Gambaran Proses Pencapaian Psycho logical

Gambaran Proses Pencapaian Psychological Adjustment
pada Mahasiswa Asal Indonesia yang Mengalami Transisi CrossCultural

laporan

disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Psikodiagnostik III: Wawancara
yang dibina oleh Rakhmaditya Dewi Noorrizki, S.Psi., M.Si.

Oleh:
Eunike Leonita P. N. 150811603818

UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS PENDIDIKAN PSIKOLOGI
2017

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Kebutuhan masyarakat Indonesia akan mutu pendidikan yang lebih tinggi

ditandai dengan jumlah pelajar Indonesia di luar negeri yang kian tahun kian
meningkat. Menurut survei yang dilakukan Open Doors tahun 2016 (U.S. Embassy
Jakarta, 2016) tentang Pendidikan Internasional, terdapat 8.728 pelajar dari
Indonesia di Universitas di Amerika Serikat, dimana jumlah tersebut merupakan
jumlah terbanyak selama dua belas tahun terakhir, hingga membuat peringkat
Indonesia naik ke posisi 19 sebagai negara asal para pelajar internasional di
Amerika Serikat. Secara akumulatif, jumlah pelajar Indonesia di luar negeri yang
tercatat pada tahun 2014, yaitu sebanyak 0,7% dari jumlah populasi pelajar (Clark,
2014)
Para pelajar Indonesia yang melakukan mobilitas ke luar negeri itu
dihadapkan pada perubahan. Perubahan tersebut signifikan dan beragam, terdiri
dari individu yang memiliki jenis kepribadian berbeda; suasana sosial yang
berbeda; kebudayaan dan norma yang berbeda; hingga sistem yang berbeda.
Perubahan tersebut menuntut para pelajar menumbuhkan kualitas penyesuaian diri
yang mampu berperan efektif dalam mengendalikan konflik interpersonal maupun
intrapersonal yang dihadapi. Penyesuaian diri tersebut pada penelitian ini dikaji
lebih lanjut pada fungsi psikologis individu, yang kemudian disebut dengan istilah
psychological adjustment.
Menurut Searle (dalam Iqbal, 2015) psychological adjustment adalah proses
perilaku dimana individu berusaha memertahankan keseimbangan di antara

kebutuhan yang beragam dan hambatan dalam penyesuaiannya dengan lingkungan.
Proses pengumpulan data wawancara yang dilakukan terhadap 5
interviewee menunjukkan bahwa setiap individu memiliki psychological
adjustment yang beragam juga berbeda. Keberagaman psychological adjustment
tersebut dipengaruhi berbagai aspek kehidupan. Titik pencapaian psychological
adjustment masing-masing individu pun beragam. Individu atau kelompok lain juga
memiliki pengaruh pada psychological adjustment responden. Hal ini sejalan
dengan teori …
Berdasarkan data yang telah terkumpul tersebut, peneliti tertarik untuk
mengangkat topik dengan judul "Gambaran Proses Pencapaian Psychological
Adjustment pada Mahasiswa Asal Indonesia yang Mengalami Transisi CrossCultural” (The Portrayal of the Process of Pursuing for Psychological Adjustment
on Indonesian College Students who Face Cross-Cultural Transition).

1

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, diperoleh rumusan
masalah, yaitu bagaimanakah gambaran proses pencapaian psychological
adjustment pada mahasiswa asal Indonesia yang mengalami transisi cross-cultural?


1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan, diperoleh tujuan,
yaitu menjabarkan gambaran proses pencapaian psychological adjustment pada
mahasiswa asal Indonesia yang mengalami transisi cross-cultural.

2

BAB II
KAJIAN TEORI

2.1 Psychological Adjustment
2.1.1 Definisi
Definisi konseptual psychological adjustment pada penelitian ini, yaitu "The
Behavioral process by which humans and other animals maintain equilibrium
among their various needs or between their needs and the obstacles of their
environments adjustments", yang memiliki arti; proses perilaku dimana individu
berusaha memertahankan keseimbangan di antara kebutuhan yang beragam dan
hambatan dalam penyesuaiannya dengan lingkungan. Definisi tersebut
diungkapkan oleh Searle dan Ward pada tahun 1990 (dalam Iqbal, 2015).
Definisi operasional dari konsep tersebut, yaitu proses perilaku dimana

pelajar yang berasal dari daerah dengan kebudayaan yang berbeda berusaha
memertahankan keseimbangan di antara kebutuhan yang beragam dan hambatan
dalam penyesuaiannya dengan lingkungan yang baru.
2.1.2 Aspek
Aspek atau kriteria spesifik dari psychological adjustment yang digunakan
pada penelitian ini berdasarkan teori DeVito (1981). Terdapat enam hal yang
dianggap sebagai dimensi penting dalam asesmen psychological adjustment. Lima
dimensi dari teori tersebut yang dipilih untuk digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut.
(1) perception of reality
Persepsi yang baik terhadap realita menjadi indikasi dasar psychological
adjustment yang baik. Artinya, individu pun memiliki kesehatan mental yang
positif. Psychological adjustment yang baik ditandai dengan kebebasan dari
gangguan berpikir dan juga kemampuan memahami realita secara akurat serta
independen dari kehendak diri mereka sendiri.
(2) anxiety
Kebebasan dari kecemasan atau ketakutan yang berlebih juga merupakan
salah satu kriteria yang penting dalam psychological adjustment.
(3) self-esteem
Kemampuan untuk memahami dan menerima perasaan diri sendiri juga

merupakan salah satu aspek psychological adjustment yang ditekankan oleh Keezer
(1971, dalam DeVito, 1981). Individu yang dapat menghargai diri sendiri, termasuk
menerima kekurangan dan kelebihan diri, dapat menyesuaikan diri lebih baik.
(4) depression
3

Kriteria penting lain dari psychological adjustment, yaitu tidak adanya
depresi berkepanjangan. Pada penelitian DeVito terkait psychological adjustment
pada minoritas Hispanic, prasangka dan diskriminasi menjadi kunci utama hadirnya
rasa tidak berharga. Apabila kesempatan untuk pencapaian yang lebih tinggi
terhalang, individu akan menyalurkan rasa marah ke dalam dirinya daripada kepada
sumber frustrasinya; sehingga terbentuklah depresi.
(5) environmental mastery
Kemampuan untuk menguasai lingkungan juga merupakan hal yang penting
dalam konsep ini. Penyesuaian terhadap keadaan dan pemerolehan kepuasan dari
keadaan tersebut menjadi dua hal yang dibutuhkan untuk menguasai lingkungan.
Apabila individu tidak yakin bahwa dirinya dapat menjadi orang yang berguna,
kemungkinan besar dia bukanlah orang yang dapat menyesuaikan diri dengan baik.
(6) anger
Pada penelitian DeVito, rasa marah turut dikaji berdasarkan teori Keezer,

Meenninger, dan Miller & Dollard. Rasa marah menjadi salah satu aspek penting
dalam mental health, yang muncul oleh karena frustrasi akibat kegagalan meraih
suatu tujuan, atau terjadi manifestasi atas suatu konflik. (DeVito, 1981).
Ketidakstabilan kesehatan mental yang ditandai dengan kemarahan yang
berkepanjangan dapat mengganggu pencapaian psychological adjustment individu.

4

2.2 Pedoman Wawancara
Konsep
Psychological
Adjustment

Definisi Konseptual
The behavioral process
by which humans and
other animals maintain
equilibrium among
their various needs or
between their needs

and the obstacles of
their environments
adjustment.
(Proses perilaku
dimana individu
berusaha
memertahankan
keseimbangan di antara
kebutuhan yang
beragam dan hambatan
dalam penyesuaiannya
dengan lingkungan.)
(Searle, dalam Iqbal,
2015)

Definisi Operasional
Proses perilaku dimana
mahasiswa yang
berasal dari daerah
dengan kebudayaan

yang berbeda berusaha
memertahankan
keseimbangan di antara
kebutuhan yang
beragam dan hambatan
dalam penyesuaiannya
dengan lingkungan
yang baru.

Dimensi
perception of
reality

1.
2.
3.

anxiety

self-esteem


1.
2.
3.
1.
2.
3.

depression

1.
2.

3.
environmental 1.
mastery
2.
3.
anger


5

1.
2.
3.

Pertanyaan
Bagaimanakah Anda memandang perpindahan Anda ke lingkungan yang
baru dan berbeda?
Puaskah Anda dengan cara pandang Anda tersebut?
Jelaskan seberapa sering Anda memiliki keinginan yang bertolakan
dengan realita tersebut.
Jelaskan perasaan Anda ketika berada dalam kelompok yang baru.
Jelaskan seberapa sering Anda merasa cemas atau ketakutan ketika
memikirkan perpindahan Anda ke lingkungan yang baru dan berbeda.
Bagaimana cara Anda mengatasi perasaan cemas atau ketakutan tersebut?
Bagaimana perubahan cara pandang Anda terhadap diri Anda setelah
melakukan perpindahaan?
Bagaimana kelompok Anda yang baru memengaruhi cara
pandang/perubahan tersebut?

Seberapa percaya dirikah Anda ketika berada dalam kelompok Anda yang
baru?
Dapatkah Anda mengekspresikan diri Anda dengan baik dalam kelompok
Anda yang baru?
Pernahkah Anda merasa terintimidasi dalam lingkungan yang baru dan
berbeda?
Pernahkah kelompok Anda yang baru menunjukkan sikap diskriminasi?
Pada skala 1-10, jelaskan seberapa jauh Anda telah beradaptasi dengan
lingkungan yang baru dan berbeda?
Pada skala 1-10, jelaskan seberapa senang Anda dengan lingkungan yang
baru dan berbeda?
Bagaimana cara Anda menunjukkan pada kelompok Anda yang baru
bahwa Anda memiliki otonomi yang sama?
Jelaskan konflik yang Anda hadapi setelah melakukan perpindahan.
Seberapa sering Anda merasa frustrasi setelah melakukan perpindahan?
Dapatkah Anda memertahankan tujuan awal Anda ketika melakukan
perpindahan?

BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Data Penilaian
Proses pengumpulan data pada penelitian ini berlangsung selama 2 minggu.
Partisipan berjumlah lima orang yang saat ini berperan sebagai pelajar di luar negeri
maupun di dalam negeri. Pengumpulan data melalui wawancara bertahap dengan
tujuan menggali latar belakang dan aspek psychological adjustment pada partisipan.
Wawancara dilakukan dalam bentuk live chat dan phone call; berikut hasil
wawancara terhadap lima orang partisipan dalam bentuk deskripsi.
Interviewee 1
Subjek berinisial MA, berusia 20 tahun, yang merupakan pelajar di Belanda
selama telah ±1,5 tahun. Masa adjustment yang dibutuhkan MA terhadap
lingkungan yang baru dan berbeda, yaitu 6 bulan hingga 1 tahun. Perasaan yang
mendominasi pada masa pra hingga pasca keberangkatan, hingga kini, yaitu sedih.
Rasa cemas dirasakan MA sebagai hambatan yang paling berkesan ketika subjek
masih di Indonesia dan hendak berangkat ke Belanda, karena masih rendahnya
pengetahuan tentang kehidupannya di negara berikutnya. Rasa frustrasi dirasakan
MA pada awal perpindahan karena latar belakang MA yang mulanya telah
menemukan kelekatan dengan lingkungannya yang lama.
"Saya kehilangan teman-teman saya, zona nyaman.
Semakin lama saya semakin menyadari bahwa
konsekuensinya berat. Sudah nyaman-nyaman 1.5
tahun di UI, tiba-tiba harus pindah." (MA, 21 April
2017)

Cara MA menyesuaikan diri, diungkapkannya, dipengaruhi permeabilitas,
toleransi, dan tingkat acceptance lingkungan sosial yang dihadapinya. Nilai-nilai
moral yang diperoleh dari orang tua, tingkat religiusitas/spiritualitas subjek diakui
MA memengaruhi cara dan kemampuan dalam menyesuaikan diri, secara langsung
maupun tidak langsung.
"Jika sekitar saya lebih menerima, maka saya lebih
berani untuk aktif di dalamnya. Namun, jika di sekitar
saya lebih kasar atau menganggap aneh orang-orang
yang berbeda, maka saya akan kesulitan." (MA, 25
April 2017)
"Menurut saya nilai yang saya peroleh dari orang tua
saya bagusnya untuk menahan diri ketika saya sudah
menjadi lebih percaya diri, sudah menjadi lebih tegas,
sudah bisa membawa diri. Jadi, nilai yang saya
peroleh, bagusnya untuk ketika saya sudah dalam fase
aktif agar saya menahan diri dari terlalu aktif

6

(sombong, kasar, menganggap remeh)." (MA, 25 April
2017)

Interviewee 2
Subjek berinisial EM, berusia 22 tahun, yang merupakan pelajar di Belanda
selama telah ±2 tahun; namun telah meninggalkan Indonesia selama ±5 tahun
(dengan kuliah selama 3 tahun di Singapura). Masa adjustment yang dibutuhkan
EM terhadap lingkungan yang baru dan berbeda, yaitu 6 bulan. Perasaan yang
mendominasi pada masa pra hingga pasca keberangkatan, yaitu senang. Rasa
antisipasi dirasakan EM sebagai hambatan yang berkesan ketika subjek hendak
berangkat ke Belanda, umumnya dikarenakan hambatan teknis (visa dan
recommendation letter). Bagi EM, rasa cemas tidak dialaminya, subjek cenderung
merasa excited dengan perpindahannya ke Belanda. Namun, pada awal
perpindahan, subjek merasakan takut ketika berada dalam kelompok yang baru,
berkaitan dengan hubungan intrapersonal dengan individu yang akan dikenalnya.
Cara EM menyesuaikan diri, diungkapkannya, didukung oleh adanya counseling
center di kampusnya.
"… aku ke counseling center itu, aku bilang bahwa aku
ngerasain culture shock, dan sama counselornya aku
disarankan untuk mencoba berpartisipasi bersama
mereka (kelompok yang baru), tapi tetap maintain my
value dan belief. It's not that bad, it's not difficult. At
least, I'm stepping into the water." (EM, 29 April 2017)

Nilai-nilai moral yang diperoleh dari orang tua, tingkat
religiusitas/spiritualitas subjek diakui EM sangat memengaruhi cara dan
kemampuan dalam menyesuaikan diri secara langsung.
"9,5 (out of 10, merasa senang dengan lingkungan saat
ini). Kalau awal-awal, karena aku memang sudah
excited, yah 7,5/10. Tapi, sekarang, aku benar-benar
senang di sini; dan bahkan rencana untuk stay lebih
lama, untuk pengalaman yang lebih lah." (EM, 29 April
2017)

Interviewee 3
Subjek berinisial SF, berusia 22 tahun, yang merupakan pelajar di India
selama telah ±2,5 tahun. Masa adjustment yang dibutuhkan SF terhadap lingkungan
yang baru dan berbeda, yaitu 6 bulan. Perasaan yang mendominasi pada masa pra
hingga pasca keberangkatan, yaitu senang, cemas, dan takut. Rasa cemas dirasakan
SF sebagai akibat dari adanya hambatan ketika subjek masih di Indonesia dan
hendak berangkat ke India, karena adanya antisipasi terhadap perbedaan bahasa,
sistem pendidikan, dan cuaca di negara berikutnya, juga perbedaan latar belakang
secara umum. Namun, rasa cemas tersebut dapat berlalu setelah ±1 tahun, dengan
tanpa usaha mengatasi yang berlebihan.

7

"Setahun pertama hampir tiap hari (merasa cemas).
Tapi setelah itu sudah jarang sekali. Dan sekarang
sudah tidak pernah ฀. ... Didiamkan saja; tetap
berusaha menjalani kehidupan seperti biasanya karena
saya yakin, lama kelamaan pasti akan hilang. Karena
semakin kita menjalani dan berusaha, maka rasa takut
dan cemas perlahan menghilang dengan sendirinya. ...
Efektif aja. Cemas dan takut itu kan karena kita belum
menghadapi dan menjalaninya– itu menurut saya.
Karena cemas dan takut itu letaknya di hati, so jangan
dibawa ke pikiran, kalau dipikirin bisa mempengaruhi
urusan kuliah." (SF, 28 April 2017)

Rasa frustrasi dirasakan SF pada kala ujian, karena metode pembelajaran
yang berbeda dari metode pembelajaran di Indonesia dan terkesan keras; selain itu,
SF mengungkapkan tidak ada lagi sumber frustrasi lain. Cara SF menyesuaikan diri,
diungkapkannya, sangat berkaitan dengan pergaulan bersama individu-individu
lain di sekitarnya. Nilai-nilai moral yang diperoleh dari orang tua SF diakui sangat
memengaruhi cara dan kemampuan dalam menyesuaikan diri.
Interviewee 4
Subjek berinisial ND, berusia 29 tahun, yang merupakan pelajar di Australia
selama telah ±2 tahun. Masa adjustment yang dibutuhkan ND terhadap lingkungan
yang baru dan berbeda, yaitu 4 hingga 5 minggu, dan mulai benar-benar settle
dengan situasi di lingkungan yang baru ±1 tahun. Perasaan yang mendominasi pada
masa pra hingga pasca keberangkatan, yaitu senang, dan cemas.
"Jadi, waktu berangkat perasaan saya was-was,
campur aduk. Saya tidak tahu apa yang menunggu saya
di depan." (ND, 30 April 2017)

Rasa cemas dirasakan ND pada awal perpindahan, terkait kehidupan yang
akan dihadapi di lingkungan yang baru, terutama disebabkan pengetahuan umum
dan pemahaman situasi yang belum terisi dengan maksimal, atau persiapan yang
cenderung dilakukan mendadak. ND juga merasa kurang percaya diri atau malu
sebagai akibat dari hal tersebut di atas, hingga subjek menemukan teman yang
menstimulasi dan membangkitkan kembali dirinya yang aktif serta berani. Rasa
frustrasi yang dirasakan ND pada masa awal perpindahan didukung oleh kehilangan
orang terdekatnya pada masa pra keberangkatan juga pasca keberangkatan.
Kehilangan tersebut juga menjadi salah satu sumber berkurangnya rasa percaya diri
dalam menghadapi perpindahan. Namun, perasaan-perasaan tersebut cenderung
sirna setelah ND mampu mengatasi cultural shock-nya dan berangsur-angsur
menyesuaikan diri.
"Iya, untuk mengatasi perasaan cemas itu tadi ya,
kalau saya sih percaya diri aja. Karena saya percaya
kayak kita cemas karena kita mampu berpikir. Tapi, ya

8

gitu jadi, ketika saya sampai di sini, saya tidak
membiarkan perasaan cemas saya berlarut-larut.
Harus mencari informasi, ketemu orang, bicara,
kemudian berteman, membuat teman baru, yang kita
tahu pasti bisa saling membantu." (ND, 30 April 2017)
"Jadi, pertama datang itu masih ragu dan malu, dan
ternyata saya itu butuh e... insentif begitu, kayak
perangsang, teman yang bisa membuat diri saya
bahagia kembali, mengingatkan diri saya yang dulu
seperti apa: mendekati orang duluan, dan mulai
mengajak ngobrol; akhirnya sekarang malah terbiasa
dengan hal itu." (ND, 30 April 2017)

Cara ND menyesuaikan diri, diungkapkannya, juga dipengaruhi dukungan
sosial yang diperolehnya, berupa status sosial subjek dalam keluarga sebagai anak
sulung, juga berbagai event di lingkungan yang baru yang mendukung individu
baru untuk beradaptasi dengan baik.
Interviewee 5
Subjek berinisial MR, berusia 20 tahun, yang merupakan pelajar di
Indonesia yang mengalami perpindahan dengan budaya yang baru dan berbeda;
selama telah ±2 tahun. Masa adjustment yang dibutuhkan MR terhadap lingkungan
yang baru dan berbeda, yaitu ±1 tahun. Perasaan yang mendominasi pada masa pra
hingga pasca keberangkatan, yaitu takut dan kesepian. Rasa takut muncul karena
perpindahan ini merupakan perpindahan pertama kali yang dialami subjek;
sedangkan rasa kesepian muncul sebagai akibat jauh dari keluarga. Cara MR
menyesuaikan diri, diungkapkannya, dengan menjalin hubungan yang baik dengan
individu di sekitarnya, juga dengan menjadi lebih sensitif dengan keadaan.
"Yah, dengan menjalin hubungan yang baik dengan
orang sekitar supaya tidak melenceng dari lingkungan
baru itu, terus berusaha supaya bisa memahami
keadaan yang ada di situ dapat membantu saya untuk
bisa menyesuaikan diri." (MR, 6 Mei 2017)

Nilai-nilai moral atau dukungan sosial yang diperoleh dari orang tua dan
dukungan semangat dari teman-teman subjek, tingkat religiusitas/spiritualitas
subjek diakui MR memengaruhi cara serta kemampuan dalam menyesuaikan diri.
"Iya, (religiusitas mempengaruhi) membuat lebih
strong gitu, soalnya saya 'kan sebenarnya gak religius
banget, tapi karena saya lama-lama beradaptasi di
lingkungan sekitar, saya sadar kalau misalkan iman
saya tidak kuat bisa-bisa disambar 'nih sama elang.
Jadi, yah itu jadi pedoman juga 'sih, iman itu..." (MR,
6 Mei 2017)

9

3.2 Pembahasan
Hasil wawancara terhadap 5 responden pada 21 April 2017 hingga 6 Mei
2017 menunjukkan gambaran proses pencapaian psychological adjustment pada
mahasiswa asal Indonesia yang mengalami transisi cross-cultural berdasarkan teori
DeVito (1981). Proses pencapaian psychological adjustment pada kelima
responden, yang merupakan mahasiswa di negara domisili masing-masing,
mengandung adanya kelima dimensi psychological adjustment yang dipilih dalam
penelitian ini, yaitu: (1) perception of reality, (2) anxiety, (3) self-esteem, (4)
depression, dan (5) environmental mastery. Berikut penjabaran dari masing-masing
dimensi psychological adjustment menurut teori DeVito yang dilakukan terhadap 5
responden.
Dimensi/aspek pertama yang disebutkan oleh DeVito pada penelitiannya
The Measurement of Psychological Adjustment in Hispanics, yaitu perception of
reality. DeVito (1981) mengungkapkan bahwa Persepsi yang baik terhadap realita
menjadi indikasi dasar psychological adjustment yang baik. Artinya, individu pun
memiliki kesehatan mental yang positif. Psychological adjustment yang baik
ditandai dengan kebebasan dari gangguan berpikir dan juga kemampuan memahami
realita secara akurat serta independen dari kehendak diri mereka sendiri. Pada aspek
ini, responden cenderung memaknai perpindahannya ke lingkungan dengan budaya
yang baru dan berbeda secara positif, berupa bentuk eksklamasi atas kesempatan
baru maupun tantangan baru.
"Banyak orang yang ingin berada di posisi saya. Saya
bersyukur karena diberi kesempatan untuk berkuliah di
luar negeri. Walaupun ada kesedihan karena
kehilangan teman." (MA, 21 April 2017)
"6 bulan awal itu aku ngga percaya– it's very hard to
trust people, bukan hard sih, it takes time, awal itu aku
ikut PPI Leiden, tapi jadwal PPI Indo itu selalu bentrok
dengan jadwalku, jadi aku ngga pernah ikut, pingin sih,
tapi ngga bisa. Jadi, 6 bulan itu masa transisi, lebih
jadi waktuku untuk cari tahu what's the best, what's
worst." (EM, 29 April 2017)
"Saya melihatnya (perpindahan), sebagai sebuah
kesempatan bagi saya untuk belajar budaya negara
lain dan mengambil manfaat sebanyak-banyaknya dari
pelajaran yang bisa saya dapatkan. … Saya merasa
sangat beruntung bisa menjadi satu dari 20 orang yang
diterima untuk mendapatkan kesempatan belajar di
India." (SF, 28 April 2017)
"… memang saya sudah terkespos dengan budayabudaya western itu ... cuma kan kita belum melihat

10

secara live, secara pastinya kayak gimana, jadi
awalnya itu excited pasti, kemudian baru tiba itu
rasanya campur aduk, kayak bingung, senang, sedih,
kesepian, e, itu awalnya kemudian mulai berusaha
sendiri, mandiri, akhirnya, hal-hal yang dulu cuma
saya lihat di TV bisa saya lakukan sendiri, kayak
mandiri ke mana-mana, kayak tanpa bantuan orangorang, semua bisa dilakukan sendiri, kemudian
akhirnya semakin lama semakin terbiasa dengan
kehidupan di sini, akhirnya ya sekarang, saya
melihatnya saya bersyukur saya di sini, saya bisa
merasakan budaya ini, dan bisa, menurut saya,
pendapat saya, mindset saya itu sudah berubah dari
yang mungkin dulu kalau dikasi nilai dulu 3 sekarang
sudah 9 lah." (ND, 30 April 2017)
"Yah saya memandangnya ini sebuah tantangan
tersendiri buat saya, secara ank terakhir yang
seringdibully kakak-kakakku karena dianggap manja
terus nekat cari suasana baru keluar dari zona nyaman
itu. Terus perpindahan saya ini sebenarnya membuat
cakrawala berpikir saya tidak sempit, karena kan di
sini budayanya beda dari tempat saya jadi yah itung"
bisa bandingin budayaku sendiri sama budayanya
orang lain." (MR, 6 Mei 2017)

Aspek kedua yang disebutkan oleh DeVito, yaitu anxiety. DeVito (1981)
mengungkapkan bahwa kebebasan dari kecemasan atau ketakutan yang berlebih
juga merupakan salah satu kriteria yang penting dalam psychological adjustment.
Pada aspek ini, responden memang menunjukkan adanya kecemasan pada proses
perpindahannya, terutama pada awal masa pra atau pasca perpindahan. Source atau
sumber dari rasa kecemasan pada responden cenderung beragam, namun 3 dari 5
responden mengutarakan rasa kecemasan sebagai bentuk antisipasi terhadap
lingkungan atau kelompok dari budaya yang baru dan berbeda.
"Saya anxious tentang bagaimana di Belanda nantinya.
Karena dibanding (penerima) LPDP atau beasiswa
pemerintah lainnya, mereka diberi persiapan, dll.
Mereka berkenalan dengan teman-teman yang samasama akan keluar negeri. Saya berangkat sendiri,
pribadi." (MA, 21 April 2017)
"Cuma, ada takutnya itu, di bagian imigrasinya. Aku
takut kalau mereka galak; juga takutnya waktu di
imigrasi itu kalau-kalau ada documentnya yang
ketinggalan atau kelupaan. ... Lalu, juga ada rasa takut
kalau aku ngga bisa connect dengan mereka (kelompok
yang baru)." (EM, 29 April 2017)

11

"(Cemas) Pasti ada, tapi itu wajar dan dialami oleh
semua orang yang sedang menghadapi budaya yang
berbeda." (SF, 28 April 2017)
"Cuma kalau ke Australi ini awal-awal aja, ketika
belum sampai di sini ini memang ada sih rasa cemas,
itu saya ngga bisa menghubungi, biasanya kan kitam
menghubungi senior, atau siapa yang kita kenal di
tempat yang kita tuju. Waktu itu saya belum bisa
menghubungi siapapun, jadi cemas sekali," (ND, 30
April 2017)
"Hambatan yang paling berkesan itu harus jauh dari
orang tua soalnya tersiksa banget jauh dari orang tua.
... Kalau merasa cemas dan ketakutan untuk
perpindahan sih saya gak terlalu memikirkan itu, kalau
saya sendiri intinya jalani saja." (MR, 6 Mei 2017)

Aspek ketiga yang disebutkan oleh DeVito, yaitu self-esteem. DeVito
mengungkapkan bahwa kemampuan untuk memahami dan menerima perasaan diri
sendiri juga merupakan salah satu aspek psychological adjustment yang ditekankan
oleh Keezer (1971, dalam DeVito, 1981). Individu yang dapat menghargai diri
sendiri, termasuk menerima kekurangan dan kelebihan diri, dapat menyesuaikan
diri lebih baik. Pada aspek ini, jawaban dari kelima responden menunjukkan
perubahan cara pandang yang cukup signifikan dalam penghargaan diri antara diri
sebelum dan sesudah perpindahan. Proses pencapaian perubahan cara pandang ini
memang tidak instan, sesuai dengan yang diutarakan kelima responden, namun
setelah subjek mulai menguasai situasi dan kondisi di lingkungan yang memiliki
budaya yang baru dan berbeda, perubahan cara pandang tersebut terjadi.
"Saya merasa lebih percaya diri lagi sekarang. Saya
merasa lebih berani dan lebih mengambil resiko." (MA,
25 April 2017)
"That I can do it, believe in myself, kerja keras, hard
working, well sama saja sih, hehe, stick to my belief,
kalau dulu lebih gampang kebawa suasana, karena
banyak teman Indonesia jadinya aku terbawa arus.
Orang itu beda-beda. Interpret yang muncul juga
berbeda-beda. Di sini aku jadi lebih menghargai janji;
priority." (EM, 29 April 2017)
"(Di sini) Merasa lebih mandiri dan dewasa.
Masyarakat di sini somehow lebih individualis. Jadi
mau apa-apa harus sendiri dan berfikir sendiri karena
posisi tempat tinggal saya yang agak jauh dari
mahasiwa Indo yang lain." (SF, 29 April 2017)

12

"Yah, malah saya merasa saya lebih bisa berkspresi
dengan baik, dengan jujur ketika saya berada di tempat
yang baru." (ND, 30 April 2017)
"Perubahannya sih lumayan, saya setelah pindah ke
sini itu belajar untuk hemat seperti orang-orang di sini.
Terus kalo bicara itu juga lebih sopan. Dan tentunya
dengan perpindahan saya ini saya belajar lebih
mandiri dan dewasa." (MR, 6 Mei 2017)

Aspek keempat yang disebutkan oleh DeVito, yaitu depression. DeVito
(1981) mengungkapkan bahwa Kriteria penting lain dari psychological adjustment,
yaitu tidak adanya depresi berkepanjangan. Pada penelitian DeVito terkait
psychological adjustment pada minoritas Hispanic, prasangka dan diskriminasi
menjadi kunci utama hadirnya rasa tidak berharga. Apabila kesempatan untuk
pencapaian yang lebih tinggi terhalang, individu akan menyalurkan rasa marah ke
dalam dirinya daripada kepada sumber frustrasinya; sehingga terbentuklah depresi.
Pada aspek ini, 4 dari 5 responden mengungkapkan adanya rasa frustrasi,
baik dikarenakan rasa intimidasi maupun diskriminasi secara tidak langsung, atau
depresi. Namun, responden-responden menambahkan bahwa perasaan tersebut
terjadi di awal perpindahan atau di awal kuliah saja; kemudian setelah waktu
adaptasi berlalu, perasaan responden menjadi lebih sehat.
"Karena orang-orang di Belanda lebih toleran saya
tidak ada masalah (dalam mengekspresikan diri)."
(MA, 25 April 2017)
"… dulu aku sampai pernah merasakan depresi.
Sekarang aku punya temen main, temen dekat, temen
pengajian. …" (EM, 29 April 2017)
"Pernah (terintimidasi) saat awal-awal kuliah. Karena
saya baru sadar bahwa ilmu saya ketinggalan jauh
dengan mereka, jadi saat awal-awal di sini benarbenar belajarnya ekstra keras." (SF, 29 April 2017)
"… kalau kita di tempat kita lahir dan besar, tentu ya
orang-orang biasanya punya judgment-judgment
terhadap hal-hal yang kita buat, ada yang iri, sirik, tapi
di tempat yang baru itu kayaknya lebih bebas untuk
mengekspresikan pandangan-pandangan kita." (ND,
30 April 2017)
"Iya pernah dulu waktu awal-awal, terdiskriminasi. …
Yah saya nunjukin skill saya, memangnya cuma mereka
yang bisa. Contohnya itu dalam organisasi kayak main
musik, atau mnggambar nah lewat kepanitian dalam
salah organisasi itu saya nunjukin ke orang-orang
kalau saya juga bisa melakukan yang mereka lakukan.

13

Orang luar pulau juga bisa. Nah dari situ kelompok itu
mulai mendekat dan menyapa saya dan teman-teman
saya kalau ikut kegiatan." (MR, 6 Mei 2017)

Aspek kelima yang disebutkan oleh DeVito, yaitu environmental mastery.
DeVito mengungkapkan bahwa kemampuan untuk menguasai lingkungan juga
merupakan hal yang penting dalam konsep ini. Penyesuaian terhadap keadaan dan
pemerolehan kepuasan dari keadaan tersebut menjadi dua hal yang dibutuhkan
untuk menguasai lingkungan. Apabila individu tidak yakin bahwa dirinya dapat
menjadi orang yang berguna, kemungkinan besar dia bukanlah orang yang dapat
menyesuaikan diri dengan baik.
Pada aspek ini, jawaban kelima responden dapat menggambarkan seberapa
jauh adaptasi yang telah dialami subjek di lingkungan yang memiliki budaya yang
baru dan berbeda, dan juga seberapa puas atau senang responden dengan
lingkungan mereka saat penelitian ini dilangsungkan. 3 dari 5 responden
menunjukkan secara jelas bahwa mereka merasa puas dan nyaman dengan
lingkungan yang baru setelah proses adjustment berlangsung. Responden 4, ND,
bahkan telah mampu memberikan support kepada individu lain yang mengalami
cultural shock seperti yang telah dialaminya. Menurut DeVito, pencapaian ini telah
menunjukkan bahwa responden telah menemukan pemahaman bahwa dirinya dapat
menjadi orang yang berguna, sehingga kemungkinan besar subjek merupakan
individu yang mampu menyesuaikan diri dengan baik, atau dengan kata lain
memiliki psychological adjustment yang sehat.
"Ketika bermain, mereka (kelompok yang baru) selalu
dengan alkohol, bahkan karena drugs diperbolehkan di
sini, legal, jadi saya merasa kurang nyaman saat itu,
saat mereka mulai kehilangan kesadaran dan dalam
keadaan seperti itu saya merasa tidak nyaman.
Meskipun saya tidak ikut, dan mereka tahu saya
Muslim, saya tetap merasa seperti itu." (MA, 25 April
2017)
"Yes, aku makin ke sini makin puas banget. … sekarang
aku benar-benar senang di sini." (EM, 29 April 2017)
"Sekarang karena sudah lebih paham dengan budaya
dan cara berfikir orang-orang India ya jadi lebih
santai. Alhamdulillah India sangat open minded
dengan segala agama dan saya juga tidak pernah
merasa adanya diskriminasi karena saya muslim atau
karena saya mahasiswa asing⁠. … Dengan belajar
budaya baru saya bisa melakukan perbandingan
antara Indonesia dan India. Dari hasil perbandingan
yang saya dapat itulah bisa mempengaruhi cara
pandang saya tehadap Indonesia." (SF, 28 April 2017)

14

"… Ternyata banyak teman-teman yang baru dari
negara-negara lain, yang baru datang di Melbourne,
melihat mereka itu mengalami hal-hal yang sama
persis seperti yang saya alami saat saya baru pertama
kali datang, saat itu akhirnya saaya assist mereka,
kayak memberikan support, kasih tahu lah, cara naik
public transport, beli ini beli itu, dan sebagainya. ..."
(ND, 30 April 2017)
"Saya pribadi yah puas dengan cara penyesuaian diri
saya seperti ini. Soalnya puji Tuhan kalau saya pulkam
itu kakak dan orang tua saya tidak merasakan ada
perubahan yang signifikan dari tingkah laku saya, gak
seperti anak-anak lain yang merantau tapi ada
perubahan 180 derajat dari aslinya dlu. Jadi saya
mungkin telah menyesuaikan diri dengan baik maupun
harus lebih baik lagi apa lagi dalam mengerti bahasa
daerah orang di Malang." (MR, 6 Mei 2017)

Aspek keenam yang disebutkan oleh DeVito, yaitu anger. Pada
penelitiannya, rasa marah turut dikaji berdasarkan teori Keezer, Meenninger, dan
Miller & Dollard. Rasa marah menjadi salah satu aspek penting dalam mental
health, yang muncul oleh karena frustrasi akibat kegagalan meraih suatu tujuan,
atau terjadi manifestasi atas suatu konflik. (DeVito, 1981). Ketidakstabilan
kesehatan mental yang ditandai dengan kemarahan yang berkepanjangan dapat
mengganggu pencapaian psychological adjustment individu.
Pada aspek ini, jawaban responden berkaitan pula dengan aspek keempat,
yaitu depression, bahwa terindikasikan adanya frustrasi dikaitkan dengan
perpindahan subjek ke lingkungan yang baru dan berbeda, meskipun sebab dari rasa
frustrasi itu beraneka ragam. Perbedaan yang signifikan pada aspek keempat dan
keenam dapat dilihat dari sebab rasa frustrasi yang mampu mengakibatkan rasa
marah atau depresi tersebut. Pada aspek anger ini, kegagalan meraih tujuan menjadi
indikasi utama, selain itu juga adanya konflik yang hadir dalam kehidupan subjek;
berbeda dengan aspek depression yang mana frustrasi hadir oleh adanya tindakan
diskriminasi atau rasa terintimidasi terhadap subjek sebagai kelompok minoritas di
lingkungan yang baru dan berbeda.
Bagi kelima responden, anger tidak banyak ditunjukkan dalam gambaran
pencapaian psychological adjustment-nya. Kelima responden mengungkapkan
bahwa mereka berusaha menjaga agar fokus keberadaan mereka di lingkungan baru
tetap sesuai dengan tujuan awal ketika melakukan perpindahan, dengan demikian
rasa frustrasi karena tujuan yang tidak tercapai cenderung rendah. Selain itu, tidak
banyak konflik besar (major) yang menarik perhatian subjek hingga menimbulkan
rasa frustrasi. Berdasarkan wawancara tersebut, terindikasikan bahwa aspek anger
cenderung kurang relevan dengan pencapaian psychological adjustment terkait
perpindahan yang dialami sampel responden yang dipilih, oleh karena adanya

15

korelasi negatif antara anger yang dialami responden dengan pencapaian
perkembangan kesehatan mental ataupun psychological adjustment responden
tersebut.
“Tidak ada sih (konflik dengan lingkungan sekitar). …
Ya, saya bisa memertahankan tujuan saya sampai di
sini. Jadi fokus utama saya belajar sih.” (MA, 25 April
2017)
“Konflik ngga ya, cuma teman aku dia orang Amerika,
dari awal dia merasa budaya kita berbeda. Jadi, sering
banget dia interpret yg aku maksud, berbeda... Seperti
ada miss communication. … Ya so far, better than I
expected. I would say yes. (dapat memertahankan
tujuan awal ketika melakukan perpindahan).” (EM, 30
April 2017)
“Kalau sampai konflik sih belum pernah 😄. … That's
what I have been doing so far 🙈. Tentu saja 😬👍🏻.”
(SF, 29 April 2017)
“Kalau konflik sosial sih sejauh ini tidak ada ya. … Ada
waktu-waktu yang memang kita down banget, sampai
yang ah ngga peduli ah, biar nilai mau bagus, mau
cuma lulus saja, mau distinction, yang penting tugasku
selesai. Jadi, ada waktu-waktu yang memang kita perlu
memotivasi diri kita. Tujuan kamu ke sini ini adalah
untuk belajar, kalaupun memang kamu sambil mencari
pengalaman lain, mencari duit, dan sebagainya. Fokus
utama adalah kuliah. Karena kalau sampai kamu
gagal, semuanya berakhir. Jadi emang, ehm
mempertahankan itu memang butuh kerja keras, butuh
kesadaran yang tinggi, dan butuh yah butuh self
discipline yang baik.” (ND, 30 April 2017)
“Nggak pernah kalau konflik sosial yang parah-parah.
… Iya dapat. Yang saya lakukan yah itu tetap menjalani
perkuliahan ini maupun sempat gk mau lanjut kuliah
akibat ad nilai yang hancur. Dan sejauh ini saya masih
berusaha untuk mencapai tujuan awal saya yaitu
selesai kuliah dan wisuda di UM.” (MR, 6 Mei 2017)

16

BAB IV
KESIMPULAN

4.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan tentang gambaran proses pencapaian psychological
adjustment pada mahasiswa asal Indonesia yang mengalami transisi cross-cultural
yang telah dipaparkan; diperoleh kesimpulan: proses pencapaian psychological
adjustment pada mahasiswa asal Indonesia yang mengalami transisi cross-cultural
melalui wawancara terhadap 5 responden pada tanggal 21 April 2017 sampai
dengan 6 Mei 2017 tergambar sesuai dengan 5 dimensi/aspek psychological
adjustment yang berdasar pada teori DeVito (1981), yaitu mengandung perception
of reality yang sehat, anxiety dan depression pada awal mula pra hingga pasca
perpindahan, kemudian adanya pencapaian self-esteem yang relatif signifikan pasca
perpindahan, serta terakhir dimilikinya environmental mastery oleh responden
setelah mengalami adjustment di lingkungan yang memiliki budaya yang baru dan
berbeda.

4.2 Saran
Berdasarkan pembahasan tentang gambaran proses pencapaian psychological
adjustment pada mahasiswa asal Indonesia yang mengalami transisi cross-cultural
yang telah dipaparkan; terdapat beberapa saran yang ditujukan bagi peneliti berikutnya;
yaitu supaya dapat menjabarkan fenomena yang lebih mendalam terkait dimensi/aspek
pada individu melalui pertanyaan-pertanyaan yang lebih bersifat probing dan
mendalam.

17

DAFTAR RUJUKAN

Clark, N . 2014 . Education in Indonesia . Retrieved from http://wenr.wes.org/2014/04/education-inindonesia
DeVito, A. J. . 1981 . The Measurement of Psychological Adjustment in Hispanics (online). Retrieved
from http://files.eric.ed.gov/fulltext/ED217366.pdf

Iqbal, M. M. & Mahmood, K. . 2015 . Journal of Education and Practice ISSN 2222-288X
(Online) Vol.6, No.1, 2015. Psychological Adjustment and Academic Achievement
Among Adolescents . Retrieved from http://files.eric.ed.gov/fulltext/EJ1083784.pdf
U.S. Embassy Jakarta . 2016 . Jumlah Mahasiswa Internasional di AS Melebihi Satu Juta untuk
Pertama Kalinya . Retrieved from https://id.usembassy.gov/id/jumlah-mahasiswainternasional-di-melebihi-satu-juta-untuk-pertama-kalinya/

18