BAHASA SEBAGAI FENOMENA SOSIAL dalam

BAHASA SEBAGAI FENOMENA SOSIAL, BUDAYA DAN POLITIK
Bahasa menurut KBBI (2008:116), yaitu system lambang bunyi yang arbiter yang
digunakan oleh anggota satu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi dan
mengidentifikasikan diri.
Secara teknis, bahasa adalah seperangkat ujaran yang bermakna yang dihasilkan oleh alat
ucap manusia. Secara praktis, bahasa merupakan alat komunikasi antar anggota masyarakat yang
berupa system lambang bunyi yang bermakana dan dihasilkan oleh alat ucapa manusia.1
Bahasa memiliki peranan penting dalam kehidupan sehari- hari, selain sebagai alat
komunikasi, bahasa juga merupakan identitas budaya suatu bangsa yang menandakan kekayaan
bangsa tersebut. Maka sangat beruntung Negara kita memiliki ragam bahasa daerah.
Oleh karena bahasa berfungsi sebagai alat, maka bahasa dapat pula digunakan untuk
berbagai kepentingan dan tujuan. Baik itu kepentingan perorangan maupun golongan (kolektif).
Sebagai media komunikasi yang paling esensial di antara berbagai bentuk media
komunikasi, bahasa dapat kita katakan sebagai bagian dari eksistensi manusia. Tentu saja hal ini
erat kaitannya dengan fungsi bahasa sebagai wahana manusia dalam mengungkapkan perasaan,
pikiran, gagasan dan tindakannya di dalam kehidupan sehari-hari.

1. Bahasa Sebagai Fenomena Sosial
Manusia adalah makhluk social yang tidak dapat hidup sendiri melainkan selalu
berinteraksi dengan sesamanya. Untuk keperluan tersebut manusia menggunakan bahasa sebagai
alat komunikasi sekaligus sebagai identitas kelompok.

Sebagai bahasa persatuan, bahasa Indonesia mampu menjadi perantara dan bahasa
pergaulan antarsuku dan antardaerah. Bahasa Indonesia juga berkembang seiring dengan lahirnya
sastrawan-sastrawan terkemuka di negeri ini, seperti Marah Rusli, Ahdijat Kartamihardja, S.
Takdir Alisjahbana, Chairil Anwar dan sebagainya. Bahasa Indonesia telah menjadi piranti
handal para penyair untuk memperkaya kemampuan ekspresif dan imaginatif mereka sehingga
melahirkan karya-karya sastra berbobot yang dapat memperkaya khasanah kebudayaan
Indonesia. Tak pelak, bahasa Indonesia telah berhasil menjadi bahasa kebudayaan nasional
Masyarakat terus berubah, begitu pula dengan bahasa, sehingga bahasa dan realitas sosial
tidak bisa dipisahkan. Karena itu, perubahan bahasa terjadi karena perubahan sosial baik yang
1 Winci Firdaus, dkk, 2009, Bahasa Indonesia, Banda Aceh :CV. Mita Mulia, hlm. 1

disengaja maupun yang tidak disengaja. Sebaliknya, perubahan sosial berimplikasi pada
perubahan bahasa. Karenanya, bahasa tidak hanya dibentuk dan ditentukan, tetapi juga
membentuk dan menentukan realitas sosial. secara bersama-sama. Karenanya, bahasa juga
dianggap berdimensi sosial. Sebab, bahasa merupakan aspek kegiatan social kehidupan manusia.
Tidak banyak yang menyadari bahwa perkembangan bahasa tentu saja termasuk
perubahannya mengungkapkan banyak tentang keadaan masyarakat tempatnya bahasa
digunakan. Masalah-masalah yang berkaitan dengan perkembangan bahasa memang dapat
ditinjau semata-mata dari sisi teknis, misalnya bagaimana menyebarluaskan kosa kata, ejaan,
pemenggalan kata dan pola kalimat yang benar. Tetapi dari sisi lain, bahasa dapat ditinjau

berkaitan dengan perkembangan dalam masyarakat yang lebih mendasar, misalnya mengenai
dinamika perubahan sosial, pembentukan dan pergeseran nilai-nilai sosial, bahkan dalam
perubahan politik. Semua yang terjadi di masyarakat terungkap sejelas-jelasnya dalam bahasa.
Dengan kata lain, bahasa merupakan cermin paling jelas keadaan masyarakat penggunanya.
Situasi yang terjadi di masyarakat hampir selalu tercermin di dalam praktik berbahasa.
Sebab, salah satu peran bahasa adalah untuk membangun dan memelihara hubungan sosial,
untuk pengungkapan peranan-peranan sosial, termasuk peranan komunikasi yang diciptakan oleh
bahasa itu sendiri. Karenanya, situasi yang aman dan damai akan melahirkan simbol-simbol
kebahasaan yang mantap dan stabil atau konstan dalam kosa katanya. Sebaliknya, situasi yang
bergejolak dan tidak menentu juga akan tercermin dalam ungkapan-ungkapan bahasa yang akan
simpang siur. Maka dari itu, bahasa juga digunakan untuk mengatur berbagai aktivitas social
juga dipakai untuk menganalisa dan mengevaluasi berbagai aktivitas dengan yang dilakukan oleh
seseorang.
Segala kegiatan atau aktivitas dapat berjalan dengan baik apabila diatur dengan bahasa
dikarenakan ketika kita memberi perintah kepada seseorang untuk melakukan suatu aktivitas kita
menggunakan bahasa.
Biasanya kelas social juga mengacu pada penggunaan bahasanya. Seperti penggunaan
bahasa yang digunakan oleh pejabat- pejabat tinggi yang berpendidikan terdengar lebih baku
daripada bahasa yang digunakan oleh petani ataupun pedagang.
2. Bahasa Sebagai Fenomena Budaya

Ada berbagai teori yang menggemukakan hubungan bahasa dan budaya. Salah satunya
yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat, bahasa merupakan bagian dari kebudayaan. Jadi
hubungan budaya dan bahasa itu adalah hubungan yang subordinatif, yaitu bahasa berada dalam
lingkup budaya. Sedangkan ada pendapat lain yang menggemukakan bahwa bahasa dan budaya
itu mempunyai hubungan yang koordinatif, yakni hubungan yang sederajat.

Sedangkan menurut Masinambouw, budaya dan bahasa merupakan dua system yang
melekat erat pada manusia. Kalau kebudayaan itu adalah system yang mengatur interaksi, maka
bahasa adalah system yang menjadi sarana berlangsungnya interaksi tersebut. Oleh karena itu
bahasa keberadaannya selalu dibayangi oleh budaya.
Fenomena antara bahasa dan budaya adalah sebagaimana bahasa yang bukan saja sebagai
“ property”. Dalam analisis semantic, Abdul Chaer, mengatakan bahwa bahasa itu bersifat unik
dan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan budaya pemakainya. Maka analisis suatu
bahasa hanya berlaku untuk bahasa itu saja, tidak bias digunakan untuk menganalisis bahasa lain.
Umpanya kata ikan dalam bahasa Indonesia menunjuk kepada jenis binatang yang hidup dilaut
dan bias dimakan sebagai lauk, dalam bahasa inggris sepadan dengan fish, dalam bahasa banjar
disebut iwak. Tetapi kata iwak dalam bahasa Jawa bukan hanya berarti ikan atau fish, malainkan
juga berarti daging yang digunakan sebagai lauk malah tahu dan tempe juga disebut iwak.
Mengapa hal ini bias terjadi ? semua itu karna bahasa adalah produk budaya dan
sekaligus wadah penyampai kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan.

Contoh lainnya dalam budaya Inggris, pembedaan kata saudara ( orang yang lahir dari
rahim yang sama ). Berdasarkan jenis kelamin disebut brother dan sister, padahal budaya
Indonesia membedakannya berdasarkan usia yang lebih tua disebut kakak dan yang lebih muda
disebut adik.
Kaitannya dengan bahasa dan budaya masyarakat Aceh, penutur bahasa Aceh Barat dan
bahasa Aceh Selatan (termasuk Lamno, Jeuram, dan Nagan Raya) bertutur antara anak dan
orangtuanya akan berbeda dengan kebiasaan masyarakat Aceh Utara (termasuk Pidie, Peusangan,
dan sebelah timur Aceh) dalam konteks yang sama, yakni “anak menyapa orang tua”. Dalam
masyarakat Aceh Barat-Selatan adanya penggunaan ku- ‘aku’ saat menyapa orangtuanya
dipandang sebagai hal yang biasa. Misal: uroe nyoe han ék kujak peukan, Mak. Namun, dalam
masyarakat Aceh Utara, ku di sana tidak biasa digunakan sehingga dipandang “kasar”.
Masyarakat Aceh Utara akan menggunakan kata lôn/lôntuan untuk menyapa orangtuanya atau
orang yang lebih tua dari dia, uroe nyoe lôn han ék lônjak peukan, Mak.
3. Bahasa Sebagai Fenomena Politik
Kaitan politik dan bahasa adalah kenyataan bahwa politik itu adalah kegiatan berbicara
(berbahasa). Menurut seorang pakar politik, politik itu tidak hanya pembicaraan, dan sebaliknya
tidak semua pembicaraan adalah politik. Akan tetapi hakekat pengalaman politik adalah kegiatan
berkomunikasi antara orang-orang.
Sudah barang tentu politik mempunyai dimensi moral-etiknya sendiri, karena politik pada
dasarnya adalah kegiatan orang yang mengatur perbuatan mereka di dalam kondisi konflik

kepentingan dan tujuan. Setiap setting politik senantiasa ditandai dengan perselisihan dan
konflik.

Demikian pula halnya dengan bahasa. Bahasa mempunyai kekuatan dan dimensi
emansipatoris, transformatif, dan terbuka di dalam penilaian moral-etis. Bahasa dapat menjadi
jahat dan buruk. Bahasa dapat menindas, membelenggu dan menjajah kesadaran seseorang.
Terutama bila digunakan sebagai sarana manipulasi dan indoktrinasi. Bahasa menjadi baik bila
digunakan sebagai sarana untuk meningkatkan kesejahteraan manusia dan membebaskan
kesadaran manusia dari belenggu kebodohannya. Fenomena bahasa memiliki cakupan sosial
politik. Itu sebabnya tidak bisa dipungkiri bahwa fenomena bahasa mempunyai dampak yang
langsung dan kuat terhadap realitas sejarah politik manusia.
Para pendiri Negara kita memasukkan masalah bahasa kedalam agenda politik untuk
menggalang persatuaan dan kesatuaan bangsa. Agenda itu akhirnya membuahkan hasil, yaitu
dengan diangkatnya bahasa Indonesia yang waktu itu masih bernama bahasa melayu, menjadi
bahasa persatuaan dan bahasa nasional.
Bahasa adalah sarana untuk menyingkap realitas personal dan komunal. Bahasa dapat
memperdaya, menggusarkan, menggairahkan dan juga melumpuhkan manusia. Manusia bisa
tersesat, kalah, menang dan selamat dengan atau di dalam bahasa. Dengan bahasa orang
mendapatkan kesesuaian satu dengan yang lainnya sehingga tercipta harmoni dan kedamaian.
Namun, dengan bahasa pula kedamaian dan harmoni dihancurkan lewat kesalahpahaman,

makian, dan bahkan peperangan. Penggunaan bahasa tidak bisa dilepaskan dari tindakan
manusia.
Di dalam politik manipulasi bahasa selalu terjadi. Kemampuan berbahasa sangat
diperlukan dalam memanipulasi. Setiap manusia senantiasa memanipulasi dirinya dan orang lain
bila ia terdesak oleh kepentingan dan tujuan yang ingin dicapai. Oleh karena itu memanipulasi
itu baik adanya bila ditujukan bagi kepenitngan dan tujuan yang baik pula.
Memanipulasi pada dasarnya memang melanggar martabat dan kebebasan manusia. Akan
tetapi manipulasi mempunyai dimensi etisnya sendiri, yaitu tidak boleh menggangu dan
melanggar landasan martabat dan kebebasan manusia. Manusia di dalam kebebasannya
bertanggung jawab bagi dan kepada diri sendiri.
Manipulator bahasa memang dominan ada pada politikus, karena seorang politikus
dituntut untuk memperjuangkan kepentingan dan tujuan masyarakat yang telah mempercayakan
dan memberikan kekuasaan kepadanya. Mereka dapat kita katakan sebagai seorang manipulator
bahasa dan orator yang ulung. Hal ini dimungkinkan karena mereka mempunyai kinerja bahasa
yang tinggi.

KESIMPULAN
Bahasa sangat berperan penting dalam kegiatan social, budaya dan politik. Dalam
kegiatan social bahasa dapat digunakan untuk mengatur berbagai aktivitas social, merencanakan
berbagai kegiatan, dengan mengarahkannya kedalam suatu tujuan yang diinginkan.

Dalam kebudayaan, bahasa juga sangat erat kaitannya. Dikarenakan budaya itu adalah
system yang mengatur interaksi, sedangkan bahasa digunakan sebagai sarana untuk berinteraksi.
Dalam hal politik, politik itu sendiri adalah kegiatan berbicara (berbahasa). Menurut
seorang pakar politik, politik itu tidak hanya pembicaraan, dan sebaliknya tidak semua
pembicaraan adalah politik. Akan tetapi hakekat pengalaman politik adalah kegiatan
berkomunikasi antara orang-orang.

DAFTAR PUSTAKA

Firdaus, Winci, dkk, 2009, Bahasa Indonesia, Banda Aceh : CV. Mita Mulia.
Sumarsono dan Paina Partana. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta: SABDA dan Pustaka
Pelajar.