Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Pem

Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Pembubaran Partai Politik di
Indonesia sebagai Perlindungan Kebebasan Berserikat
Oleh : Pandu Dewanata1
“Tidak Ada Demokrasi Tanpa Partai, dan Tidak Ada
Partai Tanpa Demokrasi”
- Clinton Rossiter
A. Pendahuluan
Perubahan UUD 1945 dilakukan untuk mewujudkan paham konstitusionalisme, hal
tersebut akan terwujud dalam kekuasaan negara yang dibatasi sehingga tidak terjadi
kesewenang-wenangan dan terdapat perlindungan terhadap hak asasi manusia. Untuk
mewujudkan paham konstitusionalisme perubahan UUD 1945 melahirkan berbagai lembaga
baru, salah satunya Mahkamah Konstitusi. Salah satu kewenangan yang dimiliki oleh
Mahkamah Konstitusi adalah pembubaran partai politik. Hal tersebut dilakukan agar
kebebasan berserikat tidak dibungkam oleh penguasa sebagaimana yang terjadi pada rezim
pemerintahan sebelumnya.
Dalam konteks ini, pembubaran yang dimaksud mengakhiri eksistensi hukum dari
partai politik, dimana proses terjadinya pembubaran berdasarkan Pasal 41 Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik bisa terjadi karena tiga hal, yakni atas keputusan
sendiri, menggabungkan diri dengan partai politik lain, atau dibubarkan berdasarkan
keputusan otoritas negara. Dalam tulisan ini, penulis fokus pada pembubaran partai politik
variasi ke tiga yakni pembubaran yang dilakukan oleh keputusan otoritas negara secara

paksa (enforced dissolution).2 Perbedaan antara pembubaran dengan cara keputusan
otoritas negara secara paksa dengan pembubaran jenis lainnya adalah pembubaran jenis ini
harus dipandang sebagai pemberian sanksi dari negara terhadap partai politik yang
inkonstitusional dan melanggar peraturan perundang-undangan.

1 Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran dengan NPM 110110130254.
2 Muchamad Ali Safa’at, Pembubaran Partai Politik: Pengaturan dan Praktik Pembubaran Partai Politik dalam
Pergulatan Republik, 2011, Jakarta: Rajawali Press, hlm. 32.

Mahkamah Konstitusi dapat membubarkan partai politik yang telah terdaftar dan
berstatus sebagai badan hukum dalam Kementrian Hukum dan HAM apabila terbukti dalam
persidangan di Mahkamah Konstitusi melakukan bentuk pelanggaran konstitusional. 3
Adapun alasan-alasan membubarkan suatu partai politik telah tertuang dalam Pasal 68 (2)
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dimana partai politik
tersebut terbukti memiliki ideologi, asas, tujuan, program, dan kegiatan yang bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal ini sebagaimana
diamanatkan pada Pasal 40 ayat (2) huruf a Undang-Undang Partai Politik yang menyatakan
bahwa partai politik dilarang melakukan kegiatan yang bertentangan dengan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan.
Lebih ekstrim lagi, partai politik yang menganut, mengembangkan dan menyebarluaskan
paham komunisme, marxisme, dan leninisme berdasarkan Pasal 40 ayat (5) Undang-Undang

Partai Politik sudah pasti harus dibubarkan karena hal tersebut bertentangan dengan
ideologi bangsa Indonesia.
Walaupun dapat dibubarkan oleh negara melalui Mahkamah Konstitusi, partai politik
harus dibubarkan dengan prosedur yang ditetapkan dalam undang-undang. Selain
menyangkut kebebasan berserikat, partai politik memiliki peran yang begitu penting dalam
sistem ketatanegaraan di Indonesia. Dalam suatu negara yang menganut paham demokrasi
dan kedaulatan rakyat, keberadaan partai politik memegang fungsi yang sangat strategis. Hal
itu karena negara demokrasi memang dibangun di atas sitem kepartaian. 4 Bahkan menurut
R.M. Maciver, demokrasi tidak dapat berjalan tanpa adanya partai politik itu sendiri, karena
partai politik berfungsi sebagai struktur perantara (intermediate structure) antara rakyat
(civil society) dengan negara (state).5 Lebih lanjut menurut Miriam Budiardjo pentingnya
partai politik tertuang dalam 4 fungsi yakni komunikasi politik, sosialisasi politik, rekrutmen
politik dan pengatur konflik politik.6 Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sendiri keberadaan partai politik dianggap begitu penting bagi
keberlangsungan negara. Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 menyebutkan bahwa partai politik
3 Moh. Saleh, Akibat Hukum Pembubaran Partai Politik, Jurnal Konstitusi, Vol. I, No. 1, 2011, Jakarta:
Sekretariat Jendral MK RI, hlm. 7-8.
4 Sulastomo, Membangun Sistem Politik Bangsa dalam Masyarakat Warga dan Pergulatan Demokrasi:
Menyambut 70 Tahun Jakob Oetama, 2001, Jakarta: Kompas, hlm. 62.
5 RM Maciver, The Modern State, first edition, 1955, London: Oxford University Press, hlm. 194.

6 Miriam Budiardjo, Partisipasi dan Partai Politik: Sebuah Bunga Rampai, 1982, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, hlm. 14-16.

sebagai peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Selain itu Pasal 6A ayat (2)UUD 1945 juga
menyatakan bahwa pemilihan Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau
gabungan partai politik.
Tulisan ini akan menguraikan mengapa Mahkamah Konstitusi dipandang sebagai
lembaga yang dapat melindungi kebebasan berserikat. Di awal pembahasan penulis akan
menguraikan mengenai kebebasan berserikat dikaitkan dengan pembatasan hak asasi
manusia dalam konteks partai politik. Selanjutnya dibahas mengenai praktik-praktik
pembubaran partai politik yang dilakukan di Indonesia. Kemudian yang terakhir, akan
diuraikan juga menjelaskan kewenangan pembubaran partai politik yang dimiliki Mahkamah
Konstitusi sebagai perwujudan dari konstitusionalisme, sekaligus menegaskan fungsi
strategis Mahkamah Konstitusi dalam melindungi hak kebebasan berserikat.
B. Pembahasan
Kebebasan Berserikat dan Pembatasan Hak Asasi Manusia
Sejak berakhirnya Perang Dunia ke-II, banyak negara yang memasukkan jaminan dan
perlindungan HAM itu secara tertulis ke dalam konstitusinya, terlebih lagi setelah kejatuhan
rezim komunis pada akhir abad ke-20. Perancangan konstitusi negara pasca Perang Dunia II

terfokus pada dua masalah pokok:
1. Penegasan HAM sebagai pembatasan wilayah otonomi individu yang tak boleh
dilanggar oleh negara.
2. Pembentukan Mahkamah Konstitusi sebagai pengadilan khusus untuk menjaga dan
melindungi hak-hak asasi tersebut.7
Dimasukkannya HAM ke dalam konstitusi tertulis berarti memberi status kepada hak-hak itu
sebagai hak-hak konstitusional. Perlindungan yang dijamin oleh konstitusi bagi hak
konstitusional itu adalah perlindungan terhadap pelanggaran oleh perbuatan negara atau
public authorities, bukan terhadap pelanggaran oleh individu lain. 8 Sehingga jaminan

7 I Dewa Gede Palguna, Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint) Upaya Hukum terhadap
Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional Warga Negara, 2013, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 132-133.
8 Ibid.

terhadap hak asasi manusia dan hak warga negara menjadi materi muatan yang harus ada
dalam sebuah konstitusi.9
Salah satu hak asasi manusia yang fundamental adalah kebebasan berserikat. Pada
dasarnya kebebasan berserikat lahir dari kecenderungan dasar manusia untuk hidup
bermasyarakat dan berorganisasi baik secara formal maupun informal. 10 Hal ini sejalan
dengan pendapat Aristoteles yang mengemukakan bahwa manusia adalah makhluk sosial

yang kodratnya untuk hidup bermasyarakat dan berinteraksi satu sama lain karena masingmasing manusia tidak mampu hidup sendiri tanpa adanya bantuan dari orang lain. 11
Menurut Jimly Asshiddiqie kecenderungan tersebut merupakan suatu keniscayaan, dimana
kehidupan berorganisasi timbul untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan-kepentingan
yang sama dari individu-individu serta untuk mencapai tujuan bersama berdasarkan
persamaan pikiran dan hati.12 Kebebasan berserikat menjadi penting karena merupakan
manifestasi puncak dari kebebasan hati nurani, kebebasan berkeyakinan dan kebebasan
menyatakan pendapat seseorang. Selain itu, hak-hak tersebut juga merupakan sarana bagi
warga negara untuk berpartisipasi dalam pemerintahan sehingga jaminan terhadap hak-hak
tersebut merupakan prasyarat mutlak demokrasi. Tanpa adanya kemerdekaan berserikat,
harkat kemanusiaan dapat berkurang karena dengan sendirinya seseorang tidak dapat
mengekspreksikan pendapat menurut keyakinan dan hati nuraninya.13
Kebebasan berserikat mendapat jaminan yang tegas dalam Pasal 28E ayat (3) UUD
1945, yakni “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan
pendapat”. Jauh sebelum Pasal 28E ayat (3) dirumuskan dalam perubahan UUD 1945,
jaminan berserikat telah tercantum dalam Pasal 28 UUD 1945. Akan tetapi jaminan tersebut
hanya ditentukan akan diatur dalam undang-undang. Menurut Jimly Asshiddiqie, apabila
undang-undang belum mengatur hak tersebut maka tidak dapat dipastikan jaminan
terhadapnya.14
9 Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, 2006, Bandung: Alumni,hlm. 60.
10 Muchamad Ali Safa’at, Op. Cit, hlm.14.

11 Herbert Gintis and Carel van Schail, Zoon Politicon: The Evolutionary Roots of Human Sociopolitical Systems,
http://tuvalu.santafe.edu/~bowles/Gintis.pdf, diunduh pada 12 Juni 2016.
12 Jimly Asshiddiqie, Op. Cit, hlm. 44.
13 Richard H. Pildes, The Constitutionalization of Democratic Politics – The Supreme Court, 2003 Term,
http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=669068, diunduh pada 12 Juni 2016.
14 Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah Konstitusi, 2006,
Jakarta: Konstitusi Press, hlm. 9.

Ketentuan senada pun sejatinya terlihat dalam dokumen internasional yang tertuang
dalam konferensi International Commision of Jurirsts di Bangkok pada tahun 1965 yang
menjadikan kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat sebagai ciri utama negara
yang memiliki pemerintahan demokratis di bawah Rule of Law. Dengan diaturnya kebebasan
berserikat dalam kedua ketentuan diatas, dapat diketahui bahwasannya kebebasan
berserikat telah diakui dan disepakati sebagai bagian yang penting di negara Indonesia
secara khusus dan masyarakat global secara umum sehingga perlu diatur secara tegas dan
spesifik.
Menurut Hillarie Barnet, kebebasan berserikat sebagai hak asasi manusia memiliki
batasan yang diperlukan dalam masyarakat demokratis demi keamanan nasional dan
keselamatan publik, untuk mencegah kejahatan, serta untuk melindungi kesehatan dan
moral, serta melindungi hak dan kebebasan lain. 15 Pembatasan tersebut harus ditafsirkan

secara ketat bahwa pembatasan harus diatur dalam aturan hukum, harus dilakukan sematamata untuk mencapai tujuan dalam masyarakat demokratis, dan harus benar-benar
dibutuhkan dan bersifat proporsional sesuai dengan kebutuhan sosial. 16 Ditambahkan oleh
Sam Issacharoff, bentuk pembatasan yang dapat dibenarkan dalam negara demokrasi adalah
pembatasan terhadap kelompok yang mengancam demokrasi, kebebasan, serta masyarakat
secara keseluruhan.17
Terlebih lagi, di dalam Pasal 28 J ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 dikatakan
bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasan haruslah diberikan suatu batasan. Dimana
ketentuan Pasal 28 J ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 secara lengkap seperti berikut:
“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan semata-mata untuk
menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan tuntutan yang adil sesuai
dengan pertimbangan moral, nila-nilai agama, keamana, dan ketertban umum
dalam suatu masyarakat yang demokrasi.”

15 Muchamad Ali Safa’at, Op. Cit, hlm. 23-24.
16 Moh. Saleh, Akibat Hukum Pembubaran Partai Politik, Jurnal Konstitusi, Vol. I, No. 1, 2011, Jakarta:
Sekretariat Jendral MK RI, hlm. 7-8.
17 Muchamad Ali Safa’at, Loc. Cit.

Maka dari itu menurut Jimly Asshidiqie dalam suatu negara yang demokratis, pembubaran

partai politik hanya dapat dilakukan berdasarkan alasan-alasan rasional dan proporsional
melalui mekanisme due process of law serta berdasarkan putusan pengadilan.18
Praktik-Praktik Pembubaran Partai Politik di Indonesia
Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, praktik pembubaran partai politik terjadi
sebanyak tiga kali : (1) Pembubaran Partai Masjumi dan Partai Sosialis Indonesia; (2)
Pembubaran Partai Komunis Indonesia; (3) Fusi atau penggabungan partai politik pada masa
Orde Baru. Ketiga praktik tersebut menunjukkan adanya pembubaran yang dilakukan oleh
keputusan otoritas negara secara paksa (enforced dissolution).
Pembubaran Partai Masjumi dan Partai Sosialis Indonesia tidak dapat dilepaskan dari
konstelasi politik pada masa Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin. Diawali dari
Kabinet Djuanda yang tidak melibatkan kader Masjumi dan PSI mendapat protes dari
daerah-daerah basis kedua partai itu. Di Sumatra Barat, misalnya, terjadi unjuk rasa yang
mengultimatum Djuanda supaya mengundurkan diri dalam waktu 5 hari. Mereka juga
menuntut Presiden Soekarno untuk menunjuk Hatta dan Sultan Hamengkubuwono IX
menjadi formatur pembentukan kabinet yang bersifat nasional. Karena ultimatum tersebut
tidak dipenuhi oleh Djuanda, pada Februari 1958 terjadi pemberontakan dari kelompok yang
menamakan diri Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Bukittinggi. Pada saat
yang sama di Sulawesi Utara berdiri Dewan Manguni yang sejalan dengan PRRI.
Pemberontakan tersebut dapat diatasi oleh TNI dalam waktu singkat.19
Pemberontakan PRRI melibatkan sejumlah pimpinan Masjumi dan PSI yakni antara

lain Syafruddin Prawiranegara, M. Natsir, Burhanuddin Harahap (Masyumi) dan Soemitro
Djojohadihoesoema (PSI). Keterlibatan mereka mengakibatkan tensi ketegangan antara
pemerintah dengan dua partai itu semakin meningkat. Kemudian pada 5 Juli 1959 Presiden
Soekarno mengeluarkan dekrit yang salah satu isinya menyatakan bahwa konstitusi negara
kembali ke UUD 1945.
Pada periode selanjutnya, tepatnya pada 31 Desember 1959 dikeluarkanlah
Penetapan Presiden Nomor 7 Tahun 1959 tentang Syarat-syarat dan Penyederhanaan
18 Muchamad Ali Safa’at, Op. Cit, hlm. 25.
19 Atmadji Sumarkidjo, Mendung di Atas Istana Merdeka, Menyingkap Peran Biro Khusus PKI dalam
Pemberontakan G30S, 2000, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, hlm. 103.

Kepartaian. Dimana sebagai tindak lanjut dari Penpres tersebut, dikeluarkanlah peraturan
Peratuan Presiden Nomor 13 Tahun 1960 tentang Pengakuan, Pengawasan dan Pembubaran
Partai-Partai yang selanjutnya diubah dengan Perpres Nomor 25 Tahun 1960. Peraturan
tersebut diikuti dengan Keputusan Presiden Nomor 128 Tahun 1961 tentang Pengakuan
Partai-Partai yang memenuhi Perpres Nomor 13 Tahun 1960, dimana partai-partai yang
diakui tersebut adalah PNI, NU, PKI, Partai Katolik, Partai Indonesia, Partai Murba, PSII, IPKI,
Parkindo dan Persatuan Tarbiyah Islam (PTI)

sedangkan partai-partai yang ditolak


pengakuannya adalah PSII Abikusno, Partai Rakyat Nasional Bebasa Daen Lalo, dan Partai
Rakyat Nasional Djodi Gondokusumo yang termuat dalam Keputusan Presiden Nomor 129
Tahun 1961.20
Penpres No. 7 Tahun 1959 tentang Syarat-Syarat dan Penyederhanaan Kepartaian
tampaknya memang ditujukan khusus kepada Masjumi dan PSI, karena pada Pasal 9
menyebutkan bahwa Presiden, setelah mendengar pendapat Mahkamah Agung, dapat
melarang atau membubarkan partai yang sedang melakukan pemberotakan. Kecurigaan
akan dibubarkanya Masjumi dan PSI semakin mendekati kenyataan dengan dikeluarkannya
Penpres No.13/1960 tentang Pengakuan, Pengawasan, dan Pembubaran Partai politik. Maka
dari itu pada 21 Juli 1960 Soekarno memanggil pemimpin-pemimpin Masjumi dan PSI ke
istana. Soekarno kemudian menyerahkan setumpuk daftar pertanyaan yang harus dijawab
oleh pemimpin partai itu secara tertulis dalam satu minggu. 21 Oleh karena jawaban pimpinan
Masjumi dan PSI tidak memuaskan Soekarno, maka pada 17 Agustus 1960 kedua partai itu
dibubarkan melalui Keputusan Presiden No.200/1960 dan No.201/1960. Jika ultimatum ini
tidak dipenuhi, maka partai bersangkutan akan dinyatakan sebagai partai terlarang. Kurang
dari 30 hari setelah Keppres itu diturunkan, pimpinan Masjumi dan PSI membubarkan partai
mereka.22
Keputusan Presiden dalam hal tidak mengakui beberapa partai politik tidak terdapat
upaya hukum yang dapat diajukan ke pengadilan. Kondisi tersebut merupakan akibat dari

kekuasan Presiden Soekarno yang sangat besar, hal itu dapat terlihat dari ditempatkannya
Ketua Mahkamah Agung sebagai Menteri Koordinator Hukum dan Dalam Negeri yang

20 Muchamad Ali Safa’at, Op. Cit, hlm. 155-163.
21 Jimly Asshiddiqie, Op. Cit., hlm. 181.
22 Deliar Noer, Partai-Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, 2005, Jakarta: Yayasan Risalah, hlm. 384-387.

kedudukannya berada di bawah Presiden.23 Akibat kebijakan penyederhanaan partai politik
tersebut, partai politik tidak lagi memiliki pengaruh yang kuat dalam berkontribusi terhadap
pembangunan bangsa. Bahkan partai-partai yang masih ada, mendapatkan pengawasan
yang sangat ketat dari militer dan pemerintahan sipil.
Sedangkan pembubaran Partai Komunis Indonesia sangat erat kaitannya dengan
Peristiwa G30S yang meletus pada tahun 1965. Peristiwa G30S menjadi tanda berakhirnya
kiprah PKI dalam percaturan politik nasional, dalam peristiwa tersebut sejumlah jenderal
diculik dan dibunuh. Aksi pembantaian itu dimotori oleh Kolonel Untung, seorang komandan
pasukan pengawal istana.24 Kolonel Untung menuduh korban-korbannya sebagai komplotan
“Dewan Jenderal” yang sedang mempersiapkan kudeta sehingga harus diantisipasi secara
dini. Sebagai kelanjutan dari pembantaian para jenderal itu, keesokan harinya disiarkan
berita mengenai terbentuknya “Dewan Revolusi” yang beranggotakan 45 orang dengan
tugas mengamankan negara dan Presiden. Meskipun dari 45 anggota Dewan Revolusi
tersebut 5 orang yang berfaham komunis namun banyak kalangan menuduh PKI terlibat
dalam aksi pembunuh itu untuk melakukan kudeta.25
Jenderal Soeharto yang pada saat itu menjabat panglima komando cadangan
strategis bertindak cepat menguasai keadaan dengan menangkap kolonel Untung berikut
kelompoknya. Akibat lanjutannya adalah pembasmian segenap kekuatan PKI diseluruh
tanah air oleh TNI Angkatan Darat dan kelompok-kelompok masyarakat yang anti terhadap
komunisme. Aksi pembasmian ini dilakukan secara massif dengan jumlah korban berkisar
antara 80.000 hingga 500.000.26
Peristiwa yang lazim disebut Gerakan 30 September / Partai Komunis Indonesia
(G30S/PKI) menandai pergantian orde dari Orde Lama ke Orde Baru. Pada 1 Maret 1966
Presiden Soekarno dituntut untuk menandatangi sebuah surat yang memerintahkan pada
Jenderal Soeharto untuk mengambil segala tindakan yang perlu untuk keselamatan negara
dan melindungi Soekarno sebagai Presiden. Surat yang kemudian dikenal dengan sebutan
23 Bibit Suprapto, Perkembangan Kabinet dan Pemerintahan di Indonesia, 1985, Jakarta: Ghalia Indonesia,

hlm. 245.
24 Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan Dalam Negara Orde Baru, 2003, Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, hlm. 202.
25 Victor M.Fic, Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Studi Tentang Konspirasi, 2005, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, hlm. 203.
26 Jimly Asshiddiqie, Op. Cit, hlm. 188.

Surat Perintah Sebelas Maret diartikan sebagai pemberian wewenang kepada Soeharto
secara penuh.27 Setelah Supersemar diterbitkan, Soeharto mengeluarkan Keppres Nomor
1/3/1966 yang berisi tentang pembubaran PKI. Keppres tersebut dikuatan dengan TAP MPRS
No. XXV/MPRS/1966 yang dihasilkan pada sidang tersebut adalah melarang PKI berikut
ideologinya tumbuh dan berkembang di Indonesia. Dari kejadian tersebut dapat disimpulkan
lembaga yang membubarkan PKI adalah presiden, sedangkan MPR hanya menguatkan
Keppres tersebut dengan melarang ideologi komunis.
Pada masa pemerintahan Soeharto terdapat juga kebijakan penyederhanaan
terhadap partai politik. Hal tersebut disebabkan karena partai politik dipandang sebagai
sumber pertikaian yang mengganggu stabilitas bangsa. 28 Maka dari itu, pada masa
pemerintahan Soeharto partai-partai politik mendapatkan berbagai tekanan untuk
menyesuaikan diri dengan kebijakan yang ada. Kebijakan penyederhanaan partai politik ini
pada akhirnya menghasilkan 10 peserta pemilu pada tahun 1971 yakni PNI, NU, Parmusi,
Golkar, Partai Katolik, PSII, Murba, Partai Kristen Indonesia, Perti, dan IPKI. 29
Kebijakan penyederhanaan dikombinasikan dengan kebijakan fusi partai politik pada
tanggal 9 Maret 1970. Dimana Presiden Soeharto menyarankan untuk mengklasifikasikan
partai berdasarkan kesamaan indentitas masing-masing partai. Maka dari itu partai-partai
yang ada dikelompokan menjadi golongan nasionalis, golongan spiritual, dan golongan karya
yang dimanifestasikan menjadi 3 partai yakni Partai Demokrasi Indonesia, Partai Persatuan
Pembangunan, dan Golongan Karya (Golkar). 30
Pasca Pemilu 1971, Presiden Soeharto yang posisinya semakin kuat karena mendapat
legitimasi pemilu kembali memunculkan ide penyederhaan partai. Ide ini sebenarnya sudah
cukup lama menjadi bahan pembicaraan para penggagas konsep orde baru. Mereka menilai
bahwa partai politik selalu menjadi sumber pertikaian yang tentu saja mengganggu
stabilitas. Maka tidak mengherankan apabila setahun sebelum Pemilu 1971 dilangsungkan,
di hadapan sembilan partai dan Golkar Soeharto sudah mengemukakan saran penggabungan
partai-partai untuk mempermudah kampanye pemilu tanpa kehilangan identitas masing27 Ibid, hlm.189.
28 Ibid.
29 Arif Zulkifli, PDI di Mata Golongan Menengah Indonesia: Studi Komunikasi Politik, 1996, Jakarta: Grafiti, hlm.
51-55.
30 Jimly Asshiddiqie, Op. Cit., hlm. 194.

masing. Soeharto menginginkan partai-partai yang ada dikelompokan ke dalam Golongan
Nasional, Golongan Spiritual dan Golongan Karya.31
Gagasan pengelompokan partai itu memunculkan sikap pro dan kontra di kalangan
masyarakat. Partai pertama yang menyetujui adalah PNI dan IPKI, kemudian disusul oleh
Parmusi dan NU. Kalangan yang mewakili Islam memandang gagasan itu akan menyatukan
pandangan politik umat Islam yang sebelumnya terpecah-pecah. Selain itu, dengan adanya
pengelompokan proses pengambilan keputusan akan semakin mudah karena alternatifalternatif pendapat dapat diperkecil.32
Golongan yang menentang pengelompokan adalah Parkindo dan Partai Katolik.
Sebenarnya penolakan mereka lebih disebabkan pada pengelompokan kedua partai ini
kedalam kelompok spiritual. Mereka akan menerima jika mereka dikelompokkan pada
golongan nasionalis. Alasannya, golongan nasionalis dapat melaksanakan program yang
tidak mementingkan motif-motif ideologis keagamaan. 33
Dimana pada tanggal 5 Januari 1973 NU, Parmusi, PSII dan PERTI telah memfusikan
politiknya dalam satu partai politik bernama Partai Persatuan Pembangunan, kemudian PNI,
IPKI, Parkindo dan Partai Katholik pada 10 Januari 1973 difusikan dalam satu wadah yang
bernama Partai Demokrasi Indonesia.34 Konsep fusi tersebut dikukuhkan melalui UndangUndang No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan serta Undang-Undang No.4
Tahun 1975 tentang Pemilihan Umum. Kedua Undang-Undang itu telah membatasi
organisasi peserta pemilu yang sebelumnya berjumah sepuluh menjadi tiga. Itu juga berarti
bahwa sejak dua Undang-Undang tersebut diberlakukan hanya tiga aliran politik saja yang
diperkenankan, yaitu ideologi keagamaan yang diwakili PPP, kekaryaan yang diwakili oleh
Golkar dan demokrasi yang diwakili PDI. Hanya tiga kekuatan politik yang ada itulah yang
bertarung dalam Pemilu 1977. Itu pun masih dengan pembatasan baru lagi bagi partai politik
di luar Golkar, dengan adanya peraturan kepengurusan partai yang hanya memperbolehkan
partai politik beroperasi di ibu kota tingkat pusat, Dati I dan Dati II. Sementara di wilayah
yang lebih kecil, hanya Golkar yang dapat berperan. Ketentuan ini kemudian lebih dikenal
31 Ibid, hlm.194.
32 Ibid.
33 Ibid, hlm.195.
34 Nur Syam, Tantangan Multikulturalisme Indonesia: Dari Radikalisme Menuju Kebangsaan, 2009, Yogyakarta:
Kanisius, hlm. 234.

dengan istilah “massa mengambang”. Sistem pemilu dengan tiga kontestan itu berlangsung
hingga lima kali pemilu selama pemerintah orde baru, yaitu Pemilu 1977, 1982, 1992, dan
1997.35 Hasilnya adalah selama pemerintahan Presiden Soeharto, khususnya pada 19711997 Golongan Karya menguasai secara mutlak perolehan suara di seluruh provinsi,
sehingga membawa partai beringin ini menjadi partai pemenang, bahkan mendapatkan
legitimasi untuk memerintah karena ia menguasai perangkat eksekutif dan legislatif
sekaligus.36
Mahkamah Konstitusi: Perwujudan dari Konstitusionalisme
Adanya konstitusi tidak terlepas dari ide pembatasan kekuasaan atau paham
konstitusionalisme. Secara historis, konstitusionalisme mulai berkembang pada abad ke-17
dan abad ke-18 sebagai misi politik yang hendak dicapai oleh konstitusi tertulis negara
bangsa (nation state). Tujuan mendasar konstitusi pada masa itu adalah untuk membuat
monarch (raja) tunduk pada hukum, yaitu dengan cara membentuk “pemerintah
berdasarkan hukum” bukan berdasarkan “orang”.37 Dalam konteks tersebut sangat tepat
pendapat K.C. Wheare yang mengatakan bahwa konstitusi adalah an instrument by which
government can be controlled (instrument untuk mengawasi pemerintah).38
Konstitusi berkembang dari ide pemerintahan yang terbatas (spring from belief in
limited government).39 C.F. Strong juga mengungkapkan hal yang serupa, bahwa tujuan dari
konstitusi adalah to limit the arbitrary action of the government (untuk membatasi dari
tindakan pemerintahan yang sewenang-wenang), to guarantee the rights of the governed
(untuk menjamin hak-hak yang diperintah), dan to define the operation of the sovereign
power (untuk menentukan batas-batas pelaksananaan kekuasaan yang berdaulat). 40 Dalam
konteks pembatasan kekuasaan, suatu konstitusi memuat aturan-aturan ketatanegaraan
yang bersifat mendasar (hal-hal pokok). Namun demikian, konstitusionalisme bukan
merupakan konsep statis,melainkan bersifat dinamis yang berkembang seiring dengan
35 Jimly Asshiddiqie, Op. Cit., hlm. 195.
36 Daniel Dhkidae, Peta Politik Pemilihan Umum 1999-2004, 2004, Jakarta: Kompas Gramedia, hlm.3.
37 Anne Peters & Klaus Armingeon, Introduction-Global Constitutionalism from an Interdisciplinary Perspective,
Indian Journal of Global Legal Studies, Vol. 16, No. 2, 2009, Bloomington: Indiana University Maurer School of
Law, hlm. 388.
38 Indra Perwira, et. al, Budaya Konstitusi dalam UUD 1945 Perubahan Dikaitkan dengan Gagasan Perubahan
Kelima UUD 1945, Laporan Penelitian Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, 2009, Bandung, hlm. 8.
39 K.C. Wheare, Modern Constitution, 1975, London: Oxford University Press, hlm. 7.
40 C.F. Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern, 2011, Bandung: Nusa Media, hlm. 12.

perkembangan

masyarakat.

Mark

Tushnet

berpendapat

bahwa

konsep

awal

konstitusionalisme berhubungan dengan konsep liberlisme klasik di mana perhatian
utamanya adalah memastikan kekuasaan pemerintah tidak disalahgunakan, 41 yang salah
satunya menekankan pada jaminan hak-hak sipil dan politik.
Konstitusi tidak sama dengan konstitusionalisme. 42 Suatu negara yang memiliki
konstitusi belum tentu menerapkan gagasan konstitusionalisme, tetapi “constitutionalism
asks for a legitimate constitution” (konstitusionalisme menginginkan sebuah konstitusi yang
terlegitimasi).43 Legitimasi tersebut tentu saja terkait dengan penerimaan norma-norma
konstitusi oleh rakyat sebagai bagian dari proses demokrasi. 44 Dalam konteks tersebut maka
konsep konsep konstitusionalisme dalam perkembangannya lebih mencerminkan konsep
konstitusionalisme demokratis (democratic constitusionalism) di mana ketidaksepahaman
atau perbedaan pandangan dianggap sebagai “a normal condition” untuk pengembangan
hukum ketatanegaraan.45
Dari praktik pembubaran partai politik di Indonesia, sangat terlihat dominasi
eksekutif dalam prosesnya. Pembubaran partai politik hanya didasarkan atas penilaian politis
dari presiden, apakah partai politik tersebut sejalan dengan tujuan negara atau tidak.
Tentunya ini tidak sesuai dengan pembatasan kebebasan berserikat yang membutuhkan
putusan pengadilan sebagai perwujudan due process of law. Untuk menghindari praktikpraktik yang pernah terjadi, perubahan UUD 1945 memberikan kewenangan untuk
Mahkamah Konstitusi dalam pembubaran partai politik.
Selain Mahkamah Konstitusi ditempatkan sebagai Guardian of Constitution,
kewenangan tersebut tidak dapat dilepaskan dari fenomena judicialization of politics.
Fenomena judicialization of politics dalam kewenangan Mahkamah Konstitusi memutus
pembubaran partai politik memang tidak dapat dilepaskan dari tujuan dibentuknya
Mahkamah Konstitusi itu sendiri, karena memang sejak awal terlihat bahwa pertimbangan
dibentuknya MK kental dengan muatan politis. 46 Hal itu dapat kita lihat, dimana ketika
41 Mark Tushnet, Comparative Constitutional Law, dalam Mathias Reimann & Reinhard Zimmermann (ed), The
Oxford Handbook of Comparative Law, 2008, London: Oxford University Press, hlm. 123.
42 Anne Peters & Klaus Armingeon,Op. Cit, hlm. 388.
43 Ibid.
44 Dalam Indra Perwira, et. al, Op. Cit, hlm. 11.
45 Ibid.
46 Wicaksana Dramanda, Political Judicialization dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia,
http://pleads.fh.unpad.ac.id/?p=152, diunduh 15 Juni 2016.

pembahasan amandemen UUD 1945 berlangsung, dalam pembahasan mengenai MK oleh
Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR 2000 dan 2001 terdapat tiga pendapat mengenai
kedudukan MK, yaitu: Pertama, MK merupakan bagian dari MPR. Kedua, MK melekat atau
menjadi bagian dari MA. Ketiga, MK didudukan sebagai lembaga negara tersendiri.47 Usulan
agar MK menjadi bagian dari MPR tersebut didasari oleh alasan bahwa nantinya MK akan
menangani perkara-perkara yang sifatnya politis sehingga harus diletakan sebagai bagian
dari MPR, karena saat itu MPR merupakan lembaga tertinggi yang berfungsi untuk memutus
hal-hal yang bersifat mendasar seperti menetapkan dan merubah UUD 1945, serta
memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden.48
Meskipun akhirnya usulan agar MK menjadi bagian dari MPR tersebut ditolak, akan
tetapi hal itu membuktikan bahwa memang sejak awal tujuan dibentuknya MK adalah untuk
mengadili perkara-perkara yang bersifat politis. Bahkan dapat kita telusuri dari salah satu
pendapat anggota MPR ketika melakukan pembahasan Amandemen UUD 1945 tentang
pembentukan MK yaitu Soetjipto dari Fraksi Utusan Golongan yang menyatakan secara tegas
bahwa MK memang dibentuk untuk menyelesaikan masalah-masalah politik: 49
“Jadi bisa saja memang kalau rekrutmennya Mahkamah atau Hakim Konstitusi itu sembilan,
tiga oleh DPR, tiga oleh DPD, dan tiga oleh Presiden. Karena perkara-perkara nanti memang berkisar
masalah ketatanegaraan sengketa antar pemerintah daerah dengan pemerintah pusat, antar
pemerintah daerah-pemerintah daerah dan juga masalah mengenai konstitusi dan juga masalah
politik karena dari DPR...”

Salah satu alasan mengapa begitu politisnya tujuan dibentuknya MK tidak dapat
dilepaskan dari konfigurasi politik yang ada ketika dibentuknya MK. Ketika dibentuknya
Indonesia baru saja lepas dari pemerintahan yang otoriter dan memasuki era reformasi,
dimana pada saat itu banyak muncul partai-partai politik baru, dan tidak terdapat satu
kekuatan politik yang benar-benar menguasai MPR sebagai lembaga yang mengubah UUD
1945. Sebagaimana dikemukakan Tom Ginsburg pembentukan Mahkamah Konstitusi sangat
dipengaruhi oleh konfigurasi politik yang ada ketika dibentuknya, apabila semakin terbaginya
lingkungan politik dimana terdapat banyak partai yang saling bersaing untuk mendapatkan
47 Tim Penyusun, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (Buku VI Kekuasaan Kehakiman), 2010, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi RI, hlm. 443.
48 Ibid, hlm. 476.
49 Ibid, hlm. 537.

kekuasaan, akan membuat semakin kuatnya peran pengadilan yang akan dibentuk.
Sebaliknya apabila terdapat satu partai politik yang kuat dan menguasai mayoritas
lingkungan politik, maka peran pengadilan akan semakin lemah. 50 Maka dari itu dengan
terdapatnya banyak partai dan tidak terdapatnya kekuatan politik yang sangat dominan
ketika dibentuknya MK, tak heran apabila saat ini MK memiliki peran yang kuat dalam
memutus masalah-masalah politik.
Dalam konteks pembubaran partai politik, fungsi Mahkamah Konstitusi sebagai
penjaga konstitusi membuat pemerintah tidak dapat serta merta membubarkan partai
politik. Akibat hukum dari pembubaran partai politik sendiri berdampak sangat besar bagi
status hukum partai politik, bahkan status dari anggota partai politik yang dibubarkan
apabila sedang menjabat dalam cabang kekuasaan eksekutif maupun legislatif. Sehingga
putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pembubaran partai politik menjadi sangat
diperlukan untuk melindungi kebebasan berserikat dan juga melindungi kehidupan
demokrasi di Indonesia.
C. Penutup
Pembubaran partai politik memiliki dampak yang besar terhadap kebebasan
berserikat dalam kehidupan demokrasi di Indonesia. Karena dapat membatasi kebebasan
berserikat, maka pembubaran partai politik harus dilakukan sesuai dengan due process of
law, yakni melalui putusan pengadilan. Sehingga alasan-alasan yang digunakan dalam
membubarkan partai politik didasarkan pada alasan yang logis dan berdasarkan hukum.
Ditambah dengan praktik-praktik pembubaran partai politik yang pernah terjadi di
Indonesia, memperkuat pentingnya peran dari cabang kekuasaan yudikatif atau Mahkamah
Konstitusi untuk membubarkan partai politik.

DAFTAR PUSTAKA
Buku

50 Tom Ginsburg, Constitutional Courts in New Democracies: Understanding Variation in East Asia, Global Jurist
Advance, Vol. 2, Issue 1, 2002, hlm. 17.

Arif Zulkifli, PDI di Mata Golongan Menengah Indonesia: Studi Komunikasi Politik, 1996, Jakarta:
Grafiti.
Atmadji Sumarkidjo, Mendung di Atas Istana Merdeka, Menyingkap Peran Biro Khusus PKI dalam
Pemberontakan G30S, 2000, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Bibit Suprapto, Perkembangan Kabinet dan Pemerintahan di Indonesia, 1985, Jakarta: Ghalia Indonesia.

C.F. Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern, 2011, Bandung: Nusa Media.
Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan Dalam Negara Orde Baru, 2003, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
____________, Peta Politik Pemilihan Umum 1999-2004, 2004, Jakarta: Kompas Gramedia.
Deliar Noer, Partai-Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, 2005, Jakarta: Yayasan Risalah.
I Dewa Gede Palguna, Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint) Upaya Hukum terhadap
Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional Warga Negara, 2013, Jakarta: Sinar Grafika.
Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah Konstitusi,
2006, Jakarta: Konstitusi Press.
K.C. Wheare, Modern Constitution, 1975, London: Oxford University Press.
Miriam Budiardjo, Partisipasi dan Partai Politik: Sebuah Bunga Rampai, 1982, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Muchamad Ali Safa’at, Pembubaran Partai Politik: Pengaturan dan Praktik Pembubaran Partai Politik
dalam Pergulatan Republik, 2011, Jakarta: Rajawali Press.
Nur Syam, Tantangan Multikulturalisme Indonesia: Dari Radikalisme Menuju Kebangsaan, 2009,
Yogyakarta: Kanisius.
RM Maciver, The Modern State, first edition, 1955, London: Oxford University Press.
Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, 2006, Bandung: Alumni.
Tim Penyusun, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (Buku VI Kekuasaan Kehakiman), 2010, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.
Victor M.Fic, Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Studi Tentang Konspirasi, 2005, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Jurnal, Makalah, Laporan Penelitian
Anne Peters & Klaus Armingeon, Introduction-Global Constitutionalism from an Interdisciplinary
Perspective, Indian Journal of Global Legal Studies, Vol. 16, No. 2, 2009, Bloomington: Indiana
University Maurer School of Law.
Herbert Gintis and Carel van Schail, Zoon Politicon: The Evolutionary Roots of Human Sociopolitical
Systems, http://tuvalu.santafe.edu/~bowles/Gintis.pdf.

Indra Perwira, Susi Dwi Harijanti, Bilal Dewansyah, Budaya Konstitusi dalam UUD 1945 Perubahan
Dikaitkan dengan Gagasan Perubahan Kelima UUD 1945, Laporan Penelitian Fakultas Hukum
Universitas Padjadjaran, 2009, Bandung
Mark Tushnet, Comparative Constitutional Law, dalam Mathias Reimann & Reinhard Zimmermann
(ed), The Oxford Handbook of Comparative Law, 2008, London: Oxford University Press.
Moh. Saleh, Akibat Hukum Pembubaran Partai Politik, Jurnal Konstitusi, Vol. I, No. 1, 2011, Jakarta:
Sekretariat Jendral MK RI.
Richard H. Pildes, The Constitutionalization of Democratic Politics – The Supreme Court, 2003 Term,
http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=669068.
Tom Ginsburg, Constitutional Courts in New Democracies: Understanding Variation in East Asia,
Global Jurist Advance, Vol. 2, Issue 1, 2002.
Wicaksana Dramanda, Political Judicialization dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia,
http://pleads.fh.unpad.ac.id/?p=152.