Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penegakan Hukum terhadap Tindak Pidana di Bidang Kehutanan: studi kasus di Polres Wonogiri T1 312012029 BAB II

(1)

18

BAB II

KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

A.

KERANGKA TEORI

1. Pengertian Tindak Pidana Kehutanan

Tindak Pidana Kehutanan adalah meliputi serangkaian pelanggaran peraturan yang mengakibatkan exploitasi sumber daya hutan yang berlebihan. Rangkaian kegiatan dalam bidang kehutanan dalam rangka pemanfaatan dan pengelolaan hasil hutan kayu yang bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku dan berpotensi merusak hutan.1

Menurut Haba (2003: 1), Tindak pidana kehutanan adalah “suatu rangkaian kegiatan yang saling terkait, mulai dari produsen kayu illegal yang melakukan penebangan kayu secara illegal hingga ke pengguna atau konsumen bahan baku kayu. Kayu tersebut kemudian melalui proses penyaringan yang illegal, pengangkutan illegal dan melalui proses penjualan yang illegal.”

Pengertian tindak pidana kehutanan secara umum adalah penebangan kayu yang dilakukan, yang bertentangan dengan hukum atau tidak sah menurut hukum. Menurut LSM Indonesia Telapak Tahun 2002, Pengertian tindak pidana kehutanan adalah operasi atau kegiatan yang belum mendapat izin dan yang merusak.2

Menurut Forest Watch Indonesia dan Global Forest Watch, Pengertian tindak pidana kehutanan adalah semua kegiatan kehutanan yang berkaitan dengan pemanenan dan pengelolaan, serta perdagangan kayu yang tidak sesuai dengan hukum

1

Teguh Prasetyo et.al., Korupsi dan Illegal Logging, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008 h. 13.


(2)

Indonesia. Lebih lanjut Global Forest Watch mengemukakan bahwa tindakan pidana kehutanan terbagi atas dua, yang pertama dilakukan oleh operator yang sah yang melanggar ketentuan-ketentuan dalam izin yang dimilikinya dan yang kedua melibatkan pencuri kayu, pohon ditebang oleh orang yang sama sekali tidak mempunyai hak legal untuk menebang pohon.3

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian tindak pidana kehutanan adalah rangkaian kegiatan penebangan dan pengangkutan kayu ke tempat pengolahan hingga kegiatan ekspor kayu yang tidak mempunyai izin dari pihak yang berwenang, sehingga tidak sah atau bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku dan dipandang sebagai suatu perbuatan yang dapat merusak hutan.4

Berikut ini akan dideskripsikan ketentuan pidana dari perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dalam penegakan hukum pidana di bidang kehutanan yaitu antara lain:

a. Kebijakan Formulasi Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan

UU Dibidang Kehutanan Yang Terkait dengan Tindak Pidana di Bidang Kehutanan:

1) UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

Rumusan definisi Tindak Pidana Kehutanan secara eksplisit tidak ditemukan dalam pasal-pasal UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, namun pidana di bidang kehutanan bisa diidentikkan dengan tindakan atau perbuatan yang berakibat merusak hutan, untuk itu mengenai perusakan hutan hal ini ditegaskan dalam pasal 50 ayat (2) UU. No. 41 Th. 1999.

Perusakan hutan menurut UU No. 41 tahun 1999 dalam penjelasan

Pasal 50 ayat (2), yaitu bahwa : “Yang dimaksud dengan kerusakan adalah

terjadinya perubahan fisik, sifat fisik atau hayatinya, yang menyebabkan

3Ibid

., h 14.

4Ibid


(3)

hutan tersebut terganggu atau tidak dapat berperan sesuai dengan

fungsinya.”

Rumusan definisi Tindak Pidana bidang kehutanan secara eksplisit tidak ditemukan dalam pasal-pasal UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, namun tindak pidana bidang kehutanan bisa diidentikkan dengan tindakan atau perbuatan yang berakibat merusak hutan, untuk itu mengenai perusakan hutan hal ini ditegaskan dalam pasal 50 ayat (2) UU. No. 41 Th. 1999.

Perusakan hutan menurut UU No. 41 tahun 1999 dalam penjelasan Pasal 50 ayat (2), yaitu bahwa : “Yang dimaksud dengan kerusakan adalah terjadinya perubahan fisik, sifat fisik atau hayatinya, yang menyebabkan hutan tersebut terganggu atau tidak dapat berperan sesuai dengan

fungsinya.”

Tindak pidana di bidang kehutanan menurut Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dirumuskan dalam Pasal 50 dan ketentuan pidana diatur dalam Pasal 78. Yang menjadi dasar adanya perbuatan pidana kehutanan adalah karena adanya kerusakan hutan. Dapat disimpulkan unsur-unsur yang dapat dijadikan dasar hukum untuk penegakan hukum pidana terhadap kejahatan bidang kehutanan yaitu sebagai berikut :

(1) Setiap orang pribadi maupun badan hukum dan atau badan usaha; (2) Melakukan perbuatan yang dilarang baik karena sengaja maupun

karena kealpaannya;


(4)

(a) Merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan

(b) Kegiatan yang keluar dari ketentuan perizinan sehingga merusak hutan.

(c) Melanggar batas-batas tepi sungai, jurang, dan pantai yang ditentukan Undang-undang.

(d) Menebang pohon tanpa izin.

(e) Menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga sebagai hasil hutan illegal.

(f) Mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan tanpa SKSHH. (g) Membawa alat-alat berat dan alat-alat lain pengelolaan hasil hutan

tanpa izin.

Disamping ketentuan pidana sebagaimana disebutkan dalam rumusan pasal 78, kepada pelaku dikenakan pula pidana tambahan berupa ganti rugi dan sanksi administratif berdasarkan pasal 80 ; Melihat dari ancaman pidananya maka pemberian sanksi ini termasuk kategori berat, dimana terhadap pelaku dikenakan pidana pokok berupa 1). Pidana penjara. 2) denda dan pidana tambahan perampasan barang semua hasil hutan dan atau alat-alat termasuk alat angkutnya. Berdasarkan penjelasan umum paragraf ke-8 UU No. 41 Tahun 1999 maksud dan tujuan dari pemberian sanksi pidana yang berat sebagaimana rumusan pasal 78 UU No. 41 Th. 1999 adalah terhadap setiap orang yang melanggar hukum di bidang kehutanan ini adalah agar dapat menimbulkan efek jera bagi pelanggar hukum di bidang kehutanan itu. Efek jera yang dimaksud bukan


(5)

hanya kepada pelaku yang telah melakukan tindak pidana kehutanan, akan tetapi kepada orang lain yang mempunyai kegiatan dalam bidang kehutanan menjadi enggan melakukan perbuatan melanggar hukum karena sanksi pidananya berat.

2) UU No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya

Undang-undang No. 5 Tahun 1990 ini, mengatur dua macam perbuatan pidana yaitu kejahatan dan pelanggaran, sedangkan sanksi pidana ada tiga macam yaitu pidana penjara, pidana kurungan dan pidana denda. Sanksi pidana terhadap kejahatan diatur dalam Pasal 40 ayat (1) dan (2) dan sanksi pidana terhadap pelanggaran diatur dalam Pasal 40 ayat (3) dan (4) No.5 Tahun 1990, sedangkan unsur-unsur perbuatan pidananya diatur dalam Pasal 19, 21 dan Pasal 33 ; Melihat dari rumusan ketentuan pidana dalam undang-undang tersebut maka dapat dipahami bahwa pasal-pasalnya hanya secara khusus terhadap kejahatan dan pelanggaran terhadap kawasan hutan tertentu dan jenis tumbuhan tertentu, sehingga untuk diterapkan terhadap kejahatan kehutanan hanya sebagai instrumen pelengkap yang hanya dapat berfungsi jika unsur-usur tersebut terpenuhi.

3) Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004

Terkait dengan ketentuan sanksi pidana terkait pengrusakan dibidang Kehutanan, terdapat dalam BAB V Sanksi Pidana. Terdapat


(6)

dalam Pasal 42 Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 12 ayat (2), diancamdengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) sebagaimana dimaksud pada Pasal 78 ayat (7) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Pasal 43 ; Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 14 ayat (2), diancamdengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) sebagaimana dimaksud pada Pasal 78 ayat (2) Undangundang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Pasal 44 ; (1) Semua hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan sebagaimana dimaksud pada Pasal 12 ayat (2) dirampas untuk Negara. (2) Alat-alat termasuk alat angkut yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada Pasal 78 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dirampas untuk negara.

b. Ketentuan Pidana Diluar Bidang Kehutanan Yang Terkait Dengan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan

Tindak pidana terhadap kehutanan adalah tindak pidana khusus yang diatur dengan ketentuan pidana. Ada dua kriteria yang dapat menunjukan


(7)

hukum pidana khusus itu, yaitu pertama, orang-orangnya atau subjeknya yang khusus, dan kedua perbuatannya yang khusus (bijzonder lijk feiten)5. Hukum pidana khusus yang subjeknya khusus maksudnya adalah subjek atau pelakunya yang khusus seperti hukum pidana militer yang hanya untuk golongan militer. Dan kedua hukum pidana yang perbuatannya yang khusus maksudnya adalah perbuatan pidana yang dilakukan khusus dalam bidang tertentu seperti hukum fiskal yang hanya untuk delik-delik fiskal. Kejahatan kehutanan merupakan tindak pidana khusus yang dalam kategori hukum pidana yang perbuatannya khusus, yaitu untuk delik-delik kehutanan yang menyangkut pengelolaan hasil hutan kayu.

Pada dasarnya kejahatan kehutanan, secara umum kaitannya dengan unsur-unsur tindak pidana umum dalam KUHP, dapat dikelompokan ke dalam beberapa bentuk kejahatan secara umum yaitu:

1) Pengrusakan (Pasal 406 sampai dengan pasal 412)

Unsur pengrusakan terhadap hutan dalam kejahatan kehutanan berangkat dari pemikiran tentang konsep perizinan dalam sistem pengeloalaan hutan yang mengandung fungsi pengendalian dan pengawasan terhadap hutan untuk tetap menjamin kelestarian fungsi hutan. Tindak pidana bidang kehutanan pada hakekatnya merupakan kegiatan yang menyalahi ketentuan perizinan yang ada baik tidak memiliki izin secara resmi maupun yang memiliki izin namun melanggar dari ketentuan yang ada dalam perizinan itu seperti over atau penebangan diluar areal konsesi yang dimiliki.

5


(8)

2) Pencurian (pasal 362 KUHP)

Kegiatan penebangan kayu dilakukan dengan sengaja dan tujuan dari kegiatan itu adalah untuk mengambil manfaat dari hasil hutan berupa kayu tersebut (untuk dimiliki). Akan tetapi ada ketentuan hukum yang mangatur tentang hak dan kewajiban dalam pemanfaatan hasil hutan berupa kayu, sehingga kegiatan yang bertentangan dengan ketentuan itu berarti kegiatan yang melawan hukum. Artinya menebang kayu di dalam areal hutan yang bukan menjadi haknya menurut hukum.

3) Penyelundupan

Hingga saat ini, belum ada peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur tentang penyelundupan kayu, bahkan dalam KUHP yang merupakan ketentuan umum terhadap tindak pidana pun belum mengatur tentang penyelundupan. Selama ini kegiatan penyelundupan sering hanya dipersamakan dengan delik pencurian oleh karena memiliki persamaan unsur yaitu tanpa hak mengambil barang milik orang lain. Berdasarkan pemahaman tersebut, kegiatan penyelundupan kayu (peredaran kayu secara illegal) menjadi bagian dari kejahatan illegal logging dan merupakan perbuatan yang dapat dipidana.

Namun demikian, Pasal 50 (3) huruf f dan h UU No. 41 Tahun 1999, yang mengatur tentang membeli, menjual dan atau mengangkut hasil hutan yang dipungut secara tidak sah dapat diinterpretasikan sebagai suatu perbuatan penyelundupan kayu. Akan tetapi ketentuan tersebut tidak jelas mengatur siapa pelaku kejahatan tersebut. Apakah pengangkut/sopir/nahkoda kapal atau pemilik kayu. Untuk tidak


(9)

menimbulkan kontra interpretasi maka unsur-unsur tentang penyelundupan ini perlu diatur tersendiri dalam perundang-undangan tentang ketentuan pidana kehutanan.

4) Pemalsuan (pasal 261-276 KUHP)

Pemalsuan surat atau pembuatan surat palsu menurut penjelasan Pasal 263 KUHP adalah membuat surat yang isinya bukan semestinya atau membuat surat sedemikian rupa, sehingga menunjukkan seperti aslinya. Surat dalam hal ini adalah yang dapat menerbitkan : suatu hal, suatu perjanjian, pembebasan utang dan surat yang dapat dipakai sebagai suatu eterangan perbuatan atau peristiwa. Ancaman pidana terhadap pemalsuan surat menurut pasal 263 KUHP ini adalah penjara paling lama 6 tahun, dan Pasal 264 paling lama 8 tahun. Dalam praktik-praktik kejahatan kehutanan, salah satu modus operandi yang sering digunakan oleh pelaku dalan melakukan kegiatannya adalah pemalsuan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH), pemalsuan tanda tangan, pembuatan stempel palsu, dan keterangan Palsu dalam SKSHH. Modus operandi ini belum diatur secara tegas dalam undang-undang kehutanan.

5) Penggelapan (pasal 372 - 377KUHP)

Kejahatan bidang kehutanan antara lain : seperti over cutting yaitu penebangan di luar areal konsesi yang dimiliki, penebangan yang melebihi target kuota yang ada (over capsity), dan melakukan penebangan sistem terbang habis sedangkan ijin yang dimiliki adalah sistem terbang pilih,


(10)

mencantuman data jumlah kayu dalam SKSH yang lebih kecil dari jumlah yang sebenarnya.

6) Penadahan (pasal 480 KUHP)

Dalam KUHP penadahan yang kata dasarnya tadah adalah sebutan lain dari perbuatan persengkokolan atau sengkongkol atau pertolongan jahat. Penadahan dalam bahasa asingnya “heling” (Penjelasan Pasal 480

KUHP). Lebih lanjut dijelaskan oleh R. Soesilo6 bahwa: “perbuatan itu dibagi menjadi, perbuatan membeli atau menyewa barang yang dietahui atau patut diduga hasil dari kejahatan, dan perbuatan menjual, menukar atau menggadaikan barang yang diketahui atau patut diduga dari hasil kejahatan”. Ancaman pidana dalam Pasal 480 itu adalah paling lama 4 tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 900 (sembilan ratus rupiah). Modus ini banyak dilakukan dalam transaksi perdagangan kayu illegal

baik di dalam maupun diluar negeri, bahkan terdapat kayu-kayu hasil kejahatan kehutanan yang nyata-nyata diketahui oleh pelaku baik penjual maupun pembeli. Modus inipun telah diatur dalam Pasal 50 ayat (3) huruf f UU No. 41 Tahun 1999.

2. Teori Penegakan Hukum

a. Pengertian Penegakan Hukum

Penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial menjadi kenyataan. Jadi penegakan hukum pada hakikatnya adalah proses perwujudan ide-ide.

6Ibid


(11)

Penegakan hukum merupakan usaha untuk mewujudkan ide-ide dan konsep konsep hukum yang diharapakan rakyat menjadi kenyataan. Penegakan hukum merupakan suatu proses yang melibatkan banyak hal.7

Menurut Soerjono Soekanto, penegakan hukum adalah “kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan didalam kaidah-kaidah/pandangan nilai yang mantap dan mengejewantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.”

Hakikatnya penegakan hukum mewujudkan nilai-nilai atau kaedah-kaedah yang memuat keadilan dan kebenaran, penegakan hukum bukan hanya menjadi tugas dari para penegak hukum yang sudah di kenal secara konvensional, tetapi menjadi tugas dari setiap orang. Meskipun demikian, dalam kaitannya dengan hukum publik pemerintahlah yang bertanggung jawab.

Penegakan hukum dibedakan menjadi dua, yaitu:8 a. Ditinjau dari sudut subyeknya:

Dalam arti luas, proses penegakkan hukum melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normative atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum.

Dalam arti sempit, penegakkan hukum hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya.

b. Ditinjau dari sudut obyeknya, yaitu dari segi hukumnya:

Dalam arti luas, penegakkan hukum yang mencakup pada nilai-nilai keadilan yang di dalamnya terkandung bunyi aturan formal maupun nilai-nilai

7

Dellyana Shant, Konsep Penegakan Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1988, hal. 32

8Ibid


(12)

keadilan yang ada dalam bermasyarakat. Dalam arti sempit, penegakkan hukum itu hanya menyangkut penegakkan peraturan yang formal dan tertulis.

Penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial menjadi kenyataan. Jadi penegakan hukum pada hakikatnya adalah proses perwujudan ide-ide.

Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman pelaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.9

Joseph Goldstein membedakan penegakan hukum pidana menjadi 3 bagian yaitu:10

a. Total enforcement, yakni ruang lingkup penegakan hukum pidana sebagaimana yang dirumuskan oleh hukum pidana substantif (subtantive law of crime). Penegakan hukum pidana secara total ini tidak mungkin dilakukan sebab para penegak hukum dibatasi secara ketat oleh hukum acara pidana yang antara lain mencakup aturanaturan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan pendahuluan. Disamping itu mungkin terjadi hukum pidana substantif sendiri memberikan batasan-batasan. Misalnya dibutuhkan aduan terlebih dahulu sebagai syarat penuntutan pada delik-delik aduan (klacht delicten). Ruang lingkup yang dibatasi ini disebut sebagai area of no enforcement.

b. Full enforcement, setelah ruang lingkup penegakan hukum pidana yang bersifat total tersebut dikurangi

area of no enforcement dalam penegakan hukum ini para penegak hukum diharapkan penegakan hukum secara maksimal.

c. Actual enforcement, menurut Joseph Goldsein full enforcement ini dianggap not a realistic expectation,

sebab adanya keterbatasan-keterbatasan dalam bentuk waktu, personil, alat-lat investigasi, dana dan sebagainy, yang kesemuanya mengakibatkan keharusan

9Ibid.,

h. 37

10Ibid.,


(13)

dilakukannya discretion dan sisanya inilah yang disebut dengan actual enforcement.

Sebagai suatu proses yang bersifat sistemik, maka penegakan hukum pidana menampakkan diri sebagai penerapan hukum pidana (criminal law application) yang melibatkan pelbagai sub sistem struktural berupa aparat kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan. Termasuk didalamnya tentu saja lembaga penasehat hukum. Dalam hal ini penerapan hukum haruslah dipandang dari 3 dimensi:

a. Penerapan hukum dipandang sebagai sistem normatif (normative system) yaitu penerapan keseluruhan aturan hukum yang menggambarkan nilai-nilai sosial yang didukung oleh sanksi pidana.

b. Penerapan hukum dipandang sebagai sistem administratif (administrative system) yang mencakup interaksi antara pelbagai aparatur penegak hukum yang merupakan sub sistem peradilan diatas.

c. Penerapan hukum pidana merupakan sistem sosial (social system), dalam arti bahwa dalam mendefinisikan tindak pidana harus pula diperhitungkan pelbagai perspektif pemikiran yang ada dalam lapisan masyarakat.

b. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum

Faktor faktor yang mempengaruhi penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto adalah:11

1) Faktor Hukum

Praktik penyelenggaraan hukum di lapangan ada kalanya terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hal ini disebabkan oleh konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak, sedangkan kepastian hukum merupakan suatu prosedur yang telah ditentukan secara normatif. Justru itu, suatu kebijakan atau tindakan yang tidak sepenuhnya berdasar hukum merupakan sesuatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum. Maka pada hakikatnya penyelenggaraan hukum bukan hanya mencakup law enforcement, namun juga peace maintenance, karena penyelenggaraan hukum sesungguhnya merupakan

11

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 2013, h. 8-9.


(14)

proses penyerasian antara nilai kaedah dan pola perilaku nyata yang bertujuan untuk mencapai kedamaian.

2) Faktor Penegak Hukum

Fungsi hukum, mentalitas atau kepribadian petugas penegak hukum memainkan peranan penting, kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas petugas kurang baik, ada masalah. Oleh karena itu, salah satu kunci keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian penegak hokum.

3) Faktor Sarana atau Fasilitas Pendukung

Faktor sarana atau fasilitas pendukung mencakup perangkat lunak dan perangkat keras, salah satu contoh perangkat lunak adalah pendidikan. Pendidikan yang diterima oleh Polisi dewasa ini cenderung pada hal-hal yang praktis konvensional, sehingga dalam banyak hal polisi mengalami hambatan di dalam tujuannya, diantaranya adalah pengetahuan tentang kejahatan computer, dalam tindak pidana khusus yang selama ini masih diberikan wewenang kepada jaksa, hal tersebut karena secara teknis yuridis polisi dianggap belum mampu dan belum siap. Walaupun disadari pula bahwa tugas yang harus diemban oleh polisi begitu luas dan banyak.

4) Faktor Masyarakat

Penegak hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Setiap warga masyarakat atau kelompok sedikit banyaknya mempunyai kesadaran hukum, persoalan yang timbul adalah taraf kepatuhan hukum, yaitu kepatuhan hukum yang tinggi, sedang, atau kurang. Adanya derajat kepatuhan hukum masyarakat terhadap hukum, merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan. 5) Faktor Kebudayaan

Berdasarkan konsep kebudayaan sehari-hari, orang begitu sering membicarakan soal kebudayaan. Kebudayaan menurut Soerjono Soekanto, mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat, yaitu mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, dan menentukan sikapnya kalau mereka berhubungan dengan orang lain. Dengan demikian, kebudayaan adalah suatu garis pokok tentang perikelakuan yang menetapkan peraturan mengenai apa yang harus dilakukan, dan apa yang dilarang.


(15)

3. Tugas Pokok Kepolisian

Adapun tugas pokok Kepolisian Republik Indonesia adalah sebagai berikut:12

a. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;

b. menegakkan hukum; dan

c. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Mendasari peranan Polri tersebut di atas, bila diperhatikan justru lebih banyak melakukan perannya dalam bidang-bidang non represif dari pada melakukan tindakan yang represif seperti memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, karena bagaimanapun penegakan hukum melalui pendekatan represif jika dibandingkan dengan non represif jauh lebih berhasil.

Terkait dengan peranan Polri dalam penangangan konflik, dalam hal ini Polri berangkat dari pendekatan-pendekatan yang dilakukan melalui pre-emtif, preventif, dan represif. Sebelum melakukan tindakan-tindakan yang bersifat pre-emtif. Polri selalu melakukan upaya mengindetifikasi dengan menggunakan teori gunung es yaitu diusahakan mencari akar permasalahan yang mendalam dari pada setiap timbulnya konflik sosial. Pekerjaan ini bukanlah mudah, karena permasalahan yang ada di dalam masyarakat sebagai sumber terjadinya konflik sosial relatif cukup heteronom dan sekaligus memiliki karakteristik tersendiri sesuai dengan budaya, adat istiadat, pendididikan , dan lain-lain. Oleh karena itu, dalam mencari dan mengetahui

12

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pasal 13.


(16)

secara mendalam akar persamalahan timbulnya konflik sosial yang ada, harus dilakukan secara konprehensif dan terintegasi antara berbagai fungsi yang terkait/terpadu di dalamnya (tokoh masyarakat, pemerintah daerah/pusat, berbagai departemen, Polri, dan TNI), lembaga-lembaga peneliti (lembaga formal maupun informal) . Tujuannya untuk mensinergikan secara sistematis sesuai dengan Tupoksi masing-masing.

Realisasi langkah-langkah peran Polri dalam menyelesaiakan konflik sosial dapat dilakukan pada tahap prakonflik, saat konflik dan pasca konflik.

Pertama, pada tataran pra konflik. Tataran ini merupakan kondisi sebelum terjadinya konflik terbuka namun sudah ada potensi konflik dalam masyarakat. Bentuk tindakan kepolisian adalah pre-emtif dan preventif yang bertujuan untuk mengelola potensi konflik yang ada agar tidak berkembang menjadi konflik sosial secara terbuka. Kedua, pada saat kondisi konflik sosial terjadi. Tindakan kepolisian yang dilakukan berbentuk repressif baik bersifat yusticial maupun nonjusticial. Tindakan yusticial dilakukan merupa penyidikan tindak pidana yang telah mencul dalam konflik terbuka secara selektif. Sedangkan tindakan represif non yusticial dapat dilakukan untuk tujuan untuk menghentikan konflik sosial terbuka walaupun sifatnya sementara yaitu melalui tindakan melokalisasi areal konflik, membubarkan kerumunan massa, melakukan razia, dan lain-lain.

Ketiga, pada kondisi pasca konflik sosial. Dilaksanakan setelah selesai konflik sosial terbuka. Tindakan kepolisian dalam situasi ini dilakukan dengan tujuan menciptakan kembali kondisi setelah konflik terbuka terjadi. Tujuannya adalah untuk menciptakan kembali kondisi sosial yang aman/kondusif,


(17)

mewujudkan rasa keadilan dari masyarakat yang berkonflik. Tindakan kepolisian yang dilakukan mulai dari tahap pre-emptif, preventif dan represif dalam penyelesaian konflik sosial pada dasarnya merupakan fluktuasi tindakan yang mengarah pada penciptaan ketertiban umum. Dikatakan sebagai fluktuasi tindakan, karena Polri dalam melakukan tidanakan pre-emtif dan preventif berawal dari adanya kondisi sosial dalam masyarakat yang menyimpan potensi konflik, namun belum muncul dalam bentuk konflik terbuka. Pada kondisi ini masyarakat masih dapat melakukan aktivitas sosial sehari-hari, kemudian ketika terjadi konflik terbuka, kondisi sosial tersebut menjadi terganggu dan memunculkan tindak pidana.

Oleh karena itu, diperlukan tindakan represif yang diharapkan dapat mengembalikan kondisi sosial masyarakat menjadi kondusif. Kondisi pasca konflik sosial yang menjadi sasaran upaya polri adalah kembalinya aktivitas sosial secara normal serta terujudnya ketertiban umum melalui upaya pembinaan ketertiban masyarakat.13

4. Restorative Justice (Penyelesaian Masalah Pidana di Luar Pengadilan)

Restorative Justice mengandung pengertian yaitu: "suatu pemulihan hubungan dan penebusan kesalahan yang ingin dilakukan oleh pelaku tindak pidana (keluarganya) terhadap korban tindak pidana tersebut (keluarganya) (upaya perdamaian) di luar pengadilan dengan maksud dan tujuan agar permasalahan hukum yang timbul akibat terjadinya perbuatan pidana tersebut dapat diselesaikan dengan baik dengan tercapainya persetujuan dan

13

http://gabebhara.blogspot.co.id/2011/08/peranan-kepolisian-negara-republik.html, diakses 3 Maret 2016, jam 17.11.


(18)

kesepakatan diantara para pihak". Restorative Justice pada prinsipnya merupakan suatu falsafah (pedoman dasar) dalam proses perdamaian di luar peradilan dengan menggunakan cara mediasi atau musywarah dalam mencapai suatu keadilan yang diharapkan oleh para pihak yang terlibat dalam hukum pidana tersebut yaitu pelaku tindak pidana (keluarganya) dan korban tindak pidana (keluarganya) untuk mencari solusi terbaik yang disetujui dan disepakati para pihak.14

Restorative justice dikatakan sebagai falsafah (pedoman dasar) dalam mencapai keadilan yang dilakukan oleh para pihak diluar peradilan karena merupakan dasar proses perdamaian dari pelaku tindak pidana (keluarganya) dan korban (keluarganya) akibat timbulnya korban/kerugian dari perbuatan pidana tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Restorative Justice

mengandung prinsip-prinsip dasar meliputi:15

a. Mengupayakan perdamaian di luar pengadilan oleh pelaku tindak pidana (keluarganya) terhadap korban tindak pidana (keluarganya).

b. Memberikan kesempatan kepada pelaku tindak pidana (keluarganya) untuk bertanggung jawab menebus kesalahannya dengan cara mengganti kerugian akibat tindak pidana yang dilakukannya.

c. Menyelesaikan permasalahan hukum pidana yang terjadi diantara pelaku tindak pidana dan korban tindak pidana tersebut apabila tercapai persetujuan dan kesepakatan diantara para

14

http://edwinnotaris.blogspot.co.id/2013/09/restorative-justice-pengertian-prinsip.html, diakses 3 Maret 2016, jam 17.45.

15


(19)

B.

HASIL PENELITIAN

1. Deskripsi Umum

Mengingat maraknya tindak pidana di bidang kehutanan di Indonesia yang secara umum menarik kembali bahwa kesadaran akan ketaatan terhadap hukum dan kesadaran akan kelestarian alam yang dilakukan masyarakat Indonesia masih sangat rendah. Dilihat dari prosentase dari tahun ketahun tindak pidana di bidang kehutanan di Indonesia mengalami peningkatan yang siknifikan. Seperti yang terjadi di Kabupaten Wonogiri yang sebagian besar wilayahnya adalah kawasan Hutan lindung menjadi marak terjadinya tindak pidana bidang kehutanan.

Menurut Badan Pusat Statistik Propinsi Jawa Tengah Tahun 2013 bahwa luas wilayah Kabupaten Wonogiri ialah 1.822,37 km2, sedangkan luas kawasan hutan yang membentang luas di daerah Kabupaten Wonogiri ialah 20,094.56 ha, sebagian besar berupa hutan pinus dan hutan jati.16

Sedangkan jenis hutan di wilayah Wonogiri tergolong dalam jenis Hutan Lindung mengingat fungsi dan kegunaanya. Dan untuk di Wilayah Wonogiri terdapat 4 PTP yang tersebar dianaranya ; 1. PTP Kota Wonogiri, 2. PTP Jatisrono, 3. PTP Baturetno, 4. PTP Purwantoro. Bisa dilihat bahwa hampir seluruh wilayah Kabupaten Wonogiri ialah kawasan hutan, tidak menutup kemungkinan bahwa daerah yang sebagian besar adalah kawasan hutan sangat marak terjadi tindak pidana di bidang kehutanan.

16


(20)

2. Upaya Kepolisian Resor Wonogiri dalam Melakukan Penegakan Terhadap Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan di Wilayah Hutan Wonogiri

a. Penegakan Secara Represif

Upaya Kepolisian Resor Wonogiri dalam upaya melakukan penegakan dan pencegahan terhadap tindak pidana di bidang kehutanan bisa dilihat dari Anev Tindak Pidana Bulan Tahun 2013-2014 SAT RESKRIM POLRES WONOGIRI, bahwa jenis kasus tindak pidana di bidang kehutanan ada 3 kasus yang sudah diproses dan 2 diantaranya sudah dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Wonogiri. Dari ketiga kasus yang ditemukan dianataranya sebagai berikut ;

1) Kasus Pertama a) Kasus Posisi

Menurut Laporan Polisi Nomor:17 LP/B/02/VI/2013/Sek. Jatipurno, tanggal 13 Juni 2013, Terjadi di Hutan Pinus Seper Balepanjang Jatipurno Petak 44 milik Perhutani Plarar BKPH Lawu Selatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri. Bahwa tersangka Tarno als Bege dan sdr Slamet als Gamok Pada hari Kamis 13 Juni 2013, Pukul 12.00 WIB telah terjadi pencurian Kayu Pinus. Para Pelaku Menebang Pohon Pinus sebanyak 3 (tiga) pohon senilai Rp.3000.000,00 dengan menggunakan gergaji, dan keesokan harinya Jumat 14 Juni 2013 sekitar Pukul 04.30 WIB Para pelaku mengangkutnya dengan menggunakan KBM Truk ke arah Jeporo Kemudian para pelaku ditangkap oleh dua anggota Polsek Jatipurno karena mendapat laporan dari pihak korban. Melanggar Pasal 50 ayat (3) huruf e

17


(21)

Jo Pasal 78 ayat (5) UU No.41 Tahun 1999 Jo UU No.19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang Jo Pasal 55 ayat (1) KUHP.

b) Dakwaan Jaksa Penuntut Umum

Berdasarkan Surat dari Kejaksaan Negeri Wonogiri Nomor: 1208/0.3.335/Euh.1/07/2013, tanggal 10 Juli 2013, sesuai kronologis peristiwa tersebut oleh negara melalui Jaksa Penuntut Umum memberikan dakwaan terhadap terdakwa yang diduga melanggar ketentuan Pasal 50 ayat (3) huruf h jo Pasal 78 ayat (7) Undang-undang RI No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan:

“Setiap orang dilarang: mengangkut, menguasai, atau memiliki

hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan

sahnya hasil hutan (SKSHH).” Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf h, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

c) Amar Putusan

Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas dalam amar putusannya pengadilan tingkat banding dalam hal ini Pengadilan Tinggi Semarang yang mengadili perkara tersebut dalam amar putusannya memutuskan: (1) Menerima permintaan banding dari Terdakwa tersebut


(22)

(2) Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Wonogiri tanggal 10 Agustus 2013, No. 104/Pid.B.2013/PN.Wng, yang dimohonkan banding tersebut kecuali mengenai pidana yang dijatuhkan sebagai berikut: (a) Menghukum Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara

selama 2 (dua) tahun;

(b)Menyatakan penahanan Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;

(c) Membebankan kepada Terdakwa untuk membayar biaya perkara dalam kedua tingkat peradilan yang dalam tingkat banding sebesar Rp. 2.500.-(dua ribu lima ratus rupiah);

2) Kasus Kedua a) Kasus Posisi

Menurut Laporan Polisi Nomor:18

LP/B/01/I/2013/Sek.Eromoko, tanggal 15 Januari 2013, Terjadi di Petak 50 A RPH Eromoko Dusun Sindukarto, Kecamatan Eromoko,Kabupaten Wonogiri. Pada hari Minggu 13 Januari 2013 sekitar jam 17.00 WIB tersangka Paiman als Gendut, bersama-sama dengan Srianto als Celeng, Sakim als Kemprot dan seorang lagi belum tertangkap/DPO, telah menebang, memanen atau memungut hasil hutan berupa 14 potong kayu kayu mahoni yang ditaksir sekitar Rp.7.208.000,00 dihutan tanpa ijin dari pihak yang berwenang. Melanggar Pasal 50 ayat (3) huruf e Jo Pasal 78 ayat (5) UU No.41

18


(23)

Tahun 1999 Jo UU No.19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang Jo Pasal 55 ayat (1) KUHP.

b) Dakwaan Jaksa Penuntut Umum

Berdasarkan Surat dari Kejaksaan Negeri Wonogiri Nomor: 29/0.3.35/Euh.1/10/2013, tanggal 11 Oktober 2013, sesuai kronologis peristiwa tersebut oleh negara melalui Jaksa Penuntut Umum memberikan dakwaan terhadap terdakwa yang diduga melanggar ketentuan Pasal 50 ayat (3) huruf h jo Pasal 78 ayat (7) Undang-undang RI No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan :

“Setiap orang dilarang: mengangkut, menguasai, atau memiliki

hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat

keterangan sahnya hasil hutan (SKSHH).” Barang siapa dengan

sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf h, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

c) Amar Putusan

Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas dalam amar putusannya pengadilan tingkat banding dalam hal ini Pengadilan Tinggi Semarang yang mengadili perkara tersebut dalam amar putusannya memutuskan:


(24)

(2) Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Wonogiri tanggal 25 November 2013, No. 128/Pid.B.2013/PN.Wng, yang dimohonkan banding tersebut kecuali mengenai pidana yang dijatuhkan Sebagai berikut:

(a) Menghukum Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun;

(b) Menyatakan penahanan Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;

(c) Membebankan kepada Terdakwa untuk membayar biaya perkara dalam kedua tingkat peradilan yang dalam tingkat banding sebesar Rp. 2.500.-(dua ribu lima ratus rupiah);

3) Kasus Ketiga

Terjadi di Petak 50A RPH Eromoko di Dusun Sindukarto, Kecamatan Eromoko, Kabupaten Wonogiri.19Kasus yang ketiga ini kepolisian hanya menemukan barang bukti berupa batang pohon bekas potongan yang diduga telah terjadi penebangan, memanen atau memungut hasil hutan tanpa ijin dari pihak yang berwenang. Dari data yang diuraikan diatas dapat dilihat tindakan penegakan secara Represif yang telah dilakukan Kepolisian Resor Wonogiri dalam hal ini SATRESKRIM Polres Wonogiri.

Namun dalam kenyataan dilapangan kasus tindak pidana Kehutanan yang terjadi di hutan Wonogiri periode Tahun 2013-2014 dari

19

Berita Acara Penyerahan Tersangka Dan Barang Bukti, KASAT RESKRIM KEPOLISIAN RESOR WONOGIRI 2013.


(25)

data Polisi Hutan Polres Wonogiri ada 8 kasus yang ditemukan di lapangan, tetapi dengan ringannya barang bukti yang ditemukan (mengambil ranting pohon, mengambil pohon dengan ukuran kecil yang sudah kering atau mati di kawasan hutan lindung milik Perhutani), dan tidak adanya unsur sengaja dalam kasus yang ditemukan maka secara langsung Petugas Perhutani, berkerjasama dengan Polisi Hutan yang pada saat itu bertugas melakukan penindakan berupa peringatan, teguran dan diberikan informasi mengenai larangan menebang, memanen dalam bentuk apapun di kawasan hutan lindung.20 Lihat data tabel di bawah ini

Tabel 2.1

Data Jumlah Pelanggaran Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan Ringan POLHUT Polres Wonogiri Tahun 2013-2014

NO Nama

Pelaku

Waktu Kejadian

Barang Bukti, Kerugian

TKP Ket

1. Agus Alias Cungkring

4 Februari 2013

5 Batang kayu pinus kering , diameter 5 Cm. Panjang 1 m, Kerugian ± Rp 25.000,00

Petak 10 A, Desa. Sindukarto, Kec. Eromoko, Kab. Wonogiri. Damai

2. Supriyanto 15 April 2013

10 Batang Ranting pinus, diameter 5 Cm. Panjang 1 m, Kerugian ± Rp 50.000,00

Petak 5 A, Desa Baran, Kec. Eromoko, Kab.

Wonogiri.

Damai

3. Jumikem 10 Mei 2013 1 Ikat Ranting Kayu pinus yang terdiri dari 40 batang ranting pinus, diameter 10 Cm. Kerugian

Petak 50 A, Desa. Sindukarto, Kec. Eromoko, Kab. Wonogiri. Damai 20


(26)

± Rp70.000,00

4. Parimin, Sumarjo

5 Oktober 2013

1 botol ukuran ½ liter Getah Pinus.

Kerugian ± Rp 7.500,00 Hutan Seper Balepanjang, Jatipurno, Jatisrono, Kab Wonogiri. Damai

5. Manto, Yadi

25 Januari 2014

1 botol ukuran 1 liter getah pinus.

Kerugian ± Rp 15.000,00 Hutan Pinus, Desa. Gumewang, Kec. Wuryantoro, Kab. Wonogiri. Damai

6. Molyadi 10 Maret 2014 5 batang tunggak pinus, diameter 30 Cm. Kerugian ± Rp 60.000,00 Hutan Pinus Desa Pasekan, Petak 3 A, Kec. Eromoko, Kab.

Wonogiri.

Damai

7. Sarimin 18 Juli 2014 3 ikat Ranting kayu pinus masing-masing terdiri 30 batang ranting. Kerugian ± Rp 95.000,00 Hutan Pinus Gunung Belah, Betal, Batu Retno, Kab. Wonogiri Damai

8. Katijo 25 Desember

2014

3 batang pohon pinus

berdiameter 6 Cm. Kerugian ± Rp

55.000,00

Petak 30 B Sindukarto, Eromoko, Kab Wonogiri.

Damai

Sumber: Unit POLHUT Polres Wonogiri, Tanggal ( 31 Juli 2015)

b. Penyelesaian Masalah Pidana di Luar Pengadilan (Tanpa Melibatkan Aparat Kepolisian)

Tidak hanya berupa peringatan dan teguran saja Polisi Hutan yang mendapati adanya pelanggaran di wilayah hutan Wonogiri yang sudah dikemukakan diatas, dalam hal ini kasus yang tidak diproses ke pengadilan


(27)

yang berjumlah 8 seperti data tabel tersebut diatas tidak begitu saja didiamkan tanpa di proses selanjutnya. Polisi Hutan Polres Wonogiri bekerjasama dengan SATBINMAS Polres Wonogiri, yang telah membentuk POLMAS Kawasan Hutan yang merupakan perwakilan dari masyarakat skitar hutan akan melakukan musyawarah dengan pelaku, aparat desa(RT,RW) petugas perhutani, maupun dengan Polisi Hutan, melakukan musyawarah penyelsaian dengan membuat surat pernyataan yang isinya tidak akan mengulangi tindakannya lagi, yang kemudian akan di tandatangani pelaku bersama dengan, Polisi Hutan yang bertugas pada saat itu, aparat desa, dan petugas perhutani. Dengan adanya musyawarah yang dilakukan petugas perhutani, Polisi Hutan, dan aparat desa setempat dengan mendatangkan perwakilan masyarakat setempat, tindakan pelanggaran terhadap tindak Pidana Kehutanan yang terjadi di Hutan Wonogiri selesai dengan tidak melibatkan aparat penegak hukum dan bahkan perkara tidak sampai pengadilan.21

Dengan adanya 8 kasus yang tidak di proses ke Pengadilan ini juga sudah menjadi tugas SATBINMAS Polres Wonogiri untuk melakukan tindakan terhadap pelaku, kemudian secara berkala akan diminta untuk hadir mendapatkan pembinaan, penyuluhan yang diadakan SATBINMAS Polres Wonogiri sebulan sekali sesuai dengan KPH dimana kasus tersebut ditemukan. Dari penindakan kasus tindak Pidana Kehutanan yang sifatnya ringan ini diharapkan akan memutus mata rantai kasus tindak pidana bidang kehutanan yang ada di wilayah Wonogiri, jadi dari pembrantasan kasus

21


(28)

pidana kehutanan yang sifatnya ringan ini akan berpengaruh pada kasus yang sifatnya berat yang sudah sampai kepengadilan.22

Dalam rangka melaukan penindakan terhadap tindak pidana bidang kehutanan yang terjadi di wilayah hutan Wonogiri SATRESKRIM Polres Wonogiri bersama POLHUT Polres Wonogiri secara rutin setiap harinya melakukan Patroli langsung di Kekuasaan Wilayah Hutan (KPH) yang tersebar di wilayah hutan Wonogiri. Di Wilayah Wonogiri sendiri terdapat empat KPH yang tersebar, dianataranya : a) KPH Kota Wonogiri, Polsek yang menaungi adalah Polsek Wonokarto, b) KPH Jatisrono, Polsek yang menaungi adalah Polsek Jatisrono, c) KPH Baturetno, Polsek yang menaungi adalah Polsek Baturetno, d) KPH Purwantoro, Polsek yang menaungi adalah Polsek Purwantoro. Dengan KPH yang tersebar dan bersama Kapolsek yang menaungi, dipimpin POLHUT Polres Wonogiri melakukan Patroli langsung ke hutan-hutan yan tersebar di wilayah Wonogiri dengan tujuan untuk melihat langsung kondisi hutan, meminimalisir terjadinya kegiata kejahatan kehutanan, melakukan penindakan langsung bila terjadi tindakan kejahatan kehutanan. Untuk jumlah personil POLHUT setiap melakukan Patrolipaling sedikit ada 4 anggota POLHUT yang bertugas setaiap harinya di PTP yang tersebar di wilayah hutan Wonogiri.23

22

Wawancara dengan KANIT BINPOLMAS Polres Wonogiri, Wonogiri 31 Juli 2015.

23


(29)

c. Penegakan Secara Preventif

Tidak berhenti pada penindakan secara represif saja, untuk benar-benar membrantas habis seluruh tindak pidana di bidang kehutanan khususnya di Wilayah Kabupaten Wonogiri, Kepolisian Resor Wonogiri dalam hal ini SATBIMNAS juga berupaya melakukan pencegahan sebelum terjadinya tindakan tersebut Preventif. Bentuk pencegahannya berupa: 24 1) Melakukan pembinaan terhadap Petugas Perhutani, kegiatan ini

dilakukan oleh KOMPOLHUT UNIT BINPOLMAS yang diadakan sebulan sekali. Di Wilayah Wonogiri tersebar beberapa KPH yang, dianataranya : a) KPH Kota Wonogiri, Polsek, b) KPH Jatisrono, c) KPH Baturetno, d) KPH Purwantoro. Materi pembinaan yang di lakukan BINPOLMAS tentunya yang utama adalah maslah dampak Peruskan Huatan, akibat tindak pidana kehutanan, bahaya terorisme, karena tidak menutup kemungkinan kawasan hutan sangat strategis untuk pelatihan terorisme, dan narkoba termasuk didalamnya memberikan informasi tentang jenis-jenis tanaman yang terindikasi termasuk tanaman yang berbahaya.

2) Membentuk POLMAS Kawasan yang dalam hal ini masyarakat yang ada disekitar wilayah hutan dikumpulkan untuk dilaukan pembinaan secara rutin. Tujuannya adalah untuk menjembadani adanya forum kemitraan polisi dengan masyarakat, bila terjadi masalah yang ringan Polmas Kawasan yang dibentuk ini juga bisa menyelesaikan masalah

24


(30)

tersebut tanpa harus diproses pidana. Karena Polmas kawasan yang dibentuk ini tujuannnya menyelesaikan masalah yang bersifat ringan.

d. Hambatan Dalam Penegakan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan di Wilayah Hutan Wonogiri

Namun dari penegakan yang dilakukan Polres Wonogiri dalam menangani tindak pidana bidang kehutanan ada beberapa hambatan-hambatan yang tentunya mempengaruhi jumlah pelaporan maupun jumlah kasus yang dapat ditindak secara hukum. Dari hambatan tersebut dapat kita lihat: 25

1) Minimnya laporan dari masyarakat tentang adanya tindak pidana bidang kehutanan yang terjadi, karena biasanya yang melakukan tindak pidana kehutanan ini adalah oknum dilingkungan sekitar hutan itu sendiri dan masyarakat cinderung menutup-nutupi adanya oknum yang melakukan tindakan tersebut. Alasan yang paling sering ditemui ialah sungkan, tidak mungkin masyarakat disekitar hutan mau dan berani melaporkan tetangganya sendiri yang melakukan tindakan tersebut.

2) Polisi dalam melakukan penindakan tindak pidana kehutanan yang terjadi di Wilayah Wonogiri hanya terpaku pada pelaporan dari petugas KPH, Polisi Hutan, maupun dari Petugas Kepolisan yang sedang melakukan patroli di wilayah hutan kemudian menemukan tindak pidana tersebut. Hal ini menyebabkan penanganan dan penindakan terhadap

25


(31)

tindak pidana bidang kehutanan di Wilayah Wonogiri menjadi kurang maksimal.

Namun penindakan tindak pidana bidang kehutanan yang dilakukan di Wilayah Kabupaten Wonogiri diklaim dapat berkurang dari periode Tahun 2013-2014 tidak lepas dari pencegahan yang dilakukan SATRESKRIM, SATBIMNAS dan POLHUT Polres Wonogiri yang secara berkala melakukan pembinaan dan melakukan kerjasama yang dibangun antar instansi masyarakat yang terkait langsung dengan hutan. Yang semuanya bertujuan untuk memberantas habis segala yang berkaitan dengan tindak Pidana bidang kehutanan yang terjadi di Wilayah Hutan Wonogiri. Dan yang paling utama untuk mencegah banjir, tanah longsor, dan pendangkalan Waduk Gajah Mungkur.

C.

ANALISIS

1. Bentuk Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan oleh Polres Wonogiri

a. Penegakan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan Secara Represif, Preventif yang Dilakukan Polres Wonogiri

Semakin maraknya kejahatan kehutanan pada akhir-akhir ini membuat masyarakat semakin resah dan khawatir akan kelestarian hutan yang berdampak pada generasi yang akan datang. Lebih spesifik dalam hal ini tindak pidana bidang kehutanan yang semakin marak terjadi yang dilakukan oknum yang tidak bertanggung jawab akan kelestarian hutan


(32)

terhadap generasi yang akan datang membuat aparat penegak hukum seperti TNI, POLRI, Jaksa, Hakim harus bekerja keras demi keadilan yang nantinya berpengaruh pada pengurangan tingkat tindak pidana bidang kehutanan sampai ketingkat daerah seperti yang dilakukan Polres Wonogiri dalam melakukan penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang kehutanan.

Menurut Soerjono Soekanto, Penegakan hukum adalah “kegiatan

menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan didalam kaidah-kaidah/pandangan nilai yang mantap dan mengejewantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan

memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.”

Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman pelaku dalam lalu lintas atau hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Hakikatnya penegakan hukum mewujudkan nilai-nilai atau kaedah-kaedah yang memuat keadilan dan kebenaran, penegakan hukum bukan hanya menjadi tugas dari para penegak hukum yang sudah di kenal secara konvensional , tetapi menjadi tugas dari setiap orang. Meskipun demikian, dalam kaitannya dengan hukum publik pemerintahlah yang bertanggung jawab. Seperti yang dilakukan Polres Wonogiri dalam menangani tindak pidana bidang kehutanan yang terjadi di wilayah Kabupaten Wonogiri, berpegangan pada kaidah dan aturan hukum yang ada dalam hal ini Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 yang mengatur secara langsung


(33)

mengenai praktek kejahatan kehutanan tepatnya dalam Pasal 50 Ayat (3) ; Setiap orang dilarang: huruf e ; menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang. Dan Junto Pasal 78 Ayat (5) ; Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf e atau huruf f, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). Dengan berpegangan kaidah yang sudah ada Polres Wonogiri melakukan tindakan penegakan hukum terhadap tindak pidana bidang kehutanan yang terjadi pada periode Tahun 2013-2014. Terbukti dari data Anev Tindak Pidana Bulan Tahun 2013-2014 dari SAT RESKRIM POLRES Wonogiri ada 3 kasus tindak pidana bidang kehutanan yang terjadi, dan 2 diantaranya sudah dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Wonogiri untuk di proses hukum lebih lanjut. Dari data yang ditemukan bahwa penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang kehutanan yang dilakukan oleh Polres Wonogiri menunjukan bahwa bentuk penegakan bersifat Represif yaitu penindakan hukum setelah terjadi pelanggaran.

Tidak bertumpu pada penegakan secara Represif saja, untuk benar-benar membrantas habis segala tindak pidana di bidang kehutanan yang ada diwilayah Kabupaten Wonogiri, Polres Wonogiri melakukan penegakan yang bersifat Preventif yaitu tindakan pencegahan sebelum terjadinya tindakan yang dilakukan masyarakat dalam kaitannya dengan tindak pidana bidang kehutanan. Berangkat dari tugas pokok Kepolisian


(34)

yang terdapat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, tepatnya terdapat dalam Pasal 13 yang berbunyi ; Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah: a. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b. menegakkan hukum; dan c. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Poin yang c menyebutkan bahwa Polri harus memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat utamanya pada saat penegakan hukum tidak saja melakukan penegakan tetapi Polri juga harus memberikan pengayoman pencegahan yang diberikan pada masyarakat bilamana masyarakat yang akan melakukan tindakan pelanggaran hukum dapat dicegah dengan adanya tindakan yang di lakukan Kepolisiaan tersebut.

Dilihat secara langsung dilapangan bentuk penegakan secara

Preventif yang dilakukan Polres Wonogiri dalam mencegah terjadinya tindak pidana bidang kehutanan dianatanya:

1) Melakukan pembinaan terhadap Petugas Perhutani, kegiatan ini dilakukan oleh KOMPOLHUT UNIT BINPOLMAS yang diadakan sebulan sekali. Di Wilayah Wonogiri tersebar beberapa KPH yang, dianataranya : a) KPH Kota Wonogiri, Polsek, b) KPH Jatisrono, c) KPH Baturetno, d) KPH Purwantoro. Materi pembinaan yang di lakukan BINPOLMAS tentunya yang utama adalah maslah dampak Peruskan Huatan, akibat kejahatan kehutanan, bahaya terorisme, karena tidak menutup kemungkinan kawasan hutan sangat strategis untuk pelatihan terorisme, dan narkoba termasuk didalamnya


(35)

memberikan informasi tentang jenis-jenis tanaman yang terindikasi termasuk tanaman yang berbahaya. Berkaitan dengan Teori penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto, faktor-faktor mempengaruhi penegakan hukum salah satunya adalah faktor penegak hukum itu sendiri dalam hal ini personil Kepolisian Polres Wonogiri yang secara berkala turun langsung ke lapangan untuk melakukan pembinaan kepada personil lainnya diantara Petugas Perhutani, dan stake holder

lainnya yang terkait langsung pada pembrantasan tindak pidana bidang kehutanan di wilayah Kabupaten Wonogiri.

2) Membentuk POLMAS Kawasan yang dalam hal ini masyarakat yang ada disekitar wilayah hutan dikumpulkan untuk dilakukan pembinaan secara rutin. Tujuannya adalah untuk menjembadani adanya forum kemitraan polisi dengan masyarakat, bila terjadi masalah yang ringan Polmas Kawasan yang dibentuk ini juga bisa menyelesaikan masalah tersebut tanpa harus diproses pidana. Karena Polmas kawasan yang dibentuk ini tujuannnya menyelesaikan masalah yang bersifat ringan. Masyarakat juga berperan penting dalam proses pembrantasan tindak pidana illegal logging ini, hal ini penting karena dapat dilihat dari teori penegakan hukum manurut Soerjono Soekanto, faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum faktor masyarakat juga penting

karena “Penegak hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk

mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Setiap warga masyarakat

atau kelompok sedikit banyaknya mempunyai kesadaran hukum.”26

26

Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 2013, h. 47.


(36)

Untuk penyelesaian masalah tindak pidana di bidang kehutanan yang sifatnya ringan dalam prakteknya yang dilakukan Polres Wonogiri dalam hal ini SATBINMAS membentuk Polmas Kawasan yang bertujuan untuk penyelesaian bila terjadi pelanggaran yang ada di lapangan tanpa harus sampai di proses lebih lanjut oleh Kepolisian dapat dikatakan ini bersifat kekeluargaan dan bersifat peringatan.

Proses diatas erat hubungan dengan Teori Restortive Justive

yang dalam pengertianya adalah "suatu pemulihan hubungan dan penebusan kesalahan yang ingin dilakukan oleh pelaku tindak pidana (keluarganya) terhadap korban tindak pidana tersebut (keluarganya) (upaya perdamaian) di luar pengadilan dengan maksud dan tujuan agar permasalahan hukum yang timbul akibat terjadinya perbuatan pidana tersebut dapat diselesaikan dengan baik dengan tercapainya persetujuan dan kesepakatan diantara para pihak". Restorative Justice

pada prinsipnya merupakan suatu falsafah (pedoman dasar) dalam proses perdamaian di luar peradilan dengan menggunakan cara mediasi atau musyawarah dalam mencapai suatu keadilan yang diharapkan oleh para pihak yang terlibat dalam hukum pidana tersebut yaitu pelaku tindak pidana (keluarganya) dan korban tindak pidana (keluarganya) untuk mencari solusi terbaik yang disetujui dan disepakati para pihak.

Dengan adanya pencegahan secara Preventif yang dilakukan Polres Wonogiri terkait dengan hal ini adalah bagian SATBINMAS


(37)

Polres Wonogiri telah mampu mengurangi tingkat tindak pidana bidang kehutanan di Wilayah Kabupaten Wonogiri terlihat pada ANEV TINDAK PIDANA BULAN TAHUN 2013-2014 yang di keluarkan oleh SAT RESKRIM POLRES WONOGIRI, untuk kasus tindak pidana illegal logging pada periode Tahun 2014 di Wilayah Wonogiri sndiri menurun drastis dapat dikatakan tidak ada kasus yang berkaitan dengan tindak pidana bidang kehutanan di wilayah Kabupaten Wonogiri.

b. Penyelesaian Konflik di Luar Pengadilan (Restorative Justice)

Melihat fakta dilapangan mengenai tindak pidana bidang kehutanan yang terjadi di hutan Wonogiri ada beberapa teknik penyelesaian yang dapat dipakai dalam kaitannya menangani kasus pidana kehutanan yang terjadi. Penyelesaian tindak pidana bidang kehutanan tidak selalu menggunakan penindakan aparat Kepolisian maupun Pengadilan sebagai jalur yang ditempuh untuk benar-benar memberantas habis dan memberikan efek jera bagi pelaku tindak pidana bidang kehutanan yang ada di Wonogiri.

Salah satu teori penyelesaian yang dapat diterapkan dan disesuaikan dengan kondisi dilapangan pada saat penamuan korban maupun barang bukti yaitu dengan teori penyelesai konflik di luar pengadilan atau sering disebut Restorative Justice. Teori penyesaian konflik ini disesuaikan dengan porsi masalah yang terjadi, bila ringannya barang bukti yang ditemukan, dan adanya unsur ketidaksengajaan pada


(38)

saat melakukan tindakan kejahatan kehutanan maka teori penyelesaian ini dapat di gunakan.

Seperti penanganan tindak pidana bidang kehutanan di Wonogiri periode Tahun 2013-2014 dari data Polisi Hutan Polres Wonogiri ada 8 kasus yang ditemukan di lapangan, dengan ringannya barang bukti yang ditemukan (mengambil ranting pohon, mengambil pohon dengan ukuran kecil yang sudah kering atau mati di kawasan hutan lindung milik Perhutani), dan tidak adanya unsur sengaja dalam kasus yang ditemukan maka secara langsung Petugas Perhutani, berkerjasama dengan Polisi Hutan melakukan penindakan dengan melakukan musyawarah bersama. Dalam musyawarah tersebut pihak perhutani dan pihak dari Polisi Hutan hanya bersifat memfasilitasi adanya musyawarah tersebut. Dalam musyawarah tersebut juga mendatangkan Polmas Kawasan Hutan yang sudah di bentuk sebelumnya oleh SATBINMAS Polres Wonogiri yang beranggotakan perwakilan masyarakat sekitar hutan, dan mendatangkan pula aparat desa setempat seperti RT, RW untuk bermusyawarah dalam rangka penyelesaian masalah tindak pidana bidang kehutanan yang sifatnya ringan ini. Musyawarah tersebut selain bertujuan menyelesaikan masalah tanpa diproses lebih lanjut di pengadilan , musyawarah ini juga nantinya akan memberikan efek jera bagi pelaku tindakan tersebut, dengan menanda tangani surat pernyataan yang intinya dalam surat tersebut bahwa tidak akan mengulangi lagi. Dan dalam musyawarah yang di lakukan ini dapat mengahasilkan kata damai anatara pelaku dengan korban yang dalam hal ini yang menjadi korban ialah pihak dari Perhutani.


(39)

Ternyata setelah melihat langsung di lapangan mengenai penindakan tindak pidana bidang kehutanan yang ada di Wilayah Wonogiri, dengan mengakaitkan teori restorative justice 8 kasus sesuai data dari Polhut Polres Wonogiri yang ditemukan dilapangan dapat di selesaiakan dengan kata damai dan selesai tanpa harus melibatkan aparat penegak hukum dan pengadilan dalam memputus perkara menganai tindak pidana bidang kehutanan tersebut. Sekaligus memberikan efek jera bagi pelaku tindak pidana di bidang kehutanan yang nantinya juga dapat mengurangi bahkan memberantas habis segala tindak pidana bidang kehutanan yang ada di Wilayah Kabupaten Wonogiri.

2. Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan

Dalam rangka penegakan hukum di bidang kehutanan diharuskan untuk memperhatikan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penegakan hukum itu sendiri. Faktor-faktor tersebut menurut Soerjono Soekanto yakni hukum itu sendiri, faktor penegak hukum dan faktor sarana dan prasarana yang mendukung penegakan hukum, faktor masyarakat dan kebudayaan.27 a. Faktor Hukum

Dalam praktik penyelenggaraan hukum di lapangan ada kalanya terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hal ini disebabkan oleh konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak, sedangkan kepastian hukum merupakan suatu prosedur yang telah ditentukan secara

27Ibid


(40)

normatif. Justru itu, suatu kebijakan atau tindakan yang tidak sepenuhnya berdasar hukum merupakan sesuatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum. Maka pada hakikatnya penyelenggaraan hukum bukan hanya mencakup low enforcement

saja, namun juga peace maintenance, karena penyelenggaraan hukum sesungguhnya merupakan proses penyerasian antara nilai kaedah dan pola perilaku nyata yang bertujuan untuk mencapai kedamaian. Dengan demikian, tidak berarti setiap permasalahan sosial hanya dapat diselesaikan dengan hukum yang tertulis, karena tidak mungkin ada peraturan perundang-undangan yang dapat mengatur seluruh tingkah laku manusia, yang isinya jelas bagi setiap warga masyarakat yang diaturnya dan serasi antara kebutuhan untuk menerapkan peraturan dengan fasilitas yang mendukungnya.

Berkaitan dengan penegakan terhadap tindak pidana di bidang kehutanan, hukum sangat menjadi hal utama untuk tegaknya keadilan bagi pelaku tindak pidana bidang kehutanan tersebut. Dan berkenaan dengan proses menjadikan warga negara taat dengan hukum, hukum juga harus memberikan efek jere bagi pelaku tindak pidana di bidang kehutanan. Hukum juga harus ditegakkan bagi semua warga negara tidak pandang bulu, bagi setiap pelaku harus dijerat dengan hukum sesuai dengan tingkat pelanggarannya. Dengan adanya hukum yang ditegakkan sesuai yang semestinya akan berimplementasi pada berkurangnya ataupun membrantas habis segala kejahatan kehutanana.

Dilihat hukuman yang di jatuhkan dari 2 kasus tindak pidana bidang kehutanan yang terjadi di Wonogiri bisa dilihat bersama bahwa hukum yang ada sekarang ini yang kaitannya dengan tindak pidana bidang kehutanan sudah


(41)

memberikan efek jera bagi pelaku khususnya yang ada di wilayah Wonogiri, terbukti dengan adanya penurunan tingkat tindak pidana bidang kehutanan dari Tahun 2013-2014, bahkan untuk tindak pidana bidang kehutanan yang berat di Tahun 2014 bisa diakatakan nihil atau tidak ada kasus mengenai tindak pidana bidang kehutanan. Untuk itu hukum menjadi sangat penting untuk melakukan penindakan terhadap tindak pidana bidang kehutanan yang ada di Wonogiri.

b. Faktor Penegakan Hukum

Dalam berfungsinya hukum, mentalitas atau kepribadian petugas penegak hukum memainkan peranan penting, kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas petugas kurang baik, ada masalah. Oleh karena itu, salah satu kunci keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian penegak hukum dengan mengutip pendapat J. E. Sahetapy yang mengatakan : “Dalam rangka penegakan hukum dan implementasi penegakan hukum bahwa penegakan keadilan tanpa kebenaran adalah suatu kebijakan. Penegakan kebenaran tanpa kejujuran adalah suatu kemunafikan. Dalam kerangka penegakan hukum oleh setiap lembaga penegakan hukum (inklusif manusianya) keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, harus terasa dan

terlihat, harus diaktualisasikan”. Di dalam konteks di atas yang menyangkut kepribadian dan mentalitas penegak hukum, bahwa selama ini ada kecenderungan yang kuat di kalangan masyarakat untuk mengartikan hukum sebagai petugas atau penegak hukum, artinya hukum diidentikkan dengan tingkah laku nyata petugas atau penegak hukum.


(42)

Berkaitan dengan faktor penegak hukum juga sangat berpengaruh pada penegakan tindak pidana bidang kehutanan itu sendiri. Tidak bisa dipungkiri adanya hukum yang baik tanpa disertai penegak hukum dalam hal ini Polri, TNI, Jaksa, Hakim yang baik maka proses menuju keadilan yang sebenarnya tidak akan terwujud maksimal. Penegak hukum dalam memproses adanya tindak pidana bidang kehutanan juga harus sesuai dengan prosedur penanganan, tegas, dan harus bersih tanpa adanya unsur KKN di dalam melakukan penegakan tindak pidana bidang kehutanan. Agar keadilan bisa tercapai dengan maksimal dan pemberian efek jera bagi pelaku kejahatan kehutanan bisa terpenuhi. Dan akan berrpengaruh pada berkurangnya tindakan yang mengacu pada pidana kehutanan.

Seperti halnya yang ada di Wilayah Wonogiri dengan penanganan dan penindakan yang dilakukan penegak hukum Kepolisian Resor Wonogiri dalam melakukan penegakan terhadap tindak pidana kehutanan dapat dikatakan sudah baik, terbukti dengan adanya data dilapangan yang terjadi selama periode Tahun 2013-2014 hanya terjadi 3 kasus yang berkaitan dengan tindak pidana bidang kehutanan yang ada di Wilayah Wonogiri. Terbukti dengan adanya penegak hukum yang baik akan berpengaruh pada berkurangnya tindak pidana dalam hal ini tindak pidana bidang kehutanan yang ada di Wilayah Kabupaten Wonogiri.

c. Faktor Sarana atau Fasilitas Pendukung

Faktor sarana atau fasilitas pendukung mencakup perangkat lunak dan perangkat keras, salah satu contoh perangkat lunak adalah pendidikan.


(43)

Pendidikan yang diterima oleh Polisi dewasa ini cenderung pada hal-hal yang praktis konvensional, sehingga dalam banyak hal polisi mengalami hambatan di dalam tujuannya, diantaranya adalah pengetahuan tentang kejahatan computer, dalam tindak pidana khusus yang selama ini masih diberikan wewenang kepada jaksa, hal tersebut karena secara teknis yuridis polisi dianggap belum mampu dan belum siap. Walaupun disadari pula bahwa tugas yang harus diemban oleh polisi begitu luas dan banyak.

Faktor ini juga bisa berpengaruh terhadap penegakan hukum terhadap tindak pidana bidang kehutanan. Tanpa adanya sarana dan alat pendukung dalam proses penegakan hukum, hukum juga akan sulit dan dirasa akan tidak mampu ditegakkan secara maksimal. Dalam memberantas praktek kejahatan kehutanan, faktor kelengkapan sarana dan prasarana dalam kegiatan pemberantasan kejahatan terhadap hutan melalui operasi merupakan faktor yang sangat menentukan efektifitas penegakan hukum. Banyak realita di lapangan, kendala obyektif yang dihadapi Polisi Kehutanan terkait dengan sarana dan prasarana adalah minimnya sarana dan prasarana yang mendukung operasi, seperti tidak tersedianya alat berat dan alat angkut untuk mengangkut dan menyimpan barang bukti dari lokasi penemuan/penyitaan ke tempat penampungan. Jangan sampai fasilitas sarana dan prasarana yang dimiliki oleh para pelaku lebih canggih di bandingkan dengan sarana dan prasarana yang dimiliki oleh para penegak hukum, terutama daerah-daerah yang justru memiliki hutan yang sangat luas dan rawan terjadi tindak pidana bidang kehutanan.


(44)

Dilihat dari kesigapan petugas patroli yang melakukan pengamanan sekaligus pengawasan di hutan Wonogiri bisa dikatakan sudah mumpuni dan memadahi dalam melakukan pengawasan maupun pengamanan. Terbukti dengan cepat sigap Kepolisian Resor Wonogiri menemukan pelaku tindak pidana bidang kehutanan, bukan hanya pelaku saja tetapi bisa melacak adanya barang bukti berupa kayu sebagai contoh kasus yang terjadi di Hutan Pinus Seper Balaipanjang Jatipurno Petak 44 pada saat melakukan penangkapan barang bukti sudah dilarikan di luar daerah diamana dilakukan penangkapan, tetapi dengan adanya sarana dan prasarana yang mumpuni tidak membutuhkan waktu lama kurang dari 24 jam barang bukti sudah bisa di temukan dan amankan. Inilah yang mempengaruhi penindakan terhadap tindak pidana di bidang kehutanan di Wonogiri bisa berjalan baik.

d. Faktor Masyarakat

Penegak hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Setiap warga masyarakat atau kelompok sedikit banyaknya mempunyai kesadaran hukum, persoalan yang timbul adalah taraf kepatuhan hukum, yaitu kepatuhan hukum yang tinggi, sedang, atau kurang. Adanya derajat kepatuhan hukum masyarakat terhadap hukum, merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan. Sikap masyarakat yang kurang menyadari tugas polisi, tidak mendukung, dan malahan kebanyakan bersikap apatis serta menganggap tugas penegakan hukum semata-mata urusan polisi, serta keengganan terlibat sebagai saksi dan


(45)

sebagainya. Hal ini menjadi salah satu faktor penghambat dalam penegakan hukum.

Pola penegakan hukum dipengaruhi oleh tingkat perkembangan masyarakat, tempat hukum tersebut berlaku atau dibekukan. Dalam masyarakat sederhana, pola penegakan hukumnya dilaksanakan melalui prosedur dan mekanisme yang sederhana pula, namun dalam masyarakat modern yang bersifat rasional dan memiliki tingkat Spesialisasi dan diferensiasi yang begitu tinggi, pengorganisasian penegakan hukumnya menjadi begitu kompleks dan sangat birokratis. Semakin modern suatu masyarakat, maka akan semakin birokratis proses penegakan hukumnya. Akibatnya yang memegang peranan penting dalam proses penegakan hukum bukan hanya manusia yang menjadi aparat penegak hukum, namun juga organisiasi yang mengatur dan pengelola operasionalisasi proses penegakan hukum.

Faktor masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan, jika mayoritas berada dalam kondisi ekonomi yang termasuk dalam kelompok yang berada di bawah garis kemiskinan, juga menjadi salah satu faktor meningkatnya tindakan kejahatan kehutanan. Hal ini disebabkan penduduk yang ada disekitar hutan dalam melakukan praktek kejahatan kehutanan sering berpindah-pindah dan praktek pidana kehutanan merupakan salah satu mata pencaharian bagi masyarakat yang ada di sekitar hutan. Masyarakat yang hidup di dalam dan atau disekitar hutan yang melakukan praktek perusakan hutan sangat berdampak pada meningkatnya laju kerusakan hutan. Hal ini diakibatkan masyarakat belum memahami betapa pentingnya menjaga hutan.


(46)

Selain itu, faktor rendahnya tingkat pendidikan dan minimnya lapangan kerja, menyebabkan praktek tindak pidana bidang kehutanan makin meningkat.

Bisa dilihat data dari Polhut Polres Wonogiri yang terjadi dilapangan selama periode 2013-2014 bahwa untuk tindak pidana bidang kehutanan di Wonogiri yang tergolong ringan berjumlah 8 kasus. Dari 8 kasus tersebut kebanyakan dari pelaku tidak mengetahui bahwa yang mereka ambil bukan merupakan hak atau bagian wilayah dari kekuasaan mereka. Dari ketidak tahuan masyarakat ini bisa dilihat faktor masyarakat juga berdampak pada meningkatnya tindak pidan bidang kehutanan yang ada di Wilayah Wonogiri. e. Faktor Kebudayaan

Dalam kebudayaan sehari-hari, orang begitu sering membicarakan soal kebudayaan. Kebudayaan menurut Soerjono Soekanto, mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat, yaitu mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, dan menentukan sikapnya kalau mereka berhubungan dengan orang lain. Dengan demikian, kebudayaan adalah suatu garis pokok tentang perikelakuan yang menetapkan peraturan mengenai apa yang harus dilakukan, dan apa yang dilarang.

Berkaitan dengan kebudayaan berarti erat hubungan dengan kebiasaan yang sering dilakukan oleh masyarakat. Masyarakat dalam hal ini masyarakat sekitar hutan di Wonogiri yang masih tergolong primitif ini dari jaman nenek moyang sudah sering mencari segala bentuk sumber daya makanan untuk hidup di hutan, jadi diterapkan pada masa sekarang yang padahal sebagian besar hutan sudah di kuasai oleh pihak perhutani, jadi segala macam bentuk tindakan yang mangarah pada pemanenan, mengambil, merusak tanpa


(47)

dilengkapai surat ijin itu sudah termasuk dalam tindak pidana terhadap kehutanan, jadi banyak masyarakat yang melakukan kebiasaan tersebut sampai sekarang, dan sulit dihilangkan kebiasaan tersebut.

Kelima komponen penegakan hukum di atas sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dari sistem hukum itu sendiri, yaitu struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum yang satu dengan yang lainnya merupakan satu kesatuan. Oleh karena itu, untuk mencapai keberhasilan sistem hukum ini, demikian pula keberhasilan penegakan hukum yang meminta pertanggungjawaban pelaku kejahatan yang dilakukan oleh perusahaan pemegang HPH sangat tergantung pada eksistensi, artikulasi, “performance

dan “iner capasity” dari masing-masing komponen, namun demikian sangat perlu mendapat penegasan bahwa dalam rangka mencapai tujuannya tersebut sama sekali tidak boleh ada fragmentasi dari masing-masing komponen dalam penegakan hukum, sehingga tercapai adanya kepastian hukum.28

Erat kaitannya dengan permasalahan tentang penerapan prinsip-prinsip tanggung jawab terhadap pengusaha hutan atau pemegang HPH dalam kaitannya dengan praktik pidana kehutanan, hal ini merupakan salah satu agenda reformasi hukum yang penting dan mendesak (crucial) untuk dilaksanakan, yakni reformasi dalam penegakan hukumnya sendiri, khususnya yang berkaitan dengan kasus pidana bidang kehutanan. Apabila diperhatikan pelaksanaan penegakan hukum dewasa ini masih jauh dari yang diharapkan, hal ini dikarenakan banyak faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan penegakan hukum tersebut. Penegakan hukum atau yang dalam bahasa

28

Ujang Chandra, IIIegal Logging & Penegakan Hukumnya, Bandung, Bungo Abadi, 2005, hal. 11.


(48)

populernya sering disebut dengan istilah law enforcement, merupakan ujung tombak agar terciptaya tatanan hukum yang baik dalam masyarakat.

Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa, “Penegakan hukum adalah

kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantahkan dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan

mempertahankan kedamaian pergaulan hidup”.29

Dalam berbagai kajian sistematis penegakan hukum dan keadilan, secara teoritis menyatakan bahwa efektivitas penegakan hukum baru akan terpenuhi apabila lima pilar hukum berjalan dengan baik, termasuk pula dalam penegakan terhadap kasus pidana kehutanan. Lima pilar hukum itu adalah instrumen hukumnya, aparat penegakan hukumnya, peralatannya, masyarakatnya, dan birokrasinya. Walter C. Reckless, menyatakan bahwa, penegakan hukum harus dilihat bagaimana sistem dan organisasinya bekerja, bagaimana sistem hukumnya, bagaimana sistem peradilannya dan bagaimana birokrasinya.30

Berdasarkan berbagai kajian kesisteman tersebut dapat dikatakan bahwa efektivitas penegakan hukum dalam teori maupun praktik problematika yang dihadapi hampir sama. Kemauan politik (political will) dari pengambil keputusan merupakan faktor yang menentukan hukum dapat tegak dan ambruk, atau setengah-tengahnya. Masalah penegakan hukum pada dasarnya merupakan kesenjangan antara hukum secar normatif (das sollen) dan hukum secara sosiologis (das sein) atau kesenjangan antara perilaku hukum

29

Op.cit, hal. 5.

30

Walter C. Reckless dalam Bambang Sutiyoso, Aktualita Hukum dalam Era Reformasi (Paparan Aktual Berbagai Permasalahan Hukum dan sebagainya, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2004, hal. 58.


(49)

masyarakat yang seharusnya dengan perilaku hukum masyarakat yang senyatanya. Secara konsepsional, inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Hukum sebagai suatu kaidah di dalamnya merupakan seperangkat norma-norma yang memuat anjuran, larangan dan sanksi yang salah satu fungsi pokoknya sebagai sarana kontrol sosial, dengan tujuan menjaga ketertiban, keseimbangan social dan kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, norma-norma hukum yang berisi anjuran, dan sanksi perlu adanya konkritisasi dan operasionalisasi dengan ditegakkannya hukum secara sungguh-sungguh terutama oleh aparat penegak hukumnya.

Kondisi penegakan hukum dalam kaitannya dengan penegakan kasus praktik pidana bidang kehutanan dalam masyarakat bukan hanya ditentukan oleh faktor tunggal, melainkan dipengaruhi oleh berbagai faktor yang memberikan kontribusi secara bersama-sama terhadap kondisi tersebut, namun faktor mana yang paling dominan mempunyai pengaruh tergantung pada konteks sosial dan tantangan-tantangan yang dihadapi masyarakat bersangkutan. Secara umum, faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum dalam praktik pidana bidang kehutanan dapat dibedakan dalam dua hal, yakni faktor-faktor yang terdapat dalam sistem hukum dan faktor-faktor di luar sistem hukum. Adapun faktor-faktor dalam sistem hukum meliputi faktor hukumnya (undang-undang), factor penegak hukum, dan faktor sarana dan prasarana, sedangkan faktor-faktor di luar sistem hukum yang


(50)

memberikan pengaruh adalah faktor kesadaran hukum masyarakat, perkembangan masyarakat, kebudayaan, dan faktor politik atau penguasa negara.


(1)

sebagainya. Hal ini menjadi salah satu faktor penghambat dalam penegakan hukum.

Pola penegakan hukum dipengaruhi oleh tingkat perkembangan masyarakat, tempat hukum tersebut berlaku atau dibekukan. Dalam masyarakat sederhana, pola penegakan hukumnya dilaksanakan melalui prosedur dan mekanisme yang sederhana pula, namun dalam masyarakat modern yang bersifat rasional dan memiliki tingkat Spesialisasi dan diferensiasi yang begitu tinggi, pengorganisasian penegakan hukumnya menjadi begitu kompleks dan sangat birokratis. Semakin modern suatu masyarakat, maka akan semakin birokratis proses penegakan hukumnya. Akibatnya yang memegang peranan penting dalam proses penegakan hukum bukan hanya manusia yang menjadi aparat penegak hukum, namun juga organisiasi yang mengatur dan pengelola operasionalisasi proses penegakan hukum.

Faktor masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan, jika mayoritas berada dalam kondisi ekonomi yang termasuk dalam kelompok yang berada di bawah garis kemiskinan, juga menjadi salah satu faktor meningkatnya tindakan kejahatan kehutanan. Hal ini disebabkan penduduk yang ada disekitar hutan dalam melakukan praktek kejahatan kehutanan sering berpindah-pindah dan praktek pidana kehutanan merupakan salah satu mata pencaharian bagi masyarakat yang ada di sekitar hutan. Masyarakat yang hidup di dalam dan atau disekitar hutan yang melakukan praktek perusakan hutan sangat berdampak pada meningkatnya laju kerusakan hutan. Hal ini diakibatkan masyarakat belum memahami betapa pentingnya menjaga hutan.


(2)

Selain itu, faktor rendahnya tingkat pendidikan dan minimnya lapangan kerja, menyebabkan praktek tindak pidana bidang kehutanan makin meningkat.

Bisa dilihat data dari Polhut Polres Wonogiri yang terjadi dilapangan selama periode 2013-2014 bahwa untuk tindak pidana bidang kehutanan di Wonogiri yang tergolong ringan berjumlah 8 kasus. Dari 8 kasus tersebut kebanyakan dari pelaku tidak mengetahui bahwa yang mereka ambil bukan merupakan hak atau bagian wilayah dari kekuasaan mereka. Dari ketidak tahuan masyarakat ini bisa dilihat faktor masyarakat juga berdampak pada meningkatnya tindak pidan bidang kehutanan yang ada di Wilayah Wonogiri. e. Faktor Kebudayaan

Dalam kebudayaan sehari-hari, orang begitu sering membicarakan soal kebudayaan. Kebudayaan menurut Soerjono Soekanto, mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat, yaitu mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, dan menentukan sikapnya kalau mereka berhubungan dengan orang lain. Dengan demikian, kebudayaan adalah suatu garis pokok tentang perikelakuan yang menetapkan peraturan mengenai apa yang harus dilakukan, dan apa yang dilarang.

Berkaitan dengan kebudayaan berarti erat hubungan dengan kebiasaan yang sering dilakukan oleh masyarakat. Masyarakat dalam hal ini masyarakat sekitar hutan di Wonogiri yang masih tergolong primitif ini dari jaman nenek moyang sudah sering mencari segala bentuk sumber daya makanan untuk hidup di hutan, jadi diterapkan pada masa sekarang yang padahal sebagian besar hutan sudah di kuasai oleh pihak perhutani, jadi segala macam bentuk tindakan yang mangarah pada pemanenan, mengambil, merusak tanpa


(3)

dilengkapai surat ijin itu sudah termasuk dalam tindak pidana terhadap kehutanan, jadi banyak masyarakat yang melakukan kebiasaan tersebut sampai sekarang, dan sulit dihilangkan kebiasaan tersebut.

Kelima komponen penegakan hukum di atas sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dari sistem hukum itu sendiri, yaitu struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum yang satu dengan yang lainnya merupakan satu kesatuan. Oleh karena itu, untuk mencapai keberhasilan sistem hukum ini, demikian pula keberhasilan penegakan hukum yang meminta pertanggungjawaban pelaku kejahatan yang dilakukan oleh perusahaan pemegang HPH sangat tergantung pada eksistensi, artikulasi, “performance” dan “iner capasity” dari masing-masing komponen, namun demikian sangat perlu mendapat penegasan bahwa dalam rangka mencapai tujuannya tersebut sama sekali tidak boleh ada fragmentasi dari masing-masing komponen dalam penegakan hukum, sehingga tercapai adanya kepastian hukum.28

Erat kaitannya dengan permasalahan tentang penerapan prinsip-prinsip tanggung jawab terhadap pengusaha hutan atau pemegang HPH dalam kaitannya dengan praktik pidana kehutanan, hal ini merupakan salah satu agenda reformasi hukum yang penting dan mendesak (crucial) untuk dilaksanakan, yakni reformasi dalam penegakan hukumnya sendiri, khususnya yang berkaitan dengan kasus pidana bidang kehutanan. Apabila diperhatikan pelaksanaan penegakan hukum dewasa ini masih jauh dari yang diharapkan, hal ini dikarenakan banyak faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan penegakan hukum tersebut. Penegakan hukum atau yang dalam bahasa

28

Ujang Chandra, IIIegal Logging & Penegakan Hukumnya, Bandung, Bungo Abadi, 2005, hal. 11.


(4)

populernya sering disebut dengan istilah law enforcement, merupakan ujung tombak agar terciptaya tatanan hukum yang baik dalam masyarakat.

Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa, “Penegakan hukum adalah

kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantahkan dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan

mempertahankan kedamaian pergaulan hidup”.29

Dalam berbagai kajian sistematis penegakan hukum dan keadilan, secara teoritis menyatakan bahwa efektivitas penegakan hukum baru akan terpenuhi apabila lima pilar hukum berjalan dengan baik, termasuk pula dalam penegakan terhadap kasus pidana kehutanan. Lima pilar hukum itu adalah instrumen hukumnya, aparat penegakan hukumnya, peralatannya, masyarakatnya, dan birokrasinya. Walter C. Reckless, menyatakan bahwa, penegakan hukum harus dilihat bagaimana sistem dan organisasinya bekerja, bagaimana sistem hukumnya, bagaimana sistem peradilannya dan bagaimana birokrasinya.30

Berdasarkan berbagai kajian kesisteman tersebut dapat dikatakan bahwa efektivitas penegakan hukum dalam teori maupun praktik problematika yang dihadapi hampir sama. Kemauan politik (political will) dari pengambil keputusan merupakan faktor yang menentukan hukum dapat tegak dan ambruk, atau setengah-tengahnya. Masalah penegakan hukum pada dasarnya merupakan kesenjangan antara hukum secar normatif (das sollen) dan hukum secara sosiologis (das sein) atau kesenjangan antara perilaku hukum

29

Op.cit, hal. 5.

30

Walter C. Reckless dalam Bambang Sutiyoso, Aktualita Hukum dalam Era Reformasi (Paparan Aktual Berbagai Permasalahan Hukum dan sebagainya, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2004, hal. 58.


(5)

masyarakat yang seharusnya dengan perilaku hukum masyarakat yang senyatanya. Secara konsepsional, inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Hukum sebagai suatu kaidah di dalamnya merupakan seperangkat norma-norma yang memuat anjuran, larangan dan sanksi yang salah satu fungsi pokoknya sebagai sarana kontrol sosial, dengan tujuan menjaga ketertiban, keseimbangan social dan kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, norma-norma hukum yang berisi anjuran, dan sanksi perlu adanya konkritisasi dan operasionalisasi dengan ditegakkannya hukum secara sungguh-sungguh terutama oleh aparat penegak hukumnya.

Kondisi penegakan hukum dalam kaitannya dengan penegakan kasus praktik pidana bidang kehutanan dalam masyarakat bukan hanya ditentukan oleh faktor tunggal, melainkan dipengaruhi oleh berbagai faktor yang memberikan kontribusi secara bersama-sama terhadap kondisi tersebut, namun faktor mana yang paling dominan mempunyai pengaruh tergantung pada konteks sosial dan tantangan-tantangan yang dihadapi masyarakat bersangkutan. Secara umum, faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum dalam praktik pidana bidang kehutanan dapat dibedakan dalam dua hal, yakni faktor-faktor yang terdapat dalam sistem hukum dan faktor-faktor di luar sistem hukum. Adapun faktor-faktor dalam sistem hukum meliputi faktor hukumnya (undang-undang), factor penegak hukum, dan faktor sarana dan prasarana, sedangkan faktor-faktor di luar sistem hukum yang


(6)

memberikan pengaruh adalah faktor kesadaran hukum masyarakat, perkembangan masyarakat, kebudayaan, dan faktor politik atau penguasa negara.


Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Modus Operandi Tindak Pidana Pencurian dengan Kekerasan: Studi Kasus pada Polres Salatiga T1 312012088 BAB I

0 0 21

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Modus Operandi Tindak Pidana Pencurian dengan Kekerasan: Studi Kasus pada Polres Salatiga T1 312012088 BAB II

0 3 38

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penegakan Hukum terhadap Tindak Pidana di Bidang Kehutanan: studi kasus di Polres Wonogiri

0 0 4

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penegakan Hukum terhadap Tindak Pidana di Bidang Kehutanan: studi kasus di Polres Wonogiri T1 312012029 BAB I

0 0 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penegakan Hukum terhadap Tindak Pidana di Bidang Kehutanan: studi kasus di Polres Wonogiri

0 1 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penegakan Hukum terhadap Pasal 296 KUHP tentang Tindak Pidana Prostitusi oleh Polres Salatiga T1 312007078 BAB I

0 0 12

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penegakan Hukum terhadap Pasal 296 KUHP tentang Tindak Pidana Prostitusi oleh Polres Salatiga T1 312007078 BAB II

0 3 35

T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kekuatan Pembuktian Tindak Pidana ECommerce Berbasis Nilai Keadilan T1 BAB II

0 0 42

T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tanggungjawab Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Pembakaran Hutan T1 BAB II

0 1 29

T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Sanksi Pidana terhadap Pelaku Tindak Pidana Terorisme Berbasis Keadilan Bermartabat T1 BAB II

0 0 48