PENYELESAIAN PERSELISIHAN PEMUTUSAN HUBU. pdf
PENYELESAIAN PERSELISIHAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) KARENA KESALAHAN BERAT PADA TINGKAT MEDIASI DI DINAS SOSIAL TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI KABUPATEN PURBALINGGA SKRIPSI
Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Oleh: SAWITRI DIAN KUSUMA E1A008023 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2012
Lembar Pengesahan Skripsi
PENYELE SAIAN PERSELISIHAN PEMUTU SAN HUBUNGAN KERJA (PHK) KARENA KESALAHAN BERAT PADA TINGKAT MEDIASI DI DINAS SOSIAL TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI KABUPATEN PURBALINGGA
Disusun Oleh :
SAWITRI DIAN KUSUMA E1A008023
Untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Diterima dan disahkan Pada tanggal Juli 2012
Pembimbing I
Pembimbing II
Penguji
Sutikno, S.H.
Bambang Heryanto, S.H., M.H.
Sunarto, S.H. NIP. 19480704 1980031001 NIP. 19561009 1987021001 NIP. 19491111 1980031001
Mengetahui, Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Hj. Rochani Urip Salami,SH.,MS NIP.19520603 198003 2 001
II
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya, Nama
: SAWITRI DIAN KUSUMA
NIM
: E1A008023
Judul Skripsi
: PENYELESAIAN
PERSELISIHAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) KARENA KESALAHAN BERAT PADA TINGKAT MEDIASI DI DINAS SOS I AL TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI KABUPATEN PURBALINGGA
Menyatakan bahwa skripsi yang saya buat ini adalah betul-betul hasil karya saya sendiri dan tidak menjiplak hasil karya orang lain maupun dibuatkan oleh orang lain
Dan apabila ternyata terbukti saya melakukan pelanggaran sebagaimana tersebut diatas, maka saya bersedia dikenakan sanksi apapun dari fakultas.
Purwokerto, Juli 2012
Sawitri Dian Kusuma E1A008023
III
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul : PENYELESAIAN
PERSELISIHAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) KARENA KESALAHAN BERAT PADA TINGKAT MEDIASI DI DINAS SOSIAL TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI KABUPATEN PURBALINGGA.
Skripsi ini merupakan salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
Berbagai kesulitan dan hambatan penulis hadapi dalam penyusunan skripsi ini. Namun berkat bimbingan, bantuan dan moril serta pengarahan dari berbagai pihak, maka skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan terima kasih yang tulus kepada :
1. Ibu Hj. Rochani Urip Salami, S.H.,M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
2. Bapak Sutikno, S.H. selaku dosen pembimbing I Skripsi, atas segala bantuan, arahan dukungan, masukan, menyediakan waktu dan kebaikan yang telah diberikan selama penulisan skripsi ini.
3. Bapak Bambang Heryanto, S.H., M.H. selaku dosen Pembimbing II Skripsi atas segala bantuan, arahan dukungan, masukan, menyediakan waktu dan kebaikan yang telah diberikan selama penulisan skripsi ini.
4. Bapak Sunarto, S.H. selaku dosen penguji Skripsi yang telah memberi saran dan perbaikan pada skripsi penulis.
iv
5. Bapak Supriyanto, S.H., M.H. selaku Kepala Bagian Hukum Administrasi Negara atas semua bantuannya.
6. Bapak Djumadi, S.H., S.U. selaku Dosen Pembimbing Akademik atas kebaikannya kepada penulis selama berproses kuliah di Fakultas Hukum.
7. Seluruh dosen dan staf akademik di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
8. Bapak Even Kurniawan, S.H. selaku Mediator Hubungan Industrial Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga yang telah meluangkan waktu untuk membagi ilmunya dalam penelitian penulis di Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga.
9. Seluruh staf Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga yang telah meluangkan waktu dan membagi ilmunya dalam penelitian penulis di Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga.
10. Orang tua, kakak dan seluruh keluarga besar yang telah mendukung dan selalu memberi semangat kepada penulis.
11. Untuk Mpeb, Uke, Kiki, Hardut, Acok, Mas Dito, Aa Endang Teman- teman KKN Posdaya 2011 Desa Cibentang Kecamatan Bantarkawung Kabupaten Brebes yang selalu mendukung saya.
12. Sahabat sekaligus teman seperjuangan selama empat tahun menempuh studi di Fakultas Hukum Tatha, Cathy, Dian, Shasha, Dini, Lilis, Dita dll.
13. Seluruh rekan-rekan Fakultas Hukum Unsoed Angkatan 2008.
14. Semua pihak-pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Semoga amal kebaikan serta bantuan yang telah diberikan mendapat balasan dari Allah SWT. Skripsi ini hanya karya manusia biasa yang memiliki banyak kekurangan oleh karenanya kritik dan masukan demi kesempurnaan skripsi ini sangat penulis harapkan.
Purwokerto, Juli 2012
Sawitri Dian Kusuma E1A008023
vi
ABSTRAK PENYELESAIAN PERSELISIHAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) KARENA KESALAHAN BERAT PADA TINGKAT MEDIASI DI DINAS SOSIAL TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI KABUPATEN PURBALINGGA OLEH SAWITRI DIAN KUSUMA E1A008023
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karena kesalahan berat tercantum dalam Pasal 158 ayat (1) Undang -Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal ini merupakan salah satu pasal yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan mengikat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 012/PUU-I/2003. Sejalan dengan putusan tersebut dikeluarkan Surat Edaran Menakertrans Nomor: SE.13/MEN/SJ-HK/I/2005 tanggal 7 Januari 2005. Surat Edaran tersebut menerangkan bahwa pengusaha yang akan melakukan PHK karena pekerja/buruh melakukan kesalahan berat dapat dilakukan setelah adanya Putusan Hakim Pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Hal tersebut dapat dijadikan bukti dalam sengketa PHK yang akan diajukan ke Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dengan spesifikasi penelitian deskriptif analitis. Sumber data yang digunakan berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja karena kesalahan berat pada tingkat mediasi di Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga telah mencapai kesepakatan bahwa pekerja di-PHK karena melanggar Pasal 161 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Tahapan penyelesaian perselisihan melalui mediasi sudah sesuai dengan ketentuan dalam Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Jadi penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja karena kesalahan berat tidak diperlukan putusan pengadilan Negeri berkekuatan hukum tetap. Prinsip penyelesaian perselisihan melalui mediasi didasarkan pada musyawarah dan kesepakatan para pihak.
Kata Kunci: Perselisihan Hubungan Industrial, PHK karena Kesalahan Berat, Mediasi
vii
ABSTRACT
Termination of Employment (FLE) because of serious mistakes is decided based on article 158 paragraph (I) of Law Number 13 year 2003 about Manpower. This article is one of the article that doesn’t have a whole binding force based on Constitutional Court’s decision as the verdict Number 012/PUU- I/2003. As a line with that decision there is a letter from Manpower and Transmigration Minister Number SE. 13/MEN/SJ-HK/I/2005 dated January 7th, 2005. This letter explains that Termination of Employment (FLE) for worker or labor that has a serious mistake is decided by employer after the verdict of criminal justice. It has a permanent legal force as the legal evidence that will be submitted to the Institute of Industral Relations Disputes Settlement.
This research method was normative judicial approach with analitique description as the research’s spesification. The source of this research was primary law material, secondary law material, and tertiary law material.
This research concluded that the setlement of Termination of Employment (FLE) because of serious mistake at the mediation level in The Social Service of Manpower and Transmigration Purbalingga district made an agreement that the workers are getting Termination of Employment (FLE) because the workers are against the article 161 of Law Number 13 of 2003 about manpower. The stage of disputes settlement through mediation has been being suitable with Law Number 2 0f 2004 about Industrial Relations Disputes Settlement. So, disputes settlement of Termination of Employment (FLE) because of serious mistake doesn’t need the verdict of district court. The disputes settlement’s principle through mediation is based on consultation and agreement of the parties.
Keyword: Industrial relations disputes, Termination of Employment (FLE) because of serious mistake, mediation.
VIII
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Struktur Organisasi Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga.
Lampiran 2. Peraturan Bupati Purbalingga Nomor 05 Tahun 2011 tentang Penjabaran Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Lampiran 3. Perjanjian Bersama Stasiun Pengisian Bahan Bakar Premium
(SPBU) 44.53305 Bojongsari Kabupaten Purbalingga.
Lampiran 4. Surat Panggilan Klarifikasi Sidang Mediasi. Lampiran 5. Surat Permohonan Pencatatan Perselisihan Hubungan Industrial.
Lampiran 6. Risalah Perundingan Bipartit.
Lampiran 7. Surat Pemutusan Hubungan Kerja Stasiun Pengisian Bahan Bakar
Premium (SPBU) 44.53305 Bojongsari Kabupaten Purbalingga. Lampiran 8. Surat Rekomendasi penelitian.
xII
PENYELESAIAN PERSELISIHAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) KARENA KESALAHAN BERAT PADA TINGKAT MEDIASI DI DINAS SOSIAL TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI KABUPATEN PURBALINGGA SKRIPSI
Oleh: SAWITRI DIAN KUSUMA E1A008023 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2012
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Era globalisasi yang ditandai dengan kemajuan di berbagai bidang membawa dampak yang salah satunya yaitu semakin beragamnya kebutuhan manusia. Setiap manusia selalu membutuhkan biaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, maka seseorang perlu bekerja baik pekerjaan yang dilakukan sendiri atau bekerja pada orang lain. Bekerja kepada orang lain dapat dilakukan dengan bekerja kepada negara yang selanjutnya disebut pegawai atau bekerja kepada orang lain (swasta) yang disebut sebagai pekerja atau buruh.
Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa: Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Sesuai dengan tujuan negara Republik Indonesia sebagaimana yang tercantum dalam ketentuan Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, hal tersebut menunjukkan bahwa menjadi tugas bersama untuk mengusahakan agar setiap orang yang mau dan mampu bekerja, mendapatkan pekerjaan sesuai dengan yang diinginkannya, dan setiap orang yang bekerja mampu memperoleh penghasilan yang cukup untuk hidup layak bagi si tenaga kerja sendiri maupun
keluarganya. 1
1 Sendjun H. Manulang, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, PT Rineka Cipta, Jakarta, 1988, hal. 19.
Kaitannya dengan hukum ketenagakerjaan, maka bukan orang yang bekerja atas usaha sendiri, tetapi yang bekerja pada orang atau pihak lain. Bekerja pada orang lain atau pihak lain menurut hukum ketenagakerjaan, maka didasarkan pada adanya suatu hubungan kerja.
Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa:
Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah.
Berdasarkan pengertian hubungan kerja tersebut jelaslah bahwa hubungan kerja sebagai bentuk hubungan hukum lahir atau tercipta setelah adanya perjanjian
kerja antara pekerja dengan pengusaha. 2
Hubungan kerja yang dianut di Indonesia adalah sistem hubungan industrial yang mempunyai kedudukan yang sangat strategis dalam pelaksanaan pembangunan nasioal karena dapat menciptakan rasa kebersamaan antara pengusaha dan pekerja.
Tidak selamanya hubungan antara pengusaha dan pekerja/buruh berjalan dengan baik. Hal ini dimungkinkan adanya perselisihan, karena manusia sebagai makhuk sosial dalam berinteraksi sudah pasti terdapat persamaan dan perbedaan dalam kepentingan maupun pandangan, sehingga selama pelaksanaan hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh tidak tertutup kemungkinan terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK).
2 Lalu Husni, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2010, hal. 63.
Pemutusan hubungan kerja (PHK) diatur dalam Pasal 150 sampai dengan Pasal 170 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pemutusan hubungan kerja berdasarkan ketentuan Pasal 150 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa:
Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja dalam undang-undang ini meliputi pemutusan hubungan kerja yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara, maupun usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Pemutusan hubungan kerja merupakan peristiwa yang tidak diharapkan terjadinya khusunya bagi pekerja/buruh, karena pemutusan hubungan kerja itu akan memberikan dampak psycologis, economis-financiil bagi pekerja/buruh dan
keluarganya. 3
Putusnya hubungan kerja bagi pekerja/buruh merupakan permulaan dari segala pengakhiran. Pengakhiran dari mempunyai pekerjaan, pengakhiran membiayai keperluan hidup sehari-hari bagi dirinya dan keluarganya, pengakhiran
kemampuan menyekolahkan anak-anak, dan sebagainya. 4 Oleh karena itu, pihak- pihak yang terlibat dalam hubungan industrial seperti pengusaha, pekerja/buruh,
dan pemerintah mengusahakan dengan segala upaya agar tidak terjadi pemutusan hubungan kerja. 5
Pemutusan hubungan kerja dapat dihindari dengan terjalinnya hubungan kerja yang harmonis di antara para pihak dengan adanya kendali atas sikap yang
3 F.X. Djumialdji dan Wiwoho Soejono, Perjanjian Perburuhan dan Hubungan Perburuhan Pancasila, Bina Aksara, Jakarta, 1985, hal. 88.
4 Iman Soepomo, Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja, Djambatan, Jakarta, 1974, hal. 143.
5 Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal. 65.
dimiliki oleh masing-masing pihak, baik oleh pengusaha dan pekerja/buruh. Akan tetapi, pada kenyataan sehari-hari membuktikan bahwa PHK tidak mungkin dapat dicegah seluruhnya.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 151 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, apabila PHK tidak dapat dihindari maka maksud dari PHK tersebut wajib dirundingkan antara pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh yang bersangkutan jika pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh. Apabila perundingan tersebut tidak mencapai kesepakatan maka pengusaha hanya dapat melakukan PHK setelah ada penetapan dari Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
PHK dapat terjadi atas inisiatif dari pihak pengusaha maupun dari pekerja/buruh. Namun, pada kenyataannya lebih sering terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) atas inisiatif dari pihak pengusaha.
PHK oleh pengusaha terhadap pekerja/buruh dapat disebabkan berbagai macam alasan, seperti pengunduran diri, mangkir, perubahan status perusahaan, perusahaan tutup, perusahaan pailit, pekerja meninggal dunia, pekerja pensiun, atau karena pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 158 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Pekerja/buruh yang terbukti telah melakukan kesalahan berat maka pengusaha dapat melakukan PHK secara sepihak tanpa ada penetapan dari Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, selama didukung Pekerja/buruh yang terbukti telah melakukan kesalahan berat maka pengusaha dapat melakukan PHK secara sepihak tanpa ada penetapan dari Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, selama didukung
1. Pekerja/buruh tertangkap tangan;
2. Ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan; atau
3. Bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi.
Jenis kesalahan berat lainnya, selain berdasarkan ketentuan Pasal 158 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, juga dapat diatur dalam Peraturan Perusahaan (PP) atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB), tetapi apabila terjadi PHK karena kesalahan berat dalam Peraturan Perusahaan (PP) atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB) tersebut, harus mendapat izin dari
lembaga yang berwenang. 6
Kategori kesalahan berat yang diatur dalam ketentuan Pasal 158 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, merupakan
perbuatan pidana yang telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. 7
Selain itu ketentuan Pasal 170 jo Pasal 158 ayat (1) Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan dasar bagi perusahaan untuk melakukan PHK secara sepihak. Hal tersebut dinilai telah melanggar asas praduga tak besalah (presumption of innocence), oleh karena itu terhadap beberapa ketentuan pasal-pasal Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
6 Ibid., hal. 72. 7 Farianto dan Darmanto Law Firm, Himpunan Putusan Mahkamah Agung dalam Perkara PHI tentang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Disertai Ulasan Hukum, PT RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 2009, hal. 99.
Ketenagakerjaan dilakukan uji materiil oleh Mahkamah Konstitusi sebagaimana dalam Putusan No.012/PUU-I/2003 tanggal 28 Oktober 2004 Atas Hak Uji Materiil Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Terhadap UUD 1945 khusunya Pasal 27 ayat (1), sehingga mengenai Pasal 158, Pasal 159 dan beberapa anak kalimat yang merujuk pada ketentuan Pasal 158 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dinyatakan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat. 8
Sejalan dengan adanya putusan tersebut, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi mengeluarkan Surat Edaran Menakertrans Nomor: SE. 1 3/MEN/SJ- HK/I/2005 tanggal 7 Januari 2005, bahwa pengusaha yang akan melakukan PHK karena pekerja/buruh melakukan kesalahan berat dapat dilakukan setelah adanya Putusan Hakim Pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap sebagai bukti hukum yang nantinya dapat dijadikan bukti dalam sengketa PHK yang akan diajukan ke Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Pemutusan hubungan kerja (PHK) merupakan penyebab yang paling sering muncul dalam perselisihan hubungan industrial. Perselisihan hubungan industrial diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Undang-undang tersebut lahir atas perintah Pasal 136 ayat (2) Undang -Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, mencabut ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 Pemutusan hubungan kerja (PHK) merupakan penyebab yang paling sering muncul dalam perselisihan hubungan industrial. Perselisihan hubungan industrial diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Undang-undang tersebut lahir atas perintah Pasal 136 ayat (2) Undang -Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, mencabut ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial menyebutkan bahwa:
Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dalam suatu perusahaan.
Menurut Lalu Husni dalam bukunya menyatakan, atas dasar pengertian perselisihan hubungan industrial berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, membagi empat jenis perselisihan hubungan industrial meliputi:
1. Perselisihan hak (Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial);
2. Perselisihan kepentingan (Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial);
3. Perselisihan pemutusan hubungan kerja (Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial);
4. Perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dalam suatu perusahaan (Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial ). 10
Terjadinya perselisihan hubungan industrial sulit untuk dihindari, karena dalam melakukan hubungan kerja sering terjadi benturan kepentingan di antara para pihak dan hal tersebut tidak boleh dibiarkan karena dapat menyebabkan lingkungan kerja menjadi tidak kondusif sehingga dapat menghambat produktivitas kerja.
9 Puslitbang Hukum dan Peradilan M.A.R.I., 2007, Naskah Akademik Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, http://www.litbangkumdil.net/publikasi-litbang/201 -naskah-
akademis-penyelesaian-perselisihan-hubungan-industrial.html diakses tanggal 13 April 2012. 10 Lalu Husni, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan dan di
Luar Pengadilan, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hal. 43.
8 Ibid., hal. 99.
Perselisihan hubungan industrial yang dicatatkan pada Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga, selama tiga tahun terakhir mulai dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2011 terdapat tiga puluh lima kasus perselisihan hubungan industrial, di antaranya sembilan kasus mengenai perselisihan hak, satu kasus mengenai perselisihan kepentingan, dan dua puluh lima kasus mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Berdasarkan data tiga tahun terakhir mengenai perselisihan hubungan industrial yang dicatat pada Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga tersebut, dapat diketahui bahwa perselisihan yang paling banyak terjadi adalah perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK). Perselisihan mengenai PHK paling banyak terjadi, karena tindakan PHK yang dilakukan oleh salah satu pihak dan pihak lain tidak dapat menerimanya. Salah satu contoh perselisihan PHK yang terjadi adalah pada Stasiun Pengisian Bahan Bakar Premium (SPBU) 44.533.05 Bojongsari Kabupaten Purbalingga yang telah melakukan PHK terhadap dua orang pekerjanya karena masing-masing pekerja telah melakukan kesalahan berupa:
1. Pekerja dengan sengaja berjudi di area SPBU/tempat bekerja.
2. Pekerja melakukan manipulasi absen dan berani kepada pimpinan dalam melanggar peraturan sebagai karyawan.
Pelanggaran yang dilakukan oleh dua orang pekerja di Statsiun Pengisian Bahan Bakar Premium (SPBU) 44.53 3.05 Bojongsari Kabupaten Purbalingga tersebut masuk dalam kategori kesalahan berat sebagaimana ketentuan yang diatur Pelanggaran yang dilakukan oleh dua orang pekerja di Statsiun Pengisian Bahan Bakar Premium (SPBU) 44.53 3.05 Bojongsari Kabupaten Purbalingga tersebut masuk dalam kategori kesalahan berat sebagaimana ketentuan yang diatur
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial berdasarkan pengaturan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial terdapat dua cara penyelesaian, yaitu penyelesaian perselisihan melalui pengadilan hubungan industrial (litigasi) dan di luar pengadilan hubungan industrial (non-litigasi) yang meliputi penyelesaian secara
Bipartit, Mediasi, Konsiliasi, atau Arbitrase. 11
Pada prinsipnya setiap perselisihan hubungan industrial, termasuk perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK) wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu secara kekeluargaan di luar pengadilan hubungan industrial (non- litigasi) melalui perundingan bipartit dengan musyawarah untuk mencapai mufakat. Penyelesaian secara Bipartit jauh lebih menguntungkan kedua belah pihak, sebab akan membuahkan hasil yang dapat diterima kedua belah pihak dan menekan biaya serta menghemat waktu.
Apabila perselisihan tidak dapat diselesaikan oleh kedua belah pihak secara Bipartit dan kedua belah pihak tidak bermaksud menyerahkan penyelesaian perselisihan melaui konsiliasi atau arbitrase, maka penyelesaian perselisihan yang dilakukan secara wajib adalah melalui forum mediasi dengan jalan salah satu atau kedua belah pihak yang berselisih dapat memberi tahukan secara lisan atau tertulis perselisihan tersebut kepada Mediator yang berada di setiap Instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota yang disertai dengan bukti atau risalah perundingan Bipartit.
Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial menyebutkan pengertian mediasi hubungan industrial yang selanjutnya disebut mediasi adalah:
Penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan mealui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral.
Mediasi berbeda dengan konsiliasi dan arbitrase karena dalam mediasi, dapat menyelesaikan semua jenis perselisihan, yaitu perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh dalam suatu perusahaan.
Mediasi merupakan intervensi terhadap suatu perselisihan oleh pihak ketiga yang dapat diterima, tidak berpihak dan netral serta membantu para pihak yan berselisih mencapai kesepakatan secara sukarela terhadap permasalahan yang disengketakan.
Proses penyelesaian perselisihan melalui mediasi ditekankan pada musyawarah atau kesepakatan para pihak, sehingga tidak terdapat unsur paksaan antar para pihak dan mediator, para pihak meminta secara sukarela kepada mediator untuk membantu penyelesaian konflik yang terjadi. Oleh karena itu, mediator berkedudukan membantu para pihak agar dapat mencapai kesepakatan
yang hanya dapat diputuskan oleh para pihak yang berselisih. Mediator hanya berkewajiban untuk bertemu atau mempertemukan para pihak.
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka penulis mengangkat suatu topik yang menitikberatkan aspek normatif mengenai mediasi sebagai salah satu alternatif penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan judul: “PENYELESAIAN PERSELISIHAN PEMUTUSAN HUBUNGAN
KERJA (PHK) KARENA KESALAHAN BERAT PADA TINGKAT MEDIASI DI DINAS SOSIAL TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI KABUPATEN PURBALINGGA”
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut di atas dapat ditarik suatu permasalahan yakni :
Bagaimana pelaksanaan penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK) karena kesalahan berat pada tingkat mediasi di Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK) karena kesalahan berat pada tingkat mediasi di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga.
D. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Teoritis
a. Dengan dilakukan penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai pelaksanaan penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK) karena kesalahan berat pada tingkat mediasi di Kabupaten Purbalingga.
b. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan kepada dunia pendidikan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan guna memberikan penambahan pustaka hukum yang berkaitan dengan hukum ketenagakerjaan terutama beraitan dengan pelaksanaan penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja.
2. Kegunaan Praktis
Sebagai bahan kajian, referensi, pedoman, sumber informasi dan sosialisasi bagi civitas akademika Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, masyarakat, serta pihak-pihak terkait mengenai pelaksanaan penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja pada tingkat mediasi di Kabupaten Purbalingga.
BAB II TINJAUAN PUS TAKA
A. Hukum Ketenagakerjaan
1. Pengertian Hukum Ketenagakerjaan Istilah hukum ketenagakerjaan dahulu disebut dengan hukum
perburuhan yang merupakan terjemahan dari arbeidsrechts, namun keduanya memiliki arti yang berbeda dari segi substansi.
Berikut adalah pendapat beberapa ahli hukum mengenai hukum perburuhan:
1. Menurut Molenaar: Bagian dari hukum yang berlaku yang pada pokoknya mengatur hubungan antara tenaga kerja dan pengusaha, antara tenaga kerja dengan tenaga kerja, dan antara tenaga kerja dengan penguasa.
2. Menurut Mr. M. G. Levenbach: Hukum yang berkenaan dengan hubungan kerja, dimana pekerjaan itu dilakukan di bawah pimpinan dan dengan keadaan penghidupan yang langsung bersangkut paut dengan hubungan kerja itu.
3. Menurut Mr. N. E. H. van Esveld Hukum yang berkenaan dengan hubungan kerja, dimana pekerjaan itu dilakukan dibawah pimpinan, tetapi meliputi pula pekerjaan yang dilakukan oleh swa-pekerja yang melakukan pekerjaan atas tanggung jawab dan resiko sendiri.
4. Menurut Prof. Iman Soepomo, S. H.: Himpunan peraturan-peraturan, baik tertulis maupun tidak tertulis yang berkenaan dengan kejadian dimana seseorang bekerja pada orang lain
dengan menerima upah. 12 Berdasarkan pengertian hukum perburuhan yang diberikan oleh para
ahli hukum tersebut, maka hukum perburuhan setidak-tidaknya mengandung unsur:
12 Sendjun H. Manulang, Op. Cit., hal. 1.
1. Himpunan peraturan (baik tertulis maupun tidak tertulis).
2. Berkenaan dengan suatu kejadian/peristiwa.
3. Seseorang bekerja pada orang lain.
4. Upah.
Perubahan istilah hukum perburuhan menjadi hukum ketenagakerjaan terdapat perbedaan cakupan. Dari unsur-unsur di atas, diketahui bahwa hukum perburuhan hanya menyangkut peraturan yang mengatur hubungan hukum di dalam hubungan kerja, sedangkan cakupan hukum ketenagakerjaan menjadi lebih luas. Hukum ketenagakerjaan tidak hanya aspek hukum yang berhubungan dengan hubungan kerja saja, tetapi baik
sebelum, selama, atau sesudah hubungan kerja. 13
Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa:
Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja.
Berdasarkan pengertian Ketenagakerjaan tersebut, menurut Lalu Husni menyatakan bahwa Hukum Ketenagakerjaan adalah semua pengaturan hukum yang berkaitan dengan tenaga kerja baik sebelum
bekerja, selama atau dalam hubungan kerja, dan sesudah hubungan kerja. 14 Menurut Sendjun H. Manulang dalam bukunya menyatakan bahwa,
tujuan diadakan hukum ketenagakerjaan adalah:
13 Lalu Husni, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Op. Cit., hal. 35. 14 Ibid., hal. 35.
1. Untuk mencapai/melaksanakan keadilan sosial dalam bidang ketenagakerjaan;
2. Untuk melindungi tenaga kerja terhadap kekuasaan yang tidak terbatas dari pengusaha, misalnya dengan membuat atau menciptakan peraturan- peraturan yang sifatnya memaksa agar pengusaha tidak bertindak sewenang-wenang terhadap para tenaga kerja sebagai pihak yang
lemah. 15
Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja memberikan perluasan pengertian pekerja, yaitu:
1) Magang dan murid yang bekerja pada perusahaan baik yang menerima upah maupun tidak.
2) Mereka yang memborong pekerjaann kecuali yang memborong adalah perusahaan.
3) Narapidana yang dipekerjakan di perusahaan.
2. Sumber Hukum Ketenagakerjaan Sumber hukum pada dasarnya adalah segala sesuatu yang dapat
menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yaitu aturan yang apabila dilanggar mengakibatkan sanksi yang
tegas dan nyata. 16
Sumber hukum ketenagakerjaan adalah tempat ditemukannya aturan- aturan mengenai masalah ketenagakerjaan yang mendasarkan pada sumber hukum Indonesia di bidang Ketenagakerjaan. Sumber hukum ketenagakerjan berfungsi sebagai jaminan kepastian dan keadilan bagi para
15 Sendjun H. Manulang, Op. Cit., hal. 2. 16 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Sebagai Suatu Pengantar, Liberty,
Yogyakarta, 1999, hal. 76.
pihak yang terlibat dalam hukum ketenagakerjaan, yang diterapkan dalam
bentuk peraturan-peraturan.
Sumber hukum ada dua macam, yaitu sumber hukum dalam arti materiil dan sumber hukum dalam arti formil. Dalam hukum ketenagakerjaan, maka yang dimaksud adalah sumber hukum ketenagakerjaan dalam arti formil, sebab sumber hukum dalam arti materiil adalah Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum. Sumber hukum ketenagakerjaan tersebut adalah:
a. Undang-Undang Perundang-undangan mengenai ketenagakerjaan mengalami
banyak perubahan yaitu ditandai dengan munculnya undang-undang baru yang lebih dinamis dan tentunya banyak membawa kepentingan bagi pekerja/buruh maupun pengusaha itu sendiri. Undang-undang tersebut antara lain:
1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3889).
2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4279).
3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Undang-undang ini mencabut:
a) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1227); dan
b) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2686);
4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.
5) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja. 17
b. Peraturan lain Menurut Zainal Asikin dalam bukunya menyatakan bahwa,
peraturan lain yang dimaksud adalah peraturan yang lebih rendah kedudukannya dengan undang-undang, peraturan tersebut antara lain:
1) Peraturan Pemerintah, peraturan ini ditetapkan oleh Presiden untuk melaksanakan lebih lanjut ketentuan dalam undang-undang. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya.
2) Keputusan presiden, merupakan keputusan yang ditetapkan oleh Presiden yang berisi keputusan yang bersifat khusus atau mengatur hal tertentu saja.
3) Peraturan atau keputusan instansi lain, di mana dalam bidang ketenagakerjaan suatu instansi atau pejabat tertentu diberi kekuasaan membuat peraturan atau keputusan tertentu yang berlaku
bagi umum. 18
c. Kebiasaan Kebiasaan merupakan perbuatan manusia yang dilaksanakan berulang-ulang kali dalam hal yang sama, diterima oleh masyarakat dengan baik, sehingga tindakan yang selalu berlawanan dengan kebiasaan itu dirasakan sebagai hukum. Hukum kebiasaan seringkali bersumber dari norma atau kaidah sosial. Kaidah sosial dalam masyarakat dibedakan menjadi norma agama, norma kesusilaan, dan norma kesopanan.
17 Zaeni Asyhadie, Hukum Perburuhan Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 3.
18 Zainal Asikin,dkk., Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1993, hal. 34.
Menurut Iman Soepomo dalam bukunya menyebutkan bahwa, kebiasaan atau hukum tidak tertulis berkembang dengan baik karena dua faktor:
1) Pembentuk
atau peraturan perburuhan/ketenagakerjaan tidak dapat dilakukan secepat perkembangan soal-soal perburuhan/ketenagakerjaan yang harus diatur. Kemajuan dan perubahan tidak dapat diikuti dengan saksama oleh perundang-undangan. Keadaan yang demikian terdapat di mana-mana terutama di Indonesia dimana perkembangan mengenai perburuhan/ketenagakerjaan berjalan sangat cepat.
undang-undang
2) Peraturan-peraturan dari zaman Hindia Belanda dahulu sudah tidak lagi dirasakan sesuai dengan rasa keadilan masyarakat dan aliran- aliran yang tumbuh di seluruh dunia. 19
d. Putusan Apabila aturan hukum yang berlaku dalam masyarakat dirasa
masih kurang lengkap, maka putusan pengadilan tidak hanya memberi bentuk hukum pada kebiasaan, tetapi juga dapat dikatakan menentukan dan menetapkan sebagian besar hukum itu sendiri.
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) baik tingkat pusat ataupun daerah, putusan ini dapat dijadikan pedoman dalam penyelesaian masalah ketenagakerjaan khususnya Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang bersifat mengikat oleh Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal para pihak agar putusan tersebut dapat dijalankan (Undang-Undang Nomor 2 Tahaun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial).
19 Iman Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, Djambatan, Jakarta, 1987,
19
hal.23.
e. Perjanjian Perjanjian merupakan peristiwa dimana pihak yang satu berjanji
kepada pihak yang lainnya untuk melaksanakan sesuatu hal, sehingga pihak-pihak yang bersangkutan terikat oleh isi perjanjian yang mereka adakan, oleh karena itu aturan dalam perjanjian mempunyai kekuatan hukum sebagai undang-undang.
Perjanjian kerja pada umumnya hanya berlaku antara pekerja/buruh dengan pengusaha yang menyelenggarakannya dan orang
lain atau pihak lain tidak terikat. 20 Pekerja/buruh menyatakan kesanggupannya untuk bekeja pada pengusaha dengan menerima upah
dan pengusaha menyatakan kesanggupan untuk mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah.
f. Tra ktat Traktat merupakan perjanjian yang diadakan oleh dua negara atau
lebih yang dikenal dengan perjanjian antarnegara atau perjanjian internasional.
Traktat di bidang ketenagakerjaan banyak dijumpai dalam ketentuan internasional dari hasil konferensi ILO (International Labour Organization) yang dikenal dengan istilah convention, seperti Convention Nomor 19 tentang perlakuan yang sama bagi buruh warga negara dan asing dalam hal pemberian ganti rugi kecelakaan, dan
Convention Nomor 100 tentang pengupahan yang sama antara buruh pria dan wanita mengenai jenis pekerjaan yang sama. 21
g. Doktrin/Pendapat Ahli Doktrin atau pendapat pakar ilmu hukum dapat digunakan sebagai
landasan untuk memecahkan masalah-masalah yang berkaitan langsung atau tidak langsung dengan perburuhan/ketenagakerjaan. 22
3. Pihak-pihak Dalam Hukum Ketenagakerjaan Pihak-pihak yang terkait dalam hukum ketenagakerjaan tidak hanya
pekerja/buruh dan pengusaha/majikan saja. Melainkan juga badan-badan lain seperti organisasi pekerja/buruh, organisasi pengusaha/majikan, dan badan-badan pemerintah.
a. Pekerja/buruh Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan, istilah buruh sangat dikenal dalam hukum perburuhan/ketenagakerjaan karena sering digunakan sejak zaman penjajahan Belanda. Dahulu yang dimaksud dengan buruh adalah orang-orang pekerja kasar seperti kuli, mandor, tukang, dan lain-lain yang melakukan pekerjaan kasar sejenisnya dan disebut dengan Blue Collar, sedangkan orang-orang yang melakukan pekerjaan halus oleh Pemerintah Hindia Belanda disebut dengan istilah “karyawan/pegawai” dan disebut dengan White Collar.
22 21 Zainal Asikin, dkk., Op. Cit., hal. 37.
22 Ibid., hal. 37.
20 Ibid., hal. 23.
Dalam perkembangan perundang-undangan perburuhan sekarang tidak dibedakan antara buruh halus dan buruh kasar yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama tidak mempunyai perbedaan apapun. Bahkan istilah buruh diupayakan diganti dengan istilah pekerja, sebagaimana yang diusulkan oleh pemerintah (Depnaker) pada waktu Kongres FBSI II tahun 1985, karena istilah buruh kurang sesuai dengan kepribadian bangsa, buruh lebih menunjuk pada golongan yang selalu
ditekan dan berada di bawah pihak lain yakni majikan. 23
Namun karena pada masa orde baru istilah pekerja khusunya istilah serikat pekerja banyak diintervensi oleh kepentingan pemerintah, maka kalangan buruh trauma dengan penggunaan istilah tersebut sehingga untuk mengakomodir kepentingan buruh dan pemerintah,
istilah tersebut disandingkan. 24 Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa: Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima
upah atau imbalan dalam bentuk lain. Pengertian pekerja/buruh tersebut memiliki makna yang lebih
luas, karena dapat mencakup semua orang yang bekerja pada siapa saja baik perorangan, persekutuan, badan hukum atau badan lainnya dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk apapun.
23 Lalu Husni, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Op. Cit., hal. 44. 24 Ibid., hal. 44.
b. Pengusaha Sama halnya dengan istilah buruh, istilah majikan juga sangat
dikenal sebelum diberlakukannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Namun, istilah majikan sekarang sudah tidak dipergunakan lagi dan diganti dengan pengusaha karena istilah majikan berkonotasi sebagai pihak yang selalu berada di atas sebagai lawan atau kelompok penekan buruh, padahal secara yuridis antara buruh dan majikan mempunyai kedudukan yang sama.
Pengusaha berdasarkan Pasal 1 angka 5 Undang- Undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah:
1) Orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri.
2) Orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya.
3) Orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
Pengertian pengusaha sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dapat ditarik kesimpulan bahwa pengurus perusahaan (orang yang menjalankan perusahaan bukan miliknya) termasuk dalam pengertian pengusaha, artinya pengurus perusahaan disamakan dengan pengusaha
(orang/pemilik perusahaan). 25
25 Zaeni Asyhadie, Op. Cit., hal. 30.
c. Organisasi Pekerja/Buruh
Pekerja/buruh sifatnya lemah baik dipandang dari segi ekonomi m a u p u n d a ri s e gi k e d ud u k a n d an pe ng a r u h n y a t e r h a d ap pengusaha/majikan. Pekerja/buruh merupakan warga negara mempunyai persamaan dan kedudukan dalam hukum, memiliki hak untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak, mengeluarkan pendapat, berkumpul dalam suatu organisasi, serta mendirikan dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh. Hak pekerja/buruh tersebut telah dijamin dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945.
Pasal 1 angka 17 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa:
Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.
Berdasarkan pengertian serikat pekerja/serikat buruh tersebut, dapat diketahui bahwa tujuan dari serikat pekerja/serikat buruh adalah memberikan perlindungan, pembelaan hak dan kepentingan, serta meningkatkan kesejahteraan yang layak bagi pekerja/buruh dan keluarganya.
Menurut RG. Kartasapoetra dalam bukunya Zainal Asikin yang berjudul Dasar-Dasar Hukum Perburuhan menyatakan bahwa, yang dimaksud dengan organisasi buruh/pekerja di tanah air kita adalah
organisasi yang didirikan oleh dan untuk kaum buruh/pekerja secara
sukarela yang berbentuk:
1) Serikat Buruh, adalah organisasi yang didirikan oleh dan untuk buruh secara sukarela, berbentuk kesatuan dan mencakup lapangan pekerjaan, serta disusun secara vertikal dari pusat sampai unit-unit kerja (basis).
2) Gabungan Serikat Buruh, adalah suatu organisasi buruh yang anggota-anggotanya terdiri dari Serikat Buruh seperti di atas. 26
d. Organisasi Pengusaha Organisasi pengusaha mempunyai peran yang penting dalam
menyelenggarakan pembangunan nasional, khususnya dalam bidang ketenagakerjaan karena pengusaha ikut bertanggung jawab atas terwujudnya tujuan pembangunan nasional menuju kesejahteraan sosial,
spiritual, dan material. 27 Oleh karena itu, sebaiknya perhatian pengusaha tidak hanya memperjuangkan kepentingan sendiri tetapi juga
kepentingan pekerja/buruh sebagai salah satu komponen produksi yang perlu mendapat perlindungan hukum.
Pasal 105 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, menyebutkan bahwa mengenai organisasi pengusaha menentukan sebagai berikut:
1) Setiap pengusaha berhak membentuk dan menjadi anggota organisasi pengusaha.
2) Ketentuan mengenai organisasi pengusaha diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
26 Zainal Asikin, dkk., Op. Cit., hal. 50. 27 Abdul Khakim, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal 137 .
Lalu Husni dalam bukunya menyatakan bahwa, terdapat dua macam organisasi pengusaha di Indonesia, yaitu:
1) KADIN Kamar Dagang Industri (KADIN) adalah wadah bagi pengusaha Indonesia dan bergerak dalam bidang ketenagakerjaan. Untuk meningkatkan peran serta pengusaha nasional dalam kegiatan pembangunan maka pemerintah melalui Undang-Undang Nomor
49 Tahun 1973 membentuk KADIN.
2) APINDO Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) merupakan organisasi pengusaha yang khusus mengurus masalah yang berkaitan dengan ketenagakerjaan. APINDO adalah suatu wadah kesatuan para pengusaha yang ikut serta untuk mewujudkan kesejahteraan sosial dalam dunia usaha melalui kerjasama yang terpadu dan serasi antara pemerintah, pengusaha, dan pekerja, serta lahir atas dasar peran dan tanggung jawabnya dalam pembangunan nasional dalam
rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. 28
e. Pemerintah Campur tangan pemerintah dalam hukum ketenagakerjaan
mempunyai peran yang sangat penting. Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan hubungan ketenagakerjaan yang adil, karena jika antara pekerja dan pengusaha yang memiliki perbedaan secara sosial ekonomi diserahan sepenuhnya kepada para pihak maka tujuan untuk menciptakan keadilan dalam hubungan ketenagakerjaan akan sulit tercapai karena pihak yang kuat akan selalu ingin menguasai yang lemah. Atas dasar itu, pemerintah turut campur tangan melalui peraturan perundang-undangan untuk memberikan jaminan kepastian hak dan kewajiban kepada para pihak .
28 Lalu Husni, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Op. Cit., hal. 54.