Proses integrasi patani ke dalam teritori thailand 1902-1932

(1)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Adab dan Humaniora untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Humaniora

Oleh :

WILDA DARNELA ADIWILDAN NIM 105022000855

PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1431 H/2010 M


(2)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Adab dan Humaniora untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Humaniora

Oleh:

WILDA DARNELA ADIWILDAN 105022000855

Di Bawah Bimbingan

Awalia Rahma. M.A NIP: 19710621.200112.2.001

PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(3)

Skripsi yang berjudul “PROSES INTEGRASI PATANI KE DALAM

TERITORI THAILAND 1902-1932”. Telah diujikan dalam Sidang

Munaqosyah Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada tanggal 20 September 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum) pada Program Studi Sejarah dan Peradaban Islam.

Jakarta, 20 September 2010 Sidang Munaqosyah

Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota

Drs. H. M. Ma’ruf Misbah, MA. Nurhasan MA.

NIP: 195912221991031003 NIP: 19690724199703 1 001

Penguji Pembimbing

Nurhasan MA. Awalia Rahma MA.


(4)

WILDA DARNELA ADIWILDAN

PROSES INTEGRASI PATANI KE DALAM TERITORI THAILAND 1902-1932

Tulisan ini, secara komprehensif melihat kembali faktor-faktor internal dan eksternal yang menyebabkan Patani menjadi bagian dari wilayah integral Thailand yang dalam konteks historis dan kulturnya sangat berbeda. Sejarah, budaya, dan bahasa yang dimiliki Patani lebih dekat dengan Muslim di Malaysia dibanding dengan orang-orang Budha yang ada di Thailand. Usaha mengintegrasikan orang-orang Melayu-Muslim Patani ke dalam wilayah Thailand dimulai tahun 1902 dan langsung mendapat kecaman dari kalangan elit Patani. kebijakan integrasi tersebut dipertegas dalam perjanjian Anglo-Siam 1909 antara Thailand dan Inggris, dengan tanpa melibatkan orang-orang Patani sebagai obyek yang diintegrasikan. Tak ayal, prosesnya pun diwarnai konflik pertentangan dari kalangan Melayu-Muslim Patani. Dengan menggunakan pendekatan fungsionalisme struktural, Talcott Parsons, kajian ini mencoba menganalisis pola tahapan integrasi yang dilakukan Thailand terhadap Patani antara tahun 1902-1932, serta melihat faktor penyebab integrasi tersebut, dan hasil perkembangan respons dari pihak Patani dan dunia internasional.


(5)

Adaptation = Adaptasi, penyesuaian lingkungan Bendahara = perdana menteri

Bendahari = bendahara

Bunga Mas = upeti dari emas dan perak berbentuk bunga Buying-off = suap, menyuap

Divide and ruled = memisahkan dan mengatur

Ekuilibrium = lingkaran persamaan yang lahir dari masyarakat Federated States = Negara Federasi

Gabenor = Gubernur

GAMPAR = Gabungan Melayu Pattani Raya Goal-Attainment = pencapaian tujuan

Haji = gelar bagi Muslim yang sudah melaksanakan haji ke Mekkah, sementara haji diartikan oleh orang-orang Thai sebagai orang-orang yang berkunjung ke Kapilavastu’ (nama kota asal sang Budha).

Integrasi = penyatuan, keseluruhan Kabupaten = daerah

Khaek = sebutan bagi Muslim-Melayu Patani yang berarti tamu atau pengunjung, di sebut juga Thai-Islam Laksamana = admiral


(6)

Monthon = satuan administratif daerah

Muang = kota

Mufti = pejabat tertinggi Negara dalam mengeluarkan fatwa dan interpretasi al-Quran dan memiliki kewenangan mengkritisi sultan jika sultan keluar dari aturan syariah

Nagarakartagama = naskah berbahasa India

Nation = bangsa

Pali = semacam ilmu sihir berasal dari India

Qadi = hakim Islam. orang-orang Thai menyebut qadi dengan sebutan kali

Ratthaniyom = Undang-Undang yang mengatur segala urusan dalam program Thaisasi bagi Muslim yang ditetapkan pada masa Phibul Songkram

Shahbandar = master pelabuhan system of local

government councils = sistem dewan pemerintah daerah Tok Guru = guru Senior

Thesaphiban = sistem administrasi lokal/daerah Temenggong = menteri perang


(7)

(8)

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillah, penulis panjatkan puji serta syukur kehadirat Ilahi Rabbi, Dzat yang Maha Pengatur dan Pemberi Kemudahan, Allah SWT. Akhirnya, jerih payah dan kesabaran menanti kepastian yang telah digoreskan Sang Penguasa kehidupan telah terjawabkan, tanpa keridhoan dari-Nya mimpi ini tidak akan pernah jadi kenyataan. Hanya Dia yang setia menemani ketika jiwa ini dalam kerapuhan, pikiran, dan hati yang tersesat, kelelahan yang tiada tara, waktu yang terus merongrong. Demi Dzat yang Maha Sempurna, penulis tidak akan bisa bertahan tanpa inayah dan hidayah dari-Nya.

Untaian shalawat dipersembahkan untuk Khatam Al-Nabiyyin, pemimpin sejati, pembawa pesan cahaya Ilahi, Muhammad saw.

Di pengantar skripsi ini, dengan segala kerendahan dan ketulusan hati, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Orang tua tercinta; ayahanda yang telah lama ‘pulang’ ke pangkuan Illahi Rabbi Moh. Adih Bahruddin Adiwildan dan ibunda Khusnul Khatimah. Terima kasih yang tulus, rasa ta’dzim dan hormat penulis haturkan atas kesabaran, nasihat dan kasih sayang yang tiada pernah berujung. Ini wujud ‘bangga’ untuk ayahanda dan ibunda dari ananda, semoga Allah selalu memberi kebahagiaan di dunia dan akhirat. Amien.

2. Dr. H. Abdul Wahid Hasyim M.Ag. selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora


(9)

ii 4. Nurhasan M.A selaku Sekretaris Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam 5. Awalia Rahma, M.A, selaku pembimbing dalam menyusun skripsi ini, dan

salah satu dosen yang memiliki komitmen dan loyalitas dalam mengajar mahasiswa-mahasiwanya. Terimakasih atas bimbingan, masukan, saran dan waktu luang hingga terselesaikannya penyusunan skripsi ini.

6. Seluruh dosen Fakultas Adab dan Humaniora, yang telah memberikan ilmu pengetahuan, semoga ilmu yang diberikan bermanfaat bagi penulis. 7. Seluruh staff akademik Fakultas Adab dan Humaniora.

8. Kakak-kakak dan adik-adikku tercinta. Sahabatku Nisa, Echi, Emi, Listia, Mardiyah, Andri, Apep, Agus, Keluarga Korek Api dan ‘ayat-ayat cintaku’ Hardy Kurniawan, kalian selalu disampingku. Serta teman-teman SPI 2005 dan adik-adik kelas tersayang.

9. Teman-teman Patani Wira Tahe, Weera, Nur, Ustad Hasan Daud, dan Aiman. Akun Patani Fakta dan Opini di jejaring facebook, terimakasih telah membantu mencari sumber-sumber tentang Patani.

10.Terima kasih kepada Teater Syahid dan Lab Teater Syahid, dan seluruh UKM Kampus UIN Jakarta, juga satpam UIN.

Jakarta, 31 Agustus 2010 Penulis


(10)

DAFTAR ISI ……….. i

KATA PENGANTAR ……… iii

LEMBAR PENGESAHAN ……… v

BAB I PENDAHULUAN ………... 1

A. Latar Belakang Masalah ………... 1

B. Kerangka Teoritis ………. 8

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ………... 10

D. Metode Penelitian ………. 11

E. Sistematika Penulisan ………... 13

BAB II PATANI DALAM KONTEKS HISTORIS ... 14

A. Agama dan Masyarakat Melayu-Muslim Patani ... 14

B. Identitas Budaya dan Masyarakat Melayu-Muslim Patani 20

C. Situasi Politik Patani ………. 27

D. Situasi Ekonomi Patani ……… 35

BAB III PENGERTIAN DAN KONSEP INTEGRASI ………... 42

A. Konsep dan Kebijakan Integrasi Politik Pemerintah Thailand (Siam) ………. 42

B. Pandangan Melayu-Muslim Patani Terhadap Integrasi ………. 47

C. Konsep Integrasi Perspektif PBB ……….. 45


(11)

A. Proses Integrasi Patani ke Dalam Wilayah Thailand ………. 57

a. Pencetus dan Faktor Terjadinya Integrasi bagi Patani …. 57 b. Tahapan Integrasi Patani ke Dalam Wilayah Thailand 1902 – 1932 .………. 65

1. Tahap Adaptation ……… 65

2. Tahap Goal Attainment ………... 67

3. Tahap Integration ……… 69

4. Tahap Latency ……… 76

B. Respons Terhadap Integrasi Patani …………..………... 77

a. Respons Pemerintah Thailand ………. 77

b. Respons Muslim-Melayu Patani ………. 79

c. Respons Masyarakat Lembaga International ……… …… 83

BAB V PENUTUP ……….. 84

A. Kesimpulan ……… 84

B. Saran dan Penutup ………. 87 DAFTAR PUSTAKA


(12)

Lampiran 1 Silsilah Raja-raja Patani versi History of Patani

Lampiran 2 Silsilah Raja-raja Patani versi Sejarah Kerajaan Melayu Patani

Lampiran 3 Peta Patani Darussalam Lampiran 4 Draft ekspor dan impor Patani

Lampiran 5 Darft cacatan komoditi Patani berdasarkan sumber Barat dan China Lampiran 6 Peta Patani setelah menjadi provinsi Thailand

Lampiran 7 Peta wilayah-wilayah yang didominasi Melayu Muslim di Thailand Lampiran 8 Kategorisasi kebijakan integrasi Thailand dan dampaknya di Patani Lampiran 9 Foto Gajah di Museum Gajah

Lampiran 10 Struktur Thai-Islam dalam birokrasi sosio-agama Thailand Lampiran11 Kronologi sejarah Thailand

Lampiran12 Struktur Patani di bawah Thai Lampiran 13 Foto Raja Abdul Kadir Kamaruddin Lampiran 14 Draft Undang-Undang Ratthaniyom


(13)

A. Latar Belakang Masalah

Islam di Asia Tenggara paling tidak memiliki sejarah tujuh abad.1 Selama itu pula Islam tumbuh di wilayah ini dipengaruhi oleh lingkungan baik secara budaya dan tradisi sosial masyarakat Asia Tenggara. Bahkan Islam merupakan sebuah kekuatan baik secara sosio-politik maupun sosio-ekonomi yang patut diperhitungkan. Meski Islam di Asia Tenggara secara geografis berada di periferi jantung Islam di Timur Tengah, namun komitmen masyarakat Muslim Asia Tenggara terhadap Islam baik secara spiritual, psikologi dan intelektual sangat dinamis, represif, dan bersikap terbuka.

Patani (dalam ejaan Thailand ditulis Pattani), dalam skripsi ini penulis menggunakan kata Patani)2 pernah menjadi Kerajaan Islam yang mencapai puncak kejayaan selama hampir 3 abad di Semenanjung Malaya dan berhasil menyaingi Kerajaan Siam (Thailand) yang memiliki pengaruh besar dalam peradaban dan kebudayaan di beberapa wilayah Indocina. Kerajaan Sukhotai bersama Kerajaan Ayuthia antara tahun 1283 dan 1287 berhasil mengalahkan orang-orang Khmer dari Kamboja, orang-orang Annam dari Vietnam, Arakan, di Burma serta Laos. Di bawah pemerintahan Raja Khamheng “Raja si pemberani”

1

Taufik Abdullah dan Sharon Siddique, Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, Jakarta: LP3ES, 1988, hal.1

2

Penulis menyebutnya Patani karena ejaan tersebut masuk dalam konteks sejarah awal dan kepercayaan Melayu-Muslim Patani, nama tersebut juga merujuk kepada nama Kerajaan Melayu Islam Patani. Kini nama Patani telah diubah ke dalam ejaan Thailand dengan nama Pattani (memakai dobel ‘t’), dan merupakan nama sebuah provinsi di Thailand Selatan. Pembahasan ini lebih lanjut akan diterangkan dalam BAB II.


(14)

tahun 1283-1317, yang menggantikan ayahnya bernama Sri Indraditya sebagai raja Sukhothai, berhasil meluaskan wilayah kekuasaannya ke Lembah Menam dan Semenanjung Malaya. Dalam kurun waktu tersebut Sukhotai disebut pangkal kebudayaan Siam.3

Sejak 1786 Patani merupakan kerajaan yang merdeka dan berdaulat. Patani pada masa raja-raja perempuan, muncul menjadi pusat perniagaan Melayu yang kuat menyaingi Siam. Letak geografis dan peranan pelabuhan yang amat strategis menjadikannya pusat perdagangan bagi para pedagang dari Timur dan Barat. Selain itu, kekuatan politik serta kemapanan ekonomi yang dicapai oleh Patani menjadikannya sebagai negara kerajaan terkuat yang disegani oleh negara kerajaan yang ada di Semenanjung Malaya.

Kekacauan politik di tubuh kerajaan Patani semakin menyeruak, manakala pemerintahan Raja Kuning berakhir dan tidak ada yang mampu melanjutkan kejayaan yang dicapai Patani. Dalam Hikayat Patani, raja-raja pengganti setelah Raja Kuning saling berebut kekuasaan, Raja sering kali dijadikan sebagai boneka ketimbang sebagai seorang yang berwibawa mengatur sistem pemerintahannya.4 Selain itu, akibat penyerbuan yang dilakukan oleh Siam, Kerajaan Patani lambat laun mengalami keguncangan, strategi politik yang tidak kuat menjadikan kerajaan tersebut dengan mudah dapat dikalahkan oleh Siam. Sebagai bentuk kekuasaan Siam atas Patani, maka setiap dua setengah tahun sekali kerajaan-kerajaan Melayu harus mengirimkan upeti berupa Bunga Mas (semacam upeti

3

D.,G.,E., Hall, Sejarah Asia Tenggara, Surabaya : Usaha Nasional, tanpa tahun, hal.153-154

4

Nik Anuar Nik Mahmud, Sejarah Perjuangan Melayu Patani 1785-1954, Bangi : Jabatan Sejarah Universitas Kebangsaan Malaysia, tanpa tahun, hal.4


(15)

berbentuk pohon yang terbuat dari emas dan perak)5 dan menyerahkan orang atau tenaga manusia dan uang sebagai tanda kerajaan-kerajaan Melayu di bawah penguasaan Siam.6 Namun Patani tetap memiliki kebijakan otonomi dalam mengatur kebijakan politik, ekonomi dan sosial-budaya, bukan bagian integral dari negara Thailand.

Ketika orang-orang Eropa datang ke wilayah Asia Tenggara abad 16 M, tradisi pengiriman upeti Bunga Mas tersebut dipandang oleh orang-orang Eropa sebagai tradisi yang tidak sesuai dengan hukum dan kebiasaan orang-orang Eropa.7 Pengukuhan Portugis sebagai kekuatan Eropa pertama yang memasuki Timur dengan semangat missionaris, yang ditandai dengan penaklukan Malaka oleh Portugis tahun 1511 M. Namun kemunculan pasukan Portugis selalu dapat dilawan oleh Muslim setempat, meskipun perlawanan mereka tidak dimotivasi oleh semangat keagamaan.8 Demikian juga penjajahan Spanyol di Filipina.

Kolonialisme Eropa pada abad 19 M semakin kukuh, kala mereka berupaya untuk melakukan batas-batas artifisial dengan membagi wilayah jajahannya di Asia Tenggara, dan telah menghancurkan politik tradisional Asia Tenggara. Implikasinya seluruh kerajaan tradisional di Asia Tenggara—baik yang

5

D.G.E.Hall, Sejarah Asia Tenggara, Surabaya : Usaha Nasional, tanpa tahun, hal.32-33, lihat juga literature dalam bahasa Melayu Haji Abdur Rahman Dawud, Sejarah Negara Pattani Darussalam terbitan Pattani, hal.,56. Beberapa sumber mengatakan hal yang berbeda mengenai jangka waktu tiap pengiriman upeti bunga mas, lihat dalam jurnal karangan Yunariono Bastian, Paradigma, Jurnal Hubungan Internasional FISIP UPN “Veteran” Yogyakarta, Volume 7, Juni 2003.

6

D.G.E., Hall, Sejarah Asia Tenggara, Surabaya : Usaha Nasional, tanpa tahun, hal.479. Lihat juga di buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid III, hal.,32-33

7

Ibid., hal.,479

8

Saiful Mujani, dalam Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, Jakarta : LP3ES, 1993, hal.30


(16)

bercorak Islam, Hindu atau Budha—sudah kehilangan kemerdekaan politiknya, kecuali Thailand (Muangthai).9

Rainer Baubock menggambarkan tiga jenis perbatasan komunitas politik dari masyarakat modern, yaitu sebagai wilayah perbatasan negara, batas-batas Negara yang merupakan anggota sebuah komunitas politik yang ditentukan oleh status kewarganegaraan dan hak warga negara, dan batas-batas komunitas budaya yang memeberikan seperangkat hak khusus untuk kelompok budaya minoritas.10 Dengan demikian, setiap penjajahan selalu diikuti dengan kebijakan integrasi, baik integrasi teritorial, politik dan budaya untuk membangun politik integrasi yang ideal, terutama pada awal-awal abad 19 dan 20 M.

Contoh kasus, Belanda menerapkan kebijakan integrasi atas kepulauan Nusantara untuk mengkonsolidasikan seluruh wilayah Nusantara berada dalam cengkramannya, pada awal abad 19 M, dengan melakukan penataan kembali wilayah-wilayah Nusantara ke dalam bentuk provinsi dan menciptakan sistem dewan pemerintah daerah (system of local government councils) dengan aturan lokal, yang kebanyakan ditempati oleh orang Eropa tetapi juga mencakup beberapa anggota lokal dari kelas bangsawan. Tahun 1918 sistem ini diperluas ke dalam pembentukan tingkat nasional dengan bentuk ‘Dewan Perwakilan Rakyat’ sebagai penertiban administrasi wilayah kekuasaan Belanda.11 Sementara Inggris berusaha mengintegrasikan wilayah jajahannya di Semenanjung Malaya dengan

9

Ibid. hal.31

10

Cahyo Pamungkas, “The State Policies Towards Southern Border Provinces”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand, Jakarta: Pusat Penelitian Sumber Daya Regional (PSDR-LIPI), 2004, hal.61

11

Howard M. Federspiel, Sultans, shamans, and saints : Islam and Muslims in Southeast Asia, USA : University of Hawai’i Press, 2007, hal.97-98


(17)

membentuk sistem Negara Federasi (Federated States), dan menempatkan kebijakan ini ke dalam sistem pendidikan, bahwa setiap warga negara yang berada di wilayah kekuasaannya harus menerima sistem pendidikan Eropa dan bahasa Inggris sebagai bahasa utama.12

Selain bangsa Eropa, Thailand adalah negara di Asia Tenggara yang mencoba membuat suatu komunitas politik melalui penjajahan. Konsep integrasi sebagai suatu pembentukan negara dan komunitas politik yang dilakukan bangsa Eropa di Asia Tenggara, mendorong Siam (Thailand) pada masa Chulalongkorn (Rama V 1868-1910) melakukan serangkaian pembentukan negara tahun 190213 melalui pembaruan administratif terhadap wilayah-wilayah sebelah selatan atau Patani. Selain itu, raja Chulalongkorn melakukan beberapa pertimbangan diplomasi dengan Inggris—yang pada saat itu menduduki negeri-negeri di Semenanjung Malaya—yang berujung pada ditetapkannya Perjanjian Bangkok yang dilegitimasi oleh Kerajaan Siam-Inggris pada 10 Maret 1909 untuk meratifikasi batas antara negeri Thai dengan Malaya Inggris dan menetapkan wilayah Patani, Narathiwat, Songkla, Yala dan Satun menjadi bagian wilayah Siam, Thailand, sekaligus memisahkan Patani dari wilayah Semenanjung Malaya,14 sedangkan Kelantan, Kedah, Perlis dan Terengganu dimasukkan Inggris menjadi wilayah Malaysia.15 Semua wilayah Malaya yang dipecah-pecah

12

Ibid. hal.109

13

Surin Pitsuwan, Islam di Muangthai Nasionalisme Melayu Masyarakat Patani, Jakarta : LP3ES, 1989, hal.22

14

Wan Kamal Mujani, Minoriti Muslim:Cabaran dan Harapan Menjelang Abad ke-21, Bangi : Universiti Kebangsaan Malaysia, 2002, hal.11

15

Artikel dengan judul “Minoritas Muslim, Konflik dan Rekonsiliasi di Thailand Selatan” oleh Badrus Sholeh, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Budi Luhur, tanpa tahun.


(18)

tersebut memiliki tradisi dan budaya Melayu dan agamanya Islam. Upaya ini sekaligus menjadi tonggak sejarah runtuhnya kedaulatan Patani. Patani bukan lagi sekedar negara jajahan bagi Siam tetapi menjadi bagian integral dalam Kerajaan Thai, sekaligus menghapuskan sistem Kesultanan Melayu.

Nampaknya, pemerintah Thailand berusaha mengadakan politik Siamisasi terhadap seluruh masyarakat Patani, artinya seluruh rakyat yang berada dalam kekuasaan wilayah Thailand diintegrasikan ke dalam satu kesatuan bangsa yang disebut bangsa Siam atau Thai. Reaksi atas dicetuskannya gagasan integrasi dalam rangka modernisasi negara bangsa tersebut menimbulkan persoalan entitas budaya dan politik antara negara Thailand dengan Melayu-Muslim Patani bahkan berujung pada persoalan agama, dan menjadikan Siam (Thailand) menjadi salah satu negara yang majemuk. Sehingga menggelitik penulis untuk menganalisis mengapa pemerintah Thailand menetapkan kebijakan integrasi terhadap wilayah Patani sehingga menjadi bagian integral Thailand? dan sejauh mana tahapan-tahapan pemerintah Thailand dalam mengintegrasikan Melayu-Muslim Patani ke dalam Siam?

Menanggapi kebijakan integrasi pemerintah Thailand terhadap Patani, sebagaimana, menurut David Brown, hal ini sebagai upaya untuk mono-ethnic character of the State – etnik tunggal yang menjadi ciri khas dari negara Thailand.16

Selain itu, berbagai pola integrasi yang dilakukan bangsa Eropa, kemudian disadari raja Chulalongkorn sebagai salah satu gagasan yang tepat dalam

16

David Brown, From Peripheril Communities to Ethnic Nations, Pacific Affairs 62, 1988, hal.51-71


(19)

mempertahankan daerah jajahannya dan urusan dalam negerinya. Fenomena ini disadari ketika raja Chulalongkorn berkunjung ke wilayah Jawa dan Sumatera yang diduduki oleh Belanda, juga Singapura dan Malaysia yang diduduki oleh Inggris, dan sekaligus mengilhami raja Chulalongkorn menciptakan konsep integrasi dengan istilah Thesaphiban dan Monthon (satuan administratif daerah).17

Dimulai pada tahun 1902, pemerintah Thailand telah menetapkan integrasi wilayah Patani ke dalam wilayah Thailand. Pada tahun-tahun awal inilah kegiatan oposisi yang dipimpin oleh keluarga kerajaan digulingkan dan para pemimpin Islam karismatik kepemimpinannya semakin jatuh. Sebagai loyalitas atas kehilangan posisi agama Islam dan mereka sebagai Muslim diperkuat dalam meningkatkan respons non- 'Thaicization' (Thaisisasi) atau anti-Siam.18 Reaksi kolektif pun muncul dari Muslim-Melayu Patani ini sehingga memicu penindasan-penindasan yang lebih keras dari pihak pemerintah Thai. Hal yang paling signifikan pada periode ini adalah setelah secara final Patani dimasukkan ke dalam Kerajaan Thai adanya upaya mempertahankan identitas Melayu yang tak bisa dipisahkan. Kemudian muncul respons dari kalangan mantan para raja Daerah Patani Raya sekaligus memimpin perlawanan terhadap pemerintah Thailand pada tahun 1922 yang dikenal dengan peristiwa Namsai. Hingga berakhirnya ciri kerajaan monarki absolut Thailand pada tahun 1932, berakhir pula konsep Monthon yang disambut orang-orang Melayu-Patani sebagai harapan baru bagi otonomi budaya mereka. Skripsi ini akan mengkaji, sejauh mana

17

Surin Pitsuwan, Islam di Muangthai Nasionalisme Melayu Masyarakat Patani, Jakarta : LP3ES, 1989 , hal.48

18

John Futson, “Thailand”, dalam Voices of Islam in Southeast Asia: A Contemporary Sourcebook, Ed., Greg Fealy dan Virginia Matheson Hooker, Institute of Southeast Asian Studies, 2006, hal.78


(20)

tahapan-tahapan ide integrasi yang dilakukan pemerintah Thailand terhadap wilayah Patani antara tahun 1902-1932 ini.

Berdasarkan pemikiran tersebut, maka penulis memberi judul skripsi ini dengan ”PROSES INTEGRASI PATANI KE DALAM TERITORI

THAILAND 1902-1932”.

B. Kerangka Teori

Integrasi dalam bahasa Latin, yaitu interger yang berarti keseluruhan. Dalam integrasi berarti terdapat bagian-bagian, unsur-unsur, faktor-faktor atau perincian-perincian yang telah digabungkan ke dalam bentuk sedemikian intimnya sehingga menimbulkan suatu keseluruhan yang sempurna.19 Dengan demikian, integrasi merupakan suatu proses penggabungan dan pembauran dengan menghilangkan jati diri yang khas.

Pengertian integrasi juga dikaitkan dengan terminologi integrasi nasional politik, dan sosial. Namun seiring perkembangannya integrasi politik dan sosial merupakan salah satu dimensi dari integrasi nasional. Pengertian integrasi nasional menurut Rupert Emerson dan Kh. Silvert adalah sama arti dengan integrasi teritorial, sedangkan bagi Weiner, integrasi nasional tidak hanya meliputi masalah teritorial dan perbedaan elite-massa saja, melainkan lebih luas lagi. Hal ini dipertegas dengan istilah ‘nasional’ yang merujuk pada makna‘nation’ yaitu bangsa.20 Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa integrasi memiliki beberapa aspek, seperti aspek horizontal (teritorial) dan aspek vertikal

19

Saafrudin Bahar, Integrasi Nasional, Teori, Masalah dan Strategi, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1996, hal.97

20


(21)

(elite-massa). Kedua aspek tersebut dapat dikaji dari segi tujuan integrasi, dari segi konsensus atau dari segi budaya politik. Juga sifat integrasi dianggap sebagai suatu proses bukan sebagai suatu yang konstan. Agama atau ideologi adalah salah satu aspek kuat dan menentukan dari proses integrasi tersebut.21

Menurut Talcott Parsons proses integrasi memiliki tahapan-tahapan atau fase-fase yang sangat fundamental untuk mempertahankan keberlangsungan persatuan pada keseluruhan sistem sosial,22 dan untuk menentukan langkah-langkah yang bisa diramalkan sebagai suatu tindakan sosial bilamana muncul ketegangan yang merupakan ketidaksesuaian antara suatu sistem dengan sistem yang diinginkan. Tahapan mencakup paradigma adaptation, goal attainment, integration dan latency (latent-pattern-maintenance). Penyesuaian (adaptation) yang bersandang pada ekonomi merangsang untuk mencapai suatu tujuan-pencapaian suatu negara disebut (goal attainment). Selama tahap pencapaian tujuan tersebut, diperlukan proses penyesuaian apabila terjadi kondisi genting agar ketegangan yang terjadi dapat diatasi, maka dengan penyatuan (integration) sistem budaya dan nilai-nilai umum yang berkaitan dengan hukum dan kontrol sosial yang diinginkan dapat terjalin secara solidaritas, menyeluruh, dan kuat. Tahapan-tahapan ini diikuti oleh tahap pemeliharaan pola sistem yang bersifat laten (latent pattern maintenance).23

Segala permasalahan perlu didekati secara historis. Karena dengan pendekatan sejarah diharapkan dapat menghasilkan sebuah penjelasan yang mampu mengungkap gejala-gejala yang relevan dengan waktu dan tempat

21

Ibid. hal.97

22

Talcott Parsons, The Social System, Francis: Routledge, 2005, hal.27

23


(22)

terjadinya proses integrasi Patani ke dalam teritori Thailand,24 dan menggunakan teori pendekatan-fungsionalisme-strukturalis atau integration approach

(pendekatan integrasi) Talcott Parsons. Pendekatan ini memandang masyarakat adalah suatu sistem yang secara fungsional terintegrasi kepada satu bentuk ekuilibrium (lingkaran persamaan yang lahir dari masyarakat tersebut).

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Pembahasan mengenai situasi budaya, agama, dan politik Patani sebelum terintegrasikan ke dalam wilayah Thailand diharapkan menjadi gambaran awal memahami faktor terjadinya integrasi tersebut. Adapun supaya pembahasan skripsi ini tidak mengalami pelebaran dan tetap fokus terhadap kajian awal, maka penulis membatasi pada permasalahan:

1. Tahapan-tahapan integrasi yang dimaksud dalam pembahasan skripsi ini, yakni bagaimana empat tahapan-tahapan integrasi secara teritorial (wilayah), pada bidang-bidang politik, sosial-budaya dan agama yang diupayakan pemerintah Thailand terhadap Patani

2. Apa yang melatarbelakangi integrasi yang diberlakukan pemerintah Thailand terhadap Patani dimulai pada periode 1902 hingga 1932

3. Bagaimana respons yang ditimbulkan dari proses integrasi tersebut?

Dengan perumusan masalah sebagai berikut:

24

Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999, hal.90


(23)

1. Bagaimana situasi sosial Patani sebelum terintegrasi ke dalam wilayah Thailand, baik secara agama, politik, dan budaya?

2. Mengapa pemerintah Thailand yang mayoritas etnis Siam dan beragama Budha menetapkan kebijakan integrasi terhadap Patani, sedangkan wilayah Patani didominasi oleh etnis Melayu dan beragama Islam?

3. Bagaimana tahapan-tahapan integrasi yang diupayakan oleh pemerintah Thailand terhadap Patani?

4. Bagaimana respons yang ditimbulkan dari proses integrasi tersebut?

D. Metodologi Penelitian

Penelitian skripsi ini menggunakan metode deskriptif analitis. Metode ini bermaksud untuk mendeskripsikan dan menganalisa peristiwa-peristiwa masa lampau secara historis.25 Metode historis memerlukan empat langkah dalam penulisan dan pengolahan data, yaitu :

Heuristik : yaitu pencarian dan pengumpulan sumber data baik dengan sumber primer dan sumber sekunder. Pengumpulan sumber data penulisan skripsi ini menggunakan sumber-sumber sekunder dengan telaah library research

(penggunaan bahan-bahan dokumen tertulis seperti buku-buku, majalah, catatan-catatan, dan kisah-kisah sejarah lainnya).26 Dalam melengkapi sumber-sumber sekunder, maka penulis akan menambahkan sumber primer berupa hasil

25

Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999, hal.54

26

Ibid., hal.,55-56. Lihat juga Mardalis, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal, Bumi Aksara, 2004, hal.20


(24)

wawancara dengan beberapa informan yang berasal dari Patani serta beberapa peneliti mengenai Patani dan Thailand.

Kritik : setelah sumber-sumber data tersebut terkumpul, penulis akan mengklasifikasikan keotentikan dan kredibilitas sebuah sumber data. Otentik dalam arti memilah mana sumber asli dan benar, sedangkan kredibilitas dalam arti penyelidikan kritis terhadap sumber-sumber yang ada27 agar tidak terjadi kekeliruan dan kesalahan informasi mengenai Patani dan Thailand.

Interpretasi : Analisis terhadap sumber-sumber data yang telah diteliti kredibilitas dan keotentikannya, dengan menggunakan pendekatan ilmu sosial. Kemudian penulis akan menemukan korelasi dan solusi baru mengenai tema yang akan dibahas.

Historiografi : tahap terakhir dalam prosedur penelitian sejarah, merupakan cara penulisan, pemaparan atau pelaporan hasil penelitian dengan memperhatikan aspek kronologi sejarah. Yakni dimulai dengan bagaimana kondisi sosial Patani masa Kerajaan Siam hingga terjadinya proses integrasi Patani ke dalam teritori Thailand.

E. Sistematika Penulisan

Hasil penelitian skripsi ini disajikan ke dalam lima bab :

Bab I menyajikan pembahasan pokok mengenai latar belakang masalah, kerangka teori, pembatasan dan perumusan masalah, metode penelitian dan sistematika penulisan.

27

Louis Gottschalk, Understanding History, penerjemah; Nugroho Notosusanto, Mengerti Sejarah, Jakarta : UI-Press, 1985, hal.80 dan 95


(25)

Bab II memuat pembahasan gambaran umum mengenai situasi Patani dalam bidang agama, sosial-budaya, politik, dan ekonomi pada masa sebelum terjadinya integrasi. Masa ini juga disebut masa transisi Patani ke dalam wilayah jajahan Kerajaan Siam (Thailand), setelah berakhirnya kepemimpinan Raja Kuning.

Bab III memuat pembahasan mengenai konsep dan kebijakan integrasi politik pemerintah Thailand (Siam), andangan Melayu-Muslim Patani terhadap integrasi, konsep integrasi perspektif PBB, dan pengertian integrasi dan konsep integrasi menurut lembaga internasional.

Bab IV memuat pembahasan tentang analisis integrasi Thailand terhadap Patani tahun 1902-1932, mencakup pencetus dan faktor integrasi bagi Patani, tahapan integrasi Patani ke dalam wilayah Thailand Tahun 1902 – 1932, dan respons terhadap integrasi Patani, mencakup respons pemerintah Thailand, respons Melayu-Muslim Patani dan respons masyarakat intelektual.

Bab V menyajikan pembahasan hasil akhir analisa dalam kesimpulan, saran, dan penutup.


(26)

BAB II

PATANI DALAM KONTEKS HISTORIS

A. Agama dan Masyarakat Melayu-Muslim Patani

Patani kini menjadi salah satu dari lima provinsi di Thailand Selatan disebut Pattani, empat provinsi lainnya adalah Yala, Narathiwat, Satun (Setul) dan Songhkla. Terdapat sekitar dua juta orang, membentuk hampir 4% penduduk Thailand (65 juta pada tahun 2001).28 Mayoritas berasal dari Melayu asli, beragama Islam, dan mewakili empat per lima warga Muslim di Thailand. Mereka adalah minoritas terbesar kedua setelah Cina, dan menyebut diri mereka sebagai "Jawi".29

Sebenarnya, jumlah penduduk Muslim di Thailand masih diperdebatkan, menurut Omar Farouk, jumlah Muslim berdasar perhitungan akademik dan media lebih banyak 2 kali dari perkiraan resminya. Bahkan menurut Chaiwat Satha-Anand banyak laporan media kontemporer mencatat populasi Muslim di Thailand diatas 10 persen. Dengan argumentasi berdasar jumlah masjid yang ada di Thailand, terdapat sekitar 3.113 masjid dengan perkiraan 183 rumah tangga per masjid, masing-masing dengan delapan anggota, maka ada sejumlah 4,5 juta muslim atau 7,3 persen dari total populasi.30 Bahkan Gilquin menempatkan

28

Pierre Le Roux, To Be or Not to Be...: The Cultural Identity of the Jawi (Thailand), Asian Folklore Studies, Volume 57, 1998, hal.224

29

Ibid.,hal.223-255

30

John Futson, “Thailand”, dalam Voices of Islam in Southeast Asia: A Contemporary Sourcebook, Ed., Greg Fealy dan Virginia Matheson Hooker, Institute of Southeast Asian Studies, 2006, hal.77


(27)

jumlah penduduk Muslim di Thailand Selatan melebihi dari perkiraan Omar Farouk. (lihat tabel 1)

Tabel 1 Populasi Muslim di Thailand Selatan

Provinsi Jumlah Populasi Muslim

Narathiwat 1,135,050

Pattani 1,230,750

Satun 514,500 Songkhla 1,036,000 Yala 1,088,500 Total 5,004,800 Sumber : Michel Gilquin (2005) The Muslim of Thailand

Jika dibandingkan sensus dari tahun ke tahun penduduk Muslim di Thailand terus meningkat, berdasarkan sensus tahun 2000 menempatkan jumlah Muslim sebanyak 2.815.900, atau 4,6 persen dari total populasi 60.617.200, naik dari 4,1 persen pada tahun 1990. Di empat provinsi selatan sekitar 70 persen dari penduduk Melayu-Muslim, sementara Songkhla hanya 25 persen. Sensus menempatkan total Melayu-Muslim di lima provinsi selatan, sebanyak 1.769.818, dan 2.345.800 di 4 provinsi selatan secara keseluruhan.31 Jumlah Muslim lainnya terdapat di Bangkok sebanyak 274.100 dan wilayah tengah sebanyak 156.400 (sebagian besar dari mereka tinggal di dalam atau di sekitar bekas ibukota Ayuthaya), di antara mereka berasal dari Thailand dan negara di Asia Tengah, Asia Selatan, dan Timur Tengah atau pindah tempat tinggal secara paksa dari

31


(28)

selatan setelah perang. Sejak akhir tahun 1970-an akibat konflik intern dan peperangan banyak Muslim dari Timur Tengah telah bermigrasi ke Bangkok, sampai-sampai satu daerah dikenal sebagai kuarter Arab, dan kadang-kadang disebut sebagai mini-Beirut Timur. Sensus juga melaporkan kantong-kantong yang terisolasi di seluruh daratan tengah, ada sekitar 26.000 Muslim di utara - sebagian besar etnis Cina yang tinggal di sekitar Chiang Mai - meskipun laporan media menunjukkan angka jauh lebih tinggi. 32

Patani pada periode pertama meliputi wilayah Kesultanan Negeri Patani Besar (The Great Patani Negeri) yang mencakup daerah Narathiwat (Teluban), Yala (Jalor), dan beberapa daerah Senggora (Songkhla, bagian Sebayor dan Tibor), bahkan Kelantan, daerah Kuala Trengganu dan Pethalung (Petaling). Patani merupakan wilayah yang memiliki sejarah panjang dalam perdagangan di Semenanjung Malaya dan ideologi Islam yang memiliki identitas Melayu. Asal usul Patani diyakini berasal dari sebuah Kerajaan Hindu-Budha yang bernama Langkasuka33 dalam bahasa Cina “lang-ya-shiu” terletak di pantai timur

32

Ibid. hal.78

33

Menurut beberapa catatan ada banyak versi nama Langkasuka: Lang-Hsi-Chia, Langkasuka bahkan muncul dalam sebuah fabel pertanian di Kedah, Alang-Kah-Suka, sebuah cerita tentang Putri Sadong, perempuan yang mengalahkan beberapa makhluk surgawi dan kambing liar di bukit kapur, dia menolak semua pelamar. Lihat Paulus Rudolf Yuniarto, “Integration of Pattani Malays: a Geopolitical Change Perspective”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand, Pusat Penelitian Sumberdaya Regional (Indonesia), 2004, hal.36

Sumber-sumber yang menceritakan Langkasuka terdapat dalam catatan Cina zaman Dinasti Liang, Langya hsiu, Inskripsi Rajendra Chola (Tajore, India) yang tertulis dalam teks Jawa, bernama Illangasokam (1030). Dalam catatan tersebut diceritakan ketika Rajendra Chola (Raja India) sedang melakukan ekspedisi ke Semenanjung Malaya, dan Langkasuka adalah salah satu sasaran dari ekspedisi tersebut dalam rangka penaklukan dan penguasaan bidang perdagangan mereka. Pun dalam catatan Nagarakartagama tahun 1365 oleh Prapanca, Langkasuka berada dibawah kekuasaan Majapahit dan Sriwijaya. Sumber-sumber lain yang menceritakan Sejarah Langkasuka terdapat dalam teks Arab berjudul Kitab AlMinhaj al-fakhir fi-ilmi al-bahr alzakhir, Hikayat Merong Mahawangsa, Catatan Tradisi Kedah ‘Alangkah suka’, dan Hikayat Pasai (1370).


(29)

Semenanjung Malaya antara Senggora (Songkhla) dan Kelantan dengan ibu kota di daerah Yarang, dan dikenal sebelum abad 12 M, teori ini didasarkan pada catatan Cina.34 Menurut Welch dan McNeill, Langkasuka adalah nama lain dari “Patani” merupakan kesultanan Melayu Muslim tertua di Thailand. Keyakinan Welch dan McNeill diperkuat dengan penggalian arkeologi yang dilakukan di daerah “Komplek Yarang”, yaitu provinsi ‘Pattani’ sekarang. Ditemukan sekitar tiga situs penggalian dan tiga puluh gundukan kuburan yang meliputi luas permukaan 12 kilometer, yang terletak sekitar 15 kilometer dari kota ‘Pattani’ sekarang, diperkiraan tahun 1050-1300 M,35 namun sejarah Langkasuka dalam catatan sejarah Thailand masih kabur. Melalui catatan Cina, dipastikan Kerajaan Langkasuka yang bercorak agama Hindu-Budha telah berpindah agama menjadi agama Islam,36 kemudian berganti nama menjadi Kerajaan Patani. Sekitar abad ke 15 Islam menjadi agama resmi Kerajaan Patani.

(Adi Haji Taha, Dimanakah Langkasuka?, Wacana Warisan Kedah Darul aman Perpustakaan Awam Kedah, Alor Setar, Kedah, 11-12 Maret 2000).

34

Paulus Rudolf Yuniarto, “Integration of Pattani Malays: a Geopolitical Change Perspective”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand, Pusat Penelitian Sumberdaya Regional (Indonesia), 2004, hal.35.

35

Pierre Le Roux, “To Be or Not to Be...: The Cultural Identity of the Jawi (Thailand)”, Asian Folklore Studies, Volume 57, 1998, hal.224-225.

36

Sesungguhnya banyak sekali pendapat mengenai kapan Islam mulai singgah dan tersebar ajarannya di wilayah ini, beberapa diantaranya bahkan tidak bisa memastikan abad berapa dan tahun berapa Langksuka berpindah menjadi Islam. Hikayat Patani mencatat bahwa Islam sebenarnya telah ada di Patani pada abad 10, namun Patani benar-benar menjadi Islam ketika seorang Raja Pasai bernama Syeikh Said berhasil mengislamkan Raja Langkasuka bernama Paya tu Nakpa. Hubungan pertama, karena Raja Paya terserang sakit yang tak bisa diobati siapapun, seketika Syeikh Said mengobati penyakit Raja Paya kemudian sembuh. Baca A. Teeuw dan D. K. Wyatt, Hikayat Patani, Koninklijk 5 The Hague : Martinus Nijhoff : Koninklijk Instituut Voor Taal, Land-en Volkenkunde, 1970, hal.71-72. Lihat juga Ibrahim Shukri, Sejarah kerajaan Melayu Patani, Pasir Puteh, hal.26. Namun kedua sumber tersebut tidak mencatumkan angka tahun. Sedangkan M. Ladd Thomas mengatakan kemungkinan masyarakat di wilayah ini masuk Islam menjelang akhir abad ke 13 M, lihat Political Violence in the Muslim Provinces of Southern Thailand, ISEAS No. 28, April 1975, hal. 4

Merujuk keterangan W. K. Che Man diperkirakan Langkasuka menerima Islam pada tahun 1457 yakni abad 15, lihat W. K. Che Man, Islam in Contemporary dalam Akademika Vol.34 Januari 1989, hal. 114. Pernyataan seorang ahli matematika Eropa, Emanuel Gidinho Eridia,


(30)

Agama Islam telah memperkukuh identitas budaya dan agama masyarakat Patani sehingga menjadi kesatuan sistem tidak hanya dalam aspek identitas agama melainkan dalam berbagai aspek kehidupan, misalnya dalam aspek politik, sosial-budaya, dan ekonomi. Hal ini terbukti dengan perpindahan Kerajaan Langkasuka menjadi sebuah Kerajaan Melayu Islam (Kerajaan Patani) dengan sistem politik kesultanan dan menjadikan agama Islam sebagai agama resmi di Patani pada abad 15 M dan menjadi agama mayoritas yang dianut masyarakat di Patani. Demikian penjelasan Naquib al-Attas, mengatakan bahwa konsep Islam dalam kebudayaan Melayu melahirkan sebuah dinamisasi kehidupan baru tentang agama, bahasa, kesusasteraan, kesenian, dan kebudayaan.37

Kekuatan Islam di Asia Tenggara termasuk di Patani hingga menjadi salah satu ciri identitas dan kesatuan dalam satu sistem agama sangat historis dan wajar. Terbukti ketika dimulainya penyebaran Islam yang lebih signifikan pada abad 16 dan kehadiran Portugis di Asia Tenggara, membawa kesan antara Islam dan Kristen untuk tersebar di tiap daerah. Sehingga menuntut Islam untuk bertindak melawan Portugis dengan membawa identitas agama, budaya dan kepentingan masyarakat adat.38 Pendapat ini, diperkuat oleh pendapat Amran Kasimin, bahwa kedatangan Islam pada abad ke 15 di wilayah Malaya, Asia Tenggara, merupakan peradaban ketiga di dunia yang memberikan pencerahan dan kejayaan, dan

mengindikasikan kesamaan masuknya Islam ke Pattani pada abad 15, menurutnya Islam telah diterima Patani sebelum Parameswara di Malaka menerima Islam tahun 1411 M, didasarkan pada batu nisan orang arab di dekat Kg. Teluk Cik Munah bertarikh 1028, lihat Haji Abdul Halim Bashah (Abhar), Raja Campa dan Dinasti Jembal dalam Patani Besar: Patani, Kelantan dan Terengganu, Kelantan: Pustaka Reka, 1994, hal.47

37

S.M. Naquib al-Attas, Konsep Islam dalam Kebudayaan Melayu, Al-Islam. Vol.9. tahun III, Ramadhan 1396 atau September 1976, hal.22-24

38

Howard Federspiel, Sultans, Shamans, and Saints: Islam and Muslims in Southeast Asia, United State of America: University of Hawai’i Press, 2007, hal.38


(31)

menjadi dominasi di wilayah ini.39 Abad 16 dan 17 M, Patani mampu menjadi Kerajaan Islam yang dikenal sebagai pusat perdagangan di Semenanjung Malaya. Namun sayang, perjalanan kerajaan kecil ini harus berhadapan dengan kerajaan di utara berbasis agama Budha, Kerajaan Siam (Thailand), dan berakhir dengan penaklukan Siam (Thailand) atas Patani.

Patani di bawah kekuasaan Siam mengalami banyak perubahan bagi kehidupan keberagamaan masyarakat Muslim Patani. Kepercayaan Muslim Patani periode Siam (Thailand) dibagi menjadi dua kelompok, yaitu satu segmen diintegrasikan ke dalam masyarakat umum dan bersahabat dengan negara. Umumnya mereka adalah para imigran, sedangkan yang lainnya yang berada di selatan, sangat menentang negara dan cenderung radikal dan disebut Muslim lokal. Mayoritas Muslim lokal di Thailand menganut sekte Sunni dan madzhab Syafi’i. Sedangkan Muslim imigran memiliki latar belakang sekterian yang berbeda, seperti Muslim Persia menganut sekte Syiah yang memiliki kapasitas berbeda dalam Kerajaan Thailand. Ada juga sekelompok kecil Muslim menganut sekte Syiah Imamiyah dan Bohras (Mustali Ismailiyah) yang merupakan subkelompok dalam Syiah.40 Syiah Imamiyah adalah golongan yang meyakini bahwa nabi Muhammad saw telah menunjuk Ali bin Abi Thalib sebagai imam pengganti, oleh karena itu, mereka tidak mengakui kepemimpinan Abu Bakar, Umar dan Usman. Sementara golongan Mustali Ismailiyah adalah sub kelompok

39

Amran Kasimin, Religion and Social Change among the Indigenous People of the Malay Peninsula, Kuala Lumpur, Dewan Bahasa dan Pustaka, 1991, hal.xi, dalam Hasan Madmarn, Conference on Religion and Society in the Modern World: Islam in Southeast Asia, Jakarta, 29-30 Mei 1985, hal.1

40

Imtiyaz Yusuf, “Ethnoreligious and Political Dimensions of the Southern Thailand Conflict”, dalam Islam and Politics Renewal and Resistance in the Muslim World, Editor; Amit Pandya dan Ellen Laipson, Washington: Henry L Stimon Center, 2009, hal.43-44.


(32)

dari golongan Imamiyah, mereka berkeyakinan sama bahwa imam pertama adalah Ali bin Abi Thalib, kemudian imam pindah kepada putra Ja’far as-Sadiq, Ismail bin Ja’far as-Sadiq.41

Secara keseluruhan Muslim di Thailand terbentuk dalam tiga konfigurasi berdasarkan sejarah dan lokasi, yaitu:

1. Etnis Islam berbahasa Melayu yang berada di Narathiwat, ‘Pattani’ dan Yala Selatan, terdiri sekitar 44% dari jumlah penduduk Muslim di Thailand. Tipe kelompok inilah yang paling menentang pemerintah

2. Etnis Melayu yang terintegrasi namun masih menggunakan bahasa Melayu, berada di provinsi Satun dan Krabi, Nakhon Si Thammarat, Phangnga, Phuket dan Songkhla.

3. Muslim multietnis dan terintegrasi dengan budaya Thai, umumnya kelompok ini terdiri atas para muallaf Thailand yang berpindah ke Islam dan imgran Muslim berasal dari Bengali, Cham, Cina, India, Indonesia, Malaysia, Pathan dan Persia, dan mereka yang konversi tinggal di Bangkok dan Ayuthaya.

B. Identitas Budaya dan Masyarakat Melayu-Muslim Patani

Kata Patani berasal dari kata Arab Fathan atau Fathoni artinya cerdas. Arti definisinya bahwa di tempat ini banyak lahir orang-orang cerdas. Sedangkan penyebutan Patani dengan dobel ‘t’ karena menganggap tempat ini dipimpin para

41


(33)

alim ulama.42 Sedangkan bagi orang-orang Inggris Penyebutan Pattani berdasar pada ejaan Melayu 'Patani' merujuk pada Kerajaan Patani,43 sementara pemerintah Thailand menyebutkan ejaan ‘Pattani’ dengan dobel ‘t’ didasarkan pada ejaan Thailand pada tahun 1980an, menunjukan tindakan politik sebagai wujud kesadaran perbedaan ento-religius dan sebagai penghormatan bagi para mantan raja-raja Melayu di provinsi Yala, Narathiwat, dan Pattani. Istilah lain dalam ejaan Thai, istilah Pattani hanya menandakan sebuah provinsi di Thailand Selatan setelah tahun 1909.44 Dengan demikian, meskipun masyarakat yang ada di provinsi Yala, Narathiwat, Satun, dan Songkhla mereka tetap disebut dengan sebutan ‘Pattani’. Bahasa yang digunakan oleh mayoritas kelompok ini adalah bahasa Melayu atau mereka lebih suka disebut Yawi Speaker.

42

Artikel Sri Nuryanti, In Search of Identity of Pattani, hal.12-13. Dipresentasikan di Indonesian API Fellow Seminar di Widya Graha LIPI, Lantai 5, 26 Maret 2003.

43

Versi ini berdasarkan catatan Hikayat Patani dan Sejarah Kerajaan Melayu, terdapat dua versi. Pertama, nama Patani berasal dari “pantai ini”. Cerita ini disandarkan pada kisah seorang putera raja yang terdampar di “pantai ini”, secara kebetulan masyarakat di negeri tersebut sedang mencari seorang pengganti raja, maka diangkatlah putera raja tersebut menjadi raja dengan seekor gajah putih sebagai mediator pemilihan raja tersebut. Menurut versi bahari apabila belalai gajah menyentuh seseorang maka dialah yang diangkat menjadi seorang raja. Gajah itu memilih putera raja yang terdampar tadi, dan disebut “raja di pantai ini”. Nama ini lambat laun berubah menjadi “raja pata ni” dan kemudian “pata ni” dan kemudian patani.

Kedua, versi ini berasal dari kata yang sama yaitu “pantai ini”. Perbedaannya terletak dalam kisahnya. Serombongan raja berburu seekor rusa, ketika dikejar rusa tersebut berlari menuju sebuah pantai bernama “pantai ini”. Rusa itu tiba-tiba menghilang tepat di pantai tersebut. Berdasarkan kisah ini dikenal dengan nama “pantai ini” (maksudnya: hilang di pantai ini). Lihat Ahmad Fathy al-Fatani, Pengantar Sejarah Patani, Alor Setar: Pustaka Darussalam, 1994, hal.12-13. Lihat juga Pierre Le Roux, “To Be or Not to Be...: The Cultural Identity of the Jawi (Thailand)”, Asian Folklore Studies, Volume 57, 1998, hal.229-230.

44

Chaiwat Satha-Anand, “Pattani in the 1980s: Academic Literature and Political Stories,” in Sojourn, Vol. 7, No. 1 (February 1992), hal.1-38, dalam Thanet Aphornsuvan, History and Politics of The Muslims Thailand, Bangkok: Thammasat University, 2003, hal.3. Lihat juga S. P. Harish, Changing Conflict Identities: The Case of the Southern Thailand Discord, No. 107 (February 2006), Singapore, Institute of Defence and Strategic Studies, hal.1.

Lihat juga catatan kaki dalam Pierre Le Roux, “To Be or Not to Be...: The Cultural Identity of the Jawi (Thailand)”, Asian Folklore Studies, Volume 57, 1998, hal.250, secara historis ditulis dengan satu huruf ‘t’ merujuk kepada kesultanan Patani atau Patani Besar, Le Roux sendiri menggunakan dobel ‘t’ karena saat ini Pattani termasuk provinsi di Thailand Selatan


(34)

Karakteristik masyarakat Patani dibagi menjadi dua kategori berdasarkan kelas sosial dasar, yaitu pengatur dan yang diatur. Stratifikasi sosial Patani ditentukan status mereka secara relatif, misalnya, sultan berada di posisi puncak dalam kelas sosial masyarakat Patani, diikuti oleh para bangsawan keturunan kerajaan, umumnya mereka diberi gelar Teuku atau Tuan, Nik, dan Wan. Jika perempuan bangsawan menikah dengan laki-laki non-bangsawan gelar tersebut tidak berlaku, namun apabila dia melahirkan anak laki-laki gelar tersebut jatuh kepada anak laki-laki tersebut. Selanjutnya, adalah pemimpin agama atau pejabat tinggi yang diberi gelar Dato’ Seri, Dato’ dan To’ sebagai lambang dari otoritas dan kemampuan mereka secara ekonomi dan politis. Kategori kedua ditempati oleh rakyat, orang berhutang, dan hamba.45

Berdasarkan penggunaan bahasa Melayu-Muslim Patani dibagi menjadi tiga kelompok:46

1) Kelompok yang berbicara dialek Patani dan Malaysia dan menggunakan teks Jawi / Arab.

2) Kelompok yang dapat berbicara Melayu Patani tetapi tidak bisa membaca teks Jawi. Kelompok ini juga dapat membaca dan berbicara bahasa nasional Thailand.

3) Kelompok yang sama sekali tidak dapat berbicara bahasa Melayu tetapi pandai dalam bahasa Thai. Kategori ini dapat ditemukan di Satun (Setul).

45

W.K., Che Man, Muslim Separatism The Moros of Southern Philipines and The Malays of Southern Thailand, Singapore: Oxford University Press, 1990, hal.39

46

Artikel Ahmad Amir Bin Abdullah, Melayu Petani: A Nation Survives, 07/ 29/ 2009, hal.4


(35)

Identitas peradaban Melayu di Patani menandakan sebuah makna peradaban pra dan pasca modern yang diterjemahkan ke dalam bingkai kebudayaan Islam. Misalnya, peninggalan warisan Melayu berupa prasasti, pelbagai alat teknologi, seni bangunan seperti istana, masjid, keramik, seni hias dan yang amat penting naskah-naskah atau manuskrip Melayu. Selain itu, peradaban Melayu Patani pada abad 19 dan 20 M melahirkan asal-usul pondok

atau po-noh sebagai ciri peradaban Islam dalam bidang pendidikan Islam tradisional. Budaya dan peradaban Islam Patani lainnya tertuang pada kesenian tari klasik yang dipadukan dengan tradisi Islam seperti tarian Inai, persembahan tarian drama Makyung, permainan gasing leper, dan lain-lain. Juga ada semacam perahu yang biasa dipakai para nelayan Patani yang berukir, ukiran itu disebut

Kolek, ciri dari perahu ini hanya bisa ditemukan di Patani sehingga disebut sebagai hasil kebudayaan orang-orang Patani. Demikian yang dituturkan oleh Raymond Firth dalam kajiannya tentang Kehidupan Pelaut.47

Pengaruh kebudayaan Patani pun tersebar ke negeri tetangganya seperti Kedah, Kelantan, Perlis, Terengganu, Perak, dan Pahang, akibat migrasi penduduk pada masa kejayaan Patani. Sebab itu, terdapat kesamaan ciri dan karakteristik kebudayaan antara Patani dengan dan Kelantan, selain kedua negara tersebut memiliki hubungan sejarah dan kekerabatan, mereka pun memiliki kesamaan sifat antar sesama Melayu, seperti namaWanatau Nikyang digunakan

47

R., Firth, Malay Fisherman: Their Peasant Economy, London: Trench, Trubner and Co., 1946, hal.46 dalam Moh. Zamberi A. Malek, Patani dalam Tamadun Melayu, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1994, hal.237. Lihat juga D.,G.,E., Hall, Sejarah Asia Tenggara, Surabaya: Usaha Nasional, tanpa tahun, hal.57, lihat juga pendapat Cortez dalam Pierre Le Roux, To Be or Not to Be...: The Cultural Identity of the Jawi (Thailand), Asian Folklore Studies, Volume 57, 1998, hal.230


(36)

oleh keturunan Melayu di Kelantan berasal dari Patani.48 Demikian juga kesamaan dialek, seperti yang dituturkan oleh Asmah Haji Omar, bahwa bahasa yang digunakan oleh orang-orang Patani hampir sama dengan Kelantan, tetapi dengan khas fonologitis tertentu.49 Elit lokal di Patani terdiri atas bangsawan dan tokoh-tokoh Islam. Tokoh agama disebut ustadz (guru menengah) dan Tok Guru (ulama senior), kebanyakan mereka lulusan universitas Timur Tengah, seperti Arab Saudi, Mesir, Libya, Afghanistan, dan Pakistan. Peran ulama yang sebagian besar berasal dari bangsawan memiliki peran dalam perkembangan Islam di Patani.50

Identitas Melayu-Muslim Patani lainnya yang paling signifikan dalam peradaban Melayu adalah manuskrip atau naskah-naskah Melayu dalam tulisan Jawi. Tulisan Jawi berupa bahasa Melayu dengan menggunakan huruf Arab, umumnya masyarakat Melayu-Muslim Patani menganggap tulisan Jawi adalah pelajaran agama yang sesuai dengan Islam. Menurut Gilquin, Jawi adalah bahasa yang mendukung identitas Melayu-Muslim Patani, yang membedakannya dengan komunitas masyarakat Melayu lainnya seperti orang-orang Melayu di Malaysia.51 Selain itu, bahasa Melayu yang tertulis dalam tulisan (Arab) Jawi menjadi kekuatan besar di balik penyamaan bahasa Melayu dan Islam, ke manapun Islam pergi membawa pesan al-Quran dan tulisan Arab, sehingga memiliki keterkaitan

48

Moh. Zamberi A. Malek, Patani dalam Tamadun Melayu, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1994, hal.238-239

49

Pierre Le Roux, “To Be or Not to Be...: The Cultural Identity of the Jawi (Thailand)”, Asian Folklore Studies, Volume 57, 1998, hal.230

50

Erni Budiwanti, “Forced Cultural and Assimilation and it’s Implication for The Continuation Pattani Muslim’s Identity”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand, Pusat Penelitian Sumberdaya Regional (Indonesia), 2004, hal.112

51


(37)

tidak hanya aspek komunikasi dan kebudayaan Melayu, melainkan juga dengan aspek ajaran, dakwah, dan ritus-ritus Islam. Sehingga bahasa Melayu sangat menyatu dengan agama Islam, bahkan dalam menjalankan ritual-ritual keagamaan.52 Bahkan teks-teks Jawi tersebut sangat dilestarikan di kegiatan pendidikan (pondok) dalam kegiatan pembacaan kitab kuning (berbahasa Jawi).

Penggunaan bahasa Jawi (Melayu) oleh masyarakat Melayu Patani memiliki latar belakang sejarah yang menakjubkan. Bermula dari sejarah Langkasuka yang ditemukan di dalam naskah India dalam bahasa Jawa. Bahwa dalam Nagarakartagama tahun 1365 Kerajaan Langkasuka berada di bawah kekuasaan Sriwijaya dan Majapahit, di bawah kendali dua kerajaan besar ini akademisi dari Universitas Songkhla Pattani, Peerajot Rahimmula,menyimpulkan bahwa asal-usul orang-orang Patani adalah dari suku Jawa Melayu bermula pada abad 8 dan 9 M. Pernyataan ini muncul dari hubungan komersial yang melibatkan kerajaan Sriwijaya.53 Dengan demikian, bahasa Melayu dan adat istiadat Melayu yang digunakan oleh masyarakat Patani membuktikan, bahwa benar adanya pengaruh dan peranan besar Kerajaan Sriwijaya dalam konteks historis identitas ‘Melayu’ bagi masyarakat di Patani.

Berdasarkan fakta sejarah di atas, dengan demikian, term Jawi sangat dekat dengan istilah “Jawa” (sebuah pulau di Indonesia), dan istilah Jawi tidak hanya untuk masyarakat Melayu Patani, melainkan bisa jadi ditujukan kepada

52

Seni Mudmarn, “Negara, Kekerasan dan Bahasa Tinjauan atas Sejumlah Hasil Studi Mengenai Kaum Muslim Muangthai”, dalam Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, Editor: Saiful Mujani, Jakarta: LP3ES, 1993, hal.339

53

Paulus Rudolf Yuniarto, “Integration of Pattani Malays: a Geopolitical Change Perspective”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand, Pusat Penelitian Sumberdaya Regional (Indonesia), 2004, hal.36-37


(38)

orang-orang yang ada di Indonesia khususnya Jawa dan Sumatera, dan kelompok lain yang ada di Malaysia. Namun, ketika Islam mulai tersebar dan mendominasi di daerah ini, term Jawi yang semula sama dengan sinonim Melayu, mengalami pergeseran makna. 54

Patani dalam konteks sekarang, adalah sebagai provinsi selatan di Thailand. Masyarakat Thai yang berada di utara menyebut masyarakat yang beragama Islam dengan istilah Khaeg55 yang berarti orang asing atau orang luar sebagai pengunjung atau tamu.56 Pada masa raja-raja, istilah khaeg atau khaek atau khake digunakan dalam deskripsi Melayu-Muslim di selatan pada akhir abad 19 M, mencerminkan konflik politik dari Melayu-Muslim di Thailand Selatan. Sebetulnya, istilah khaek sudah dianggap tidak pantas dan menghina orang-orang Muslim karena ia menciptakan rasa penghinaan dan jarak sosial di antara berbagai

54

Pierre Le Roux, “To Be or Not to Be...: The Cultural Identity of the Jawi (Thailand)”, Asian Folklore Studies, Volume 57, 1998, hal.234, mengenai istilah Jawi para akademisi banyak yang berpendapat seperti Denys Lombard, mengatakan bahwa istilah Jawi ditujukan bagi Umat Islam di Asia Tenggara, merupakan sinonim dari Melayu-Muslim, meskipun sebelumnya hanya ditujukan bagi orang-orang Indonesia dan Malaysia. Juga merupakan salah satu penulisan bahasa Melayu yang ditranskip ke dalam dua cara, yaitu konteks baru karakter roma (baso rumi), dan konteks tua huruf Arab (baso jawi), artinya Jawi merujuk pada skrip Arab untuk menulis bahasa Melayu.

Dalam Hikayat Patani disebutkan bahwa istilah “Jawi” memang sudah lama dipakai oleh masyarakat Melayu-Pattani untuk menunjukkan identitas mereka. Namun, dalam konteks Pattani yang disebut Jawi adalah dialek, sedangkan gaya penulisannya disebut Sura’jawi, dan Basojawi untuk bahasa lisan mereka, dan Orejawi untuk identitas perorangan. (hal.237 dan 251)

55

Omar Farouk, “Asal-usul dan Evolusi Nasionalisme Etnis Muslim Melayu di Muangthai Selatan”, dalam Ed. Taufik Abdullah dan Sharon Siddique, Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, Jakarta: LP3ES, 1988, hal.297. Thanet Aphornsuvan menyebutnya dengan ejaan Khaek, dalam History and Politics of The Muslims Thailand, Bangkok: Thammasat University, 2003, hal.5. Lihat juga dalam Surin Pitsuwan, Islam di Muangthai Nasionalisme Melayu Masyarakat Patani, Jakarta: LP3ES, 1989, hal.46, menyebutnya dengan ejaan Khake.

56

Menurut Michel Gilquin, penyebutan ‘tamu’ (bahasa Inggris: guests) pada awalnya hanya untuk memanggil Muslim dari Malaysia, Pakistan, India, atau Timur Tengah, selanjutnya mengalami pergeseran makna dengan memasukkan Cham dan Yunannese Muslim dan dengan demikian menjadi istilah penutup bagi seluruh umat Islam. Namun pergeseran makna ini dianggap menunjukan kesulitan yang fundamental. Lihat Michel Gilquin, “The Muslims of Thailand”, Chiang Mai, Thailand: Silkworm Books, 2005, hal.184 dalam The American Journal of Islamic Social Sciences 24:2, hal.110.


(39)

ras dan agama.57 Istilah Melayu-Muslim dalam bahasa populer dengan istilah Thai-Muslim atau Thai-Islam.58 Istilah ini lebih resmi diberikan oleh pemerintah Thailand, yaitu pada tahun 1940 masa Phibul Songhkram. Tetapi sebutan ini menyinggung perasan sebagian dari Melayu-Muslim Patani, karena ‘Thai’ berarti “orang Siam”, meskipun terdapat sejumlah Muslim berasal dari Pakistan, India, Cina dan Siam di Thailand, namun komunitas Melayu Muslim adalah mayoritas dan mereka menganggap penyebutan nama Thai-Islam atau Thai-Muslim hanyalah untuk pengaburan identitas budaya Melayu-Muslim Patani. Selain itu, Muslim Patani menganggap diri mereka adalah pribumi, karena mereka telah hidup semenjak 1668 ketika Kesultanan Kelantan dan Kesultanan Patani mengendalikan dan menguasai daerah ini, namun akibat klaim dan aneksasi Kerajaan Siam gagasan mereka sebagai tuan rumah bergeser menjadi sebagai tamu atau pengunjung.59

C. Situasi Politik Patani

Melacak proses awal historis Patani bisa dilihat dari sejarah Kerajaan Langkasuka yang bercorak Hindu-Budha.(Lihat kembali catatan kaki halaman 21). Langkasuka tidak terdengar lagi sekitar akhir abad 13 M, menuju awal abad 14 muncullah nama Patani sebagai Kerajaan Melayu bercorak Islam, rajanya yang

57

Thanet Aphornsuvan, dalam History and Politics of The Muslims Thailand, Bangkok: Thammasat University, 2003, hal.5.

58

Patrick Jory, From “Patani Melayu” to “Thai Muslim”, Islam Review 18/Autumn 2006, hal.24

59

Erni Budiwanti, “Forced Cultural Assimilation and it’s Implication fot The Continuation of Pattani’s Muslim Identity”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand, Pusat Penelitian Sumberdaya Regional (Indonesia), 2004, hal.113-114


(40)

pertama masuk Islam bernama Phya Tu (Piyatu) Nakpa dan mengganti namanya setelah masuk Islam, Sultan Ismail Syah.60 (Lihat lampiran 1)

Islamisasi Patani banyak menggantikan kebudayaan Hindu-Budha, dan letak geografis yang berada di Semenanjung Malaya, sehingga struktur sosial-politik Patani adalah khas masyarakat Melayu.61 Hal ini bisa dilihat dari sistem politik yang dianut Patani telah dipengaruhi oleh sistem kerajaan-kerajaan Islam pertama di Indonesia. Antara lain kepala pemerintahan disebut sultan, sultan sekaligus menjabat sebagai kepala agama. Di setiap kabupaten (daerah) ada pangeran atau wakil yang menggantikan pangeran sebagai penguasa lokal, yang bertanggung jawab kepada keputusan penting seperti deklarasi perang dan menandatangani perjanjian. Di tingkat kota (negeri), terdapat pejabat keliling dari kerajaan di bawah perintah sultan dan pangeran. Juga ada para pejabat daerah, seperti bendahara (perdana menteri) sebagai kepala eksekutif pemerintahan, temenggong (menteri perang) yang bertanggung jawab menjaga ketertiban sekaligus kepala polisi dan komando upacara, laksamana (admiral) sebagai komandan kapal perang, bendahari (bendahara) yang mengendalikan pendapatan negara dan peralatan istana, shahbandar (master pelabuhan) yang mengelola pasar dan gudang dan mencek berat, ukuran, dan koin yang digunakan. 62

Selain hierarki sultan, Patani juga memiliki hierarki otoritas keagamaan berdasarkan hukum Islam (syariah). Sultan memiliki mufti sebagai konselor utama agama. Mufti adalah pejabat tertinggi negara dalam mengeluarkan fatwa

60

Adrur Rahman Dawud, H., Sejarah Negara Patani Darussalam, Yala, dalam bahasa Jawi, hal.15.

61

W.K., Che Man, Muslim Separatism The Moros of Southern Philipines and The Malays of Southern Thailand, Singapore: Oxford University Press, 1990, hal.39

62


(41)

dan interpretasi al-Quran, dan memiliki kewenangan mengkritisi sultan jika sultan keluar dari aturan syariah. Di bawah mufti, terdapat seorang kadi sebagai hakim Islam dan pensehat keagamaan kepada bupati, imam, khatib dan bilal.63

Patani abad 14-15 M sudah dikenal sebagai bagian wilayah cakupan regional dari Kedah dan Pahang dengan pusat pemerintahan di Nakhon Si Thammarat (negara-negara Ligor). Dalam Hikayat Patani, Patani zaman Ligor bernama Wurawari dengan ibukota Kota Mahligai dengan raja Phya Tu Kerab Mahayana, faktor buruknya akses hubungan ekonomi dan politik, akhirnya Phya Tu Antara anak Phya Tu Kerab memindahkan ibukota ke wilayah Patani karena lebih dekat dengan pantai. Pada tahun 1395 hingga 1398, Nakhon Si Thammarat jatuh ke tangan Ayuthia, yang dipimpin oleh raja Rama Cau Sri Bangsa, dengan begitu negara-negara di bawah Ligor pun jatuh ke tangan Ayuthia.64

Asumsi ini berdasarkan fakta, bahwa pada abad 13 orang-orang Thai telah membentuk suatu kekuasaan baru ke wilayah selatan dan berkompetisi dengan Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Malaka, namun kekuatan Thailand berhasil bertahan hingga abad 16 M, dan akhirnya Kerajaan Thai berhasil menjalin hubungan dengan wilayah di Semenanjung Malaya seperti Patani, Kelantan, Kedah, Terengganu, dan Perlis. Terutama ketika kekalahan Malaka ke tangan Portugis, akhirnya memaksa Patani masuk ke dalam hubungan anak sungai (sistem kerangka sungai) dengan Ayuthia, artinya meski Patani pada saat itu sudah maju dalam bidang perdagangan melalui pelabuhan Patani, namun kemajuan tersebut masih dianggap kecil oleh Kerajaan Siam, dengan begitu

63

Ibid.

64

Haji Abdul Halim Bashah (Abhar), Raja Campa dan Dinasti Jembal dalam Patani Besar: Patani, Kelantan dan Terengganu, Kelantan: Pustaka Reka, 1994, hal.39


(42)

Patani sebagai Negara yang lebih lemah dibanding dengan Siam harus mengakui supremasi raja Thailand.65 Pengakuan ini terimplementasi ke dalam bentuk perupetian atau sistem feodal, yaitu Patani harus mengirimkan secara simbolis upeti Bunga Emas dan Perak sebagai tanda persahabatan dan kesetiaan dengan Thailand.66 Meski menjadi egara feodal, namun Patani masih memiliki hak otonomi. Sistem perupetian ini berlangsung dari abad 13 hingga akhir abad 18 M.

Secara historis, kekuasaan Thailand terhadap Patani dilakukan dua jenis, yaitu aturan langsung dan tidak langsung. Aturan langsung berarti mengirimkan pejabat Siam untuk ditempatkan bersama penguasa Patani. Sedangkan, aturan tidak langsung, membiarkan penguasa Patani memainkan peran lebih banyak dengan tetap menjaga hubungan baik dan persahabatan melalui sistem upeti tersebut.67

Meskipun simbol upeti tersebut sebagai tanda persahabatan antara Siam dengan Patani, namun para sultan Patani tidak ada yang menghendakinya. Dilandasi dengan pertumbuhan ekonomi yang semakin kuat dan hubungan diplomatik dengan negara-negara di Asia Tenggara semakin baik, akhirnya Patani di bawah pimpinan Sultan Mudzafar Syah (Kerup Phicai Paina) putra dari Sultan Ismail Syah membentuk suatu kekuatan baru bersama Kerajaan Johor, Pahang, dan Kelantan pada tahun 1530-1540, dan berkesempatan menyerang Kerajaan

65

M. Ladd Thomas, Political Violence in the Muslim Provinces of Southern Thailand, ISEAS No. 28, April 1975, hal.,4. Lihat juga Thanet Aphornsuvan, History and Politics of The Muslims Thailand, Bangkok: Thammasat University, 2003, hal.12

66

Moshe Yegar, Between Integration and Secession: The Muslim Communities of Southern Philippines, Southern Thailand and Western Burma/Myanmar, USA: Lexington Books, 2002, hal.74

67

Thanet Aphornsuvan, History and Politics of The Muslims Thailand, Bangkok: Thammasat University, 2003, hal.12


(43)

Ayuthia tahun 1563 ketika sedang terlibat perang dengan Burma, di bawah pimpinan Sultan Mudzafar Syah.68 Dalam peperangan tersebut Sultan Mudzafar Syah wafat dan dikebumikan di Kuala Sungai Chao Phra’ya (sungai yang ada di negeri Siam).69 Tahta pemerintahan Patani digantikan oleh adik Mudzafar Syah, yaitu Sultan Mansyur Syah (1564-1572). Di bawah kepemimpinannya, perjanjian damai pun digulirkan pihak Patani kepada pihak Ayuthia, dengan mengutus Wan Muhammad. Atas dasar perdamaian tersebut, kemudian Patani menjadi wilayah independen di bawah pengawasan pemerintah Siam.

Sultan Mansyur Syah digantikan oleh Sultan Patik Siam, anak dari Sultan Mudzafar Syah, ketika itu berumur 9 atau 10 tahun. Kepemimpinan Patik Siam digantikan sementara oleh saudara perempuan ayahnya, bernama Siti Aisyah. Sultan Patik Siam terbunuh di tangan Raja Bambang (saudara tiri Patik Siam) pada tahun 1573. Pada peristiwa pembunuhan tersebut, Siti Aisyah ikut terbunuh. Tahta pemerintahan Patani, kemudian digantikan oleh Sultan Bahdur Syah, anak dari Sultan Mansyur Syah. Sekali lagi, kepemimpinan Sultan Bahdur Syah pun tak lama direbut oleh saudaranya Raja Bima dan berakhir dengan kematian Sultan Bahdur.

68

Paulus Rudolf Yuniarto, “Integration of Pattani Malays: a Geopolitical Change Perspective”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand, Pusat Penelitian Sumberdaya Regional (Indonesia), 2004, hal.39.

Kronik Kerajaan Ayuthia pada tahun 1564, mencatat bahwa Ayuthia terpaksa menyerah terhadap Burma, lantaran Pattani yang sedari awal diminta untuk membantu Ayuthia melawan Burma, berbalik melawan dan menyerang Ayuthia untuk menyerang Raja dan merebut istana. Namun, raja Ayuthia yang bernama Phra’ Maha Cak Kapat berhasil meloloskan diri dan bersembunyi. (Thanet Aphornsuvan, History and Politics of The Muslims Thailand, Bangkok: Thammasat University, 2003, hal.13)

69

Ahmad Fathy al-Fatani, Pengantar Sejarah Patani, Alor Setar: Pustaka Darussalam, 1994, hal.18


(44)

Konflik internal yang terjadi di tubuh Patani, mengakibatkan Patani tidak memiliki pewaris tahta laki-laki, karena itu, pemerintahan Patani diambil alih oleh raja-raja perempuan, yang dikenal dengan ‘Zaman Ratu-ratu’.70 Kepemimpinan ratu-ratu tersebut adalah Ratu Hijau (1584-1616), Ratu Biru (1616-1624), Ratu Ungu (1624 – 1635), dan Ratu Kuning (1635-1651). Patani beberapa kali mengalami penyerangan dari pihak Kerajaan Ayuthia. Serangan pertama terjadi tahun 1603, namun usaha tersebut dapat dipatahkan oleh Patani. Semasa pemerintahan Ratu Biru, hubungan dengan negera-negara Melayu, kecuali Johor semakin dieratkan sebagai wujud pertahanan politik Patani, dan beberapa kali serangan dari pihak Ayuthia dilancarkan, namun berhasil digagalkan.

Kekuasaan Patani diperluas hingga ke Kelantan dan Terengganu. Atas ekspansi Patani ke dua wilayah tersebut, membuat Patani dikenal sebagai Negeri Patani Besar (The Great Patani State) (Lihat lampiran 3). Kemudian, Pahang menjadi bagian dari Patani, karena pernikahan antara Ratu Ungu dengan Sultan Pahang.71 Pada masa Ratu Ungu, Patani mengeluarkan kabijakan anti-Siam dan menolak menghantarkan upeti Bunga Mas dan pemberian gelar Phrao Cao bagi Ratu Ungu.

Peperangan besar dengan Siam di bawah Raja Phrasat Thong kembali terjadi, serangan pertama tahun 1630 dan serangan kedua tahun 1633-1634. Dua tahun berselang, Siam kembali merencanakan serangan atas Patani, tetapi berkali-kali serangan tersebut digencarkan, namun pihak Siam selalu mengalami

70

Ibid. hal.20

71

Paulus Rudolf Yuniarto, “Integration of Pattani Malays: a Geopolitical Change Perspective”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand, Pusat Penelitian Sumberdaya Regional (Indonesia), 2004, hal.42


(45)

kekalahan. Menurut Nik Annuar, Patani memiliki kapasitas kekuatan menentang Siam. Sementara Songkhla yang diberi tanggungjawab oleh Siam untuk mengawasi daerah selatan termasuk Patani, tidak memiliki cukup tentara untuk mengawasi gerakan otonom Patani.72 Siam mengupayakan perdamaian dengan Patani setelah kampanye militer besar-besaran tahun 1632. Atas nasehat Belanda, akhirnya Ratu Kuning bersedia menerima kembali gelar Phrao Cao dan meneruskan tradisi pengiriman upeti Bunga Mas. Pemberontakan terakhir Patani terhadap Ayuthia meletus kembali ketika ibukota Ayuthia, Burma, diserang Patani pada tahun 1767.73 Setelah zaman ratu-ratu, penerus tahta kerajaan Patani digantikan oleh raja-raja keturunan Kelantan dari tahun 1688 hingga 1729. Berakhirnya dinasti Kelantan, Patani mengalami kekacauan politik perebutan kekuasaan. Menanggapi hal tersebut, akhirnya, Siam mengangkat Sultan Muhammad sebagai raja Patani. Pada 1779, sultan Muhammad diminta oleh Siam untuk membantu menyerang Burma, namun sultan Muhammad menolaknya. Hal ini memicu Phraya Chakri's menyerang Patani. Putera Surasi adik dari Phraya Chakri dibantu oleh Phraya Senaphutan, Gabenor Pattalung, Palatcana dan Songkhla supaya menyerang Patani pada 1785,74 dan berakhir dengan kematian sultan Muhammad.

Pemberontakan-pemberontakan Patani terhadap Siam, tak ayal membuat raja-raja Siam bersikap lebih tegas dan keras. Ketika kekuasaan Ayuthia berakhir

72

Nik Anuar Nik Mahmud, Sejarah Perjuangan Melayu Patani 1785-1954, Bangi: Jabatan Sejarah Universitas Kebangsaan Malaysia, tanpa tahun, hal.3

73

S.P.Harish, Changing Conflict Identities: The Case of the Southern Thailand, No.107 (February 2006), Singapure, Institute of Defence and Strategic Studies, hal.4

74

Nik Anuar Nik Mahmud, Sejarah Perjuangan Melayu Patani 1785-1954, Bangi: Jabatan Sejarah Universitas Kebangsaan Malaysia, tanpa tahun, hal.4-5


(46)

akibat serangan Burma tahun 1767 dan digantikan oleh sebuah kerajaan baru berpusat di Bangkok, bernama Kerajaan Siam, dimulai tahun 1785-1786 Siam kembali bangkit dan berusaha membuat kebijakan yang lebih tegas untuk Patani, dengan menganeksasi pemerintahan kesultanan Patani. Tahun 1785, Siam menghapus sistem anak sungai terhadap Patani, Kedah, Kelantan, dan Terengganu.75 Raja Patani berikutnya adalah Tengku Lamidin, beliau dilantik oleh Siam. Dari tahun 1817 sampai 1842, Patani telah diperintah oleh dua orang raja keturunan Melayu, yaitu Tuan Sulong (anak raja bendahara Kelantan) dan Nik Yusof. Tahun 1899, Abdul Kadir Kamaruddin diangkat menjadi raja Patani, sekaligus menjadi raja terakhir dari kerajaan Patani. Abdul Kadir Kamaruddin adalah keturunan dari Tengku Puteh yang menikah dengan putri Kelantan. Jelaslah, bahwa Patani dan Kelantan memiliki ikatan kekerabatan yang sangat erat.

Pemberontakan terakhir Patani terjadi tahun 1808. Tahun 1816 raja Rama I berhasil menaklukkan Kerajaan Patani, kemudian menerapkan peraturan ‘divide and rule’ dan memisahkan Patani menjadi tujuh provinsi yaitu, Pattani, Saiburi (Teluban), Nongchick, Yaring, Yala, Rahman, dan Ra-ngae. Secara administratif dipimpin oleh para penguasa setempat di bawah kendali Bangkok, sebagai upaya efektif dalam mengontrol pengumpulan pendapatan dan pajak daerah.76 Namun, peraturan ini tidak menunjukkan stabilitas politik yang efektif. Ketujuh negeri ini kecuali Yaring, berusaha melakukan pemberontakan tahun 1832, namun dapat

75

Ibid.

76

Thitinan Pongsudhirak, “The Malay-Muslim Insurgency in Southern Thailand”, dalam A Handbook of Terorism and Insurgency in Southeast Asia, Editor: Andrew T.H. Tan, USA: MPG Books, 2007, hal.266-267.


(47)

dipatahkan, penguasa Patani dan Yala mundur ke Kelantan. Sementara penduduk Rahman, Ra-ngae, dan Saiburi (Teluban) ditawan dan dikirim ke Bangkok.77 Tahun 1838 empat wilayah Melayu bersama Kedah melakukan pemberontakan namun dapat digagalkan, kecuali Pattani, Yaring dan Saiburi tetap setia kepada Bangkok, dan berakhir dengan dipecahnya Kedah menjadi empat kerajaan, yaitu: Kedah, Kabangpasu, Perlis, dan Satun.

Kemudian, sistem Thesaphiban (Undang-Undang Administrasi Daerah) diperkenalkan tahun 1897 dan diprakarsai oleh raja Chulalongkorn (Rama V, 1868-1910). Thesaphiban adalah upaya mereformasi kebijakan sentralisasi administrasi atau sistem pemerintah terpusat. Kebijakan mengubah birokrasi tradisional ke dalam birokrasi Thailand, sistem ini meliputi semua kelompok lokal dalam administrasi dan birokrasi kerajaan,78 pejabat-pejabat lokal di Patani digantikan oleh gubernur (Khaluang Thesaphiban) yang ditunjuk langsung oleh raja Siam di Bangkok, agar kontrol terhadap Patani semakin kuat dan ketat.79 Peraturan ini dinilai efektif dengan bagi Patani karena secara geografis dan administratif sangat strategis.80

D. Situasi Ekonomi Patani

77

Uthai Dulyakasem, “Kemunculan dan Perkembangan Nasionalisme Etnis: Kasus Muslim di Siam Selatan”, dalam Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, Editor: Taufik Abdullah dan Sharon Siddique, Jakarta: LP3ES, 1988, hal.246

78

Cahyo Pamungkas, “The State Policies Towards Southern Border Provinces”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand, Jakarta: Pusat Penelitian Sumber Daya Regional (PSDR-LIPI), 2004, hal.65.

80

Paulus Rudolf Yuniarto, “Integration of Pattani Malays: a Geopolitical Change Perspective”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand, Pusat Penelitian Sumberdaya Regional (Indonesia), 2004, hal.54


(48)

Perdagangan selalu menjadi pemicu terjadinya proses Islamisasi dan perkembangan politik kerajaan-kerajaan maritim. Perdagangan jugalah yang menjadi faktor penting hubungan Melayu-Muslim Patani dengan Kerajaan Ayuthia.81 Pada abad 14 dan 15 wilayah Patani dikenal sebagai pusat perdagangan dan penyebaran Islam. Hubungan perdagangan Patani tidak hanya dengan egara tetangga di Asia Tenggara, melainkan lebih meluas lagi dengan para pedagang Arab, Cina, India dan Eropa. Hubungan tersebut menunjukkan kemapanan politik dan ekonomi Patani pada waktu itu.82 Peranan pelabuhan Pattani yang strategis acap kali dijadikan tempat persinggahan para pedagang dari Eropa, Arab, Cina dan India. Bahkan semakin populer ketika Malaka berhasil jatuh ke tangan Portugis tahun 1511, karena sistem bea cukai yang lebih mahal dari pada Patani.

Menurut Paulus Rudolf Yunatrio, hubungan-hubungan dagang yang terjalin berawal dari hubungan antara para pedagang Muslim dan Cina dengan Patani waktu itu, karena keduanya sangat berhubungan dengan proses penyebaran

81

Omar Farouk, “Muslim Asia Tenggara dari Sejarah Menuju Kebangkitan Islam”, dalam Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, Editor: Saiful Muzani, Jakarta: LP3ES, 1993, hal.27. Salah satu peristiwa paling penting adalah ketika Malaka dikuasai oleh Portugis, dengan Malaka kehilangan relevansinya sebagai salah satu pusat perdagangan regional, bahkan berubah menjadi pos militer. Beberapa pengamat termasuk Anthony Reid, sepakat bahwa umat Islam adalah yang paling kuat tertanam dalam perdagangan streaming melalui Ayutthaya. Posisi inilah yang dimanfaatkan oleh Ayuthia dalam mendukung proses komersial dengan menempatkan umat Islam (Patani) dalam posisi dan peran penting di istana, sebagai menteri, pedagang dan penasehat dibawah kuasa Raja. Lihat Yoneo Ishii, “Thai Muslims and the Royal Patronage of Religion,” Law & Society Review 28, no. 3 (1994): 454-455 dalam Thesis oleh Daniel J. Pojar, Jr. Lesson Not Learned: The Rekindling of Thailand’s Pattani Problem, Monterey, California, 2005.

82

Penempatan penting umat Islam Melayu di kerajaan Ayuthia pada akhirnya membawa perkembangan yang signifikan bagi perekonomian Patani. Ada dua konsekuensi jika menanggapi hal ini, pertama, Ayuthia sebagai pusat perdagangan internasional menjadi sangat signifikan berdasarkan komoditi dari Cina, Persia, Arab, India dan Eropa mengalir ke Ayuthia. Kedua, Patani sebagai kerajaan kecil memanfaatkan hubungannya dengan Ayuthia yang memungkinkan perekonomian Patani mengalami perkembangan dan menjadi pusat perdagangan yang kuat, menyaingi Malaka ketika jatuh ke tangan Portugis.


(49)

Islam. Hubungan ini mendorong terjalinnya hubungan dagang dengan Arab dan India, pedagang yang juga melakukan eksplorasi ke dalam perdagangan regional. Patani menjadi pusat perdagangan kayu besi,83 dan menjadi gudang perdagangan bagi masyarakat setempat yang menjual produk rempah-rempah yang diperdagangkan untuk tekstil Cina dan keramik. Selain itu, Patani menjadi fokus bagi pedagang Arab dan India yang membawa tekstil mereka. Pedagang Patani menjual produk dagangan mereka sendiri seperti lada hitam, bahan makanan lain dan emas. Tindakan perdagangan yang dilakukan oleh pedagang Patani diperpanjang ke selatan Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa sampai Sulawesi (Makassar).84

Kemajuan Patani lebih bergatung pada sistem pelabuhan bebas. Setiap kapal yang datang dari Asia Barat dan Eropa dikenakan bea cukai hanya 6%, dan satu persen pemasukan untuk kas negara. Sedangkan kapal-kapal dari Asia Tenggara tidak dikenakan biaya apapun, apabila melakukan transaksi penjualan sebanyak 25% dari harga muatan kargo dengan harga pasaran, dan mendapat potongan 20%.85

Patani sebagai pusat perdagangan semakin popular manakala dipimpin oleh raja-raja perempuan. Selain sistem beacukai yang lebih murah, letak geografis Patani semakin merangsang para pedagang dari Eropa dan Jepang sekitar abad 16 hingga 17 M. Portugis tiba di Patani pada tahun 1517 dalam

83

Howard Federspiel, Sultans, Shamans, and Saints: Islam and Muslims in Southeast Asia, United State of America: University of Hawai’i Press, 2007, hal.14

84

Paulus Rudolf Yuniarto, “Integration of Pattani Malays: a Geopolitical Change Perspective”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand, Pusat Penelitian Sumberdaya Regional (Indonesia), 2004, hal.38-39

85

Moh. Zamberi A. Malek, Patani dalam Tamadun Melayu, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1994, hal.19-23


(50)

rangka melakukan perdagangan rempah-rempah, kemudian tahun 1602 Belanda juga memulai mendirikan basis perdagangan di pelabuhan Patani. Selanjutnya, Inggris juga ikut dalam kegiatan perdagangan di sini.86 Terbukti pada 22 Juni 1612 Inggris mengutus seorang utusan untuk menyampaikan surat Raja James I dalam rangka mengadakan perjanjian perdagangan. Hal ini menimbulkan konflik antara Belanda dan Inggris dan mengakibatkan perang pada 1623 yang dimenangkan Belanda. Hubungan komersial antara Patani dengan Belanda meningkat, mendukung harapan bagi Belanda untuk mendapatkan beras dan makanan yang dibutuhkan. Selain itu, tahun 1538, pelabuhan Patani juga banyak dikunjungi oleh para pedagang dari Jepang. Hubungan komersial tersebut ditandai ketika Raja Tokugawa Iyeyasu (1542-1616) mengirimkan utusan untuk mengantarkan hadiah kepada Raja Hijau, tahun 1599 Patani membalas kunjungan tersebut.87

Pada masa pemerintahan Raja Kuning, sebuah Syarikat Perkapalan Raja Diraja Patani didirikan, yang berperan untuk mengendalikan perdagangan negara Patani dengan antar bangsa. Melalui syarikat ini, barang dagangan hasil produksi masyarakat Patani dapat diekspor dan diperdagangkan. Hal ini, semakin menunjukan peradaban yang dimiliki Melayu Patani mampu diperhitungkan. (Lihat lampiran 5 dan 6) Tidak heran, terjadi persaingan antara pedagang Eropa, yang masih berpedoman pada sistem perdagangan negara masing-masing hingga terjadi kekacauan. Persaingan antara Belanda dan Inggris mengakibatkan kedua belah pihak menutup gedung perniagaan mereka di Patani.

86

Ibid. hal.39

87


(1)

Contemporary Sourcebook, Ed., Greg Fealy dan Virginia Matheson Hooker, Institute of Southeast Asian Studies, 2006.

Gilquin, Michel, The Muslims of Thailand, Thailand: Silkworm Books, 2005 Geertz, Clifford, Abangan, Santri, dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa (terj.),

Jakarta. Dunia Pustaka Jaya, 1989.

Gottschalk, Louis, Understanding History, penerjemah; Nugroho Notosusanto, Mengerti Sejarah, Jakarta : UI-Press, 1985.

Hall, D.,G.,E., Sejarah Asia Tenggara, Surabaya : Usaha Nasional, tanpa tahun. Harish, S. P., Changing Conflict Identities: The Case of the Southern Thailand

Discord, No. 107 (February 2006), Singapore, Institute of Defence and Strategic Studies.

Ishii, Yoneo, “Thai Muslims and the Royal Patronage of Religion,” Law & Society Review 28, no. 3, 1994.

Johnson, Doyle Paul, Teori Sosiologi Klasik dan Modern,Jilid II, Penerjemah: Robert M.,Z., Lawang, Jakarta: Gramedia, 1986.

Jory, Patrick, From “Patani Melayu” to “Thai Muslim”, Islam Review 18/Autumn 2006.

Kasimin, Amran, “Religion and Social Change among the Indigenous People of The Malay Peninsula”, Kuala Lumpur, Dewan Bahasa dan Pustaka, 1991dalam Hasan Madmarn, Conference on Religion and Society in the Modern World: Islam in Southeast Asia, Jakarta, 29-30 Mei 1985.

Kersten, Carool, The Predicament of Thailand’s Southern Muslim, The American Journal of Islamic Social Sciences 21:4.


(2)

Mahmud, Nik Anuar Nik, Sejarah Perjuangan Melayu Patani 1785-1954, Bangi : Jabatan Sejarah Universitas Kebangsaan Malaysia, tanpa tahun.

Malek, Moh. Zamberi A., Patani dalam Tamadun Melayu, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1994.

Man, W. K. Che, Islam in Contemporary dalam Akademika Vol.34 Januari 1989. McCargo, Duncan, Southern Thai Politics: A Preliminary Overview, School of

Politics andInternational Studies, University of Leeds, POLIS Working Paper No. 3 February 2004.

Mudmarn, Seni, “Negara, Kekerasan dan Bahasa Tinjauan atas Sejumlah Hasil Studi Mengenai Kaum Muslim Muangthai”, dalam Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, Editor: Saiful Mujani, Jakarta: LP3ES, 1993.

Mujani, Saiful, dalam Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, Jakarta : LP3ES, 1993.

Mujani, Wan Kamal, Minoriti Muslim:Cabaran dan Harapan Menjelang Abad ke 21, Bangi: Universiti Kebangsaan Malaysia, 2002.

Nimkhoff, dan Ogburn, A handbook of Sociology, London: 1960.

Pamungkas, Cahyo, “The State Policies Towards Southern Border Provinces”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand, Jakarta: Pusat Penelitian Sumber Daya Regional (PSDR-LIPI), 2004.

Parsons, Talcott, The Social System, Francis: Routledge, 2005.


(3)

University Press,1962.

Pitsuwan, Surin, Islam di Muangthai Nasionalisme Melayu Masyarakat Patani, Jakarta : LP3ES, 1989.

Poesponegoro, Marwati Djoened, dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, Jakarta” Balai Pustaka, 1993.

Pongsudhirak, Thitinan, The Malay-Muslim Insurgency in Southern Thailand, dalam A Handbook of Terorism and Insurgency in Southeast Asia, Editor: Andrew T.H. Tan, USA: MPG Books, 2007.

Raho, Bernard, SVD., Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007. Reid, Anthony, Sejarah Modern Awal Asia Tenggara, Jakarta: LP3ES, 2004. Ritzer, George, dan Douglas J.,Goodman, Teori Sosiology Modern, Penerjemah:

Triwibowo Budi Santoso, Jakarta: Prenada Media, 2003.

Roux, Pierre Le, To Be or Not to Be...: The Cultural Identity of the Jawi (Thailand), Asian Folklore Studies, Volume 57, 1998.

Satha-Anand, Chaiwat, “Pattani in the 1980s: Academic Literature and Political Stories,” in Sojourn, Vol. 7, No. 1 (February 1992).

Sidaway, James D, The Geography of Political Geography, Department of

Geography National University of Singapore, dalam K. Cox, M. Low and J. Robinson (eds) The Handbook of Political Geography (Sage).

Susanto, Astrid, S, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, Bandung: Binacipta, 1979.

Sutrisno, Mudji, dan Hendar Putranto (editor), Teori-teori Kebudayaan, Yogjakarta: Kanisius, 2005.


(4)

Taha, Adi Haji, Dimanakah Langkasuka?, Wacana Warisan Kedah Darul aman Perpustakaan Awam Kedah, Alor Setar, Kedah, 11-12 Maret 2000. Teeuw, A. dan D. K. Wyatt, Hikayat Patani, Koninklijk 5 The Hague : Martinus

Nijhoff : Koninklijk Instituut Voor Taal, Land-en Volkenkunde, 1970. Thomas, M., Ladd, Political Violence in the Muslim Provinces of Southern

Thailand, ISEAS No.28, April 1975.

Winichakul, Thongchai, A Short History of the Long Memory of the Thai Nation, Department of History, University of Wisconsin-Madison.

Yegar, Moshe, Between Integration and Seccesion: The Muslim Communities of The Southern Philipines, Southern Thailand, and Western Burma/Myanmar, USA: Lexington Books, 2002.

Yuniarto, Paulus Rudolf, “Integration of Pattani Malays: a Geopolitical Change Perspective”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand, Pusat Penelitian Sumberdaya Regional (Indonesia), 2004.

, “Minoritas Muslim Thailand; Asimilasi, Perlawanan Budaya dan Awal Gerakan Separatisme”, Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume VII No.1 tahun 2005.

Yusuf, Imtiyaz, “Ethnoreligious and Political Dimensions of the Southern Thailand Conflict”, dalam Islam and Politics Renewal and Resistance in the Muslim World, Editor; Amit Pandya dan Ellen Laipson, Washington: Henry L Stimon Center, 2009.


(5)

Artikel dan Jurnal

Abdullah, Ahmad Amir Bin, Melayu Petani: A Nation Survives, 07/ 29/ 2009.

Badrus Sholeh, “Minoritas Muslim, Konflik dan Rekonsiliasi di Thailand

Selatan” oleh, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Budi Luhur, tanpa tahun.

Bastian, Yunariono, Paradigma, Jurnal Hubungan Internasional FISIP UPN“Veteran” Yogyakarta, Volume 7, Juni 2003.

Brown, David, From Peripheril Communities to Ethnic Nations, Pacific Affairs 62, 1988.

Nuryanti, Sri, In Search of Identity of Pattani, dipresentasikan di Acara

Indonesian API Fellow Seminar di Widya Graha LIPI, Lantai 5, 26 Maret 2003.

Esai dan Tesis

Amnuay-ngerntra, Somphong Esai berjudul King Mongkut’s Political and

Religious Ideologies Through Architecture at Phra Nakhon Kiri, , Asia-Pacific CHRIE (APacCHRIE) Conference, Kuala Lumpur, Malaysia, 26-28 May, 2005.

Mala Rajo Sathian, Economic Change in Pattani Region c. 1880-1930: Tin and Cattle in the Era of Siam’s Administrative Reforms, Departement of History, National University of Singapore, 2004.


(6)

Pojar, Daniel J., Jr. Lesson Not Learned: The Rekindling of Thailand’s Pattani Problem, Monterey, California, 2005.

Situs dan website

Haris, Syamsuddin, Birokrasi, Demokrasi, Dan Penegakkan Pemerintahan Yang Bersih: Pelajaran Dari Indonesia Dan Thailand, hal.,107 akses dari situs http://katalog.pdii.lipi.go.id/index.php/searchkatalog/downloadDatabyId/6 69/669.pdf.

Mahmud, Nik Anuar Nik, Perjanjian Bangkok (1909) dan Implikasinya kepada Keselamatan dan Kestabilan Serantau, Institut Alam dan Tamadun Melayu. Akses dari situs http://www.scribd.com/doc/13353098/Perjanjian-Bangkok-19.

Suharto, Imtip Pattajoti, The Journey to Java by a Siamese King . Jakarta: The Ministry of Foreign Affairs of Thailand, 2001. Akses dari situs www.m-culture.go.th

http://www.sociologyguide.com/thinkers/parsons.php