Peran Infrastruktur Pelabuhan Bagi Perek
PERAN INFRASTRUKTUR PELABUHAN BAGI PEREKONOMIAN MARITIM DI
INDONESIA
Oleh:
ELISSYAH NUR MEDINA
041511133108
Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Airlangga
(disusun untuk memenuhi mata kuliah Ekonomi Perkotaan)
I.
Pendahuluan
Peran kota adalah sebagai pusat aktivitas ekonomi suatu negara. Hal ini
memberikan kemudahan bagi proses produksi barang dan jasa serta aktivitas
perekonomian lainnya. Kota menyediakan variasi barang dan jasa, sehingga dapat
meningkatkan kualitas hidup penduduknya. Di Indonesia, aktivitas ekonomi
terkonsentrasi di area perkotaan, terutama di kota-kota pesisir yang memiliki
pelabuhan. Pada umumnya, pusat kota awalnya tumbuh di daerah pesisir karena
efisiensi ekonomi dan keuntungan konsumsi (Henderson, 1986; Quigley, 1998).
Pembangunan infrastruktur suatu wilayah dapat memberikan pengaruh pada
peningkatan akses masyarakat terhadap sumber daya sehingga meningkatkan akses
produktivitas sumber daya yang pada akhirnya mendorong pertumbuhan ekonomi.
(Sudaryadi, 2007). Infrastruktur atau sarana dan prasarana memiliki keterkaitan yang
sangat kuat dengan dengan kesejahteraan sosial dan kualitas lingkungan juga terhadap
proses pertumbuhan ekonomi suatu wilayah atau region. Hal tersebut dapat
ditunjukkan dengan indikasi bahwa wilayah yang memiliki kelengkapan sistem
infrastruktur lebih baik biasanya mempunyai tingkat kesejahteraa sosial dan kualitas
lingkungan serta pertumbuhan ekonomi yang lebih baik pula (Departemen Pekerjaan
Umum, 2006).
Gambar 1: Peta Jalur Pelayaran Moda Transportasi Laut
Sumber: BCG Analysis (2013)
1
Berdasarkan UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, pelabuhan
didefinisikan sebagai tempat yang terdiri atas daratan dan/atau perairan dengan batasbatas tertentu sebagai tempat berkegiatan pemerintah dan kegiatan pengusahaan yang
dipergunakan sebagai tempat kapal berlabuh, naik turun penumpang dan/atau bongkar
muat barang, berupa terminal dan tempat berlabuh kapal yang dilengkapi dengan
fasilitas keselamatan dan keamanan pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan
serta sebagai tempat perpindahan intra dan antarmoda transportasi.
Pelabuhan berperan sebagai motor untuk merangsang pertumbuhan sektor
ekonomi, seperti industri, perdagangan, dan pariwisata. Pelabuhan juga bisa
digunakan sebagai sarana mendorong peningkatan pendapatan negara dan menjadi
titik temu antarmoda transportasi serta gerbang penghubung interaksi sosial-ekonomi
antarpulau/negara (Ducruet & Horst, 2009). Dengan peran strategisnya sebagai pusat
interaksi yang mempunyai nilai ekonomi dan dinamika sosial-budaya suatu bangsa,
pelabuhan mempunyai nilai politis yang sangat strategis untuk dijaga dan
dipertahankan keberadaannya dan kedaulatannya. Peraturan pengelolaan pelabuhan
yang transparan, aman, dan tidak diskriminatif terhadap perusahaan asing serta
dilakukan secara efektif dan efisien akan meningkatkan sisi politis yang positif bagi
suatu negara tempat pelabuhan itu berada.
Beragamnya fungsi dan layanan yang disediakan pelabuhan membuat pelabuhan
layaknya sebuah sistem. Sistem pelabuhan mendapat dukungan sedikitnya dari tiga
subsistem pendukung utama, yaitu:
1) penyelenggaraan
atau
port
administration/port
authority,
yakni
pemerintah/kementerian perhubungan dan 16 institusi pemerintah lainnya,
2) pengusahaan atau port business, yakni PT Pelindo dan pengguna jasa
pelabuhan atau port users, yaitu sektor swasta, seperti eksportir, importir, dan
3) perusahaan angkutan khusus pelabuhan (Indrayanto, 2005; Wijoyo, 2012).
Dengan demikian, kemampuan pelabuhan menjalankan fungsi dan menyediakan
beragam layanan akan bergantung pada sinergi dan interaksi dari ketiga subsistem
tersebut di atas.
Kewajiban mengintegrasikan tiga subsistem tersebut membuat upaya untuk
meningkatkan kinerja pelabuhan menjadi kompleks. Upaya tersebut perlu melibatkan
peran lintas lembaga sektoral dan membutuhkan konsep, perencanaan, program, dan
strategi implementasi yang komprehensif dan matang. Selain itu, konsistensi,
transparansi, dan kesamaan persepsi di antara stakeholders (pemangku kepentingan)
merupakan kunci penting proses integrasi ketiga subsistem. Oleh karena itu,
menyusun kebijakan yang mampu mengatur mekanisme dan hubungan kerja di antara
stakeholders dari setiap subsistem menjadi penting untuk memfasilitasi proses
integrasi.
2
II.
Pembahasan
a. Kondisi Pelabuhan
Pada masa lalu, sistem pelabuhan nasional tidak dikelola dengan baik.
Akibatnya, pelabuhan belum dapat berkontribusi secara maksimal terhadap
pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pelabuhan di Indonesia hanya berfungsi sebagai
pelabuhan pengumpan (feeder port). Data tahun 2009 menunjukkan bahwa setiap
tahun sekitar 90 persen kargo yang masuk dan keluar Indonesia dialih-kapalkan
melalui pelabuhan-pelabuhan hub internasional yang berada di negara-negara
tetangga. Sejak didirikan pada tahun 1991, perusahaan pelabuhan milik Negara
(Pelindo I sampai IV) belum dapat beroperasi dengan efisiensi maksimal atau
berinisiatif membangun pelabuhan hub internasional. Hal ini bukan sepenuhnya
kesalahan manajemen, karena setiap Pelindo tersebut harus melakukan subsidi silang
untuk kegiatan operasinya dan menghasilkan laba dalam jumlah yang ditentukan
sebagai kontribusi pada pendapatan negara.
Tingkat okupansi tambatan kapal (57,6%), rata-rata waktu persiapan
perjalanan pulang (turn around) (81,9 jam), dan waktu kerja sebagai persentase waktu
turn around (2,4%) masih berada di bawah standar internasional. Ini mengindikasikan
bahwa kapal-kapal terlalu banyak menghabiskan waktu di tempat tambatan kapal atau
mengantri di luar pelabuhan (Setiono, 2010, 47). Karena itu, biaya pelabuhan di
Indonesia relatif lebih mahal dibanding dengan biaya pelabuhan di negara-negara
ASEAN lain (Patuntru dkk., 2007; Setiono, 2010). Misalnya, biaya pelabuhan
(terminal handling charge) untuk kontainer standar 45 di Indonesia (Tanjung Priok)
adalah 255 dolar Amerika per kontainer, lebih mahal dibandingkan di Singapura (243
dolar Amerika), Malaysia (173 dolar Amerika), Thailand (155 dolar Amerika), dan
Filipina (138 dolar Amerika) (Bappenas, 2015, 91).
Dominannya peran negara (melalui BUMN) dalam pengaturan, pembangunan,
dan pengelolaan layanan pelabuhan menjadi salah satu faktor yang menghambat
upaya peningkatan efisiensi pelabuhan. Dominannya peran negara memunculkan
monopoli pemerintah yang membuat pengelolaan pelabuhan menjadi tidak efisien
karena tidak ada persaingan. Monopoli juga menutup partisipasi sektor swasta untuk
berpartisipasi dalam pembangunan dan pengelolaan pelabuhan (LPEM, 2005;
Setiono, 2010).
Tertutupnya partisipasi sektor swasta membawa dampak negatif yang
signifikan terhadap penurunan kualitas dan kuantitas pelabuhan untuk mendukung
peningkatan daya saing perekonomian. Ini terjadi karena kemampuan keuangan
negara untuk membangun dan memperbaiki infrastruktur cenderung menurun seiring
tekanan fiskal sebagai akibat tingginya biaya utang, subsidi, dan transfer dana ke
daerah yang cenderung meningkat setiap saat (Adam, 2012).
Berbagai kajian menunjukkan bahwa selama 20 tahun mendatang aliran peti
emas di Indonesia akan meningkat secara dramatis, dari 8,8 juta TEU1 pada tahun
2009 diperkirakan akan menjadi 30 juta TEU pada tahun 2020, dan 48 juta TEU pada
tahun 2030. Kargo curah kering dan cair diperkirakan akan meningkat sebesar 50
persen sepanjang dekade mendatang dan 50 persen lagi mulai tahun 2020 sampai
2030. Sedikitnya 17 pelabuhan strategis memerlukan pembangunan dan
pengembangan terminal peti kemas. Pelabuhan Tanjung Priok, Tanjung Perak, dan
TEU adalah satuan ukuran volume setara dengan 20 kaki, singkatan dari “twenty-foot equivalent unit” yang
digunakan sebagai satuan ukuran kapasitas kargo.
1
3
Belawan memerlukan fasilitas baru dengan segera; pelabuhan lainnya, seperti yang
ada di Cilamaya, Banjarmasin, Pontianak, Batam, Palembang dan Panjang,
memerlukan pembangunan baru dalam jangka waktu lima tahun mendatang. Dengan
adanya peningkatan aliran peti kemas, perlu dibangun pelabuhan hub baru di kawasan
timur dan barat Indonesia. Pelabuhan seperti Kuala Tanjung dan Bitung dapat
dijadikan pilihan lokasi untuk pembangunan pelabuhan hub tersebut, sepanjang hal ini
sesuai dengan permintaan pasar.
Gambar 2: Garis besar fasilitas pelabuhan dan prosedurnya
Sumber: PT. Pelindo II (2016)
b. Perencanaan & Strategi Penyelesaian
Mengingat besarnya investasi yang diperlukan, suatu visi bersama tentang cara
untuk maju menjadi sangat penting. Sampai saat ini, para pemangku kepentingan
terjebak dalam diskusi dan perbedaan pendapat, dengan fokus pada paradigma lama
dan tujuan jangka pendek. Masing-masing pemangku kepentingan memiliki
penafsiran berbeda tentang cara mendistribusikan kewenangan administratif,
khususnya terkait dengan semangat otonomi daerah.
Sistem pelabuhan perlu diberdayakan kembali. Pemberdayaan kembali yang
dimaksud disini adalah lebih dari sekedar memunculkan beberapa gagasan baru. Hal
ini berarti perumusan kembali visi strategis, struktur dan prosedur kelembagaan, serta
penggunaan teknologi informasi. Ini berarti mengubah budaya perusahaan dan
mengembangkan SDM.
Singkatnya, pemberdayaan kembali terdiri atas tiga elemen: perubahan radikal
atas kebijakan, transformasi SDM, dan sinergi manajemen. Perubahan kebijakan yang
radikal memerlukan beberapa langkah, yaitu:
i. penentuan posisi untuk berubah;
ii. diagnosa terhadap proses-proses yang sedang berlaku;
4
iii. merancang kembali proses-proses baru yang lebih baik; dan
iv. peralihan menuju kebijakan baru.
Penentuan posisi. Terkait dengan sistem pelabuhan nasional dalam hal ini
berarti bahwa pemerintah harus menentukan kembali perannya. Pemerintah harus
fokus pada pembuatan kebijakan dan peraturan yang mendukung mekanisme pasar
dan persaingan yang sehat. Pemerintah harus menghindari intervensi langsung, serta
menjadi regulator dan wasit yang adil. Apabila mungkin, pemerintah harus melakukan
deregulasi, menghapuskan monopoli terselubung, dan menentukan secara jelas batas,
fungsi dan kewenangan pelabuhan, sehingga meningkatkan kepastian usaha dan
mendorong peran serta swasta dalam investasi. Langkah berikut dalam agenda
pemberdayaan kembali adalah mendiagnosa ketertinggalan industri layanan
pelabuhan di Indonesia melalui perbandingan dengan negara lain dan memeriksa
seberapa baik manajemen pelabuhan diintegrasikan dengan bagian lain dari sistem
manajemen transportasi nasional, dibandingkan dengan negara lain.
Dengan melakukan kedua langkah seperti yang telah dijelaskan diatas, kita
dapat menyusun visi yang jelas tentang bagaimana semestinya bentuk sistem
pelabuhanyang telah diberdayakan kembali. Prinsip kehati-hatian sangat diperlukan
dalam mendesain ulang berbagai proses yang lebih baik dan selama berlangsungnya
proses transisi menuju kebijakan baru. Perubahan harus dikomunikasikan secara tepat
untuk menghindari timbulnya resistensi dan persepsi bahwa sebuah birokrasi baru
akan menggantikan birokrasi yang lama.
Perubahan radikal dalam sistem pelabuhan yang telah diberdayakan kembali
adalah pemisahan antara fungsi regulasi dengan fungsi pengelolaan. Sampai saat ini,
administrasi pelabuhan yang masih dikelola oleh pemerintah melalui BUMN telah
menciptakan monopoli serta kebingungan dalam mengantisipasi aliran barang dan
perencanaan ke depan. Perubahan radikal ini harus ditangani secara hati-hati karena
otoritas pelabuhan bertindak sebagai wakil pemerintah dan memikul tanggung jawab
yang sangat besar, antara lain dalam hal: memastikan kelancaran aliran barang;
menyediakan lahan dan kebutuhan air bersih serta menerbitkan perizinan;
memberikan jaminan keamanan dan ketertiban di pelabuhan; menyusun beberapa
rencana induk pelabuhan; dan menentukan DLKR (Daerah Lingkungan Kerja) dan
DLKP (Daerah Lingkungan Kepentingan). Kunci utama keberhasilan transisi menuju
kebijakan baru adalah konsistensi, tansparansi dan kesamaan persepsi para pemangku
kepentingan.
Konsistensi penting untuk persiapan pemberlakuan peraturan baru dalam
bentuk Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri. Peraturan tersebut harus tertulis
agar tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda. Perbedaan penafsiran yang
berkepanjangan akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan memiliki konsekuensi
hukum yang luas dalam hal infrastruktur dan suprastruktur, SDM, penyelesaian utang
piutang, dan hal-hal lain yang terkait dengan kerjasama dalam usaha jasa pelabuhan.
Peraturan tersebut tidak boleh ambigu sehingga otoritas pelabuhan dapat menjamin
hak dan kewajiban secara proporsional, adil dan bebas dari monopoli, nepotisme,
diskriminasi dan intervensi politik. Setiap pelabuhan memiliki karakteristik teknis
yang berbeda-beda yang akan mempengaruhi sistem operasi pelabuhan, jumlah
investasi yang dibutuhkan, dan biaya perawatan. Setiap pelabuhan memiliki daerah
datarannya masing-masing dan akses ke saluran distribusi serta cakupan lintas
provinsi. Namun, peraturan harus secara konsisten diterapkan pada semua pelabuhan
untuk memotivasi para operator pelabuhan dan menarik investasi.
5
Semua pihak harus menyepakati dan mengikuti roadmap yang dituangkan
dalam rencana tindak terpadu dalam Rancangan Akhir Rencana Induk Pelabuhan
Nasional (RIPN) 2012 – 2030, yang saat ini telah disebarkan ke seluruh Indonesia.
Rencana Tindak dalam RIPN mencakup strategi yang menyoroti, secara terukur,
perbaikan atas proses hukum, operasional, SDM dan penggunaan teknologi. Selain
itu, Rencana Tindak tersebut juga menyoroti perencanaan dan integrasi, menetapkan
prioritas pengembangan, serta mengamankan investasi swasta dan Kerjasama
Pemerintah Swasta (Public Private Partnership [KPS]). Kesamaan persepsi tentang
kriteria, norma dan standar sangat penting apabila para pemangku kepentingan ingin
sukses dalam mengoptimalkan pelabuhan yang ada atau membangun pelabuhan baru,
membuat rencana induk untuk setiap pelabuhan, membangun jaringan jalan dari
pelabuhan ke kawasan industri dan mematuhi rencana tata ruang nasional.
Peran Penting SDM. Satu-satunya cara untuk menanggalkan birokrasi lama
adalah dengan mengembangkan SDM. Manajemen pelabuhan memerlukan berbagai
keahlian khusus untuk memastikan perencanaan dan pelaksanaan yang tepat terkait
aspek tata ruang, konstruksi teknis, keselamatan, pembiayaan, kegiatan operasi, dan
integrasi dengan sektor lain.
Pengembangan SDM yang kompeten akan membuat perubahan dapat
dilaksanakan dengan baik, aman, dan sesuai dengan peraturan. Apabila para manajer
dan tenaga kerja tidak memiliki komitmen terhadap perubahan, upaya untuk
mengubah sistem pelabuhan akan menghadapi risiko penolakan, atau disintegrasi
moral. Demonstrasi pekerja pelabuhan dapat dipahami terjadi jika mereka belum
melihat manfaat dari perubahan yang harus mereka lakukan. Penjelasan yang
komprehensif tentang hal tersebut dapat meredam konflik yang mungkin timbul
selama proses transformasi. Peran otoritas pelabuhan dan syahbandar adalah untuk
mengkomunikasikan visi secara efektif dan memimpin perubahan. Pelaku-pelaku
utama tidak boleh terpaku pada cara-cara lama dalam melakukan tugasnya. Mereka
harus selalu bertindak secara profesional dan melakukan upaya sosialisasi secara
ekstensif. Operator pelabuhan harus berkonsentrasi untuk mempertahankan citra dan
tingkat layanan. Pola pikir harus berorientasi pada layanan, dan pentingnya kecepatan
dan efisiensi harus benar-benar dipahami.
Selama tahap transisi, selain fokus pada program pendidikan dan pelatihan,
pakar SDM harus mendengarkan para pemangku kepentingan dan melaksanakan
prinsip-prinsip perbaikan yang berkesinambungan (continuous improvement). Sebuah
Tim Proses Perbaikan, yang melengkapi Tim Reformasi Birokrasi di Kementerian
PAN, dapat dibentuk di Kemenhub untuk membantu otoritas pelabuhan dalam transisi
tersebut.
Peran Klaster Industri. Sebagai hasil pertumbuhan pembangunan pelabuhan,
industri-industri baru dapat tumbuh di sekitar DLKR, dengan penawaran paket
komprehensif dari pusat layanan pelabuhan kepada industri seperti kelapa sawit atau
batubara. Sejumlah pelabuhan di seluruh dunia menggambarkan efektivitas
pembangunan klaster industri. Contoh dalam industri pertambangan dan kimia antara
lain terdapat di Rotterdam, Antwerp, Hamburg, Marseilles, Houston, Yokohama.
Rotterdam, khususnya, adalah pusat perdagangan, distribusi dan pemasaran.
Pendekatan “blue ocean” merupakan cara yang inovatif untuk
mempertimbangkan pembangunan pelabuhan dengan terminal khusus yang dikelilingi
kawasan industri. Kunci dari strategi blue ocean adalah, pendekatan yang terfokus
6
bukan pada persaingan untuk memperebutkan pangsa pasar (pendekatan “red ocean”),
tetapi lebih pada penciptaan sebuah “jaringan inovasi nilai” (value innovation
network) yang membuat persaingan menjadi tidak relevan. Berdasarkan strategi blue
ocean yang berfokus pada pengembangan klaster industri, otoritas pelabuhan dan
entitas bisnis pelabuhan akan berupaya untuk mencapai skala ekonomi (economies of
scale). Pembangunan terminal khusus bersamaan dengan klaster industri memerlukan
koordinasi di antara kementerian teknis, Kementerian Energi dan Sumberdaya
Mineral, serta pemerintah daerah. Perencanaan yang terpadu harus memperhitungkan
karakteristik setiap daerah.
c. Potensi High Access
Integrasi ekonomi melalui penguatan konektivitas antar pulau dan domestikinternasional merupakan sebuah kebutuhan bagi negara kepulauan seperti Indonesia.
Hal ini bertujuan untuk mempercepat pembangunan dan memeratakan hasil-hasilnya
ke seluruh pelosok negeri. Konektivitas yang efektif dan efisien dapat tercapai jika
sektor transportasi maritim terintegrasi dan menjadi bagian penting dari kerangka
sistem logistik nasional. Pentingnya peran infrastruktur maritim menginisiasi
pemerintah mendesain konsep dan mengimplementasikan strategi pengembangan tol
laut. Tol laut adalah konektivitas laut yang efektif berupa adanya kapal yang melayari
secara rutin dan terjadwal dari barat sampai ke timur Indonesia
Berdasarkan data Logistik Nasional Pusat Pertumbuhan Ekonomi Eksisting
2015 tedapat 5 pusat di seluruh Indonesia yang juga termasuk dalam kawasan
strategis nasional pada zona arahan pengembangan kesejahteraan masyarakat, dan
dengan Konsep Wilayah Depan dalam Logistik Nasional akan memuculkan 19 Pusat
Pertumbuhan Ekonomi Baru sepanjang 2015-2019. Ditambah juga dari peluang
pelayanan logistik dan industri dan perdagangan internasional yang 90% nya dibawa
melalui laut, 40% nya sendiri melalui Indonesia, maka akan terbukanya akses regional
melalui implementasi konsep tol laut yang dapat memberikan peluang industri
kargo/logistik nasional untuk berperan dalam distribusi internasional.
Gambar 3: 24 Pelabuhan Strategis Pendukung Tol Laut
Sumber: PT. Pelindo II (2016)
7
Tol laut dan udara memberikan suatu manfaat dimana mengurangi disparitas
harga yang terjadi di Barat sampai ke Timur Indonesia. Tol laut diselenggarakan
dalam rangka menjamin ketersediaan barang dan untuk mengurangi disparitas harga
bagi masyarakat untuk menjamin kelangsungan pelayanan penyelenggaraan angkutan
barang ke daerah tertinggal, terpencil, terluar dan perbatasan. Tol laut berintegrasi
dengan program Rumah Kita untuk mempermudah koordinasi dengan Pemda serta
Stakeholders terkait dengan kebutuhan barang dan pendistribusian barang di wilayah
sekitar lokasi Rumah Kita yang terbagi menjadi 6 (enam) lokasi. Disamping itu, tol
laut juga berintegrasi dengan angkutan udara perintis barang (Jembatan Udara)
dimana petikemas setelah tiba di pelabuhan akan diangkut melalui jalur darat menuju
bandara guna diangkut menuju lokasi sesuai dengan jalur Tol Udara.
Berikut adalah elemen tol laut untuk mendukung efektivitasnya:
1) Pelabuhan Yang Handal
a. Kapasitas Terpasang
b. Produktivitas
c. Efektif Dokumentasi
d. Water Entrance – Inland Transport
e. Institusi Pendukung
f. Data Dan Sistem Informasi
2) Pelayaran Rutin Dan Berjadwal
3) Inland Akses Yang Efektif
8
III.
Kesimpulan & Rekomendasi Kebijakan
Berdasarkan pembahasan diatas maka hal-hal yang dapat disimpulkan adalah
sebagai berikut:
1) Pembangunan infrastruktur suatu wilayah dapat memberikan pengaruh
pada peningkatan akses masyarakat terhadap sumber daya sehingga
meningkatkan akses produktivitas sumber daya yang pada akhirnya
mendorong pertumbuhan ekonomi.
2) Pelabuhan berperan sebagai motor untuk merangsang pertumbuhan sektor
ekonomi, seperti industri, perdagangan, dan pariwisata. Pelabuhan juga
bisa digunakan sebagai sarana mendorong peningkatan pendapatan negara
dan menjadi titik temu antarmoda transportasi serta gerbang penghubung
interaksi sosial-ekonomi antarpulau/negara.
3) Sistem pelabuhan perlu diberdayakan kembali dengan tiga elemen:
perubahan radikal atas kebijakan, transformasi SDM, dan sinergi
manajemen.
Saran:
4) Pemerintah pusat harus memegang peran pengendali dalam penentuan
pelabuhan yang harus dikembangkan sebagai kawasan industri, karena
alokasi aset nasional secara optimal menjadi taruhannya. Pemanfaatan
kelebihan kapasitas di pelabuhan khusus dan pelabuhan yang mengemban
misi tertentu (dedicated port) harus dianggap sebagai pelengkap untuk
layanan utama, bukan sebagai pesaing. Hal ini menimbulkan tantangan
khusus dan peluang bagi BUMN pelabuhan, yang telah memiliki sarana
produksi dan SDM.
5) Terminal khusus yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif
dapat dipertimbangkan untuk diubah menjadi pelabuhan utama, yang
memprioritaskan kapal-kapal yang terkait dengan spesialisasi industrinya.
Hal ini akan mendorong pembangunan klaster dan mendorong pelabuhan
terdekat untuk meningkatkan daya saingnya.
9
IV.
Referensi
Adam, L. dan Inne Dwiastuti. 2015. Membangun poros maritim melalui pelabuhan.
Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Adam, L. 2012. The roles and problems of infrastructure in Indonesia . Economic and
Finance in Indonesia, 60, (1), 105–126.
Ducruet, C. & Van der Horst, M. 2009. Transport integration at European ports:
measuring the role and position of intermediaries. EJTIR, 9 (2), 121–142.
Henderson, J.V. 1986. Urbanization in A Developing Country: City size and
Population Composition. Journal of Development Economics, 22, 269-293.
Indriyanto. 2005. Peran pelabuhan dalam menciptakan peluang usaha pariwisata:
kajian historis ekonomis. Semarang: Universitas Diponegoro.
LPEM. 2005. Trend perkembangan pengelolaan pelabuhan dunia dan implikasinya
bagi BUMN pelabuhan di Indonesia . Jakarta: Universitas Indonesia.
Patuntru, A., Nurridzki, N. & Rivayani. 2007. Port competitiveness: a case study of
Semarang and Surabaya. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan ManajemenUniversitas Indonesia, Jakarta.
Quigley, J. M. 1998. Urban Diversity and Economic Growth. The Journal of
Economic Perspective, 12(2), 127-138.
Setiono, B.A. 2010. Analisis faktor-faktor yang memengaruhi kinerja pelabuhan.
Jurnal Aplikasi Pelayaran dan Pelabuhan, 1 (1), 39–60.
Sudarmo, Sudjanadi Tjipto. 2012. Memberdayakan Kembali Manajemen Pelabuhan
di Indonesia . Jurnal Prakarsa Infrastruktur Indonesia, Edisi 10, April 2012.
Wijoyo, P.H. 2012. Tinjauan umum pelabuhan sebagai prasarana transportasi.
Diakses dari http://e-journal.uajy.ac.id/159/3/2TA12921.pdf pada 8 Desember 2017
10
INDONESIA
Oleh:
ELISSYAH NUR MEDINA
041511133108
Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Airlangga
(disusun untuk memenuhi mata kuliah Ekonomi Perkotaan)
I.
Pendahuluan
Peran kota adalah sebagai pusat aktivitas ekonomi suatu negara. Hal ini
memberikan kemudahan bagi proses produksi barang dan jasa serta aktivitas
perekonomian lainnya. Kota menyediakan variasi barang dan jasa, sehingga dapat
meningkatkan kualitas hidup penduduknya. Di Indonesia, aktivitas ekonomi
terkonsentrasi di area perkotaan, terutama di kota-kota pesisir yang memiliki
pelabuhan. Pada umumnya, pusat kota awalnya tumbuh di daerah pesisir karena
efisiensi ekonomi dan keuntungan konsumsi (Henderson, 1986; Quigley, 1998).
Pembangunan infrastruktur suatu wilayah dapat memberikan pengaruh pada
peningkatan akses masyarakat terhadap sumber daya sehingga meningkatkan akses
produktivitas sumber daya yang pada akhirnya mendorong pertumbuhan ekonomi.
(Sudaryadi, 2007). Infrastruktur atau sarana dan prasarana memiliki keterkaitan yang
sangat kuat dengan dengan kesejahteraan sosial dan kualitas lingkungan juga terhadap
proses pertumbuhan ekonomi suatu wilayah atau region. Hal tersebut dapat
ditunjukkan dengan indikasi bahwa wilayah yang memiliki kelengkapan sistem
infrastruktur lebih baik biasanya mempunyai tingkat kesejahteraa sosial dan kualitas
lingkungan serta pertumbuhan ekonomi yang lebih baik pula (Departemen Pekerjaan
Umum, 2006).
Gambar 1: Peta Jalur Pelayaran Moda Transportasi Laut
Sumber: BCG Analysis (2013)
1
Berdasarkan UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, pelabuhan
didefinisikan sebagai tempat yang terdiri atas daratan dan/atau perairan dengan batasbatas tertentu sebagai tempat berkegiatan pemerintah dan kegiatan pengusahaan yang
dipergunakan sebagai tempat kapal berlabuh, naik turun penumpang dan/atau bongkar
muat barang, berupa terminal dan tempat berlabuh kapal yang dilengkapi dengan
fasilitas keselamatan dan keamanan pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan
serta sebagai tempat perpindahan intra dan antarmoda transportasi.
Pelabuhan berperan sebagai motor untuk merangsang pertumbuhan sektor
ekonomi, seperti industri, perdagangan, dan pariwisata. Pelabuhan juga bisa
digunakan sebagai sarana mendorong peningkatan pendapatan negara dan menjadi
titik temu antarmoda transportasi serta gerbang penghubung interaksi sosial-ekonomi
antarpulau/negara (Ducruet & Horst, 2009). Dengan peran strategisnya sebagai pusat
interaksi yang mempunyai nilai ekonomi dan dinamika sosial-budaya suatu bangsa,
pelabuhan mempunyai nilai politis yang sangat strategis untuk dijaga dan
dipertahankan keberadaannya dan kedaulatannya. Peraturan pengelolaan pelabuhan
yang transparan, aman, dan tidak diskriminatif terhadap perusahaan asing serta
dilakukan secara efektif dan efisien akan meningkatkan sisi politis yang positif bagi
suatu negara tempat pelabuhan itu berada.
Beragamnya fungsi dan layanan yang disediakan pelabuhan membuat pelabuhan
layaknya sebuah sistem. Sistem pelabuhan mendapat dukungan sedikitnya dari tiga
subsistem pendukung utama, yaitu:
1) penyelenggaraan
atau
port
administration/port
authority,
yakni
pemerintah/kementerian perhubungan dan 16 institusi pemerintah lainnya,
2) pengusahaan atau port business, yakni PT Pelindo dan pengguna jasa
pelabuhan atau port users, yaitu sektor swasta, seperti eksportir, importir, dan
3) perusahaan angkutan khusus pelabuhan (Indrayanto, 2005; Wijoyo, 2012).
Dengan demikian, kemampuan pelabuhan menjalankan fungsi dan menyediakan
beragam layanan akan bergantung pada sinergi dan interaksi dari ketiga subsistem
tersebut di atas.
Kewajiban mengintegrasikan tiga subsistem tersebut membuat upaya untuk
meningkatkan kinerja pelabuhan menjadi kompleks. Upaya tersebut perlu melibatkan
peran lintas lembaga sektoral dan membutuhkan konsep, perencanaan, program, dan
strategi implementasi yang komprehensif dan matang. Selain itu, konsistensi,
transparansi, dan kesamaan persepsi di antara stakeholders (pemangku kepentingan)
merupakan kunci penting proses integrasi ketiga subsistem. Oleh karena itu,
menyusun kebijakan yang mampu mengatur mekanisme dan hubungan kerja di antara
stakeholders dari setiap subsistem menjadi penting untuk memfasilitasi proses
integrasi.
2
II.
Pembahasan
a. Kondisi Pelabuhan
Pada masa lalu, sistem pelabuhan nasional tidak dikelola dengan baik.
Akibatnya, pelabuhan belum dapat berkontribusi secara maksimal terhadap
pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pelabuhan di Indonesia hanya berfungsi sebagai
pelabuhan pengumpan (feeder port). Data tahun 2009 menunjukkan bahwa setiap
tahun sekitar 90 persen kargo yang masuk dan keluar Indonesia dialih-kapalkan
melalui pelabuhan-pelabuhan hub internasional yang berada di negara-negara
tetangga. Sejak didirikan pada tahun 1991, perusahaan pelabuhan milik Negara
(Pelindo I sampai IV) belum dapat beroperasi dengan efisiensi maksimal atau
berinisiatif membangun pelabuhan hub internasional. Hal ini bukan sepenuhnya
kesalahan manajemen, karena setiap Pelindo tersebut harus melakukan subsidi silang
untuk kegiatan operasinya dan menghasilkan laba dalam jumlah yang ditentukan
sebagai kontribusi pada pendapatan negara.
Tingkat okupansi tambatan kapal (57,6%), rata-rata waktu persiapan
perjalanan pulang (turn around) (81,9 jam), dan waktu kerja sebagai persentase waktu
turn around (2,4%) masih berada di bawah standar internasional. Ini mengindikasikan
bahwa kapal-kapal terlalu banyak menghabiskan waktu di tempat tambatan kapal atau
mengantri di luar pelabuhan (Setiono, 2010, 47). Karena itu, biaya pelabuhan di
Indonesia relatif lebih mahal dibanding dengan biaya pelabuhan di negara-negara
ASEAN lain (Patuntru dkk., 2007; Setiono, 2010). Misalnya, biaya pelabuhan
(terminal handling charge) untuk kontainer standar 45 di Indonesia (Tanjung Priok)
adalah 255 dolar Amerika per kontainer, lebih mahal dibandingkan di Singapura (243
dolar Amerika), Malaysia (173 dolar Amerika), Thailand (155 dolar Amerika), dan
Filipina (138 dolar Amerika) (Bappenas, 2015, 91).
Dominannya peran negara (melalui BUMN) dalam pengaturan, pembangunan,
dan pengelolaan layanan pelabuhan menjadi salah satu faktor yang menghambat
upaya peningkatan efisiensi pelabuhan. Dominannya peran negara memunculkan
monopoli pemerintah yang membuat pengelolaan pelabuhan menjadi tidak efisien
karena tidak ada persaingan. Monopoli juga menutup partisipasi sektor swasta untuk
berpartisipasi dalam pembangunan dan pengelolaan pelabuhan (LPEM, 2005;
Setiono, 2010).
Tertutupnya partisipasi sektor swasta membawa dampak negatif yang
signifikan terhadap penurunan kualitas dan kuantitas pelabuhan untuk mendukung
peningkatan daya saing perekonomian. Ini terjadi karena kemampuan keuangan
negara untuk membangun dan memperbaiki infrastruktur cenderung menurun seiring
tekanan fiskal sebagai akibat tingginya biaya utang, subsidi, dan transfer dana ke
daerah yang cenderung meningkat setiap saat (Adam, 2012).
Berbagai kajian menunjukkan bahwa selama 20 tahun mendatang aliran peti
emas di Indonesia akan meningkat secara dramatis, dari 8,8 juta TEU1 pada tahun
2009 diperkirakan akan menjadi 30 juta TEU pada tahun 2020, dan 48 juta TEU pada
tahun 2030. Kargo curah kering dan cair diperkirakan akan meningkat sebesar 50
persen sepanjang dekade mendatang dan 50 persen lagi mulai tahun 2020 sampai
2030. Sedikitnya 17 pelabuhan strategis memerlukan pembangunan dan
pengembangan terminal peti kemas. Pelabuhan Tanjung Priok, Tanjung Perak, dan
TEU adalah satuan ukuran volume setara dengan 20 kaki, singkatan dari “twenty-foot equivalent unit” yang
digunakan sebagai satuan ukuran kapasitas kargo.
1
3
Belawan memerlukan fasilitas baru dengan segera; pelabuhan lainnya, seperti yang
ada di Cilamaya, Banjarmasin, Pontianak, Batam, Palembang dan Panjang,
memerlukan pembangunan baru dalam jangka waktu lima tahun mendatang. Dengan
adanya peningkatan aliran peti kemas, perlu dibangun pelabuhan hub baru di kawasan
timur dan barat Indonesia. Pelabuhan seperti Kuala Tanjung dan Bitung dapat
dijadikan pilihan lokasi untuk pembangunan pelabuhan hub tersebut, sepanjang hal ini
sesuai dengan permintaan pasar.
Gambar 2: Garis besar fasilitas pelabuhan dan prosedurnya
Sumber: PT. Pelindo II (2016)
b. Perencanaan & Strategi Penyelesaian
Mengingat besarnya investasi yang diperlukan, suatu visi bersama tentang cara
untuk maju menjadi sangat penting. Sampai saat ini, para pemangku kepentingan
terjebak dalam diskusi dan perbedaan pendapat, dengan fokus pada paradigma lama
dan tujuan jangka pendek. Masing-masing pemangku kepentingan memiliki
penafsiran berbeda tentang cara mendistribusikan kewenangan administratif,
khususnya terkait dengan semangat otonomi daerah.
Sistem pelabuhan perlu diberdayakan kembali. Pemberdayaan kembali yang
dimaksud disini adalah lebih dari sekedar memunculkan beberapa gagasan baru. Hal
ini berarti perumusan kembali visi strategis, struktur dan prosedur kelembagaan, serta
penggunaan teknologi informasi. Ini berarti mengubah budaya perusahaan dan
mengembangkan SDM.
Singkatnya, pemberdayaan kembali terdiri atas tiga elemen: perubahan radikal
atas kebijakan, transformasi SDM, dan sinergi manajemen. Perubahan kebijakan yang
radikal memerlukan beberapa langkah, yaitu:
i. penentuan posisi untuk berubah;
ii. diagnosa terhadap proses-proses yang sedang berlaku;
4
iii. merancang kembali proses-proses baru yang lebih baik; dan
iv. peralihan menuju kebijakan baru.
Penentuan posisi. Terkait dengan sistem pelabuhan nasional dalam hal ini
berarti bahwa pemerintah harus menentukan kembali perannya. Pemerintah harus
fokus pada pembuatan kebijakan dan peraturan yang mendukung mekanisme pasar
dan persaingan yang sehat. Pemerintah harus menghindari intervensi langsung, serta
menjadi regulator dan wasit yang adil. Apabila mungkin, pemerintah harus melakukan
deregulasi, menghapuskan monopoli terselubung, dan menentukan secara jelas batas,
fungsi dan kewenangan pelabuhan, sehingga meningkatkan kepastian usaha dan
mendorong peran serta swasta dalam investasi. Langkah berikut dalam agenda
pemberdayaan kembali adalah mendiagnosa ketertinggalan industri layanan
pelabuhan di Indonesia melalui perbandingan dengan negara lain dan memeriksa
seberapa baik manajemen pelabuhan diintegrasikan dengan bagian lain dari sistem
manajemen transportasi nasional, dibandingkan dengan negara lain.
Dengan melakukan kedua langkah seperti yang telah dijelaskan diatas, kita
dapat menyusun visi yang jelas tentang bagaimana semestinya bentuk sistem
pelabuhanyang telah diberdayakan kembali. Prinsip kehati-hatian sangat diperlukan
dalam mendesain ulang berbagai proses yang lebih baik dan selama berlangsungnya
proses transisi menuju kebijakan baru. Perubahan harus dikomunikasikan secara tepat
untuk menghindari timbulnya resistensi dan persepsi bahwa sebuah birokrasi baru
akan menggantikan birokrasi yang lama.
Perubahan radikal dalam sistem pelabuhan yang telah diberdayakan kembali
adalah pemisahan antara fungsi regulasi dengan fungsi pengelolaan. Sampai saat ini,
administrasi pelabuhan yang masih dikelola oleh pemerintah melalui BUMN telah
menciptakan monopoli serta kebingungan dalam mengantisipasi aliran barang dan
perencanaan ke depan. Perubahan radikal ini harus ditangani secara hati-hati karena
otoritas pelabuhan bertindak sebagai wakil pemerintah dan memikul tanggung jawab
yang sangat besar, antara lain dalam hal: memastikan kelancaran aliran barang;
menyediakan lahan dan kebutuhan air bersih serta menerbitkan perizinan;
memberikan jaminan keamanan dan ketertiban di pelabuhan; menyusun beberapa
rencana induk pelabuhan; dan menentukan DLKR (Daerah Lingkungan Kerja) dan
DLKP (Daerah Lingkungan Kepentingan). Kunci utama keberhasilan transisi menuju
kebijakan baru adalah konsistensi, tansparansi dan kesamaan persepsi para pemangku
kepentingan.
Konsistensi penting untuk persiapan pemberlakuan peraturan baru dalam
bentuk Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri. Peraturan tersebut harus tertulis
agar tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda. Perbedaan penafsiran yang
berkepanjangan akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan memiliki konsekuensi
hukum yang luas dalam hal infrastruktur dan suprastruktur, SDM, penyelesaian utang
piutang, dan hal-hal lain yang terkait dengan kerjasama dalam usaha jasa pelabuhan.
Peraturan tersebut tidak boleh ambigu sehingga otoritas pelabuhan dapat menjamin
hak dan kewajiban secara proporsional, adil dan bebas dari monopoli, nepotisme,
diskriminasi dan intervensi politik. Setiap pelabuhan memiliki karakteristik teknis
yang berbeda-beda yang akan mempengaruhi sistem operasi pelabuhan, jumlah
investasi yang dibutuhkan, dan biaya perawatan. Setiap pelabuhan memiliki daerah
datarannya masing-masing dan akses ke saluran distribusi serta cakupan lintas
provinsi. Namun, peraturan harus secara konsisten diterapkan pada semua pelabuhan
untuk memotivasi para operator pelabuhan dan menarik investasi.
5
Semua pihak harus menyepakati dan mengikuti roadmap yang dituangkan
dalam rencana tindak terpadu dalam Rancangan Akhir Rencana Induk Pelabuhan
Nasional (RIPN) 2012 – 2030, yang saat ini telah disebarkan ke seluruh Indonesia.
Rencana Tindak dalam RIPN mencakup strategi yang menyoroti, secara terukur,
perbaikan atas proses hukum, operasional, SDM dan penggunaan teknologi. Selain
itu, Rencana Tindak tersebut juga menyoroti perencanaan dan integrasi, menetapkan
prioritas pengembangan, serta mengamankan investasi swasta dan Kerjasama
Pemerintah Swasta (Public Private Partnership [KPS]). Kesamaan persepsi tentang
kriteria, norma dan standar sangat penting apabila para pemangku kepentingan ingin
sukses dalam mengoptimalkan pelabuhan yang ada atau membangun pelabuhan baru,
membuat rencana induk untuk setiap pelabuhan, membangun jaringan jalan dari
pelabuhan ke kawasan industri dan mematuhi rencana tata ruang nasional.
Peran Penting SDM. Satu-satunya cara untuk menanggalkan birokrasi lama
adalah dengan mengembangkan SDM. Manajemen pelabuhan memerlukan berbagai
keahlian khusus untuk memastikan perencanaan dan pelaksanaan yang tepat terkait
aspek tata ruang, konstruksi teknis, keselamatan, pembiayaan, kegiatan operasi, dan
integrasi dengan sektor lain.
Pengembangan SDM yang kompeten akan membuat perubahan dapat
dilaksanakan dengan baik, aman, dan sesuai dengan peraturan. Apabila para manajer
dan tenaga kerja tidak memiliki komitmen terhadap perubahan, upaya untuk
mengubah sistem pelabuhan akan menghadapi risiko penolakan, atau disintegrasi
moral. Demonstrasi pekerja pelabuhan dapat dipahami terjadi jika mereka belum
melihat manfaat dari perubahan yang harus mereka lakukan. Penjelasan yang
komprehensif tentang hal tersebut dapat meredam konflik yang mungkin timbul
selama proses transformasi. Peran otoritas pelabuhan dan syahbandar adalah untuk
mengkomunikasikan visi secara efektif dan memimpin perubahan. Pelaku-pelaku
utama tidak boleh terpaku pada cara-cara lama dalam melakukan tugasnya. Mereka
harus selalu bertindak secara profesional dan melakukan upaya sosialisasi secara
ekstensif. Operator pelabuhan harus berkonsentrasi untuk mempertahankan citra dan
tingkat layanan. Pola pikir harus berorientasi pada layanan, dan pentingnya kecepatan
dan efisiensi harus benar-benar dipahami.
Selama tahap transisi, selain fokus pada program pendidikan dan pelatihan,
pakar SDM harus mendengarkan para pemangku kepentingan dan melaksanakan
prinsip-prinsip perbaikan yang berkesinambungan (continuous improvement). Sebuah
Tim Proses Perbaikan, yang melengkapi Tim Reformasi Birokrasi di Kementerian
PAN, dapat dibentuk di Kemenhub untuk membantu otoritas pelabuhan dalam transisi
tersebut.
Peran Klaster Industri. Sebagai hasil pertumbuhan pembangunan pelabuhan,
industri-industri baru dapat tumbuh di sekitar DLKR, dengan penawaran paket
komprehensif dari pusat layanan pelabuhan kepada industri seperti kelapa sawit atau
batubara. Sejumlah pelabuhan di seluruh dunia menggambarkan efektivitas
pembangunan klaster industri. Contoh dalam industri pertambangan dan kimia antara
lain terdapat di Rotterdam, Antwerp, Hamburg, Marseilles, Houston, Yokohama.
Rotterdam, khususnya, adalah pusat perdagangan, distribusi dan pemasaran.
Pendekatan “blue ocean” merupakan cara yang inovatif untuk
mempertimbangkan pembangunan pelabuhan dengan terminal khusus yang dikelilingi
kawasan industri. Kunci dari strategi blue ocean adalah, pendekatan yang terfokus
6
bukan pada persaingan untuk memperebutkan pangsa pasar (pendekatan “red ocean”),
tetapi lebih pada penciptaan sebuah “jaringan inovasi nilai” (value innovation
network) yang membuat persaingan menjadi tidak relevan. Berdasarkan strategi blue
ocean yang berfokus pada pengembangan klaster industri, otoritas pelabuhan dan
entitas bisnis pelabuhan akan berupaya untuk mencapai skala ekonomi (economies of
scale). Pembangunan terminal khusus bersamaan dengan klaster industri memerlukan
koordinasi di antara kementerian teknis, Kementerian Energi dan Sumberdaya
Mineral, serta pemerintah daerah. Perencanaan yang terpadu harus memperhitungkan
karakteristik setiap daerah.
c. Potensi High Access
Integrasi ekonomi melalui penguatan konektivitas antar pulau dan domestikinternasional merupakan sebuah kebutuhan bagi negara kepulauan seperti Indonesia.
Hal ini bertujuan untuk mempercepat pembangunan dan memeratakan hasil-hasilnya
ke seluruh pelosok negeri. Konektivitas yang efektif dan efisien dapat tercapai jika
sektor transportasi maritim terintegrasi dan menjadi bagian penting dari kerangka
sistem logistik nasional. Pentingnya peran infrastruktur maritim menginisiasi
pemerintah mendesain konsep dan mengimplementasikan strategi pengembangan tol
laut. Tol laut adalah konektivitas laut yang efektif berupa adanya kapal yang melayari
secara rutin dan terjadwal dari barat sampai ke timur Indonesia
Berdasarkan data Logistik Nasional Pusat Pertumbuhan Ekonomi Eksisting
2015 tedapat 5 pusat di seluruh Indonesia yang juga termasuk dalam kawasan
strategis nasional pada zona arahan pengembangan kesejahteraan masyarakat, dan
dengan Konsep Wilayah Depan dalam Logistik Nasional akan memuculkan 19 Pusat
Pertumbuhan Ekonomi Baru sepanjang 2015-2019. Ditambah juga dari peluang
pelayanan logistik dan industri dan perdagangan internasional yang 90% nya dibawa
melalui laut, 40% nya sendiri melalui Indonesia, maka akan terbukanya akses regional
melalui implementasi konsep tol laut yang dapat memberikan peluang industri
kargo/logistik nasional untuk berperan dalam distribusi internasional.
Gambar 3: 24 Pelabuhan Strategis Pendukung Tol Laut
Sumber: PT. Pelindo II (2016)
7
Tol laut dan udara memberikan suatu manfaat dimana mengurangi disparitas
harga yang terjadi di Barat sampai ke Timur Indonesia. Tol laut diselenggarakan
dalam rangka menjamin ketersediaan barang dan untuk mengurangi disparitas harga
bagi masyarakat untuk menjamin kelangsungan pelayanan penyelenggaraan angkutan
barang ke daerah tertinggal, terpencil, terluar dan perbatasan. Tol laut berintegrasi
dengan program Rumah Kita untuk mempermudah koordinasi dengan Pemda serta
Stakeholders terkait dengan kebutuhan barang dan pendistribusian barang di wilayah
sekitar lokasi Rumah Kita yang terbagi menjadi 6 (enam) lokasi. Disamping itu, tol
laut juga berintegrasi dengan angkutan udara perintis barang (Jembatan Udara)
dimana petikemas setelah tiba di pelabuhan akan diangkut melalui jalur darat menuju
bandara guna diangkut menuju lokasi sesuai dengan jalur Tol Udara.
Berikut adalah elemen tol laut untuk mendukung efektivitasnya:
1) Pelabuhan Yang Handal
a. Kapasitas Terpasang
b. Produktivitas
c. Efektif Dokumentasi
d. Water Entrance – Inland Transport
e. Institusi Pendukung
f. Data Dan Sistem Informasi
2) Pelayaran Rutin Dan Berjadwal
3) Inland Akses Yang Efektif
8
III.
Kesimpulan & Rekomendasi Kebijakan
Berdasarkan pembahasan diatas maka hal-hal yang dapat disimpulkan adalah
sebagai berikut:
1) Pembangunan infrastruktur suatu wilayah dapat memberikan pengaruh
pada peningkatan akses masyarakat terhadap sumber daya sehingga
meningkatkan akses produktivitas sumber daya yang pada akhirnya
mendorong pertumbuhan ekonomi.
2) Pelabuhan berperan sebagai motor untuk merangsang pertumbuhan sektor
ekonomi, seperti industri, perdagangan, dan pariwisata. Pelabuhan juga
bisa digunakan sebagai sarana mendorong peningkatan pendapatan negara
dan menjadi titik temu antarmoda transportasi serta gerbang penghubung
interaksi sosial-ekonomi antarpulau/negara.
3) Sistem pelabuhan perlu diberdayakan kembali dengan tiga elemen:
perubahan radikal atas kebijakan, transformasi SDM, dan sinergi
manajemen.
Saran:
4) Pemerintah pusat harus memegang peran pengendali dalam penentuan
pelabuhan yang harus dikembangkan sebagai kawasan industri, karena
alokasi aset nasional secara optimal menjadi taruhannya. Pemanfaatan
kelebihan kapasitas di pelabuhan khusus dan pelabuhan yang mengemban
misi tertentu (dedicated port) harus dianggap sebagai pelengkap untuk
layanan utama, bukan sebagai pesaing. Hal ini menimbulkan tantangan
khusus dan peluang bagi BUMN pelabuhan, yang telah memiliki sarana
produksi dan SDM.
5) Terminal khusus yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif
dapat dipertimbangkan untuk diubah menjadi pelabuhan utama, yang
memprioritaskan kapal-kapal yang terkait dengan spesialisasi industrinya.
Hal ini akan mendorong pembangunan klaster dan mendorong pelabuhan
terdekat untuk meningkatkan daya saingnya.
9
IV.
Referensi
Adam, L. dan Inne Dwiastuti. 2015. Membangun poros maritim melalui pelabuhan.
Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Adam, L. 2012. The roles and problems of infrastructure in Indonesia . Economic and
Finance in Indonesia, 60, (1), 105–126.
Ducruet, C. & Van der Horst, M. 2009. Transport integration at European ports:
measuring the role and position of intermediaries. EJTIR, 9 (2), 121–142.
Henderson, J.V. 1986. Urbanization in A Developing Country: City size and
Population Composition. Journal of Development Economics, 22, 269-293.
Indriyanto. 2005. Peran pelabuhan dalam menciptakan peluang usaha pariwisata:
kajian historis ekonomis. Semarang: Universitas Diponegoro.
LPEM. 2005. Trend perkembangan pengelolaan pelabuhan dunia dan implikasinya
bagi BUMN pelabuhan di Indonesia . Jakarta: Universitas Indonesia.
Patuntru, A., Nurridzki, N. & Rivayani. 2007. Port competitiveness: a case study of
Semarang and Surabaya. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan ManajemenUniversitas Indonesia, Jakarta.
Quigley, J. M. 1998. Urban Diversity and Economic Growth. The Journal of
Economic Perspective, 12(2), 127-138.
Setiono, B.A. 2010. Analisis faktor-faktor yang memengaruhi kinerja pelabuhan.
Jurnal Aplikasi Pelayaran dan Pelabuhan, 1 (1), 39–60.
Sudarmo, Sudjanadi Tjipto. 2012. Memberdayakan Kembali Manajemen Pelabuhan
di Indonesia . Jurnal Prakarsa Infrastruktur Indonesia, Edisi 10, April 2012.
Wijoyo, P.H. 2012. Tinjauan umum pelabuhan sebagai prasarana transportasi.
Diakses dari http://e-journal.uajy.ac.id/159/3/2TA12921.pdf pada 8 Desember 2017
10