pelacur, karena tidak adanya sanksi yang tegas yang perlu mereka patuhi.

2. Merosotnya norma-norma susila dan keagamaan. Masyarakat

sekarang sudah bersifat acuh tak acuh dan cenderung tidak memperdulikan sehingga mereka hanya mengurusi kehidupan pribadi tanpa memperdulikan norma-norma susila dan keagamaan dalam masyarakat.

3. Bertemunya macam-macam kebudayaan asing dan


(3)

9

kebudayaan, dimana kebudayaan Barat membuat norma-norma susila dan keagamaan semakin merosot.

Kepolisian Salatiga sudah semestinya mempunyai tugas dan tanggung jawab dalam menangani masalah-masalah yang ada, seperti kasus prostitusi di salatiga ini. Sebagaimana telah dijelaskan dalam Undang-Undang No.2 Tahun 2002 Pasal 1 ayat (4 dan 5), perihal Tugas dan Tanggung Jawab Kepolisian adalah memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dan juga menjaga kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan nasional dalam rangka tercapainya tujuan nasional yang ditandai oleh terjaminnya keamanan, ketertiban, dan tegaknya hukum, serta terbinanya ketentraman, yang mengandung kemampuan membina serta mengembangkan potensi dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah, dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk gangguan lainya yang dapat

meresahkan masyarakat7

Polisi dalam menangani kasus prostitusi ini belum menemui adanya kasus tindak pidana prostitusi ini, dikarenakan masih ada juga tempat-tempat karaoke yang sering menjadikan tempat tersebut sebagai tempat prostitusi secara tersembunyi yang belum diketahui oleh pihak kepolisian, dan kepolisian harus lebih sigap dan siap untuk mengatasi kasus prostitusi di daerah Salatiga ini

7 Undang-Undang Republik Indonesia

No.2 tahun 2002 pasal 1 ayat 4 dan 5, tentang kepolisian Republik Indonesia.


(4)

10

khususnya di kelurahan Sidorejo agar praktek prostitusi tidak terjadi lagi dan tidak menggangu kenyamanan dan ketertiban masyarakat sekitar.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka yang menjadi inti permasalahan dalam penelitan ini adalah :

Tindakan hukum apa yang diambil oleh pihak Polres Salatiga dalam menanggulangi masalah prostitusi di kota Salatiga khususnya di lokalisasi Sarirejo?

C. Tujuan Penelitian.

Menganalisis strategi dan langkah hukum yang diambil Polres Salatiga terhadap prostitusi di kota Salatiga.

D. Manfaat Penelitian.

1. menganalisis strategi dan langkah-langkah yang akan diambil Polres Salatiga

dengan cara mengelompokkannya menjadi dua cara yakni :

a. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat membantu memberikan

sumbangan pemikiran dan pengembangan ilmu hukum khususnya hukum pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

b. Secara Praktis, penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi penegak


(5)

11

Salatiga untuk ikut dan berperan serta dalam menanggulangi masalah prostitusi di kota Salatiga.

E. Metode Penelitian.

1. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis yuridis normatif, dimana penelitian normatif adalah penelitian yang mengacu pada norma-norma dan

asas-asas hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan8, dan

juga dilengkapi dengan penelitian yuridis sosiologis.

2. Bahan hukum

Penelitian menggunakan tiga jenis data yang meliputi :

a. Bahan hukum primer, KUHP, Undang-Undang Kepolisian Republik

Indonesia No.2 tahun 2002, dan Perda no.4 tahun 2011

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang meliputi teori-teori para ahli

atau pakar hukum yang relevan dengan penelitian ini.

c. Bahan tersier, dimana bahan tersebut merupakan bahan penunjang bagi

hukum primer dan sekunder antara lain kamus umum, majalah, jurnal ilmiah dan surat kabar sebatas dipandang masih relevan dengan penelitian ini.


(6)

12

3. Tekhnik pengumpulan Bahan hukum

Tekhnik pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan cara kepustakaan atau library research. Teknik ini mengumpulkan literatur yang relevan dengan penelitian ini, sedangkan bahan hukum data primer dilakukan wawancara terhadap pihak kepolisian.

4. Unit analisis.

Analisis yang digunakan adalah analisis yuridis kualitatif terkait dengan pelaksanaan Peranan Polres Salatiga Dalam Menangani Prostitusi. Dengan


Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Modus Operandi Tindak Pidana Pencurian dengan Kekerasan: Studi Kasus pada Polres Salatiga T1 312012088 BAB I

0 0 21

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Modus Operandi Tindak Pidana Pencurian dengan Kekerasan: Studi Kasus pada Polres Salatiga T1 312012088 BAB II

0 3 38

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penegakan Hukum terhadap Tindak Pidana di Bidang Kehutanan: studi kasus di Polres Wonogiri T1 312012029 BAB I

0 0 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penegakan Hukum terhadap Tindak Pidana di Bidang Kehutanan: studi kasus di Polres Wonogiri T1 312012029 BAB II

0 1 50

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pendekatan Restorative Justice dalam Penyelesaian Tindak Pidana Anak oleh Polres Tegal T2 322012002 BAB I

0 0 24

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penegakan Hukum terhadap Pasal 296 KUHP tentang Tindak Pidana Prostitusi oleh Polres Salatiga T1 312007078 BAB II

0 3 35

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penegakan Hukum terhadap Pasal 296 KUHP tentang Tindak Pidana Prostitusi oleh Polres Salatiga

0 1 16

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pertimbangan Penyidik dalam Melakukan Penahanan Kepada Tersangka Anak Oleh Polres Salatiga T1 312008084 BAB I

0 1 15

T1__BAB I Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tanggungjawab Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Pembakaran Hutan T1 BAB I

0 0 12

T1__BAB I Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Sanksi Pidana terhadap Pelaku Tindak Pidana Terorisme Berbasis Keadilan Bermartabat T1 BAB I

0 0 11