Serat Babad Umbul Pengging (Tinjauan Semiotik)

SERAT BABAD UMBUL PENGGING

(Tinjauan Semiotik)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi sebagian Persyaratan guna Melengkapi Gelar Sarjana Sastra Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret

Disusun oleh

ADISTI TUNJUNGSARI

C0108013

PERNYATAAN

Nama : Adisti Tunjungsari NIM : C0108013

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi berjudul ”Serat Babad Umbul Pengging (Tinjauan Struktural dan Semiotik) ” adalah benar-benar karya sendiri bukan plagiat, dan tidak dibuatkan oleh orang lain. Hal-hal yang bukan karya saya dalam skripsi ini diberi tanda citasi (kutipan) dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.

Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar yang diperoleh dari skripsi tersebut.

Surakarta, Juli 2012 Yang membuat pernyataan,

Adisti Tunjungsari

MOTTO

Perjalanan hidup tak akan mudah, pasti ada hambatan dan jalan berliku juga jalan yang curam, ketahuilah itu merupakan tanda kasih sayang Tuhan. Sebab Tuhan hendak memberi sesuatu yang berharga dibalik semua itu. (Penulis)

PERSEMBAHAN

Skripsi ini penulis persembahkan kepada:

1. Mbah Soma, untuk semua kasih dan cintanya.

2. Bapak Sutrisno, Ibu Marjani, yang telah merawat dan mendidik dengan baik. Adik, serta keluarga besar tercinta.

3. Almamater.

KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan lancar tanpa suatu hambatan apapun.

Skripsi yang berjudul “Serat Babad Umbul Pengging”, merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana di Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penyusunan skripsi ini tidak dapatterselesaikan jika tidak adanya bantuan dari berbagaipihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang tulus kepada:

1. Drs. Riyadi Santosa, M.Ed, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Drs. Supardjo, M.Hum., selaku Ketua Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah berkenan memberikan izin penulisan skripsi ini.

3. Dra. Dyah Padmaningsih, M. Hum., selaku Sekretaris Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa yang telah memberi semangat dan dorongan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Dra. Sundari, M.Hum., selaku Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan, saran, nasihat dan semangat untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini.

5. Drs. Christiana Dwiwardhana, M.Hum., selaku pembimbing II yang terus memberikan semangat dan masukan kepada penulis dan atas ketelitian demi penyempurnaan skripsi ini.

6. Dra. Sri Mulyati, M. Hum., selaku Pembimbing Akademik yang selalu menyemangati agar segera menyelesaikan skripsi ini.

7. Bapak Ibu Dosen jurusan Sastra Daerah beserta staf Fakultas Sastra dan Seni Rupa, yang telah memberikan ilmu dan bimbingannya.

8. Kepala dan staf perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta maupun perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa, terimakasih atas pelayanannya serta kemudahan dalam membantu penulis menyelesaikan skripsi ini.

9. Tri, Widy, Anik, Ikah, Devi, Dewi, Laili, Rompas, Dew serta teman-teman Sastra Daerah angkatan 2008 yang tak dapat penulis sebutkan satu persatu terima kasih atas bantuan dan persahabatan, dukungan dan semangatnya, semoga sukses.

10. Mas Hendre, mbak Icha, mbak Ika, untuk nasehat dan semangatnya.

11. Semua pihak yang telah membantu hingga terselesaikannya skripsi ini, semoga mendapat karunia dari Tuhan.

Penulis menyadari bahwa di dalam melakukan penyusunan skripsi ini masih banyak kekurangan dan kesalahan. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya kemampuan penulis. Oleh karena itu, segala saran dan kritik dari pembaca, penulis terima dengan senang hati.

DAFTAR SINGKATAN

SBUP

: Serat Babad Umbul Pengging

: Fakultas Sastra dan Seni Rupa

SWT

: Subhana Wa’ Taala

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Transliterasi Serat Babad Umbul Pengging Lampiran 2

: Terjemahan Serat Babad Umbul Pengging

ABSTRAK

Adisti Tunjungsari. 2012. Serat Babad Umbul Pengging. Skripsi: Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah (1) bagaimanakah struktur Serat Babad Umbul Pengging yang meliputi lapis bunyi, lapis arti, lapis norma, lapis dunia dan lapis metafisis? (2) bagaimanakah aspek-aspek semiotik

Serat Babad Umbul Pengging? (3) bagaimanakah makna semiotik Serat Babad

Umbul Pengging bagi masyarakat dan kebudayaan Jawa? Tujuan penelitian ini adalah untuk: (1) mendeskripsikan struktur Serat Babad Umbul Pengging yang meliputi lapis bunyi, lapis arti, lapis norma, lapis dunia dan lapis metafisis, (2) mendeskripsikan aspek-aspek semiotik Serat Babad

Umbul Pengging, (3) mendiskripsikan makna semiotik Serat Babad Umbul

Pengging bagi masyarakat dan kebudayaan Jawa. Manfaat teoretis dari penelitian ini diharapkan menambah wawasan teori struktural dan teori semiotik serta dapat menambah dan memperkaya khasanah penelitian sastra khususnya semiotik. Manfaat praktis dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan penelitian penulisan selanjutnya dan khususnya untuk bidang pertanian dapat menjadikan sistem irigasi yang baik disekitar umbul. Dengan adanya aliran dari umbul pengging menjadikan sistem irigasi bagi masyarakat sekitar.

Bentuk penelitian yang digunakan adalah penelitian sastra deskriptif kualitatif. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah edisi teks Serat Babad Umbul Pengging yang telah dikerjakan secara filologis oleh Prasetyo Adi Wisnu Wibowo pada tahun 1999. Dan sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Teknik pengumpulan data menggunakan content analysis adalah strategi untuk menangkap pesan karya sastra, serta teknik kepustakaan adalah teknik yang mempergunakan sumber-sumber tertulis untuk memperoleh data. Teknik analisis data bertujuan menyederhanakan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan. Bagi penelitian kualitatif, ada tiga hal yang perlu diketahui dalam proses analisis data, yaitu reduksi data, sajian data, dan verifikasi serta simpulan.

Kesimpulan dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa SBUP memiliki unsur-unsur pembangun seperti lapis bunyi, lapis arti yang terdiri dari dasanama, tembung garba, tembung wancahan, pepindan, citra dengaran, citra lihat, allegori, sengkalan, lapis norma: objek, latar, tokoh, lapis dunia, dan lapis metafisis. Aspek-aspek semiotik dalam SBUP terdiri dari index berupa: suara gamelan berarti penyambutan dan hiburan, suara genderang dan gong berarti penyambutan kehadiran raja, suara meriam berarti adaya peristiwa penting, serta suara selompret penyambutan raja yang telah kembali ke istana; simbol berupa: lengkungan dengan rumbai-rumbai berarti adanya hajatan, taman berarti Kesimpulan dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa SBUP memiliki unsur-unsur pembangun seperti lapis bunyi, lapis arti yang terdiri dari dasanama, tembung garba, tembung wancahan, pepindan, citra dengaran, citra lihat, allegori, sengkalan, lapis norma: objek, latar, tokoh, lapis dunia, dan lapis metafisis. Aspek-aspek semiotik dalam SBUP terdiri dari index berupa: suara gamelan berarti penyambutan dan hiburan, suara genderang dan gong berarti penyambutan kehadiran raja, suara meriam berarti adaya peristiwa penting, serta suara selompret penyambutan raja yang telah kembali ke istana; simbol berupa: lengkungan dengan rumbai-rumbai berarti adanya hajatan, taman berarti

SARI PATHI

Adisti Tunjungsari. 2012. Simbol dan Makna Umbul Pengging dalam Serat Babad Umbul Pengging. Skripsi: Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra lan Seni Rupa Pawiyatan Luhur Sebelas Maret Surakarta.

Prêkawis inkang dipunrêmbag wontên panalitèn inggih menika (1) kados pundi struktur ingkang wontên Serat Babad Umbul Pengging ing antawispun lapis bunyi, lapis arti, lapis norma, lapis dunia lan lapis metafisis? (2) kados pundi aspek-aspek semiotik ing Serat Babad Umbul Pengging? (3) kados pundi tegesipun semiotik kangge masyarakat lan kabudayan Jawi?

Ancas panalitèn inggih menika kangge: (1) ngandharakèn struktur wontên ing Serat Babad Umbul Pengging ing antawisipun lapis bunyi, lapis arti, lapis norma, lapis dunia lan lapis metafisis, (2) ngandharakên katrangan aspek-aspek semiotik ing Serat Babad Umbul Pengging, (3) ngandharakên katrangan tegesipun semiotik kangge masyarakat lan kabudayan Jawi. Pigunan teoretis saking panalitèn puniki mugi saged nambah wawasan teori struktur lan teori semiotik saha saged nambah lan nyugihakên khasanah panalitèn sastra khususipun semiotik. Pigunan praktis saking panalitènn puniki mugi saged dados bahan penulisan panalitèn saklajêngipun lan khususipun kangge bidang pertanian saged dadosakên sistem irigasi ingkang sêkeca ing sakiwa-têngêne umbul. Minangka wontênipun aliran saking umbul pêngging dadosakên sistem irigasi kagêm masyarakat ing sakiwa-têngêne.

Bentuk panalitèn ingkang dipunginakakên innngih menika panalitèn sastra deskriptif kualitatif. Sumber dhata primer ing panalitèn inggih menika edisi teks Serat Babad Umbul Pengging ingkang sampun dipungarap kanthi filologis oleh Prasetyo Adi Wisnu Wibowo ing taun 1999. Lan sampun diterjemahkan kanthi basa Jawa lan basa Indonesia.

Cara ngêmpalakên data ngginakakên content analysis inggih menika strategi kangge mbahas pesan karya sastra, saha cara kepustakaan inggih punika cara ingkang migunakakên sumber-sumber tertulis kangge pikantuk dhata. Cara analisis data nggadahi tujuan anyêdêrhanakakên dhata wontên ing bentuk ingkang luwih gampil diwaos lan diinterpretasikan. Kagêm penelitian kualitatif, wontên tigang prekawis ingkang prêlu dipunmangêrtosi wontên ing proses analisis data, yaiku reduksi data, sajian data, lan verifikasi saha simpulan.

Dudutan saking hasil panalitèn puniki sagêd dipunmangêrtosi minangka SBUP anggadhahi unsur-unsur pembangun kadosta lapis bunyi, lapis arti ing antawisipun dasanama, têmbung garba, têmbung wancahan, pepindan, citra dengaran, citra lihat, allegori, sêngkalan, lapis norma: objek, latar, tokoh, lapis dunia, lan lapis metafisis. Aspek-aspek semiotik ingkang wontên SBUP antawisipun index awujud: suwantên gamêlan atêgês sambutan lan hiburan, suwantên genderang lan gong atêgês kagêm nyambut raja, suwantên meriyam Dudutan saking hasil panalitèn puniki sagêd dipunmangêrtosi minangka SBUP anggadhahi unsur-unsur pembangun kadosta lapis bunyi, lapis arti ing antawisipun dasanama, têmbung garba, têmbung wancahan, pepindan, citra dengaran, citra lihat, allegori, sêngkalan, lapis norma: objek, latar, tokoh, lapis dunia, lan lapis metafisis. Aspek-aspek semiotik ingkang wontên SBUP antawisipun index awujud: suwantên gamêlan atêgês sambutan lan hiburan, suwantên genderang lan gong atêgês kagêm nyambut raja, suwantên meriyam

ABSTRACT

Adisti Tunjungsari. 2012. Simbol dan Makna Umbul Pengging dalam Serat Babad Umbul Pengging. Skripsi: Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.

This study focuses on the issues (1) How is the structure Serat Babad Umbul Pengging which includes lapis bunyi, lapis arti, lapis norma, lapis dunia and lapis metafisis? (2) how the semiotic in Serat Babad Umbul Pengging? (3) how the semiotic means of people Java?

The purpose of this study was to: (1) describe the structure Serat Babad Umbul Pengging which includes lapis bunyi, lapis arti, lapis norma, lapis dunia and lapis metafisis, (2) statement describing the semiotic in Serat Babad Umbul Pengging, (3) statement describing the semiotic means of people Java.

Theoretical benefits of this research are expected to broaden the structural theory and the theory of semiotics and can add to and enrich the study of literature in particular semiotic. Practical benefits of the research is expected to become the next writing guidelines and in particular to agriculture can make a good irrigation system around the pennant. With the flow of irrigation systems to make Pengging pennant to the surrounding community.

Study is a form of literary study deskriptif kualitatif. The primary data source in this study is the text edition Serat Babad Umbul Pengging that has been done by the philological Prasetyo Adi Wisnu Wibowo in 1999. And has been translated into Javanese and Indonesian languages by Prasetyo Adi Wisnu Wibowo.

Data collection technièues used content analysis is a strategy to capture the message of literature, and technical literature is a technièue that uses written sources to obtain data. Data analysis technièues aimed at simplifying the data into

a form that is easier to read and interpret. For èualitative research, There are three things to note in the process of data analysis, that is reduksi data, sajian data, and verifikasi and simpulan.

The conclusion from the results of this study can be seen that SBUP have elements such as building lapis bunyi, lapis arti consisting of sinonim, tembung garba, tembung wancahan, perbandingan, citra dengaran/ citra pendengaran, citra lihatan/ penglihatan, allegori, sengkalan, lapis norma: objek, latar, tokoh, lapis dunia, dan lapis metafisis. The semiotic of SBUP consisting of index a: gamelan sound means of welcome and entertainment, the sound of drums and gong means the welcome presence of the king, cannon sound means of key events, as well as welcoming the king trumpet sound that has been returned to the palace; symbol of: arches with tassels means of celebration, means the beauty of the park, house on stilts means the king's house, netting means of protection as well as barriers, means as guardian statues, vases means a place, jasmine means everything must

be with hearts, flowers, ylang means recall what has been given ancestor, be with hearts, flowers, ylang means recall what has been given ancestor,

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Penelitian sastra memiliki peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan manusia, di samping juga berpengaruh positif terhadap pembinaan dan pengembangan sastra itu sendiri (Tutoli dalam Endraswara, 2011: 10). Sastra mempunyai kekhasan dan perkembangannya masing-masing pada setiap kelompoknya. Begitupun dengan sastra Jawa, mempunyai kekhasan dan arah perkembangan sendiri. Seperti kelompok sastra lain, dalam dunia sastra Jawa mengenal dua bentuk sastra, yakni prosa dan puisi. Prosa ialah bentuk karangan bebas, sedangkan puisi ialah bentuk karangan yang terikat. Ada beberapa jenis puisi yang kita kenal dalam tradisi sastra Jawa, yakni kakawin, kidung, guritan, geguritan (puisi bebas), dan macapat.

Macapat merupakan karya sastra yang menggunakan bahasa sebagai komponen utama di samping pola persajakan. Di dalam macapat yang mengandung seni dalam tradisi Jawa, senantiasa mengandung lambang atau sandi mau tidak mau pralambang (simbolisme) juga terdapat dalam bahasa macapat. Bahasa yang mengandung lambang ataau sandi itu adalah sasmitaning tembang (isyarat pola persajakan), sandi asma (isyarat pemakaian suatu pola persajakan), Macapat merupakan karya sastra yang menggunakan bahasa sebagai komponen utama di samping pola persajakan. Di dalam macapat yang mengandung seni dalam tradisi Jawa, senantiasa mengandung lambang atau sandi mau tidak mau pralambang (simbolisme) juga terdapat dalam bahasa macapat. Bahasa yang mengandung lambang ataau sandi itu adalah sasmitaning tembang (isyarat pola persajakan), sandi asma (isyarat pemakaian suatu pola persajakan),

Naskah asli Serat Babad Umbul Pengging dalam bentuk tembang macapat atau puisi Jawa ditulis dalam huruf Jawa Carik menggunakan bahasa Jawa ragam Ngoko dan Krama, serta ada sedikit istilah dari bahasa Belanda. Serat Babad Umbul Pengging merupakan naskah tunggal yang dikarang oleh Raden Atmadikara dengan nomor katalog Ks 84 167 Ra SMP 104/8 tersimpan di perpustakaan Sasanapustaka Keraton Surakarta. Keadaan fisiknya sudah agak rusak. Jilidannya banyak yang sudah lepas. Kertas sudah rapuh, tetapi tidak ada halaman yang hilang atau sobek sebagian yang mengakibatkan teks hilang. Sampulnya berwarna hijau tua, terbuat dari kertas yang tebal, dan jilidannya terbalut kulit hewan. Warna kertas putih, terdapat garis-garis tipis yang dibuat dengan pensil berwarna hitam agar tampak rapi. Naskah Serat Babad Umbul Pengging terdiri dari 14 pupuh, yaitu: Pupuh 1 Dhandhanggula 22 bait; Pupuh 2 Kinanthi 37 bait; Pupuh 3 Asmaradana 32 bait; Pupuh 4 Kinanthi 60 bait; Pupuh 5 Sinom 36 bait; Pupuh 6 Pangkur 15 bait; Pupuh 7 Kinanthi 37 bait; Pupuh 8 Pocung 35 bait; Pupuh 9 Gambuh 27 bait; Pupuh 10 Sinom 38 bait; Pupuh 11 Naskah asli Serat Babad Umbul Pengging dalam bentuk tembang macapat atau puisi Jawa ditulis dalam huruf Jawa Carik menggunakan bahasa Jawa ragam Ngoko dan Krama, serta ada sedikit istilah dari bahasa Belanda. Serat Babad Umbul Pengging merupakan naskah tunggal yang dikarang oleh Raden Atmadikara dengan nomor katalog Ks 84 167 Ra SMP 104/8 tersimpan di perpustakaan Sasanapustaka Keraton Surakarta. Keadaan fisiknya sudah agak rusak. Jilidannya banyak yang sudah lepas. Kertas sudah rapuh, tetapi tidak ada halaman yang hilang atau sobek sebagian yang mengakibatkan teks hilang. Sampulnya berwarna hijau tua, terbuat dari kertas yang tebal, dan jilidannya terbalut kulit hewan. Warna kertas putih, terdapat garis-garis tipis yang dibuat dengan pensil berwarna hitam agar tampak rapi. Naskah Serat Babad Umbul Pengging terdiri dari 14 pupuh, yaitu: Pupuh 1 Dhandhanggula 22 bait; Pupuh 2 Kinanthi 37 bait; Pupuh 3 Asmaradana 32 bait; Pupuh 4 Kinanthi 60 bait; Pupuh 5 Sinom 36 bait; Pupuh 6 Pangkur 15 bait; Pupuh 7 Kinanthi 37 bait; Pupuh 8 Pocung 35 bait; Pupuh 9 Gambuh 27 bait; Pupuh 10 Sinom 38 bait; Pupuh 11

Penelitian ini diambil dari skripsi Prasetyo Adi Wisnu Wibowo. Dan telah diteliti secara filologis pada tahun 1999. Antara lain transliterasi dan terjemahan serta unsur sastra berupa ajaran moral. Adapun ajaran moral yang terdapat di dalam naskah Serat Babad Umbul Pengging intinya dibagi menjadi 3 macam. Pertama, ajaran moral bagi seorang raja atau pemimpin, antara lain: raja harus selalu memperhatikan dan memberi anugerah terhadap bawahan (rakyat), pemimpin atau raja harus sabar dan pemaaf, raja harus pandai dalam memilih pembantu (bawahan). Kedua, ajaran moral bagi seorang bawahan, antara lain: rakyat harus cinta kepada pemimpin, rakyat harus patuh dan tunduk pada pemimpin, rakyat harus selalu rajin bekerja dengan penuh keikhlasan. Ketiga, ajaran moral bagi sesama, yaitu sopan santun dalam pergaulan, etika menyambut tamu, dan sikap dermawan. Penelitian Prasetyo Adi Wisnu Wibowo tersebut sangat membantu bagi peneliti, khususnya hasil transliterasi dan terjemahan. Penelitian Prasetyo Adi Wisnu Wibowo sudah sampai penyajian suntingan teks

Serat Babad Umbul Pengging

Serat Babad Umbul Pengging bercerita tentang seorang raja yang pergi bertamasya ke Umbul Pengging beserta seluruh keluarganya. Penataan dan pembangunan pemandian yang diminta Pakubuwana VII dalam Serat Babad Umbul Pengging saat akan mengunjungi pengging. Mengandung unsur struktural

Penging dilihat dari isinya mengenai unsur struktural dan semiotik yang kompleks. Maka peneliti bermaksud mengkaji dan meneliti lebih jauh mengenai struktur teks Serat Babad Umbul Pengging ini dengan analisis struktur dari Roman Ingarden yang meliputi lapis bunyi, lapis arti, lapis norma: latar dan pelaku, lapis dunia dan lapis metafisis serta analisis semiotik dari C.S Pierce untuk mengkaji lebih lanjut mengenai ikon, indek, dan juga simbol.

B. Batasan Masalah

Pembatasan masalah dilakukan agar tujuan penelitian jelas dan terarah. Penelitian ini dititikberatkan pada analisis struktur Serat Babad Umbul Pengging yang meliputi lapis bunyi, lapis arti, lapis norma: latar dan pelaku, lapis dunia dan lapis metafisis, juga pada analisis semiotik yang terdiri atas ikon, indek, serta simbol dari SBUP.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan permasalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah struktur Serat Babad Umbul Pengging yang meliputi lapis bunyi, lapis arti, lapis norma, lapis dunia dan lapis metafisis?

2. Bagaimanakah aspek-aspek semiotik dari Serat Babad Umbul Pengging yang meliputi ikon, indek, dan simbol?

3. Bagaimanakah makna semiotik Serat Babad Umbul Pengging bagi masyarakat dan kebudayaan Jawa?

D.Tujuan Penelitian

Sejalan dengan perumusan masalah yang ada dapat dijelaskan tujuan penelitian yang hendak dicapai adalah sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan struktur Serat Babad Umbul Pengging yang meliputi lapis bunyi, lapis arti, lapis norma, lapis dunia dan lapis metafisis.

2. Memberikan keterangan mengenai aspek-aspek semiotik yang meliputi ikon, indek, dan simbol dalam Serat Babad Umbul Pengging.

3. Memberikan keterangan mengenai makna semiotik Serat Babad Umbul Pengging bagi masyarakat dan kebudayaan Jawa.

D. Manfaat Penelitian

Karya sastra diciptakan pasti akan membawa manfaat kepada pembaca. Seperti halnya dalam naskah Serat Babad Umbul Pengging ini, dari situ dapat diambil kesimpulan tentang sikap seorang pemimpin yang baik dalam mengatur sebuah negara. Sebuah penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun praktis. Demikian dalam penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Manfaat teoretis dari penelitian ini diharapkan menambah wawasan teori

2. Manfaat praktis dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan penelitian penulisan selanjutnya dan khususnya untuk bidang pertanian dapat meningkatkan pertanian di sekitar Umbul Pengging dengan system irigasi yang baik serta aliran air yang melimpah serta sebagai acuan pemugaran dan pembangunan pemandian umbul pengging selanjutnya.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

BAB I: PENDAHULUAN

Pendahuluan meliputi latar belakang masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian.

BAB II: LANDASAN TEORI

Landasan teori meliputi pengertian pengertian puisi, pengertian tembang macapat, struktur tembang / puisi , serta pendekatan semiotik.

BAB III: METODE PENELITIAN

Metode penelitian meliputi bentuk penelitian, sumber data dan data, teknik pengumpulan data dan teknik analisis data.

BAB IV: PEMBAHASAN

Pembahasan meliputi struktur Serat Babad Umbul Pengging, aspek-aspek semiotik Serat Babad Umbul Pengging.

BAB V: PENUTUP

BAB II LANDASAN TEORI

A. Pengertian Puisi

Puisi secara etimologis berasal dari bahasa Yunani poeima yang berarti ‘membuat’ atau poeisis yang berarti ‘pembuatan’. Dalam bahasa Inggris disebut poem / poetry. Puisi berarti pembuatan, karena dengan menulis puisi, puisi berarti telah menciptakan sebuah dunia (Kasnadi, 2008: 1-2).

Menurut Pradopo (2005: 7) puisi itu mengekspresikan pemikiran yang membangkitkan perasaan yang merangsang imajinasi panca indra dalam susunan yang berirama. Semua itu merupakan sesuatu yang penting, yang direkam dan diekspresikan, dinyatakan dengan menarik dan member kesan. Pradopo menyimpulkan bahwa puisi itu merupakan rekaman dan interpretasi pengalaman manusia yang penting, digubah dalam wujud yang paling berkesan.

Kesimpulannya, puisi merupakan ekspresi dari pemikiran yang penting dan digubah dalam bentuk yang indah, dengan membuat puisi penulis menciptakan dunia sendiri

B. Pengertian Tembang Macapat

Macapat adalah puisi yang terikat pada pola persajakan dan mengandung unsur titi laras (nada). Baik pola persajakan maupun pola titi laras tergantung pada jenis pola persajakan yang digunakan. Dengan demikian jenis pola persajakan sangat menentukan guru gatra, guru wilangan, dan guru lagu macapat. Guru gatra

: aturan jumlah larik tiap-tiap larik.

Guru wilangan: aturan jumlah suku kata tiap-tiap larik. Guru lagu

: jatuhnya bunyi vokal pada tiap-tiap larik.

Jenis tembang macapat dan tengahan, yaitu

1. Dandanggula Makna kata dhandhang adalah mengharap (ngajab), sedang gula berarti gula. Kata gula mengisyaratkan makna manis, menyenangkan (ngresepake) atau baik. Dengan demikian dandang gula berarti mengharap supaya baik atau menyenangkan. Sekar dandanggula mempunyai sifat manis, lembut, dan menyenangkan. Oleh karena itu dandanggula sangat tepat untuk melahirkan perasaan yang menyenangkan, untuk melahirkan ajaran-ajaran yang baik, serta melahirkan rasa kasih.

2. Sinom Sinom secara harfiah berarti (1) pucuk daun muda dan (2) daun muda asam. Kedua makna ini sama-sama mengisyaratkan suatu keadaan usia 2. Sinom Sinom secara harfiah berarti (1) pucuk daun muda dan (2) daun muda asam. Kedua makna ini sama-sama mengisyaratkan suatu keadaan usia

3. Asmaradana Kata asmaradana merupakan paduan kata asmara dan dana. Kata dana sendiri merupakan kependekan dari danaha yang berarti api. Jadi, kata asmaradana berarti api asmara. Asmaradana mempunyai pola persajakan sedih, suatu kesedihan akibat dirundung api asmaa, sehingga jenis pola persajakan ini sesuai untuk mengungkapkan isi wacana yang bermakna rindu dendam asmara atau merayu.

4. Durma Pola persajakan durma, memiliki sifat keras, bengis, dan kasar sehingga tembang ini lebih tepat untuk wacana yang sifatnya mengunkapkan kemarahan, suatu peperangan, atau nasihat yang keras.

5. Pangkur Hardjowirogo memberi arti kata pangkur dengan ekor (buntut) (Karsono, 1993: 19). Ekor adalah bagian belakang binatang atau ujung tulang belakang. Ujung dapat dikatakan sebagai suatu puncak. Dengan analog antara ekor dan puncak, maka dapat dipahami jika kata pangkur digunakan untuk member nama suatu pola persajakan yang mempunyai sifat memuncak. Demikianlah sekar pangkur digunakan untuk mewadahi wacana yang mengandung perasaan hatti yang sungguh-sungguh, nasihat yang sungguh-sungguh, atau puncak

Kata mijil merupakan sinonim dari kata metu (keluar). Dengan arti ini,pola persajakan mijilmempunyai sifat lancer, sehingga sesuai untukmemingkai wacana yang mengandung nasihat, melahirkan perasaan sedih, atau pun perasaan kasih yang sendu.

7. Kinanti Kata kinanthi berasal dari kata dasar kanthi (gandeng) dan memperoleh seselan (infik) in. Seselan in berfungsi menjadikan kata dasar pasif. Arti sisipan in sama dengan awalan di atau awalan di dalam bahasa Indonesia, hanya saja sselan in jarang dipakai dalam wacana lisan dan hanya dipakai dalam wacana sastra. Dengan demikian kata kinanthi berarti digandheng (diganteng). Pola persajakan kinanti mempunyai sifat kemesraan. Sekar kinanti sesuai untuk membingkai wacana yang mengandung makna mncumbu rayu, member nansihat ringan, dan membeberkan perasaan hati yang riang.

8. Maskumambang Kata maskumambang berarti emas yang terapung (mas: emas, kumambang: terapung). Keadaan setiap benda yang terapung pasti terombang- ambing oleh arus atau gerak barang cair yang mengapungkannya, sekalipun benda yang terapung itu adalah emas. Nama maskumambang ini menandai suatu pola persajakan sekar macapat yang bersifat lara, prihatin, dan mengiba. Pola persajakan ini digunakan untuk memingkai wacana yang mengandung makna melahirkan perasaan hati lara nan duka, melahirkan tangisan hati atau

Pola sekar macapat ini mempunyai sifat santai, kendur dalam artian tidak tegang. Pola persajakn pucung biasanya digunakan untuk pupuh yang bersifat santai, jenaka tetapi berisi, atau untuk mengungkapkan nasihat yang ringan.

10. Gambuh Sekar gambuh mempunyai sifat keakraban. Biasanya jenis pola persajakan ini digunakan untuk melahirkan nasihat yang sungguh-sungguh, dalam artian nasihatyang disampaikan kepada keluarga yang memang sudah dikenal dengan akrab sehingga tidak ada rasa sungkan atau keragu-raguan. Meskipun demikian, karena sifat keakrabannya, kadang-kadang sekar gambuh juga digunakan untuk melahirkan perasaan apa adanya dengan nada agak santai.

11. Megatruh Sekar megatruh biasanya digunakan untuk mengungkapkan sedih atau duka yang dalam, penyesalan yang dalam, atau kepedihan hati nan merana.

12. Balabak Sekar balabak senantiasa digunakan untuk mengungkapkan hal-hal yang sifatnya jenaka (Karsono, 1993: 19-43).

Serat Babad Umbul Pengging menggunakan 14 pupuh yang terdiri 10 metrum tembang sebagai berikut:

2. Kinanthi, yang mempunyai aturan sebagai berikut:

a. Guru lagu

: u, i, a, i, a, i

b. Guru wilangan: 8, 8, 8, 8, 8, 8

3. Asmaradana

a. Guru lagu

: i, a, e, a, a, u, a

b. Guru wilangan: 8, 8, 8, 8, 7, 8, 8

4. Sinom

a. Guru lagu

: a, i, a, i, i, u, a, i, a

b. Guru wilangan: 8, 8, 8, 8, 7, 8, 7, 8, 12

5. Pangkur

a. Guru lagu

: a, i, u, a, u, a, i

b. Guru wilangan: 8, 11, 8, 7, 12, 8, 8

6. Pocung

a. Guru lagu

: u, a, i, a

b. Guru wilangan: 12, 6, 8, 12

7. Gambuh

a. Guru lagu

: u, u, i, i, o

b. Guru wilangan: 7, 10, 12, 8, 8

8. Balabak

a. Guru lagu

: a, e, a, e, a, e : a, e, a, e, a, e

10. Megatruh

a. Guru lagu

: u, u, i, i, o

b. Guru wilangan: 12, 8, 8, 8, 8

C. Struktur Tembang / Puisi

Pendekatan struktural hendaknya dilakukan ketika akan menganalisis sebuah karya sastra. Analisis struktur, untuk mengetahui inti dan jalinan yang terdapat dalam karya sastra tersebut. Hal ini membuat jalan masuk ke dalam pengkajian isi karya sastra menjadi lebih mudah.

Struktur karya sastra dapat diartikan sebagai susunan, penegasan, dan gambaran semua bahan dan bagian yang menjadi komponennya yang secara bersama membentuk kebulatan yang indah (Abrams dalam Nurgiantoro, 2007: 35- 36). Struktur karya sastra juga menyaran pada pengertian hubungan antar unsur- unsur (intrinsik) yang bersifat timbale balik, saling menentukan, saling mempengaruhi, yang secara bersama membentuk satu kesatuan yang utuh. Analisis struktural bertujuan memaparkan secermat mungkin fungsi dan keterkaitan antar berbagai unsur karya sastra yang secara bersama menghasilkan sebuah kemenyeluruhan.

Analisis struktural karya sastra dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antar-unsur intrinsik karya

Rachmat Djoko Pradopo, 2007: 15) menganalisis norman-norma puisi sebagai berikut:

1. Lapis bunyi (sound stratum). Bila orang membaca puisi, maka yang terdengar itu ialah rangkaian bunyi yang dibatasi jeda pendek, agak panjang, dan panjang. Tetapi, suara itu bukan hanya suara tak berarti. Suara sesuai dengan konvensi bahasa, disusun begitu rupa hingga menimbulkan arti. Dengan adanya satuan-satuan suara itu orang menangkap artinya.

2. Lapis arti (unit of meaning) berupa rangkaian fonem, suku kata, kata, frase, dan kalimat. Semuanya itu merupakan satuan-satuan arti. Rangkaian kalimat menjadi alinea, bab, dan keseluruhan cerita ataupun keseluruhan sajak.

3. Lapis norma yang meliputi objek, latar dan pelaku yang dikemukakan dan dunia pengarang yang berupa cerita / lukisan.

4. Lapis dunia yang dipandang dari titik pandang tertentu yang tak perlu dinyatakan, tetapi terkandung dalamnya (implied).

5. Lapis metafisis, berupa sifat-sifat metafisis (yang sublime, yang tragis, mengerikan atau menakutkan, dan yang suci), dengan sifat-sifat ini seni dapat memberikan renungan (kontemplasi) kepada pembaca. Akan tetapi, tidak setiap karya sastra dalamnya terdapat lapis metafisis seperti itu.

C.Pendekatan Semiotik

Jerman Lmbert pada abad XVIII) sebagai sinonim kata logika. Menurut Peirce dalam Panuti Sudjiman dan Aart van Zoest, logika harus mempelajari bagaimana orang bernalar. Penalaran itu, dilakukan melalui tanda-tanda. Tanda-tanda memungkinkan kita berpikir, berhubungan dengan orang lain, dan memberi makna pada apa yang ditampilkan oleh alam semesta. Semiotika bagi Pirce adalah suatu tindakan (action), pengaruh (influence), atau kerja sama tiga subjek, yaitu tanda (sign), objek (object), dan interpretan (interpretant). Tanda adalah sesuatu yang ada pada seseorang untuk menyatakan sesuatu yang lain dalam beberapa hal atau kapasitas (1992: 1 dan 43-44).

Semiotik (semiotika) adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial / masyarakat dan kebudayaan itu merupakan anda-tanda. Semiotik itu mempelajari system-sistem, aturan-aturan, dan konvensi- konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti Preminger dkk dalam Pradopo (1995: 119).

Semiotik adalah model penelitian sastra dengan memperhatikan tanda- tanda. Tanda tersebut di anggap mewakili sesuatu objek secara representatif. Dalam analisis semiotik, Peirce dalam Endraswara menawarkan sistem tanda yang harus diungkap. Ada tiga faktor yang menentukan adanya tanda, yaitu: tanda itu sendiri, hal yang ditandai, dan sebuah tanda baru yang terjadi dalam batin penerima tanda. Antara tanda dan yang ditandai ada kaitan representasi (menghadirkan). Kedua tanda itu akan melahirkan interpretasi di benak penerima.

yang ditunjuk. (2) indeks, yaitu tanda yang mengandung hubungan kasual dengan apa yang ditandakan. (3) simbol, yaitu tanda yang memiliki hubungan makna dengan yang ditandakan bersifat arbriter, sesuai dengan konvensi suatu lingkungan sosial tertentu (2011, 64-65).

D. Pengertian Makna

Brodbeck dalam Alek Sobur menyajikan teori makna dengan cara yang cukup sederhana, menjernihkan pembicaraan ihwal makna dengan membagi makna tersebut kepada tiga corak. Makna yang pertama adalah inferensial, yakni makna satu kata (lambang) adalah objek, pikiran, gagasan, konsep yang dirujuk oleh kata tersebut. Dalam uraian Ogden dan Richards, proses pemberian makna (reference process) terjadi ketika kita menghubungkan lambang dengan yang ditunjukkan lambang (disebut rujukan atau referen). Satu lambang dapat menunjukkan banyak rujukan. Makna yang kedua menunjukkan arti (signaficance) suatu istilah sejauh dihubungkan dengan konsep-konsep yang lain. Makna yang ketiga adalah makna intensional, yakni makna yang dimaksud oleh seorang pemakai lambang.

BAB III METODE PENELITIAN

A. Bentuk Penelitian

Di dalam sebuah penelitian tidak dapat terlepas dari metode yang digunakan. Hal tersebut dikarenakan metode digunakan sebagai prosedur atau cara yang digunakan dalam meneliti sebuah objek kajian. Dalam pengertian yang lebih luas, metode dianggap sebagai cara-cara, strategi, untuk memahami realitas, langkah-langkah sistematis untuk memecahkan rangkaian sebab akibat berikutnya (Nyoman Kutha Ratna 2011 : 34). Metode penelitian ini selanjutnya akan membahas mengenai bentuk penelitian, sumber data dan data, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data.

Bentuk penelitian yang digunakan adalah penelitian sastra deskriptif kualitatif (Bogman dan Taylor dalam Moleong, 2010: 4-5) mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Menurut mereka, pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik (utuh). (Denzin dan Lincoln dalam Moleong, 2010:4-5) menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan latar ilmiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada. Dari segi pengertian ini, para penulis Bentuk penelitian yang digunakan adalah penelitian sastra deskriptif kualitatif (Bogman dan Taylor dalam Moleong, 2010: 4-5) mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Menurut mereka, pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik (utuh). (Denzin dan Lincoln dalam Moleong, 2010:4-5) menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan latar ilmiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada. Dari segi pengertian ini, para penulis

B. Sumber Data dan Data

1. Sumber Data

a. Sumber Data Primer

Sumber data primer adalah sumber data utama, dalam penelitian ini adalah Edisi teks Serat Babad Umbul Pengging yang telah dikerjakan secara filologis oleh Prasetyo Adi Wisnu Wibowo pada tahun 1999. Yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dan bahasa Indonesia.

b. Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder adalah sumber data pelengkap, yang berupa buku dan referensi yang masih berkaitan dengan objek penelitian. Serta meninjau langsung ke lapangan/ ke Pengging

2. Data

a. Data Primer

Data primer adalah data pokok yang dipakai dalam bahan analisis penelitian, data yang diperlukan berupa data struktur serta data semiotik.

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data tambahan sebagai pelengkap data pokok, yang berupa keterangan dan informasi dari buku-buku serta referensi yang relevan dengan penelitian. Serta keterangan mengenai Pengging yang di dapat dari tinjauan langsung.

C. Teknik Pengumpulan Data

1. Analisis Isi (Content Analysis)

Content analysis adalah strategi untuk menangkap pesan karya sastra. Analisis konten digunakan apabila si peneliti hendak mengungkap, memahami, dan menangkap pesan karya sastra. Pemahaman tersebut mengandalkan tafsir sastra yang rigid. Artinya, peneliti telah membangun konsep yang akan diungkap, baru memasuki karya sastra.

Content analysis, sebagai cara untuk menemukan beragam hal sesuai kebuuhan dan tujuan penelitian. Dalam melakukan teknik ini perlu disadari Content analysis, sebagai cara untuk menemukan beragam hal sesuai kebuuhan dan tujuan penelitian. Dalam melakukan teknik ini perlu disadari

2. Teknik kepustakaan

Teknik kepustakaan atau sumber pustaka adalah teknik yang mempergunakan sumber-sumber tertulis untuk memperoleh data. Sumber- sumber data tersebut berupa buku-buku referensi yang relevan dengan topik penelitian.

D. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data bertujuan menyederhanakan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan. Bagi penelitian kualitatif, ada tiga hal yang perlu diketahui dalam proses analisis data, yaitu reduksi data, sajian data, dan verifikasi serta simpulan.

Reduksi data adalah merampingkan data dengan memilih data yang dipandang penting, menyederhanakan, dan mengabstraksikannya. Di dalam reduksi data ada dua proses, yaitu living in adalah memilih data yang dipandang penting dan mempunyai potensi dalam rangka analisis data, sedangkan living out adalah membuang atau menyingkirkan data yang dipandang kurang penting dan kurang mempunyai potensi dalam rangka analisis data.

Sajian data adalah menyajikan data secara analitis dan sintesis dalam Sajian data adalah menyajikan data secara analitis dan sintesis dalam

Verifikasi dan simpulan adalah mengecek kembali (diverifikasi) pada catatan-catatan yang telah dibuat oleh peneliti dan selanjutnya membuat simpulan- simpulan sementara (Hutomo dalam Sangidu, 2004: 73-74).

Reduksi dan sajian data ini harus disusun pada waktu peneliti sudah mendapatkan unit data dari sejumlah unit yang diperlukan dalam pnelitian. Pada waktu pengumpulan data sudah berakhir, peneliti mulai melakukan usaha dalam bentuk pembahasan (diskusi) untuk menarik simpulan dan verifikasinya berdasarkan semua hal yang terdapat dalam reduksi maupun sajian datanya. Bila simpulan dirasa kurang mantap karena kurangnya rumusan dala dalam reduksi maupun sajian datanya, maka peneliti wajib kembali melakukan kegiatan pengumpulan data yang sudah terfokus untuk mencari pendukung simpulan yang telah dikembangkannya dan juga sebagai usaha bagi pendalaman data. Dalam keadaan ini tampak jelas bahwa penelitian kualiatif prosesnya selalu berlangsung dalam bentuk siklus (Sutopo, 2006: 120).

Bagian teknik analisis interaktif:

(H.B. Sutopo, 2006: 120)

Pengumpulan data

Sajian data

Penarikan simpulan/verifikasi

Reduksi data

BAB IV PEMBAHASAN

A. Struktur Serat Babad Umbul Pengging

Teori yang digunakan untuk analisis struktural SBUP adalah teori strata norma. Teori strata norma membagi karya sastra ke dalam lima tingkat, yakni lapis bunyi, lapis arti, lapis norma, lapis dunia, dan lapis metafisis (Roman Ingarden dalam Rachmat Djoko Pradopo, 2007: 15). Kelima lapis tersebut merupakan unsur pembangun yang umumnya ada dalam karya sastra. Secara lebih rinci ditampilkan lapis-lapis strata norma sebagai berikut:

1. Lapis Bunyi Bunyi mengandung aspek tinggi-rendah atau nada, panjang-pendek dan lemah kuat. Pemakaian unsur bunyi lebihintensif digunakan dalam seni musik, namun dalam seni sastra bunyi juga menjadi salah satu unsur pembangun. Seorang penulis karya sastra dapat memanfaatkan unsur bunyi dalam karyanya dengan bantuan sarana aliterasi, asonansi, begitu pula bagi sastrawan Jawa.

Berbentuk tembang tengahan dan macapat, karya sastra ini terikat oleh konvensi tembang secara umum. Konvensi atau aturan tersebut meliputi aturan fisik yang terdiri: (a) guru gatra, banyaknya gatra (gatra) dalam satu pada (bait), (b) guru wilangan, yakni banyaknya wanda (suku kata) pada masing- masing baris, serta (c) guru lagu yakni ketentuan bunyi vokal pada suku kata Berbentuk tembang tengahan dan macapat, karya sastra ini terikat oleh konvensi tembang secara umum. Konvensi atau aturan tersebut meliputi aturan fisik yang terdiri: (a) guru gatra, banyaknya gatra (gatra) dalam satu pada (bait), (b) guru wilangan, yakni banyaknya wanda (suku kata) pada masing- masing baris, serta (c) guru lagu yakni ketentuan bunyi vokal pada suku kata

Aturan matra dalam tembang macapat, terutama dalam guru lagu menunjukkan pentingnya unsur bunyi pada tembang. Dengan kata lain, lapis bunyi di dalam tembang macapat termuat dalam konvensi guru lagu. Meskipun demikian tidak tertutup kemungkinan adanya lapis bunyi yang direalisasikan melalui sarana-sarana lain, misalnya asonansi, aliterasi.

Secara keseluruhan SBUP menampilkan 407 bait tembang macapat yang terbagi dalam 14 pupuh. Terdapat 1 macam tembang tengahan, serta 9 macam tembang macapat yang digunakan dalam SBUP, yakni Dhandhanggula, Kinanthi, Asmaradana, Sinom, Pangkur , Pocung, Gambuh, Mijil, Megatruh, dan Balabak.

a. Konvensi tembang dijabarkan sebagai berikut:

1. Pupuh 1, matra Dhandhanggula Pupuh pertama, yakni matra Dhandhanggula. Mempunyai sifat manis, lembut, dan menyenangkan, terdapat sasmita tembang berupa kata “sarkara” pada pupuh 1 bait 1 baris 1. Terikat pada konvensi 10i, 10a, 8e, 7u, 9i, 7a, 6u, 8a, 12i, dan 7a terdiri dari 10 baris (guru gatra).

2. Pupuh 2, matra Kinanthi Pupuh kedua, yakni matra Kinanthi. Mempunyai sifat kemesraan, terdapat sasmita tembang berupa kata “kekanthanira” pada pupuh 1

bait 22 baris 10/ terakhir matra Dhandhanggula sebagai tanda bait 22 baris 10/ terakhir matra Dhandhanggula sebagai tanda

3. Pupuh 3, matra Asmaradana Pupuh ketiga, yakni matra Asmaradana. Mempunyai sifat sedih, suatu kesedihan akibat dirundung api asmara, terdapat sasmita tembang

berupa kata “asmaraning” pada pupuh 2 bait 37 baris 6 / terakhir matra Kinanthi sebagai tanda pergatian ke matra Asmaradana. Terikat

pada konvensi 8i, 8a, 8e, 8a, 7a, 8u, dan 8a terdiri dari 7 baris (guru gatra).

4. Pupuh 4, matra Kinanthi Pupuh keempat, yakni matra Kinanthi. Mempunyai sifat kemesraan, terdapat sasmita tembang berupa kata “kanthining” pada pupuh 3 bait

32 baris 7 / terakhir pada matra Asmaradana sebagai tanda pergantian ke matra Kinanthi. Terikat pada konvensi 8u, 8i, 8a, 8i, 8a, dan 8i terdiri dari 8 baris (guru gatra).

5. Pupuh 5, matra Sinom Pupuh kelima, yakni matra Sinom. Mempunyai sifat ceria, ramah, dan

menyenangkan, terdapat sasmita tembang berupa kata “Srinaranata” pada pupuh 4 bait 60 baris 6 / terakhir matra Kinanthi sebagai tanda

pergantian ke matra Sinom. Terikat pada konvensi 8a, 8i, 8a, 8i, 7i, 8u, 7a, 8i, dan 12a terdiri dari 9 baris (guru gatra).

6. Pupuh 6, matra Pangkur Pupuh keenam, yakni matra Pangkur. Mempunyai sifat memuncak,

terdapat sasmita tembang berupa kata “Yudakênaka” pada pupuh 5 bait 36 baris 9 / terakhir matra Sinom sebagai tanda pergantian ke

matra Pangkur. Terikat pada konvensi 8a, 11i, 8u, 7a, 12u, 8a, dan 8i terdiri dari 7 baris (guru gatra).

7. Pupuh 7, matra Kinanthi Pupuh ketujuh, yakni matra Kinanthi. Mempunyai sifat kemesraan, terdapat sasmita tembang berupa kata “kinanthi” pada pupuh 6 bait 15

baris 7 / terakhir matra Pangkur sebagai tanda pergantian ke matra Kinanthi. Terikat pada konvensi 8u, 8i, 8a, 8i, 8a, dan 8i terdiri dari delapan baris (guru gatra).

8. Pupuh 8, matra Pocung Pupuh kedelapan, yakni matra Pocung. Mempunyai sifat santai, kendur dalam artian tidak tegang, terdapat sasmita tembang berupa

kata “pamucunging” pada pupuh 7 bait 37 baris 6 / terakhir matra Kinanthi sebagai tanda pergantian ke matra Pocung. Terikat pada

konvensi 12u, 6a, 8i, dan 12a terdiri dari 4 baris (guru gatra).

9. Pupuh 9, matra Gambuh Pupuh kesembilan, yakni matra Gambuh. Mempunyai sifat keakraban, terdapat sasmita tembang b erupa kata “gambuhan” pada pupuh 8 bait

36 baris 4 / terakhir matra Pocung sebagai tanda pergantian ke matra

Gambuh. Terikat pada konvensi 7u, 10u, 12i, 8u, dan 8o terdiri dari 5 baris (guru gatra).

10. Pupuh 10, matra Sinom Pupuh kesepuluh, yakni matra Sinom. Mempunyai sifat ceria, ramah,

dan menyenangkan, terdapat sasmita tembang berupa kata “sinom” pada pupuh 9 bait 27 baris 5 / terakhir matra Gambuh sebagai tanda pergantian ke matra Sinom. Terikat pada konvensi 8a, 8i, 8a, 8i, 7i, 8u, 7a, 8i, dan 12a terdiri dari 9 baris (guru gatra).

11. Pupuh 11, matra Balabak Pupuh kesebelas, yakni matra Balabak. Mempunyai sifat jenaka, terdapat sasmita tembang berupa kata “balabak” pada pupuh 10 bait

38 baris 9 / terakhir matra Sinom sebagai tanda pergantian ke matra Balabak. Terikat pada konvensi 12a, 3e, 12a, 3e, 12a, dan 3e terdiri dari 9 baris (guru gatra).

12. Pupuh 12, matra Mijil Pupuh keduabelas, yakni matra Mijil. Mempunyai sifat lancar, terdapat sasmita tembang berupa kata “mijil” pada pupuh 12 bait 16 baris 4 matra Mijil. Terikat pada konvensi 10i, 6o, 10e, 10i, 6i, dan 6u terdiri dari 6 baris (guru gatra).

13. Pupuh 13, matra Megratruh Pupuh ketigabelas, yakni matra Megatruh. Mempunyai sifat sedih / duka yang dalam, penyesalan yang dalam / kepedihan hati nan 13. Pupuh 13, matra Megratruh Pupuh ketigabelas, yakni matra Megatruh. Mempunyai sifat sedih / duka yang dalam, penyesalan yang dalam / kepedihan hati nan

14. Pupuh 14, matra Asmaradana Pupuh keempatbelas, yakni matra Asmaradana. Mempunyai sifat sedih, suatu kesedihan akibat dirundung api asmara, terdapat sasmita tembang berupa kata “kasmaran” pada pupuh 13 bait 10 baris 5 / terakhir matra Megatruh sebagai tanda pergantian ke matra Asmaradana. Terikat pada konvensi 8i, 8a, 8e, 8a, 7a, 8u, dan 8a terdiri dari 7 baris (guru gatra). Struktur tembang di atas meliputi sasmita tembang, konvensi

tembang, jumlah baris dan sifat tembang. Selain struktur tersebut untuk melengkapi struktur yang ada. Ditambah lagi dengan asonansi dan aliterasi.