Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Survival Strategy Komunitas Makam Gunung Brintik Semarang D 902007007 BAB II

Bab 2

Kajian Pustaka

Kemiskinan
Kemiskinan berkaitan erat dengan kualitas sumber daya
manusia. Kemiskinan muncul karena sumber daya manusia yang tidak
berkualitas, begitu pula sebaliknya. M embangun pengertian
kemiskinan bukanlah perkara yang mudah karena kemiskinan
mencakup berbagai macam dimensi. Dimensi kemiskinan dapat
diidentifikasi menurut ekonomi, sosial, dan politik.

Kemiskinan Absolut
Kemiskinan secara absolut ditentukan berdasarkan ketidak
mampuan untuk mencukupi kebutuhan pokok minimum seperti
pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan yang
diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja. Kebutuhan pokok minimum
diterjemahkan sebagai ukuran finansial dalam bentuk uang. Nilai
kebutuhan minimum kebutuhan dasar tersebut dikenal dengan istilah
garis kemiskinan. Penduduk yang pendapatannya di bawah garis
kemiskinan digolongkan sebagai penduduk miskin. Garis kemiskinan

absolut “tetap (tidak berubah)” dalam hal standar hidup, garis
kemiskinan absolut mampu membandingkan kemiskinan secara umum.
“Pada umumnya ada dua ukuran yang digunakan oleh Bank
Dunia, yaitu : a) US $ 1 perkapita per hari yang diperkirakan
ada sekitar 1,2 miliar penduduk dunia yang hidup di bawah
ukuran tersebut; b) US $ 2 perkapita per hari, yaitu lebih dari
2 miliar penduduk yang hidup kurang dari batas tersebut. US
dollar yang digunakan adalah US $ PPP (Purchasing Power
Parity ), bukan nilai tukar resmi (exchange rate). Kedua batas

13

SURVIVAL STRATEGY KOM UNITAS M AKAM GUNUNG BRINTIK SEM ARANG

tersebut di atas adalah garis kemiskinan absolut. (Anonim 1,
Tahun 2010) (http://statmisker. wordpress. com/2010/08/13/
kemiskinan-absolut-absolute-poverty/)

Kemiskinan merupakan konsep yang, bermatra multidimensional. Dimensi kemiskinan menyangkut aspek ekonomi, politik
dan sosial-psikologis. Secara ekonomi, kemiskinan dapat didefinisikan

sebagai kekurangan sumberdaya yang dapat digunakan untuk
memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan
sekelompok orang. Sumberdaya dalam konteks ini menyangkut tidak
hanya aspek finansial, melainkan pula semua jenis kekayaan (wealth)
yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam arti luas.
Berdasarkan konsepsi ini, kemiskinan dapat diukur secara langsung
berdasar tolok ukur nyata, dengan menetapkan persediaan sumberdaya
yang dimiliki melalui penggunaan standar baku yang dikenal dengan
garis kemiskinan (poverty line). Cara seperti ini sering disebut dengan
metode pengukuran kemiskinan absolut. Garis kemiskinan yang
digunakan BPS sebesar 2,100 kkalori per orang per hari yang
disetarakan dengan pendapatan tertentu atau pendekatan Bank Dunia
tersebut di atas yang menggunakan 1 dolar AS per orang per hari
adalah contoh pengukuran kemiskinan absolut.
Dari kenyataan seperti di atas, kemudian muncul beberapa
ketentuan mengenai kemiskinan, yaitu:
Biro Pusat Statistik (BPS): tingkat kemiskinan didasarkan pada
jumlah rupiah konsumsi berupa makanan yaitu kurang dari 2100
kkalori per orang per hari (dari 52 jenis komoditi yang dianggap
mewakili pola konsumsi penduduk yang berada di lapisan bawah), dan

konsumsi nonmakanan (dari 45 jenis komoditi makanan sesuai
kesepakatan nasional dan tidak dibedakan antara wilayah pedesaan dan
perkotaan). Patokan kecukupan 2100 kkalori ini berlaku untuk
susunan umur, jenis kelamin, dan perkiraan tingkat kegiatan fisik,
berat badan, serta perkiraan status fisiologis penduduk.
M enurut Sajogya (1975), tingkat kemiskinan didasarkan jumlah
rupiah pengeluaran rumah tangga yang disetarakan dengan jumlah
14

Bab 2 Kajian Pustaka

kilogram konsumsi beras per orang per tahun dan dibagi wilayah
pedesaan dan perkotaan.

Kemiskinan Struktural
Secara politik, kemiskinan dilihat dari tingkat akses terhadap
kekuasaan (power). Kekuasaan dalam pengertian ini mencakup tatanan
sistem politik yang dapat menentukan kemampuan sekelompok orang
dalam menjangkau dan menggunakan sumberdaya. Ada tiga
pertanyaan mendasar yang bekaitan dengan akses terhadap kekuasaan

ini, yaitu (a) bagaimana orang dapat memanfaatkan sumberdaya yang
ada dalam masyarakat, (b) bagaimana orang dapat turut ambil bagian
dalam pembuatan keputusan penggunaan sumberdaya yang tersedia,
dan (c) bagaimana kemampuan untuk berpartisipasi dalam kegiatankegiatan kemasyarakatan.
Kemiskinan secara sosial-psikologis menunjuk pada kekurangan jaringan dan struktur sosial yang mendukung dalam mendapatkan
kesempatan-kesempatan peningkatan produktivitas. Dimensi kemiskinan ini juga dapat diartikan sebagai kemiskinan yang disebabkan
oleh adanya faktor-faktor penghambat yang mencegah atau merintangi seseorang dalam memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang
ada di masyarakat.
Faktor-faktor penghambat tersebut secara umum meliputi
faktor internal dan eksternal. Faktor internal datang dari dalam diri si
miskin itu sendiri, seperti rendahnya pendidikan atau adanya
hambatan budaya.
Teori “kemiskinan budaya” (cultural poverty) yang dikemukakan Oscar Lewis, (2004) misalnya, menyatakan bahwa kemiskinan
dapat muncul sebagai akibat adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang
dianut oleh orang-orang miskin, seperti malas, mudah menyerah pada
nasib, kurang memiliki etos kerja dan sebagainya. Faktor eksternal
datang dari luar kemampuan orang yang bersangkutan, seperti
birokrasi atau peraturan-peraturan resmi yang dapat menghambat
15


SURVIVAL STRATEGY KOM UNITAS M AKAM GUNUNG BRINTIK SEM ARANG

seseorang dalam memanfaatkan sumberdaya. Kemiskinan model ini
seringkali diistilahkan dengan “kemiskinan struktural”. M enurut
pandangan ini, kemiskinan terjadi bukan dikarenakan “ketidakmauan”
si misikin untuk bekerja (malas), melainkan karena “ketidakmampuan”
sistem dan struktur sosial dalam menyediakan kesempatan-kesempatan
yang memungkinkan si miskin dapat bekerja.
Konsepsi kemiskinan yang bersifat multidimensional ini
kiranya lebih tepat jika digunakan sebagai pisau analisis dalam
mendefinisikan kemiskinan dan merumuskan kebijakan penanganan
kemiskinan di Indonesia. Sebagaimana akan dikemukakan pada
pembahasan berikutnya, konsepsi kemiskinan ini juga sangat dekat
dengan perspektif pekerjaan sosial yang memfokuskan pada konsep
keberfungsian sosial dan senantiasa melihat manusia dalam konteks
lingkungan dan situasi sosialnya.
Teori Kemiskinan, menurut M ichael Sherraden (2006: 46-54)
dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori yang saling bertentangan
dan satu kelompok teori yang tidak memihak (middle ground), yaitu
teori yang memfokuskan pada tingkah laku individu (behavioral), teori

yang mengarah pada struktur sosial, dan yang satu teori mengenai
budaya miskin.
M enurutnya Teori yang memfokuskan pada tingkah laku
individu merupakan teori tentang pilihan, harapan, sikap, motivasi dan
capital manusia (human capital). Teori ini disajikan dalam teori
ekonomi neo-klasik, yang berasumsi bahwa manusia bebas mengambil
keputusan untuk dirinya sen diri dengan tersedianya pilihan-pilihan.
Perspektif ini sejalan dengan teori sosiologi fungsionalis, bahwa ketidak
setaraan itu tidak dapat dihindari dan diinginkan adalah keniscayaan
dan penting bagi masyarakat secara keseluruhan.
Terori perilaku individu meyakini bahwa sikap individu yang
tidak produktif telah mengakibatkan lahirnya kemiskinan. Teori
Struktural yang bertolak belakang dengan terori perilaku memandang
bahwa hambatan-hambatan struktural yang sistematik telah menciptakan ketidaksamaan dalam kesempatan, dan berkelanjutannya penin16

Bab 2 Kajian Pustaka

dasan terhadap kelompok miskin oleh kelompok kapitalis. Variasi teori
struktural ini terfokus pada topik seperti ras, gender atau ketidaksinambungan geografis dalam kaitannya atau dalam ketidakterkaitannya dengan ras.
Teori budaya miskin yang dikembangkan oleh Oscar Lewis

(2004) ini mengatakan bahwa gambaran budaya kelompok kelas
bawah, khususnya pada orientasi untuk masa sekarang dan tidak
adanya penundaan atas kepuasan, mengekalkan kemiskinan di
kalangan mereka dari satu generasi ke generasi berikutnya.
M enurut M ichael Sherraden (2006) bahwa dalam berbagai
bentuk, teori budaya miskin ini berakar pada politik sayap kiri (Lewis)
dan politik sayap kanan (Banfield). Dari sayap kiri, perspektif ini
dikenal sebagai situasi miskin, yang mengindikasikan bahwa adanya
disfungsi tingkah laku ternyata merupakan adaptasi fungsional
terhadap keadaan-keadaan yang sulit Dengan kata lain kelompok sayap
kiri cenderung melihat budaya miskin sebagai sebuah akibat dari
struktur sosial. Sebaliknya kelompok sayap kanan melihat tingkah laku
dan budaya masyarakat kelas bawah yang mengakibatkan mereka
menempati posisi di bawah dalam struktur sosial.
Abhijit V. Banerjee dan Esther Duflo (2011) dalam bukunya
yang berjudul Poor Economics: A Radical Rethinking of the W ay to
Fight Glohal Poverty mengajukan "pertanyaan-pertanyaan penting"
berhubungan dengan kemiskinan global seperti berikut ini:"Apa yang
menjadi penyebab utama kemiskinan? Berapa banyak keyakinan yang
harus kita letakkan dalam pasar bebas? Apakah demokrasi baik bagi

orang miskin? Apakah bantuan asing memiliki peran untuk
dimainkan?
Banerjee dan Esther Duflo (2011: 3) berkata bahwa Jeffrey
Sachs adalah seorang ahli yang memiliki jawaban bagi semua
pertanyaan tersebut: "Negara-negara miskin adalah miskin karena
daerah mereka terlalu panas, tidak subur, diselimuti oleh wabah
malaria, seringkali daerah mereka terisolir; yang mana hal-hal tersebut
membuat sulit bagi mereka untuk menjadi produktif tanpa dimulainya
17

SURVIVAL STRATEGY KOM UNITAS M AKAM GUNUNG BRINTIK SEM ARANG

investasi besar untuk membantu mereka menghadapi masalah-masalah
endemik tersebut. Namun tentu saja mereka tidak dapat menyediakan
investasi tersebut karena mereka miskin mereka ini berada dalam apa
yang disebut oleh para ekonom "poverty trap" atau "perangkap
kemiskinan" dari Stephen C. Smith (2005:11) mengatakan bahwa
istilah "poverty trap" dapat disebut juga "kemiskinan struktural." (Edi
Purwanto, 2012)
Jeffrey D. Sachs adalah adalah orang yang sangat optimis

dengan teorinya. Ia memulai pendahuluan bukunya yang berjudul The
End of Poverty (2005) dengan berkata, "Saat ini lebih dari delapan juta
orang di seluruh dunia mati setiap tahunnya karena mereka terlalu
miskin untuk bertahan hidup. Generasi kita dapat memilih untuk
mengakhiri kemiskinan ekstrim itu sebelum tahun 2025" (Sachs,
2005:1).
Orang miskin yang sangat miskin setidaknya tidak memiliki
enam kapital utama yaitu:
1. Human capital-kesehatan, nutrisi, dan keahlian dibutuhkan setiap
orang untuk menjadi produktif secara ekonomi (Sachs, 2005: 5-10).
2. Business capital: teknologi atau permesinan, berbagai fasilitas, alatalat transportasi bermotor sangat diperlukan dalam pertanian,
industri dan jasa (Sachs, 2005:41).
3. Infrastructure: pembangunan jalan-jalan, air dan sanitasi, bandara
dan pelabuhan, dan sistem telekomunikasi, adalah penting demi
produktivitas bisnis (Sachs, 2005:181).
4. Natural capital. Sumber daya alam
5. Public institutional capital: hukum komersial, sistem yudisial,
berbagai pelayanan dan ke-bijakan pemerintah dibutuhkan menjadi
penopang pembagian kerja yang penuh damai dan makmur (Sachs,
2005:12-14).

6. Knowledge capital: pengetahuan saintifik dan teknologi dapat
meningkatkan produktivitas dalam bisnis dan mempromosikan
physical dan natural capital. (Sachs, 2005:15-16).
18

Bab 2 Kajian Pustaka

M enurut Jeffrey Sachs keenam kapital yang absen dari antara
orang miskin itulah yang menjadi perangkap kemiskinan sehingga
orang miskin sulit keluar dari kemiskinannya. Sachs (2005:245) berkata
bahwa orang miskin mulai dengan tingkat kapital yang sangat rendah
per orang, dan kemudian menemukan diri mereka sendiri terperangkap
dalam kemiskinan karena rasio kapital per orang secara nyata turun
dari generasi ke generasi. Jumlah kapital per orang itu justru akan
menurun seiring dengan populasi yang bertumbuh lebih cepat dari
pada kapital itu terakumulasi. Dalam perangkap kemiskinan ini Sachs
menyatakan bahwa perlu uluran tangan dari luar, misalnya bantuan
asing, untuk membebaskan orang-orang miskin dari kemiskinan
tersebut sebelum akhirnya mereka bisa mandiri dan bebas dari
perangkap kemiskinan.


Sumber : Diolah dari Jeffrey D.Sach 2005

Gambar 2.1
Skema Jeffrey D.Sach’s Poverty Traps

Smith (2005:12) menjelaskan bahwa sesungguhnya tidak semua
kemiskinan di segala waktu dan tempat adalah suatu perangkap.
Kemiskinan mungkin bersifat sementara dan dalam beberapa kasus
orang dapat berusaha dan berhasil untuk keluar dari kemiskinan.
Namun kemiskinan menjadi suatu perangkap ketika suatu lingkaran
setan kemiskinan menggagalkan usaha-usaha orang miskin. Dalam
19

SURVIVAL STRATEGY KOM UNITAS M AKAM GUNUNG BRINTIK SEM ARANG

bukunya yang berjudul Ending Global Poverty (2005) ini Stephen C.
Smith memberikan enambelas perangkap kemiskinan utama yang
memperangkap orang miskin menjadi budak dalam lingkaran setan
kemiskinan.
Powerlessness traps. Kondisi tidak berdaya (power-lessness)
adalah perangkap kemiskinan yang sangat nyata. M ohammad Yunus
(dalam Smith, 2005:17) berkata, "Orang miskin tetap dalam kemiskinan
bukan karena mereka mau, namun karena banyak penghalang yang
dibangun mengelilingi mereka oleh orang-orang yang mengambil
keuntungan dari kemiskinan mereka." M enurut Smith (2005:17) yang
dimaksudkan Yunus di sini adalah para tuan tanah, para rentenir, para
pejabat korup, dan lainya yang melihat dunia akan menjadi lebih baik
bagi me-reka jika kemiskinan terus berlangsung daripada kemiskinan
itu harus diakhiri. Enambelas perangkap utama kemiskinan (poverty
traps) tersebut di antaranya adalah sebagai berikut ini:

Sumber : Diolah dari Stephen C.Smith. 2005: 12-17

Gambar 2.2
Skema Stephen C.Smith’s Poverty Traps

20

Bab 2 Kajian Pustaka

Amartya Sen (1999: 88-89) menyatakan bahwa kebutuhan
keluarga memunculkan banyak komplikasi dengan income approach
untuk menjelaskan masalah kemiskinan. Jika pendapatan keluarga
digunakan tidak sebanding dengan kebutuhan beberapa anggota
keluarga dan tidak termasuk anggota keluarga yang tidak dianggap
penting (misalnya anak perempuan dalam kultur tententu), maka
meningkatnya deprivasi anak-anak perempuan tersebut mungkin tidak
nampak berkaitan dengan pendapatan keluarga. Dengan demikian
deprivasi anak-anak perempuan tersebut dapat dilihat sebagai deprivasi
kapabilitas daripada didasarkan pada analisis pendapatan. Isu tentang
ketidaksetaraan gender tidak dapat diterapkan di sini.
Akhirnya Amartya Sen (1999: 89) menyatakan bahwa deprivasi
relatif berkaitan dengan pendapatan dapat menghasilkan deprivasi
absolut berkaitan dengan kapabilitas. Amartya Sen (1999: 92)
menyimpulkan bahwa berbahaya memandang kemiskinan secara
sempit berkaitan dengan deprivasi pendapatan, dan kemudian
membenarkan bahwa investasi dalam pendidikan, pelayanan kesehatan
dan sebagainya dapat dijadikan dasar untuk menjadi sarana mengakhiri
kemiskinan, karena kemiskinan disebabkan oleh karena menurunnya
pendapatan.
Sebaliknya mereka menawarkan observasi-observasi dan
pengalaman-pengalaman lokal untuk mengeksplorasi bagaimana sesungguhnya orang miskin di negara-negara miskin mengatasi kemiskinan mereka: apa yang mereka ketahui, apa yang mereka lihat (atau
tidak lihat) untuk lakukan, apa yang mereka harapkan dari diri mereka
sendiri dan dari orang lain, dan bagaimana mereka membuat pilihanpilihan yang dapat mereka buat. Kelihatannya ada banyak hal kecil
namun sangat penting untuk dimenangkan, beberapa dapat
dimenangkan secara pribadi dan beberapa melalui tindakan bersama,
yang keduanya dapat menambahkan keuntungan besar bagi orangorang miskin dunia. Saya sungguh terpesona dan diyakinkan."
Abhijit Vinayak Banerjee dan Esther Duflo menyimpulkan
tulisan mereka dengan memberikan beberapa usulan pemikiran dalam
lima kunci pelajaran untuk memahami masalah kemiskinan.
21

SURVIVAL STRATEGY KOM UNITAS M AKAM GUNUNG BRINTIK SEM ARANG

Pertama, orang miskin sering tidak dapat kritis (mengkritisi)
terhadap informasi dan mempercayai apa yang tidak benar. M ereka
tidak yakin tentang manfaat dari imunisasi anak-anak mereka; mereka
berpikir ada nilai yang terlalu kecil di dalam apa yang dipelajari pada
beberapa tahun pertama mengikuti pendidikan; mereka tidak tahu
berapa banyak pupuk yang mereka harus gunakan; mereka tidak tahu
cara termudah terkena HIV; mereka tidak tahu apa yang para politisi
kerjakan di kantor mereka. Ketika apa yang mereka percayai ternyata
tidak benar, akhirnya mereka justru membuat keputusan-keputusan
yang salah (Banerjee & Duflo 2011: 268).
Kedua, orang miskin menanggung tanggungjawab terlalu
banyak aspek dari kehidupan mereka. Lebih kaya keadaan Anda, lebih
"benar" keputusan-keputusan yang Anda buat. Orang miskin tidak
memiliki air gallon, dan oleh sebab itu tidak dapat memanfaatkan
khlor yang pemerintah kota masukkan dalam air yang disediakan. Jika
mereka ingin air minum bersih, mereka harus menyaringnya sendiri
(Banerjee & Duflo, 2011: 169).
Ketiga, ada alasan-alasan yang baik bahwa beberapa pasar
bukan untuk orang miskin, atau bahwa orang miskin menghadapi
harga buruk.
Keempat, negara-negara miskin bukan bernasib gagal karena
mereka miskin, atau karena mereka telah memiliki sejarah yang buruk.
Namun banyak dari kegagalan ini paling tidak disebabkan oleh karena
konspirasi para elit yang memegang kendali ekonomi dan perancang
kebijakan (Banerjee & Duflo, 2011: 270-271). Akhirnya, harapanharapan mereka pupus seiring dengan kepercayaan mereka yang
terkhianati. Anak-anak berhenti sekolah ketika guru mereka (dan
kadang-kadang orangtua mereka) mengatakan kepada mereka bahwa
mereka tidak cukup cerdas untuk mengikuti kurikulum pelajaran yang
diberikan; para pembeli hasil kebun mereka tidak berusaha meminta
agar mereka membayar hutang-hutang mereka agar mereka cepat
terikat hutang kembali; para perawat berhenti bekerja karena tak
seorangpun mengharapkan kehadiran mereka di sana; partisipasi
politik yang tak seorangpun harapkan tidak tertarik untuk mencoba
22

Bab 2 Kajian Pustaka

meningkatkan kehidupan rakyat. M enurut Banerjee "mengubah
harapan-harapan tidaklah mudah, namun itu bukan berarti tidak
mungkin" (Banerjee & Duflo, 2011: 271).
Dapat dikatakan saat ini dapat dikenal adanya 4 teori tentang
kemiskinan yaitu: pertama sering juga disebut sebagai teori kemiskinan
individual (the individual of poverty), teori kedua sering juga disebut
sebagai teori budaya kemiskinan (the culture of poverty), teori ketiga
disebut sebagai teori kemiskinan struktural (the structural of poverty),
dan teori keempat sering juga disebut sebagai the cycle of poverty
(siklus kemiskinan) yang sering disebut-sebut sebagai “The Vicious
Circles of economics and Political Poverty” atau Lingkaran Setan
Kemiskinan (M artinussen, John. 1997: 299)
Dilihat dari penyebabnya Bradshaw (2005) menjelaskan adanya 5
jenis kemiskinan.
“ In this paper five theories of poverty are distilled from the
literature. It will be shown that these theories of poverty
place its origin from 1) individual deficiencies, 2) cultural
belief systems that support subcultures in poverty, 3
political-economic distortions, 4) geographical disparities, or
5) cumulative and circumstantial origins”.

Pendekatan Yang Dapat Digunakan Dalam Studi Tentang
Kemiskinan
Ada dua pendekatan yang dapat digunakan dalam studi tentang
kemiskinan, yaitu pedekatan obyektif dan pendekatan subyektif.
Pendekatan obyektif yaitu pendekatan dengan menggunakan ukuran
kemiskinan yang telah ditentukan oleh pihak lain terutama para ahli
yang diukur dari tingkat kesejahteraan sosial sesuai dengan standart
kehidupan, sedangkan pendekatan subyektif adalah pendekatan
dengan menggunakan ukuran kemiskinan yang ditentukan oleh orang
miskin itu sendiri yang diukur dari tingkat kesejahteraan sosial dari
orang miskin dibandingkan dengan orang kaya yang ada di
lingkungannya. Pendekatan subyektif menilai kemiskinan berdasarkan
23

SURVIVAL STRATEGY KOM UNITAS M AKAM GUNUNG BRINTIK SEM ARANG

pendapat atau pandangan orang miskin sendiri. Pendekatan obyektif
atau sering juga disebut sebagai pendekatan kesejahteraan (the welfare
approach) menekankan pada penilaian normatif dan syarat yang harus
dipenuhi agar keluar dari kemiskinan. Dengan menggunakan
pendekatan obyektif banyak ditemukan berbagai dimensi pendekatan
yang digunakan oleh para ahli maupun lembaga. Seperti BAPPENAS
menggunakan beberapa pendekatan utama antara lain; pendekatan
kebutuhan dasar (basic needs approach), pendekatan pendapatan
(income approach), pendekatan kemampuan dasar (human capability
approach) dan pendekatan objective and subjective.
Pendekatan kebutuhan dasar, melihat bahwa kemiskinan
sebagai suatu ketidakmampuan (lack of capabilities) seseorang,
keluarga dan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan minimum,
antara lain pangan, sandang, papan, pelayanan kesehatan, pendidikan,
penyediaan air bersih dan sanitasi. Sedangkan pendekatan pendapatan,
melihat bahwa kemiskinan disebabkan oleh rendahnya penguasaan
asset, dan alat-alat produktif seperti tanah dan lahan pertanian atau
perkebunan, sehingga secara langsung mempengaruhi pendapatan
seseorang dalam masyarakat. Pendekatan ini, menentukan secara rigid
standar pendapatan seseorang di dalam masyarakat untuk membedakan
kelas sosialnya. Demikian pula pendekatan kemampuan dasar yang
menilai bahwa kemiskinan sebagai keterbatasan kemampuan dasar
seperti kemampuan membaca dan menulis untuk menjalankan fungsi
minimal dalam masyarakat.
Pendekatan hak melihat bahwa kemiskinan didefinisikan
sebagai kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan
perempuan,tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan
dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat.
Hak-hak dasar yang diakui secara umum antara lain meliputi
terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan,
perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan
hidup, rasa aman dari perlakukan atau ancaman tindak kekerasan dan
hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi
perempuan maupun laki-laki.
24

Bab 2 Kajian Pustaka

Kemiskinan secara ekonomi dapat diartikan sebagai kekurangan sumber daya yang dapat digunakan untuk meningkatkan
kesejahteraan. Kemiskinan ini dapat diukur secara langsung dengan
menetapkan persediaan sumber daya yang tersedia dan membandingkannya dengan ukuran baku. Kemiskinan sosial dapat diartikan sebagai
kekurangan jaringan sosial dan struktur sosial yang mendukung untuk
mendapatkan kesempatan agar produktivitas seseorang meningkat.
Kemiskinan sosial dibedakan berdasarkan faktor yang menyebabkan
kemiskinan itu terjadi. Sedangkan kemiskinan politik menekankan
pada akses terhadap kekuasaan. Kekuasaan yang dimaksud mencakup
tatanan sistem sosial yang dapat menentukan alokasi sumber daya
untuk kepentingan sekelompok orang atau tatanan sistem sosial yang
menentukan alokasi penggunaan sumber daya.
Kemiskinan merupakan masalah sosial laten yang senantiasa
hadir di tengah-tengah masyarakat. Kemiskinan senantiasa menarik
perhatian berbagai kalangan, baik para akademisi maupun para
praktisi. Berbagai teori, konsep dan pendekatan pun terus menerus
dikembangkan untuk menyibak tirai dan mungkin “misteri” mengenai
kemiskinan ini.
Dalam konteks masyarakat Indonesia, masalah kemiskinan juga
merupakan masalah sosial yang senantiasa relevan untuk dikaji secara
terus menerus. Ini bukan saja karena masalah kemiskinan telah ada
sejak lama, melainkan pula karena masalah ini masih hadir di tengahtengah kita dan bahkan kini gejalanya semakin meningkat sejalan
dengan krisis multidimensional yang masih dihadapi oleh Bangsa
Indonesia. M eskipun pembahasan kemiskinan pernah mengalami tahap
keje-nuhan sejak pertengahan 1980-an, upaya pengentasan kemiskinan
kini semakin mendesak kembali untuk dikaji ulang. Beberapa alasan
yang mendasari pendapat ini antara lain adalah:
Pertama, konsep kemiskinan masih didominasi oleh perspektif
tunggal, yakni “kemiskinan pendapatan” atau “in-come-poverty”
Pendekatan ini banyak dikritik oleh para pakar ilmu sosial sebagai
pendekatan yang kurang bisa menggambarkan potret kemiskinan
secara lengkap. Kemiskinan seakan-akan hanyalah masalah ekonomi
25

SURVIVAL STRATEGY KOM UNITAS M AKAM GUNUNG BRINTIK SEM ARANG

yang ditunjukkan oleh rendahnya pendapatan seseorang atau keluarga
untuk me-menuhi kebutuhan hidupnya.
Kedua, jumlah orang miskin di Indonesia senantiasa
menunjukkan angka yang tinggi, baik secara absolut maupun relatif, di
pedesaan maupun perkotaan M eskipun Indonesia pernah dicatat
sebagai salah satu negara berkembang yang sukses dalam mengentaskan kemiskinan, ternyata masalah kemiskinan kembali menjadi isu
sentral di Tanah Air karena bukan saja jumlahnya yang kembali
meningkat, melainkan dimensinya pun semakin kompleks seiring
dengan menurunnya kualitas hidup masyarakaat akibat terpaan krisis
ekonomi sejak tahun 1997.
Ketiga, kemiskinan mempunyai dampak negatif yang bersifat
menyebar (multiplier effects) terhadap tatanan kemasyarakatan secara
menyeluruh. Berbagai peristiwa konflik di Tanah Air yang terjadi
sepanjang krisis ekonomi, misalnya, menunjukkan bahwa ternyata
persoalan kemiskinan bukanlah sematamata mempengaruhi ketahanan
ekonomi yang ditampilkan oleh rendahnya daya beli masyarakat,
melainkan pula mempengaruhi ketahanan sosial masyarakat dan
ketahanan nasional.
“ For that reason, it is important to look Social Capital,
Household W elfare and Poverty in Indonesia, membership
conditions (voluntary or not, payment of fees, etc.) and the
degree of effective participation in associations before
inferring social capital effects. The analysis below will
include some of these aspects” (Christiaan Grootaert, 1999: 7)

Teori M odal Sosial dalam M odal Komunitas
M odal Sosial didefinisikan oleh M ichie (ed) 2001 sebagai
berikut:
“…Social Capital is a resource for individual and collective
actors located in the netwok of their more or less durable
social relations..”

26

Bab 2 Kajian Pustaka

M odal sosial adalah sumber daya bagi aktor individual dan
kelompok yang berada di dalam jejaring relasi sosial mereka yang dapat
bertahan dalam kurun waktu yang relatif lama.
M odal Sosial (Social Capital) merupakan bagian dari M odal
Komunitas (Community Capital). Seperti diketahui, terdapat beberapa
bentuk modal lain yang sudah cukup dikenal selama ini yaitu M odal
M anusia (Human capital), M odal/Sumber Daya Alam (Natural Capital)
dan M odal financial/ekonomi (Financial/ economic Capital).
Faktor internal berupa pola organisasi sosial yang tumbuh
dalam suatu setting dengan kepercayaan tradisional, pola-pola
pembagian kekuasaan dalam masyarakat, pola/ sistem produksi dan
reproduksi serta nilai-nilai dan norma itu sendiri. Faktor yang lebih
luas dapat diklasifikasikan sebagai faktor eksternal seperti pengaruh
agama, globalisasi, urbanisasi, kebijakan pemerintah, hukum dan
perundang-undangan, ekspansi pendidikan, politik dan pemerintahan
serta nilai-nilai universal seperti nilai demokrasi, persamaan,
kebebasan, dan keadaban merupakan kumpulan determinan yang
saling pengaruh mempengaruhi dengan unsur-unsur pokok M odal
Sosial.
Grootaert & van Bastelaer (eds.) (2002), menyatakan bahwa
M odal sosial memiliki berbagai persamaan dengan bentuk-bentuk
modal tradisional. M odal sosial, seperti modal fisik, berakumulasi
sebagai cadangan yang menghasilkan satu aliran keuntungan (dalam
bentuk: pertukaran informasi, dan pengambilan keputusan dan
kegiatan bersama). Seperti modal fisik, cadangan ini menuntut
investasi awal dan perawatan rutin, dalam bentuk interaksi sosial berulang atau perilaku pemupukan kepercayaan. M odal sosial bisa
berlangsung bertahun-tahun untuk membangun dan lebih mudah
dirusak.
Untuk mengukur M odal Sosial, dapat dipakai Alat Pengukur
M odal Sosial yang disebut SOCAT (The Social Capital Assessment
Tool). Pendekatan ini mengukur modal sosial pada tingkat mikro dan

27

SURVIVAL STRATEGY KOM UNITAS M AKAM GUNUNG BRINTIK SEM ARANG

meso. SOCAT ini terdiri dari tiga unit data, yaitu komunitas,
rumahtangga, dan organisasi.
Selanjutnya Grootaert (2002), menyatakan SOCAT menandai
tingkat keberagaman internal menurut 7 kriteria: 1. kinship
(kekerabatan), 2. religious (agama), 3. gender (jenis kelamin), 4. Age
(umur), 5. political affiliation (afiliasi) politik, 6. pekerjaan, dan 7.
pendidikan.
Desain dan uji lapangan SOCAT merupakan langkah pertama
pengembangan satu ukuran tunggal modal sosial. Alat ini meliputi
modal sosial kognitif dan struktural, menyatukan ukuran kuantitatif
dan kualitatif yang dibuat bersama dan berulang-ulang, dan sahih serta
handal dalam konteks komunitas, rumahtangga, dan lembaga mana
pun. Tujuan kunci SOCAT adalah menyumbang pemahaman tentang
bagaimana ukuran modal sosial tingkat komunitas, rumahtangga dan
organisasi, berinteraksi dengan indikator pembangunan lain, apakah
memperbaiki atau memperburuk pembangunan ekonomi dan sosial.
Dalam hal pendidikan., hal ini menguraikan mengenai fasilitas sekolah,
staf pengajar, dan akses komunitas terhadap sumber daya ini lewat
partisipasi sekolah. Data ini bisa menggambarkan hubungan antara
modal manusia dengan modal sosial.

Community Development
Dalam penggunaan bahasa Indonesia terdapat satu masalah,
yakni hanya ada satu kata 'masyarakat' untuk menerjemahkan kata
Inggris 'community' dan 'society'. Dalam buku ini secara umum dipakai
kata 'masyarakat' untuk keduanya, tetapi memakai kata 'komunitas'
secara terbatas jika ingin menekankan bahwa yang dimaksud adalah
bukan 'society' tapi 'community'. Buku ini juga tidak mau terjebak pada
konsistensi 'community' untuk selalu diterjemahkan menjadi
'komunitas' dan (sehingga) 'society' selalu menjadi 'masyarakat'. Hal ini
akan mereduksi arti kata 'masyarakat' dalam bahasa Indonesia (yang
sebenarnya juga berarti 'community'). Juga sudah banyak kelaziman
yang memang tidak konsisten, misalnya masyarakat lokal (ini dari local
28

Bab 2 Kajian Pustaka

community; tidak ada local society), berbasis masyarakat (community
based; tidak ada society based), masyarakat sipil/madani (ini dari civil
society; tidak ada civil community). Saya merasa pengamat/peminat
bidang sosial/ masyarakat akan tahu konteks kata 'masyarakat' yang
sedang dipakai dalam kalimat: apakah berarti community atau society.
Pada Buku Community Development (Pengembangan
M asyarakat) ini telah memantapkan posisinya sebagai standar buku
teks teori dan praktik pengembangan masyarakat di Australia sejak
edisi pertamanya pada 1995. Edisi berbahasa Indonesia ini merupakan
terjemahan dari edisi ketiga (2006). Para pengarangnya percaya bahwa
pengembangan struktur-struktur berbasis masyarakat telah menjadi
komponen kunci dari strategi-strategi untuk perubahan di seluruh
dunia. Di sini para pengarang menguraikan berbagai teori ekologi,
sosial dan politik guna membangun perspektif ekologis dan perspektif
keadilan sosial/HAM secara teguh untuk menjadi landasan dalam
praktik pengembangan masyarakat .
Buku tersebut berpertdapat bahwa pendekatan satu dimensi,
misalnya ekonomi, kepada pengembangan masyarakat akan berpeluang
besar menemui kegagalan dalam pengertian keutuhan masyarakat Oleh
karena itu, di sini dipromosikan suatu bentuk "pengembangan
masyarakat terpadu" yang melibatkan enam dimensi masyarakat, yaitu
sosial, ekonomi, poilitik, kultural, lingkungan hidup dan spiritual/
personal. Semua itu untuk mewujudkan apa yang disebut sebagai
pembangunan yang seimbang. Dengan mendiskusikan 26 prinsip kunci
pengembangan masyarakat buku ini menunjukkan dengan jelas sifat
bidang bidang dan pekerjaan pengembangan masyarakat yang lintas
sektoral yang, karena itu, terbuka bagi orang-orang dari segala bidang
untuk melibatkan diri.
Para praktisi masyarakat akan sangat terbantu, dengan membaca buku tersebut, untuk melakukan analisis kekuatan-kekuatan
dalam masyarakat dan mengidentifikasi struktur-struktur yang melemahkan dan merugikan masyarakat, untuk kemudfan menetapkan
strategi (yang mencakup proses dan tujuan) pemberdayaan masyarakat
29

SURVIVAL STRATEGY KOM UNITAS M AKAM GUNUNG BRINTIK SEM ARANG

yang memadai sehingga terwujud kesejahteraan masyarakat yang sesuai
dengan keberlanjutan ekologis bumi dan keadilan sosial/HAM .
Krisis yang diangkat oleh Profesor Ife dan Dr. Tesoriero dalam
buku tersebut, yaitu krisis ekologis dan krisis keadilan sosial/HAM ,
bukan sekadar 'terjadi' juga di negeri ini tetapi terjadi pada tingkat
yang sangat mengkhawatirkan. Kegiatan-kegiatan pembangunan pada
berbagai sektor telah banyak mengakibatkan kerusakan alam yang
serius di darat dan di laut, dan pada saat yang sama telah memporakporandakan sistem-sistem sosial, ekonomi dan budaya masyarakat, di
seluruh Indonesia (Sastrawan M anulang, 2012).
Layanan-layanan bagi masyarakat dalam sektor-sektor pangan,
kesehatan, pendidikan, perumahan, perhubungan dan energi, baik dari
pemerintah terlebih lagi dari swasta, sungguh tidak mudah dijangkau
masyarakat. Sebagian besar rakyat, terutama mereka yang tergolong
miskin, yaitu sebanyak 40 (standar nasional versi EPS) sampai 100
(standar internasional versi Bank Dunia) juta orang, tidak dapat
memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup pokok.
Selain itu, fakta-fakta seperti sampah yang tidak terkelola
dengan baik, tata kota (termasuk di desa-desa) dan lalu lintas yang
semrawut, keberadaan pengemis dan anak jalanan, dan konflik-konflik
dengan kekerasan yang menyangkut buruh, pedagang kaki lima,
pelajar, mahasiswa dan kelompok agama yang masih terus terjadi
dengan jelas menunjukkan bahwa masyarakat kita belum mampu
mengorganisasi diri dengan baik untuk menyelesaikan masalahmasalah. Inilah ketidakberdayaan masyarakat yang nyata.
Lewat buku 'pengembangan masyarakat' (Community
Development)2 kedua penulis dengan berani menawarkan jalan keluar
dari kedua krisis tersebut, yaitu dengan melaksanakan alternatifalternatif pembangunan berbasis masyarakat. Ini membuat kita
bertanya, "M ana mungkin masyarakat menyelesaikan masalah-masalah
sebesar itu?" dan "Apa itu sebenarnya pengembangan masyarakat?" Ife
dan Tesoriero dengan baik membuka wawasan pembaca tentang apa
sebenarnya ruang lingkup dari ranah yang disebut sebagai pengem30

Bab 2 Kajian Pustaka

bangan masyarakat. Kegiatan pengembangan masyarakat dapat
dilakukan lewat atau dalam berbagai sektor pertanian, perdagangan,
kehutanan, industri, pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup, lalulintas dan sebagainya dan skala. M eskipun demikian, label
'pengembangan masyarakat' tidak selalu menjamin bahwa kegiatan
yang dilakukan benar-benar pro-masyarakat. Pemahaman yang keliru
mengenai konsep dan konteks pengembangan masyarakat dapat
mengakibatkan hal yang fatal yaitu ketika kegiatan/program yang
dilaksanakan bukan memberdayakan masyarakat walaupun mungkin,
misalnya, meningkatkan pendapatan sekelompok orang tetapi justru
memperkuat struktur-struktur yang menindas.
Dalam buku tersebut terdapat 26 prinsip pengembangan
masyarakat yang dapat dipakai untuk menilai apakah suatu kegiatan
memperbaiki atau memperburuk keadaan masyarakat. Akan tetapi,
hendaknya kita tidak memakainya sebagai daftar periksa yang hanya
tinggal memilih 'cek' atau 'silang'. Sifatnya yang kualitatif justru
seharusnya membuat kita sangat berhati-hati untuk tidak terlalu
menyederhanakan dalam memberikan penilaian. Oleh karena itulah
buku ini sejak awal memperingatkan para pekerja masyarakat untuk
terlebih dahulu memahami konsep-konsep dasar dari teori-teori sosialpolitik dan ekologi secara memadai. Pemahaman yang memadai itu
juga memang diperlukan agar pekerja masyarakat tidak naif dan
beranggapan bahwa pengembangan masyarakat hanya memerlukan
modal ketulusan hati merpati untuk menolong kaum lemah. Karena
kenyataannya, masyarakat manusia sering seperti belantara yang
penuh tipu-muslihat dan kekejaman dan memang inilah inti
masalahnya yang perlu dihadapi dengan pengetahuan, kearifan,
keberanian dan kekuatan.
Globalisasi (Era kesejagadan) budaya telah diikuti oleh pola
globalisasi ekonomi. Sebuah budaya universal sedang muncul,
dipropagandakan melalui media global yang bekerja serta dikendalikan
oleh modal antar bangsa. Televisi, musik, arsitektur, makanan,
minuman, pakaian, film, olahraga, berbagai bentuk rekreasi,
M cDonald’s, Coca Cola, musik barat populer, dan toko pizza.
31

SURVIVAL STRATEGY KOM UNITAS M AKAM GUNUNG BRINTIK SEM ARANG

Di hadapan globalisasi budaya ini, masyarakat sangat sulit
untuk mempertahankan budaya lokal yang unik milik mereka sendiri.
Di antara pengembangan masyarakat dan Pembangunan Kebudayaan,
terdapat empat komponen yaitu: pelestarian dan nilai-nilai budaya
lokal, pelestarian dan nilai-nilai budaya asli, multi-kultural, dan
budaya partisipasi.
M asyarakat setempat perlu bertanggung jawab untuk
melindungi dan memulihkan kembali lingkungan fisik. Kadangkala isu
lingkungan dibawa bersama dengan isu sebuah aktivitas masyarakat
setempat. Kuncinya adalah sebuah keberanian dan perhatian terhadap
lingkungan orang-orang bersama pada tingkat masyarakat setempat.
Kedewasaan kepribadian, ini penting di dalam pembicaraan
mengenai pengembangan atau pembangunan masyarakat setempat.
M asyarakat setempat merupakan sebuah komunitas yang baik dalam
konteks pengembangan kepribadian ketimbang struktur birokrasi yang
lebih impersonal.
Gagasan pengembangan kepribadian selalu berkaitan dengan
berbagai aktifitas dan perkembangan perseorangan secara menyeluruh.
Sebuah catatan penting yaitu kedewasaan kepribadian seseorang
berkaitan dengan cara pandang terhadap masalah-masalah sosial.
Sebuah ancangan berbasis komunitas dapat berfungsi di sini
apabila seseorang saling bertemu dan berinteraksi pada masyarakat
setempat. Pembangunan Rohani dan kedewasaan kepribadian
merupakan aspek yang sangat penting di dalam pengembangan
masyarakat setempat.
Sebuah ancangan yang efektif bagi pembangunan masyarakat
setempat apabila mempertimbangkan keenam aspek tersebut secara
keseluruhan/secara holistik.
Secara garis besar, dasar-dasar di sini bukanlah suatu hal yang
dikerjakan secara berurutan, melainkan berkembang di dalam
masyarakat setempat itu sendiri, tergantung pula dari keanekaragaman
masyarakat setempat itu. Pada dasarnya ada 26 Prinsip Pengembangan
M asyarakat, secara singkat menurut Jim Ife, (2002) dan Jim Ife & Frank
32

Bab 2 Kajian Pustaka

Tesoriero (2012), sebagai berikut: Holisme, prinsip dari holisme
diterapkan pada seluruh aspek pengembangan masyarakat setempat;
Berkelanjutan; Keanekaragaman; Pengembangan Organik, berlawanan
dengan perkembangan mekanistik yang mengacu tentang perbedaan
sebuah mesin dan sebuah tanaman; Keseimbangan pembangunan,
mengacu pada gagasan enam aspek
pengembangan masyarakat
setempat secara terintegratif, dengan memperhatikan prinsip-prinsip
keadilan social; M engarah pada susunan/struktur ketidakberuntungan.
Secara alamiah, gender, kelas, ras/etnisitas, merupakan konteks khusus
dalam masyarakat setempat (pendekatan struktural); M engarah pada
percakapan ketidak beruntungan (dari sudut pandang struktur
kekuasaan); Penguasaan; Penjabaran kebutuhan; HAM ; Penilaian
Pengetahuan Setempat; Penilaian Budaya setempat. Globalisasi
kebudayaan sedang merampok identitas budaya masyarakat setempat
di seluruh dunia; Penilaian Sumber Daya Lokal. Negara kesejahteraan
mengabaikan sumber daya lokal dan mencari dukungan kemana saja,
umumnya dari pemerintah; Penilaian Ketrampilan setempat; Penilaian
Proses setempat. Budaya masyarakat setempat, tradisi dan lingkungan;
Proses, hasil dan bayangan ke depan; Kesatuan proses; Pertumbuhan
Kesadaran; Partisipasi; Kerjasama dan Kesepakatan; Langkah
Pembangunan; Damai dan Tanpa Kekerasan; Keterlibatan; M embangun
masyarakat setempat; Keterkaitan Lokal dan Global; Anti Penjajahan.
Pandangan atau uraian Jim Ife tersebut mencerminkan
ringkasan buku secara keseluruhan. Telah tercantum sederetan daftar
prinsip-prinsip pengembangan masyarakat setempat. Bagaimanapun
setiap prinsip tersebut di atas sangatlah kompleks dan problematik.
Prinsip-prinsip pengembangan masyarakat membutuhkan
adaptasi, pertimbangan, sesuai dengan kebutuhan konteks nya. Pada
gilirannya diperlukan peran nyata para pekerja masyarakat setempat
dan dibutuhkan ketrampilan untuk mengisi peran tersebut.

33

SURVIVAL STRATEGY KOM UNITAS M AKAM GUNUNG BRINTIK SEM ARANG

Peran Negara
Dalam sistem kapitalisme, para pengusaha adalah economic
animals yang serakah, yang akan mengejar keuntungan bagi dirinya
sebanyak-banyaknya. Tapi justru karena itu, mereka juga menjadi
kreatif dan agresif dalam berusaha. Seperti yang dinyatakan oleh Kwik
Kian Gie dalam Budiman (1989):
Pemikiran saya adalah kaum kapitalis ini memang business
animals dengan segala perangkatnya sebagai animals. Tetapi
mereka sangat berguna bagi masyarakat, kalau kita pandai
mengendalikan, mempermainkan dan mengarah kannya
untuk kepentingan rakyat. Mereka ini manusia yang sangat
inventif, penuh dengan inisiatif, manusia pencipta hal-hal
yang besar all out , berani mengambil resiko besar. Karena
itu, mereka juga all out dalam metode-metodenya. Kalau
perlu mereka akan main kotor, melanggar peraturan
bilamana aparat pemerintah meleng sedikit saja. Seandainya
pemerintah lihai, pemerintah pasti menang, karena
mempunyai kekuasaan memaksa.

Dengan pernyataan ini, tampak dengan jelas bahwa Kwik
tergolong intelektual Indonesia yang menganut aliran kapitalisme.
Seperti juga pemikir-pemikir kapitalis yang lain, maka dia melihat
peran pemerintah atau negara sangat besar untuk mencegah akibai
negatif dari sistem ini. Kalau saja ada kemauan baik dari pemerintah,
maka "pemerintah pasti menang, karena mempunyai kekuasaan
memaksa". Tapi di sinilah persoalannya terletak. Pemerintah memang
memiliki kekuatan memaksa yang besar, paling sedikit pemerintah
Indonesia sekarang ini. Tapi adakah kemauan untuk menggunakan
kekuasaan pemaksa tersebut untuk menghasilkan dan melaksanakan
kebijakan-kebijakan yang menguntungkan rakyat kecil?
Bercerita tentang kermauan, kita tidak bisa bicara hanya
tentang proses psikologis untuk menumbuhkan kesadaran saja. Kita
juga harus berbicara tentang kaitan-kaitan sosial atau kondisi material
yang dapat atau tidak dapat menghasilkan kesadaran dari kemauan
tersebut. Pemerintah atau negara mungkin tidak memiliki kesadaran
untuk.membela rakyat kecil. M isalnya para pemimpin negara ber34

Bab 2 Kajian Pustaka

anggapan bahwa yang penting dalam pembangunan adalah meningkatkan laju pertumbuhan, supaya kita cepat kaya. Kalau memang
begitu, maka yang perlu dilakukan adalah gerakan penyadaran bahwa
pemerataan hasil-hasil pembangunan perlu dilakukan demi kelestarian
pembangunan itu sendiri. Bagaimana kalau terjadi pemberontakan
sosial? Bukankah usaha pertumbuhan yang dilakukan jadi sia-sia saja?
Karena itu melayani kepentingan rakyat kecil perlu.
Atau para pemimpin negara ini dapat disadarkan melalui
pendekatan moral dan agama. Adalah tidak pantas, secara. moral dan
agama, untuk menelantarkan orang-orang miskin. Karena itu,
pemerataan harus dilakukan di samping pertumbuhan.
Tapi mungkin pula terjadi, masalahnya bukan masalah
kesadaran, melainkan kepentingan. Para pemimpin negara sadar bahwa
pemerataan dalam pembangunan memang harus dilaksanakan. Tapi,
pembangunan dengan pemerataan akan dapat mengurangi pembagian
rejeki bagi dirinya. Karena itu, lebih menguntungkan bagi para
pemimpin negara untuk mengutamakan pembangunan dengan pertumbuhan yang tinggi, dengan pemerataan dilakukan seperlunya saja
untuk mencegah pemberontakan sosial. Dalam hal ini, yang jadi
masalah bukanlah kesadaran, tetapi kepentingan para pemimpin negara
yang terkait erat dengan sistem ekonomi yang mengutamakan
pertumbuhan yang tinggi,
Pada titik ini, kita sebenarnya sedang berbicara tentang hakikat
negara. Apa dan siapa sebenarnya negara? Kwik Kian Gie (1986: 89
dalam Budiman, 1989) terlalu sederhana mengambil asumsi bahwa
negara selalu mendahulukan kepentingan umum. Negara seakan-akan
selalu adalah lembaga yang netral, yang tidak memiliki wajah atau
warna sendiri. Negara seakan-akan tidak memiliki kepentingannya
sendiri. Karena itu, sebelum berbicara tentang kemungkinan negara
menciptakan dan melaksanakan kebijakan pemerataan pembangunan,
maka kita perlu mengkaji kembali hakikat dari negara.
Asas paradigma modernisasi ialah anggapan bahwa evolusi atau
perkembangan suatu masyarakat didorong oleh perimbangan antara
35

SURVIVAL STRATEGY KOM UNITAS M AKAM GUNUNG BRINTIK SEM ARANG

jumlah penduduk dan sumber-sumber daya (resources), dan persaingan
antara Negara tetangga. Semakin terbatas ketersediaan sumber-sumber
daya karena jumlah penduduk yang meningkat, semakin tinggi
persaingan antara Negara tetangga. Situasi ini menuntut perbaikan
dalam pola kerja dan pembagian tugas demi mencapai keefisienan kerja
dan peningkatan daya produksi. Ini bermakna bahwa evolusi
(masyarakat) merupakan suatu peningkatan kemampuan untuk
menyesuaikan diri, yakni upaya untuk mengontrol sumber-sumber
daya dan mendapatkan lebih besar kenyamanan lingkungan; suatu
kemajuan yang bertahap dari tradisional ke modern (Parsons, 1996,
dan Suwartiningsih, 2010: 2).
Teori modernisasi beranggapan bahwa untuk menjadi
modern, semua masyarakat mestilah melalui satu garis
tahapan evolusi, seperti nampak dalam definisi modernisasi
oleh Bandix (1963: 12 dalam Suwartiningsih 2010), yakni ‘a
type of social change since the eighteenth century consisting
in the economic and political advance of some pioneering
society and subsequent changes in follower cosieties’. Proses
menjadi modern bisa berlangsung lambat atau cepat
bergantung kepada kondisi internal masyarakat tersebut,
terutama aspek mental budaya. Dikatakan demikian, karena
kemiskinan dan keterbelakangan pada suatu masyarakat
dipandang sebagai hasi dari sistem sosial dan mental budaya
dari masyrakat tersebut. Oleh karena itu, untuk menjadikan
proses modernisasi lebih cepat, maka relasi antara
masyarakat terbelakang dengan masyarakat maju adalah
penting. Sedangkan pembangunan disamakan dengan
modernisasi, karena ia mencerminkan keinginan suatu
bangsa untuk mencapai “taraf yang sama dengan’ bangsa lain
yang lebih maju (Suwartiningsih, 2010: 3).

Teori modernisasi ini telah ditentang oleh banyak sarjana
karena teori ini dianggap tidak sesuai untuk menjelaskan keadaan dan
situasi pembangunan di negara-negara dunia ketiga. Sebagai gantinya
para sarjana tersebut mengajukan teori ketergantungan (dependency
theory) yang dipelopori oleh Andre G. Frank pada tahun 1969. Teori
ketergantungan ini bermula di Negara-negara Amerika Latin, dimana
keadaan dan situasi di kawasan itu mempunyainciri tersendiri, yang
36

Bab 2 Kajian Pustaka

member inspirasi kepada Frank untuk menyusun teori tersebut.
M enurut teori ini, kemiskinan dan keterbelakangan rakyat di Negara
dunia ketiga adalah akibat dari kapitalisme yang sudah berlaku sejak
zaman kolonial, bukan karena faktor mental budaya sebagaimana
anggapan teori modernisasi. Karena sistem pertukaran yang tidak
seimbang dalam kapitalisme (didalam kepustakaan capital-isme dikenal
sebagai ‘pola produksi kapitalisme’), maka rakyat bergantung kepada
kaum kapitalis di aras Negara, manakala Negara juga bergantung
kepada kaum kapitalis di aras dunia, yakni negara-negara maju. Oleh
karena itu, maka pembangunan menurut teori ini adalah perihal
mengatasi ‘pola produksi kapitalisme’ tersebut (Lauer, 2001: 415-417,
dan Suwartiningsih, 2010: 3).
Dalam buku hasil penelitian pada orang miskin di TPA
Jatibarang Semarang, strategi yang digunakan di sana diuraikan bahwa,
AGIL sebagai Survival Strategy (Strategi Bertahan Hidup) Komunitas
Pemulung M odal yang dimiliki oleh para pemulung di TPA sampah
Jatibarang adalah pilar-pilar kebertahanan hidupnya. Pertanyaan
lanjut, bagaimana para pemulung itu mengelola modal yang
dimilikinya sehingga bisa bertahan hidup sebagai suatu komunitas?
Untuk membahas persoalan ini, penulis menggunakan model AGIL,
dari Parsons sebagai kerangka acuan perbincangan. M enurut Parsons
suatu masyrakat dapat bertahan apabila mempunyai empat sub sistem,
yaitu: Adaptation (penyesuaian), Goal attainment (pencapaian tujuan),
Integration (integrasi), dan Latent/arah panduan. (Suwartiningsih 2010:
323).
Dalam membangun kemampuan untuk bertahan hidup,
struggle to life untuk survive digunakan survival strategy-Adaptive
Strategy. Untuk mampu survive di medan yang bisa jadi sama sekali
berbeda dari waktu atau daerah asalnya, mereka harus mampu
berimprovisasi, memodifikasi situasi, beradaptasi dengan kondisi dan
mengatasi (overcome) seluruh permasalahan yang muncul. Improvisasi
ini meliputi pengkajian berbagai kemungkinan dari usaha yang dilihat
dari perspektif yang berbeda. Bila ternyata di lapangan sumber daya
(resources) yang dimiliki tidak sepenuhnya cocok (match) dengan
37

SURVIVAL STRATEGY KOM UNITAS M AKAM GUNUNG BRINTIK SEM ARANG

medan yang dihadapi, maka harus siap me-modify sumber daya
tersebut sehingga bisa optimal menopang usaha yang dilakukan. Ketika
sudah berimprovisasi dan memodifikasi resources secara maksimal,
namun lapangan tetap tidak mudah ditaklukkan, tetap tidak bersahabat
dengan usaha baru, maka waktunya untuk beradaptasi dengan
lingkungan usaha yang berbeda tersebut. Setelah inipun masalah-demi
masalah baru tetap akan bermunculan; maka harus mampu mengovercome (mengatasi) setiap masalah yang muncul tersebut pada
waktunya siap untuk bertahan hidup, survive, bahkan berkembang.

Kerangka Pikir Penelitian
Berdasarkan tinjauan pustaka maka dapat dibuat kerangka teori
sebagai berikut:
Layanan
Sensitivit y

Sensitivit y

EKOSISTEM

SOCIAL SYSTEM

Adapt ive Capacit y

Adapt ive Capacit y

Pengelolaan
Adapt ive
St rat egy
Gambar 2.3
Skema Coupled Ecosystem – Social System

Dalam rangka the struggle for life in society involved the
competition for money and status among groups and individuals,
terdapat kerentanan pasangan sistem manusia-lingkungan terhadap
hilangnya layanan ekosistem. Pengurangan sensitivitas tersebut dapat
menumbuhkan kemampuan adaptasinya misalnya tumbuhnya
sumberdaya manusia (antara lain tumbuhnya modal sosial)
38

Bab 2 Kajian Pustaka

“ Reducing sensitivity to their effects and increasing adaptive
capacity (e.g.-exempli gratia raising human capital )“
(Locatelli,B.,PramovaE., 2010)

M engutip pendapat Loc