PADA ACARA DIES NATALIS XXIX

  

ORASI ILMIAH

PADA ACARA DIES NATALIS XXIX

WISUDA SARJANA DAN DIPLOMA TIGA XXXV

SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN

KOMPUTER JAKARTA STI&K

GEDUNG AUDIO VISUAL BPPT

  Sabtu, 2 JUNI 2007

  

Continuity Planning Dalam Manajemen Risiko Sebagai Cara Terakhir

Perusahaan / Organisasi Untuk Bertahan Hidup

Oleh :

Drs. Hendrisman Rahim, MA., FSAI., AAIJ.

  Pendahuluan

  Belum lama ini Sony Corporation mengeluarkan laporan keuangan kwartal I 2007. Hasilnya mengejutkan banyak pihak. Sony membukukan keuntungan jauh di bawah ekspektasi yang kemudian berimbas pada turunnya nilai saham Sony pada pasar saham global. Penyebabnya adalah kerugian yang timbul pada divisi laptop. Tahun lalu, divisi ini harus mengeluarkan biaya ekstra jutaan USD yang timbul karena harus menarik kembali produk yang cacat dari pasar. Cacat timbul pada batere produk elektroniknya yang ternyata terlampau cepat panas.

  Keadaan ini diperparah dengan rendahnya hasil penjualan Play Station 3 yang harus bersaing dengan X-Box Microsoft dan Nintendo yang juga keluar pada saat yang hampir bersamaan, walaupun demikian Sony masih dapat mempertahankan eksistensinya.

  Sebaliknya, mungkin catatan terburuk tentang produk yang cacat adalah apa yang dialami oleh perusahaan ban asal Jepang Firestone. Bekerja sama dengan Ford perusahaan ban ini menjadi pemasok tunggal untuk salah satu jenis mobil terbaru Ford. Namun apa yang terjadi sungguh mengejutkan. Dalam waktu kurang dari satu tahun tercatat lima kecelakaan fatal yang melibatkan ban ini dan semuanya terjadi di Amerika. Dengan penduduknya yang sangat bersifat litigative society membuat Amerika menjadi kuburan

  Penyelidikan yang lebih dalam mengungkapkan bahwa kecelakaan terjadi karena lapisan terluar ban yang dinamakan thread terkelupas. Kalau lapisan terkelupas pada saat mobil sedang melaju di jalan tol maka mobil akan secara tiba – tiba terpelanting dan pada lima kasus di atas mengakibatkan kematian. Yang terjadi kemudian adalah Ford menarik seluruh mobil yang sudah terjual dan kemudian memutuskan kontrak secara sepihak dengan Firestone. Firestone kemudian bangkrut karena harus membayar hukuman (punitive damages) yang dijatuhkan pengadilan kepada pihak keluarga korban dan akibat kerugian yang timbul karena pemutusan kontrak oleh Ford. Kedua contoh di atas menggambarnya pola yang berbeda dalam menghadapi risiko kebangkrutan yang ditunjukkan dengan Sony masih dapat bertahan sedangkan Firestone tidak. Dalam tulisan ini kita akan membahas sebuah program Manajemen Risiko yang kalau dilaksanakan akan melindungi perusahaan terhadap risiko kebangkrutan. Program tersebut dinamakan Continuity Planning.

  Apakah yang dimaksud dengan Continuity Planning ? Pengantar Konsep Risiko

  Sebelum kita membahas continuity planning lebih dalam maka kita akan terlebih dulu membahas secara cepat konsep tentang risiko. Pada pembahsan kali ini kita akan fokus pada jenis risiko operasional. Sesuai dengan namanya, Ini adalah jenis risiko yang berhubungan dengan kegiatan operasional organisasi / perusahaan. Apakah yang dimaksud dengan risiko ? Ada banyak definisi risiko. Sebanyak apa ahli manajemen risiko maka sebanyak itu pula definisi risiko. Beberapa di antaranya adalah :

  1. Ketidak pastian yang selalu hadir pada hasil

  2. Hasil yang tidak diharapkan

  3. Kombinasi antara kemungkinan terjadinya sebuah kejadian dengan konsekuensinya Walaupun ada banyak definisi risiko namun kalau kita perhatikan, selalu elemen KETIDAKPASTIAN AKAN HASIL dan elemen SEBERAPA SERING RISIKO AKAN TERJADI dan KALAU KEMUDIAN TERJADI SEBERAPA BESAR AKIBATNYA? Sebelum kita masuk lebih jauh ada baiknya kita melihat dua kategori risiko berikut ini :

  1. Risiko Objektif dan Risiko Subjektif

  2. Risiko Murni dan Risiko Spekulatif Risiko Objektif adalah risiko yang dikategorikan berdasarkan pengamatan. Mengendarai sepeda motor di Jakarta dikategorikan sebagai kegiatan berisiko tinggi. Daya yang digunakan adalah data kecelakaan yang dikumpulkan oleh media misalnya. Sedangkan risiko subjektif adalah risiko yang penilaian tinggi rendahnya berdasarkan pada pengalaman pribadi / subjektif. Apakah bertaruh uang sejumlah Rp. 1 juta dikatakan sebagai kegiatan berisisko tinggi ? jawabannya tertentu tergantung pada persepsi setiap orang yang berbeda – beda. Risiko murni adalah risiko yang hasilnya adalah kerugian atau tidak terjadi apa – apa sama sekali. Mengendarai sepeda motor mengandung risiko murni karena bisa saja kita jatuh dan mengalami kerugian tapi dapat juga tidak terjadi apa – apa. Dilain pihak, pada risiko spekualtif selain kedua elemen di atas juga terkandung harapan adanya keuntungan. Membeli saham di pasar modal mengandung risiko spekulatif. Kita bisa rugi, tidak ada kerugian atau keuntungan atau malah mendapat keuntungan besar. Sebagai tambahan, risiko yang dapat diasuransikan adalah risiko murni dan objektif.

  Apakah yang dimaksud dengan ketidakpastian ?

  Ilmu Fisika Kuantum mengatakan TIDAK ADA YANG PASTI. Dalam Fisika ada tiga parameter alat ukur untuk menentukan apakah sebuah elemen itu ada / eksis yaitu : lokasi, waktu dan massa. Kalau ketiga hal tersebut dapat kita lokalisasi maka keberadaan sebuah elemen dapat dikatakan TERDEFINISI.

  Masalahnya adalah, Hukum Ketidakpastian mengatakan bahwa kita tidak mungkin mendapatkan ketiga parameter di atas dalam ketelitian yang sama sekaligus. Kalau kita bisa melokalisasi waktu dengan tepat maka semakin tidak teliti pengukuran kita untuk lokasi, demikian pula sebaliknya.

  Begitu pula dalam teori probabilitas pada matematika, kita mengenal perhitungan mencari Eigen Value yang merupakan hasil dari bekerjanya sebuah operator terhadap sebuah Fungsi Keadaan. Namun, harga Eigen tersebut tak lebih merupakan pendekatan karena Fungsi Keadaan yang dibuat juga merupakan model pendekatan. Keadaan bertambah rumit sewaktu Einstein memperkenalkan prinsip relatifitas. Tidak ada yang pasti karena keadaan yang satu selalu dapat dibandingkan dengan yang lain. Ide kita tentang kepastian mana yang di kiri, di kanan atau masa depan atau masa lalu ternyata relatif.

  Pada ilmu – ilmu humaniora keadaan lebih TIDAK PASTI lagi. Manusia dianggap sebagai mesin ketidak pastian. Walaupun ilmu psikologi sudah berkembang jauh sekali sehingga sanggup memetakan perilaku manusia pada keadaan tertentu namun tetap saja ada margin ketidakpastian yang harus diperhitungkan. Buktinya, rasanya tidak ada perusahaan yang 100% menggantungkan diri pada hasil test psikologi dalam usahanya merekrut pegawai baru. Selalu saja di butuhkan interview untuk melengkapi hasil test tersebut.

  IBM membuat sebuah Super Computer khusus yang bernama Deep Blue yang dirancang mampu membuat 1 triliun kalkulasi pada setiap detiknya. Tugas utama komputer ini menarik yaitu : mengalahkan manusia bermain catur. Apa yang terjadi adalah posisi terakhir masih 3-2 untuk kemenangan komputer ini. Mengapa komputer ini tidak bisa membuat skor 5-0 dengan manusia ? Ternyata kuncinya adalah variasi yang bisa dihasilkan dari pemikiran manusia. Secara teoritis ada tak berhingga variasi yang bisa dihasilkan. Namun pada saat yang sama variasi adalah sumber utama ketidakpastian.

  Seberapa sering risiko akan terjadi ?

  Ada risiko yang sering terjadi dan ada yang jarang. Kecelakaan pesawat terbang SEHARUSNYA jarang terjadi. Juga tenggelamnya kapal dengan bobot di atas 3000 GRT seharusnya jarang terjadi. Frekuensi kejadian secara alamiah sering kita gunakan untuk menakar risiko. Dengan takaran ini kita kemudian menentukan apakah sebuah aktifitas dikatakan berisiko tinggi atau rendah. nilai per-kejadiannya kecil namun karena frekuensinya yang tinggi maka nilai akhir kerugian mereka selama setahun menjadi besar. Apakah kemudian risiko pencurian ini dikategorikan sebagai risiko tinggi ? Di JABOTABEK, dengan jumlah kendaraan roda dua mencapai dua juta unit dengan jumlah kecelakaan lalu lintas mencapai 300-an kali kecelakaan setiap hari. Dari jumlah tersebut kurang lebih 5% nya berakibat fatal. Apakah ini berarti mengemudikan kendaraan roda dua adalah aktifitas berisiko tinggi ?

  

Elemen berikutnya adalah : Seberapa besar akibatnya kalau sebuah

risiko menjadi kenyataan ?

  Seringkali uang kembalian kita yang kecil, katakanlah Rp. 50, saat berbelanja ditukar dengan permen. Dalam kondisi ini jelas kita merugi Rp.

  50. Kecelakaan pesawat terbang atau bocornya sebuah reaktor nuklir hampir dipastikan bersifat Total Loss dengan nilai kerugian jutaan USD. Demikian juga dengan aktifitas paragliding atau diving (menyelam). Jelas hanya sedikit orang yang akan tetap hidup kalau terjatuh dari ketinggian 700 ratusan meter. Keadaan berbeda akan kita jumpai pada ledakan pipa gas. Ukurannya yang panjang membuat ledakan hanya akan mengakibatkan kerusakan yang terbatas. Lebih jauh lagi, untuk sebuah perusahaan, kehilangan Brand Image dapat membuat perusahaan kehilangan pendapatan dalam jumlah yang besar. Contoh : Perusahaan kimia Union Carbide kehilangan hampir 60 % dari total penjualannya akibat kecelakaan yang terjadi di India dan menewaskan ratusan orang. Karena penanganan krisis yang buruk perusahaan ini dicap sebagai perusahaan pembunuh. Contoh lain, kegagalan mengelola sumber daya manusia juga sering mengakibatkan kerugian yang besar segera terjadi. Pada tahun 1976 terjadi kebakaran yang terbesar yang pernah terjadi pada anjungan minyak dilepas pantai. Kejadiannya terjadi anjungan minyak Alpha 4 di Laut Utara. Kecelakaan terjadi hanya karena dua orang petugas tidak bisa berkomunikasi dengan baik karena berasal dari dua negara berbeda. Kerugian mencapai USD. 2 milliar. Dari contoh di atas maka kita melihat bahwa konsekuensi beroperasinya kecil namun juga bisa bernilai sangat besar. Persepsi kita tentang risiko sangat dipengaruhi oleh ke-empat hal ini.

  Dimana sebenarnya risiko berada ?

  Dalam ilmu manajemen risiko dikenal istilah : the risk lies in the proccess

  

and not in an object. Pendapat ini lahir dari pengamatan bahwa tidak ada

  penyebab tunggal terjadinya risiko. Memang selalu ada penyebab awal (proximate cause), namun hasil akhir merupakan kombinasi dari banyak faktor.

  Setiap kejadian selalu diawali oleh rangkaian kejadian lainnya. Alam menunjukkan kepada kita bahwa tidak ada kejadian tunggal. Apa saja yang terjadi di alam merupakan rangkaian persitiwa yang di atur oleh hukum alam. Tentu saja di dalam agama kita mengenal jenis kejadian yang sangat terlokalisasi ini. Kejadian ini dikenal dengan nama keajaiban. Namun karena tidak semua dari kita pernah mengalaminya maka pada kesempatan kali ini kita tidak akan membahasnya lebih jauh.

  Kita ambil contoh yang sangat terkenal : Terbakarnya pesawat ulang – alik Challenger pada saat lepas landas dari Tanjung Florida beberapa tahun yang lalu. Pesawat ulang – alik buatan Amerika / NASA ini dapat dikatakan sebagai perwujudan akumulasi puncak kemampuan berfikir manusia. Setiap jengkal pesawat ini menggunakan teknologi termaju yang pernah ada di dalam sejarah manusia. Banyak teknologi di pesawat ini yang mungkin baru kita jumpai di pasaran beberapa tahun lagi di depan.

  Kita ambil contoh yang paling sederhana, lapisan pelindung bagian bawah pesawat. Bahan pelindung ini terbuat dari keramik khusus yang untuk pengembangannya membutuhkan waktu lebih dari dua puluh tahun. Harus terbuat dari keramik karena hanya keramik yang bisa menahan panas sampai 2000 derajad celcius dalam waktu lama. Batu bata adalah contoh keramik yang paling sederhana tapi batu bata bersifat sangat getas atau sangat mudah pecah. Maka harus ditemukan keramik yang bersifat seperti logam : artinya memiliki sifat lentur. Dan proses ini membutuhkan waktu dua puluh tahun penelitian. Manajemen proyek yang digunakan juga sangat canggih. Metode yang di gunakan adalah HAZOP yang tidak akan kita bicarakan pada kesempatan kali ini. Namun apa yang terjadi dalah pesawat terbakar dan hancur pada cincin karet penyekat pada tabung bahan bakar retak dan mengakibatkan kebocoran. Cincin retak karena suhu yang terlalu rendah pada saat peluncuran. Mengapa cicin retak ? Mengapa peluncuran dipaksakan harus berlangsung pada suhu yang sedemikian rendah ? Penyelidikan pada sisi kebijakan menemukan adanya pengaruh pengurangan anggaran terhadap keputusan peluncuran. Faktanya peluncuran ini sudah ditunda berkali – kali karena cuaca buruk dan penundaan berikutnya hanya akan menambah biaya yang harus ditanggung oleh program ini. Kecelakaan tragis ini sekali lagi memberikan gambaran bahwa risk lies within the proccess not within the objects.

  Killer Risk sebagai bagian dari Risiko Operasional

  Sama dengan seorang manusia maka sebuah perusahaan menghadapi banyak sekali risiko dalam perjalanan hidupnya. Ada risiko yang berhubungan dengan aset perusahaan, ada yang berhubungan dengan regulasi pemerintah dan ada yang berhubungan dengan tanggung jawab perusahaan kepada lingkungan hidup dan pihak ketiga. Namun ada kategori lain risiko yang akan menjadi perhatian kita kali ini yaitu : Killer Risks . Yang dapat diartikan sebagai kelompok risiko yang akibatnya terhadap perusahaan atau organisasi akan sangat fatal. Akibat risiko ini perusahaan akan bangkrut atau organisasi akan tutup.

  Analisa risiko jenis ini sedikit berbeda karena harus diberikan perhatian yang mendalam kepada aspek kekuatan finansial perusahaan / organisasi. dampak risiko ini cenderung sangat parah sampai bisa menghancurkan seluruh sendi organisasi / perusahaan. Agar lebih jelas maka berikut ini adalah beberapa contoh risiko katastropik / killer risks tersebut:

  1. Kehilangan izin operasional dari pemerintah

  2. Hancurnya nama / brand perusahaan atau organisasi

  3. Pihak lain di mana organisasi bergantung 100% tutup / bangkrut

  4. Seluruh SDM kunci perusahaan keluar Keempat contoh risiko di atas sangat berpotensi mematikan hidup perusahaan / organisasi. yang dapat ditahan sendiri oleh perusahaan dan mana yang harus dipindahkan ke pihak lain. Risiko biasanya dipindahkan kalau akibatnya sudah melebihi kemampuan perusahaan untuk menanggungnya.

  

Killer risks biasanya tidak bisa ditransfer ke pihak lain. Alasannya

  sederhana, yaitu tidak ada yang mau menanggung risiko yang begitu besar dan luas. Agar lebih jelas mari perhatikan ilustrasi berikut ini : Bayangkan sebuah perusahaan manufaktur dengan ukuran menengah. Aset perusahaan akan dengan mudah ditentukan nilainya namun siapa yang bisa menentukan besar komitmen perusahaan ini dengan pihak lain ? Kita tidak tahu kontrak apa saja yang ditandatangani dan penalti apa saja yang harus diterima kalau perusahaan yang bersangkutan gagal memenuhi kewajibannya. Maka tidak ada perusahaan lain yang bersedia menanggung risiko jenis ini. Dua ciri lain dari Killer Risk adalah risiko ini bekerja dengan sangat cepat dan sangat jarang terjadi. Keduanya sangat mempengaruhi persiapan sebuah perusahaan untuk menghadapinya. Tidak banyak literatur yang membahas risiko ini secara mendalam dan kalaupun ada maka setiap perusahaan seringkali sulit menerapkannya karena setiap jenis perusahaan terpapar oleh killer risks yang berbeda.

  Lantas apakah yang harus dilakukan perusahaan untuk mengantisipasi risiko jenis ini ? Dalam kondisi ini maka Perusahaan harus merancang dan mempersiapkan Continuity dan Recovery Planning. Continuity / Contingency Planning adalah rencana sistematis perusahaan untuk bertahan hidup pada saat perusahaan didera oleh Killer Risks. Sedangkan Recovery Planning adalah usaha sistematis perusahaan untuk MELANJUTKAN HIDUP setelah perusahaan sukses melewati Contingency Planning. Tulisan ini akan dibatasi hanya membahas Continuity / Contingency Planning.

  

Hubungan antara Continuity / Contingency Planning dengan strategi

perusahaan

  Strategi perusahaan adalah penjabaran visi dan misi yang dipercaya akan membawa perusahaan mencapai target yang ditetapkan. Strategi yang baik adalah strategi yang juga memperhitungkan kendala yang akan dihadapi. Dalam perjalanannya, perusahaan menghadapi hambatan yang datang dari dalam dan dari lingkungan luar. Dalam hal hambatan yang bersifat killer

  

risks maka berarti hambatan yang terjadi sangat besar, bahkan mengancam

  kehidupan perusahaan secara langsung. Disinilah kemudian Contingency

  

dan Recovery Planning memainkan peranannya. Contingency dan

Recovery Planning adalah bagian dari Manajemen Risiko yang harus

  masuk ke dalam strategi perusahaan. Sebagai contoh, perusahaan asuransi dan reasuransi memiliki target pertumbuhan premi dan laba. Perusahaan asuransi juga memiliki tanggung jawab kepada pemegang polis. Janji yang dijual oleh perusahaan asuransi adalah kesanggupan membayar pada saat klaim yang sah diajukan. Kalau kemudian perusahaan bangkrut siapa yang harus membayar klaim kepada tertanggung ? Apakah pemerintah akan mengganti posisi perusahaan asuransi untuk membayarkan klaim ? Dan kalaupun kemudian perusahaan berhasil melewati masa – masa kritis yang ditimbulkan oleh killer risks bagaimana cara perusahaan asuransi untuk kemudian hidup dan berkembang ? Kejadian yang tidak dinginkan bisa datang kapan saja sehingga mempersiapkan diri untuk keadaan yang terburuk harus menjadi bagian dari strategi perusahaan. Perencanaan pengendalian risiko yang baik akan memastikan bahwa tindakan tersebut tepat sasaran dan efektif dari segi biaya. Jelas, selain mempersiapkan diri untuk mengadapi yang terburuk, strategi perusahaan juga harus memastikan bahwa perusahaan terhindar dari killer

  

risks.. Memasukkan Contingency dan Recovery Planning ke dalam strategi

  perusahaan akan memastikan strategi tersebut bekerja dengan baik dan perusahaan pada akhirnya dapat mencapai tujuannya.

  Elemen - elemen dalam Continuity Planning

  Ada banyak istilah yang diberikan kepada program Continuity Planning. Di

  Contingency Planning, Disaster Planning, Crisis Planning Beberapa ahli memberikan perbedaan untuk keempatnya namun untuk diskusi kita kali ini kita tidak melihat perbedaan tersebut dan fokus pada fungsi program ini yaitu membawa perusahaan melewati masa paling kritis dalam kehidupannya.

  Tujuan program ini adalah untuk memastikan bahwa :

  

1. Adanya kontrol yang cepat, nyata dan penuh otoritas pada saat

  perusahaan melewati masa kritis akibat killer risks

  2. Kerusakan kemudian dapat dikendalikan

  3. Keamanan dan keselamatan di tempat kerja dikembalikan ke posisi

  awal

  4. Penilaian tentang kerusakan dapat dilakukan segera

  

5. Kontrol operasional dan finansial perusahaan dapat dipertahankan

  6. Brand Image perusahaan di lindungi maksimal

  

7. Tanggung jawab perusahaan yang urgent harus segera dipenuhi

  8. Proses untuk kembali ke situasi normal dapat dipercepat

  Hanya dengan memastikan bahwa ke delapan hal di atas terjaga dengan baik maka kita memiliki keyakinan bahwa perusahaan dapat melalui masa kritis. Berikut ini adalah dua contoh keadaan kritis yang dialami perusahaan dan program continuity planning yang mungkin dilakukan.

  Bayangkan sebuah Bank yang memiliki jaringan nasabah yang banyak dan sangat luas cakupan geografisnya, maka untuk menunjang kegiatan operasionalnya Bank ini akan sangat bergantung pada sistem informasi yang canggih. Karena kelemahan manajemen maka bank diserang oleh

  

killer risk. Misalnya bank gagal memenuhi batas minimum Capital

  Adequacy Ratio (CAR) sesuai dengan tuntutan regulator sehingga Bank dinyatakan tidak sehat dan nasabah mulai menarik dana dengan sangat cepat dan diikuti dengan Bank akan mengalami kalah kliring di Bank Indonesia.

  Maka Program Continuity Planning paling tidak harus menyentuh lima area operasional bank berikut ini :

  1. Bagaimana menjaga agar Infrastruktur IT dan Komunikasi perusahaan tetap berfungsi

  3. Bagaimana menjaga agar bank dapat tetap beroperasi pada tingkat yang minimal

  4. Bagaimana mempertahankan hubungan dengan supplier dan jalur distrisbusi yang ada

  5. Bagaimana menjaga agar personel – personel kunci tidak pergi meninggalkan perusahaan Mengapa Program Continuiy Planning harus menyentuh infrastruktur IT dan komunikasi . Sudahlah pasti bahwa era sekarang akan menuntut Bank modern sangat tergantung pada sistem IT. Sistem informasi teknologi di sini termasuk perangkat komputer mulai dari PC sampai mainframe serta software – software yang digunakan oleh Bank. Empat poin penting yang harus termasuk ke dalam program continuity adalah :

  1. Seberapa sering data harus di buat back up-nya

  2. Kalau sistem IT terpengaruh oleh killer risks maka seberapa cepat sistem komputer / IT dapat kembali keposisi operasional yang minimal

  3. Kalau menggunakan sistem IT cadangan, maka spesifikasi sistem cadangan harus dapat mendukung tingkat operasional minimum bank yang bersangkutan

  4. Hal yang sama berlaku untuk sistem komunikasi perusahaan Selain aset yang dapat dilihat, perusahaan juga memiliki aset yang sifatnya

  

intangible. Aset ini dapat tersimpan di dalam sistem informasi perusahaan

  namun dapat juga tersimpan dalam bentuk hard copy. Untuk yang terakhir ini maka program continuity harus masuk ke dalam area sistem filling perusahaan. Di mana dokumen akan disimpan ? Untuk dokumen – dokumen yang sangat berharga maka apakah harus dibuat copy ? dan apakah masing – masingnya harus disimpan dengan metode penyimpanan dan ditempat yang berbeda ? Tsunami yang menimpa Provinsi Aceh dan Sumutera Utara yang lalu memberikan gambaran betapa pentingya kedua hal di atas. Pada saat itu timbul persoalan : bagaimana memberikan verifikasi atas sebuah klaim yang timbul sehubungan dengan pinjaman kredit dari bank dan polis asuransi. Keadaan pada saat tersebut begitu parahnya di mana nasabah / tertanggung kehilangan bukti diri dan dokumen asli. Pihak bank / perusahaan asuransi yang berkantor di lokasi kejadian juga kehilangan semua berkas. Hampir semua data yang tersimpan pada kantor

  Memang pada akhirnya pemerintah menetapkan prosedur penyelesaian administrasi yang sangat pendek untuk mempermudah semua pihak memproses klaim yang diajukan. Sangat beruntung karena hampir semua bank dan perusahaan asuransi memiliki back – up data di kantor pusat atau di kantor cabang yang lebih besar. Bayangkan apa yang akan terjadi kalau peristiwa sejenis terjadi di kantor pusat perusahaan. Tanpa sistem back up yang andal maka kehidupan perusahaan akan terhenti / discontinued. Walaupun didera oleh killer risks bank harus berusaha sekuat - kuatnya untuk bertahan hidup. Bertahan hidup agar kalau nanti saat – saat kritis sudah berlalu maka bank dapat menjalankan recovery planning untuk sehat kembali. Dengan kata lain bank harus dapat hidup dan menjalankan kewajibannya walaupun pada tingkat yang minimal. Apakah yang dimaksud dengan tingkat yang minimal ? Adalah tingkat di mana perusahaan masih mampu memenuhi kewajibannya yang paling mendesak. Kita ambil kasus tutupnya bank – bank nasional Indonesia menyusul krisis moneter 1998. Pada saat itu keadaan sungguh – sungguh kacau. Banyak nasabah yang tidak bisa menarik dananya karena bank membatasi besar maksimal penarikan, seharusnya Bank tidak boleh melakukan pembatasan tersebut, karena Bank berkewajiban membayar seluruh penarikan yang dilakukan oleh nasabah. Kondisi minimal sebuah Bank adalah tetap sanggup membayar kewajibannya. Tanpa hal ini maka hampir dipastikan bank tidak akan mampu menjalani Recovery Planning pada tahap berikutnya. Dalam kondisi yang kepayahan bank juga harus tetap menjaga hubungannya dengan supplier dan seluruh sistem distribusinya. Hubungan ini penting di jaga agar bank dapat sukses menjalankan recovery planning. Tanpa hubungan yanng baik dengan distributor maka jelas perusahaan akan kesulitan untuk mengembangkan diri pada saat harus bangkit dari kesulitan. Secara fiansial perusahaan akan lemah dan dari segi posisi di market perusahaan dalam kondisi yang meragukan. Pada posisi ini maka kepercayaan dari para pemain di jalur distribusi akan menentukan berlanjutnya hidup perusahaan.

  Hal terakhir yang harus menjadi bagian dari Contingency Planning berkaitan dengan Sumber Daya Manusia perusahaan. Pada saat di mana perusahaan dalam kesulitan sangat mudah bagi para pegawai – pegawai kunci perusahaan untuk pergi. Pegawai dengan keahlian khusus akan manusiawi kalau mereka kemudian dalam saat – saat yang sulit mempertimbangkan penawaran dari pihak lain tersebut. Bertahan di saat kritis, perusahaan tidak akan membutuhkan semua pegawai, hanya beberapa pegawai yang memiliki kemampuan tertentu yang harus tinggal di perusahaan. Pada bagian di atas kita sudah melihat bahwa salah satu hal yang ingin dicapai oleh continuity planning adalah mendapatkan kontrol yang nyata dan efektif pada saat – saat kritis. Hal ini hanya bisa dicapai kalau SDM kunci tetap tinggal bersama perusahaan. Pegawai yang kurang penting relatif dapat direkrut pada saat perusahaan manjalani recovery planning. Kepentingan akan SDM menjadi sangat tinggi pada kasus perusahaan yang bergerak di bidang jasa. Pada perusahaan jenis ini, apa yang menjadi jaminan bagi para pelanggan, supplier atau jalur – jalur distribusi perusahaan adalah SDM perusahaan itu sendiri. Kalau SDM yang bersangkutan pergi meninggalkan perusahaan maka kepercayaan pihak – pihak di atas dapat jatuh ke titik terendah dan perusahaan tidak akan pernah bangkit lagi. Sebagai contoh lainnya adalah perusahaan asuransi dimana bisnis perusahaan manjual janji membayarkan ganti rugi pada saat klaim yang valid diajukan oleh pemegang polis. Pemegang polis seringkali tidak mau tahu dengan segala kerumitan yang ada di dalam perusahaan asuransi. Dalam kasus asuransi jiwa seringkali yang dikenal oleh pemegang polis di perusahaan tersebut hanyalah agen yang mendekati pemegang polis pada saat awalnya. Begitu krusialnya peranan agen pada asuransi jiwa sampai – sampai pada beberapa tahun lalu terjadi banyak terjadi pembajakan agen – agen yang berpresatasi bagus. Dalam kondisi perusahaan yang sedang kritis agen akan dengan mudah membawa seluruh pemegang polisnya pindah ke perusahaan asuransi jiwa lain. Berusaha meyakinkan agen – agen untuk tatap tinggal pada masa- masa sulit akan sangat menentukan masa depan perusahaan. Tentu saja hal ini harus disertai dengan harapan bahwa perusahaan akan mampu melewati masa – masa yang sulit. Pada bagian di atas kita sudah melihat beberapa contoh killer risks. Berikut ini adalah sisi lain dari killer risks yang harus menjadi perhatian pimpinan perusahaan. Risiko – risiko ini disebut Strategic Killer Risks. Contohnya

  1. Kegagalan dalam inovasi

  2. Kegagalan dalam memelihara reputasi

  3. Kegagalan dalam memberikan motivasi kepada pegawai

  4. Kegagalan dalam merespon keinginan pasar Berbeda dengan killer risks biasa (operasional) maka strategic killer risks terjadi karena akumulasi proses manajemen yang buruk di dalam perusahaan. Semakin lama keadaan perusahaan semakin buruk sampai pada satu saat perusahaan tidak tertolong lagi.

  Kita ambil contoh adalah kegagalan perusahaan dalam merespon keinginan pasar. Jenis usaha apapun akan mempunyai pasar yang selalu berubah. Pasar di sini termasuk pelanggan lama, calon pelanggan, kompetitor dan tentu saja regulator. Semua elemen yang baru disebutkan secara konstan berubah. Perusahaan harus mampu mengikuti perubahan tersebut atau akan mati karena perusahaan kompetitor yang akan melakukannya.

  Sama dengan killer risks pada tataran operasional maka dalam menghadapi strategic killer risks perusahaan membutuhkan continuity planning sebagai bagian dari strategi perusahaan dalam mencapai tujuannya.

  Penutup

  Pembahasan di atas adalah gambaran ringkas tentang risiko dan bagaimana perusahaan dapat mengendalikan Killer Risks. Killer risk dapat berupa killer risks yang bersifat operasional namun juga dapat berupa risiko yang bversifat strategis. Berbeda dengan risiko biasa maka konsekuensi dari bekerjanya risiko jenis ini adalah fatal yaitu perusahaan tutup / bangkrut. Continuity / Contingency Planning sebagai bagian dari Manmajemen Risiko akan menuntun perusahaan untuk melewati masa – masa kritis yang timbul akibat beroperasinya Killer Risks. Agar efektif dan efiesien maka kedua program ini harus masuk ke dalam Strategi Perusahaan.

  

BIODATA PEMBAWA ORASI ILMIAH

Daftar Riwayat Hidup

  Drs. Hendrisman Rahim, MA., FSAI., AAIJ. dilahirkan di Palembang pada tanggal 18 Oktober 1955 dan menyelesaikan pendidikan formal sebagai Sarjana Matematika dari FMIPA-UI pada tahun 1983 dan Program Diploma III Aktuaria di FMIPA-ITB serta menyelesaikan Master of Arts in Actuarial Science pada Ball State University, Muncie, Indiana, USA pada tahun 1992. Menikah dengan Luthfia Hidayati pada tahun 1984 dan dikarunia seorang putra Faristama Aryasa yang lahir pada tahun 1987. negara yang terbesar di Indonesia. Selain daripada itu, Ketua Persatuan Aktuaris Indonesia (PAI) juga dipegangnya sejak tahun 2000, sedangkan jabatan Wakil Ketua Komisi Penguji Asosiasi Ahli Manajemen Asuransi Indonesia dijabatnya sejak tahun 1998.

  Disamping itu, masih disempatkannya juga menjadi Staf Pengajar Program Pasca Sarjana Program Magister Universitas Gunadarma, Staf Pengajar Luar Biasa pada jurusan Matematika FMIPA-UI, Dosen tamu pada Program MM Aktuaria Universitas Indonesia serta ikut aktif sebagai pembicara maupun peserta pada Konferensi ataupun Seminar baik Internasional, Regional maupun Domestik.