Erotisme dalam Seri Bacaan Sastra Anak P

EROTISME DALAM SERI BACAAN SASTRA ANAK, PANTASKAH? *)
(Eroticism in Children Literature Series, Is it Suitable?)

Oleh/By:
Shintya
Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah
Jalan Elang Raya, Mangunharjo Tembalang, Semarang
Telepon 024-76744357, 70769945; Faksimile 024-76744358, 70799945,
[email protected]
Pos-el: [email protected]
*) Diterima : 24 Agustus 2012, Disetujui : 11 September 2012

ABSTRAK
Salah satu unsur pantangan dalam sastra anak adalah erotisme. Namun, ternyata ada bacaan sastra
anak yang mengandung unsur tersebut yang tidak tepat dikonsumsi anak. Penelitian ini mengkaji
apakah seri bacaan sastra anak berjudul Sita Dewi dalam Penjara Rawana, Manarmakeri, dan
Arya Banjar Getas tepat untuk dikonsumsi anak. Penelitian ini merupakan jenis penelitian
kualitatif. Analisis penelitian ini menekankan pada interpretasi isi dari buku-buku tersebut
sehingga bersifat deskriptif interpretatif. Hasil penelitian menunjukkan buku-buku tersebut tidak
layak untuk anak karena mengandung erotisme. Hal itu terlihat pada kata, kalimat, paragraf, dan
ilustrasi yang ada dalam buku-buku tersebut.

Kata kunci: sastra anak, unsur pantangan, erotisme.

ABSTRACT
One of taboos in children’s literature is eroticism. Unfortunately, there are some children’s
literature reading contain elements that are unsuitable for consuming by children. This study
examines whether children literature reading series are titled Sita Dewi dalam Penjara Rawana,
Manarmakeri, and Arya Banjar Getas good for the child consumed. This study is a qualitative
research. The study focuses on the contain of those books through interpretative descriptive
analysis. The results show those books are not good for children because it contains eroticism. It
can be seen in the words, sentences, paragraphs, and illustrations in the book.
Keywords: children's literature, taboos, eroticism.

I. PENDAHULUAN

1

Kita prihatin mendapati bacaan sastra yang khusus dibuat dan dikonsumsi
anak mengandung unsur-unsur yang tidak sesuai dengan perkembangan
psikologinya. Kita tahu bahwa daya tangkap, pemahaman konsep, daya pikir, dan
imajinasi anak tentu berbeda dengan remaja ataupun dewasa. Oleh karena itu,

bacaan yang dikonsumsi anak haruslah sesuai dengan perkembangannya.
Karya sastra seperti apakah yang cocok untuk anak? Karya sastra yang
diperuntukkan

untuk

anak

menurut

Nurgiyantoro

(2005:35—41)

harus

memberikan beberapa manfaat untuk kejiwaan anak. Nurgiyantoro menambahkan
bahwa sastra anak memiliki pengaruh yang besar bagi perkembangan kepribadian
anak dalam proses menuju kedewasaannya sebagai manusia. Pengaruh tersebut
ialah membentuk pertumbuhan berbagai pengalaman (rasa, emosi, bahasa),

personal (kognitif, spiritual, etis, spritual), eksplorasi dan penemuan, serta
petulangan dan kenikmatan.
Sastra anak pada umumnya berangkat dari fakta konkret berdasarkan
pengalaman dan pengetahuan anak agar mudah diimajinasikan dan dapat
dipahami oleh anak. Isi dan kandungan sastra anak juga harus disesuaikan dengan
perkembangan emosi dan kejiwaan anak.
Sastra anak tidak harus berkisah tentang anak. Sastra anak dapat berkisah
tentang apa saja yang menyangkut kehidupan, baik kehidupan manusia, binatang,
tumbuhan, maupun kehidupan yang lain termasuk makhluk dari dunia lain.
Namun, apa pun isi kandungan cerita yang dikisahkan mestilah berangkat dari
sudut pandang anak, dari kacamata anak dalam memandang dan memperlakukan

2

sesuatu, dan sesuatu itu haruslah berada dalam jangkauan pemahaman emosional
dan pikiran anak (Nurgiyantoro, 2005:8).
Pengalaman anak masih terbatas sehingga anak belum dapat memahami
cerita yang melibatkan pengalaman hidup yang kompleks. Berbagai pengalaman
abstrak dan nonverbal sebagaimana yang biasa dialami orang dewasa, misalnya
pengalaman religius yang amat mendalam; peristiwa sebab-akibat yang kompleks

seperti cinta segitiga, pengkhianatan, belum dapat dijangkau dan dipahami oleh
anak. Cerita tentang nostalgia yang melibatkan proses emosional yang ruwet dan
dengan bahasa yang abstrak, misalnya, adalah cerita untuk dewasa dan bukan
untuk anak. Demikian juga cerita yang mengandung keputusasaan, kepatahhatian,
politik, atau yang bernada sinis juga bukan sifat sastra anak (Nurgiyantoro,
2005:6—7).
Selain pengalaman, anak juga terbatas pada hal bahasa dan cara
pengisahan cerita. Anak belum dapat menjangkau dan memahami kosakata dan
kalimat yang kompleks. Oleh karena itu, secara umum dapat dikatakan bahwa
bahasa sastra anak adalah berkarakteristik sederhana baik dalam kosakata,
struktur, maupun ungkapan.
Riris K. Toha Sarumpaet (dalam http://sdn12sungairotan.blogspot.com/
2012/03/sastra-anak.html), seorang pemerhati sastra anak dari Universitas
Indonesia, mengungkapkan bahwa ada unsur-unsur pantangan dalam sastra anak.
Sastra anak pantang terhadap tema atau hal-hal percintaan yang bersifat erotis,
kekejaman yang keji, kesengsaraan yang menyedihkan, dan perbuatan tercela
yang penuh prasangka buruk, itu disebabkan oleh kondisi si anak yang masih suci,

3


jernih, penuh kasih sayang, dan kepribadian yang masih labil sehingga mudah
dibentuk. Sastra anak harus memberikan sesuatu hal yang bermanfaat bagi
kehidupan anak di kemudian hari, membentuk kepribadian yang bermoral, dan
mampu mengembangkan kreativitas untuk meraih cita-cita berbudi pekerti luhur
dan mulia hidupnya. Dengan menghindari pantangan itu diharapkan sastra anak
mampu menjadi media pendidikan yang efektif bagi kehidupan anak di masa
depan.
Pemilihan bahan bacaan untuk anak harus mempertimbangkan beberapa
aspek, yaitu aspek intelektual, emosional, kemampuan berbahasa anak, dan
struktur organisasi isi bacaan (Nurgiyantoro, 2005:210). Dengan demikian,
sebelum kita menilai suatu bacaan apakah cocok untuk dibaca anak-anak, kita
dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan berikut. Apakah anak secara intelektual
dapat memahami materi bacaan cerita itu? Apakah anak secara emosional sudah
siap untuk menerima isi bacaan tersebut? Apakah anak secara kebahasaan sudah
mampu memahami isi bacaan itu? Apakah anak sudah dapat menjangkau struktur
organisasi isi cerita?
Ternyata tidak semua bacaan sastra anak yang beredar di masyarakat
sesuai dengan syarat-syarat tersebut. Tahun 2012 ini masyarakat dikejutkan
dengan salah satu bacaan dalam buku LKS anak SD berjudul “Bang Maman dari
Kali Pasir”. Cerita tersebut menghebohkan karena menyinggung tentang istri

simpanan. Konsep tentang istri simpanan bila ditinjau dari segi budaya dan pesan
moral,

dinilai

tidak

sesuai

bagi

anak-anak

usia

6—8

tahun

4


(http://edukasi.kompas.com/read/2012/04/17/1245030/Ketidakmampuan.Guru.Me
milih.Bacaan.Tepat.bagi.Siswa ).
Selain kasus buku LKS tersebut, munculnya buku berjudul Ada Duka di
Wibeng karya Jazimah Al Muhyi, novel misteri Tidak Hilang Sebuah Nama karya
Galang Lutfianto dan Tambelo, Kembalinya Si Burung Camar karya Redhite K
dengan penerbit Era Adi Citra Intermedia juga diisinyalir berisi hal-hal yang tidak
cocok untuk anak-anak (http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/
2012/06/11/189119/Buku-Porno-Beredar-di-Perpustakaan-Sekolah).

Buku

tersebut berkisah seputar seks bahkan penyimpangan seksual. Dari 142 halaman
buku yang berjudul Tambelo, Kembalinya Si Burung Camar, setidaknya terdapat
13 halaman yang berisi kalimat tidak layak. Hal yang sama juga ada dalam buku
Ada Duka di Wibeng karya Jazimah Al Muhyi. Secara vulgar buku ini
mengumbar cerita tentang seks bebas. Tidak hanya itu, buku ini juga mengajarkan
cara

berhubungan


intim

supaya

aman

dari

kemungkinan

kehamilan

(http://edukasi.kompas.com/read/2012/06/02/07393276/Buku.Bermuatan.Pornogr
afi.Ditarik). Ketiga buku tersebut sebenarnya cocok jika ditujukan untuk kaum
remaja, tetapi entah bagaimana buku-buku ini malahan masuk ke beberapa
perpustakaan SD.
Bacaan sastra anak yang tidak sesuai dengan tingkat perkembangan
psikologinya tidak hanya terbatas pada judul-judul yang telah disebutkan tadi.
Oleh sebab itu, penulis tertarik untuk meneliti Arya Banjar Getas: Kumpulan

Cerita Rakyat Lombok, Manarmakeri: Cerita Rakyat Papua, dan Sita Dewi dalam
Penjara Rawana sebagai seri bacaan sastra anak. Apakah buku-buku yang

5

ditujukan untuk segmen anak-anak (diungkapkan dalam kata pengantar buku
tersebut) tersebut mengandung unsur-unsur pantangan, khususnya erotisme yang
sebenarnya tidak boleh ada.

II. METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif yang menekankan
kajian kepada isi dari objek penelitian. Objek penelitian ini ialah tiga sampel buku
seri bacaan sastra anak yang diambil secara acak. Buku-buku tersebut berjudul
Arya Banjar Getas: Kumpulan Cerita Rakyat Lombok (Slamet Riyadi Ali, 2005),
Manarmakeri: Cerita Rakyat Papua (Asmabuasappe, 2004), dan Sita Dewi dalam
Penjara Rawana (Suyono Suyatno, 2004). Alasan pemilihan ketiga buku tersebut
adalah ketiganya berisi cerita rakyat yang mewakili tiga daerah di Indonesia. Sita
Dewi dalam Penjara Rawana dari Jawa (daerah barat Indonesia), Arya Banjar
Getas dari Lombok (daerah tengah Indonesia), dan Manarmakeri dari Papua
(daeerah timur Indonesia).

Metode pengumpulan data penelitian ini adalah kajian pustaka yang
dilakukan dengan cara membaca semua dokumen yang berkaitan dengan data.
Data kemudian diinventarisasi, selanjutnya dianalisis sesuai dengan teori dan
pendekatan penelitian.
Teknik analisis data penelitian ini adalah teknik analisis deskriptif
kualitatif. Data-data yang telah terkumpul kemudian dikaitkan dengan teori-teori
sastra anak. Analisis data dilakukan untuk memperoleh kata, kalimat, maupun
paragraf yang penulis anggap tidak layak dikonsumsi anak.

6

III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Sita Dewi dalam Penjara Rawana
Unsur erotisme merupakan hal yang tabu diungkapkan dalam buku bacaan
sastra anak. Jiwa anak-anak yang masih polos, sangat sayang jika harus dinodai
dengan hal-hal yang bersifat porno. Hal itu secara tersirat terdapat dalam buku
Sita Dewi dalam Penjara Rawana yang ditulis oleh Suyono Suyatno pada tahun
2004. Buku tersebut mengisahkan tentang Rawana yang terpikat pada Sita.
Padahal saat itu, Sita sudah menjadi istri Rama. Cara penulis dalam
menggambarkan perasaan Rawana yang memendam cintanya pada Sita

diungkapkan dalam kalimat berikut.
“Telah lama Rawana mendambakan Sita. Telah lama Rawana
membayangkan Sita sebagai kekasih. Paras Sita yang cantik, sorot
matanya yang bening dan sejuk, cara bicaranya yang lembut, lekuk
tubuhnya yang sempurna sebagai perempuan, senantiasa menggoda angan
Rawana. (Suyatno, 2004:1).
Kalimat bergaris bawah di atas menggambarkan kecantikan Sita yang
sempurna. Penulis mengungkapkannya dengan kalimat lekuk tubuhnya ....
senantiasa menggoda angan Rawana. Kalimat itu mengandung konotasi
pornografi yang sebenarnya tidak pantas untuk bacaan anak-anak usia Sekolah
Dasar. Membaca buku tersebut, anak-anak dimungkinkan terdorong untuk
berimajinasi bagaimana lekuk tubuh perempuan yang disebut sempurna sehingga
sanggup menggoda lelaki sedemikian rupa.
Di halaman lain dalam buku tersebut diceritakan saat Sita Dewi berhasil
diculik oleh Rawana, Sita Dewi sengaja mencabik-cabik kain pakaiannya dan

7

menyerakkannya ke tanah dengan maksud memudahkan Sri Rama mengikuti
jejaknya. Namun, saat Rama menemukan cabikan kain tersebut, dia malah
berpikir Sita Dewi diperkosa. Hal ini tampak dalam kutipan berikut.
Sri Rama merasa gamang. “Isyarat apa ini?” tanyanya dalam hati dengan
perasaan kalut. “Apakah Sita Dewi sengaja mengisyaratkan jejaknya
dengan cabikan kainnya? Ataukah Sita Dewi telah diperkosa orang
sehingga kain yang dikenakannya tercabik-cabik?” (Suyatno, 2004:10).
Kalimat yang bergaris bawah di atas mengisyaratkan pemerkosaan dan
ketelanjangan. Atau dengan kata lain, orang yang kainnya tercabik-cabik pasti
diperkosa. Pemerkosaan merupakan hal yang belum pantas dikenalkan pada anakanak.
Buku tersebut juga menceritakan bahwa kemolekan tubuh perempuan
merupakan sumber malapetaka bagi perempuan itu sendiri. Hal itu diungkapkan
dalam kalimat berikut.
“Duh, Gusti,” ratap Sita Dewi dalam keluh panjang yang tak terucapkan,
‘kenapa semua yang kumiliki dan melekat pada diriku menjadi sumber
malapetaka bagi diriku? Kenapa kecantikan wajahku, kemolekan tubuhku,
pada akhirnya hanya memerangkapku dalam derita dan petaka? Kenapa
tubuh dan wajahku tidak rata dan datar saja sehingga tak akan pernah
mengundang Rawana untuk menculikku? Duh, Gusti, lekuk tubuhku,
pesona wajahku hanya menciptakan bara api pada lelaki!” (Suyatno,
2004:36—37).
Istilah lekuk tubuh dan menciptakan bara api pada lelaki muncul lagi
dalam kalimat di atas. Padahal kedua konsep tersebut jauh dan asing dari
pengalaman dan pengetahuan anak-anak. Lekuk tubuh perempuan yang
bagaimana yang dapat menciptakan bara api pada lelaki? Bara api yang seperti
apa? Apa maksudnya?? Dengan membaca kutipan tersebut, anak-anak akan
bertanya tentang konsep ‘dewasa’ yang belum pantas dikenalkan pada anak-anak.

8

Penulis buku Sita Dewi dalam Penjara Rawana saat menggambarkan
Rawana yang ingin menyentuh Sita Dewi juga menggunakan kalimat-kalimat
yang mengandung unsur erotisme yang seharusnya tidak layak dikonsumsi anakanak. Hal itu terlihat dalam beberapa kalimat berikut.
..... tak terduga Rawana datang menghampirinya dan berusaha menyentuh
kemolekan tubuhnya yang telah memabukkan Rawana (Suyatno, 2004:37).
Namun, gairah Rawana untuk menaklukkan dan mendapatkan Dewi Sita
tak kunjung padam (Suyatno, 2004:37).
“Jangan sentuh aku!” teriak Sita Dewi panik. “Lebih baik aku mati
daripada ternoda oleh sentuhanmu!” (Suyatno, 2004:37).

Bagi anak-anak yang masih polos, konsep “menyentuh” berbeda dengan
konsep “menyentuh” dalam konteks kutipan tersebut. “Menyentuh’ dalam konteks
buku tersebut bisa menyebabkan seorang perempuan menjadi ternoda. Konsep
“ternoda” juga merupakan konsep yang abstrak bagi pikiran anak-anak. Mereka
sulit memahami apa yang dimaksud penulis dengan istilah tersebut.
Selain itu, secara tidak langsung buku tersebut juga menceritakan cinta
birahi seorang ayah kepada anak kandungnya. Hal itu terlihat dalam kutipan
berikut.
Sita Dewi hanya bisa meratap dalam hati, “Duh, Gusti, kenapa Kau
berikan wajah yang rupawan, tubuh yang molek, padaku sehingga bapakku
pun tergoda padaku, menjadi kalap nafsunya, lupa segalanya hingga tega
berbunuhan dengan lelaki yang sesungguhnya menantunya? Duh, Gusti,
kenapa wajah dan tubuhku tak datar dan rata saja hingga tak akan pernah
melahirkan perang dan saling bunuh?” (Suyatno, 2004:57).

Kutipan di atas memperlihatkan cinta terlarang antara bapak (Rawana) dan
anak kandungnya (Sita Dewi). Rawana menurut versi buku tersebut sesungguhnya

9

merupakan bapak kandung Sita Dewi. Ketika Sita Dewi masih bayi, seorang
peramal mengatakan bahwa kelak suami Sita Dewi akan membunuh Rawana.
Karena ramalan tersebut, Rawana membuang si bayi ke tengah laut. Dengan
berjalannya waktu, Rawana semakin melupakan Sita Dewi dan tak lagi mengenali
anaknya, bahkan berniat memperistrinya.
Cinta birahi seorang ayah terhadap anaknya itu digambarkan secara tidak
langsung oleh keluhan Sita, dan sayangnya penulis melukiskannya dengan katakata yang tidak pantas bagi anak-anak. Hal tersebut tampak dalam ungkapan “...
bapakku pun tergoda padaku, menjadi kalap nafsunya, lupa segalanya hingga tega
berbunuhan dengan lelaki yang sesungguhnya menantunya?”

3.2 Manarmakeri
Manarmakeri merupakan salah satu cerita rakyat dari Papua. Cerita rakyat
tersebut diinvetarisasikan oleh Asmabuasappe pada tahun 2004 dalam bentuk seri
bacaan sastra anak dan ditujukan untuk anak-anak. Buku itu berisi cerita tentang
seorang pemuda tampan bernama Yawi Nusyado. Karena kesalahan yang
dibuatnya, Yawi Nusyado dikutuk menjadi tua, kurus, dan penuh kudis.
Perubahan bentuk fisik tersebut membuat penduduk sekitar menjulukinya dengan
nama baru yaitu Mansar Manarmakeri, artinya orang tua yang berkudis atau
berkoreng. Manarmakeri dapat berubah lagi ke sosok aslinya, Yawi Nusyado,
asalkan berhasil menjalani beberapa ujian yang akan mengantarkannya kepada
kehidupan yang bahagia.

10

Walaupun Manamarkeri merupakan seri bacaan sastra anak, tetapi ada
beberapa peristiwa dalam buku tersebut belum layak dikonsumsi anak-anak
karena dapat menimbulkan imajinasi yang mengarah ke pornografi. Contohnya
cerita tentang Manarmakeri yang sedang bermimpi. Dalam mimpi, dia melihat
seorang gadis yang amat rupawan sedang mandi di danau.
Dari balik semak tempat ia bersembunyi, Manarmakeri menatap kesintalan
tubuh gadis itu. Matanya tak berkedip. Gadis itu sedang asyik berenang di
sebuah danau yang airnya sangat jernih. Ia bergerak ke sana kemari.
Pemilik tubuh sintal itu sungguh memiliki wajah yang sangat rupawan
(Asmabuasappe, 2004:24).
Pada kalimat bergaris bawah di atas, pembaca dapat membayangkan
bahwa Manarmakeri sedang memandang seorang gadis yang sedang berenang.
Diceritakan pula bahwa gadis itu memiliki tubuh yang sintal sehingga membuat
Manarmakeri tak berkedip memandangnya. ‘Sintal’ menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (2008) didefinisikan: 1. gemuk padat atau padat berisi; 2.
kenyal atau tebal dan kencang.
Apakah layak jika bacaan anak menggambarkan ketertarikan seorang lakilaki terhadap bentuk tubuh seorang perempuan sampai-sampai memandangnya
tanpa berkedip? Dengan membaca kisah tersebut, tentunya anak-anak akan
berimajinasi tentang kesintalan tubuh perempuan. Buku tersebut menggambarkan
perilaku mengintip orang mandi yang tidak boleh dilakukan siapa pun pada siapa
pun.
Perempuan yang diintip oleh Manarmakeri itu bernama Insoraki, putri
tunggal panglima Rumbarak yang berkuasa di tanah Cendrawasih. Mengetahui
dirinya diintip kala mandi, Insoraki tidak marah bahkan mendekati Manarmakeri.

11

Usai mengenakan pakaian, tiba-tiba gadis itu mengarahkan pandangan ke
semak tempat Manarmakeri bersembunyi. Perlahan ia melangkah
mendekati Manarmakeri. Laki-laki tua berkudis yang dalam tidur melihat
dirinya yang asli, yaitu dalam sosok pemuda Yawi Nusyado gelalapan
(Asmabuasappe, 2004:25).

Mulanya,

Manarmakeri

mengira

Insoraki

akan

memarahinya.

Manarmakeri pasrah jika Insoraki melampiaskan amarahnya karena diintip ketika
mandi. Namun, Insoraki tidak marah, bahkan dia menyapa Manarmakeri dengan
lembut. Perlakuan ini membuat Manarmakeri mimpi basah. Hal itu digambarkan
dalam kalimat berikut.
Mendapat perlakuan yang bertolak belakang dengan apa yang dibayangkan
membuat Manarmakeri tambah salah tingkah. Ia tidak tahu harus berbuat
apa. Tiba-tiba ia merasa kebelet ingin buang air kecil. Saat itulah
Manarmakeri terjaga dari tidurnya. Napasnya terengah-engah. Keringat
dingin membasahi sekujur tubuhnya, dan ah …, tempat tidurnya pun ikut
basah. Ternyata Manarmakeri, si laki-laki tua berkudis itu ngompol di
tempat tidur (Asmabuasappe, 2004:25).

Pembaca dewasa tentunya sudah dapat menebak bahwa kutipan tersebut
berkaitan dengan mimpi basah, mimpi erotis sebagai pertanda seorang laki-laki
telah dewasa. Konsep itu sangat abstrak dan tidak layak dikonsumsi untuk anakanak usia sekolah dasar, sehingga deskripsi dalam kutipan tersebut sebenarnya
tidak perlu dikemukakan dalam cerita. Lagi pula, dengan hilangnya deskripsi
tersebut tidak akan memengaruhi alur cerita. Cukuplah diceritakan Manarmakeri
melihat

seorang

gadis

kemudian

tertarik

padanya.

Deskripsi

tentang

ketelanjangan, kesintalan tubuh Insoraki, dan mimpi basah Manarmakeri tidak
perlu diungkap.

12

Sejak bertemu Insoraki—walaupun dalam mimpi—Manarmakeri jatuh
cinta kepadanya. Suatu saat dia mendapat ‘pencerahan’ dari Makmeser—seorang
yang sakti—bila Insoraki sedang mandi di pantai bersama teman-temannya, ia
harus segera memetik buah bintanggur dan melemparnya ke laut. Ajaibnya, buah
bintanggur yang mengenai tubuh Insoraki tersebut mengakibatkan kehamilan.
Sebenarnya kisah kehamilan ajaib tersebut bisa saja diterima oleh anakanak, tetapi sayangnya penulis menggambarkannya dengan menggunakan istilah
dewasa yaitu ‘menyentuh payudara’. Hal itu terlihat dalam kutipan-kutipan
berikut.
Sesuai pesan Makmeser, buah itu dilemparkan ke laut. Buah bintanggur
lalu bergerak dihempaskan oleh ombak ke arah gadis-gadis yang sedang
mandi dan menyentuh payudara Insoraki. Diambilnya lagi buah bintanggur
lalu dilemparkan ke laut dan kejadian tadi berulang kembali. Buah itu
bergerak ke arah Insoraki dan kembali menyentuh payudara anak gadis
Panglima Rumbarak. Peristiwa ini berulang sampai tiga kali berturut-turut.
Walaupun merasa ganjil dengan tiga buah bintanggur yang selalu datang
menyentuh payudaranya, namun Insoraki tidak begitu peduli
(Asmabuasappe, 2004:38)

Ternyata inilah keajaiban koreri syeben pemberian Mekmeser atau si
Bintang Pagi. Buah bintanggur yang ia lemparkan ke laut dan menyentuh
payudara Insoraki telah menyebabkan kehamilan pada diri sang putri
(Asmabuasappe 2004:50).

Empat kali penulis menggunakan istilah ‘menyentuh payudara’ dalam
bukunya. Sebenarnya istilah itu tidak perlu dimunculkan. Istilah tersebut dapat
mengundang keingintahuan anak-anak, ada apa dengan menyentuh payudara dan
hubungannya dengan kehamilan.
“Tapi tidak mungkin kamu bisa hamil anakku, jika tak ada laki-laki yang
telah berbuat kurang ajar kepadamu,” jawab si ibu lembut membelai
kepala putrinya (Asmabuasappe, 2004:44).

13

Kutipan tersebut seolah-olah ingin menyampaikan bahwa seorang
perempuan tidak mungkin hamil jika tidak ada laki-laki yang berbuat kurang ajar
kepada perempuan tersebut. Padahal, kehamilan bukan disebabkan oleh
kekurangajaran seorang laki-laki terhadap perempuan (“kekurangajaran” bisa
dimaknakan dalam bentuk apapun), tetapi karena bertemunya sel sperma laki-laki
dan sel telur perempuan yang melakukan hubungan sex. Informasi tersebut dapat
menyebabkan kesalahan konsep penyebab kehamilan pada diri anak yang
membaca cerita tersebut. Akibatnya, anak-anak dapat berpendapat bahwa setiap
laki-laki yang berbuat kurang ajar kepada perempuan dalam bentuk apapun,
perempuan itu langsung hamil. Padahal konsep “kekurangajaran” versi anak-anak
dengan konsep “kekurangajaran” yang dimaksud dalam cerita tersebut berbeda.
Dengan demikian, penulis cerita ingin memaksakan konsep dewasa kepada anakanak yang belum dapat memahaminya. Hal yang sama terlihat pada berikut.
“Aku berani bersumpah demi ayah dan ibu serta demi langit dan bumi.
Tak ada seorang pun laki-laki yang telah menyentuhku meski hanya
seujung jari, Ibu, “ lanjut Insoraki meyakinkan ibunya (Asmabuasappe,
2004:44).

Konsep “menyentuh” dalam kutipan tersebut menurut pemahaman pembaca anakanak tentunya berbeda dengan pembaca dewasa. “Menyentuh” pada kutipan
tersebut mengandung makna ‘menempelkan jari pada perempuan dapat
mengakibatkan kehamilan’. Apakah hal ini bisa dipahami oleh anak-anak?
Konsep “menyentuh” yang tidak bisa diterima dalam pemahaman anakanak juga terlihat dalam kalimat berikut.

14

Manamarkeri belum pernah menyentuh Insoraki meski hanya ujung jari si
adik (Asmabuasappe, 2004:61).

Di bagian lain, penulis cerita tersebut menggunakan istilah ‘dewasa’ untuk
menggambarkan perasaan Insoraki kala mengetahui dirinya hamil. Hal itu terlihat
dalam kutipan berikut.
“Tuhan, aku tidak tahu apa yang terjadi pada diriku. Aku tidak mengerti
bisa hamil padahal tubuhku tak pernah disentuh apalagi digauli seorang
laki-laki …,” doa Insoraki di tengah kesunyian malam serta tangis pilu
(Asmabuasappe, 2004:44)..

Istilah ‘digauli’ dalam konsep di atas artinya disetubuhi yang akhirnya
menyebabkan kehamilan Insoraki. Konsep tersebut tidak sesuai dengan konsep
pada anak-anak. Mereka lebih mengenal konsep ‘gaul’ yang diartikan sebagai
‘teman’. Sehingga konsep ‘digauli’ dianalogikan ‘ditemani’? Perbedaan konsep
tersebut menyebabkan anak-anak beranggapan bahwa ditemani alih-alih digauli
bisa menyebabkan kehamilan.
Selain menggunakan istilah-istilah yang dapat menimbulkan imajinasi dan
mengarah ke pornografi, kata berkonotasi negatif dan bernuansa kasar juga ada
dalam buku tersebut. Hal itu dapat dilihat dalam kalimat berikut.
“Ia ingin tahu siapa laki-laki bejat yang telah berani menyentuh putrinya.”
(Asmabuasappe, 2004:43).

Bejat dalam bahasa Jawa digunakan untuk menggambarkan karakter dan tingkah
laku seseorang yang buruk sekali. Kosakata tersebut sebaiknya tidak muncul
dalam buku yang dibuat untuk konsumsi anak-anak. Hal itu dapat menyebabkan
anak-anak meniru apa yang dibacanya.

15

Hal kasar lainnya yang sebenarnya tidak layak ada dalam buku tersebut
digambarkan dalam kutipan berikut.
Tiba-tiba kebencian kepada Manarmakeri kembali membara di hati
Insoraki. Laki-laki tua bangka itu betul-betul telah menghancurkan
hidupnya. Jika bukan karena Manarbew yang tidak ingin berpisah dari
ayahnya, tentu ia sudah meludahi muka laki-laki kudisan itu lalu ikut
bersama ayah dan ibunya ke Pulau Yapen (Asmabuasappe, 2004:62).

Penulis berusaha menggambarkan kebencian hati Insoraki pada Manarmakeri
dengan deskripsi yang terlalu ‘kasar’ untuk anak-anak. Dalam kalimat tersebut
disebutkan Insoraki ingin meludahi Manarmakeri (yang digambarkan bersosok
laki-laki tua bangka dan kudisan). Perilaku meludahi seseorang merupakan hal
yang sangat tercela dan tidak boleh dilakukan pada siapapun. Dengan demikian,
deskripsi perilaku yang mengungkapkan kebencian secara kasar dan terangterangan tersebut tidak perlu ada.

3.3 Arya Banjar Getas
Arya Banjar Getas merupakan seri bacaan sastra anak yang ditulis oleh
Slamet Riyadi Ali pada tahun 2005. Buku tersebut berisi kumpulan cerita dari
Lombok. Tidak seperti buku berjudul Sita Dewi dalam Penjara Rawana ataupun
Manarmakeri yang telah diulas sebelumnya, buku Arya Banjar Getas tidak
memuat kata-kata erotisme secara langsung. Buku tersebut juga tidak berkisah
pemerkosaan dan konsep-konsep dewasa lainnya yang sulit diterima oleh pikiran
anak-anak. Namun, buku tersebut memuat ilustrasi yang tidak layak ditampilkan
karena tidak pantas untuk dilihat oleh anak-anak.

16

Cerita pertama dalam buku tersebut tentang Arya Banjar Getas. Arya
Banjar Getas merupakan anak seorang raja di Pulau Lombok. Sejak lahir dia
memiliki suatu tanda yang amat aneh. Ujung kemaluannya kerap kali
memancarkan sinar. Seorang ahli nujum menyampaikan kepada sang Raja bahwa
tanda yang dimiliki putranya itu adalah suatu tanda panas. Akibatnya, Arya Banjar
Getas yang saat itu masih bayi, dimasukkan ke dalam peti dan dihanyutkan ke
laut. Bayi mungil itu kemudian ditemukan dan diangkat menjadi anak oleh
seorang raja di Jawa. Banjar Getas tumbuh menjadi seorang anak yang tampan
dan sangat cerdas. Sayang, ketika Banjar Getas remaja, permaisuri meninggal.
Raja sangat bersedih atas musibah itu.
Pada suatu hari, raja sangat rindu akan permaisurinya. Ia pun berniat untuk
memiliki lukisan permaisuri untuk kenang-kenangan. Oleh karena itu, raja
memanggil para seniman. Akan tetapi, tak seorang pun di antara mereka yang
sanggup mengerjakannya. Akhirnya, Banjar Getas mengajukan permohonan untuk
menggarapnya. Permohonan itu diterima oleh sang raja. Banjar Getas pun segera
melukis permaisuri.
Saat lukisan tersebut jadi, semua orang mengaguminya. Wajah permaisuri
dalam lukisan tak berbeda sedikit pun dengan aslinya. Akan tetapi, setelah
memperhatikan lukisan itu dengan cermat, sang raja menjadi sangat murka.
Lukisan itu sangat menyinggung perasaan sang raja. Karena di salah satu tubuh
lukisan permaisuri terdapat tahi lalat. Tahi lalat itu memang dimiliki oleh
permaisuri dan tepat pada tempat yang sangat rahasia. Cerita tersebut
diilustrasikan dalam gambar berikut.

17

Ilustrasi pada buku tersebut memperlihatkan seorang lelaki bertelanjang
dada sedang membuat lukisan seorang perempuan yang juga bertelanjang dada.
Tahi lalat yang diceritakan dimiliki permaisuri di suatu tempat yang sangat rahasia
ternyata digambarkan di bagian payudaranya. Sehingga dengan mata awam,
payudara bahkan puting permaisuri dalam lukisan tersebut tergambar dengan
jelas.
Andai saja penulis buku Arya Banjar Getas hanya menceritakan kisah saat
Arya Banjar Getas melukis permaisuri tanpa menyertakan ilustrasi secara detail,
buku itu masih dikategorikan layak dikonsumsi anak-anak. Ilustrasi yang
menggambarkan ketelanjangan seorang perempuan terlebih dengan puting
payudaranya yang terlihat jelas sebaiknya tidak ada dalam buku anak-anak.

18

IV. PENUTUP
Buku seri bacaan sastra anak yang berjudul Sita Dewi dalam Penjara
Rawana, Manarmakeri, dan Arya Banjar Getas tidak layak dikonsumsi oleh anakanak karena mengandung unsur-unsur erotisme. Unsur-unsur erotisme tersebut
terdapat pada beberapa kata, kalimat, paragraf, maupun ilustrasi buku baik secara
langsung maupun tidak langsung. Unsur-unsur erotisme tersebut meliputi cerita
tentang ketelanjangan perempuan, pemerkosaan, kehamilan, dan hal-hal lain yang
dikhawatirkan dapat menimbulkan imajinasi pornografi pada anak-anak.
Kita sebaiknya selektif dalam pemilihan bacaan untuk anak-anak. Jika kita
tidak selektif pada bacaan apa yang dibaca oleh anak-anak, pengaruh negatif dari
buku-buku yang ‘salah’ berpotensi merusak jiwa, pikiran, dan perilaku mereka.
Penulis buku anak-anak sebaiknya berhati-hati dalam menulis. Mereka
harus mempertimbangkan tingkat perkembangan psikologi pembacanya. Hal-hal
yang menjurus pornografi sebaiknya dihilangkan dalam cerita mereka. Penulis
diharapkan kreatif dalam mengolah cerita agar nilai-nilai moral yang ingin
diangkat melalui cerita tersebut tetap menarik tanpa disuguhi hal-hal tabu.
Akhirnya, tanggung jawab moral untuk memberikan bacaan yang baik dan
sesuai bagi anak merupakan tanggung jawab bersama. Masa depan bangsa ini ada
di pundak anak-anak. Sampai saatnya tiba, kita harus mendidik mereka menjadi
generasi yang cerdas dan berkualitas sehingga mereka siap dan mampu
meneruskan perjuangan kita.

DAFTAR PUSTAKA

19

Ali, Slamet Riyadi. 2005. Arya Banjar Getas: Kumpulan Cerita Rakyat Lombok.
Jakarta: Pusat Bahasa.
Asmabuasappe. 2004. Manarmakeri: Cerita Rakyat Papua. Jakarta: Pusat Bahasa.
Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Sastra Anak: Pengantar Pemahaman Dunia Anak.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Suyatno, Suyono. 2004. Sita Dewi dalam Penjara Rawana. Jakarta: Pusat Bahasa.
http://edukasi.kompas.com/read/2012/04/17/1245030/Ketidakmampuan.Guru.Me
milih.Bacaan.Tepat.bagi.Siswa diunduh tanggal 12 Juli 2012
http://edukasi.kompas.com/read/2012/06/02/07393276/Buku.Bermuatan.Pornogra
fi.Ditarik diunduh tanggal 12 Juli 2012
http://sdn12sungairotan.blogspot.com/2012/03/sastra-anak.html. diunduh tanggal
12 Juli 2012.
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2012/06/11/189119/BukuPorno-Beredar-di-Perpustakaan-Sekolah diunduh tanggal 13 Juli 2012.

20