Sumber Daya Alam dan Dimensi Sosial dan

KULTURAL MASYARAKAT ADAT DAYAK DI PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

Oleh :

DR. ASRANI, SE, M.Si

(asrani_mgn@yahoo.com)

(Tulisan ini adalah salah satu bagian (Bab) dari Disertasi penulis berjudul “Ekonomi Politik Sumber Daya Alam Indonesia pada Era Orde Baru. Studi

Kelangkaan Struktural dan Konflik di Provinsi Kalimantan Tengah) ”.

Tahun 2004.

SUMBER DAYA ALAM DAN DIMENSI SOSIAL DAN KULTURAL MASYARAKAT ADAT DAYAK DI PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

Oleh : Dr. Asrani, SE, M.Si

1. Borneo dan Kalimantan Tengah.

Kalimantan adalah satu dari lima pulau besar yang bernaung dibawah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun, dalam pembicaraan sehari-hari orang sering menggunakan Kalimantan secara silih berganti dengan Borneo. Frekuensi penggunaan istilah Borneo ini semakin intensif ketika media-media asing berlomba- lomba menyebarluaskan informasi tentang maraknya konflik dan kerusuhan sosial di Kalteng dan Kalbar tahun 1999, 2000 dan 2001. Menurut hasil penelitian pakar Dayakologi Kalbar, sebagian besar media dan analis asing menggunakan istilah Borneo, bukan Kalbar atau Kalteng (Bamba,2001). Penggunaan Borneo untuk menunjuk kasus yang bersifat lokal, seperti Kalimantan Barat atau Kalimantan Tengah adalah kurang proporsional dan kurang profesional, sebab Borneo mencakup wilayah yang sangat luas, selain itu kedaulatan terhadap pulau tersebut dimiliki oleh tiga negara, yaitu Malaysia, Indonesia dan Brunei yang relatif berbeda dari berbagai aspek kehidupan masyarakatnya.

Secara geografis pulau Borneo merupakan sebuah gugusan pulau yang sangat luas mencakup areal 753.644 kilometer persegi (km2), luas ini setara dengan 38,90% wilayah Indonesia. Sebagian besar wilayah Borneo ditutupi oleh hutan tropis yang mempunyai dua musim, yaitu musim hujan dan musim kemarau. Pulau

Borneo secara politis dan demografis dapat di bagi menjadi dua bagian : sepertiga masuk negara Malaysia dan Brunei, sedangkan duapertiga lainnya masuk kedaulatan pemerintah Indonesia. Pada tahun 1990 secara keseluruhan jumlah penduduk di pulau ini mencapai 12,7 juta jiwa terdiri dari 3,3 juta penduduk Malaysia bagian timur (Sabah dan Serawak), 0,3 juta penduduk Brunei, dan 9,1 juta penduduk Indonesia yang tersebar di empat propinsi : Kalimantan Barat (Kalbar), Kalimantan Timur (Kaltim), Kalimantan Selatan (Kalsel) dan Kalimantan Tengah (Potter, Brookfield dan Byron,1992:5-6). Lihat tabel 1

Table 1 : Luas, Penduduk dan Kepadatan Pulau Borneo Tahun 1990

Tingkat

Kepadatan Negara

Penduduk (jiwa/km²)

(4) Wilayah Indonesia 1. Prop. Kaltim

1.88 8,9 2. Prop. Kalbar

3.24 22,0 3. Prop. Kalteng

1.39 9,0 4. Prop. Kalsel

2.59 70,0 Wilayah Malaysia Sarawak

1.54 20,7 Wilayah Brunei Brunei

0.30 52,0 Sumber: Potter, Brookfield dan Byron,(1992:5-6)

2. Sejarah Singkat Peovinsi Kalimantan Tengah

Kalteng merupakan salah satu dari empat propinsi di pulau Borneo yang masuk wilayah kedaulatan Indonesia. Ditinjau dari sejarah berdirinya, Kalteng bukanlah propinsi yang terbentuk begitu saja atau berdiri atas prakarsa Pemerintah

Pusat, namun propinsi yang dikenal dengan sebutan “Bumi Tambun Bungai” ini terbentuk melalui perjuangan dan pengorbanan masyarakat adat Dayak sejak masa Pusat, namun propinsi yang dikenal dengan sebutan “Bumi Tambun Bungai” ini terbentuk melalui perjuangan dan pengorbanan masyarakat adat Dayak sejak masa

masyarakat tersebut terus diperjuangkan melalui berbagai saluran, seperti “Ikatan Keluarga Dayak” (IKAD) yang kemudian memprakarsai terbentuknya “Panitia Penyalur Hasrat Rakyat Kalteng ” (PPHRK) tahun 1954. Perjuangan kemudian dilanjutkan melalui lembaga “Serikat Kaharingan Dayak Indonesia” (SKDI) yang

mempelopori Kongres Rakyat Kalimantan Tengah di Banjarmasin pada tanggal 2-5 Desember 1956. Rekomendasi penting dari hasil kongres Rakyat Kalteng tersebut adalah perlu segera direalisasikan Propinsi Kalteng sebagai daerah Otonom yang terpisah dari Propinsi Kalsel. (Banjarmasin Post, 23 Mei 2003).

Perjuangan panjang masyarakat adat Dayak Kalteng yang tidak mengenal lelah itu membuahkan hasil, karena berdasakan UU Darurat Nomor 10 Tahun 1957 berlaku tanggal 23 Mei 1957 dibentuk Propinsi Kalimantan Tengah, merupakan propinsi ke-17 untuk wilayah Republik Indonesia pada waktu itu. Propinsi Kalteng ini pada awalnya beribukota Pahandut yang kemudian diganti dengan nama Palangkaraya. Penggantian nama ibukota ini berdasarkan UU No. 21 Tahun 1958 sekaligus menetapkan tiga Kabupaten yang berada di wilayah Propinsi Kalteng

(Uga,dkk,2001). Secara etimologis, “Palangka” berasal dari bahasa Dayak artinya tempat sesajen atau ancak yang biasanya dipergunakan dalam penyelenggaraan acara- acara ritual masyarakat Dayak, sedangkan “Raya” berarti besar. Secara (Uga,dkk,2001). Secara etimologis, “Palangka” berasal dari bahasa Dayak artinya tempat sesajen atau ancak yang biasanya dipergunakan dalam penyelenggaraan acara- acara ritual masyarakat Dayak, sedangkan “Raya” berarti besar. Secara

Pembangunan kota Palangkaraya sebagai ibukota Propinsi Kalteng memang dirancang secara matang sejak propinsi ini dibentuk. Tersedianya tanah yang luas makin mempermudah penataan tata ruang kota ini menjadi sebuah kota besar yang penuh dinamika. Peresmian pertama pembangunan kota ini dilakukan oleh Presiden RI Pertama Ir Soekarno pada tanggal 17 Juli 1957 (Uga,dkk,2001). Tanggal 23 Mei merupakan hari bersejarah bagi kota Palangkaraya, karena tanggal tersebut ditetapkan sebagai tanggal lahir kota ini yang bertepatan juga dengan tanggal terbentuknya Propinsi Kalteng.

Kalteng, dengan demikian merupakan propinsi yang lahir pada masa kemerdekaan sebagai hasil proses dan dinamika politik yang demokratis pada masa Orde Lama (Orla), melalui perjuangan yang gigih dari masyarakat adat Dayak untuk memperoleh kemandirian (otonom) dalam rangka membangun daerahnya sendiri untuk meningkatkan harkat dan martabat serta kesejahteraan masyarakatnya. Berangkat dari tanggal kelahirannya, maka Kalteng merupakan propinsi yang tertinggal selama 12 tahun dalam pembangunan inftrastruktur, baik ekonomi maupun komunikasi dan transportasi dibandingkan dengan propinsi lain yang telah eksis sejak Indonesia memproklamirkan kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945.

3. Geografis.

Kalteng memiliki luas 153.564 km2, luas ini sama dengan : 20,37% luas Borneo, 27,96% luas Kalimantan, dan 7,93% luas Indonesia. Kalteng merupakan propinsi terluas ketiga di Indonesia setelah Irian Jaya (Papua) dengan luas 421.981 km2 (21,78%) dan Kalimantan Timur 210.985 km2 (10,89%). Dengan wilayah yang demikian luas, sampai dengan tahun 2001 Kalteng hanya memiliki enam Daerah Tingkat II, masing-masing Kotawaringin Timur (Kotim), Kotawaringin Barat (Kobar), Kapuas, Barito Utara (Barut), Barito Selatan (Barsel), dan Kodya Palangkaraya. Kotawaringin Timur dengan luas 50.700 km2 (33,01%) merupakan daerah yang paling luas diantara kebupaten yang ada. Lihat Tabel 2

Tabel 2 : Luas Propinsi Kalimantan Tengah Menurut Kabupaten dan Kota

No

Kabupaten/Kota

Luas

Persentase

terhadap Propinsi 1 Kab. Kotawaringin Barat

(km2)

13,68 2 Kab. Kotawaringin Timur

33,01 3 Kab. Kapuas

22,66 4 Kab. Barito Selatan

8,25 5 Kab. Barito Utara

20,84 6 Kot. Palangkaraya

1,56 Kalimantan Tengah

Sumber : BPS Propinsi Kalimantan Tengah (1998)

Dari letak geografisnya, Kalteng berada pada posisi 0 45’ Lintang Utara,

3 30’ Lintang Selatan, dan 111 Bujur Timur, menempatkan propinsi ini berada pada posisi ditengah-tengah diapit oleh tiga propinsi lainnya, disebelah Utara berbatasan dengan Propinsi Kalbar dan Kaltim, disebelah Timur dengan Propinsi Kalsel dan Kaltim, disebelah Selatan dengan laut Jawa, dan disebelah Barat dengan Kalbar (Kalteng Dalam Angka,1998:3). Dengan posisi demikian, secara geografis propinsi ini 3 30’ Lintang Selatan, dan 111 Bujur Timur, menempatkan propinsi ini berada pada posisi ditengah-tengah diapit oleh tiga propinsi lainnya, disebelah Utara berbatasan dengan Propinsi Kalbar dan Kaltim, disebelah Timur dengan Propinsi Kalsel dan Kaltim, disebelah Selatan dengan laut Jawa, dan disebelah Barat dengan Kalbar (Kalteng Dalam Angka,1998:3). Dengan posisi demikian, secara geografis propinsi ini

Dari klasifikasi wilayah geografisnya, sebagian besar wilayah Kalteng terdiri dari hutan belantara. Fakta ini dapat disaksikan ketika memasuki wilayah propinsi ini, baik dengan menggunakan transportasi darat, sungai maupun udara, disepanjang perjalanan yang lebih banyak dilihat hanyalah hamparan hutan dibandingkan dengan perkampungan atau persawahan penduduk. Pemandangan ini sangat kontras bila dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya, seperti di Jawa, karena lebih banyak melihat sawah dan perkampungan penduduk daripada hutan. Data dari Dinas Kehutanan Kalteng (1998) menunjukkan bahwa luas kawasan hutan Kalteng mencakup 126.200 km2 (82,18%), sisanya terdiri dari rawa-rawa seluas 18.155 km2 (11,80%), sungai, danau dan genangan air lainnya seluas 4.463 km2 (2,97%), dan pertanahan lainnya hanya seluas 486 km2 (0,08%).

Selain dikenal dengan kawasan hutannya, wilayah Kalteng juga memiliki karakteristik lain berupa sungai. Di propinsi ini terdapat 11 daerah aliran sungai besar dan 2.070 anak sungai. Dengan jumlah itu, Kalteng layak disebut sebagai

“Propinsi Seribu Sungai”. Diantara 11 sungai besar, sungai Kumai (175 km) merupakan sungai yang terpendek, sedangkan Barito merupakan sungai terpanjang

(900 km) dan terlebar (650 m). Sungai ini bersumber dari pegunungan muller dan sachwaner dan bermuara di laut Jawa, melintasi dua propinsi dan tiga kabupaten, yaitu Barito Utara (Barut), Barito Selatan (Barsel), dan Barito Kuala. Lihat tabel 3

Tabel 3 : Sebelas Daerah Aliran Sungai Besar di Propinsi Kalimantan Tengah

Rata-Rata No

Nama Sungai

(meter) 1 Sungai Jelai

(Km)

(meter)

8 100 2 Sungai Arut

200

100

4 100 3 Sungai Lamandau

250

190

6 200 4 Sungai Kumai

300

250

6 300 5 Sungai Seruyan

175

100

5 300 6 Sungai Mentaya

350

300

6 400 7 Sungai Katingan

400

270

6 300 8 Sungai Sebangau

650

520

5 100 9 Sungai Kahayan

200

150

7 500 10 Sungai Kapuas

600

500

6 500 11 Sungai Barito

- - Sumber : Dinas DLLSDP Kalimantan Tengah (1998)

4.625

Sungai memegang peranan yang sangat penting bagi masyarakat dan perekonomian Kalteng secara keseluruhan, disamping fungsi-fungsi lain seperti menjaga keseimbangan ekosistem dan hidrologis. Bahkan sampai dengan tahun 2003, sungai masih menjadi prasarana transportasi yang utama di Kalteng. Faktor penyebabnya, bukan saja karena kondisi geografis alam yang membentuk budaya

masyarakat menggunakan sungai sebagai prasarana mobilitas mereka, tetapi juga karena terbatasnya pembangunan infrastuktur jaringan transportasi darat untuk menghubungkan kota-kota kabupaten dan kecamatan yang ada di propinsi ini. Jaringan transportasi darat di Kalteng, terutama jalan antar kabupaten baru dimulai pada pertengahan tahun 1990-an. Memang, berdasarkan data dari Dinas PU Kalteng (1998), panjang jalan darat yang dibangun di propinsi ini menunjukkan peningkatan. Tahun 1983 misalnya, panjang jalan yang dibangun 3.953 km, pada tahun 1998 meningkat menjadi 9.050 km, sehingga dalam periode 16 tahun terjadi peningkatan 5.097 km (128,94%). Namun, peningkatan itu tidak terlalu berarti kalau melihat kondisi jalan yang dibangun. Bahkan sebagian jalan yang ada di Kalteng adalah eks jalan perusahaan HPH. Data PU tahun 1998 menunjukkan bahwa dari keseluruhan panjang jalan yang ada di Kalteng hanya 2.546 km (28,12%) yang dapat digolongkan dalam keadaan baik, 2.176 km (24,04% ) dalam keadaan sedang, sisanya 4.328 km (47,82%) dalam keadaan rusak dan rusak berat. Kalau dilihat dari jenisnya, maka jalan yang diaspal hanya sepanjang 2.334 km (25,79%), sisanya terdiri dari kerikil dan tanah 6.716 km (74,18%). Artinya, panjang jalan darat yang baru dibangun dan dalam kondisi baik sekitar 50% dari panjang 11 sungai besar yang ada. Dengan perkataan lain, bahwa jalan darat belum dapat diandalkan untuk mengganti fungsi sungai sebagai prasarana transportasi utama di propinsi Kalteng. Lihat Tabel 4.

Tabel 4 : Panjang jalan darat menurut jenis dan kondisi nya Di Kalimantan Tengah Sampai dengan Tahun 1998 (dalam km)

Tingkat Pemerintah No

Kondisi Permukaan Jalan Yang berwewenang

Jenis Permukaan Jalan

Kerikil/

Rusak &

Sedang rusak berat 1 Negara

2.176 4.657 Sumber : Dinas PU Kalteng (1998), diolah

Pengalaman penulis, ketika melakukan penelitian di empat kabupaten di wilayah Kalteng memperkuat bukti di atas. Dari ratusan kilometer panjang jalan yang dilalui, mungkin hanya sepertiganya yang dapat dikatakan dalam kondisi baik, selebihnya meskipun dikatakan menggunakan aspal, tetapi kondisinya rusak parah becek dan berlobang, sehingga kalau mau ke daerah Kalteng melalui jalur darat harus siap- siap “senam jantung”. Perjalanan itu juga telah membawa korban, karena sebuah laptop penulis yang berisi catatan penelitian mengalami rusak berat. Seorang petugas Dinas PU, pernah ditanya mengenai masalah ini mengatakan bahwa untuk memperbaiki jalan-jalan yang sudah parah membutuhkan dana yang cukup besar, masalahnya dana itu sampai saat ini belum tersedia. Fakta ini sangat ironis kalau melihat hasil bumi Kalteng yang melimpah.

Tertinggalnya pembangunan infrastruktur jaringan jalan darat di Kalimantan juga terungkap dalam pertemuan Ketua-ketua Bappeda se Kalimantan di Pontianak

bulan Oktober 2002 yang dituangkan dalam “Usulan Kesepakatan Pembangunan Antar Kalimantan Tahun 2003”, yang menegaskan bahwa kendala utama yang dihadapi dalam penyelesaian pembangunan jaringan jalan “Lintas Kalimantan” bulan Oktober 2002 yang dituangkan dalam “Usulan Kesepakatan Pembangunan Antar Kalimantan Tahun 2003”, yang menegaskan bahwa kendala utama yang dihadapi dalam penyelesaian pembangunan jaringan jalan “Lintas Kalimantan”

1. Kondisi tanah pada umumnya labil sehingga rawan terhadap longsor disamping terdapat banyak rawa dan sungai berbentang lebar mengakibatkan biaya penanganan jalan dan jembatan menjadi mahal. 2. Pembangunan ruas jalan oleh pengusaha HPH dan tambang lebih diarahkan untuk mendukung keperluan pencapaian sasaran produksi, bukan diarahkan dalam rangka menunjang pembangunan Jalan Lintas Kalimantan, sehingga secara garis besar jalan- jalan yang dibangun banyak, tidak dapat dimanfaatkan untuk kepentingan Jalan Lintas Kalimantan. 3. Jalan HPH yang termasuk didalam Jalan Lintas Kalimantan Poros Tengah dan Poros Selatan belum seluruhnya diserahkan kepada Pemerintah Daerah, sehingga belum dapat diprogramkan untuk ditangani. 4. Sebagian kontraktor yang melaksanakan penanganan jalan masih belum mempunyai tenaga ahli, peralatan serta kemampuan manajerial yang memadai sehingga mempengaruhi kualitas pekerjaan. 5. Struktur konstruksi jalan Lintas Kalimantan pada saat ini sebagian masih berupa jalan tanah (terutama di Propinsi Kalimantan Tengah ) dan sangat kondisional terhadap cuaca, dimana pada musim hujan, permukaan jalan mengalami rusak berat sehingga lalu lintas terganggu. 6. Apabila dibandingkan dengan pulau-pulau besar lainnya seperti Sumatra dan Jawa maka dapat disimpulkan bahwa kondisi Pulau Kalimantan Sangat Jauh tertinggal khususnya dibidang prasarana jalan. Di Pulau Jawa misalnya jalan Pantura, Selatan dan Tengah telah berfungsi dengan baik. Demikian pula halnya dengan Pulau Sumatra yang telah mempunyai jalur lintas barat, timur dan tengah. Sedangkan kondisi jalan Lintas Kalimantan satupun belum ada yang tuntas.

Minim dan lambannya proses pembangunan infrastruktur di Kalteng bukan hanya dibidang prasarana dan sarana jaringan darat, tetapi juga meliputi prasarana dan sarana pelabuhan laut. Faktor ini dapat dianggap sebagai penghambat upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat Kalteng. Fakta-fakta ini terungkap dalam

“Rekomendasi Hasil Kongres Rakyat Kalimantan Tengah”, tanggal 07 Juni 2001 di Palangkaraya. Hasil keputusan Sub-bidang sarana/prasarana dan kelembagaan,

merekomendasikan kepada pemerintah Pusat dan Daerah, hal-hal berikut ini :

1. Untuk meningkatkan aksesibilitas perekonomian Kalteng, Pemerintah perlu membangun pelabuhan Kumai, Ujung Pandaran, Sebangau, Bahaur / Pulang Pisau dan Kuala Kapuas. 2. Untuk menciptkan keterkaitan ekonomi dan perdagangan, Pemerintah perlu membangun jalan darat anta Kabupaten, antar Kecamatan dan antar desa terutama daerah-daerah pedalaman. 3. Pemerintah agar mendirikan lembaga-lembaga keuangan (Bank dan non-Bank) sampai ke tingkat pedalaman/pedesaan yang potensial berkembang. 4. Pemerintah perlu agar memfasilitasi berdirinya koperasi dan kelompok usaha bersama lainnya.

Kondisi prasarana jaringan perhubungan darat maupun laut memang sangat tampak sebagai suatu problema besar yang dihadapi Propinsi Kalteng. Prasarana sungai yang masih menjadi andalan utama sampai sekarang ini menyebabkan lambannya mobilitas dan aksesibilitas penduduk, hasil-hasil sumber daya alam dan barang-barang kebutuhan pokok. Walaupun posisi wilayah Kalteng berada di tengah-tengah daratan Kalimantan, bahkan di tengah-tengah wilayah nusantara, tetapi belum mampu menjadi wilayah orbitasi transportasi nasional ataupun regional. Faktor jaringan transportasi semacam itu pula menyebabkan biaya tinggi (high cost), baik dalam proses kegiatan perekonomian masyarakat maupun dalam proses kegiatan penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat (public services). Karena jarak maka waktu yang digunakan untuk mengkomunikasikan segala kegiatan pemerintahan dan pembangunan lebih lama. Misalnya, untuk hadir di ibukota propinsi atau ibu kota negara, yang seharusnya hanya memerlukan

hitungan “jam”, di Kalteng harus memerlukan waktu dalam hitungan “hari” ditambah dengan hitungan biaya yang harus dikeluarkan. Lamanya waktu

digunakan itu menyebabkan tertundanya pelayanan yang lain. Nilai waktu ini yang kadang-kadang tidak disadari sebagai menyebab biaya dan anggaran yang diperlukan menjadi lebih tinggi. Karena banyaknya waktu yang digunakan akan digunakan itu menyebabkan tertundanya pelayanan yang lain. Nilai waktu ini yang kadang-kadang tidak disadari sebagai menyebab biaya dan anggaran yang diperlukan menjadi lebih tinggi. Karena banyaknya waktu yang digunakan akan

4. Demografis.

Penduduk Kalteng, berdasarkan data dari BPS sampai dengan tahun 2001 sebanyak 1.801.707 jiwa, terdiri dari laki-laki 925.276 jiwa (51,35%), perempuan 876.432 (48,65%) jiwa dengan jumlah rumah tangga sebanyak 460.365. Bila dibandingkan dengan tahun 1991 dengan jumlah penduduk 1.442.143 jiwa, maka selama periode 10 tahun penduduk Kalteng bertambah sebanyak 359.574 jiwa atau 19,93% atau mengalami pertumbuhan rata-rata 1,99% per tahun. Kalau dibandingkan jumlah penduduk pada tahun 1981 dengan jumlah 1.004.219 jiwa, maka selama 20 tahun penduduk Kalteng bertambah sebanyak 797.488 jiwa atau terjadi pertumbuhan sebesar 44,26% atau rata-rata 2,21% per tahun. Angka pertumbuhan tersebut lebih tinggi dari pertumbuhan penduduk rata-rata nasional pada periode 1980-1990 sebesar 1,98% setiap tahun (Singarimbun,1996:3). Seiring dengan itu, terjadi peningkatan kepadatan penduduk hampir dua kali lipat dari 6 jiwa/km2 tahun 1981 menjadi 11 jiwa/km2 pada tahun 2001. Tingkat kepadatan ini menduduki peringkat kedua terendah di Indonesia setelah Irian Jaya dengan rata- rata 5 jiwa/km2.

Tingginya tingkat pertumbuhan penduduk di Kalteng selama 20 tahun terakhir bukan disebabkan program Keluarga Berencana (KB) di propinsi ini gagal. Berdasarkan data dari BKKBN Kalteng (1998), propinsi ini merupakan daerah yang program KB-nya sangat berhasil. Hal ini dapat dilihat dari hasil pencapain target KB Tingginya tingkat pertumbuhan penduduk di Kalteng selama 20 tahun terakhir bukan disebabkan program Keluarga Berencana (KB) di propinsi ini gagal. Berdasarkan data dari BKKBN Kalteng (1998), propinsi ini merupakan daerah yang program KB-nya sangat berhasil. Hal ini dapat dilihat dari hasil pencapain target KB

Tabel 5. Luas Wilayah, Jumlah Penduduk dan Tingkat Kepadatan Propinsi Kalimantan Tengah menurut Kabupaten/Kota

Luas

Penduduk

Kabupaten/Kota

Wilayah

Jumlah Kepadatan 1. Kotawaringin Barat

248.324 11,8 2. Kotawaringin Timur

512.867 14,7 4. Barito Selatan

184.810 14,5 5. Barito Utara

1.004.219 6,5 Sumber : Biro Pusat Statistik Kalteng Tahun 1986, 1992, dan 2001

Tabel 5 menunjukkan bahwa konsentrasi penduduk di Kalteng tidak merata. Kota Palangkaraya merupakan daerah yang paling padat. Ini logis karena disamping memang luas wilayahnya hanya 1,56% dari luas propinsi, Palangkaraya juga sebagai ibukota propinsi, sebagai pusat pemerintahan dan pusat pendidikan. Namun, konsentrasi penduduk di Kabupaten Kapuas dan Kotawaringin Timur menandakan adanya ketimpangan yang cukup tinggi dibandingkan dengan tiga daerah kabupaten lainnya. Ketimpangan tersebut semakin kentara bila dibandingkan dengan daerah Barito Utara, dengan luasnya 32.000 km2, hanya berpenduduk 193.107 jiwa atau Tabel 5 menunjukkan bahwa konsentrasi penduduk di Kalteng tidak merata. Kota Palangkaraya merupakan daerah yang paling padat. Ini logis karena disamping memang luas wilayahnya hanya 1,56% dari luas propinsi, Palangkaraya juga sebagai ibukota propinsi, sebagai pusat pemerintahan dan pusat pendidikan. Namun, konsentrasi penduduk di Kabupaten Kapuas dan Kotawaringin Timur menandakan adanya ketimpangan yang cukup tinggi dibandingkan dengan tiga daerah kabupaten lainnya. Ketimpangan tersebut semakin kentara bila dibandingkan dengan daerah Barito Utara, dengan luasnya 32.000 km2, hanya berpenduduk 193.107 jiwa atau

Kaitannya dengan problem ketimpangan penduduk adalah struktur pemukiman. Maulani (2000:16) menyebutnya sebagai “problem hirarkhis”, karena baik desa maupun kota di Kalteng tidak membentuk adanya jaringan “simbiosis

ekonomis”, baik antar desa-desa, desa-kota maupun kota-kota. Ini disebabkan karena kota kecamatan atau kota kabupaten letaknya saling terpisah satu sama lain dari fungsinya sebagai penyangga ataupun “simpul distribusi”. Kondisi ini semakin di perparah dengan terbatasnya pembangunan infrasruktur jaringan jalan darat,

sehingga mempersulit berkembangnya daerah ini mengikuti daerah-daerah lainnya.

5. Perekonomian Rakyat

Masyarakat adat yang hidup di pulau Kalimantan pada umumnya dan di Kalteng pada khususnya, sumber mata pencaharian utamanya dari sektor pertanian. Berdasarkan pengelompokkan Biro Pusat Statistik (BPS), sektor pertanian terdiri dari beberapa sub-sektor yaitu pertanian, kehutanan, perburuan dan perikanan. Salah satu sub-sektor yang terpisah yang juga merupakan sumber mata pencaharian masyarakat Kalteng adalah perkebunan rakyat. Menurut Mubyarto (1992:8), perekonomian masyarakat Kalteng mempunyai ciri- ciri yang sangat “khas” yang patut dan perlu dianalisis secara “khas” pula. Ciri khas itu adalah : (1) mayoritas Masyarakat adat yang hidup di pulau Kalimantan pada umumnya dan di Kalteng pada khususnya, sumber mata pencaharian utamanya dari sektor pertanian. Berdasarkan pengelompokkan Biro Pusat Statistik (BPS), sektor pertanian terdiri dari beberapa sub-sektor yaitu pertanian, kehutanan, perburuan dan perikanan. Salah satu sub-sektor yang terpisah yang juga merupakan sumber mata pencaharian masyarakat Kalteng adalah perkebunan rakyat. Menurut Mubyarto (1992:8), perekonomian masyarakat Kalteng mempunyai ciri- ciri yang sangat “khas” yang patut dan perlu dianalisis secara “khas” pula. Ciri khas itu adalah : (1) mayoritas

luar Kalimantan untuk mengeksploitasi sumber-sumber alam pertambangan, perkebunan dan kehutanan, telah menghasilkan dan mengembangkan “cara-cara

bertahan” penduduk asli yang mungkin juga khas yang kiranya belum banyak diketahui. Selanjutnya Mubyarto menambahkan bahwa Kalimantan Tengah, yang mempunyai penduduk suku Dayak terbesar di Kalimantan, memang sampai sekarang masih “terbelenggu” oleh keterpencilan dan keterisolasian. Kemudian, dalam buku hasil kajiannya mengenai kehidupan sosial ekonomi masyarakat Dayak

di Kaltim tahun 1991, Mubyarto (1991:70-71) mengemukakan : (1) sistem pertanian berladang harus diakui sebagai bagian dari kebudayaan masyarakat peladang, seperti halnya sistem pertanian padi sawah adalah bagian dari kebudayaan masyarakat Jawa, dengan demikian pertanian berladang harus diberi hak hidup dan bukan untuk digantikan dengan sistem pertanian yang berasal dari kebudayaan lain, (2) dalam sistem pertanian berladang, kita dapat menemukan berbagai bentuk cara bertani alternatif yang dapat kita kembangkan sebagai pendekatan alternatif bagi pengembangan masyarakat peladang. Di Kalimantan para peladang telah lama mengembangkan suatu sistem agro forestry yaitu siklus bergantian dengan cara menanami lahan bekas ladang dengan rotan, karet atau tanaman keras lainnya.

Apa yang dikemukakan oleh Mubyarto tentang masyarakat Dayak Kalteng khususnya dan Kalimantan pada umumnya, memang tidak berlebihan atau tidak dilebih-lebihkan, sebab sebagian besar penduduk Kalteng bekerja pada sektor pertanian, termasuk kehutanan, perburuan, dan perikanan. Data BPS Kalteng (1998) menunjukkan bahwa dari 746.102 penduduk yang berusia 10 tahun keatas yang bekerja pada lapangan usaha utama, 408.231 (54,71%) bekerja di sektor pertanian, selebihnya tersebar pada beberapa lapangan usaha, seperti pertambangan (3,57%), industri pengolahan (5,96%), listrik (0,18%), bangunan (3,28%), perdagangan (14,50%), angkutan (4,62%), keuangan (0,13%) dan jasa kemasyarakatan (12,91%). Lihat Tabel 6.

Tabel 6. Penduduk Berumur 10 Tahun Ke atas yang bekerja menurut Lapangan Usaha Utama Kalimantan Tengah Tahun 1998

No

% 1 Pertanian

Lapangan Usaha Utama

Jumlah

54,71 2 Pertambangan & Penggalian

3,57 3 Industri Pengolahan

5,96 4 Listrik, Gas dan Air

0,13 9 Jasa kemasyarakatan

100,00 Sumber : BPS Kalteng (1998)

Sistem pertanian khas yang dimaksud adalah “sistem perladangan”, karena di Kalteng hanya terdapat sebagian kecil wilayah yang mempunyai sistem pertanian sawah yaitu wilayah di Kabupaten Kapuas dan Kotawaringin Timur. Namun secara Sistem pertanian khas yang dimaksud adalah “sistem perladangan”, karena di Kalteng hanya terdapat sebagian kecil wilayah yang mempunyai sistem pertanian sawah yaitu wilayah di Kabupaten Kapuas dan Kotawaringin Timur. Namun secara

Tabel 7. Luas dan Hasil Panen Padi sawah dan Padi Ladang Propinsi Kalimantan Tengah

Padi Ladang No

Padi Sawah

Kabupaten/Kota

Luas Panen

Produksi

Luas Panen

Produksi

(ton) 1 Ktw. Barat

23.488 2 Ktw. Timur

17.491 4 Barito Selatan

9.183 5 Barito Utara

80.483 Sumber : Badan Pusat Statistik Kalteng (1998)

Tabel 7 memperlihatkan dari seluruh kabupaten yang ada di Kalteng, hanya wilayah Palangkaraya yang relatif sedikit memiliki lahan perladangan, sementara daerah-daerah lainnya rata-rata masyarakatnya masih menggunakan sistem pertanian ladang yang ditunjukkan dengan luas panen dan hasil produksinya. Memang, kalau dihitung rata-rata secara keseluruhan untuk musim panen tahun 1998, hasil padi sawah menghasilkan 2,2 ton/ha, sedangkan hasil padi ladang hanya menghasilkan 1,5 ton/ha. Untuk kasus Barito Utara jumlah perbandingan itu semakin menurun lagi, untuk hasil panen padi sawah 2,0 ton/ha, sedangkan untuk padi ladang hanya 1,2 ton/ha. Artinya, sistem pertanian ladang memang tidak produktif kalau dilihat dari hasil panennya, sementara luas lahan yang digunakan hampir dua kali lipat dibandingkan dengan sistem pertanian sawah. Namun anehnya, masyarakat Kalteng sangat sulit merubah sistem pertanian ladang ini dari kehidupan mereka. Faktor penyebabnya tidak lain adalah karena sistem pertanian Tabel 7 memperlihatkan dari seluruh kabupaten yang ada di Kalteng, hanya wilayah Palangkaraya yang relatif sedikit memiliki lahan perladangan, sementara daerah-daerah lainnya rata-rata masyarakatnya masih menggunakan sistem pertanian ladang yang ditunjukkan dengan luas panen dan hasil produksinya. Memang, kalau dihitung rata-rata secara keseluruhan untuk musim panen tahun 1998, hasil padi sawah menghasilkan 2,2 ton/ha, sedangkan hasil padi ladang hanya menghasilkan 1,5 ton/ha. Untuk kasus Barito Utara jumlah perbandingan itu semakin menurun lagi, untuk hasil panen padi sawah 2,0 ton/ha, sedangkan untuk padi ladang hanya 1,2 ton/ha. Artinya, sistem pertanian ladang memang tidak produktif kalau dilihat dari hasil panennya, sementara luas lahan yang digunakan hampir dua kali lipat dibandingkan dengan sistem pertanian sawah. Namun anehnya, masyarakat Kalteng sangat sulit merubah sistem pertanian ladang ini dari kehidupan mereka. Faktor penyebabnya tidak lain adalah karena sistem pertanian

Kehadiran perusahaan-perusahaan kehutanan (HPH, HTI dan Perkebunan) di tengah-tengah masyarakat peladang, menyebabkan terjadinya perubahan dalam perilaku para peladang. Perubahan tersebut dapat dilihat dari reaksi masyarakat adat menghadapi invasi para kapitalis ke jantung pertahanan mereka. Dalam studinya mengenai petani peladang di Sumatera dan Kalimantan Soetrisno (1999) menyimpulkan ada tiga jenis reaksi yang dilakukan oleh para peladang dalam menghadapi kenyataan tersebut : (1) mereka menyingkir dari hutan yang telah dikuasai oleh perusahaan HPH dan mencari hutan yang masih bebas, walaupun ini berarti mereka harus masuk lebih jauh ke kawasan hutan belantara. Jenis reaksi ini dilakukan oleh suku Kubu yang tinggal di kawasan pedalaman/hutan kabupaten Musirawas; (2) tetap tinggal di kawasan hutan yang telah dikuasai oleh perusahaan HPH dan menyesuaikan budaya pertanian mereka dengan situasi baru. Para peladang suku Dayak di Kaltim umpamanya mempersingkat waktu bero usaha peladangan mereka sebagai akibat kesulitan mereka untuk membuka lahan bekas

ladang mereka yang telah dikuasai oleh perusahaan HPH, dan (3) para peladang meninggalkan desa mereka untuk mencari pekerjaan di negara tetangga atau pergi ke kota. Hal ini terjadi di kalangan suku Dayak di Kaltim yang tinggal di desa-desa perbatasan dengan Serawak. Para peladang di desa-desa perbatasan itu menyeberang ke Serawak untuk bekerja sebagai buruh perkebunan di Serawak. Namun lanjut Soetrisno (1999) reaksi apapun yang dipilih oleh para peladang terhadap keberadaan industri kehutanan ditengah-tengah kehidupan mereka merupakan self defeating dalam pengertian bahwa kesejahteraan masyarakat tidak pernah terangkat karena reaksi yang mereka pilih. Jenis reaksi yang tidak terdeteksi dalam penelitian Soetrisno di atas adalah reaksi masyarakat peladang yang tetap mempertahankan sistem perladangan mereka, tetapi melakukan perlawanan secara tersembunyi maupun terbuka terhadap perusahaan yang dianggap telah merampas dan menyingkirkan hak-hak mereka terhadap sumber daya hutan yang telah diklaim milik komunal (hutan adat). Masalah ini akan dikaji lebih mendalam dalam uraian- uraian selanjutnya.

6. Sumber Daya Alam (SDA)

6.1. Sumber Daya Alam Kehutanan

Telah disinggung pada pembahasan terdahulu bahwa wilayah Kalteng memang identik dengan wilayah hutan dan sungai. Berdasarkan hasil inventarisasi Penatagunaan Kawasan Hutan melalui SK Gubernur KDH Kalteng Nomor : 008/054/IV/BAPP/1999 tanggal 16 Maret 1999 sebagai tindaklanjut dari UU Nomor

24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, maka kawasan hutan di wilayah Propinsi Kalteng dibagi seperti dimuat dalam Tabel 8 dibawah ini.

Tabel 8. Komposisi dan Luas Kawasan Hutan Propinsi Kalimantan Tengah

No

Luas (Ha) (%) (1)

Jenis Kawasan

(4) A Kawasan Lindung

1. Hutan Lindung (HL) 1.029.527,32 6,53 2. Cagar Alam (CA)

218.534,57 1,39 3. Taman Nasional (TN)

409.861,86 2,60 4. Cagar Budaya (CB)

678,12 0,00 5. Taman Wisata (TW)

17.182,96 0,11 6. Danau (DAN)

10.789,96 0,07 7. Perlindungan Pelestarian Hutan

606,82 0,00 8. Suaka Margasatwa (SM)

B Kawasan Budidaya 14.038.279,59 89,08

1. Hutan Produksi Terbatas (HPT) 4.056.911,60 25,74 2. Hutan Produksi Tetap (PT)

4.461.322,88 28,31 3. Kawasan Pengembangan Produksi

3.114.980,51 19,77 4. Kawasan Pemukiman

1.892.226,89 12,01 5. Hutan Tanaman Industri (HTI)

156.591,26 0,99 6. Transmigrasi (T1)

182.829,00 1,16 7. Rencana Areal Transmigrasi (T2)

133.140,13 0,84 8. Hutan Pendidikan & Penelitian

5.205,61 0,03 9. Kawasan Khusus

Jumlah 15.759.594,45 100,00

Sumber : Kanwil Kehutanan dan Perkebunan Kalteng (1999:40).

Yang sangat menonjol dari pengelompokan pada Tabel 8 di atas adalah kawasan-kawasan hutan produksi yang dipergunakan untuk eksploitasi, baik untuk perusahaan HPH, HTI, untuk kawasan pengembangan areal transmigrasi dan kawasan hutan lindung. Pertanyaannya kemudian, dimana tempat masyarakat adat Dayak ?. Tabel itu salah satu pembuktian bahwa masyarakat adat yang berprofesi sebagai peladang dalam skema peraturan dan kebijakan pembangunan yang diprakarsai oleh pemerintah pusat dengan “operator” pemerintah daerah dalam kenyataannya memang tidak diakui, baik eksistensinya maupun hak-haknya dalam mengakses sumber daya hutan. Dengan perkataan lain, bahwa sistem perladangan yang mereka laksanakan selama ini pada dasarnya dapat dianggap illegal secara hukum. Dari perspektif ini, maka sangat logis kalau pemerintah menjastifikasi

“komunitas peladang” sebagai masyarakat “perambah hutan” atau “pencuri kayu”. Intinya, bahwa sumber daya alam hutan di Kalteng yang melimpah itu bukan diperuntukan atau dipergunakan untuk masyarakat adat Dayak yang tinggal

berabad-abad disana, melainkan diperuntukan bagi para investor atau bagi para transmigran yang didatangkan dari Jawa dan Madura. Dalam konteks ini pula, sangat logis apabila ada sebagian masyarakat adat Dayak yang mengeluarkan

kekecewaan hatinya dengan menyatakan bahwa “binatang saja dipelihara, tetapi orang Dayak tidak” (Djuweng,1999).

5.2. Sumber Daya Alam Pertambangan

Kalteng, selain memiliki potensi sumber daya alam hutan , juga menyimpan deposit sumber daya alam tambang atau bahan galian yang cukup besar yang mempunyai nilai ekonomis yang sangat tinggi. Jenis tambang ini oleh para ahli dikelompokan sebagai sumber daya yang tidak dapat diperbaharui (non-renewable resources). Jenis bahan tambang yang terdapat di bumi Kalteng meliputi : gas bumi, batu bara, emas, intan, pasir kuarsa, kristal kuarsa, besi, tembaga, timah hitam, mika, air raksa, antimonit, kaolin, bentonit, pospat dan sebagainya. Berbagai jenis tambang tersebut tersebar hampir seluruh wilayah Kalteng, sebagian kecil diantaranya, terutama tambang emas dan intan telah diusahakan secara tradisional oleh masyarakat adat yang berada di sekitar wilayah tersebut atau para pendatang dari luar yang mencoba mengadu nasib di wilayah ini. Pada umumnya usaha ini dilakukan oleh masyarakat sebagai usaha sampingan untuk mencari pemasukan uang tunai, sambil menunggu musim panen atau menunggu dimulainya pelaksanaan pembukaan lahan perladangan. Bagi masyarakat adat yang tinggal di sekitar wilayah tambang menganggap bahwa kawasan pertambangan dianggap sebagai milik komunal atau milik adat yang pemanfaatannya dikelola secara bersama-sama .

Tabel 9 : Daftar Jenis Bahan Galian, Lokasi dan Deposit di Propinsi Kalimantan Tengah No

Jumlah Cadangan 1 Gas Bumi

Jenis Tambang

Lokasi (Kabupaten)

Tebal endapan : 1,2 - 2 meter 2 Batu Bara

Kab. Barito Utara

1). Kab. Barito Utara

Tebal endapatan : 1,0 – 11 meter

2). Kab. Kapuas

Tebal endapan 1, 0 meter

3). Kotawaringin Timur

Tebal endapan 1,0 meter

Tebal endapan 0,5 meter 3 Air Raksa

4) Kotawaringin Barat

Kotawaringin Timur

4 Antimonit

Barito Utara

5 Besi

1). Kotawaringin Barat

2). Kotawaringin Timur 3). Barito Selatan

6 Emas

1). Kapuas

19 juta (kadar 5-20 gram/ton

2). Barito Utara

3 juta ton (6 gram/ton)

3). Barito Selatan 4). Kotawaringin Timur

3,8 juta m3 (250 mg/m3)

1,7 juta ton 7 Intan

5). Kotawaringin Barat

1). Barito Utara 2). Kapuas

8 Kristal Kuarsa

1). Kapuas 2). Kotawaringin Timur 3). Kotawaringin Barat

18.755.640 9 Tembaga

Kotawaringin Timur

10 Timah Hitam

1). Kapuas

2) Kotawaringin Timur

11 Batu Kapur

1). Barito Utara

52.000.000 ton

2). Barito Selatan 3). Kapuas

12 Batu Tulis

Barito Utara

13 Batu Belah

1). Palangkaraya 2). Kotawaringin Timur 3). Kotawaringin Barat

14 Bentonit

Barito Utara

15 Kaolin

1). Palangkaraya 2). Kotawaringin Timur 3). Kotawaringin Barat 4). Barito Utara 5). Barito Selatan

16 Mika

1). Kapuas 2). Barito Utara

17 Pasir Kuarsa

1). Palangkaraya 2). Barito Utara

Sumber : Kanwil Dep. Pertambangan Kalteng (1992)

6.3. Keanekaragaman Sumber Daya Alam Hayati (Bioderversity)

Dalam kawasan hutan tropis Kalteng yang luas, terdapat juga berbagai jenis sumber daya hayati, baik flora maupun fauna. Para ahli biasanya membagi kenekaragaman hayati ini menjadi dua kelompok, yaitu kelompok makro dan kelompok mikro. Keanekaragaman hayati makro adalah jenis dan jumlah flora dan fauna yang hidup di atas permukaan bumi. Sedangkan keanekaragaman hayati mikro adalah komposisi jenis dan jumlah flora dan fauna pada tingkat permudaan (Tiang, Pancang dan Semai) dan pohon disamping jenis-jenis fauna yang ada. Berdasarkan hasil studi yang bersifat parsial (sebagian wilayah) ditemukan bahwa di wilayah Kalteng memang menyimpan keanekaragaman sumber daya hayati terbesar setelah Irian Jaya. Selain itu, di wilayah ini juga terdapat ekosistem air hitam yang tidak ditemukan di tempat lain. Ekosistem air hitam dicirikan oleh kondisi air yang berwarna coklat kehitaman jernih merupakan suatu ekosistem yang khas ditunjukkan oleh keanekaragaman jenis flora dan fauna yang ada. Beberapa flora yang dilindungi terdapat pada ekosistem air hitam adalah Gembor (Alseodaphne umbeliflora), Jelutung (Dyera costulata), Kapur naga (Callophyllum soulatri), Kempas (Koompassia malacensis), Ketiau (Ganua motleyana), Mentibu (Dactyloclades stenostachys), Nyatoh (Palaquium scholaris), Rambutan hutan (Nephelium sp.) dan Ramin (Gonystylus bancanus). Selain itu ditemukan juga beberapa satwa yang dilindungi seperti Orang hutan (Pongo pygmaeus), Bekantan (Nasalis larvatus), Owa (Hylobtes gilis), Lihat Tabel 10

Tabel 10. Keanekaragaman Sumber Daya Hayati (Biodiversity) Kalteng

No

Jumlah/Hektar Jenis tumbuhan tingkat pohon

Uraian

82 1 Jenis rumput-rumputan dan perdu

17 Jenis fungi

Kerapatan rata-rata :

- Pohon 371,74 ph/ha 2 - Tiang

984,00 tg/ha - Pancang

3.868,89 pc/ha - Semai

27.680,56 Sm/ha - Jenis pohon dilindungi :

Gembor (Alseodaphne umbeliflora), Jelutung (Dyera costulata), Kapur naga (Callophyllum soulatri), Kempas 3 (Koompassia malacensis), Ketiau (Ganua motleyana),

(Palaquium scholaris), Rambutan hutan (Nephelium sp.) dan Ramin (Gonystylus bancanus).

Jenis Hewan : 1). Jenis burung:

4 Burung Hantu, Bubut, Tinjau, Curiak, Antang (elang), Pempuluk, Punai, Sebaruk, Bangau, sejenis 17

Bangau,Walet, Serindit, Putar, Tekukur, Beo, pelatuk dan Tinggang

2). Jenis ikan :

Lais, Baung, Ruan, Seluang, Lawang, Toman, Junuk, Papuntin, Lele, Bidawang,Sepat, Kaloi, Kapar, Papuyuk, 16 Kentet, Biawan dan Tapah

3). Jenis satwa lainnya :

Kera ekor panjang, Kera ekor pendek berwarna kemerah-merahan, Bekantan, Beruk, Siamang, Orang Utan, Biawak, Bidaung (sejenis Biawak), Buaya, Ular

15 Sawah, Ular Tedung, Babi hutan, Beruang madu, Macan

pohon dan Babi Hutan. Sumber : Walhi Kalteng (2000)

7. Dimensi Sosial dan Kultural Masyarakat Adat Dayak

7.1. Dayak dan Simbol Etnisitas

"Dayak" atau Daya’ adalah sebutan kolektif terhadap sekitar 405 kelompok etno-linguistik yang mendiami pulau Kalimantan. Penamaan Dayak untuk suku asli Kalimantan berdasarkan beberapa kesamaan seperti hukum adat, ritual kematian, bahasa dan letak geografis kawasan adat mereka. Selain itu, mereka disebut Dayak karena memiliki persamaan-persamaan bentuk fisik dan unsur-unsur budaya seperti rumah panjang, persamaan-persamaan linguistik, tradisi lisan, adat istiadat, hukum adat, struktur sosial, bentuk senjata, dan pandangan mengenai jagat raya/alam "Dayak" atau Daya’ adalah sebutan kolektif terhadap sekitar 405 kelompok etno-linguistik yang mendiami pulau Kalimantan. Penamaan Dayak untuk suku asli Kalimantan berdasarkan beberapa kesamaan seperti hukum adat, ritual kematian, bahasa dan letak geografis kawasan adat mereka. Selain itu, mereka disebut Dayak karena memiliki persamaan-persamaan bentuk fisik dan unsur-unsur budaya seperti rumah panjang, persamaan-persamaan linguistik, tradisi lisan, adat istiadat, hukum adat, struktur sosial, bentuk senjata, dan pandangan mengenai jagat raya/alam

Tabel 11. Pengelompokan Suku Dayak Kalimantan

No Peneliti

Sub-Kelompok Etnik Bahasa HJ. Mallinckrodt

Dasar Pengelompokan

Kelompok Etnik

1) Kenya-Kayan-Bahau

2) Ot Danum

(Het Adatrecht van

Hukum Adat

4) Murut 5) Klemantan 6) Punan 1) Kenya-Kayan-Bahau

Tahun 1928

(1) Ot Danum Ngaju

Maanyan-Lawangan W. Stohr

2) Ot Danum

2 (Das Totenritual

3) Iban

Dusun Murut Kelabit Tahun 1959

Kesamaan

der Dajak

Ritus Kematian

4) Murut

5) Klemantan

(1) Klemantan Dayak Darat

6) Punan

(1) Barito-Mahakam Group Tunjung

1) Mayor Sub-Group

(2) Barito Barat

Siang

(3) Barito Timur

Dusun kenyah (1) Group Barito Barat laut

Dohoi Murung (2) Group Barito Barat Daya 3 A.D Hudson

Ba’amang

Kesamaan

Bahasa

(3) Barito Timur Laut Taboyan

2) Minor Sub-Group

(4) Barito Timur Pusat Dusun Deyah (5) Barito Tenggara

Dusun Malang Dusun Witu Paku Maanyan Samihin

Sumber : Ukur (1992:31-33), diolah

Biro Pusat Statistik (BPS) sampai tahun 2000 memang tidak mencatat identitas etnis dalam sistem kependudukan, sehingga agak sulit menghitung secara pasti berapa jumlah penduduk dari etnis Dayak dan proporsinya diantara penduduk yang Non-Dayak. Para ahli memperkirakan jumlah penduduk dari etnis Dayak Kalteng meliputi duapertiga atau 1,3 juta penduduk Kalteng. Proporsi ini juga berlaku di propinsi Kaltim dan Kalbar, sedangkan di Kalsel mereka telah menjadi minoritas kecil. Orang Dayak juga merupakan bagian yang cukup besar di Sabah dan Serawak Malaysia. Tidak seperti di Kalbar dimana orang Dayak dibedakan dengan

bangsa “Melayu” lainnya karena beragama Islam, di Kalteng sedikitnya separuh bangsa “Melayu” lainnya karena beragama Islam, di Kalteng sedikitnya separuh

asing mendefinisikan Dayak sebagai “Non- Moslem Indigenous Peoples of Borneo” (Masyarakat Adat Borneo yang bukan Islam). Pendekatan keagamaan seperti itu berasal dari tradisi bahwa ketika orang Dayak memeluk agama Islam, mereka tidak

lagi mengidentifikasikan dirinya sebagai Dayak, tetapi Melayu. Dalam dekade 80-an terjadi semacam arus balik, bahwa identitas suku tak dapat dihapuskan oleh agama. Maka orang-orang Dayak yang Islam tadi kembali menyebut diri mereka sebagai Dayak lagi (Djuweng ,1998).

7.2. Budaya Rumah Panjang (betang, lamin, lewu hante)

Kebudayaan merupakan hasil budi daya manusia yang mengandung nilai-nilai yang positif dan hidup di dalam masyarakatnya. Nilai-nilai inilah yang ikut menentukan pandangan hidup (lebensanchauung) dan pandangan tentang dunia (weltanschauung). Oleh sebab itu, kebudayaan dialami sebagai kekuatan integratif dan memberikan jatidiri bagi pendukungnya (Ukur,1992:39). Demikian pula dengan masyarakat adat Dayak yang hidup di wilayah Kalimantan. Mereka telah berabad- abad mengembangkan budaya mereka yang khas dan menjalin hubungan yang harmonis dengan alam sekelilingnya.

Salah satu ciri khas dalam kebudayaan masyarakat adat Dayak adalah “Rumah Panjang”. Dalam bahasa Dayak, rumah panjang disebut lamin, betang, balai, lewu hante dan sebagainya. Ciri-ciri rumah panjang adalah dibangun diatas

tiang-tiang yang cukup tinggi, didalamnya selalu terdapat ruang yang luas yang tiang-tiang yang cukup tinggi, didalamnya selalu terdapat ruang yang luas yang

1. Tempat perlindungan dari segala ancaman bahaya, baik yang datang dari binatang buas maupun musuh-musuh lainnya ; 2. Pusat seluruh kehidupan suku, karena disitulah semua upacara, baik menyangkut kehidupan fisik maupun rohani diselenggarakan, dari situ mereka berangkat mencari nafkah dan kesitu mereka pulang membawa rezeki ;

3. Lambang kehidupan komunal yang harmonis, dirumah panjang tidak ada yang

kekurangan dan tidak ada yang berlebihan, keseluruhan penghuni bertanggungjawab memelihara kesejahteraan bersama.

Nilai- nilai dasar dari budaya “Rumah Panjang” ini juga terungkap dari hasil “Kongres Rakyat Kalimantan Tengah”, tanggal 4-7 Juni 2001 di Palangkaraya, dengan thema “Pemberdayaan Masyarakat, Integrasi dan Rekonsiliasi Nasional dan Daerah” yang menyebutkan bahwa budaya “Rumah Panjang” mempunyai nilai dasar, antara lain :

1. Hidup dalam kebersamaan, kesetaraan, keadilan, kekeluargaan dalam kemajemukan. 2. Tuan pimpinan di rumah sendiri (Tumanggung/Damang).

3. Dimana bumi di pijak, disitu langit dijunjung (“belum bahadat”, kemampuan menyesuaikan diri dalam bermasyarakat, dan bernegara).

4. Menerima apa/siapa atau segala sesuatu yang dianggap baik (“pantan”, keterbukaan). 5. Nilai-nilai dan semangat Rapat Damai Tumbang Anoi 1894.

Rekomendasi hasil Kongres Rakyat Kalteng tersebut, selanjutnya dituangkan dalam Peraturan Daerah (Perda) Kalimantan Tengah No. 09 Tahun 2001, tertanggal

07 Nopember 2001, dalam penjelasan umumnya mendefinisikan filosofi budaya rumah panjang (huma betang), sebagai berikut :

“Sistem nilai-nilai atau norma-norma kehidupan bermasyarakat berdasarkan kekeluargaan, kebersamaan, kesetaraan dalam masyarakat terbuka yang majemuk, multi etnik, multi agama atau masyarakat madani (civil society) yang Bhineka Tunggal Ika, yang merupakan sub kultur dari Pancas ila”.

Budaya “Rumah Panjang” dianggap sebagai cultural framework yang fundamental dalam rangka antisipasi akan suatu masa ketika warga masyarakat pendatang akan bertambah banyak dan kian majemuk. Sementara itu, menurut salah seorang pakar Dayak Petebang (2000), seandainya budaya Rumah Panjang

“tidak dihancurkan” dan “dibiarkan hancur” menjelang akhir 1960-an dan awal 1970- an oleh rejim Orde Baru, barangkali perang antaretnis yang marak belakangan ini

akan lebih mudah dicarikan solusinya. Sebab, setiap rumah panjang yang terdiri dari puluhan Kepala Kelaurga (bahkan ada yang ratusan), memiliki seorang pemimpin

yang dinalan “Tuai Rumah” (sebutan untuk Dayak Iban). Peranan Tuai Rumah berbeda dengan peranan Kepala Adat sekarang yang dijadikan bawahan Kepala

Desa dan mengantongi SK dari Bupati. Tuai Rumah adalah pemimpin sejati yang berakar dari komunitasnya yaitu “komunitas rumah panjang”. Tuai memiliki akses

terhadap aktivitas semua anggota komunitasnya termasuk apa yang mereka rasakan, inginkan, dan ekspresikan. Tindakan seorang warga komunitas pastilah diketahui oleh Tuai Rumah dan omongan Tuai Rumah didengarkan oleh warganya. Warga komunitas rumah panjang yang bergerombol atau berkumpul dengan tujuan untuk melakukan sesuatu pun pasti sepengetahuan Tuai Rumah.

Jadi, legitimasi kepemimpinan Tuai sangat jelas dan mempunyai legitimasi yang sangat kuat, sehingga orang Dayak tidak harus mencari-cari pemimpin lain seperti para panglima. Aparat keamanan dan para penegak hukum pun tidak usah Jadi, legitimasi kepemimpinan Tuai sangat jelas dan mempunyai legitimasi yang sangat kuat, sehingga orang Dayak tidak harus mencari-cari pemimpin lain seperti para panglima. Aparat keamanan dan para penegak hukum pun tidak usah

7.3. Hukum Adat

Dokumen yang terkait

Studi Kualitas Air Sungai Konto Kabupaten Malang Berdasarkan Keanekaragaman Makroinvertebrata Sebagai Sumber Belajar Biologi

23 176 28

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

Pencerahan dan Pemberdayaan (Enlightening & Empowering)

0 64 2

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24