HUBUNGAN ANTARA GAYA PENGASUHAN ORANGTUA

HUBUNGAN ANTARA GAYA PENGASUHAN ORANGTUA
DAN KEMANDIRIAN EMOSIONAL PADA SISWA SMA “X”
LEMBANG YANG TINGGAL DI ASRAMA

Venesya Archania
Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha, Bandung

Dr. Ria Wardania, M.Si.,Psikolog

Cakrangadinata, M.Psi.,Psikolog

Abstract
This research, which is corelation between parenting style and emotional
autonomy, has been conducted to see the corelation between parenting style and
emotional autonomy in senior high school stundents which is lived in domitory
Lembang. Sample choosed by purposive sampling method, consist of 31 students.
Instrument that being used by researcher in order to collecting the
parenting style of senior high school students is a questionnaire which was
develop by Hauser (1984) consisting of 18 items and a questionnaire of emotional
autonomy develop by Silverberg (1986) consisting of 22 items. Collected data
were processed by spearman to see the correlation.

Based on statistical data processing of data collection results to the 31
students, there is a significant of negative correlation between parenting style
enabling and emotional autonomy (rs = -0.576). Whilst for parenting style
constraining, there is a positive correlation significantly to the emotional
autonomy (rs = 0.275).
Last, researches propose some suggestions to the school, guardians,
parents and students in order to improve their emotional autonomy. In addition, to
other researchers who want to conduct a research on parenting styles and
emotional autonomy should consider other factors which can influence the
emotional autonomy.

Keywords : parenting style, emotional autonomy
1

Abstrak
Penelitian ini dilaksanakan untuk melihat hubungan antara gaya
pengasuhan orangtua dan kemandirian emosional pada siswa SMA “X”
Lembang yang tinggal di asrama. Responden dipilih dengan teknik pengambilan
data purposive dan di dapatkan 31 siswa.
Alat ukur yang digunakan untuk mengukur gaya pengasuhan orangtua

disusun oleh Hauser (1984) yang terdiri dari 18 iten dan untuk alat ukur
kemandirian emosional disusun oleh Silverberg (1986), yang terdiri atas 22 item.
Data yang diperoleh diolah menggunakan spearman untuk melihat besarnya skor
hubungan.
Berdasarkan pengolahan data secara statistik terhadap hasil pengambilan
data kepada 31 siswa, terdapat korelasi negatif signifikan antara gaya
pengasuhan enabling dan kemandirian emosional (rs=-0,576). Sedangkan, untuk
gaya pengasuhan constraining berkorelasi positif signifikan terhadap
kemandirian emosional (rs=0,275).
Peneliti mengajukan saran kepada pihak asrama, wali asuh, dan orangtua
agar bisa meningkatkan kemandirian emosional siswa. Selain itu, kepada peneliti
lain yang ingin melakukan penelitian mengenai gaya pengasuhan orangtua dan
kemandirian emosional agar memertimbangkan faktor-faktor lain yang dapat
memengaruhi kemandirian emosional.

Kata Kunci : Gaya Pengasuhan, Kemandirian Emosional

I.

Pendahuluan

Dengan semakin berkembangnya dunia pendidikan, kini orangtua semakin

memiliki banyak pilihan ketika akan memilih sekolah bagi anak-anaknya. Mulai
dari sekolah regular, sekolah bilingual, sekolah internasional, sekolah militer,
sekolah asrama, dan jenis sekolah lainnya. Salah satu sekolah yang memiliki ciri
khas mengenai kedisiplinan adalah sekolah yang memiliki asrama. Salah satu
keunggulan sekolah berasrama menurut (Upik Kamalia, 2014) antara lain,

2

mengajarkan anak untuk hidup mandiri, belajar bertoleransi, mengembangkan
potensi diri, dan hidup lebih teratur.
Pandangan tersebut juga diaminkan oleh beberapa orangtua yang hendak
mendaftarkan anak mereka di SMA “X” Lembang yang juga menawarkan sekolah
berasrama. Sekolah ini juga berlandaskan ilmu agama sehingga siswa tidak hanya
diajarkan hal akademis tapi juga diajarkan ilmu agama. Asrama sekolah dibagi
menjadi 2 bagian, yaitu asrama untuk siswa laki-laki dan asrama untuk siswa
perempuan. Setiap asrama dibagi menjadi beberapa kelompok dan memiliki 1
wali asuh. Wali asuh bertugas untuk mengajarkan siswa ilmu agama dan
membimbing siswa. SMA “X” ini membatasi jumlah murid yang diterima di

sekolah tersebut. Setiap tahunnya rata-rata hanya menerima maksimal 40 siswa.
Hal ini dilakukan agar siswa bisa dipantau secara penuh oleh wali asuh. Semua
siswa yang baru masuk asrama diwajibkan untuk tinggal di asrama selama satu
bulan penuh dan tidak diizinkan untuk pulang selama masa penyesuaian di
asrama.
Setelah siswa melewati masa penyesuaian selama satu bulan, maka untuk
selanjutnya siswa diwajibkan untuk pulang ke rumah mereka setiap dua kali
dalam satu bulan. Selama satu bulan penyesuaian dengan aturan dan suasana di
asrama, mulailah muncul permasalah-permasalah yang terjadi di asrama, salah
satunya masalah kemandirian emosional. Tidak semua siswa merasa cocok
dengan teman satu kamar mereka maupun dengan wali asuh mereka yang akan
embimbing selama mereka berada di asrama. Namun, tidak ada seorang siswa pun
yang dapat langsung pindah kamar maupun pindah wali asuh. Mereka diharuskan
3

untuk mencoba meredakan ketidaksukaan mereka kepada teman maupun wali
asuh.
Selama di asrama siswa wajib mengikuti jadwal yang berlaku dari awal
sampai akhir, untuk semua siswa diberlakukan jadwal yang sama. Mulai dari pagi
hari sebelum adzan subuh siswa dibangunkan dan diwajibkan untuk pergi ke

mushola yang berada di asrama untuk beribadah bersama, setelah selesai
menunaikan ibadah sholat subuh siswa berkumpul dengan wali asuh masingmasing untuk melakukan kegiatan seperti mengahafal quran, baca quran maupun
kegiatan lainnya. Setelah selesai beribadah, siswa kembali ke asrama untuk
bersiap-siap sarapan bersama dan berangkat ke sekolah. Setelah semua siswa
berangkat ke sekolah, asrama mulai ditutup dari pukul 07.00 sampai semua siswa
selesai bersekolah pukul 15.30, apabila ada siswa yang datang ke asrama lebih
cepat dari jam pulang sekolah maka siswa tersebut tidak diizinkan untuk masuk ke
asrama.
Selama mengikuti kegiatan belajar di sekolah, siswa diwajibkan
mejalankan ibadah azhar di sekolah secara bersama-sama. Setelah selesai kegiatan
di sekolah siswa kembali ke asrama dan bebas menggunakan waktu kosong
sampai sebelum adzan maghrib. Siswa diizinkan untuk makan, istirahat, mandi,
maupun melakukan kegiatan lainnya. Ketika menjelang adzan maghrib seluruh
siswa berkumpul di mushola dan sholat bersama, selesai sholat semua siswa
kembali berkumpul dengan wali asuh untuk melakukan kegiatan yang sama
dengan ketika sholah subuh sampai dengan adzan isya. Setelah selesai sholat isya,

4

semua siswa kembali ke asrama dan mulai memasukkin jam belajar. Waktu

tersebut dipakai siswa untuk menggerjakan tugas maupun memersipkan diri untuk
ujian atau memelajari materi yang akan dibahas keesokan harinya. Memasuki
pukul 22.00 seluruh siswa harus berada di dalam kamar dan diwajibkan untuk
beristirahat, siswa tidak diperbolehkan melakukan kegiatan lainnya.
Steinberg (2002) menyatakan bahwa kemandirian emosional merupakan
kemampuan untuk mengatur diri sendiri secara bertanggungjawab dalam
ketidakhadiran atau jauh dari pengawasan orangtua maupun orang dewasa
lainnya. Kemandirian emosional merupakan hal yang penting karena anak akan
berpisah dari orangtuanya dan anak menjalani kehidupannya sendiri dan akan
menempati posisi baru yang menuntut tanggung jawab. Kemandirian emosional
memiliki empat komponen kemandirian emosional yang terdiri dari: de-idealized
artinya remaja memandang orangtua apa adanya, maksudnya tidak memandang
orangtua sebagai orang yang sempurna dan serba tahu, parent as people artinya
remaja melihat orangtua sebagai orang dewasa lainnya yang juga pernah
melakukan kesalahan, non-dependency artinya remaja dapat mengandalkan
dirinya sendiri daripada bergantung pada orangtuanya, dan individuation artinya
remaja menunjukkan ‘pribadi’ yang berbeda dengan orangtuanya atau memiliki
privacy yang tidak ingin diketahui oleh orangtuanya.
Gaya pengasuhan (dalam Steinberg, 2014) merupakan faktor yang
memengaruhi kemandirian emosional. Hauser (dalam Acher, 1994) membedakan

dua jenis gaya pengasuhan orangtua, yaitu enabling dan constraining yang

5

masing-masing memiliki komponen kognitif dan afektif. Gaya pengasuhan
enabling, yaitu gaya pengasuhan yang ditandai dengan adanya interaksi orangtua
dan remaja untuk memberikan kesempatan kepada remaja agar aktif melibatkan
diri dalam menyampaikan pikiran mereka sendiri. Gaya pengasuhan enabling
cenderung mendorong kompetensi sosial remaja. Sedangkan, gaya pengasuhan
kedua adalah gaya pengasuhan constraining yang ditandai dengan orangtua yang
tidak memberikan kesempatan kepada remaja untuk aktif melibatkan diri dalam
menyampaikan pemikiran mereka dan gaya pengasuhan constraining cenderung
menghambat kompetensi sosial remaja.
Masing-masing gaya pengasuhan memiliki dua aspek, yaitu aspek kognitif
dan aspek afektif. Gaya pengasuhan enabling kognitif ditandai dengan adanya
kesempatan dan dorongan yang diberikan oleh orangtua kepada anak untuk bisa
memecahkan masalahnya sendiri, sementara enabling afektif ditandai dengan
orangtua yang menunjukkan sikap menghargai usaha anak dalam mencari
informasi. Gaya pengasuhan constraining kognitif ditandai dengan orangtua yang
tidak memberikan kesempatan dan dorongan kepada anak untuk memecahkan

masalahnya sendiri, dan constraining afektif ditandai dengan orangtua yang tidak
menunjukkan sikap menghargai usaha anak.
Siswa asrama yang orangtuanya menerapkan gaya pengasuhan enabling
akan menunjukkan kemandirian emosional yang berbeda dengan siswa dengan
orangtua yang menerapkan gaya pengasuhan constraining. Hal ini disebabkan
oleh siswa dengan gaya pengasuhan enabling sudah terbiasa mengurus diri
mereka sendiri dan meminimalisasi ketergantungannya kepada orangtua serta
6

tidak menggantungkan keputusan pada orangtua. Perkembangan kemandirian
emosional akan terafiliasi apabila orangtua menerapkan gaya pengasuhan
enabling dalam memecahkan masalah yang terjadi dalam keluarga dan secara
bertahap akan mendorong anak untuk membuat keputusan sendiri.

II.

Metode
Rancangan

penelitian


yang

digunakan

peneliti

berbentuk

hubungan/korelasi. Sedangkan metode pengambilan data adalah survei dengan
menggunakan kuesioner gaya pengasuhan orangtua yang disusun oleh Hauser
(1984) terdiri dari 18 item valid dan kuesioner kemandirian emosional yang
disusun oleh Steinberg (1986) dan terdiri dari 22 item valid. Karakteristik
populasi pada penelitian ini adalah siswa kelas X dan baru pertama tinggal di
asrama, dipilih kelas X karena dipandang baru pertama kali tinggal jauh dari
orangtua. Dalam pengambilan data, terdapat sampel sejumlah 31 siswa. Teknik
pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah metode purposive sampling.
Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah spearman rank
guna melihat keeratan hubungan antara dua varibel yang diteliti.


7

III.

Hasil Penelitian

Gaya

Besar Korelasi dengan Kemandirian

Pengasuhan
Enabling
Constraining

Emosional
-0,576
0,275

Berdasarkan hasil uji statistika menggunakan Spearman-Rho diketahui,
terdapat hubungan negatif signifikan antara gaya pengasuhan enabling dan

kemandirian emosional pada partisipan (rs=-0,576) sedangkan, gaya pengasuhan
constraining memiliki hubungan signifikan (rs=0,275) dengan kemandirian
emosional pada partisipan. Ini berarti, tidak terdapat hubungan positif antara gaya
pengasuhan orangtua enabling dan kemandirian emosional pada partisipan dan
tidak terdapat hubungan negatif antara gaya pengasuhan orangtua constraining
dan kemandirian emosional pada partisipan. Sehingga, dapat diartikan semakin
partisipan menghayati gaya pengasuhan orangtua enabling maka kemandirian
emosional akan semakin rendah. Sebaliknya, partisipan yang menghayati gaya
pengasuhan orangtua constraining maka kemandirian emosionalnya akan semakin
tinggi. Kedua temuan faktas di atas berbanding terbalik dengan landasan teori
yang justru menyatakan bahwa gaya pengasuhan enabling lah yang dapat
memfasilitasi kemandirian emosional dan gaya pengasuhan constraining kurang
dapat memfasilitasi berkembangnya kemansirian emosional siswa.

IV.

Simpulan, Diskusi, dan Saran

8

Berdasarkan hasil pengolahan data untuk melihat keeratan hubungan
antara

gaya

pengasuhan

orangtua

dan

kemandirian

emosional,

serta

pembahasannya, dapat disimpulkan bahwa : Mayoritas siswa yang menjadi
responden penelitian lebih menghayati gaya pengasuhan orangtua constraining.
Mayoritas siswa yang menjadi responden pelitian memiliki kemandirian
emosional yang tinggi. Secara konseptual, gaya pengasuhan enabling menerapkan
gaya interaksi dalam keluarga yang mendorong setiap anggota keluarga untuk
mengekspresikan pikiran-pikiran dan perasaan-perasaannya; sedangkan gaya
interaksi keluarga yang constraining cenderung mengintervensi anggota keluarga
untuk bergerak ke arah kemandirian dan diferensiasi. Gaya interaksi keluarga
enabling maupun constraining memiliki dua komponen di dalamnya, yaitu
komponen kognitif dan komponen afektif.
Interaksi keluarga dengan enabling kognitif berarti keluarga (dalam hal ini
orangtua) senantiasa mengajak anggota keluarga untuk fokus menyelesaikan
masalah apapun yang tengah dihadapi (tidak lari atau tidak menunda), melibatkan
anggota keluarga untuk mengetahui dan terlibat dalam proses eksplorasi guna
menyumbangkan jawaban tatkala di dalam keluarga tengah terjadi isu-isu tertentu,
dan orangtua akan menjelaskan pendapat-pemikiran-dan pandangan satu anggota
keluarga ke hadapan anggota keluarga lainnya agar informasi menyebar secara
merata di dalam keluarga bersangkutan. Sementara itu enabling afektif tercermin
melalui sikap-sikap empati dan penerimaan terhadap setiap anggota keluarga.
Kemandirian emosional akan difasilitasi perkembangannya melalui interaksi
keluarga yang enabling.

9

Di sisi yang berbeda, interaksi keluarga yang constraining kognitif
memerlihatkan kecenderungan-kecenderungan orangtua untuk menjauhkan atau
memisahkan anggota keluarga dari persoalan yang tengah dihadapi, tidak
menyebarkan informasi apapun secara dua-arah (orangtua berkecenderungan
menahan informasi agar tidak diketahui anggota keluarga lainnya dengan alas an
yang tidak pernah dikomunikasikan), dan mengabaikan atau tidak memberikan
perhatian yang memadai kepada anggota keluarga maupun permasalahan yang
sedang dihadapi; sedangkan interaksi dengan constraining afektif dalam interaksi
keluarga berarti berkecenderungan memberikan penilaian yang meremehkan dan
meniadakan sikap-sikap menyenangkan/membesarkan hati kepada anggota
keluarga,

termasuk

pandangan-pandangannya.

Perkembangan

kemandirian

emosional akan terhambat pada keluarga dengan gaya interaksi constraining.
Hasil penelitian ini menunjukkan, bila partisipan yang berusia remaja ini
menghayati interaksi keluarganya enabling maka akan menjadikannya tidak
terfasilitasi atau memiliki hambatan untuk mengembangkan kemandirian
emosional. Interaksi yang mengajak partisipan untuk mengeskpresikan pikiranpikiran dan perasaan-perasaannya secara terbuka karena keluarga bersikap
menerima dan empati itu justru

membuat remaja berkurang kemampuannya

untuk mengembangkan kemandirian emosionalnya. Dalam keluarga yang
memberi partisipan pengertian, pemahaman, dan kehangatan yang tercakup ke
dalam gaya interaksi enabling, agaknya membuat partisipan merasa tenang, aman,
dan nyaman untuk berlindung di balik pengaruh orangtuanya. Oleh karenanya
bisa dipahami bila partisipan merasa sulit untuk tidak mengidealkan dan tidak

10

memandang orangtuanya dengan cara yang lebih realistik. Baginya, menyetujui
pendapat dan keputusan orangtua merupakan pilihan terbaik. Sekalipun tidak
sependapat dengan orangtua, namun partisipan remaja akan tetap menerima
pendapat orangtuanya karena menganggapnya selalu benar (de-idealized). Ini
artinya partisipan selalu mencoba menyamakan pendapatnya dengan orangtua
karena menurutnya tidak mungkin orangtuanya keliru dalam memberikan
pendapat.
Sementara itu aspek kemandirian emosional berikutnya, yaitu nondependency juga tidak terfasilitasi melalui interaksi enabling.

Dalam hal ini

partisipan dengan gaya interaksi orangtua enabling senantiasa meminta bantuan
orangtua untuk memutuskan masalah yang dihadapi; bila suatu saat partisipan
melakukan kesalahan maka akan bertumpu pada orangtuanya untuk ‘meluruskan’
kesalahan itu sehingga akan menyelamatkan partisipan dari keadaan kurang
menguntungkan; bila partisipan mengalami ketidakcocokan dengan teman maka
akan meminta orangtua untuk membantunya mengatasi konflik dengan teman
sebelum mengambil keputusan. Partisipan senantiasa diliputi kecemasan dan
memerlihatkan kompetensi interpersonal rendah bila tetap memertahankan
dependency yang kuat terhadap orangtuanya (S.R Miller, Tserakhava , Miller,
2011 dalam Steinberg, 2014).
Pada aspek kemandirian berikutnya, parent as people, partisipan
memersepsi orangtuanya akan berperilaku sama baik saat berada di rumah
maupun saat berada bersama-sama temannya; cara orangtua bercakap-cakap di
depan teman-temannya akan sama dengan cara orangtua bercakap-cakap dengan
11

partisipan di rumah. Terakhir pada aspek individuation, partisipan memandang
orangtuanya harus mengetahui segala hal yang terjadi pada diri remaja; di mata
remaja orangtua harus tahu dengan keadaan dirinya; bagi partisipan tidak pada
tempatnya dirinya menutup-tutupi sesuatu kepada orangtua.

Daftar Pustaka
Berzonsky & Adam, 2003. Blackweel Handbook of Adolescence. Carltoon,
Victoria.Australia.Blackwell Publishing.
Gunarsa, S & Gunarsa, Y.2011. Psikologi Praktis: Anak, Remaja, dan Keluarga.
Jakarta : PT. BPK Gunung Mulia.
Kumar, Ranjit.1999. Research Methodology : a step-by step for beginners.
New Delhi : Sage Publication, Inc.
Sally L, Archer (editor).1994. Intervention For Adolescent Identity Development,
California : Sage Publication, Inc.
Steinberg, Laurence .2011. Adolescence.Tenth edition, New York : Mc GrawHill.
Sugiyono.2011. Statistika untuk Penelitian. Bandung : Alfabeta.

Daftar Rujukan
Diana, Imas.2012. Pengembangan Kemandirian Remaja Tunarunggu.

12

(http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/19700417
1994022-IMAS_DIANA_APRILIA/ARTIKEL_1.pdf

diakses

pada

tanggal 25 Mei 2015 pukul 18.35)
Patriana, Pradnya.2007. Hubungan antara Kemandirian dengan Motivasi Bekerja
Sebagai Pengajar Les Privat pada Mahasiswa di Semarang.
(http://eprints.undip.ac.id/10349/1/SKRIPSI_PRADNYA_PATRIANA.pdf
diakses pada tanggal 21 Mei 2015 pukul 15.30)
Perkembangan Kemandirian Pada Remaja.2009.
(http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PSIKOLOGI_PEND_DAN_BIMB
INGAN/197102191998021NANDANG_BUDIMAN/PERKEMBANGAN_KEMANDIRIAN.pdf
diakses pada tanggal 21 Mei 2015 pukul 15.20)
Sinaga, Lewi.2005. Perbedaan Dimensi-Dimensi Kemandirian Emosional Pada
Remaja Awal dan Remaja Akhir. Bandung : Universitas Kristen
Maranatha.
Beyers, Wim., Luc, Goossens., Ben, V. G., & Duriez, Bart.(2005). An Alternative
Substantive Factor Structure of the Emotional Autonomy Scale. Europian
Journal of Psychological Assessment.

13