Partisipasi Petani dalam Pengelolaan Warisan Budaya Dunia Catur Angga Batukaru.

(1)

Bidang Unggulan: Budaya dan Pariwisata

Kode/ Nama Bidang Ilmu: 593/ Hubungan Internasional

LAPORAN AKHIR

HIBAH PENELITIAN UNGGULAN PROGRAM STUDI

TAHUN ANGGARAN 2015

Judul Penelitian : Partisipasi Petani Dalam Pengelolaan Warisan Budaya Dunia Catur Angga Batukaru

Ketua Pelaksana : D.A. Wiwik Dharmiasih, S.IP.,M.A. Anggota : Sukma Sushanti, S.S.,M.Si

Putu Titah Kawitri Resen, S.IP.,M.A.

Dibiayai oleh Dana PNBP sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Penugasan Program Hibah Unggulan Program Studi, Nomor: 936A/UN14.47/PNL.01.03.00/2015

Tanggal 29 Mei 2015

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana


(2)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul

Peneliti/ Pelaksana

Nama Lengkap :D.A. Wiwik Dharmiasih, S.IP., M.A.

NIDN : 0030098207

Jabatan Fungsional : Asisten Ahli

Program Studi : Hubungan Internasional

Nomor HP : 0815 5832 2447

Alamat surel (e-mail) : wiwikd@gmail.com Anggota (1)

Nama Lengkap : Sukma Sushanti, S.S., M.Si

NIDN : 0018107908

Perguruan Tinggi : Universitas Udayana Anggota (2)

Nama Lengkap : Putu Titah Kawitri Resen, S.IP., M.A.

NIDN : 9908419477

Perguruan Tinggi : Universitas Udayana

Tahun Pelaksanaan : Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun Biaya Tahun Berjalan : Rp. 25.000.000,00

Biaya Keseluruhan : Rp. 25.000.000,00

Denpasar, 9 November 2015

Mengetahui,

Pembantu Dekan I Ketua Peneliti,

Tedi Erviantono, S.IP., M.Si. D.A. Wiwik Dharmiasih, S.IP., M.A. NIP. 19760502 2009 12 1 002 NIP. 19820930 2009 12 2 002

Mengetahui,

Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana

Dr. Drs. I Gusti Putu Bagus Suka Arjawa, M.Si. NIP. 19640708 1992 03 1 003


(3)

RINGKASAN

Lanskap Budaya Provinsi Bali merupakan Situs Warisan Budaya Dunia yang diakui oleh UNESCO di tahun 2012. Situs tersebut terletak di Provinsi Bali dan terdiri dari empat kawasan yaitu Pura Ulun Danu Batur dan Danau Batur, Pura Taman Ayun, Daerah Aliran Sungai (DAS) Pakerisan, dan Catur Angga Batukaru. Keempat kawasan dalam Lanskap Budaya Provinsi Bali dianggap mampu merefleksikan filosofi Tri Hita Karana dalam sistem pengairan tradisional, subak, pada sistem pertanian di Bali. Penerapan filosofi Tri Hita Karana dalam sistem pertanian di Bali telah berlangsung selama berabad-abad dan mampu menciptakan tidak saja keindahan bentang alam sawah berundak, tetapi juga kebudayaan pertanian yang kuat.Akan tetapi, derasnya arus pembangunan dan pariwisata di Bali mengancam keberadaan dan keberlangsungan sistem pengairan tradisional subak.Diakuinya Lanskap Budaya Provinsi Bali sebagai Situs Warisan Budaya Dunia merupakan salah satu upaya pemerintah untuk melindungi dan melestarikan sistem pengairan subak di Bali.Pemberian status Warisan Budaya Dunia menyebabkan Pemerintah Indonesia harus menerapkan ketentuan pengelolaan yang diberlakukan oleh UNESCO.Penelitian ini hendak melihat partisipasi petani dalam pengelolaan Situs Lanskap Budaya Provinsi Bali dengan memfokuskan penelitian pada kawasan Catur Angga Batukaru di Kabupaten Tabanan.Kawasan ini dipilih karena merupakan kawasan terluas dengan tingkat kompleksitas ekologi paling lengkap dibandingkan dengan kawasan lainnya dalam Lanskap Budaya Provinsi Bali.Penelitian ini menggabungkan pendekatan kualitatif dan kuantitatif untuk melengkapi data dan informasi yang dibutuhkan dalam memahami partisipasi petani dalam pengelolaan kawasan Catur Angga Batukaru.Data kuantitatif diperoleh dari kuesioner berisi pertanyaan dan wawancara terstruktur untuk memperoleh pendapat dan gagasan dari petani yang dapat dituangkan dalam perencanaan pengelolaan dan pelestarian Catur Angga Batukaru.Data kualitatif berasal dari observasi dan analisa informasi yang diperoleh dengan teknik perencanaan partisipatif (participatory planning).Penelitian ini diharapkan mampu menjadi acuan pengelolaan berbasis masyarakat lokal dalam pengelolaan dan pelestarian Situs Warisan Budaya Dunia di Bali.


(4)

PRAKATA

Puji syukur Peneliti panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat-Nya, penelitian dengan judul “Partisipasi Petani dalam Pengelolaan Warisan Budaya Dunia Catur Angga Batukaru” dapat diselesaikan. Penelitian ini dilakukan untuk melihat peran serta petani sebagai pemilik dan pengelola lahan didalam kawasan Warisan Budaya Dunia, Catur Angga Batukaru.Catur Angga Batukaru merupakan kawasan yang masuk ke dalam Situs Warisan Budaya Dunia yang diakui oleh UNESCO di tahun 2012 dibawah nama Lanskap Budaya Provinsi Bali.

Lanskap Budaya Provinsi Bali merupakan situs yang menggambarkan sistem pertanian tradisional di Bali yang dikenal dengan nama subak. Subak dianggap mampu merefleksikan nilai Tri Hita Karana, tiga hubungan harmonis yang menyebabkan kesejahteraan dan kebahagiaan, yang terdiri dari hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungannya. Sistem subak sendiri mengalami ancaman kepunahan akibat derasnya arus pembangunan terutama dari sektor pariwisata yang terjadi di Bali.Penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran partisipasi petani dalam perlindungan dan pengelolaan Kawasan Warisan Budaya Dunia Catur Angga Batukaru sesuai dengan Petunjuk Pengelolaan Warisan Budaya Dunia UNESCO.Partisipasi petani sebagai pemilik dan pengelola lokal menjadi sangat penting dalam upaya perlindungan dan pengelolaan sistem subak di Bali. Keterlibatan petani akan menjamin keberlangsungan sistem subak dan pengelolaan pertanian yang lebih berkelanjutan di Bali.

Terima kasih yang sebesar-besarnya Peneliti ucapkan kepada Rektor Universitas Udayana, Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Udayana, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana, Ketua Program Studi Hubungan Internasional Universitas Udayana, seluruh rekan kerja dan kerabat yang membantu terlaksananya penelitian ini.

Denpasar, 9 November 2015 Penulis


(5)

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN RINGKASAN

PRAKATA DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN BAB 1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang 1.2. Penelitian

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN BAB 4. METODE PENELITIAN

3.1. Metode Kualitatif dan Kuantitatif 3.2. Unit Analisis

3.3. Teknik Pengumpulan Data 3.4. Penafsiran Data

BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA


(6)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Bali merupakan salah satu daerah tujuan wisata dunia yang terkenal akan keindahan alam dan keunikan budaya masyarakatnya. Bentang alam Bali banyak dihiasi oleh pemandangan sistem sawah berundak yang merupakan hasil dari budaya pengairan tradisional Bali yang dikenal dengan nama subak. Badan Dunia yang menangani pendidikan dan kebudayaan, United Nations Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO), bahkan mengakui keunikan budaya pertanian Bali dengan mencantumkan Lanskap Budaya Bali ke dalam Daftar Situs Warisan Budaya Dunia di tahun 2012. The Cultural Landscape of Bali Province: The Subak System as a Manifestation of the Tri Hita Karana Philosophy merupakan nama dari Situs Warisan Budaya Dunia di Bali yang terdiri dari empat kawasan, yaitu: Pura Ulun Danu Batur dan Danau Batur, Pura Taman Ayun, Daerah Aliran Sungai (DAS) Pakerisan, dan Catur Angga Batukaru. Keempat kawasan tersebut dianggap mampu merefleksikan filosofi Tri Hita Karana yang merupakan landasan dalam sisem pengairan tradisional yang diberlakukan dalam bidang pertanian di Bali.Akan tetapi, sistem pengairan tradisional yang sudah berlangsung selama berabad-abad di Bali tersebut terancam keberadaannya oleh derasnya arus pembangunan dan pariwisata di Bali.Masuknya sistem pengairan subak yang direpresentasikan oleh empat kawasan diatas ke dalam Daftar Situs Warisan Budaya Dunia UNESCO merupakan salah satu upaya untuk melindungi dan melestarikan budaya pertanian yang ada di Bali.

Salah satu kawasan yang termasuk dalam Situs Warisan Budaya Dunia Lanskap Budaya Provinsi Bali adalah kawasan Catur Angga Batukaru.Kawasan yang terletak di Kabupaten Tabanan tersebut memiliki cakupan wilayah subak yang sangat luas dibandingkan dengan kawasan lainnya dalam Lanskap Budaya Provinsi Bali. Catur Angga Batukaru meliputi 20 subak dengan total luas wilayah kurang lebih 17.376,1 ha dengan luasan wilayah penyangga 974,4 ha (Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata dan Pemerintah Provinsi Bali, 2011). Luasnya cakupan wilayah Catur Angga Batukaru memberikan tantangan pengelolaan kawasan secara menyeluruh.Keterlibatan masyarakat lokal, terutama petani, dalam perlindungan dan pelestarian kawasan menjadi sangat penting untuk mencapai pembangunan berkelanjutan di wilayah tersebut.

Dua tahun setelah diakuinya Lanskap Budaya Provinsi Bali oleh UNESCO sebagai Situs Warisan Budaya Dunia di tahun 2012, tidak terlihat pengelolaan yang menyeluruh di


(7)

kawasan tersebut. Gencarnya alih fungsi lahan di kawasan Catur Angga Batukaru, terutama di wilayah Subak Jatiluwih, menimbulkan kekhawatiran terhadap keberlangsungan subak di kawasan tersebut. Ini tentu juga mengancam status Warisan Budaya Dunia yang baru disandang Lanskap Budaya Provinsi Bali tiga tahun terakhir. Awal tahun 2015, Pemerintah Indonesia mengundang ahli-ahli dari ICOMOS dan ICCROM untuk melihat dan memberi masukan kepada sistem pengelolaan kawasan dalam Lanskap Budaya Provinsi Bali sebagaimana yang disarankan oleh UNESCO (2014) pada sidangnya di Doha, Qatar.

UNESCO (2012) dalam keputusannya saat memasukkan Lanskap Budaya Provinsi Bali ke dalam Daftar Situs Warisan Budaya Dunia telah menyatakan kekhawatirannya terhadap kelestarian dan keberlangsungan sistem subak di Bali.Adapun tantangan yang dihadapi ialah serangkaian perubahan sosial dan ekonomi seperti perubahan praktek pertanian masyarakat dan tekanan pembangunan terutama dari sektor pariwisata.UNESCO kemudian menyarankan diberlakukannya sebuah sistem pengelolaan yang mampu mendukung pelaksanaan sistem pertanian tradisional dan meningkatkan kesejahteraan petani agar terus dapat tinggal dan bekerja sebagai petani di kawasan tersebut.Penelitian ini menjadi penting untuk melihat pandangan dan partisipasi masyarakat terutama petani dalam memaknai status Warisan Budaya Dunia pada wilayah mereka, sehingga mampu berpartisipasi secara aktif dalam pengelolaan kawasan.

1.2. Penelitian

Partisipasi aktif masyarakat lokal sangatlah penting dalam menentukan kebijakan-kebijakan, strategi, dan aksi yang tepat dan menyeluruh dalam pengelolaan kawasan Warisan Budaya Dunia.Penelitian ini dalam pelaksanaannya dibagi kedalam tiga tahapan. Adapun ketiga tahapan tersebut terdiri dari: sosialisasi penelitian dengan menjelaskan tujuan dari penelitian yang dilakukan, mengajak petani berpartisipasi secara langsung melalui perencanaan partisipatif (participatory planning), dan terakhir dengan menganalisa berbagai data dan informasi yang diperoleh untuk kemudian dirumuskan menjadi sebuah perencanaan pengelolaan dan pelestarian kawasan Warisan Budaya Dunia yang efektif.

Penelitian ini menggunakan metode perencanaan partisipatif (participatory planning) yaitu langkah-langkah dalam pelestarian kawasan Warisan Budaya Dunia dengan pendekatan Stepping Stones for Heritage (selanjutnya dalam penelitian ini disebuh dengan SSH) (Bainton, et al, 2011:93). Ada sepuluh langkah yang diperkenalkan dalam SSH. Langkah-langkah tersebut diantaranya: (1) Vision for the future, (2) Who is involved, (3) What we know, (4) What is important, (5) What the issues are, (6) Strengths and weaknesses, (7) What


(8)

the ideas are, (8) What the objectives are, (9) Action Plan, (10) Making it happen. Penelitian ini memfokuskan pada langkah pertama dan kedua, yaitu vision for the future dan who is involved.


(9)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Budaya sebagaimana dijelaskan oleh UNESCO (2010) dalam pembukaan The Universal Declaration on Cultural Diversity adalah “… serangkaian bagian-bagian spiritual, intelektual, dan ikatan emosional masyarakat atau kelompok sosial yang meliputi selain seni dan sastra, yakni gaya hidup, cara hidup, sistem nilai, tradisi, dan keyanikan yang dianut”. Budaya memberikan solusi bagi kepentingan-kepentingan masyarakat lokal dalam mengawasi pembangunan di suatu wilayah sehingga dapat memberikan hasil maksimal sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat tersebut.Pembangunan dewasa ini telah menerapkan pendekatan pembangunan berkelanjutan dalam pelaksanaannya.Dasar pemikiran dari pendekatan pembangunan berkelanjutan adalah bagaimana menggunakan sumber daya-sumber daya yang ada secara bijak. Budaya membentuk hubungan antara manusia dalam kelompok sosialnya dan hubungannya dengan lingkungan disekitarnya yang kemudian akan mempengaruhi perilaku manusia itu sendiri (UNESCO, 2010). Oleh karenanya, budaya harus berperan sebagai pusat dalam strategi pembangunan berkelanjutan.

Salah satu upaya yang dilakukan UNESCO dalam memperkenalkan pentingnya budaya dalam pembangunan berkelanjutan adalah dengan memberikan status Warisan Budaya Dunia.Status ini diberikan kepada kawasan-kawasan maupun bentuk-bentuk kebudayaan yang dianggap memiliki nilai luar biasa dan universal (Outstanding Universal Value) dan terancam hilang atau punah sehingga perlu untuk dilindungi dan dilestarikan.Situs Warisan Budaya Dunia UNESCO (2010:5) mampu memberikan penghasilan tambahan dari kunjungan wisatawan, penjualan kerajinan tangan, musik, dan produk-produk budaya lokal, termasuk juga memberikan lapangan pekerjaan baru kepada masyarakat setempat. Di Kolumbia misalnya, 650.000 wisatawan memberikan penghasilan ekonomi sebesar USD 800 juta. Sebesar USD 400 juta dari pendapatan Kolombia tersebut berasal dari penjualan kerajinan tangan (UNESCO, 2010:8). Di Australia, 15 kawasan yang masuk ke dalam Situs Warisan Budaya Dunia mampu memberikan pendapatan sebesar lebih dari AUSD 12 trilyun dengan lebih dari 40.000 lapangan pekerjaan (UNESCO, 2010:8).

Stepping Stones for Heritage (SSH) merupakan sebuah pendekatan berbasis partisipasi masyarakat lokal dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan.Pendekatan SSH dilakukan oleh Stepwise Heritage and Tourism di Pulau Lihir di tahun 2007. Pulau Lihir yang terletak di New Ireland, Kepulauan Bismarch, Papua Nugini, merupakan sebuah wilayah yang kaya akan emas. Tahun 1995, Pulau Lihir berubah menjadi pusat pertambangan emas dengan


(10)

pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat setelah ditandatanganinya perjanjian antara masyarakat Lihir, pemerintah, dan Lihir Management Company (LMC) (Bainton, et al, 2011:88). Akan tetapi, perjanjian yang ditandatangani di tahun 1995 tersebut tidak secara jelas memberikan pembagian hasil pertambangan untuk masyarakat Lihir, serta bagaimana bentuk tanggung jawab dari perusahaan pengelolaan tambang LMC dan Pemerintah Papua Nugini (Filler, 1997). Perjanjian tersebut juga tidak memberikan bentuk pengelolaan pelestarian kawasan dan warisan masyarakat Lihir yang akan dilakukan (Bainton, et al, 2010:89). Tahun 2007, Stepwise Heritage and Tourism dikontrak oleh Lihir Gold Limited (LGL), yang menggantikan LMC di tahun 2005, untuk memfasilitasi workshop pengelolaan pelestarian kawasan dan budaya dengan masyarakat Lihir dan mendokumentasikan hasil yang diperoleh. Stepwise Heritage and Tourism menggunakan pendekatan SSH dan mendapatkan bahwa ada lima hal yang dipercaya oleh masyarakat setempat menjadi dasar dalam pengelolaan pelestarian warisan budaya lokal. Kelima hal tersebut terdiri dari: men’s house institutions, custom law, language, matrilineal clan system, danleadership. Semuanya dirangkum dalam sebuah Perencanaan Warisan Budaya Lihir yang dijadikan acuan dasar dalam pembuatan kebijakan pengelolaan pelestarian kawasan dan budaya di Pulau Lihir (Bainton, et al, 2011).

Catur Angga Batukaru merupakan kawasan nominasi Situs Warisan Budaya Dunia UNESCO yang mencakup areal persawahan yang sangat luas. Sebagai kawasan yang meliputi 20 wilayah subak, dibutuhkan sebuah bentuk perencanaan pengelolaan yang terintegrasi dan menyeluruh antara masyarakat, kelompok subak, dan pemerintah. Masuknya kawasan Catur Angga Batukaru sebagai Situs Warisan Budaya Dunia menarik minat wisatawan baik domestik maupun internasional untuk datang berkunjung.Sebuah perencanaan pengelolaan yang melibatkan gagasan dan partisipasi petani secara langsung dapat menentukan pola pembangunan bagi kawasan Catur Angga Batukaru yang lebih berkelanjutan.


(11)

BAB 3

TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

3.1. Tujuan Penelitian

Partisipasi masyarakat lokal sangat penting dan dibutuhkan dalam pengelolaan Situs Warisan Budaya Dunia. Kebutuhan ekonomi dan sosial masyarakat dapat dipenuhi sembari mempertahankan keberlangsungan budaya dan proses ekologi di suatu kawasan. Penelitian ini menjadi sarana untuk meningkatkan dan melestarikan praktek-praktek, nilai-nilai, dan pengetahuan tradisional untuk melengkapi dan memajukan pengelolaan dan pelestarian Situs Warisan Budaya Dunia Lanskap Budaya Provinsi Bali.Pembuatan kebijakan pengelolaan kawasan yang seringkali tidak melibatkan partisipasi masyarakat lokal menyebabkan kurang efektifnya pengelolaan di suatu kawasan. Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengidentifikasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam pelestarian kawasan Situs Warisan Budaya Dunia Catur Angga Batukaru.

2. Mengembangkan perencanaan pengelolaan (management plan) yang lebih efektif melalui berbagai gagasan dan pendapat yang diperoleh melalui kegiatan participatory planning dengan melibatkan petani setempat.

3.2. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai partisipasi masyarakat lokal dalam upaya perlindungan dan pengelolaan Kawasan Warisan Budaya Dunia.Keterlibatan masyarakat lokal penting dalam pengelolaan Situs Warisan Budaya Dunia sesuai dengan Petunjuk Pengelolaan yang dikeluarkan oleh UNESCO.Upaya pelestarian dan pengelolaan dapat dilakukan apabila terbentuk visi dan misi pengelolaan baik secara jangka pendek maupun jangka panjang, dan identifikasi pihak-pihak atau pemangku kepentingan yang terlibat didalamnya.


(12)

BAB 4

METODE PENELITIAN

3.1. Metode Kualitatif dan Kuantitatif

Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif analitik dengan metode kualitatif yang memberikan perhatian pada data ilmiah dan data dalam hubungannya dengan konteks keberadaannya (Ratna, 2008:47-48). Ciri-ciri penelitian kualitatif adalah: (1) memberikan perhatian utama pada makna dan pesan, sesuai dengan hakikat obyek, yaitu sebuah studi kultural; (2) lebih mengutamakan proses dibandingkan dengan hasil penelitian sehingga makna selalu berubah; (3) tidak ada jarak antara subyek peneliti dan obyek peneliti, subyek peneliti sebagai instrumen utama sehingga terjadi interaksi langsung diantaranya; (4) desain dan kerangka penelitian bersifat sementara sebab penelitian bersifat terbuka; dan (5) penelitian bersifat ilmiah, terjadi dalam konteks sosial budaya masing-masing (Ratna, 2008:47-48). Metode kualitatif pada dasarnya digunakan untuk menghasilkan data tentang pengalaman seseorang dan makna-makna tindakan yang dilakukan oleh aktor sosial.Penelitian kualitatif juga mengacu pada karakteristik, simbol, dan deskripsi unit analisa yang diteliti (Berg, 1989:3).

Metode kuantitatif yang dipakai adalah untuk melihat praktek-praktek dan nilai-nilai petani dalam pengelolaan kawasan dan tantangan yang dihadapi dalam sistem pengelolaan tersebut.Metode ini dilakukan dengan menyebarkan kuesioner dan melakukan wawancara terstruktur kepada petani di kawasan Catur Angga Batukaru.Masukdan dan gagasan yang diperoleh dapat digunakan untuk mengidentifikasi pemangku kepentingan yang terlibat dalam pengelolaan kawasan Catur Angga Batukaru dan untuk merumuskan rencana pengelolaan kawasan secara berkelanjutan.

3.2. Unit Analisis

Unit analisis dalam penelitian ini adalah petani yang tergabung dalam kelompok subak yang tersebar dalam kawasan Catur Angga Batukaru. Ada 20 subak yang termasuk kedalam kawasan Catur Angga Batukaru, yaitu: Subak Piling, Subak Kedampal, Subak Wongaya Betan, Subak Jatiluwih, Subak Bedugul, Subak Piak, Subak Keloncing, Subak Tengkudak, Subak Puakan, Subak Pancoran Sari, Subak Tingkih Kerep, Subak Penatahan, Subak Tegal Linggah, Subak Sangketan, Subak Anyar Sangketan, Subak Puring, Subak Pesagi, Subak Dalem, Subak Rejasa, dan Subak Sri Gumana. Jumlah informan dibatasi pada 20 pekaseh dan 2 orang petani dari masing-masing subak tersebut diatas.


(13)

3.3. Teknik Pengumpulan Data

Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini diperoleh melalui perencanaan partisipatif masyarakat atau participatory planning dengan melibatkan petani secara langsung dan bersama-sama dalam mengisi pertanyaan yang diajukan.Pada tahap awal penelitian ini, peneliti dan asisten peneliti memperkenalkan tujuan penelitian secara menyeluruh dan bagaimana agar petani dapat berpartisipasi secara aktif. Selanjutnya, para petani diajak untuk mengisi langkah-langkah dalam SSH yang telah ditentukan peneliti yaitu vision for the future dan who is involved. Peneliti dan asisten peneliti dalam tahapan ini bertindak sebagai observer selama pengisian oleh masing-masing pekaseh dan perwakilan petani yang mewakili masing-masing subak dalam Catur Angga Batukaru. Adapun dua langkah dalam SSH yang dilakukan yaitu:

Step 1. Vision for the future (visi masa depan)

Tahapan ini membantu petani dalam menerjemahkan keinginan mereka dalam pelestarian dan pengelolaan kawasan. Pertanyaan umum yang ditanyakan:

1. Apakah Anda pernah mendengar tentang Warisan Budaya Dunia Catur Angga Batukaru?

2. Apakah Anda pernah mendengar pengelolaan Warisan Budaya Dunia Catur Angga Batukaru?

3. Menurut Anda, apa pentingnya Catur Angga Batukaru sehingga menjadi Warisan Budaya Dunia?

4. Menurut Anda, apa tujuan pengelolaan Warisan Budaya Dunia Catur Angga Batukaru?

5. Menurut Anda, apa saja yang harus dilindungi dan diatur dalam pengelolaan kawasan Warisan Budaya Dunia Catur Angga Batukaru?

6. Mengapa hal diatas perlu untuk dilindungi dan diatur dalam pengelolaan?

7. Menurut Anda, hal apa saja yang dapat mengancam atau melanggar peraturan dalam pengelolaan demi melindungi hal-hal pada pertanyaan sebelumnya?

8. Apakah sanksi perlu diberlakukan untuk memastikan perlindungan terhadap kawasan Warisan Budaya Dunia Catur Angga Batukaru?

9. Pedoman apa yang Anda gunakan untuk mengelola lahan sawah untuk melindungi Warisan Budaya Dunia Catur Angga Batukaru selama ini?


(14)

10. Apakah Anda merasa dilibatkan dalam usaha pengelolaan dan pelestarian kawasan Warisan Budaya Dunia Catur Angga Batukaru?

11. Apakah Anda perlu untuk dilibatkan atau melakukan sesuatu dalam usaha pelestarian dan pengelolaan kawasan Warisan Budaya Dunia Catur Angga Batukaru?

12. Apakah Anda merasa memiliki peran dalam usaha pengelolaan dan pelestarian kawasan Warisan Budaya Dunia Catur Angga Batukaru?

13. Apa visi Anda dalam pelestarian lahan dan budaya kawasan Catur Angga Batukaru?

14. Apa tujuan jangka pendeknya (short term goals)? 15. Apa tujuan jangka panjangnya (long term goals)?

Step 2. Who is involved (pihak-pihak yang terlibat)

Tahapan ini mengidentifikasi pihak-pihak yang telah terlibat, dapat terlibat, dan perlu untuk dilibatkan dalam pengelolaan kawasan Catur Angga Batukaru. Pertanyaan umum yang ditanyakan:

1. Apakah Anda tahu siapa (pemangku kepentingan) atau institusi mana saja yang terlibat dalam pengelolaan kawasan Warisan Budaya Dunia Catur Angga Batukaru saat ini?

2. Bagaimana keterlibatan dan peran mereka dalam pengelolaan kawasan Warisan Budaya Dunia Catur Angga Batukaru?

3. Siapa yang membuat keputusan atau kebijakan setempat? 4. Siapa yang mengatur dan mengelola kawasan selama ini?

5. Bagaimana peran pekaseh, kelian tempek, dan petani dalam mengelola subak? 6. Siapa atau institusi yang perlu untuk dilibatkan dalam pengelolaan kawasan?


(15)

3.4. Penafsiran Data

Peneliti menganalisa setiap informasi dan gagasan yang didapat dari dua langkah SSH yang diterapkan dalam penelitian ini. Berbagai permasalahan yang muncul dikelompokkan dan kemudian berbagai alasan untuk pengelolaan dirumuskan untuk dijadikan rancangan perencanaan pelestarian dan pengelolaan kawasan.Informasi dan gagasan yang didapat dari responden melalui pertanyaan vision for the future diterjemahkan menjadi visi dan misi pelestarian dan pengelolaan jangan pendek dan jangka panjang. Sementara informasi dan pendapat dari pertanyaan who is involved digunakan untuk mengidentifikasi pihak-pihak atau pemangku kepentingan yang terlibat dan perlu dilibatkan dalam upaya pelestarian dan pengelolaan kawasan. Hasil yang didapatkan dalam penelitian ini diserahkan kembali kepada masyarakat, terutama petani di Kawasan Catur Angga Batukaru untuk mendapatkan masukan (feedback).


(16)

BAB 5

HASIL DAN PEMBAHASAN

Catur Angga Batukaru merupakan kawasan yang masuk ke dalam situs Warisan Budaya Dunia Lanskap Budaya Bali. UNESCO menetapkan Lanskap Budaya Bali ke dalam Daftar Situs Warisan Budaya Dunia di tahun 2012 di Saint Petersburg, Rusia. Lanskap Budaya Provinsi Bali terdiri dari kawasan Pura Luhur Ulun Danu Batur dan Danau Batur, Daerah Aliran Sungai (DAS) Pakerisan, Pura Taman Ayun, dan Lanskap Subak Catur Angga Batukaru. Keempat kawasan tersebut menggambarkan sistem pengairan tradisional Bali yang dikenal dengan nama subak. Subak dianggap mampu merefleksikan nilai filosofi Tri Hita Karana, tiga penyebab kesejahteraan dan kebahagiaan menurut kepercayaan masyarakat Bali.Tri Hita Karana terdiri dari hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan (parhyangan), manusia dengan manusia (pawongan), dan manusia dengan lingkungannya (palemahan).

Pembangunan yang berlangsung pesat terutama di sektor pariwisata mengancam keberlangsungan sistem subak di Bali.Pemerintah Daerah didukung oleh Pemerintah Pusat kemudian mengajukan Lanskap Budaya Provinsi Bali ke dalam Daftar Situs Warisan Budaya Dunia UNESCO sebagai salah satu upaya untuk melindungi dan melestarikan sistem subak di Bali. Pengakuan Lanskap Budaya Provinsi Bali sebagai Warisan Budaya Dunia menyebabkan Pemerintah Indonesia, terutama Pemerintah Daerah Bali, untuk mengikuti Petunjuk Pelaksana Pengelolaan Situs Warisan Budaya Dunia. Petunjuk Pelaksana Pengelolaan UNESCO mengharuskan agar pemilik dan pengelola asli kawasan dilibatkan dalam upaya perlindungan dan pengelolaan kawasan Warisan Budaya Dunia.

Penelitian ini melihat partisipasi petani, sebagai pemilik dan pengelola asli kawasan, dalam pengelolaan Warisan Budaya Dunia Catur Angga Batukaru. Catur Angga Batukaru dipilih karena merupakan kawasan yang paling luas dibandingkan dengan kawasan lainnya didalam Lanskap Budaya Provinsi Bali dan memiliki tingkat kompleksitas ekologi subak yang paling lengkap. Kawasan Catur Angga Batukaru terdiri dari hutan, danau, pura-pura yang terkait dalam sistem subak, desa, dan 20 subak yang termasuk didalamnya.Keterlibatan petani dalam perlindungan dan pengelolaan Warisan Budaya Dunia Catur Angga Batukaru oleh karenanya menjadi sangat penting.Subak berkembang dan bertahan selama ribuan tahun karena keterlibatan petani didalamnya.Penelitian ini melihat partisipasi petani dalam upaya perlindungan dan pengelolaan Kawasan Warisan Budaya Dunia Catur Angga Batukaru.


(17)

Penelitian ini terbagi kedalam dua bagian yaitu vision for the future dan who is involved.Dua pertanyaan tersebut merupakan bagian dari Stepping Stones for Heritage yang diperkenalkan oleh Stepwise Heritage and Tourism.Vision for the future digunakan untuk melihat pemahaman petani dalam memaknai Kawasan Catur Angga Batukaru sebagai Situs Warisan Budaya Dunia UNESCO. Pemahaman petani tersebut penting untuk menentukan visi dari pelestarian dan pengelolaan Kawasan Catur Angga Batukaru.Who is involved digunakan untuk dapat mengidentifikasi para pemangku kepentingan selain petani dalam pelestarian dan pengelolaan Kawasan Warisan Budaya Dunia di Bali.Identifikasi para pemangku kepentingan sangat penting dilakukan agar peran dan pembagian tanggung jawab pengelolaan dapat dilakukan.

5.1. Vision for the future

Penelitian ini dimulai dengan menanyakan status Warisan Budaya Dunia kepada para petani yang dijadikan responden. Proses untuk menjadikan Kawasan Catur Angga Batukaru sebagai Situs Warisan Budaya Dunia UNESCO yang dimulai sejak tahun 2003 menyebabkan semua petani tahu akan status Warisan Budaya Dunia yang disandang subak mereka sejak tahun 2012. Selain karena mengikuti proses dari awal, para petani mendengar mengenai status Warisan Budaya Dunia dari sosialisasi yang dilakukan oleh Dinas Kebudayaan Provinsi Bali dan melalui media elektronik. Akan tetapi pengetahuan sebagai bagian dari Daftar Situs Warisan Budaya Dunia tidak serta merta memberikan sistem pengelolaan yang efektif dalam kawasan.

Para petani melihat bahwa pelestarian dan perlindungan terhadap kawasan sangatlah penting untuk mengacu pada filosofi Tri Hita Karana.Berbagai ritual dalam sistem subak harus dilestarikan dan pengolahan lahan harus menggunakan pendekatan pertanian organik dan berkelanjutan.Para petani harus tetap bekerja sama dalam pengolahan lahan pertanian melalui keorganisasian subak. Adapun koordinasi dalam sistem subak yang harus dipertahankan diantaranya; pengolahan tanah, sistem bagi air seperti tembuku dan lainnya, pemilihan bibit lokal, penggunaan pupuk organik, dan pelestarian budaya bertani tradisional melalui berbagai ritual dan upacara.

Beberapa tantangan yang ada dalam mempertahankan sistem subak di Bali saat ini, diantaranya; (1) Meningkatnya harga kebutuhan ritual dan upacara dalam pengolahan pertanian, (2) Persepsi anggota subak yang semakin berubah karena derasnya arus modernisasi, (3) Kondisi air dan lingkungan yang semakin tidak mendukung sistem pertanian tradisional karena alih fungsi lahan yang cukup tinggi di Bali, (4) Tingkat pendapatan sebagai


(18)

petani yang masih sangat rendah sehingga pekerjaan menjadi petani mulai ditinggalkan, (5) Meningkatnya hama tanaman padi seperti tikus dan wereng, (6) Tidak semua lahan diketahui pemiliknya karena banyak lahan pertanian yang digarap oleh orang lain atau pekerja musiman, (7) Penggunaan pupuk kimia yang berlebihan, (9) Polusi di saluran irigasi terutama dari sampah plastik dan kotoran dari peternakan-peternakan besar seperti ayam dan babi, (10) Kurangnya infrastruktur pertanian seperti perbaikan pura-pura yang berkaitan dengan subak, balai subak, jalan usaha tani, dan koperasi untuk petani, (11) Bantuan pemerintah yang kadang tidak sesuai, seperti misalnya bantuan traktor yang terlalu besar sehingga tidak sesuai dan tidak bisa digunakan. Petani memiliki keinginan untuk menjual dan membeli yang lebih kecil tapi tidak diperbolehkan sehingga akhirnya traktor tersebut dibiarkan saja (12) Rendahnya tingkat kepedulian generasi muda kepada kehidupan bertani di Bali karena dianggap pekerjaan kotor dan tidak menguntungkan.

Beberapa tantangan yang dihadapi oleh petani diatas, alih fungsi lahan merupakan ancaman yang paling utama dalam melestarikan sistem subak di Bali. Tanpa lahan persawahan, maka subak dengan sendirinya akan hilang. Oleh karenanya, diperlukan upaya bersama dalam mengurangi dan mencegah alih fungsi lahan yang berlangsung sangat cepat di Bali.Pelestarian hutan sebagai daerah tangkapan air dan sumber mata air yang mengairi sawah-sawah dalam sistem subak sangatlah penting untuk dilakukan. Seringkali terjadi penyalahgunaan air oleh pihak-pihak lain selain petani, seperti untuk kebutuhan rumah tangga, pariwisata, dan perusahaan swasta seperti air kemasan, sehingga kebutuhan air pertanian menjadi sangat berkurang. Masyarakat yang tinggal dalam kawasan WBD merasa terbebani dengan tanggungjawab untuk menjaga hutan.Selain itu, mereka tidak berdaya menghadapi perilaku pihak luar kawasan seperti hotel, perusahaan air minum, dan lainnya yang tidak kontributif terhadap pelestarian hutan.Berbagai flora dan fauna yang ada dalam sistem subak juga patut dilestarikan untuk menjaga rantai makanan. Ini penting dilakukan untuk mengendalikan hama karena beberapa diantara jenis flora dan fauna tersebut merupakan predator hama yang menguntungkan petani dalam melakukan pengelolaan pertanian.

Kerjasama dari berbagai pihak atau pemangku kepentingan, dari petani, pemerintah daerah dan pemerintah pusat, hingga pelaku industri lain yang memiliki pengaruh secara langsung maupun tidak kepada sektor pertanian perlu dilakukan. Petani saja tidak bisa dibebankan untuk melestarikan dan mempertahankan sistem subak di Bali. Pemerintah seharusnya memberikan dukungan kepada subak dalam melakukan rangkaian upacara pertanian karena harga upacara yang semakin mahal, mengakui dan membantu sosialisasi dan


(19)

penerapan awig-awig, memberikan asuransi untuk petani sehingga pada saat panen raya harga tidak akan turun secara drastis dan jika terjadi gagal panen maka petani memiliki dana talangan dari asuransi tersebut, memberikan subsidi gabah dan bukan pupuk karena petani berharap agar dapat kembali kepada sistem pertanian organik seperti dulu, melakukan reboisasi karena terjadinya penurunan debit air dan ini harus dilakukan secara sekala dan niskala melalui matur piuning, melakukan pembasmian hama dengan cara-cara tradisional dan bukan dengan bahan kimia seperti pestisida, membantu pengajuan proposal-proposal ke dinas-dinas terkait untuk mendukung kebutuhan pengolahan pertanian, membantu koordinasi antara subak dan desa, mendukung pengembangan teknologi pertanian dan memberikan inovasi pengolahan limbah, memberikan sanksi berupa teguran ataupun pidana dan perdata kalau terjadi pelanggaran, dan memberikan hak swa-kelola sistem subak dengan bantuan dana dari pemerintah.

Subak sebagai sebuah ekosistem merupakan warisan dari leluhur untuk generasi sekarang dan mendatang.Sistem pengelolaan yang efektif dibutuhkan agar keberlangsungan subak terjamin.Upaya pelestarian dan pengelolaan yang dilakukan selama ini dirasa masih lemah karena hanya melibatkan petani dan pemerintah kurang terlibat didalamnya.Pedoman pengelolaan yang dipakai sejauh ini hanya pedolam Warisan Budaya Dunia yang diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.Beberapa upaya yang dapat dilakukan didalam pengelolaan yaitu; (1) Perlindungan terhadap hutan dan flora dan fauna.Masyarakat sebaiknya dihimbau agar tidak semena-mena menebang hutan. Keberhasilan pelestarian hutan akan menjamin penyimpanan air yang dibutuhkan dalam pertanian. Hutan merupakan daerah tangkapan air yang dapat menjaga tingkat debit air.Perlindungan dan pelestarian hutan juga penting untuk mencegah terjadinya bencana seperti kekeringan, longsor, dan banjir. (2) Pengenalan sistem pertanian organik. Petani berpendapat bahwa pengurangan penggunaan pupuk kimia dan peningkatan penggunaan pupuk organik dapat memperbaiki struktur kesuburan tanah dan meningkatkan kualitas hasil produksi padi. (3) Pelaksanaan berbagai ritual dan upacara dalam subak yang harus dilestarikan. Pemerintah memiliki peran disini untuk mendukung petani dalam menjalankan berbagai tradisi ritual yang diperlukan dalam pengolahan lahan pertanian.Tingkat kebutuhan yang tinggi dan pendapatan masyarakat tani yang masih rendah membutuhkan campur tangan pemerintah terutama dalam perlindungan harga hasil produksi.Jika pendapatan petani meningkat, maka berbagai ritual yang dibutuhkan dalam pengolahan pertanian dapat terus dilakukan.Ini dikarenakan biaya yang dibutuhkan dalam melakukan berbagai ritual semakin meningkat.(4) Pencegahan alih fungsi lahan. Pemerintah sebaiknya menghimbau masyarakat


(20)

agar tidak menjual lahan atau mengalih-fungsikan lahan pertanian.Walaupun subak memiliki awig-awig yang mengatur alih fungsi lahan, seringkali pemerintah juga yang mengeluarkan ijin untuk jual-beli lahan maupun alih fungsi lahan.Petani menganggap pemerintah daerah, terutama pemerintah lokal, belum memiliki keseriusan dalam pencegahan alih fungsi lahan baik melalui penetapan peraturan daerah maupun pengimplementasian peraturan tersebut.

Pengelolaan yang efektif membutuhkan pengawasan didalamnya.Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi pelanggaran dalam pelestarian dan pengelolaan Kawasan Warisan Budaya Dunia Catur Angga Batukaru adalah dengan mengusulkan agar ada sanksi tegas dari pemerintah baik secara pidana maupun perdata.Walaupun masing-masing subak memiliki awig-awig, peraturan tradisional, seluruh responden sepakat bahwa sulit melawan ijin yang dikeluarkan oleh pemerintah yang bertentangan dengan upaya pelestarian dan pengelolaan kawasan.Pekaseh merupakan kunci dalam pengelolaan dan pengawasan sistem pertanian dalam subak.Pekaseh sebagai ketua subak harus mampu mengkoordinasi krama (anggota) subaknya dan menjembatani komunikasi antara subak, desa, pemerintah, dan pemangku kepentingan lainnya. Berbagai tantangan yang ada dalam pelestarian dan pengelolaan subak bisa diatasi kalau melibatkan pemerintah daerah, desa (kepala desa), desa adat (bendesa adat), pekaseh, krama subak, pura (pemangku), puri, dan pihak lain yang harus dilibatkan.

Harapan jangka pendek (short term goals) dalam upaya-upaya pelestarian dan pengelolaan Kawasan Warisan Budaya Dunia Catur Angga Batukaru adalah;

1. Bantuan dari pemerintah daerah dalam pengelolaan pertanian baik dari bantuan teknologi maupun pengembangan pertanian organik.

2. Harus tetap diakui sebagai Situs Warisan Budaya Dunia UNESCO. Status tersebut telah memberikan keuntungan kepada pemilik lahan, walaupun berbagai kerja sama baik secara internal maupun eksternal masih sangat perlu untuk ditingkatkan.

3. Pendidikan mengenai sistem subak agar kawasan pertanian menjadi lestari dan ajeg dan menarik minat generasi muda untuk menjadi petani.

4. Bantuan pertanian perlu ditingkatan seperti subsidi harga padi, infrastruktur subak, alat pertanian sesuai kegunaan, pompa air, dan sebagainya.

5. Rehabilitasi pura-pura yang terkait dengan subak seperti pura ulun suwi dan kelengkapannya.

6. Meningkatkan kesejahteraan petani melalui pembangunan koperasi pertanian. 7. Penataran kepada pekaseh dan krama subak lain akan pedoman pengelolaan


(21)

Harapan jangka panjang (long term goals) dalam upaya-upaya pelestarian dan pengelolaan Kawasan Warisan Budaya Dunia Catur Angga Batukaru adalah;

1. Tetap diakui sebagai Situs Warisan Budaya Dunia UNESCO. Status tersebut telah memberi keuntungan kepada pemilik lahan, walapun kerja sama secara internal maupun eksternal masih perlu untuk ditingkatkan

2. Tetap sebagai lahan pangan. Pemerintah harus memberikan perlindungan kepada kawasan agar dapat dinikmati oleh generasi mendatang

3. Peningkatan insentif pertanian.

4. Peningkatan kesejahteraan petani, melestarikan panca usaha tani yang meliputi pengolahan tanah, pemilihan bibit, pemupukan, panen, pemasaran.

Visi jangka pendek dan jangka panjang dalam pelestarian dan pengelolaan sistem subak di Bali harus disepakati dan didukung oleh seluruh pemangku kepentingan yang terlibat.

5.2. Who is involved

Upaya pelestarian dan pengelolaan Kawasan Warisan Budaya Dunia Catur Angga Batukaru dapat dilakukan apabila pihak-pihak atau pemangku kepentingan yang terlibat didalamnya dapat diidentifikasi.Identifikasi pemangku kepentingan dalam sistem subak oleh karenanya menjadi signifikan. Penelitian ini menemukan bahwa para pemangku kepentingan tersebut diantaranya; petani dan pekaseh, Dinas Pendapatan Daerah, Dinas Kebudayaan, Pemerintah Daerah, akademisi, puri, pemangku, Dinas Pekerjaan Umum, Desa Dinas, Desa Adat, Kecamatan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Dinas Pertanian Kabupaten, Dinas Pajak. Koordinasi dari berbagai pemangku kepentingan tersebut dapat membantu keberlanjutan sistem subak melalui perbaikan saluran irigasi dan peningkatan hasil tani.

Dinas Pertanian Kabupaten Tabanan, Dinas Pekerjaan Umum dan Dinas Pajak Kabupaten Tabanan dan dinas lainnya telah berkontribusi dalam memberikan keringanan pembayaran pajak sebesar 50 persen kepada petani-petani yang masuk dalam Kawasan Catur Angga Batukaru. Para petani di Kawasan Catur Angga Batukaru melihat bahwa semua pemangku kepentingan yang disebutkan diatas telah terlibat dalam pengambilan keputusan, akan tetapi peran Pemerintah Kabupaten dirasa masih sangat kurang. Pemerintah Daerah dilihat masih sering memberikan ijin dan berlaku lunak kepada pelaku pelanggaran alih fungsi lahan di Kawasan Catur Angga Batukaru.Pengurusan ijin penjualan tanah seharusnya melalui pekaseh dan desa.Akan tetapi, peraturan baru dari Dinas Agraria yang


(22)

memperbolehkan penjualan atau perijinan hanya melalui desa tanpa melalui kesepakatan pekaseh membuat banyaknya terjadi alih fungsi lahan sawah.Hal ini sering menimbulkan masalah ketika tanah yang telah dijual pemilik yang baru meminta SPTT ke pekaseh.Petani juga melihat perlunya untuk melibatkan Dinas Pariwisata karena terjadinya peningkatan kunjungan wisatawan baik domestik maupun internasional kedalam Kawasan Catur Angga Batukaru.Hal ini telah menimbulkan konflik kepentingan antara petani sebagai pemilik dan pengelola lokal dengan pelaku industri pariwisata yang banyak berasal dari luar kawasan.

Peran pekaseh, kelian tempek, dan petani dalam pengelolaan subak adalah untuk pengaturan pembagian air, aci atau upakara serta pola tanam.Berdasarkan pada peran tersebut, hubungan pekaseh, kelian tempek, dan petani adalah merupakan satu kesatuan.Peran mereka dalam pengelolaan subak hanyalah sebatas koordinasi dan ini dilakukan dengan cara melakukan pertemuan rutin yang diadakan tiap kali musim tanam dan bila terjadi masalah yang perlu untuk didiskusikan bersama. Berikut adalah beberapa peran yang dilakukan oleh pemangku kepentingan dalam pengelolaan subak:

1. Pekaseh berperan dalam memimpin subak, menjadi jembatan untuk menghubungkan kepentingan krama subaknya dengan pemerintah, menunjang segala kegiatan yang ada di subak seperti pembagian air dan upacara. Peran ini bertambah menjadi pelaksana ketentuan-ketentuan pengelolaan Warisan Budaya Dunia semenjak Kawasan Catur Angga Batukaru diakui oleh UNESCO.

2. Petani bertugas untuk mengatur keberlangsungan sawah dan melaksanakan kegiatan sesuai dengan arahan pekaseh atau kelian tempek dan aci atau upakara. 3. Kelian tempek mengerahkan tenaga untuk kegiatan gotong royong di subak, saling

berkoordinasi, mendukung dengan kelian tempek lain, pekaseh, dan krama subaknya secara terintegrasi.

4. Pura atau pemangku sebagai wadah untuk memohon keselamatan, pemimpin ritual keagamaan untuk subak.

5. Puri sebagai pelindung di semua wilayah Tabanan dan juga ketika ada masalah hama di sawah, krama subak akan tangkil atau menghadap ke puri sebagai panutan termasuk dalam penentuan upakara.

6. Desa adat dan desa dinas dianggap memiliki peran otonom sehingga tugasnya hanya untuk koordinasi atau penyampaian informasi saja. Secara khusus, desa adat ikut terlibat dalam kegiatan prastiti sedangkan desa dinas mengawal dana bantuan untuk subak, yaitu untuk menyatukan dan melestarikan subak.


(23)

7. Pemerintah Kabupaten berperan dalam mendukung program pertanian dan sebagai penghubung masyarakat bawah. Peran ini dirasa belum optimal dilakukan. Lembaga-lembaga yang ditugaskan untuk mensejahterakan pelaku usaha pertanian seperti Badan Penyuluh Lapangan (BPL) masih belum memberikan manfaat. Slogal “Indah Serasi” hanya menjadi slogan dan tidak ada penerapannya.

8. Pemerintah Provinsi berperan dalam monitoring dan sudah terlaksana secara intensif dan pemberian sumbangan pertanian yang juga sudah dilakukan. Pemerintah Provinsi juga sudah lebih tanggap apabila terjadi pelanggaran.

9. Pemerintah Nasional berperandalam pengambil kebijakan untuk pelestarian kawasan. Namun terkadang peran ini dirasa tidak sesuai dengan kebutuhan di lapangan, seperti subsidi pupuk dan bantuan irigasi yang terkadang kurang tepat sasaran.

10. Akademisi seperti Pusat Penelitian Subak Universitas Udayana memiliki peran dalam pengakuan Warisan Budaya Dunia dan hingga sekarang masih sering melakukan sosialisasi. Para akademisi telah memberikan dukungan terhadap terbentuknya Forum Pekaseh dalam pelestarian dan pengelolaan Kawasan Warisan Budaya Dunia Catur Angga Batukaru melalui berbagai penelitian dan fasilitasi. 11. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) belum memiliki peran yang jelas, walaupun

beberapa LSM terlibat dalam program pemetaan di dalam Kawasan Warisan Budaya Dunia Catur Angga Batukaru dan pelaksanaan musyawarah subak.

12. Pelaku pariwisata masih belum terlibat dalam pelestarian dan pengelolaan Kawasan Warisan Budaya Dunia Catur Angga Batukaru dan justru seringkali merusak sehingga menjadi ancaman bagi pelestarian kawasan.

13. Lembaga asing yaitu UNESCO berperan dalam pemberian sertifikat Warisan Budaya Dunia dan pengawasan terhadap upaya pengelolaan situs. Akan tetapi petani berharap kedepannya UNESCO dapat memberikan bantuan sebagai penyalur aspirasi petani.

Identifikasi pelaku atau pemangku kepentingan dan perannya akan memudahkan upaya-upaya pelestarian dan pengelolan Kawasan Warisan Budaya Dunia Catur Angga Batukaru. Beberapa diantaranya yaitu;

1. Pengelolaan mampu mendirikan koperasi yang berfungsi untuk memasarkan hasil panen para petani. Ini dilakukan untuk menghindari pemasaran hasil panen kepada


(24)

para tengkulak yang merugikan petani. Para tengkulak biasanya membeli hasil panen petani dengan harga yang rendah.

2. Pengelolaan dapat menciptakan skema jasa lingkungan bagi para petani selaku pengelola sumber daya air. Jasa lingkungan ini dibayar oleh pihak-pihak yang ikut menggunakan sumber air yang sama seperti pengelola hotel, rumah tangga, villa, perusahaan air minum, dan sebagainya.

3. Pengelolaan dengan melibatkan pengembangan pariwisata di Kawasan Warisan Budaya Dunia Catur Angga Batukaru dapat menunjang perekonomian petani sekaligus melibatkan petani secara langsung dalam pariwisata, misalnya dengan wisata budaya tanam padi, membajak sawah, dan sebagainya. Pengelolaan pariwisata sebaiknya tidak dilakukan secara massif.

4. Pengelolaan yang baik dan efektif dapat menunjang usaha pertanian berkelanjutan di masa depan. Penggunaan bibit lokal dan pupuk organik yang digabungkan dengan penggunaan teknologi pertanian terbaru akan dapat menunjang pengolahan tanah dengan tenaga dan waktu yang lebih efisien dengan hasil produksi yang lebih baik.


(25)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa petani merupakan pemangku kepentingan yang memiliki peran utama sehingga harus dilibatkan dalam segala proses pembuatan kebijakan terkait pengelolaan Kawasan Warisan Budaya Dunia Catur Angga Batukaru. Selain itu, pemerintah daerah harus meningkatkan perannya untuk mendukung petani sebagai pengelola kawasan.Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa visi pengelolaan WBD yang utama adalah untuk melestarikan budaya subak sesuai dengan nilai-nilai Tri Hita Karana serta penguatan peran pekaseh dalam mengawasi pengelolaan Warisan Budaya Dunia Catur Angga Batukaru.Pengelolaan yang sesuai dengan nilai-nilai Tri Hita Karana penting dilakukan karena ketiganya saling terkait.

Pengelolaan seharusnya melihat petani dan pekaseh sebagai ujung tombak dalam pelestarian sistem subak di Bali.Petani dan pekaseh membuat perarematau awig-awig atau aturan baru kemudian diusulkan kepada pemerintah menyesuaikan kebijakan pemerintah.Kalau pemerintah yang membuat kebijakan maka petani hanya bisa melakukan demo bila terjadi pelanggaran.Pemerintah harus mempertimbangkan awig-awig atau perarem dalam pengeluaran ijin.Kalau pemerintah mengeluarkan kebijakan sesuai dengan perarem maka kecil kemungkinan terjadinya pelanggaran.Sanksi harus diberlakukan melalui peraturan daerah.Bila terjadi jual beli tanah tanpa syarat, maka itu seharusnya dibatalkan secara hokum.Bentuk sanksi disesuaikan dengan pelanggaran yang dilakukan, misalnya dengan memberi teguran di tempat, teguran tertulis, penindakan hokum atau penangkapan.Penegak hokum tersebut bisa pekaseh melalui forum pekaseh, pemerintah daerah maupun pusat, dan penegak hukum yaitu polisi.


(26)

DAFTAR PUSTAKA

Bainton, Nicholas A., Chriss Ballard, Kirsty Gillespie, Nicholas Hall. (2011).

“Stepping Stones Across the Lihir Islands: Developing Cultural Heritage Management in the Context of a Gold-Mining Operation” dalam International Journal of Cultural Property, No. 18, International Cultural Property Society.

Berg, B. (1989). “Qualitative Research Methods for the Social Sciences”, Allyn & Bacon, Boston.

Filler, Colin. (1997). “Compensation, Rent, and Power in Papua New Guinea” dalam Compensation for Resource Development in Papua New Guinea, editor: Susan Toft, Australian National University, Canberra.

Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata dan Pemerintah Provinsi Bali. (2011). “Nomination for inscription on the UNESCO World Heritage List, Cultural Landscape of Bali Province”, Indonesia.

Lansing, J. Stephen, Yunus Arbi, dan D.A. Wiwik Dharmiasih. (2011). “The Proposal to Create a UNESCO World Heritage Cultural Landscape: Celebrating the Subaks and Water Temples of Bali” dalam Bali dalam Proses Pembentukan Karakter Bangsa, editor: I Nyoman Darma Putra dan I Gde Pitana, Pustaka Larasan, Denpasar.

Ratna, Nyoman Kutha. (2008). “Penelitian Sastra: Teori, Metode, dan Teknik”, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

UNESCO. (2010). “The Power of Culture for Development”, Paris.

UNESCO. (2012). “Decision 36 COM 8B.26. 36th Session of the World Heritage Committee, Saint Petersburg, Russian Federation.Diakses dari

http://whc.unesco.org/en/decisions/4797 tanggal 10 April 2015.

UNESCO. (2014). “38th COM 7B.14. 38th Session of World Heritage Conference, Doha, Qatar. Diakses dari http://whc.unesco.org/en/decisions/6002 tanggal 12 April 2015


(1)

Harapan jangka panjang (long term goals) dalam upaya-upaya pelestarian dan pengelolaan Kawasan Warisan Budaya Dunia Catur Angga Batukaru adalah;

1. Tetap diakui sebagai Situs Warisan Budaya Dunia UNESCO. Status tersebut telah memberi keuntungan kepada pemilik lahan, walapun kerja sama secara internal maupun eksternal masih perlu untuk ditingkatkan

2. Tetap sebagai lahan pangan. Pemerintah harus memberikan perlindungan kepada kawasan agar dapat dinikmati oleh generasi mendatang

3. Peningkatan insentif pertanian.

4. Peningkatan kesejahteraan petani, melestarikan panca usaha tani yang meliputi pengolahan tanah, pemilihan bibit, pemupukan, panen, pemasaran.

Visi jangka pendek dan jangka panjang dalam pelestarian dan pengelolaan sistem subak di Bali harus disepakati dan didukung oleh seluruh pemangku kepentingan yang terlibat.

5.2. Who is involved

Upaya pelestarian dan pengelolaan Kawasan Warisan Budaya Dunia Catur Angga Batukaru dapat dilakukan apabila pihak-pihak atau pemangku kepentingan yang terlibat didalamnya dapat diidentifikasi.Identifikasi pemangku kepentingan dalam sistem subak oleh karenanya menjadi signifikan. Penelitian ini menemukan bahwa para pemangku kepentingan tersebut diantaranya; petani dan pekaseh, Dinas Pendapatan Daerah, Dinas Kebudayaan, Pemerintah Daerah, akademisi, puri, pemangku, Dinas Pekerjaan Umum, Desa Dinas, Desa Adat, Kecamatan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Dinas Pertanian Kabupaten, Dinas Pajak. Koordinasi dari berbagai pemangku kepentingan tersebut dapat membantu keberlanjutan sistem subak melalui perbaikan saluran irigasi dan peningkatan hasil tani.

Dinas Pertanian Kabupaten Tabanan, Dinas Pekerjaan Umum dan Dinas Pajak Kabupaten Tabanan dan dinas lainnya telah berkontribusi dalam memberikan keringanan pembayaran pajak sebesar 50 persen kepada petani-petani yang masuk dalam Kawasan Catur Angga Batukaru. Para petani di Kawasan Catur Angga Batukaru melihat bahwa semua pemangku kepentingan yang disebutkan diatas telah terlibat dalam pengambilan keputusan, akan tetapi peran Pemerintah Kabupaten dirasa masih sangat kurang. Pemerintah Daerah dilihat masih sering memberikan ijin dan berlaku lunak kepada pelaku pelanggaran alih fungsi lahan di Kawasan Catur Angga Batukaru.Pengurusan ijin penjualan tanah seharusnya melalui pekaseh dan desa.Akan tetapi, peraturan baru dari Dinas Agraria yang


(2)

memperbolehkan penjualan atau perijinan hanya melalui desa tanpa melalui kesepakatan pekaseh membuat banyaknya terjadi alih fungsi lahan sawah.Hal ini sering menimbulkan masalah ketika tanah yang telah dijual pemilik yang baru meminta SPTT ke pekaseh.Petani juga melihat perlunya untuk melibatkan Dinas Pariwisata karena terjadinya peningkatan kunjungan wisatawan baik domestik maupun internasional kedalam Kawasan Catur Angga Batukaru.Hal ini telah menimbulkan konflik kepentingan antara petani sebagai pemilik dan pengelola lokal dengan pelaku industri pariwisata yang banyak berasal dari luar kawasan.

Peran pekaseh, kelian tempek, dan petani dalam pengelolaan subak adalah untuk pengaturan pembagian air, aci atau upakara serta pola tanam.Berdasarkan pada peran tersebut, hubungan pekaseh, kelian tempek, dan petani adalah merupakan satu kesatuan.Peran mereka dalam pengelolaan subak hanyalah sebatas koordinasi dan ini dilakukan dengan cara melakukan pertemuan rutin yang diadakan tiap kali musim tanam dan bila terjadi masalah yang perlu untuk didiskusikan bersama. Berikut adalah beberapa peran yang dilakukan oleh pemangku kepentingan dalam pengelolaan subak:

1. Pekaseh berperan dalam memimpin subak, menjadi jembatan untuk menghubungkan kepentingan krama subaknya dengan pemerintah, menunjang segala kegiatan yang ada di subak seperti pembagian air dan upacara. Peran ini bertambah menjadi pelaksana ketentuan-ketentuan pengelolaan Warisan Budaya Dunia semenjak Kawasan Catur Angga Batukaru diakui oleh UNESCO.

2. Petani bertugas untuk mengatur keberlangsungan sawah dan melaksanakan kegiatan sesuai dengan arahan pekaseh atau kelian tempek dan aci atau upakara. 3. Kelian tempek mengerahkan tenaga untuk kegiatan gotong royong di subak, saling

berkoordinasi, mendukung dengan kelian tempek lain, pekaseh, dan krama subaknya secara terintegrasi.

4. Pura atau pemangku sebagai wadah untuk memohon keselamatan, pemimpin ritual keagamaan untuk subak.

5. Puri sebagai pelindung di semua wilayah Tabanan dan juga ketika ada masalah hama di sawah, krama subak akan tangkil atau menghadap ke puri sebagai panutan termasuk dalam penentuan upakara.

6. Desa adat dan desa dinas dianggap memiliki peran otonom sehingga tugasnya hanya untuk koordinasi atau penyampaian informasi saja. Secara khusus, desa adat ikut terlibat dalam kegiatan prastiti sedangkan desa dinas mengawal dana bantuan untuk subak, yaitu untuk menyatukan dan melestarikan subak.


(3)

7. Pemerintah Kabupaten berperan dalam mendukung program pertanian dan sebagai penghubung masyarakat bawah. Peran ini dirasa belum optimal dilakukan. Lembaga-lembaga yang ditugaskan untuk mensejahterakan pelaku usaha pertanian seperti Badan Penyuluh Lapangan (BPL) masih belum memberikan manfaat. Slogal “Indah Serasi” hanya menjadi slogan dan tidak ada penerapannya.

8. Pemerintah Provinsi berperan dalam monitoring dan sudah terlaksana secara intensif dan pemberian sumbangan pertanian yang juga sudah dilakukan. Pemerintah Provinsi juga sudah lebih tanggap apabila terjadi pelanggaran.

9. Pemerintah Nasional berperandalam pengambil kebijakan untuk pelestarian kawasan. Namun terkadang peran ini dirasa tidak sesuai dengan kebutuhan di lapangan, seperti subsidi pupuk dan bantuan irigasi yang terkadang kurang tepat sasaran.

10. Akademisi seperti Pusat Penelitian Subak Universitas Udayana memiliki peran dalam pengakuan Warisan Budaya Dunia dan hingga sekarang masih sering melakukan sosialisasi. Para akademisi telah memberikan dukungan terhadap terbentuknya Forum Pekaseh dalam pelestarian dan pengelolaan Kawasan Warisan Budaya Dunia Catur Angga Batukaru melalui berbagai penelitian dan fasilitasi. 11. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) belum memiliki peran yang jelas, walaupun

beberapa LSM terlibat dalam program pemetaan di dalam Kawasan Warisan Budaya Dunia Catur Angga Batukaru dan pelaksanaan musyawarah subak.

12. Pelaku pariwisata masih belum terlibat dalam pelestarian dan pengelolaan Kawasan Warisan Budaya Dunia Catur Angga Batukaru dan justru seringkali merusak sehingga menjadi ancaman bagi pelestarian kawasan.

13. Lembaga asing yaitu UNESCO berperan dalam pemberian sertifikat Warisan Budaya Dunia dan pengawasan terhadap upaya pengelolaan situs. Akan tetapi petani berharap kedepannya UNESCO dapat memberikan bantuan sebagai penyalur aspirasi petani.

Identifikasi pelaku atau pemangku kepentingan dan perannya akan memudahkan upaya-upaya pelestarian dan pengelolan Kawasan Warisan Budaya Dunia Catur Angga Batukaru. Beberapa diantaranya yaitu;

1. Pengelolaan mampu mendirikan koperasi yang berfungsi untuk memasarkan hasil panen para petani. Ini dilakukan untuk menghindari pemasaran hasil panen kepada


(4)

para tengkulak yang merugikan petani. Para tengkulak biasanya membeli hasil panen petani dengan harga yang rendah.

2. Pengelolaan dapat menciptakan skema jasa lingkungan bagi para petani selaku pengelola sumber daya air. Jasa lingkungan ini dibayar oleh pihak-pihak yang ikut menggunakan sumber air yang sama seperti pengelola hotel, rumah tangga, villa, perusahaan air minum, dan sebagainya.

3. Pengelolaan dengan melibatkan pengembangan pariwisata di Kawasan Warisan Budaya Dunia Catur Angga Batukaru dapat menunjang perekonomian petani sekaligus melibatkan petani secara langsung dalam pariwisata, misalnya dengan wisata budaya tanam padi, membajak sawah, dan sebagainya. Pengelolaan pariwisata sebaiknya tidak dilakukan secara massif.

4. Pengelolaan yang baik dan efektif dapat menunjang usaha pertanian berkelanjutan di masa depan. Penggunaan bibit lokal dan pupuk organik yang digabungkan dengan penggunaan teknologi pertanian terbaru akan dapat menunjang pengolahan tanah dengan tenaga dan waktu yang lebih efisien dengan hasil produksi yang lebih baik.


(5)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa petani merupakan pemangku kepentingan yang memiliki peran utama sehingga harus dilibatkan dalam segala proses pembuatan kebijakan terkait pengelolaan Kawasan Warisan Budaya Dunia Catur Angga Batukaru. Selain itu, pemerintah daerah harus meningkatkan perannya untuk mendukung petani sebagai pengelola kawasan.Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa visi pengelolaan WBD yang utama adalah untuk melestarikan budaya subak sesuai dengan nilai-nilai Tri Hita Karana serta penguatan peran pekaseh dalam mengawasi pengelolaan Warisan Budaya Dunia Catur Angga Batukaru.Pengelolaan yang sesuai dengan nilai-nilai Tri Hita Karana penting dilakukan karena ketiganya saling terkait.

Pengelolaan seharusnya melihat petani dan pekaseh sebagai ujung tombak dalam pelestarian sistem subak di Bali.Petani dan pekaseh membuat perarematau awig-awig atau aturan baru kemudian diusulkan kepada pemerintah menyesuaikan kebijakan pemerintah.Kalau pemerintah yang membuat kebijakan maka petani hanya bisa melakukan demo bila terjadi pelanggaran.Pemerintah harus mempertimbangkan awig-awig atau perarem dalam pengeluaran ijin.Kalau pemerintah mengeluarkan kebijakan sesuai dengan perarem maka kecil kemungkinan terjadinya pelanggaran.Sanksi harus diberlakukan melalui peraturan daerah.Bila terjadi jual beli tanah tanpa syarat, maka itu seharusnya dibatalkan secara hokum.Bentuk sanksi disesuaikan dengan pelanggaran yang dilakukan, misalnya dengan memberi teguran di tempat, teguran tertulis, penindakan hokum atau penangkapan.Penegak hokum tersebut bisa pekaseh melalui forum pekaseh, pemerintah daerah maupun pusat, dan penegak hukum yaitu polisi.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Bainton, Nicholas A., Chriss Ballard, Kirsty Gillespie, Nicholas Hall. (2011).

“Stepping Stones Across the Lihir Islands: Developing Cultural Heritage Management in the Context of a Gold-Mining Operation” dalam International Journal of Cultural Property, No. 18, International Cultural Property Society.

Berg, B. (1989). “Qualitative Research Methods for the Social Sciences”, Allyn & Bacon, Boston.

Filler, Colin. (1997). “Compensation, Rent, and Power in Papua New Guinea” dalam Compensation for Resource Development in Papua New Guinea, editor: Susan Toft, Australian National University, Canberra.

Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata dan Pemerintah Provinsi Bali. (2011). “Nomination for inscription on the UNESCO World Heritage List, Cultural Landscape of Bali Province”, Indonesia.

Lansing, J. Stephen, Yunus Arbi, dan D.A. Wiwik Dharmiasih. (2011). “The Proposal to Create a UNESCO World Heritage Cultural Landscape: Celebrating the Subaks and Water Temples of Bali” dalam Bali dalam Proses Pembentukan Karakter Bangsa, editor: I Nyoman Darma Putra dan I Gde Pitana, Pustaka Larasan, Denpasar.

Ratna, Nyoman Kutha. (2008). “Penelitian Sastra: Teori, Metode, dan Teknik”, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

UNESCO. (2010). “The Power of Culture for Development”, Paris.

UNESCO. (2012). “Decision 36 COM 8B.26. 36th Session of the World Heritage Committee, Saint Petersburg, Russian Federation.Diakses dari

http://whc.unesco.org/en/decisions/4797 tanggal 10 April 2015.

UNESCO. (2014). “38th COM 7B.14. 38th Session of World Heritage Conference, Doha, Qatar. Diakses dari http://whc.unesco.org/en/decisions/6002 tanggal 12 April 2015