Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Survival Strategy Komunitas Makam Gunung Brintik Semarang D 902007007 BAB IV

Bab 4

Komunitas Makam Gunung Brintik
Semarang

Sejarah Komunitas M akam Gunung Brintik Semarang
Pada mulanya wilayah Gunung Brintik atau lebih tepat
dikatakan bukit di wilayah pegunungan Bergota itu “kosong”. Gunung
M uria yang saat ini berada di Kabupaten Kudus untuk lereng selatan
dan lereng Utara adalah wilayah Kabupaten Jepara, pada jaman dahulu
merupakan Pulau M uria.
Ada tanda-tanda, sudah sejak jaman kerajaan-kerajaan tertua di
Jawa, M ataram Hindhu sekitar abad ke-4 sampai ke-7 dan sekitar abad
ke-8/9 yaitu masa Sanjaya-wamsa dan Syaelen-drawamsa daerah itu
sering dilewati para pelaku perjalanan jarak jauh. Ada tanda-tanda
perahu juga berlabuh di “Teluk Bergota” ditepi Gunung Brintik. Lokasi
Gunung Brintik, ini pada saat penelitian dilakukan berada di wilayah
RW 3 Kampung W onosari Kelurahan Randusari, Kecamatan Semarang
Selatan Kota Semarang.
M enurut cerita masyarakat setempat, nama Gunung Brintik
berasal dari nama seorang wanita yang dimakamkan disitu yaitu Nyai

Brintik. Di kemudian hari dinamakan Gunung Brintik, karena ada
makam Nyai Brintik. Berdasar wawancara 8 M aret 2010 dengan Pak
Yanto, Bu Umi, Pak Rochmad Bu Yati, Bu Yohana (nama samaran):
“…Kampung Gunung Brintik menurut para sesepuh, pada
zaman dahulu merupakan pintu utama Kerajaan Bergota.
Nyai Brintik menjadi penguasa Kerajaan Bergota selama
puluhan tahun. Bahkan makamnya pun sampai sekarang
masih ada di Taman Pemakaman Umum Bergota dan
dianggap keramat oleh warga Semarang, khususnya

53

SURVIVAL STRATEGY KOM UNITAS M AKAM GUNUNG BRINTIK SEM ARANG

penduduk di sekitar Bergota. Berdasarkan cerita, Nyai
Brintik telah mengucap janji bahwa semua warga Bergota
mulai dari daerah Kalisari hingga Randusari merupakan
keturunan dari Nyai Brintik. Penduduk Bergota sekarang ini
yang merupakan keturunan dari penduduk asli masih
mempercayai kesaktian dari Nyai Brintik.

Karena itu nama Gunung Brintik diambil dari nama seorang
penguasa kerajaan yang dulu berdiri di daerah tersebut,
yakni bernama Nyai Brintik. Karena tempat tersebut berada
di dataran tinggi, sehingga dianggap menyerupai gunung.
Seiring berjalannya waktu daerah tersebut dialihfungsikan
menjadi Tempat Pemakaman Umum Kota Semarang,
meskipun masih ada penduduk yang tinggal di daerah
tersebut….”

Sumber : Ali, Mohamad dalam Daldjuni, Nathan 1976: 36-46

Gambar 4.1
Peta Geohistory Gunung Brintik sekitar abad ke-10

Sejarah Komunitas M akam Gunung Brintik tidak lepas dari
Sejarah Kabupaten dan Kota Semarang itu sendiri. Sejarah Semarang
berawal dari daerah pesisir yang bernama Pragota (sekarang menjadi
54

Bab 4 Komunitas M akam Gunung Brintik


Bergota) dan merupakan bagian dari M ataram kuno. Pada akhir abad
ke-15 M ada seseorang yang ditempatkan oleh Kerajaan Demak,
dikenal sebagai Pangeran M ade (Sunan Pandanaran I), untuk
menyebarkan agama Islam dari perbukitan Pragota. Dari waktu ke
waktu daerah itu semakin subur, dari sela-sela kesuburan itu
muncullah pohon asam yang jarang (bahasa Jawa: Asem Arang),
sehingga memberikan gelar atau nama daerah itu menjadi Semarang.
Daerah pesisir yang bernama Pragota (sekarang menjadi
Bergota) merupakan bagian dari kerajaan M ataram Kuno. Daerah
tersebut pada masa itu merupakan pelabuhan dan di depannya terdapat
gugusan pulau-pulau kecil. Akibat pengendapan, yang hingga sekarang
masih terus berlangsung, gugusan tersebut sekarang menyatu
membentuk daratan. Bagian kota Semarang Bawah yang dikenal
sekarang ini dengan demikian dahulu merupakan laut. Pelabuhan
tersebut diperkirakan berada di daerah Pasar Bulu sekarang dan
memanjang masuk ke Pelabuhan Simongan, tempat armada Laksamana
Cheng Ho bersandar pada tahun 1405 M. Di tempat pendaratannya,
Laksamana Cheng Ho mendirikan kelenteng dan mesjid yang sampai
sekarang masih dikunjungi dan disebut Kelenteng Sam Po Kong

(Gedung Batu). Sebagai pendiri desa, kemudian menjadi kepala daerah
setempat, dengan gelar Kyai Pandan Arang I. Sepeninggalnya,
pimpinan daerah dipegang oleh putranya yang bergelar Pandan Arang
II. M enurut beberapa orang yang telah lebih dari 10 tahun tinggal di
Gunung Brintik dalam wawancara dengan Pak Parman, Pak Rudi, Bu
W aluyo (nama samaran) tanggal 20 April 2010 menceritakan:
“…Mbah Brintik berasal dari Demak. Kalau ceritanya itu
Nyai Brintik, suaminya ada di Sayung Demak, cerita
rakyatnya Mbah Brintik hidup pada masa kedatangan
Pangeran Pandanaran I ketika terjadi perebutan kekuasaan
oleh sunan kalijaga Made Pandan dimakam di Mugas
sedangkan Mbah Brintik tetap di Gunung Brintik. Gunung
Mugas dan Gunung Brintik hanya dibatasi oleh suatu
lembah. Makamnya Pandaran I ada di Gunung Mugas
kemudian Nyai Brintik ada di Gunung Brintik (interload:
yang selatan gunung apa), ujung dari bukit bergota adalah
Gunung Brintik. Gunung Brintik adalah dataran tertinggi

55


SURVIVAL STRATEGY KOM UNITAS M AKAM GUNUNG BRINTIK SEM ARANG

yang di pusat kota jadi ujung dari Bukit Bergota adalah
Gunung Brintik itu, dan ada lembah ada puncak lagi
namanya Bukit Mugas. Cerita rakyatnya memang dulu
menjadi pusat Pandaran I. Yang ada di Gunung Brintik hanya
petilasan dan didatangi orang-orang untuk bertapa. Gunung
Brintik dulu adalah pulau, ketika masa-masa itu yg namanya
daerah gedung batu masih laut. Gunung Brintik dahulu
adalah pulau/pantai.”

Kabupaten Semarang pertama kali didirikan oleh Raden Kaji
Kasepuhan (dikenal sebagai Ki Pandan Arang II) pada tanggal 2 M ei
1547 dan disahkan oleh Sultan Hadi-wijaya. Kata "Semarang" konon
merupakan pemberian dari Ki Pandan Arang II, ketika dalam
perjalanan ia menjumpai deretan pohon asam (Bahasa Jawa: asem) yang
berjajar secara jarang (Bahasa Jawa: arang-arang), sehingga tercipta
nama Semarang. Tanggal 2 M ei 1547 bertepatan dengan peringatan
maulid Nabi M uhammad SAW , tanggal 12 rabiul awal tahun 954 H
disahkan oleh Sultan Hadiwijaya setelah berkonsultasi dengan Sunan

Kalijaga. Tanggal 2 M ei kemudian ditetapkan sebagai hari jadi kota
Semarang.
Pembuatan jalan, perumahan, pusat perdagangan dan pasar
seperti misalnya Pasar Johar yang juga berada di pinggir Kali Semarang,
erat kaitannya dengan mobilitas sosial geografis dan aktivitas ekonomi
Komunitas M akam Gunung Brintik Semarang. Dalam W ijanarka.
(2007) dikaji perkembangan Kota Semarang. Data diperoleh dari petapeta Semarang mulai yang tertua hingga terbaru dan pengamatan
lapangan. Peta-peta Semarang tersebut meliputi peta Semarang tahun
1695, 1719, 1741, 1800, 1811, 1813, I825, 1847, 1866, 1892, 1909, 1941,
dan 1946. Dengan mengkaji perkembangan Kota Semarang tersebut
disimpulkan bahwa perkembangan Kota Semarang terbentuk karena:
1). Kali Semarang; 2). Jalur tradisional; 3). Pola diagonal; dan 4). Pola
kontur tanah. Kegiatan Komunitas M akam Gunung Brintik saat ini
sangat berkaitan dengan alasan-alasan tersebut.
Ada sejarawan dan perencana kota yang berpendapat bahwa
Kali Semarang merupakan dasar pembentukan embrio Kota Semarang.
Komunitas M akam Gunung Brintik berada di tepi Kali Semarang ini.
56

Bab 4 Komunitas M akam Gunung Brintik


Awal mula. Kota Semarang berada di kawasan yang sekarang menjadi
kawasan Pasar Johar yang juga di pinggir Kali Semarang. Dengan
demikian dapat diketahui bahwa dalam peletakan unit-unit rumah
tinggal, Thomas Karsten merupakan konseptor dalam hal ini.
Kabupaten Semarang secara definitif ditetapkan berdasarkan
UU Nomor 13 tahun 1950 tentang pembentukan kabupaten-kabupaten
dalam lingkungan provinsi Jawa Tengah).
Pada masa Orde Baru, tahun 1969, gencar dilakukan
pembangunan seiring dengan “M odernisasi Desa” yang dikumandangkannya. Saat itu saya siswa SM P St.Yoris Semarang. Ada sepenggal
syair lagu yang sering dinyanyikan dalam setiap upacara yang
mengerahkan pelajar dengan mengambil lokasi upacara di Tugu M uda,
begini syair itu:
“…Desaku sumber hidup Negara, wajib kubangun scara baru,
tuk menentukan hari depan, bagi nusa dan bangsa….”.

Pada saat itu berbagai lagu diciptakan untuk membangkitkan
semangat membangun di Jawa Tengah umumnya dan Semarang pada
khususnya. Seniman kondang kota Semarang “Ki Narto Sabdo” ikut
juga menyemarakkan gelora semangat pembangunan itu dengan lagu

Jawa :
“ …Ayo ayo…kanca tilingana…kanca miyarsakno…enggal
katindakno. Desa kuwi wus kuno wus mesti…tansah dadi
obyek ning sak iki ganti…Modernisasi desa pembangunan
desa …ya tegese kuwi co…kudu dadi subyek melu
nemtokake ing bab politik ekonomi lan sosial ……..”

Gencarnya modernisasi yang dilakukan di kota Semarang,
berimbas pada hiruk pikuk masyarakat kota Semarang, di mana
komunitas Gunung Brintik berada berdekatan dengan pusat berbagai
kegiatan. Bersebelahan dengan Gereja Randusari Keuskupan Agung
Semarang, berdekatan dengan Tugu M uda Semarang, pusat pemerintahan kota Semarang dan kegiatan pemerintahan serta kegiatan
perekonomian Provinsi Jawa Tengah. Gunung Brintik berada di
57

SURVIVAL STRATEGY KOM UNITAS M AKAM GUNUNG BRINTIK SEM ARANG

pinggiran (pinggir kali Semarang, pingggir Jl. Dr. Sutomo, dan
masyarakatnya di pinggir berbagai kegiatan di kawasan Tugu muda
itu).


Peta dan Kondisi Kependudukan W ilayah Gunung Brintik

Sumber : data primer tahun 2013

Gambar 4.2
Citra Satelit W ilayah Gunung Brintik dan Sekitarnya Tahun 20131

Areal pemukiman makam Gunung Brintik dapat dilokalisir
menjadi empat lokal:
1.

Hampir sepertiga wilayah itu berada di lereng dan dataran dekat
dengan Tugu M uda dimanfaatkan untuk bangunan Gereja dan
sekolah milik Yayasan Pangudi Luhur, SM P Dominico Savio, dan
TK/SD Bernardus. Di lingkungan Gereja ada bangunan pelayanan
kesehatan Yayasan Sosial Soegijapranata, dan Unit Penjahitan.

1


W ilayah Pemakaman Gunung Brintik berada di antara Kuburan
Bergota yang berwarna hijau, dan wilayah bangunan sekolah dan gereja di
pojok lingkaran Tugu Muda yang diapit oleh sudut segi tiga Jl.Pandanaran dan
Jl. Dr. Sutomo.

58

Bab 4 Komunitas M akam Gunung Brintik

2.

Areal M akam berpenghuni jarang (rencana menjadi RT 10
(kondisi awal tahun 2010).

3.

Areal pemukiman padat penghuni berbatasan dengan areal makam
Bergota di dekat RS. Dr. Karyadi Semarang.

4.


Areal tepian dan di atas sungai di antara Gunung Brintik dan Jl.
Dr. Sutomo.

Ada empat kelompok penduduk areal makam Gunung Brintik
ini:
1.

Areal M akam berpenghuni jarang (rencana menjadi RT 10)
Komunitas yang bertempat tinggal di lereng puncak kearah
tenggara ini sebagian besar belum memiliki KTP. Gunung Brintik
termasuk di dalam RW 03, Kampung W onosari. Penduduk secara
umum, dari RT 01 sampai RT 09 ditambah rencana RT 10 kurang
lebih 400 KK. Cukup padat, setiap RT rata-rata 40 KK lebih. RT
04 yang sangat padat , lebih dari 57 KK. Gunung Brintik mulai RT
06 sampai RT 10.

M ata pencaharian yang paling banyak dilakukan mereka di
daerah puncak Gunung Brintik paling banyak secara umumnya
serabutan, mulai dari yang paling sederhana pengemis, kemudian
sampai dengan buruh yang secara pasti tidak setiap hari. Buruh
pembuat bunga, tukang becak juga ada. Hanya sangat sedikit yang
punya pekerjaan tetap baik swasta maupun PNS bahkan di atas itu
tidak ada PNS, jadi semua serba serabutan. Yang di puncak itu
penduduknya keluar masuk tetapi semua punya KTP
Sampai tahun 2008 yang sempat tidak punya KTP adalah RT
10, karena saat itu RT 10 bekas hutan dan menempel dengan daerah
makam, tetapi secara pelan tapi pasti itu beberapa tanah dibuat supaya
pajaknya dibayar. Semula mereka tidak membayar pajak. Karena syarat
di kelurahan membayar pajak maka RT 10 adalah RT terakhir dan KK
nya juga masih sedikit. Akhirnya bisa dikatakan semua mendapat KTP,
dan KTP menjadi penduduk setempat dan rata-rata setelah menjadi
59

SURVIVAL STRATEGY KOM UNITAS M AKAM GUNUNG BRINTIK SEM ARANG

penduduk disitu dan relatif jarang ada yang pindah. Alamatnya RT
bukan jalan apa, nomer berapa (karena dimakam) tetap ada nomernya.
Yang pasti ada RT dan RW .

2.

Areal pemukiman padat penghuni berbatasan dengan areal makam
Bergota di dekat RS Dr.Karyadi Semarang.

Kawasan ini telah cukup lama berdiri, mereka telah mampu
mengangkat dirinya dari lapisan paling bawah, dan banyak yang
survive. Ada PNS, ada Guru, Dosen, pedagang dan menetap di kawasan
itu. M ereka telah memiliki KTP. M enurut mantan Ketua RT I :
”...Setiap bantuan selalu ada kerjasama dengan pihak RT dan
RW seijin lurah dan biasanya sudah dikoordinasikan dalam
pertemuan dengan RT dan RW . Beberapa LSM ataupun
pihak-pihak yang terlibat dalam proses pembinaan memang
sebenarnya sudah dijelaskan di forum RW . Mereka punya
program dan kemudian dari RW , RT akan menyetujui dan
kemudian baru mereka dari pihak luar melakukan kegiatan.”
(wawancara tanggal 10 Mei 2010)

Dari pengamatan yang saya lakukan, keluarga itu dan beberapa
keluarga yang lain memang walaupun mereka telah sekolah tinggi dan
secara ekonomi agak mapan secara umum masih bertempat tinggal
disana. Ada keluarga yang sudah di perumahan Puri Anjasmoro masih
juga rumah di Kawasan Gunung Brintik masih dipertahankan. M otivasi
terbesarnya adalah ikatan keluarga dan ketenangan. W alapun di lingkungan yang secara geografis berat karena memang lereng-lereng,
namun motiviasi spiritual semacam itu ada. Kebersamaan, ketenangan
disamping memang akses untuk keluar dan sebagainya memang praktis
karena memang di pusat kota. W alaupun tadi pekerjaannya serabutan
tapi bisa dikatakan mereka juga mendapat semuanya katakanlah tidak
pernah ada yang kelaparan M ereka mendapatkan semua yang
dibutuhkannya.
Di dalam data tahun 2008 ada BLT di RW 03 tapi tidak terlalu
banyak yang mendapat, karena walaupun tidak punya pekerjaan yang
60

Bab 4 Komunitas M akam Gunung Brintik

dikatakan sebagai karyawan atau pegawai, mereka serabutan tapi setiap
hari ada pekerjaan. Bagi yang pekerja tetap mungkin ada suatu
penilaian bahwa ketika mempunyai ekonomi yang cukup lumayan dan
hidup di kampung dia merasa menjadi orang penting sehingga merasa
persaingan ekonomi tidak tinggi. Barangkali merasa lebih tenang
ketika lingkungan ekonomi tidak terlalu tinggi. M ereka tidak
kemrungsung, merasa tidak bersaing bahkan mereka menjadi
”golongan” seperti orang yang dihargai. Itu kenyamanan sosial. Selain
itu anggota keluarga mereka keluarga sebagian besar umumnya ”jadi”.

Sumber : Data Primer Tahun 2010

Gambar 4.3

Deretan Rumah di Lereng Barat Gunung Brintik Menghadap Jl. Dr.
Sutomo Semarang

Beberapa orang yang sempat punya kedudukan-kedudukan
juga masih punya keluarga di Gunung Brintik. Bahkan kadang-kadang
masih membeli rumah yang memang dijual. Ada juga keluarga yang
sudah puluhan atau bahkan lebih dari 50 tahun di luar kota dan ini
anaknya kembali di gang 3, bekerja di Kejaksaan Tinggi Jateng.
M enantu dan anaknya kembali ke sini walaupun orang tuanya di
Bandung dan pakde-pakdenya di Jakarta. Karena beliau itu termasuk
salah satu orang yang sangat sukses di RT 01.

61

SURVIVAL STRATEGY KOM UNITAS M AKAM GUNUNG BRINTIK SEM ARANG

3.

Areal tepian sungai di antara Gunung Brintik dan Jl.Dr.Sutomo
bagian selatan

Sumber : Data Primer Tahun 2010

Gambar 4.4

Kios Pedagang dan Jasa di tepian sungai dan jalan

M enurut penuturan mantan Ketua RT I dalam wawancara
tanggal 4 Januari 2010:
“……..Awalnya dulu disitu ,saya tahun 2000 di tempat RT
01, kebetulan kalau di lingkungan bawah istilah secara
umum, pendatang lebih banyak dan penduduk asli yang awal
membuka lingkungan itu memang di bawah sementara di
atas itu berupa relokasi. Relokasi dari para gelandangan,
kemudian orang-orang yang memang dipindahkan dari
tempat lain kemudian dikola oleh pihak yayasan
Soegiyapranata dan diberikan semacam rumah-rumah
sederhana itu awalnya tahun 80 an informasinya dan dari
situlah kemudian tempat-tempat lain ditempati oleh para
pendatang yang mempunyai pekerjaan serabutan.”

4.

62

Areal tepian di atas sungai di antara Gunung Brintik dan Jl. Dr.
Sutomo bagian bagian Utara.

Bab 4 Komunitas M akam Gunung Brintik

Sumber: data primer tahun 2010

Gambar 4.5
PKL Jl. Dr. Sutomo

Ada dua kelompok usaha. Pertama, kelompok kios-kios bunga
yang dianggap sebagai pedagang kaki lima (PKL) mulai gang lima
sampai delapan, kemudian antara gang lima sampai gang satu namanya
pedagang dan jasa, jadi ada warung-warung mulai gang lima sampai
satu. Sebagian besar bertempat tinggal di sana, sementara antara gang
lima sampai delapan tidak bertempat tinggal di kios itu. Sore tutup.
Ada Kopaja (Koperasi Pedagang dan Jasa) yang satu lagi koperasi PKL.
M ereka ada iuran, ada pengurusnya sehingga kalau kelurahan akan
berhubungan ya dengan pengurusnya M ereka beriuran juga untuk jaga
keamanan sehingga setiap malam ada HANSIP (Pertahanan Sipil) yang
berjaga jaga di pos HANSIP gang 5 yang dibiayai warga termasuk
Kopaja dan PKL melalui RT setempat.

M odal Komunitas (Community Capital) Komunitas M akam Gunung
Brintik Semarang

Komunitas M akam Gunung Brintik memiliki modal komunitas
(Community Capital) untuk survive dan memiliki strategi
menyesuaikan diri dengan lingkungannya, serta strategi yang
63

SURVIVAL STRATEGY KOM UNITAS M AKAM GUNUNG BRINTIK SEM ARANG

digunakan untuk dapat berhasil mengatasi kemiskinan di Gunung
Brintik .
M odal komunitas berupa; moral/spiritual (spiritual capital)
M odal ekonomi (economic capital), M odal M anusia (human capital),
modal intelektual (intelektual capital), modal emosional (emotional
capital termasuk ketabahan /adversity Capital), serta modal moral, dan
modal kesehatan. M odal tersebut dapat dikelompokkan seperti yang
disampaikan oleh Jeffrey Sachs (2005) sebagai berikut: Human capitalkesehatan, nutrisi, dan keahlian dibutuhkan setiap orang untuk
menjadi produktif secara ekonomi; Business capital: teknologi atau
permesinan, berbagai fasilitas, alat-alat transportasi bermotor sangat
diperlukan dalam pertanian, industri dan jasa; Infrastructure capital:
pembangunan jalan-jalan, air dan sanitasi, bandara dan pelabuhan, dan
sistem telekomunikasi, adalah penting demi produktivitas bisnis;
Natural capital. Sumber daya alam; Public institutional capital: hukum
komersial, sistem yudisial, berbagai pelayanan dan kebijakan
pemerintah dibutuhkan menjadi penopang pembagian kerja yang
penuh damai dan makmur; Knowledge capital: pengetahuan saintifik
dan teknologi dapat meningkatkan produktivitas dalam bisnis dan
mempromosikan physical dan natural capital.
Sumber Daya Alam di Kawasan Gunung Brintik ini tersedia air
ada sumur dan atau ledeng untuk lereng di bawah pinggir Kali
Semarang.
“…Kalau untuk saya untuk mandi itu sumur tapi untuk
keperluan lain ada ledeng dari PAM (Perusahaan Air
Minum/ Ledeng), sampai dengan agak tinggi kemudian ada
sumur umum yang dibangun oleh Belanda jaman dulu, dan
disalurkan-salurkan kemudian ada sumur umum yang dibuat
warga di puncak di Gunung Brintik disalurkan ke warga
untuk semuanya kalau yang bawah karena airnya agak
rembes dari sungai memang masyarakat tidak memanfaatkan
untuk keperluan memasak tetapi di atas airnya sangat jernih
karena kedalamannya mendekati 50 sampai 70 meter, jadi
memang itu disalurkan…” (W awancara dengan warga RT 01,
10 Februari 2011)

64

Bab 4 Komunitas M akam Gunung Brintik

Ada beberapa sumur umum yang dibangun oleh RW yang
kemudian disalurkan ke beberapa warga, jadi ada pengurus sumur
umum yang mengatur pembayaran tiap bulan. Ada juga warga yang
memang membuat sumur sendiri kemudian disalurkan dan membayar,
airnya bagus dan ada tetangga saya sumur saya tidak begitu bagus tetapi
tetangga di rumah pakde saya itu sumur yang dibangun Belanda sangat
bagus cuma bedanya air yang dibuat Belanda sangat dalam, yang
mencarikan sumur umum semacam orang pintar zaman dulu sehingga
tidak boleh ditutup jadi ada beberapa sumur salah satunya di Pojok
rumah keluarga besar istri mantan Ketua RT I.
Pada jaman dulu ada peminta-minta yang kadang-kadang agak
kasar, membarut/menggores kendaraan dan lain-lain. Sekarang
keliatannnya itu tidak ada lagi. Pada kawasan ada beberapa kepedulian
masyarakat sekitar, misalnya yayasan PS GARAM , Yayasan
Penyelenggara Illahi, Yayasan Pangudi Luhur, dan Yayasan Sosial
Sugiyopranoto
Ada juga yang mengelola anak-anak jalanan. Ada kerjasama
yayasan Sosial Sugiyopranoto dengan LSM dari Jerman kemudian
mendirikan rumah singgah. Ada juga yayasan Pelita Harapan. M ereka
ngontrak rumah lima tahun. Dari situlah anak-anak dari kawasan
Gunung Brintik mendapat pembekalan termasuk etika-etika. Para
pengemis memang sampai sekarang masih ada khususnya pada harihari tertentu tetapi kalau perilaku yang bisa dikatakan merugikan
dalam pengertian merusak barang dalam hal ini sudah tidak ada. Selain
pengimis ada anak jalanan tetapi kalau sudah didampingi relatif sedikit
dan nampaknya tidak ada perilaku-perilaku yang bersifat merusak.
Kemudian kepedulian-kepedulian yang lain itu dari pihak warga yang
telah maju selain dari pihak gereja dan ada juga pihak yayasan Islam.
Ada beberapa TPQ yang memang membina anak-anak supaya tumbuh
menjadi anak-anak yang lebih berguna. TPQ mengajarkan normanorma nilai-nilai. Ada di sana TPQ Nurul Hidayah, TPQ Al Huda,
kemudian ada SD Istiqomah selain SD Gunung Brintik yang memang
didirikan oleh Yayasan Sugiyopranoto, atau oleh Pangudi Luhur atau

65

SURVIVAL STRATEGY KOM UNITAS M AKAM GUNUNG BRINTIK SEM ARANG

Yayasan Pendidikan Pangudi Luhur, menjadi satu Yayasan dengan
yayasan pengelola SM P Dominico Savio
Perkembangan yang positif terjadi karena adanya kepedulian
sosial, penanaman nilai-nilai sopan santun dan seterusnya, seperti
contohnya Pak Rom yang relatif berhasil dan dari kawasan situ yang
sedikit banyaknya memberikan supporting, keliatannya memang benar
ada pengaruh dari nilai-nilai sopan santun, tata krama keikutsertaan
handarbeni di kawasan itu sehingga banyak orang-orang yang singgah
di puncak tadi itu (maksudnya Puncak Gunung Brintik) yang
gelandangan, pengemis sekarang ada perubahan tingkah laku menjdi
lebih baik.
Di RT memang pengurus lingkungan dalam hal ini RW setiap
bulan mengadakan pertemuan kemudian setiap RT mengadakan
pertemuan. Dalam pertemuan tersebut selain dihadiri oleh beberapa
pihak yang peduli, itu sering kali dari pihak keluruhanan, selain
babinkamtibmas dan babinsa memang hadir kemudian di pihak RT
diminta mendata warga-warga yang terlibat kasus dan sebagainya. Bagi
pihak kepolisian hal itu dapat digunakan sebagai bahan pemetaan, dan
bagi kelurahan untuk pembinaan supaya tidak terjadi permasalahan
dikemudian hari. W arga supaya peduli terhadap kampung, dan sadar
sebagai pendatang beserta keturunan dan warga asli setempat.
Penghuni pertama, kemudian keluarga besar dari mbah-mbahnya, pak
de, pak lik ada di sana semua bisa dikatakan penguasa asli tempat jadi
memang ada pengaruh yang cukup untuk mengajak warga sehingga
bila dibandingkan tahun 2000 anak jalanan masih banyak. Kerjasama
dengan tokoh dengan kamtibmas boleh dikatakan di atas 2005 tidak
dijumpai lagi anak-anak atau pemuda, warga yang mabuk di jalan ini,
sehingga nampak mulai ada indikator perubahan, walaupun kalau
sepenuhnya memang belum bisa tapi perbuatan-perbuatan yang
merusak dirasa telah tidak terjadi lagi. Sudah aman, gotong royong dan
kerjasama relatif bagus, apalagi bantuan dari pemerintah dana-dana
pembangunan relatif baik karena daerah itu merupakan daerah
perhatian tokoh politik sebagai lumbung suara. Tokoh tersebut memanfaatkan untuk memperbaiki fasilitas yang ada disitu.
66

Bab 4 Komunitas M akam Gunung Brintik

M akam Gunung Brintik. M akam itu sudah di kapling-kapling
oleh pengelola makam dan Dinas/ Pemerintah. M akam-makam itu
sudah ada petugas yang membersihkan. M ereka menguasai misalnya
Blok K, misalnya K5, J5, D7 dan sebagainya. M asing-masing sudah ada
kapling sendiri dan itu sudah ada petugasnya sehingga bila ada yang
berziarah maka sesuai dengan kapling itu akan memberikan sedikit
dana untuk kebersihan. Bila sampai bertahun-tahun paling pinggir
tidak dibersihkan ahli waris/ tidak datang, akan hilang atau justru
ditanami dengan patok baru bila suatu hari ada orang yang minta itu
akan digunakan lagi. Yang paling tahu mana tanah yang kosong adalah
mereka atau para penguasa (yang membersihkan) saja. Juru kunci, lain
lagi. Ia adalah penguasa seluruhnya, sedangkan mereka hanya penguasa
wilayah
M enurut kepercayaan, M bah Brintik dianggap yang M bahu
Rekso. Banyak warga yang merasa diimpeni (bermimpi). W ujud dari
kepercayaan itu setiap warga yang punya gawe (pesta/selamatan) itu
bisa dikatakan pasti dari M bah Brintik (mengunjungi makam). Kalau
tidak, maka dianggap warga itu sudah melepaskan diri dari budaya
setempat.
Selanjutnya dijelaskan :2
“….. ketika saya mau mengkhitankan anak oleh warga
disarankan untuk sowan ke Mbah Brintik kemudian oleh
juru kuncinya dido’a di makam itu dengan harapan semacam
restu, tidak hanya orang yang dikatakan tinggal di puncak
sampai RT 01 masih melaksanakan itu (interload: RT 01 di
dekat Pak Rom) dekat jalan Dr. Sutomo RT 01, RT 03 dekat
jalan raya (interload: yang atas yang SD RT 10) RT 10 yang
turun ke punggung kea rah keluruhan, puncak RT 07, RT 08
turun sebelah kanan, RT 09, 10 ke kanan. Di puncak ada
semacam gaji dari Pemkot ada beberapa memang petugas
kata orang yang mendapat gaji, jadi ada yang honorer ada
yang PNS, jadi memang penduduk setempat ada yang
honorer kemudian ada yang PNS yang sebenarnya mereka

2
W awancara tanggal 15 Mei 2012 dengan mantan Ketua RT 01,
Romadi,S.Pd.M.Hum.

67

SURVIVAL STRATEGY KOM UNITAS M AKAM GUNUNG BRINTIK SEM ARANG

ngantornya tidak selalu disitu jadi di dinas kalau tidak salah
di pertamanan dan pemakaman, yang sekarang dinas
pemakaman tapi kan gabungan dengan dinas pertamanan
kalau tidak keliru dan itu sebenarnya statusnya pegawai itu.
Cuma kantornya di Bergota jadi kalau bicara tingkat
kehadiran ya karena pekerja di lingkungan sendiri ya relatif
selalu ada tetapi tidak di tempat, tidak di kantor tetapi di
rumah dan itu memang beberapa ada yang dapat pensiun.”

Ada semacam penanaman nilai-nilai katakanlah moral,
spiritual, sikap yang membuat ketenangan. Ada semacam istilah emaneman kalau harus meninggalkan kampung, ada nilai spiritual, ada
semacam senang, ketenangan, kecocokan.
Para penjual bunga secara umum dari modal sendiri. Awalnya
modal sendiri, secara pelan-pelan pada tahun-tahun 2000-an bunga
agak sempat melonjak. M ereka berkembang secara mandiri, setelah
berkembang baru bank menawarkan pinjaman. Awalnya bank memang
sulit masuk. Sekarang selain bank-bank pemerintah juga ada bankbank kecil yang beraktivitas di kawasan Gunung Brintik.

68