Manajemen Pengelolaan Warisan Budaya Eva

MANAJEMEN PENGELOLAAN WARISAN BUDAYA: EVALUASI HASIL PENELITIAN PUSAT ARKEOLOGI NASIONAL (2005-2014)

Bambang Sulistyanto

Pusat Arkeologi Nasional, Jl. Condet Pejaten No. 4, Jakarta Selatan 12510 bsoelistyo@yahoo.com

Abstrak. Dalam dasawarsa belakangan ini, pandangan Cultural Resource Management selanjutnya disingkat CRM, mengalami perubahan mendasar. CRM tidak dipandang hanya merupakan bagian dari upaya pengelolaan, melainkan dianggap justru sebagai bagian penting dari wacana teoritis ilmiah. Kinerja CRM tidak berhenti pada aspek pelestarian dan penelitian semata, melainkan lebih dari itu, merupakan upaya pengelolaan yang memperhatikan kepentingan banyak pihak. Dalam era reformasi seperti sekarang ini, posisi CRM sebagai suatu pendekatan memiliki peranan penting dan strategis di dalam menata, mengatur dan mengarahkan warisan budaya yang akhir-akhir ini seringkali menjadi objek konlik. Kinerja CRM memikirkan pemanfaatan dalam arti mampu memunculkan kebermaknaan sosial suatu warisan budaya di dalam kehidupan masyarakat. Menghadirkan kembali kebermaknaan sosial inilah yang sebenarnya merupakan hakekat kinerja CRM.

Kata Kunci: Kepentingan eksternal, Kebermaknaan sosial, Solusi.

Abstract. Management of Cultural Heritage: Evaluation of Results of Researches Carried Out

by The National Centre of Archaeology. Within the last decade, the perspective of the Cultural Resource Management (hereinafter is referred to as CRM), has a fundamental change. CRM is no longer considered merely a part of management efforts, but an important and strategic role in

scientiic theoretical discourse. The performance of CRM does not stop at the aspects of conservation and research; it is a management effort that takes into account the interests of many parties. In this reformation era, the CRM position as an approach plays an important and strategic role in managing, governing, and directing cultural heritages, which are recently become objects of conlicts. The CRM performance includes utilization, in a sense that it is able to generate the social signiicance of a cultural heritage in the community life. It is the ability to regenerate the social signiicance that is the real essence of CRM performance.

Keywords : External interest, Social signiicance, Solution.

I. Pendahuluan

mendapat tempat di samping terbatasnya para Dalam kurun waktu sepuluh tahun peneliti Pusarnas yang tertarik pada bidang ilmu terakhir ini, Pusat Arkeologi Nasional (Pusarnas) tersebut 1 . Fenomena kurangnya perhatian kajian tidak banyak melakukan penelitian Cultural 1 Berdasarkan visi dan misi yang disusun oleh Pusat

Resources Management, selanjutnya disingkat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional pada

awal tahun 2004 dan diikuti oleh Balai-balai Arkeologi di

CRM. Artinya penelitian CRM belum menjadi

daerah telah berhasil menetapkan lima tema penelitian yang

sistem yang harus dijalankan secara bersama oleh menjadi kerangka acuan kerjanya. Lima tema penelitian

tersebut adalah: 1). Siapa dan Dari Mana Kita: Migrasi

lembaga penelitian Pusarnas. CRM di Pusarnas

dan Proses Hunian di Nusantara. 2). Interaksi Hunian dan

masih berjalan sendiri-sendiri, tergantung Lingkungan Alam Masa Lampau, 3). Keanekaragaman

Budaya Nusantara, 4). Perdagangan Insuler di Nusantara, 5).

minat masing-masing peneliti. Bahkan usulan

Mencari Asal-usul dan Persebaran Puak-puak Melayu, lihat

penelitian bertema masalah tersebut, kurang Anonim, “Rancangan Induk Penelitian Arkeologi Nasional”,

Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Asdep Urusan Naskah diterima tanggal 1 Juli 2014 dan disetujui tanggal 6 November 2014.

AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 32 No. 2, Desember 2014 : 77-154

CRM, terbukti baik dari langkanya penelitian aspek pelestarian maupun penelitian. Keadaan maupun minimnya tulisan-tulisan yang ini muncul, antara lain karena didorong makin mengkaji masalah tersebut. Alasannya, mungkin tingginya kesadaran masyarakat bahwa sumber bidang ilmu ini dipandang sebagai bukan ilmu daya arkeologi pada hakekatnya adalah warisan murni yang tidak bisa menemukan teori atau milik bersama yang seharusnya dapat membawa mengembangkan ilmu arkeologi, melainkan manfaat bagi kepentingan bersama pula jenis penelitian terapan yang lebih dekat dengan (Sulistyanto 2009b: 16-33). kinerja pelestarian dan berhubungan degan

Maksud dari konsep warisan budaya kepentingan harkat hidup orang banyak. Apalagi, milik bersama, pada hakekatnya identik dengan pencantuman kata ‘manajemen’ dalam CRM konsep warisan budaya milik masyarakat, hampir selalu diasosiasikan dengan kegiatan dimana setiap orang memiliki hak yang sama praktis dan teknis, sehingga diasumsikan tidak untuk memperoleh manfaat atas keberadaannya. melibatkan kerangka teoritis tertentu.

Dalam konsep ini, semua pemangku kepentingan Mengkaji pentingnya masalah CRM, dapat mendaya-gunakan warisan budaya secara

tidak dapat dilepaskan dari berbagai perubahan bersama-sama, tetapi harus memperhatikan azas masyarakat yang terjadi dalam dasa warsa kepentingan bersama pula (equity ), eisiensi dan belakangan ini. Seiring dengan perubahan sistem berkelanjutan. Maksudnya adalah, walaupun politik dari era orde baru ke era reformasi, masing-masing pemangku kepentingan memiliki masyarakat sekarang terlihat berani menyatakan akses yang sama dalam pengelolaanya, tidak pendapat, pikiran dan bahkan meyuarakan hati berarti sumber daya arkeologi menjadi open- nuraninya dengan mengritik kinerja pemerintah access property atau dapat dieksploitasi secara terang-ererangan. Demikian pula yang semaunya. Undang-Undang R.I. Nomor 11 tahun terjadi dalam dunia arkeologi, masyarakat secara 2010 tentang Cagar Budaya cukup jelas mengatur diam-diam memperhatikan kinerja arkeologi tentang hak kepemilikan dan penguasaan atas dalam pengelolaan warisan budaya (Kompas, cagar budaya, khususnya pasal 12 ayat 1 dan 2.

5 Januari 2009, hal. 1). Oleh karena itu tidak Dalam konteks demikian itu lah, posisi mengherankan, jika mereka tidak lagi bersikap Pusarnas selaku lembaga penelitian, juga tidak apatis dan menunggu inisiatif pemerintah seperti lepas dari sorotan, bahkan kritikan, karena yang terjadi pada masa Orde Baru. Sebaliknya masyarakat mulai melihat dan mempunyai pada era reformasi ini, mereka lebih bersikap kesan bahwa penelitian arkeologi yang proaktif dan bahkan mulai berani menuntut hak- cenderung bersifat keilmuan semata, kurang haknya untuk dapat ikut berpartisipasi dalam dapat memberikan manfaat langsung bagi

pengelolaan warisan budaya 2 baik menyangkut masyarakat. Hasil-hasil penelitian arkeologi

selama ini kurang dapat dirasakan manfaatnya

Arkeologi Nasional, Jakarta 2004, Hal. 82-136.

2 Kepedulian masyarakat terhadap warisan budaya itu oleh masyarakat. Arkeologi dianggap terlalu

dibuktikan semakin banyaknya organisasi sosial yang bergerak dalam pelestarian warisan budaya seperti; Bandung

mementingkan kebutuhan bidang itu sendiri

Heritage, Solo Heritage, Celebes Heritage, Badan Warisan

daripada kepentingan masyarakat. Istilah menara

Sumatra, Palembang Heritage, Banten Heritage, Yogyakarta Heritage Society, Perkumpulan Generasi Muda Peduli Kota

gading misalnya, merupakan perumpamaan

Tua Jakarta, dan Jakarta Oldtown Kotaku (JOK), Kembang

yang memalukan didengar jika dikaitkan

Mas atau Kelompok Mitra Dieng, dll. Sayang sekali aspirasi masyarakat terhadap pelestarian warisan budaya tersebut

dengan posisi Pusarnas yang sesungguhnya.

tidak segera ditanggapi oleh para pengemban kebudayaan, khususnya lembaga pemerintah pengelola kepurbakalaan.

menjadi milik bersama. Kurangnya perhatian pemerintah Seharusnya aspirasi masyarakat yang demikian besar itu terhadap fenomena tersebut dikawatirkan organisasi-

mendapat respon dari pemerintah dengan penyusunan Perda organisasi sosial yang cukup banyak jumlahnya akan secara bersama tentang warisan budaya misalnya, atau

berjalan sendiri-sendiri sesuai dengan kemauannya yang merumuskan perubahan sistem pengelolaan warisan budaya

belum tentu sama dengan persepsi pemerintah.

Bambang Soelisyanto, Manajemen Pengelolaan Warisan Budaya: Evaluasi Hasil Penelitian Pusat Arkeologi Nasional (2005-2014).

Bahkan, keberadaan Pusarnas pun pernah 2. Pemaknaan CRM

menurun ciranya, terbukti pada 2002 pernah Kalau konsep CRM diartikan terbatas berubah nomenklaturnya menjadi Asdep Urusan pada upaya pelestarian, CRM sudah dilakukan

Arkeologi Nasional dengan tugas pokok dan sejak lama, bahkan telah dipraktikkan ketika fungsinya hanya menyusun kebijakan.

orang tertarik mengumpulkan dan meneliti Tidak dapat disangkal bahwa kondisi benda-benda purbakala. Namun demikian,

tersebut dapat menimbulkan citra kurang baik jika CRM diberi makna baru dalam arti bukan bagi upaya-upaya penelitian arkeologi. Tidak sekedar pelestarian dan penelitian semata,

jarang, kesan negatif itu juga telah menimbulkan tetapi ada banyak dimensi baru 4 yang bersifat benturan antara kepentingan penelitian eksternal di luar kepentingan arkeologi yang arkeologi dengan kepentingan masyarakat 3 . harus diperhatikan, maka pengertian CRM dapat Tentu saja keadaan seperti itu tidak dapat dikatakan relatif baru. Istilah manajemen sumber dibiarkan terus menerus, karena sebenarnya daya budaya, yang merujuk pada istilah dalam arkeologi sangat dibutuhkan masyarakat, ketika bahasa Inggris Cultural Resource Management

mereka berupaya mencari jatidiri (Tanudirdjo pertama kali mulai dikenal di Amerika Serikat 2007). Kemampuan arkeolog mengungkapkan pada sekitar tahun 1980-an. Di Indonesia perilaku kehidupan nenek moyang, merupakan bidang garapan ini muncul baru sekitar tahun petunjuk bahwa arkeologi diperlukan 1990-an ketika ilmu arkeologi dihadapkan pada masyarakat. Bahkan ilmu ini terbukti menjadi persoalan pembangunan yang memerlukan bagian dari kehidupan sosial budaya mereka, bentuk pengelolaan yang merujuk langsung pada ketika masyarakat mengunjungi objek wisata kepentingan pengembangan dan pemanfaatan. budaya, seperti candi, gua atau benda-benda

Dalam berbagai kajian CRM seringkali tinggalan lain di museum-museum.

ditemukan banyak istilah 5 . Banyaknya istilah Makalah ini mencoba mengevaluasi yang dipergunakan untuk menyebut CRM

perjalanan penelitian CRM yang dilakukan seperti Management of Heritage Place (Pearson oleh Pusarnas dalam kurun waktu sepuluh dan Sulivan 1995: 4), Conservation Archaeology tahun terakhir ini (2005-2014). Tujuan evaluasi (Schiffer dan Gumerman 1977: 244), atau untuk memahami sejauh mana lembaga ini Archaeological Heritage Management menerapkan CRM dalam program-program (Cleere 1989: 4) dapat mengecohkan, bahkan penelitiannya, sekaligus mengetahui kepekaan dikhawatirkan berdampak pada kesalahan dalam lembaga terhadap berbagai persoalan sosial yang memposisikannya. Pengertian istilah yang ada di tengah-tengah masyarakat.

berbeda tersebut, kalau diperhatikan sebenarnya mengacu pada pengertian yang sama, yaitu

3 Pada tanggal 29 desember 2009 di depan Gedung Balai Arkelogi Bandung telah terjadi demo yang dilakukan oleh

kesadaran terhadap pentingnya upaya pelestarian

sekitar 100 orang masyarakat Sunda yang mengatasnamakan

sumber daya arkeologi, karena sifatnya yang

Masyarakat Gerakan Bawah Indonesia. Permasalahannya adalah Hasil Penelitian Arkeologi yang dilakukan oleh Balai

tak-terperbaharui (non-renewable), terbatas

Arkeologi Bandung terhadap wilayah Selareuma (Desa Pasanggrahan, Kecamatan Sumedang Selatan, Kabupaten

4 Dimensi-dimensi baru yang dimaksud berkaitan dengan Sumedang) menyatakan bukan situs. Demikian pula

berbagai kepentingan yang sifatnya eksternal di luar penelitian yang dilakukan oleh BP3 Serang, menyatakan

kepentingan arkeologi atau peneliti arkeologi, seperti bahwa wilayah tersebut bukanlah situs. Menurut para

aspek ekonomi, pendidikan, kepariwisataan, masyarakat, pendemo “Masyarakat Gerakan Bawah Indonesia”,

serta aspek hukum dan bahkan aspek politis. Hadirnya wilayah Selareuma adalah situs yang perlu dilestarikan.

dimensi-dimensi baru tersebut pada era reformasi mutlak Perbedaan persepsi inilah yang menyebabkan adanya demo

diperhatikan dalam pengelolaan warisan budaya. yang menuntut dilestarikannya daerah tersebut. Jika Balai

5 Mengenai berbagai istilah dan pengertian tentang CRM, Arkeologi Jawa Barat dan BP3 Serang tidak melaksanakan

periksa lebih lanjut Bambang Sulistyanto 2008. “Resolusi maka pendemo menghendaki dibubarkannya kedua lembaga

Konlik dalam Manajemen Warisan Budaya Situs Sangiran”. tersebut.

Disertasi Universitas Indonesia.

AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 32 No. 2, Desember 2014 : 77-154

( inite), tak dapat dipindahkan (non movable), perencanaan, pelaksanaan sampai pada evaluasi. dan kontekstual (contextual).

Keterlibatan berbagai pihak dalam proses Berangkat dari hasil releksi perjalanan pengelolaan warisan budaya tersebut, sangat panjang kinerja arkeologi Indonesia hingga penting direalisasikan karena masing-masing dasawarsa 1970-an, Daud Aris Tanudirjo pihak memiliki kepentingan yang berbeda-beda. menawarkan pengertian CRM dan tampaknya

Diakui, bahwa selama ini, kedudukan sangat tepat diterapkan pada kasus-kasus kajian CRM dalam hubungannya dengan warisan budaya di Indonesia. Menurutnya ilmu arkeologi sering dipermasalahkan. Pada CRM tidak lain merupakan manajemen konlik. awal kemunculannya, CRM lebih dipandang Dengan perkataan lain CRM merupakan sebagai bagian dari penerapan arkeologi, karena upaya pengelolaan warisan budaya secara awal kemunculan CRM berkaitan dengan bijak dengan mempertimbangkan berbagai pemenuhan perundangan yang mensyaratkan kepentingan banyak pihak yang masing-masing adanya kegiatan penelitian arkeologi di tempat- pihak sering kali saling bertentangan. Dengan tempat yang terkena dampak pembangunan demikian CRM cenderung lebih menekankan (Neumann dan Sanford 2001: 1-24). Oleh karena pada upaya pencarian solusi terbaik dan terbijak itu, dapat dipahami jika kegiatan CRM tidak agar kepentingan berbagai pihak tersebut dapat jarang dipandang kurang bersifat akademis dan terakomodasi secara adil (Tanudirjo 1998: 15).

bukan kajian ilmiah. Apalagi, pencantuman Pengertian di atas, menyiratkan kinerja kata ‘manajemen’ cenderung lebih menyiratkan

CRM tidak hanya berhenti pada aspek pelestarian, kesan kegiatan praktis jauh dari kesan adanya tetapi juga memikirkan pemanfaatan dalam arti kerangka teoritis tertentu. mampu menentukan arah kemana sumber daya

Seiring dengan perkembangan ilmu arkeologi akan diarahkan, sehingga ia tidak lagi pengetahuan, dalam dua dasawarsa terakhir terlihat seperti benda mati dalam kehidupan ini pandangan CRM mengalami perubahan masyarakat, tetapi memiliki kebermaknaan sosial yang mendasar. CRM tidak dipandang hanya (Byrne et al. t.t.: 25). Memunculkan kembali merupakan bagian dari upaya pelestarian, kebermaknaan sosial inilah yang sebenarnya melainkan dianggap justru sebagai bagian merupakan hakekat kinerja CRM. Kinerja seperti penting dalam kajian arkeologi. Hodder itu dapat dianalogikan seperti kinerja pemulung, (1999: 170) menunjukkan perkembangan cara yaitu upaya pengelolaan guna mempertahankan kerja CRM tidak saja memperlihatkan akan sumber daya arkeologi dalam konteks sistem kebutuhan fungsional untuk mengelola sumber dengan menyodorkan “makna baru” sesuai daya budaya secara sistematis dan eisien, dengan konteks sosialnya (Tanudirjo 2004: 6).

tetapi juga dilatarbelakangi oleh paradigma Konsep CRM dalam batasan lebih luas objektif sebagaimana yang dianut oleh arkeologi menempatkan masyarakat sebagai bagian yang prosesual yang menuntu sikap ilmiah melalui integral dalam proses pengelolaan sumber pendekatan eksplanasi diduksi. Dengan daya arkeologi. Sebagaimana telah menjadi demikian, kajian-kajian CRM harus menjadi kesepakatan para ahli (Layton 1989; Cleere bagian dari wacana teoritis ilmiah arkeologi. 1990; Tanudirdjo 2003) warisan budaya pada Hodder (1999: 171) sendiri melihat prosedur hakekatnya memiliki publik yang tidak tunggal CRM selama ini cenderung terstandardisasi tetapi jamak. Oleh karena itu, agar berbagai dengan cara-cara baku dengan menggunakan kepentingan tersebut dapat terakomodasi dan kerangka pikir positivis. Karena itu, dalam tidak menimbulkan konlik, maka kinerja CRM konteks arkeologi pasca-prosesual, Hodder akan melibatkan banyak pihak mulai dari juga menyarankan agar prosedur CRM dapat

Bambang Soelisyanto, Manajemen Pengelolaan Warisan Budaya: Evaluasi Hasil Penelitian Pusat Arkeologi Nasional (2005-2014).

mewadahi proses interpretasi dan reinterpretasi. di lemari-lemari perpustakaan yang hanya bisa Dalam proses itu, semua pihak harus dilibatkan dinikmati oleh ilmuwan, tetapi harus mampu dalam proses pengambilan keputusan, yang ia dikembangkan agar memberikan manfaat kepada sebut sebagai metode partisipasi.

masyarakat.

Berkaitan dengan kedudukan teori dalam Pengertian di atas, menyiratkan bahwa CRM, beberapa ahli (Carman et al. 1995: 2-5) kinerja arkeologi ini tidak hanya berhenti menyatakan, bahwa selama ini banyak orang pada aspek perlindungan maupun penelitian, memiliki perspektif yang salah tentang hubungan tetapi juga memikirkan pemanfaatan dan antara arkeologi dengan manajemen dalam pengembangan, dalam arti mampu menentukan konteks CRM. Kesalahan dalam penafsiran arah kemana sumber daya arkeologi akan dibawa, tersebut, berdampak pada pembedaan antara sehingga ia tidak lagi terlihat seperti benda mati arkeologi yang akademis (academic archaeology) dalam kehidupan masyarakat, tetapi memiliki dengan arkeologi yang bekerja di lapangan kebermaknaan sosial (Byrne et al. t.t.: 5). ( ield archaeology). Sementara itu, banyak ahli

Melalui pendekatan partisipatoris yang masih enggan untuk mengakui, bahwa masalah melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan, manajemen merupakan bagian penting dalam CRM mampu memberikan solusi yang cukup penelitian arkeologi. Padahal, sepanjang sejarah bijak, karena pendekatan bidang ilmu ini arkeologi, manajemen sudah menjadi bagian berangkat dari konsep warisan budaya milik penting dan mendasar dalam kinerja arkeologi. bersama. Arkeolog perlu mengembangkan model Persoalan itu mendorong beberapa ahli membahas penelitian berwawasan CRM, karena objek secara khusus hubungan teori-teori arkeologi kajiannya bukan benda mati, melainkan benda dalam dunia akademik dengan CRM. Dalam hidup yang berada di tengah-tengah masyarakat pertemuan tahunan Theoretical Archaeology yang berubah-ubah dari waktu ke waktu. Group tahun 1991 di Leiscester dan tahun 1992 Tugas arkeolog adalah menemukan kembali di Southampton misalnya, masalah ini dibahas makna budaya sumber daya arkeologi dan secara khusus. Salah satu pendapat yang cukup menempatkannya secara benar dalam konteks mengejutkan mengatakan, bahwa sebenarnya sistem sosial masyarakat sekarang. “teori manajemen adalah teori arkeologi”,

Memperhatikan sasaran kinerja CRM Management theory is archaeological theory” yang lebih cenderung mengungkapkan interaksi (Carman et al. 1995: 2-5).

antara warisan budaya dengan masyarakat dan Dalam konteks kondisi di Indonesia, sebaliknya interaksi antara masyarakat dengan pada era reformasi dan otonomi daerah warisan budaya, maka penelitian CRM dapat seperti sekarang ini, posisi CRM sebagai dikatakan bukan penelitian murni, melainkan suatu pendekatan memiliki peranan penting lebih tepat disebut sebagai penelitian bersifat dan strategis di dalam menata, mengatur dan terapan (Beerling dkk. 1986: 142; Rangkuti mengarahkan warisan budaya yang akhir- 1996: 52-60), yaitu suatu jenis penelitian yang akhir ini seringkali menjadi objek perselisihan lebih menekankan pada aspek manfaat untuk atau konlik. Pusarnas sebagai hulu dalam memenuhi kebutuhan praktis manusia. proses manajemen warisan budaya, penting

Berbeda dengan penelitian terapan menerapkan penelitian dengan pendekatan (applied research), dalam ilmu murni (pure CRM. Apalagi nomenklatur lembaga ini telah sciences) menciptakan teori-teori dasar berubah tidak sekedar melakukan penelitian merupakan tujuan yang pokok, sementara tetapi juga pengembangan. Artinya, hasil-hasil kemungkinan pemanfaatannya dalam kehidupan penelitian arkeologi seharusnya tidak berhenti praktis merupakan persoalan lain, karena

AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 32 No. 2, Desember 2014 : 77-154

dianggap berada di luar relevansi ilmu-ilmu murni. Di pihak lain, ilmu terapan lebih cenderung terfokus pada relevansi teori-teori dasar tersebut dengan pemanfaatan di bidang terapan tertentu. Antara ilmu murni dan ilmu terapan sebenarnya tidak dapat dipisahkan secara tegas. Keberadaan kedua jenis ilmu ini bergandengan, yang satu menopang keberadaan yang lain. Ilmu murni dengan teori-teori dasarnya, mendasari perkembangan ilmu terapan. Sebaliknya tanpa kehadiran ilmu terapan, ilmu murni kehilangan maknanya, karena terlepas dari kebutuhan praktis manusia (Dunn 2003: 7-12). Dengan perkataan lain, seorang sarjana arkeologi, di samping harus menghasilkan pengetahuan juga dituntut untuk mampu menghubungkan antara pengetahuan dengan tindakan.

Tidak jauh berbeda dengan pandangan di atas, perbedaan antara penelitian murni dengan penelitian terapan bukanlah terletak pada ketat atau longgarnya prosedur ilmiah yang ditempuhnya, melainkan pada sifat sasarannya. Penelitian murni mempunyai sasaran ke dalam yaitu meningkatkan dan mengembangkan ilmu, sedangkan penelitian terapan mempunyai sasaran keluar yaitu bagaimana hasil-hasil penelitian yang dicapainya mampu membantu siapa saja yang berkepentingan (Kleden 1988: 60-63). Sebutan ”penelitian terapan” sebenarnya sudah menunjuk dirinya sebagai suatu penelitian yang bersifat policy oriented. Namun demikian seperti halnya penelitian murni, penelitian terapan tetap dituntut dan tunduk kepada prosedur dan syarat-syarat ilmiah, karena ada suatu korelasi antara pertanggungjawaban metodologis ilmiah dengan pemanfaatan hasil- hasil penelitian. Artinya, semakin hasil penelitian dapat dipertanggunjawabkan secara metodologis ilmiah, akan semakin bermanfaat guna menyusun kebijakan atau acuan untuk suatu problem solving. Oleh karena itu dapat dipahami, jika di negara-negara berkembang penelitian terapan lebih banyak dilakukan dibandingkan dengan penelitian murni (Nazir 1988: 30-31).

Dari uraian di atas, dapat diperoleh pengertian bahwa walaupun penelitian CRM tidak dimaksudkan untuk menghasilkan teori, hukum-hukum atau aksioma-aksioma, tetapi peneliti tetap dituntut untuk melakukan prosedur ilmiah, karena penelitian ini berkaitan langsung dengan kepentingan hidup masyarakat. Peneliti harus mampu memilih dan mempergunakan teori-teori, hukum-hukum, dalil-dalil dan aksioma-aksioma serta metode yang relevan dengan permasalahan penelitian. Kekeliruan dalam memilih metode, salah dalam memutuskan kebijakan akan mengakibatkan masalahnya tidak akan terselesaikan, bahkan justru akan memunculkan masalah-masalah baru. Dengan demikian, sejak awal peneliti harus menyadari bahwa apa yang dilakukan berkaitan langsung dengan harkat orang banyak. Pertanggungjawaban penelitian terapan tidak hanya dari segi ilmiah tetapi juga secara sosial, bahkan juga moral berdasarkan norma-norma kemasyarakatan, kemanusiaan (Nawawi 2005: 1-7).

3. Kegiatan CRM di Pusarnas

Dalam sepuluh terakhir ini, Pusarnas tercatat melakukan kegiatan yang bernuansakan CRM tidak lebih lebih 10 kegiatan. Kegiatan pertama dilaksakan pada tahun 2004 yang berlanjut pada kegiatan ke dua pada tahun 2005, dalam bentuk pelatihan CRM. Pelatihan CRM ini tidak hanya diikuti oleh arkeolog, tetapi juga beberapa pemangku kepentingan di berbagai daerah. Kegiatan ketiga, tahun 2006 penelitian CRM dilaksanakan di Situs Sangiran, Kabupaten Sragen Jawa. Kegiatan CRM ke empat tahun 2006 berlanjut tahun 2007 penelitian CRM dilaksanakan di Situs Kompleks Candi Dieng, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Penelitian CRM ke enam dilakukan tahun 2011 di Daerah Aliran Sungai lahar dingin, Lereng Gunung Merapi, yang berlanjut pada tahun yang sama di Candi Morangan, Sleman, Yogyakarta. Penelitian CRM

Bambang Soelisyanto, Manajemen Pengelolaan Warisan Budaya: Evaluasi Hasil Penelitian Pusat Arkeologi Nasional (2005-2014).

ke sembilan dilaksanakan pada tahun 2012 di Dengan demikian masing-masing tingkat situs Gua Maros dan Pangkep, Sulawesi-Selatan. memiliki materi yang berbeda, tetapi sebenarnya Uraian selengkapnya hasil penelitian tersebut memiliki tujuan pentahapan yang sama yaitu sebagai berikut.

meningkatkan pemahaman di antara para arkeolog peneliti dan arkeolog pelestari serta

3.1 Pelatihan CRM

para pejabat penentu kebijakan di daerah guna Walaupun jumlah kegiatan penelitian pengembangan strategi penelitian dan pelestarian

CRM selama ini masih jauh dari yang yang relevan dengan tuntutan zaman. Adapun diharapkan, namun pada aspek lain kita masih sasaran kegiatan ini adalah menumbuhkan dapat berbangga karena Pusarnas pernah tampil

pemahaman yang lebih baik di antara para menjadi pelopor CRM dengan munculnya arkeolog peneliti dan arkeolog pelestari di

penyelenggaraan program Pelatihan Pengelolaan Indonesia tentang Pengelolaan Sumber Daya Sumberdaya Arkeologi pada tahun 2004 – Arkeologi agar mereka dapat menerapkan 2006. Kegiatan pertama diawali dalam bentuk strategi yang lebih bermanfaat sesuai dengan pelatihan, bertujuan memperkenalkan makna harapan masyarakat. penting CRM dalam pelelitian dan pelestarian.

Sayang sekali, program strategis yang Perlu diinformasikan bahwa program relevan diterapkan di era otonomi daerah ini,

pelatihan CRM ini, seringkali menjadi bahan hanya mampu bertahan dua tahap pelatihan yaitu pertanyaan sekaligus pujian bagi mereka yang tahun 2004 dan 2006. Padahal program ini banyak mengamati. Dijadikan bahan pertanyaan, karena peminatnya karena sesuai dengan kebutuhan dan CRM justru diselenggarakan oleh lembaga tuntutan zaman, yakni membantu memecahkan Penelitian Pusarnas (dulu Asdep Arkeologi) problem-problem sosial yang terjadi ditengah- bukan lembaga lain, sedangkan pujian karena tengah masyarakat. Program aplikatif ini karena Pusarnas selaku lembaga penelitian justru yang suatu alasan birokrasi terpaksa harus berhenti mencetuskan pemikiran-pemikiran konstruktif hingga sekarang ini. Namun demikian, dalam untuk melakukan kegiatan arkeologi yang konteks regenerasi, Pusarnas selama tiga tahun mengedepankan kepentingan masyarakat melalui itu telah mencetak sekitar 70-an arkeolog yang program CRM.

memiliki kemampuan CRM yang tersebar di Program pelatihan ini banyak diikuti berbagai wilayah Indonesia dan siap diterjunkan

oleh arkeolog peneliti dan arkeolog pelestari di tengah masyarakat guna menyelesaikan seluruh Indonesia, termasuk para pejabat daerah problematik sumber daya arkeologi. Disa dari yang menangani warisan budaya. Pelaksanaan keberhasilan atau tidaknya, tergantung dari program terbagi atas 2 tingkatan, yaitu tingkat kemampuan penerapan dan pengembangan dasar dan tingkat lanjut. Pada tingkat dasar masing-masing arkeolog yang bersangkutan. peserta tidak hanya diperkenalkan pada konsep-

Secara kuantitas uraian di atas konsep utama dan permasalahannya, tetapi juga memperlihatkan penelitian CRM di Pusarnas

sudah diajari strategi pemecahannya melalui masih relatif sedikit dibanding dengan luas teori-teori yang relevan. Materi tingkat dasar ini

lapangan dan banyaknya kasus warisan budaya akan diteruskan pada klas tingkat, pada tahhap yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. dengan memfokuskan peningkatkan kemampuan Demikian pula yang terjadi di Balai-balai bernalar dalam menggunakan berbagai alat bantu

Arkeologi selaku Unit Pelaksana Teknis (UPT) analisis, serta kemampuan merumuskan untuk di daerah, penelitian model CRM belum banyak pengembangan strategi penelitian dan pelestarian dilakukan. Para peneliti di Balai-balai Arkeologi (Sulisyanto 2004).

belum banyak tertarik melakukan penelitian

AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 32 No. 2, Desember 2014 : 77-154

CRM. Hal ini disebabkan antara lain karena minimnya minat atau keterbatasan sumber daya manusia yang memahami masalah CRM. Bahkan mengamati makalah-makalah yang dipresentasikan dalam Evaluasi Hasil Penelilitian Arkeologi 2005-2014, terlihat jelas para peneliti masih belum seragam menterjemahkan penelitian CRM. Padahal persoalan-persoalan warisan budaya di daerah sangatlah banyak, hampir disetiap wilayah kabupaten di Indonesia memiliki permasalahan warisan budaya dalam skala yang berbeda-beda (Sulistyanto 2008: 17- 33).

Balai Arkeologi sebagai UPT pusat di daerah, sebenarnya memiliki posisi yang strategis

sebagai penghubung antara kepetingan pusat dan daerah. Dalam konteks penelitian CRM, Balai Arkeologi dapat memainkan peranannya sebagai fasilitator sekaligus mediator dalam berbagai permasalahan warisan budaya di daerah. Di antara sepuluh Balai Arkeologi di Indonesia, Balai Arkeologi Yogyakarta terlihat lebih banyak memperhatikan persoalan-persoalan sosial masyarakat di sekitarnya dengan melakukan penelitian CRM. Balai Arkeologi Yogyakarta sejak tahun 2006 sudah memulai penelitian bertema manajerial dengan menempatkan aspek akademis sebagai kerangka dasarnya. Sebagai contoh, penelitian di Kabupaten Boyolali pada tahun 2006, menunjukkan bahwa secara umum masyarakat merasa berkepentingan atas potensi Cagar Budaya yang dikelola oleh pemerintah, baik oleh BPCB (kawasan cagar budaya) maupun Pemda (wisata, ziarah). Penelitian ini berlanjut di Kabupaten Malang pada tahun 2007 dan 2008 serta di Kabupaten Surabaya pada tahun 2009 dan 2010. Sasaran penelitian berupa bangunan Indis yang meliputi fasilitas umum seperti bangunan stasiun kereta api, bangunan peribadatan (gereja, masjid) atau bangunan perbelanjaan, perkantoran, dll.

Konsep dasar yang digunakan dalam penelitian adalah kajian lanjutan atas hasil penelitian Balai Arkeologi Yogyakarta yang “telah

selesai” guna mendapatkan pengetahuan tentang:

1) potensi pengembangan dan pemanfaatan suatu situs dan hasil penelitian, 2) potensi ancaman atas kelestarian data arkeologi, 3) kecenderungan pandangan dan harapan stakeholders atas situs dan hasil penelitian arkeologi.

Berdasarkan puluhan bangunan yang telah disurvei, diketahui bahwa sebagian besar bangunan Indis telah mengalami berbagai perubahan. Sementara terdapat berbagai bangunan yang masih menunjukkan keasliannya yaitu yang merupakan fasilitas umum, karena masih berfungsi seperti semula, misalnya stasiun, gereja, sekolahan, perkantoran dll. Sementara itu, perubahan yang terjadi di Kota Surabaya dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu perubahan isik dan non-isik. Perubahan isik diketahui dengan jelas adanya penambahan maupun pengurangan pada unsur-unsur bangunan yang ada. Misalnya sebuah bangunan kolonial di bagian depan ditambah dengan bangunan baru yang dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan yang dapat menunjang kebutuhan pemilik bangunan. Sementara perubahan non-isik dapat diketahui karena adanya perubahan fungsi, misalnya sebuah bangunan yang pada awalnya merupakan tempat tinggal, sekarang difungsikan sebagai hotel, toko dll. Dengan demikian kedua perubahan tersebut (perubahan isik dan non- isik) saling pengaruh mempengaruhi dan tidak dapat dipisahkan.

Sementara itu, penelitian CRM Balai Arkeologi Yogyakarta yang dilakukan di Situs Patiayam Kudus tahun 2011, berhasil melibatkan masyarakat lokal untuk menyelamatkan warisan budaya dari berbagai ancaman kerusakan dan eksploitasi masyarakat. Di sini peran masyarakat sangat penting diberdayakan dalam upaya melestarikan warisan budaya. Dengan cara membentuk forum “Paguyuban Masyarakat Pelestari”, warisan budaya Situs Patiayam berupa fosil-fosil yang rentan terhadap berbagai modus pencurian, akhirnya dapat dilestarikan (Siswanto 2011: 66-68).

Bambang Soelisyanto, Manajemen Pengelolaan Warisan Budaya: Evaluasi Hasil Penelitian Pusat Arkeologi Nasional (2005-2014).

3.2 Penelitian CRM di Kawasan Situs

Penelitian ini berhasil mengungkap,

Sangiran

bahwa perbedaan-perbedaan persepsi dalam Penelitian CRM di Kawasan Sangiran memaknai warisan budaya Situs Sangiran

merupakan contoh kerja sama penelitian yang merupakan faktor utama penyebab konflik baik, karena penelitian ini merupakan gabungan pemanfaatan. Faktor utama tersebut tidak antara penelitian murni (bertema Kajian Manusia mungkin akan berkembang kalau tidak Purba dan Budayanya) dengan penelitian terapan dipicu oleh beberapa faktor pendukung, dan (CRM) yang berusaha membongkar interaksi beberapa faktor perubahan sosial budaya dan warisan budaya dengan masyarakat. Dalam politik yang sangat cepat berkembang, seperti kaitannya dengan penelitian CRM di kawasan munculnya Undang-Undang Otonomi Daerah. situs warisan dunia ini, memiliki tujuan akhir

Penelitian ini telah menemukan yaitu resolusi konlik (Sulistyanto 2009c).

sekurang-kurangnya enam faktor pendukung Tujuan akhir tersebut tidak mungkin atau pemicu terjadinya konflik, yaitu (1)

dapat dilakukan dalam sekali kegiatan. Oleh Sistem pengelolaan Situs Sangiran yang karena itu, penelitian direncanakan sampai 5 cenderung didominasi oleh pemerintah, (2) tahap kegiatan secara berjenjang, tetapi karena Kebiasaan penduduk mencari fosil untuk keterbatasan anggaran, penelitian ini hanya mendukung kehidupan perekonomian sehari- berjalan sekali tahap tahun 2006. Penelitian hari (3) Keterbatasan lapangan pekerjaan dengan judul ”Konflik Pengelolaan Sumber penduduk Sangiran, (4) Lemahnya penegakan Daya Arkeologi Situs Sangiran”, paling tidak hukum. (5) Sistem zoning yang merugikan memiliki tiga permasalahan yang ingin dikaji penduduk, (6) Pemberlakuan Undang-Undang dalam penelitian:

Otonomi Daerah (Sulisyanto 2006a: 65).

1. Bagaimanakah sistem pengelolaaan situs Sangiran selama ini dan bagaimanakah

3.3 Penelitian CRM Kompleks Candi Dieng

masyarakat memaknainya? Penelitian ini diselenggarakan tahun

2. Mengapa konlik pemanfaatan Situs Sangiran 2006 berlanjut tahun 2007 dilaksanakan di Situs dapat terjadi dan faktor-faktor apakah yang Kompleks Candi Dieng, Kabupaten Wonosobo,

menyebabkannya? Jawa Tengah. Penelitian ini memiliki dua tujuan,

3. Bagaimanakah konlik pemanfaatan tersebut yaitu akademis dan praktis. Secara akademis dapat dipecahkan tanpa ada pihak yang untuk menemukan berbagai faktor penyebab

merasa dirugikan? konflik pemanfaatan warisan budaya Situs Pertanyaan pertama, merupakan upaya Dieng. Upaya menemukan beberapa faktor

evaluasi sekaligus retrospeksi terhadap sistem penyebab konlik tersebut sangat penting bagi pengelolaan yang selama ini diterapkan pada langkah penentuan pengembangan ke depan yang Situs Sangiran. Pertanyaan kedua, mengarah menguntungkan berbagai pihak. Model yang pada aspek evaluatif dengan menampilkan dikembangkan di sini akan memberi peran yang adanya konlik dalam pemanfaatan kawasan lebih besar bagi masyarakat untuk memberikan Situs Sangiran sebagai akibat perbedaan persepsi masukan cara pelestarian dan pemanfaatannya. dalam memaknai benda cagar budaya antara Pihak pemerintah tidak lagi ditempatkan sebagai masyarakat dengan pemerintah dan bahkan penentu kebijakan, tetapi sebagai fasilitator. antara Pemerintah Daerah dengan pemerintah Kedua, secara praktis, penelitian ini dimaksudkan pusat. Aspek evaluatif ini penting dipahami untuk membantu pemerintah (daerah maupun dalam upaya mengungkapkan beberapa faktor pusat) menyelesaikan konlik kepentingan Situs penyebab terjadinya konlik.

Kompleks Candi Dieng.

AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 32 No. 2, Desember 2014 : 77-154

Penelitian ini diharapkan memiliki bagi hasil retribusi di Kompleks Candi Dieng. manfaat akademis dan praktis. Manfaat akademis Kedua Pemda ini seolah saling berebut untuk yaitu dapat memberikan sumbangan khasanah memiliki dan menarik manfaat dari Situs Dieng keilmuan mengenai sistem pengelolaan benda (Sulistyanto 2007: 48-65). cagar budaya agar dapat memberikan kontribusi yang maksimal baik untuk kepentingan

3.4 Penelitian CRM di Kawasan Karst

ideologis, akademis maupun praktis. Adapun

Maros-Pangkep

manfaat praktis yang diperoleh dari penelitian Penelitian ini dilakukan pada tahun 2012 ini ialah dapat dijadikan bahan masukan dan bertujuan mengungkapkan potensi sumber

pertimbangan baik kepada pemerintah pusat daya arkeologi di wilayah Kawasan Karst maupun pemerintah daerah untuk bersama- Maros-Pangkep, guna menentukan langkah sama menyusun kebijaksanaan dalam rangka penelitian selanjutnya, yaitu mengidentiikasi pengembangan kawasan Situs Candi Dieng di konlik kepentingan. Pada awalnya, penelitian masa mendatang. Dalam penelitian ini, disamping ini direncanakan sampai tiga tahap penelitian, menghimpun, memilah dan mempelajari data berakhir tahun 2014. Setiap tahapan penelitian, sekunder, dilakukan pula penelusuran data primer sebenarnya telah dirancang secara sistematis

di lapangan melalui tiga cara yaitu observasi, dan berjenjang yang akan berakhir pada wawancara, dan diskusi terfokus Focus Group penyelesaian, resolusi konlik. Sayang sekali, Discussion (Sulistyanto 2006b: 4-9).

karena keterbatasan dana, proses penelitian Penelitian ini berhasil melakukan hanya berlangsung satu tahap penelitian saja,

pemetaan konflik sekaligus menemukan yaitu tahun 2012. beberapa faktor penyebab konlik pemanfaatan

Metode yang digunakan dalam penelitian Situs Kompleks Candi Dieng. Pemetaan konlik awal ini, mengandalkan pada analisis data, berhasil mengidentiikasi dari 9 pihak yang agar mampu memperjelas kajian regionalnya. terlibat dalam pemanfaatan kompleks Candi Penerapan di lapangan berupa pengumpulan

Dieng, empat pihak di antaranya terlibat konlik. data dengan melakukan survei geomorfologis, Pihak tersebut adalah pihak arkeologi (BPCB geologis, dan arkeologis. Pengamatan lapangan Jawa Tengah) dengan penduduk petani kentang

dilakukan pada situs, lingkungan sekitar, dan yang dilatarbelakangi perebutan lahan pertanian. daerah wilayah karst di wilayah penelitian

Petani melihat tanah yang subur di sekitar Kawasan Karst Maros-Pangkep. lingkungan Candi Dieng adalah tanah tidur yang

Berdasarkan hasil penelitian dapat sangat disayangkan jika tidak dimanfaatkan diketahui, paling tidak terdapat 117 leang untuk lahan pertanian.

prasejarah yang tersebar di Kawasan Karst Pihak arkeologi juga konlik dengan Pemda Maros-Pangkep dengan beragam jenis tinggalan Wonosobo yang berlatar belakang perbedaan dalam budaya antara lain berupa lukisan di dinding gua, memaknai Situs Dieng dalam kontek pertentangan sebaran alat batu, dan sisa-sisa sampah makanan pelestarian vs pengembangan kepariwisataan. berupa cangkang mollusca . Tinggalan arkeologi Disamping itu arkeologi juga konlik dengan tersebut menjadi obyek kajian yang sangat Pemda Banjarnegara yang dilatarbelakangi menarik diteliti lebih lanjut untuk mengetahui oleh perbedaan dalam melihat cara-cara kehidupan di masa lalu. Melihat persebaran pemanfaatannya (konlik pelestarian vs penataan situs gua-gua yang memiliki potensi yang wilayah). Sementara itu, konlik kepentingan juga cukup luas, maka tentunya memerlukan suatu terjadi antara Pemda Banjarnegara dengan Pemda penanganan yang lebih serius dan intensif dengan Wonosobo dilatarbelakangi oleh perebutan menggunakan berbagai disiplin ilmu lain.

Bambang Soelisyanto, Manajemen Pengelolaan Warisan Budaya: Evaluasi Hasil Penelitian Pusat Arkeologi Nasional (2005-2014).

Tinggalan arkeologis di daerah karst Penelitian memperlihatkan bahwa Maros-Pangkep, dalam kondisi saat ini bangunan pemujaan abad ke-9 M ini, secara sangat menghawatirkan karena munculnya isik relatif dalam kondisi masih baik. pertambangan marmer dan semen yang berlokasi Kerusakan nampak pada bagian atap candi yang di sekitar Bulu Kamase, Bulu Tengngae, dan sebagian besar susunan batunya sudah terlepas Bulu Panaikang (Intan 1996: 11). Kondisi gua- dan runtuh, sebagian lagi sudah hilang. Namun gua di daerah karst Maros-Pangkep sangat demikian, batu bagian atap candi ini beberapa mencemaskan, bahkan dapat dipastikan, jika di antaranya masih dapat ditemukan bercampur akivitas penambangan dibiarkan, maka bukan dengan batu-batu candi lainnya karena hanya konlik yang terjadi tetapi nasib sejumlah terkumpulkan di halaman samping sebelah kiri pegunungan karst termasuk situs gua yang ada candi. di dalamnya akan musnah akibat pembangunan

Kondisi yang sangat mengawatirkan dan industri-industri tersebut (Intan 2012: 197-202). perlu tindakan segera terhadap keselamatan cagar budaya ini adalah lingkungan, atau lokasi tempat

3.5 Penelitian CRM di Tereng Gunung bangunan candi tersebut berdiri. Bangunan suci

Merapi

ini sekarang berdiri di atas tebing yang berjarak Penelitian ini dilakukan pada tahun 2011 hanya 2 meter dari aliran Sungai Pabelan

di wilayah Situs Candi Lumbung terletak di yang pada musim penghujan diperkirakan Dusun Tlatar, Desa Krogowanan, Kecamatan sungai ini akan mengalami banjir lahar dingin Sawangan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. akibat endapan dari erupsi Gunung Merapi, Candi berlatar belakang Hinduistis ini kondisinya dikawatirkan lahar dingin Gunung Merapi ini terancam runtuh oleh erosi lahar dingin Gunung akan terus-menerus mengikis tebing candi. Jika Merapi yang mengalir di Sungai Pabelan. Tingkat ini terjadi, dapat dipastikan dalam waktu sekejap keterancaman bangunan suci abad ke-9 i M ini bangunan suci abad ke-9 itu akan rontok dan sudah sangat kritis, karena hanya berada sekitar batu-batu candinya akan hanyut terbawa arus

2 meter dari tebing Sungai Pabelan dan berjarak lahar dingin Merapi (Sulistyanto 2011: 6).

10 Km dari kepundan Gunung Merapi. Jika tidak Hasil dari penelitian ini, berhasil segera diselamatkan dipastikan Candi Lumbung merekomendasikan untuk memindahkan Candi

akan hancur oleh luapan lahar dingin Merapi Lumbung secara total ke lokasi lain yang yang terus menerus mengalir di Sungai Pabelan.

lebih aman. Pemindahan Cagar Budaya Candi Bahkan dapat diperkirakan, dalam hitungan Lumbung tidak menyalahi undang-undang

jam, jika terjadi banjir lahar dingin, susunan Cagar Budaya, karena kondisinya yang memang batu candi akan runtuh merosot ke bawah dan sangat kiritis. Sebagaimana dijelaskan dalam memporakporandakan bangunan suci yang berada pasal 59 Undang-undang RI No. 11 Tahun 2010 di atasnya.

tentang Cagar Budaya, pemindahan bangunan Berdasarkan atas permasalahan di atas, cagar budaya di perbolehkan jika Cagar Budaya

maka tujuan penelitian ini untuk menemukan tersebut terancam rusak, hancur atau terancam solusi penyelamatan Candi Lumbung terhadap musnah. Pemindahan Cagar Budaya harus bahaya aliran lahar dingin Gunung Merapi. Dalam dilakukan oleh ahlinya yang dapat menjamin peninjauan ini, di samping menghimpun, memilah keutuhan dan keselamatannya (Sulistyanto dan mempelajari data sekunder, dilakukan pula 2011: i 28). Candi Lumbung, kondisi sekarang ini penelusuran data primer yang dicari di lapangan aman berdiri tegak seperti semula walau tidak melalui dua cara yaitu observasi lapangan dan berada di atas tanah aslinya, tetapi berada sekitar wawancara.

300 sebelah baratnya.

AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 32 No. 2, Desember 2014 : 77-154

4. Posisi CRM

melainkan benda hidup yang berada di tengah- Dalam era reformasi seperti sekarang tengah masyarakat yang berubah-ubah dari waktu

ini, warisan budaya seringkali kali menjadi ke waktu. Tugas arkeolog adalah menemukan objek perebutan atau objek konflik dalam kembali makna budaya sumber daya arkeologi pemanfaatannya. Bahkan konlik di era otonomi dan menempatkannya dalam konteks sistem sosial daerah ini mengalami puncak perkembangannya masyarakat sekarang. sesuai dengan berbagai perubahan politik yang

Uraian di atas memperlihatkan pentingnya terjadi dalam sistem pemerintahan. Konlik penelitian CRM dalam upaya memecahkan

pemanfaatan warisan budaya tidak hanya bersifat permasalahan sosial yang terjadi di tengah- struktural vertikal, seperti masa orde baru tengah kehidupan masyarakat. Melalui hasil lagi tetapi mengalami perkembangan bersifat peneltiannya, peneliti perlu cepat bertindak dan horizontal. Aktor yang terlibat tidak hanya mampu mencarikan jalan keluar yang terbaik penduduk dengan pemerintah pusat tetapi juga (win-win solution) agar kepentingan berbagai antara pemerintah otonom dengan pemerintah pihak (yang bertentangan) dapat terakomodasi. pusat dan bahkan pemerintah otonom dengan CRM memungkinkan menjawab permasalahan

pemerintah otonom sendiri 6 . Dengan demikian, sosial karena model yang dikembangkan konlik pada masa ini dapat dikatakan tidak berangkat dari konsep bahwa warisan budaya lagi menjadi isu lokal tetapi sudah menjadi isu merupakan warisan publik. Oleh karena itu, nasional seiring dengan pelaksanaan kebijakan pengelolaannya harus melibatkan berbagai pihak otonomi daerah yang diberlakukan sejak 1 yang berkepentingan. Posisi masyarakat adalah Januari 2001 (Sulistyanto 2008: 46).

sejajar dengan pemerintah maupun kalangan Dalam konteks perubahan inilah CRM akademik dalam pengelolaan warisan budaya.

memiliki peranan penting dan strategis di dalam Bahkan dalam implementasinya kemudian, menata, mengatur dan mengarahkan warisan masyarakat perlu dikedepankan, mengingat budaya yang akhir-akhir ini seringkali menjadi adanya keterikatan batin yang kuat antara warisan objek perselisihan atau konlik. Melalui pendekatan budaya dengan masyarakat, di samping mereka partisipatoris yang melibatkan berbagai pihak merupakan konsumen utama dalam pemanfaatan yang berkepentingan terhadap sumber daya warisan budaya. arkeologi, CRM mampu memberikan solusi yang

Pada dasarnya konsep CRM sama halnya cukup bijak di antara pihak yang terlibat konlik. dengan konsep manajemen sumber daya budaya

Pusarnas dengan 10 Balai Arkeologi-nya di atau sumber daya alam secara umum, yaitu daerah perlu mengembangkan model penelitian bagaimana mengelola sumber daya tersebut secara berwawasan CRM, karena warisan budaya bijak agar dapat lebih optimal dimanfaatkan untuk sebagai objek kajiannya bukan benda mati, berbagai kepentingan. Sebagai kerangka teoritis,

CRM menyediakan berbagai instrumen untuk

6 Di kompleks Percandian Dieng, misalnya, konlik bukan hanya terjadi antara penduduk petani kentang dengan

mengelola warisan budaya secara bijak agar dapat

pemerintah (pusat) yang dilatarbelakangi oleh perebutan

dimanfaatkan secara maksimal oleh berbagai

lahan pertanian, melainkan konlik terjadi juga antara Pemda

setempat dengan pemerintah pusat, pertentangan antara pihak yang berkepentingan tanpa ada yang

pelestarian vs pengembangan kepariwisataan. Bahkan dirugikan. Dengan demikian CRM cenderung konlik kepentingan juga terjadi antara Pemda Banjarnegara dengan Pemda Wonosobo dilatarbelakangi oleh perebutan

lebih menekankan pada resolusi agar kepentingan

bagi hasil retribusi di kompleks Candi Dieng. Kedua Pemda

berbagai pihak tersebut dapat terakomodasi secara

ini saling berebut untuk memiliki dan menarik manfaat dari Kompleks Situs Candi Siwaistis itu. Persoalan tentang

adil.

pengelolaan Candi Dieng lihat lebih jauh Jajang Agus

Menurut Tanudirjo paling tidak ada dua

Sonjaya, “Pengelolaan Warisan Budaya di Dataran Tinggi Dieng”, Tesis Jurusan Arkeologi UGM, Yogyakarta.

hal perbedaan mendasar antara CRM dengan

Bambang Soelisyanto, Manajemen Pengelolaan Warisan Budaya: Evaluasi Hasil Penelitian Pusat Arkeologi Nasional (2005-2014).

arkeologi pada umumnya. Pertama, dalam CRM muncul dimensi-dimensi baru yang tidak ada dalam kinerja arkeologi pada umumnya. Dimensi-dimensi baru yang dimaksud berkaitan dengan berbagai kepentingan yang sifatnya eksternal di luar kepentingan arkeologi, seperti aspek ekonomi, pendidikan, kepariwisataan, masyarakat, serta aspek hukum dan bahkan aspek politis. Hadirnya dimensi-dimensi baru tersebut tidak dapat dilepaskan dari aktivitas arkeologi pada masa sebelumnya. Oleh karena itu, CRM menurut Tanudirjo dapat dipandang sebagai hasil suatu releksi perjalanan panjang kinerja arkeologi hingga dasawarsa 1970- an. Perbedaan kedua, kinerja CRM sangat peduli terhadap kepentingan stakeholders yang heterogen sifatnya. Kinerja CRM berupaya agar berbagai kepentingan dapat terakomodasi tanpa mengurangi makna sumber daya arkeologi (Tanudirjo 2004: 1-11).

Secara teknis, setidaknya ada dua perbedaan lain yang perlu diperhitungkan, yaitu keterampilan memimpin orang lain (human skill) dan keterampilan konseptual (conseptual skill). Pengelolaan sumber daya arkeologi di dalam kinerja CRM dituntut dapat mendayagunakan seluruh potensinya termasuk pemberdayaan manusianya. Dalam hal ini, seorang arkeolog tidak hanya dituntut menguasai objek garapannya, melainkan dituntut pula untuk dapat memimpin orang lain, mengkoordinasikan, mendelegasikan wewenang dan memotivasi, sekaligus berperan sebagai pengendali untuk mencapai visi yang sama. Selain itu, seorang arkeolog di dalam kinerja CRM, harus memiliki kemampuan konseptual agar dapat melihat serangkaian kegiatannya secara komprehensif (Handoko 1998: 6; Haryono 2005: 12-16). Perbedaan kinerja antara arkeologi pada umumnya dengan CRM dapat diringkas dalam diagram di bawah ini.

(Pure sciences), jenis penelitian lebih menekankan pada pengembangan ilmu itu sendiri.

Applied research, jenis penelitian lebih menekankan pada aspek manfaat untuk memenuhi kebutuhan praktis masyarakat.

SASARAN

Internal, meningkatkan dan mengembangkan ilmu, untuk menghasilkan teori atau hukum- hukum.

Eksternal, bagaimana hasil-hasil penelitian yang dicapai mampu membantu masyarakat, baik itu muncul dari struktur sosial maupun yang diakibatkan oleh perubahan sosial.

SIKAP

Isolasionist, kurang terbuka pada kepentingan di luar ilmu arkeologi, karena mengutamakan otoritas kepentingan internal.

Condisiplinary, membuka diri pada ilmu lain dan ikut memikirkan kepentingan di luarkan kepentingan ilmu arkeologi.

PENDEKATAN

Kurang melibatkan stakeholders dalam pengambilan keputusan,

Partisipatif, meluas dengan melibatkan kepentingan stakeholders.

PENALARAN