ANALISIS KASUS PENDIDIKAN PENDIDIKAN RAM

ANALISIS KASUS PENDIDIKAN

Pendidikan Ramah Anak, Tantangan 2016
Mata Kuliah

PSIKOLOGI PENDIDIKAN

Disusun Oleh :
Dwi Milla Malida
15081022
Kelas 21 A Reguler Pagi Kampus 2

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MERCU BUANA YOGYAKARTA
2015

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI


i

DRAFT

iii

ARTIKEL

viii

BAB I

BAB II

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Permasalahan

1

1.2 Sebab-sebab


2

PEMBAHASAN
2.1 Pembahasan Objek (Inti Permasalahan)

5

2.2 Analisis Awal

5

2.2.1

Perkembangan Sosial Dan Moral

6

2.2.2


Perwujudan Perilaku Belajar

10

2.2.2.1 Sikap

10

2.2.2.2 Tingkah Laku Afektif

10

Faktor Yang Memengaruhi Perilaku

11

2.2.3

BAB III


PENUTUP
3.1 Kesimpulan

13

3.2 Saran

13

DAFTAR PUSTAKA

15

DRAFT
SISTEMATIKA PENULISAN

DAFTAR ISI
DRAFT
ARTIKEL
BAB I


PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Permasalahan
1.2 Sebab-sebab

BAB

II

PEMBAHASAN
2.3 Pembahasan Objek (Inti Permasalahan)
2.4 Analisis Awal
2.4.1

Perkembangan Sosial Dan Moral

2.4.2

Perwujudan Perilaku Belajar
2.4.2.1 Sikap

2.4.2.2 Tingkah Laku Afektif

2.4.3
BAB III

Faktor Yang Memengaruhi Perilaku

PENUTUP
3.3 Kesimpulan
3.4 Saran

DAFTAR PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Permasalahan
Kasus kekerasan seksual pada anak (paedofil) di sekolah, masih
menjadi fenomena gunung es. Hal ini disebabkan kebanyakan anak yang
menjadi korban kekerasan seksual enggan melapor. Sebuah artikel lain pun
memperkuat data bahwa kekerasan baik fisik, psikis maupun seksual di
sekolah menjadi masalah yang sulit diputus.

Dalam sebuah penelitian di 5 negara di Asia (Indonesia, Kamboja,
Nepal, Pakistan, dan Vietnam) yang dilakukan oleh Organisasi Nonprofit Plan
Internasional dan ICRW (Internasional Central for Research on Women)
terhadap 9.000 murid berusia 12-17 tahun, guru, kepala sekolah, dan orangtua
murid ditemukan, 7 dari 10 anak pernah mengalami kekerasan di sekolah.
Hasil riset yang dirilis awal Maret 2015 menyebutkan, 84 persen anak
di Indonesia mengalami kekerasan di sekolah, baik berupa perundungan,
penganiayaan verbal, psikologis, maupun penganiayaan di dunia maya. Angka
ini lebih tinggi dari tren di kawasan Asia, yakni 70 persen.
1.2 Sebab-sebab
Adapun sebab-sebab adanya masalah yang ditemukan dalam artikel
tersebut berdasarkan narasumber : Biyanto, dosen UIN Sunan Ampel dan
wakil sekretaris PW Muhammadiyah Jawa Timur, Nandita Bhatla, Senior
Technical Specialist di ICRW, Marta Santos Pais, Perwakilan Khusus
Sekretaris Jendral PBB dan Pedagog Arief Rachman. Sebab-sebab itu adalah:
1. Kurangnya materi pendidikan seks.

2. Miskin nilai.
3. Anak-anak tidak mengetahui tempat atau saluran mereka bisa melaporkan
kejahatan tersebut.

4. Kurangnya bimbingan dari orang tua dan guru dalam memilih informasi
yang bermanfaat.
Lalu ditinjau dari kegiatan belajarnya sesuai dengan sebab-sebab
terjadinya masalah tersebut yaitu ketika anak-anak memperoleh pengetahuan
mengenai seluk beluk seks dan kesehatan reproduksi dari sumber yang tidak
benar yakni mencari sendiri melalui media online. Hal tersebut mengakibatkan
terjadi suatu permasalahan terkait dengan perkembangan sosial dan moral
dalam proses belajar.
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pembahasan Objek (Inti Permasalahan)
Untuk meminimalkan kasus kekerasan seksual pada anak (paedofil) di
sekolah, sebagian pemerhati pendidikan mengusulkan agar anak-anak
memperoleh materi pendidikan seks lewat kurikulum pendidikan formal di
sekolah dengan pengenalan bagian privat badan yang tidak boleh disentuh
orang lain serta sentuhan yang boleh dan tidak boleh. Tetapi gagasan ini
terlanjur menuai kontroversi.
2.2 Analisis Awal
Berdasarkan permasalahan dan sebab-sebab terjadinya permasalahan
yang tercantum didalam artikel. Maka didapatilah beberapa unsur analisis
yang sesuai dengan artikel tersebut dengan menggunakan perspektif psikologi


pendidikan dan maka dari itu dapat digunakan untuk membahas sesuai isi
masalah dalam artikel tersebut. Unsur-unsur tersebut meliputi keterkaitan anak
terhadap perkembangan sosial dan moral dalam proses belajar, perwujudan
perilaku belajar dalam hal sikap dan tingkah laku afektif, dan faktor yang
mempengaruhi perilaku.
2.2.1

Perkembangan Sosial Dan Moral
Setiap tahapan perkembangan sosial anak selalu dihubungkan
dengan perkembangan perilaku moral, yakni perilaku baik dan buruk
menurut norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.

2.2.2

Perwujudan Perilaku Belajar
2.2.2.1 Sikap
Dalam hal sikap, perwujudan perilaku belajar siswa
akan


ditandai

dengan

munculnya

kecenderungan-

kecenderungan baru yang terlah dirubah (lebih maju dan lugas)
terhadap suatu objek, tata nilai, peristiwa dan sebagainya.
2.2.2.2 Tingkah Laku Afektif
Tingkah laku yang menyangkut keanekaragaman
perasaan seperti : takut, marah, sedih, gembira, kecewa,
senang, benci, was-was dan sebagainya.
2.2.3

Faktor Yang Memengaruhi Perilaku
Saat orang pindah ke tahap-tahap penalaran moral yang lebih
tinggi, mereka juga lebih banyak berbagi, menolong, dan membela
para korban keadilan; tetapi, hubungan antara penalaran moral moral


ini tidak begitu kuat (Berk, 2005). Akan tetapi, ada banyak faktor
selain penalaran yang mempengaruhi perilaku.
1. Modeling
2. Internalisasi
3. Konsep Diri
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan

RENCANA REFERENSI
Biyanto. 2016. “Pendidikan Ramah Anak, Tantangan 2016”. Kedaulatan Rakyat,
18 Januari, hlm. 12
Kompas. 27 Februari 2015. “Anak Indonesia Belum Sepenuhnya Terlindungi”,
hlm. 12.

ARTIKEL
Artikel Pendukung
Harian Kompas
Jumat, 27 Februari 2015

7 dari 10 Pelajar di Asia Pernah Alami Kekerasan di Sekolah
KOMPAS.com - Sekolah tampaknya belum menjadi tempat yang aman
untuk anak. Dalam sebuah penelitian di 5 negara di Asia ditemukan, 7 dari 10
anak pernah mengalami kekerasan di sekolah.
Penelitian yang dilakukan di Indonesia, Kamboja, Nepal, Pakistan, dan
Vietnam ini dilakukan oleh Organisasi nonprofit Plan International dan ICRW
(International Center for Research on Women).
Hasil laporan ini juga menunjukkan, 84 persen pelajar di Indonesia pernah
mengalami kekerasan, sedangkan Pakistan memiliki angka terendah, yakni 43
persen. Secara keseluruhan, 7 dari 10 anak mengalami kekerasan, di mana 43
persen di antaranya tak melakukan apa pun saat melihat tindak kekerasan di
sekolah.
Dalam laporannya yang bertajuk "Mempromosikan Kesetaraan dan
Keselamatan di Sekolah" ini, juga dicatat berbagai kejadian kekerasan, termasuk
kekerasan fisik dan seksual, kekerasan emosional, dan ancaman kekerasan,
sebagai hal yang banyak ditemui di kelima negara yang disurvei.
Laporan itu memasukkan rekomendasi khusus, termasuk program berbasis
sekolah untuk mengubah perilaku dan sikap terkait gender dan kekerasan,
penyediaan layanan perlindungan, serta rekomendasi penerapan kebijakan dan
aturan untuk menghapuskan kekerasan terhadap anak.
“Setiap anak berhak mendapatkan pendidikan bekualitas, terbebas dari
kekerasan dan ancaman kekerasan. Plan berkomitmen bekerja bersama para guru,
pemerintah, orang tua dan pelajar agar rekomendasi laporan tersebut bisa
terlaksana, serta mulai memastikan agar setiap orang tahu bahwa tak ada tempat

bagi kekerasan di lingkungan sekolah, rumah, atau di manapun di mana anak-anak
berada” kata Mark Pierce, Direktur Regional Asia, Plan International, dalam
siaran pers yang diterima.
Senior Technical Specialist di ICRW, Nandita Bhatla mengatakan, laporan
ini sangat penting karena mendokumentasikan berbagai cara dan sejauh mana
anak-anak mengalami kekerasan, di negara-negara yang disurvei.
“Di luar hal yang bersifat fisik, anak-anak juga berbagi tentang
penggunaan kata-kata yang mempermalukan, bahasa kekerasan, dan bentukbentuk emosional lain yang menjadikan sekolah tak lagi aman buat mereka,” kata
Nandita.
Bahkan yang lebih buruk, anak-anak merasa tak memiliki orang dewasa
untuk mengadu. Orang dewasa dianggap abai terhadap pengalaman kekerasan
yang dimiliki anak. "Hal ini berdampak besar bagi kesehatan psikologis mereka,"
kata Nandita.
“Di berbagai kasus, kekerasan menjadi hal biasa, dan itu menjadi normal
bagi anak-anak, di mana mereka tak melaporkan perilaku itu, dan tidak
menganggapnya sebagai satu kesalahan. Siklus ini harus dihentikan,” kata Mark
Pierce.
Penelitian ini dilakukan mulai tahun 2013 sampai 2014. Khusus di
Indonesia penelitian yang dilakukan bekerja sama dengan Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia bertujuan untuk mendapatkan gambaran umum fenomena
kekerasan berbasis gender pada siswa, di 20 SMP di Jakarta dan 10 SMP di
Serang, Banten.

Artikel Pendukung
Harian Kompas
Jumat, 13 Februari 2015

Kesehatan Reproduksi Diharapkan Masuk Kurikulum
Pendidikan
JAKARTA, KOMPAS.com – Kasus kekerasan seksual pada anak banyak
ditemui di sejumlah daerah. Berdasarkan data Komisi Nasional Perlindungan
Anak, tahun 2011 terdapat 1455 kasus dan meningkat di tahun 2012 sebanyak
1634 kasus. Data pada awal 2013 lalu pun menunjukkan adanya 724 kasus.
Direktur Eksekutif Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI)
Inang Winarso mengatakan, kasus kekerasan seksual pada anak dapat terjadi
karena kurangnya pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi. Menurutnya,
masalah kesehatan reproduksi secara menyeluruh seharusnya masuk dalam
kurikulum pendidikan di sekolah.
PKBI pun mengajukan uji materi Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional ke Mahkamah Konstitusi pada Kamis
(12/2/2015). Dalam Pasal 37 ayat (1), materi Pendidikan Jasmani dan Olahraga
merupakan mata pelajaran yang wajib diberikan di kurikulum pendidikan dasar
dan menengah. Namun, materi Pendidikan Jasmani dan Olahraga belum
mencakup kesehatan reproduksi secara komprehensif.
“Materi Pendidikan Kesehatan Reproduksi diperlukan untuk mencegah
anak dan remaja menjadi korban kekerasan seksual. Namun, karena belum
adanya jaminan hukum terhadapnya, maka belum seluruh sekolah memberikan
informasi tentang kesehatan reproduksi secara komprehensif,” kata Inang, Kamis.
Inang menjelaskan, kasus kejahatan seksual yang kerap terjadi meliputi
pelecehan seksual, perkosaan, pencabulan hingga pemaksaan pernikahan anak.
Komnas Perempuan pun mencatat usia korban yang mengalami kekerasan seksual
di Indonesia kebanyakan berada pada usia 13-18 tahun.

Selain PKBI, salah satu perwakilan Forum Remaja Kulon Progo,
Yogyakarta, Ragil Prasedewo juga menjadi pemohon uji materi ini. Menurut
Ragil, banyak kerugian yang dialami anak-anak dan remaja karena tidak
mendapatkan materi kesehatan reproduksi sejak dini.
Sementara itu, kuasa hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH)
Jakarta, Muhammad Isnur mengatakan, uji materi atau judicial review ini juga
untuk mendukung dan melengkapi upaya elemen masyarakat lain yang menuntut
dinaikannya batas usia pernikahan perempuan (UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan) dan dinaikkannya masa hukuman pelaku kekerasan seksual terhadap
anak (Pasal 81 & 82 UU Perlindungan Anak Tahun 2002).
Penulis : Dian Maharani

Artikel Pendukung
Harian Kompas
Selasa, 15 April 2014

Cegah Pelecehan Seksual terhadap Anak dengan Menerapkan
“Underwear Rule”
KOMPAS.com -- Underwear rule adalah pedoman sederhana untuk
orangtua dalam membimbing anak mengenai aturan berkomunikasi, berinteraksi,
dan bersentuhan dengan orang lain, terutama di luar keluarga inti.
Aturan ini mengajarkan ketegasan atas prinsip dan nilai hidup kepada anak
bahwa tubuh mereka adalah milik mereka sendiri. Tidak boleh ada orang lain
yang menyentuh dan menyakitinya, tidak juga orangtua dan saudara kandung.
Seperti dikutip dari Council of Europe, berikut lima underwear rule yang
wajib Anda ajarkan kepada sang buah hati tersayang:
1. Mengajarkan si kecil bahwa tubuh mereka harus dijaga dan dilindungi
Semenjak anak sudah bisa berkomunikasi dengan orangtua atau
lingkungan sekitar, orangtua harus mengajarkan kepada anak mengenai nama
anggota tubuh yang sebenarnya. Jelaskan kepada anak bahwa ada beberapa
anggota tubuh yang merupakan bagian intim, yang sifatnya sangat pribadi,
tidak boleh dilihat dan dipegang orang lain, kecuali untuk alasan medis.
Usahakan untuk tidak memberikan julukan atau istilah samaran dalam
mengajarkan bagian intim tubuh si kecil. Tujuannya supaya anak lebih
memahami akan fungsi dan reaksi yang terjadi ketika bagian tersebut disentuh
secara paksa atau terluka.
Mengajarkan soal seks kepada anak harus dilakukan lebih dari sekali
dan berulang-ulang. Tujuannya agar anak langsung ingat ketika ada seseorang
yang berusaha menyentuh di bagian tubuh yang tidak pantas dan segera
bereaksi sesuai yang diajarkan.
2. Perbedaan sentuhan yang pantas dan tidak pantas dilakukan

Anak tidak selalu bisa membedakan bagaimana cara orang lain
menyentuh mereka, apakah sentuhan tersebut wajar atau tidak. Tak
hanyasentuhan, ajarkan kepada anak bahwa orang lain dilarang keras
memandangi bagian tubuh mereka yang pribadi. Jika ada yang bersikap
demikian, anak harus menegur atau melaporkan orang tersebut kepada guru di
sekolah dan orangtua.
Selain itu, ajarkan hal yang sama kepada anak untuk tidak
memandangi atau menyentuh bagian tubuh paling pribadi orang lain, entah itu
teman, saudara kandung, orangtua, dan guru.
3. Perbedaan rahasia baik dan rahasia buruk
Salah satu strategi yang kerap kali dilakukan oleh pelaku pelecehan
seksual adalah mengajak anak untuk bermain rahasia-rahasiaan. Sebab,
terkadang dengan menyimpan rahasia orang lain membuat anak bersemangat
dan merasa lebih istimewa.
Maka dari itu, sampaikan kepada anak bahwa tidak semua rahasia
pantas disimpan, terutama rahasia yang membuat mereka tidak nyaman,
ketakutan, sedih, dan tersiksa.
4. Mencegah dan melindungi adalah tanggung jawab orangtua
Ingat, keselamatan dan kebahagiaan anak adalah tanggung jawab
orangtua, bukan guru atau kerabat lainnya. Maka dari itu, orangtua harus
terdidik sebelum mendidik anak. Bagi sebagian orangtua, bicara soal seks
kepada anak yang masih berusia balita, bahkan remaja, dianggap tabu dan
tidak wajar. Padahal, selama cara Anda berkomunikasi berlandaskan edukasi,
tentu anak akan menerimanya sesuai penalaran yang Anda sampaikan kepada
mereka.
Jadikan komunikasi dengan terbuka sebagai tradisi dalam keluarga
sehingga anak tidak pernah merasa sungkan dalam membicarakan dan
membahas apa pun kepada orangtua.
5. Mengajarkan cara bereaksi terhadap tindakan mencurigakan

Terdapat empat panduan yang bisa Anda ajarkan kepada si kecil untuk
bereaksi saat ada orang asing yang berperilaku tidak wajar kepada mereka.
Uraiannya seperti berikut:
 Cara mencurigai dan melaporkan
Beritahu kepada anak mengenai siapa saja orang yang bisa mereka
percaya dalam keluarga dan sekolah. Jadi, ketika ada orang lain di luar
daftar tersebut, anak patut merasa curiga dan mengomunikasikannya
kepada orangtua atau guru di sekolah.
 Cara mengenali orang-orang mencurigakan di lingkungan anak
Dalam kebanyakan kasus, pelaku adalah seseorang yang dikenal
oleh anak. Tak heran bila kondisi ini menjadi sulit bagi anak untuk
memahami bahwa apa yang dilakukan orang tersebut adalah bentuk
penyiksaan. Untuk mengatasi hal ini, orangtua tidak boleh putus
komunikasi dengan anak, pastikan setiap hari bertanya kepada anak
apakah

ada

seseorang

yang

memberikannya

hadiah

atau

memperlakukannya lebih dari biasanya.
 Cara mengamati orang-orang mencurigakan di luar lingkungan
keluarga dan sekolah
Dalam beberapa kasus pelecehan seksual, pelakunya adalah orang
asing. Ajarkan aturan sederhana kepada anak tentang tata cara bersikap
dan berbicara dengan orang asing. Beberapa di antaranya adalah menolak
satu mobil dengan orang yang mereka tidak kenal, jangan menerima
hadiah dari siapa pun kecuali keluarga dan teman, dan ajakan bermain di
luar sekolah.
 Cara mencari pertolongan
Anak-anak harus tahu bahwa selain orangtua, ada orang
profesional yang dapat membantu mereka bila ada orang lain yang berbuat
tidak sopan kepada mereka, misalnya guru, polisi, pekerja sosial, dan
psikolog sekolah.
Penulis : Syafrina Syaaf

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Permasalahan
Berdasarkan uraian artikel bertema pendidikan dalam kolom Opini dari
harian Kedaulatan Rakyat, Senin 18 Januari 2016. Berjudul Pendidikan
Ramah Anak, Tantangan 2016, ditemukan permasalahan terkait artikel
tersebut bahwasanya telah terjadi kekerasan, terutama kekerasan seksual pada
anak (paedofil) di sekolah.
Selain kekerasan seksual yang disebutkan dalam artikel tersebut,
sebuah artikel lain pun memperkuat data bahwa kekerasan baik fisik, psikis
maupun seksual di sekolah menjadi masalah yang sulit diputus. Dalam sebuah
penelitian di 5 negara di Asia (Indonesia, Kamboja, Nepal, Pakistan, dan
Vietnam) yang dilakukan oleh Organisasi Nonprofit Plan Internasional dan
ICRW (Internasional Central for Research on Women) terhadap 9.000 murid
berusia 12-17 tahun, guru, kepala sekolah, dan orangtua murid ditemukan, 7
dari 10 anak pernah mengalami kekerasan di sekolah.
Hasil riset yang dirilis awal Maret 2015 menyebutkan, 84 persen anak
di Indonesia mengalami kekerasan di sekolah, baik berupa perundungan,
penganiayaan verbal, psikologis, maupun penganiayaan di dunia maya. Angka
ini lebih tinggi dari tren di kawasan Asia, yakni 70 persen. Selain itu, data
Badan PBB untuk Anak-anak (Unicef) menyebutkan, satu dari tiga anak
perempuan dan satu dari empat anak laki-laki mengalami kekerasan di
Indonesia.

Menurut Marta Santos Pais, Perwakilan Khusus Sekretaris Jendral
PBB untuk isu kekerasan terhadap anak, pada jumpa pers di Kantor
Perwakilan PBB di Jakarta, sejak Indonesia meratifikasi Konvensi Hak Anak
25 tahun lalu, sudah banyak perkembangan dari segi peraturan. Perlindungan
anak pun sudah dimasukkan ke dalam prioritas Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional 2015-2019.
Beberapa contoh peraturan terkait hak anak ialah Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Instruksi Presiden No
5/2014 tentang Gerakan Nasional Anti Kejahatan Seksual terhadap Anak, dan
UU No 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Namun, penerapan
perangkat hukum itu masih terbentur beragam kendala, seperti ketidaktahuan
masyarakat dan kurangnya komitmen pemerintah daerah.
Kasus kekerasan seksual pada anak sampai sekarang masih menjadi
fenomena gunung es. Hal ini disebabkan kebanyakan anak yang menjadi
korban kekerasan seksual enggan melapor. Oleh karena itu, sebagai orang tua
harus dapat mengenali tanda-tanda anak yang mengalami kekerasan seksual.
1.2 Sebab-sebab
Adapun sebab-sebab adanya masalah yang ditemukan dalam artikel
tersebut berdasarkan narasumber : Biyanto, dosen UIN Sunan Ampel dan
wakil sekretaris PW Muhammadiyah Jawa Timur, Nandita Bhatla, Senior
Technical Specialist di ICRW, Marta Santos Pais, Perwakilan Khusus
Sekretaris Jendral PBB dan Pedagog Arief Rachman. Sebab-sebab itu adalah:

5. Kurangnya materi pendidikan seks. Orang tua tidak memberikan materi
pendidikan seks lebih jelas karena merasa pendidikan seks akan
berdampak negative pada anak.
6. Miskin nilai. Kalau dilihat dari kata pendidikan, secara hukum dan teoretis
sudah benar. Akan tetapi ada kekeliruan dalam realisasinya. Di lapangan
terjadi pergeseran nilai secara menyeluruh. Di sekolah, guru kebanyakan
baru dalam tahap mengajar bukan mendidik, karena seharusnya
mengedepankan proses yang baik, kejujuran serta taat pada aturan, norma,
dan nilai.
7. Anak-anak tidak mengetahui tempat atau saluran mereka bisa melaporkan
kejahatan tersebut. Orang dewasa dianggap abai terhadap pengalaman
kekerasan yang dimiliki anak sehingga hal ini berdampak besar bagi
kesehatan psikologis mereka.
8. Kurangnya bimbingan dari orang tua dan guru dalam memilih informasi
yang bermanfaat. Anak-anak bebas mengakses media online tanpa
pendampingan orang tua dan guru, maka ibaratnya mereka sedang
memasuki hutan belantara.
Lalu ditinjau dari kegiatan belajarnya sesuai dengan sebab-sebab
terjadinya masalah tersebut yaitu ketika anak-anak memperoleh pengetahuan
mengenai seluk beluk seks dan kesehatan reproduksi dari sumber yang tidak
benar yakni mencari sendiri melalui media online. Hal tersebut mengakibatkan
terjadi suatu permasalahan terkait dengan perkembangan sosial dan moral
dalam proses belajar. Menurut Bruno (1987), perkembangan merupakan

proses pembentukan social self (pribadi dalam masyarakat), yakni pribadi
keluarga, budaya, bangsa, dan seterusnya. Kualitas hasil perkembangan sosial
siswa sangat bergantung pada kualitas proses belajar (khususnya belajar
sosial) siswa tersebut, baik dilingkungan sekolah dan keluarga maupun
dilingkungan yang lebih luas. Ini bermakna bahwa proses belajar itu amat
menentukan kemampuan siswa dalam bersikap dan berperilaku sosial yang
selaras dengan norma moral agama, moral tradisi, moral hukum, dan moral
lainnya yang berlaku dalam masyarakat siswa yang bersangkutan. Kesulitan
belajar dapat terjadi pada anak apabila ia mengalami masalah perkembangan
sosial dan moralnya.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pembahasan Objek (Inti Permasalahan)
Untuk meminimalkan kasus kekerasan seksual pada anak (paedofil) di
sekolah, sebagian pemerhati pendidikan mengusulkan agar anak-anak
memperoleh materi pendidikan seks lewat kurikulum pendidikan formal di
sekolah dengan pengenalan bagian privat badan yang tidak boleh disentuh
orang lain serta sentuhan yang boleh dan tidak boleh. Tetapi gagasan ini
terlanjur menuai kontroversi.
Mereka yang menolak menganggap pendidikan seks akan berdampak
negative pada anak. Sementara mereka yang setuju menganggap pendidikan
seks mutlak diperlukan untuk menghindarkan anak dari praktik seks bebas.
Padahal pendidikan seks juga bermanfaat untuk menjaga kesehatan reproduksi
anak-anak.
2.2. Analisis Awal
Berdasarkan permasalahan dan sebab-sebab terjadinya permasalahan
yang tercantum didalam artikel. Maka didapatilah beberapa unsur analisis
yang sesuai dengan artikel tersebut dengan menggunakan perspektif psikologi
pendidikan dan maka dari itu dapat digunakan untuk membahas sesuai isi
masalah dalam artikel tersebut. Unsur-unsur tersebut meliputi keterkaitan anak
terhadap perkembangan sosial dan moral dalam proses belajar, perwujudan
perilaku belajar dalam hal sikap dan tingkah laku afektif, dan faktor yang
mempengaruhi perilaku.

2.2.1

Perkembangan Sosial dan Moral
Perkembangan sosial siswa merupakan proses perkembangan
kepribadian siswa selaku seorang anggota masyarakat dalam
berhubungan dengan orang lain. Kualitas hasil perkembangan sosial
siswa sangat bergantung pada kualitas proses belajar (khususnya
belajar sosial) siswa tersebut, baik dilingkungan sekolah dan keluarga
maupun dilingkungan yang lebih luas. Ini bermakna bahwa proses
belajar itu amat menentukan kemampuan siswa dalam bersikap dan
berperilaku sosial yang selaras dengan norma moral agama, moral
tradisi, moral hokum, dan moral lainnya yang berlaku dalam
masyarakat siswa yang bersangkutan. Setiap tahapan perkembangan
sosial anak selalu dihubungkan dengan perkembangan perilaku moral,
yakni perilaku baik dan buruk menurut norma-norma yang berlaku
dalam masyarakat. Perkembangan moral hampir dapat dipastikan juga
perkembangan moral, sebab perilaku moral pada umumnya merupakan
unsur fundamental dalam bertingkah laku sosial.
Tingkah laku manusia bukan semata-mata reflex otomatis atau
stimulus (S-R bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul akibat
interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif manusia itu sendiri
(Bandura)
Dalam teorinya, Bandura menekankan dua hal penting yang
sangat memengaruhi terhadap proses perkembangan sosial dan moral
siswa yaitu:

1. Conditioning (Pembiasaan Merespons)
Prosedur belajar dalam mengembangkan perilaku yakni
dengan “reward” (ganjaran/ memberi hadiah atau mengganjar) dan
punishment (hukuman/ member hukuman). Dalam hal ini orang tua
atau guru, diharapkan memberi penjelasan agar siswa tersebut
benar-benar paham mengenai jenis perilaku yang menghasilkan
ganjaran dan jenis perilaku yang menimbulkan sanksi.
2. Imitation (Peniruan)
Prosedur belajar menurut teori social learning, ialah proses
imitasi atau peniruan. Dalam hal ini orrang tua dan guru
seyogyanya memainkan peran penting sebagai model atau tokoh
yang dijadikan contoh berperilaku sosial dan moral bagi siswa.
Kohlberg dalam teori perkembangan moral, berpendapat bahwa
penalaran moral merupakan dasar dari perilaku etis. Menurutnya ada 3
tahap perkembangan moral dan tiap tahapnya terbagi menjadi dua
sehingga total keseluruhan ada 6 tahapan perkembangan moral, antara
lain:
a. Level 1 : Pre Conventional Morality
Pada tahap ini, perilaku anak hanya didasarkan pada ingin
mendapatkan hadiah dan menghindari hukuman.
1. Obedience & Punishment Orientation

Anak akan setuju dengan pihak pembuat aturan agar
terhindar dari hukuman. Hukuman dimaknai sebagai sesuatu
yang berhubungan dengan fisik
2. Naïve Hedonistic & Instrumental Orientation
Anak masih berusaha untuk mendapatkan hadiah. Mulai
ada pemahaman mengenai saling berbagi namun sifatnya
manipulatif (belum tulus atau bukan karena murah hati)
b. Level 2 : Conventional Morality (Conventional Rules &
Conformity)
Pada tahap ini, perilaku anak diarahkan atau dibentuk untuk
mendapatkan persetujuan dari orang lain dan diarahkan agar dapat
menjaga hubungan baik dengan orang lain. Anak menerima aturan
sosial tanpa banyak bertanya dan menilai bahwa suatu perilaku
dikatakan baik jika sesuai dengan aturan yang ada.
3. Good Boy Morality
Perilaku baik dipertahankan anak untuk menjaga
hubungan baik dengan pihak lain. Anak masih menilai perilaku
orang lain. Anak juga lebih perhatian pada persetujuan atau
ketidak-setujuan dari orang lain bukan karena kekuatan fisik
yang dimiliki orang lain. Anak mulai dapat menerima aturan
sosial dan menilai apakah perilaku orang lain baik atau buruk
berdasarkan niat seseorang melakukan hal itu
4. Authority & Morality That Maintain The Social Order

Anak (tanpa bertanya) menerima segala aturan sosial
yang ada dan yakin bahwa jika masyarakat menerima aturan
yang ada maka masyarakat akan terhindar dari kritik. Anak
menerima tidak hanya standar dari orang lain namun juga
standar dari masyarakat. Individu akan menerima aturan yang
ada tanpa banyak tanya dan perilakunya akan dianggap baik
jika sesuai dengan aturan tersebut  law and order
c. Level 3 : Post Conventional Morality (Self-Accepted Moral
Principles)
Penilaian anak bersifat rasional. Perilakunya dikendalikan
secara internal dengan kode moral yang dimiliki. Pengambilan
keputusan untuk berperilaku cukup mandiri dan tidak tergantung
pada persetujuan atau ketidak-setujuan dari lingkungan.
5. Morality of Contract, Individual Rights & Democratically
Accepted law
Individu

memiliki

fleksibilitas

dalam

keyakinan

moralnya. Menurutnya, moralitas adalah didasarkan pada
persetujuan dari masyarakat untuk mengikuti aturan yang ada
agar tercipta keteraturan dan dapat menjaga hak tiap individu.
karena bersifat kesepakatan maka dapat saja diubah oleh
masyarakat itu sendiri saat mereka berpikir jika perubahan
tersebut akan mendatangkan keuntungan yang lebih besar bagi
anggotanya

6. Morality of Individual Principles and Conscience
Individu akan mengikuti standar sosial dan nilai
pribadinya senidiri. Individu cenderung akan lebih menghindari
ekspresi penolakan yang keras daripada memberikan kritik
pada orang lain. Keputusan moral yang diambil berdasarkan
pada prinsip abstrak mengenai keadilan, rasa welas asih pada
sesama

dan

kesetaraan.

Konsep

moral

yang

dimiliki

berdasarkan pada rasa menghormati sesama manusia. Individu
dengan konsep moral ini kerapkali akan mengalami konflik
dengan aturan yang berlaku dalam masyarakat
i.

Perwujudan Perilaku Belajar
1.

Sikap
Dalam arti sempit sikap adalah pandangan atau
kecenderungan mental. Menurut Bruno (1987), sikap (attitude)
adalah kecenderungan yang relative menetap untuk bereaksi
dengan cara baik atau buruk terhadap orang atau barang
tertentu. Dalam hal ini, perwujudan perilaku belajar siswa akan
ditandai dengan munculnya kecenderungan-kecenderungan
baru yang terlah dirubah (lebih maju dan lugas) terhadap suatu
objek, tata nilai, peristiwa dan sebagainya.

2.

Tingkah laku afektif
Tingkah laku afektif adalah tingkah laku yang
menyangkut keanekaragaman perasaan seperti : takut, marah,

sedih,

gembira,

kecewa,

senang,

benci,

was-was

dan

sebagainya. Tingkah laku seperti ini tidak terlepas dari
pengaruh pengalaman belajar.
ii.

Faktor yang mempengaruhi perilaku
Saat orang pindah ke tahap-tahap penalaran moral yang lebih
tinggi, mereka juga lebih banyak berbagi, menolong, dan membela
para korban keadilan; tetapi, hubungan antara penalaran moral moral
ini tidak begitu kuat (Berk, 2005). Akan tetapi, ada banyak faktor
selain penalaran yang mempengaruhi perilaku.
1. Modeling
Anak-anak yang secara konsisten dipapari model-model
orang dewasa yang murah hati dan penuh perhatian akan
cenderung lebih peduli pada hak-hak dan perasaan orang lain
(Cook & Cook, 2005, Eishenberg & Fabes, 1998)
2. Internalisasi
Kebanyakan teori tentang perilaku moral berasumsi bahwa
perilaku moral anak kecil mula-mula dikontrol oleh orang lain
melalui instruksi, supervisi, hadiah, hukuman, dan koreksi secara
langsung.

Akan

tetapi

pada

waktunya

anak-anak

menginternalisasikan berbagai aturan dan prinsip moral figur-figur
otoritas yang telah membimbing mereka; artinya, anak-anak
mengadopsi standar-standar eksternal sebagai miliknya. Bila anak
diberi alas an yang dapat mereka pahami ketika mereka dikoreksi-

khususnya alasan-alasan yang menggarisbawahi efek berbagai
tindakan pada orang lain, maka mereka lebih berkemungkinan
untuk menginternalisasikan prinsip-prinsip moral. Mereka belajar
untuk berperilaku bermoral bahkan ketika “tak ada orang yang
melihat” (Hoffman, 2000)
3. Konsep Diri
Kita harus mengintegrasikan keyakinan dan nilai-nilai
moral ke dalam pemahaman total tentang siapa diri kita, konsep
diri kita. Kecenderungan seseorang untuk berperilaku bermoral
banyak tergantung pada sejauh mana keyakinan dan nilai-nilai
moral diintegrasikan ke dalam kepribadiannya dan di dalam sense
of self orang itu. Jadi, pengaruh keyakinan moral kita terhadap
kehidupan kita bergantung pada makna pribadi kita, sebagai
individu, lekatkan kepadanya-kita harus mengidentifikasi dan
menghormati mereka seperti kita menghormati diri kita. (Arnold,
2000, hlm. 372)

BAB III
PENUTUP
3.5 Kesimpulan
Banyak pihak, terutama para orang tua meyakini bahwa insting seksual
tidak dijumpai pada masa anak-anak, dan baru akan muncul pada masa
pubertas. Pendapat seperti ini merupakan kekeliruan yang sudah mengakar
kuat di masyarakat kita. Ketidaktahuan pengetahuan mengenai seluk beluk
seks dan kesehatan reproduksi pada anak dapat berakibat negative terhadap
perkembangan peran seks anak, dan terhadap sikap perilaku anak padahal
pendidikan seks bermanfaat untuk menjaga kesehatan reproduksi anak-anak.
Beberapa peraturan terkait hak anak seperti Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Instruksi Presiden No 5/2014 tentang
Gerakan Nasional Anti Kejahatan Seksual terhadap Anak, dan UU No
11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, dalam penerapan perangkat
hukum itu masih terbentur berbagai kendala, seperti ketidaktahuan masyarakat
dan kurangnya komitmen pemerintah daerah sehingga kasus ini belum selesai
dan masih ada proses.
3.6 Saran
Kewajiban semua lembaga pendidikan, khususnya lembaga pendidikan
anak-anak adalah memberikan pelayanan dan pendidikan yang aman, nyaman
dan menyenangkan kepada anak. Salah satu upaya pemberian pelayanan yang
baik adalah tersusunya Standar Operasional Prosedur (SOP) yang mengatur
keamanan dan kenyamanan anak. SOP disusun melibatkan semua warga

sekolah, masyarakat, lembaga anak dan pemangku kebijakan. Dengan adanya
SOP yang baik maka kenyamanan dan keamanan anak terjaga.
Orang tua dan guru diharapkan memberikan program underwear rule
seperti yang dikutip dari Council of Europe, untuk meningkatkan pengetahuan
anak-anak atas konsep kekerasan seksual serta kemampuan mereka dalam
bereaksi serta merespon terhadap situasi yang penuh resiko. Seperti diajarkan
aturan tentang keamanan anak, kepemilikan tubuh, bagian pribadi tubuh,
membedakan jenis sentuhan dan tipe rahasia, serta kepada siapa mereka perlu
mengatakan. Dalam penyampaiannya, beberapa program bisa menggunakan
film, permainan, lagu, boneka, buku atau games. Sementara yang lainnya
memasukkan unsur permainan peran dan diskusi. Dikatakan Elizabeth L.
Jeglic, yang melakukan riset pelaku seks di John Jay College of Criminal
Justice, New York, jenis program ini serupa dengan program pencegahan
berbasis interaktif sekolah untuk merokok dan penggunaan obat-obatan yang
telah terdokumentasi keefektivannya. Terkait dengan hal tersebut, orang tua
sebaiknya mulai berbicara kepada anak-anaknya tentang kekerasan seksual di
usia 3-4 tahun dengan bahasa yang sesuai dengan usianya.

DAFTAR PUSTAKA
Biyanto. 2016. “Pendidikan Ramah Anak, Tantangan 2016”. Kedaulatan Rakyat,
18 Januari, hlm. 12
Kompas. 27 Februari 2015. “Anak Indonesia Belum Sepenuhnya Terlindungi”,
hlm. 12.
Kompas. 27 Februari 2015. “7 dari 10 Pelajar di Asia Pernah Alami Kekerasan di
Sekolah”.
Maharani, Dian. 2015. “Kesehatan Reproduksi Diharapkan Masuk Kurikulum
Pendidikan”. Kompas, 13 Februari.
Syaaf, Syafrina. 2014. “Cegah Pelecehan Seksual terhadap Anak dengan
Menerapkan “Underwear Rule””. Kompas, 15 April.
Syah, Muhibbin. 2014. Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru. Edisi
Terbaru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Woolfolk, Anita. 2008. Educational Psycology Active Learning Edition. Edisi ke
10. Terjemahan oleh Helly Prajitno Soetjipto dan Sri Mulyatini Soetjipto. 2009.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Santrock, John W. 2011. Life-Span Development : Perkembangan Masa Hidup.
Edisi ke 13. Terjemahan oleh Benedictine Widyasinta. 2012. Jakarta : Erlangga
Dwiloka, Bambang dan Riana, Rati. 2005. Teknik Menulis Karya Ilmiah. Jakarta:
PT Rineka Cipta