Manusia Dalam Perspektif Filsafat Pendid (1)

Manusia Dalam Tinjauan Filsafat Pendidikan

Makalah

Oleh:
Muzammil (140203076)

Dosen Pembimbing:
Fitriah S.Pd.I , M.Ag

Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris
Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
Universitas Islam Negeri Ar-Raniry
Banda Aceh
2015
1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.


Latar Belakang Masalah
Siapakah manusia? Dari mana asalnya? Di mana kedudukan dan fungsi manusia?

Lalu apa tujuan manusia? Beberapa pertanyaan itu tidak akan usang dipertanyakan sepanjang
jaman apabila membahas topik manusia. Hal ini juga disebabkan oleh luasnya pandangan dan
teori dari berbagai aliran terhadap hakikat manusia. Secara garis besar pandangan terhadap
hakikat manusia dapat dikelompokkan dalam dua kelompok besar, yang satu yaitu pemikiran
dari orang timur yang mengambil agama sebagai pedoman dasar dalam merumuskan teori, di
lain pihak, pemikiran orang barat yang tidak terikat apapun dan lebih kolektif juga
berkembang pesat.
Dalam ilmu mantiq (logika) manusia disebut sebagai Al-Insanu hayawanun nathiq
(manusia adalah binatang yang berfikir). Nathiq sama dengan berkata-kata dan mengeluarkan
pendapatnya berdasarkan pikirannya. Sebagai binatang yang berpikir manusia berbeda
dengan hewan. Walau pada dasarnya fungsi tubuh dan fisiologis manusia tidak berbeda
dengan hewan, namun hewan lebih mengandalkan fungsi-fungsi kebinatangannya, yaitu
naluri, pola-pola tingkah laku yang khas, yang pada gilirannya fungsi kebinatangan juga
ditentukan oleh struktur susunan syaraf bawaan. Semakin tinggi tingkat perkembangan
binatang, semakin fleksibel pola-pola tindakannya dan semakin kurang lengkap penyesuaian
struktural yang harus dilakukan pada saat lahirnya.1

Manusia menyadari bahwa dirinya sangat berbeda dari binatang apa pun. Tetapi
memahami siapa sebenarnya manusia itu bukan persoalan yang mudah. Ini terbukti dari
pembahasan manusia tentang dirinya sendiri yang telah berlangsung demikian lama.
Barangkali sejak manusia diberi kemampuan berpikir secara sistematik, pertanyaan tentang
siapakah dirinya itu mulai timbul. Namun informasi secara tertulis tentang hal ini baru
terlacak pada masa Para pemikir kuno Romawi yang konon dimulai dari Thales (abad 6 SM).

1.2.

Rumusan Masalah

1 Daradjat, Zakiah. 1996. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta : Bumi Akrasa.
2

1. Apa saja pandangan aliran filsafat terhadap hakikat manusia?
2. Bagaimana dampak pandangan filosofis terhadap praktis pendidikan?
3. Apa perbedaan antara Nativisme, Empirisme, dan Konvergensi?

1.3.


Tujuan Pembahasan
1. Memahami pandangan aliran filsafat terhadap hakikat manusia.
2. Memahami dampak pandangan filosofis terhadap praktis pendidikan.
3. Memahami perbedaan antara Nativisme, Empirisme, dan Konvergensi.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1.

A.

Pandangan Aliran Filsafat Terhadap Hakikat Manusia

Hakikat Manusia
Hakekat manusia selalu berkaitan dengan unsur pokok yang membentuknya, seperti

dalam pandangan monoteisme, yang mencari unsur pokok yang menentukan yang bersifat
3


tunggal, yakni materi dalam pandangan materialisme, atau unsur rohani dalam pandangan
spritualisme. Sedangkan dualisme yang memiliki pandangan yang menetapkan adanya dua
unsur pokok sekaligus yang keduanya tidak saling menafikan yaitu materi dan rohani, Selain
itu pandangan pluralisme menetapkan pandangan adanya berbagai unsur pokok yang pada
dasarnya mencerminkan unsur yang ada dalam diri manusia itu sendiri, baik itu materi,
rohani, maupun animalitas ( insting dan akal). Manusia secara individu tidak pernah
menciptakan dirinya , akan tetapi bukan berarti bahwa ia tidak dapat menentukan jalan hidup
setelah kelahirannya dan eksistensinya dalam kehidupan dunia ini mencapai kedewasaan dan
semua kenyataan itu. Ilmu yang mempelajari tentang hakekat manusia disebut antropologi
filsafat.
Antropologi adalah merupakan salah satu dari cabang filsafat yang mempersoalkan
tentang hakekat manusia dan sepanjang sejarahnya manusia selalu mempertanyakan tentang
dirinya, apakah ia sedang sendirian, yang kemudian menjadi perenungan tentang kegelisahan
dirinya, ataukah ia sedang dalam dinamika masyarakat dengan mempertanyakan tentang
makna hidupnya ditengan dinamika perubahan yang kompleks, dan apakah makna
keberadaannya ditengah kompleksitas perubahan itu? Pertanyaan tentang hakekat manusia
merupkan pertanyaan kuno seumur keberadaan manusia dimuka bumi. Dalam jawaban
tentang manusia tidak pernah akan selesai dan dianggap tidak pernah sampai final
dikarenakan realitas dalam keling manusia selalu baru, meskipun dalam subtansinya tidak
berubah.2

B. Pandangan Aliran Filsafat Terhadap Hakikat Manusia
Ada empat aliran yang dikemukakan yaitu : aliran serba zat, aliran serba ruh, aliran
dualisme, aliran eksistensialisme.

a.

Aliran Serba Zat
Aliran serba zat ini mengatakan yang sungguh-sungguh ada itu hanyalah zat atau

materi, alam ini adalah zat atau materi dan manusia adalah unsur dari alam, maka dari itu
manusia adalah zat atau materi.

2 Oneil, William. 2002. Hakikat-hakikat Filsafat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

4

b.

Aliran Serba Ruh
Aliran ini berpendapat bahwa segala hakekat sesuatu yang ada didunia ini ialah ruh,


juga hakekat manusia adalah ruh, adapun zat itu adalah manifestasi dari pada ruh diatas
dunia ini. Fiche mengemukakan bahwa segala sesuatu yang lain (selain ruh ) yang rupanya
ada dan hidup hanyalah suatu jenis perumpamaan, perubahan atau penjelmaan dari ruh
( Gazalba, 1992: 288 ). Dasar pikiran aliran ini ialah bahwa ruh itu lebih berharga, lebih
tinggi nilainya dari pada materi. Hal ini mereka buktikan dalam kehidupan sehari-hari, yang
mana betapapun kita mencintai seseorang jika ruhnya pisah dengan badannya, maka
materi/jasadnya tidak ada artinya. Dengan demikian aliran ini menganggap ruh itu ialah
hakekat, sedangkan badan ialah penjelmaan atau bayangan.

c. Aliran Dualisme
Aliran ini menganggap bahwa manusia itu pada hakekatnya terdiri dari dua substransi
yaitu jasmani dan rohani. Kedudukannya substansi ini masing-masing merupakan unsur
asal, yang adanya tidak tergantung satu sama lain. Jadi badan tidak berasal dari ruh, dan ruh
tidak berasal dari badan. Perwujudannya manusia tidak serba dua, jasat dan ruh. Antara
badan dan ruh terjadi sebab akibat yang mana keduanya saling mempengaruhi.

d.

Aliran Eksistensialisme

Aliran filsafat modern berfikir tentang hakekat manusia merupakan kewajiban

eksistensi atau perwujudan sesungguhnya dari manusia. Jadi intinya hakekat manusia itu
yaitu apa yang menguasai manusia secara menyeluruh. Disini manusia dipandang tidak dari
sudut serba zat atau serba ruh atau dualisme dari dua aliran itu, tetapi memandangnya dari
segi eksistensi manusia itu sendiri didunia ini. Filsafat berpandangan bahwa hakekat manusia
ialah manusia itu merupakan berkaitan antara badan dan ruh. Islam secara tegas mengatakan
bahwa badan dan ruh adalah substansi alam, sedangkan alam adalah makhluk dan keduanya
diciptakan oleh allah, dijelaskan bahwa proses perkembangan dan pertumbuhan manusia
menurut hukum alam material. Pendirian islam bahwa manusia terdiri dari substansi yaitu
materi dari bumi dan ruh yang berasal dari tuhan, maka hakekat pada manusia adalah ruh
5

sedang jasadnya hanyalah alat yang dipergunakan oleh ruh saja. Tanpa kedua substansi
tersebut tidak dapat dikatakan manusia.

Pandangan tentang hakekat manusia ini, Poespoprodjo mengemukakan bahwa3 :
1.

Hakekat manusia haruslah diambil dengan seluruh bagiannya yaitu bagian esensional


manusia, baik yang ,metafisis ( animalitas dan rasionalitas ) maupun fisik ( badan dan jiwa )
juga semua bagian yang integral ( anggota-anggota badan dan pelengkapannya ). Manusia
wajib menguasai hakekatnya yang kompleks dan mengendalikan bagian bagian tersebut
agar bekerja secara harmonis. Manusia menurut hakekatnya adalah hewan dan harus hidup
seperti hewan ia wajib menjaga badannya dan memberi apa kebutuhannya. Tetapi hewan
yang berakal budi dan ia harus juga hidup seperti makhluk yang berakal budi.
2.

Hakekatnya manusia harus diambil dengan seluruh nisbahnya, seluruh kaitannya tidak

hanya terdapat keselarasan batin antara bagian-bagian dan kemampuan –kemampuan yang
membuat manusia itu sendiri, tetapi juga harus terdapat keselarasan antara manusia
denagn lingkungannya. Hal ini juga merupkan aspek yang sangat penting, menimbang
manusia pada dasarnya bukan hanya diciptakan untuk mengabdi pada tuhannya, ataupun
saling bebagi antar sesama manusia, tetapi juga harus bisa mengolah dan menjaga alam yang
sudah dipercayakan untuk kita.
2.2. Dampak Pandangan Filosofis Terhadap Praktis Pendidikan.

Manusia merupakan salah satu dari berbagai jenis makhluk hidup, yang sudah ribuan

abad lamanya

menghuni bumi sebagai satu-satunya planet yang paling sesuai untuk

dijadikan sebagai tempat hidupnya. Sebelum menjadi proses pendidikan diluar dirinya ,
manusia cenderung pada awalnya berusaha melakukan pendidikan pada dirinya sendiri.
Pendidikan dimaksud , manusia berusaha mengerti dan mencari hakekat kepribadian
tentang siapa mereka yang sebenarnya.
Dalam kondisi ilmu mantiq ( logoka berfikir ) manusia dikenal dengan sebutan Alinsani hayawaanun nathiq ( manusia adalah hewan yang berfikir ). Pada perjalanan proses
3 Mudyahardjo, Redja. 2002. Pengantar Pendidikan; Sebuah Studi Awal tentang Dasar-dasar Pendidikan pada
Umumnya dan Pendidikan di Indonesia. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

6

pendidikan, peranan efektif terhadap pembinaan kepribadian manusia dapat melalui
lingkungan dan juga didukung oleh faktor pembawaan sejak manusia mulai
dilahirkan.4 Dalam kaitan ini perlu ditinjau tentang teori Natifisme, Empirisme dan
Konfergensi. Pada dasarnya tujuan pendidikan secara umum adalah untuk membina
kepribadian manusia secara sempurna. pengertian kriteria sempuna ditentukan oleh masingmasing pribadi ,masyarakat ,bangsa suatu tempat dan waktu. Pendidikan yang terutama
dianggap sebagai transfer kebudayaan , pengembangan ilmu pengetauan akan membawa

manusia mengerti dan memahami lebih luas tentang masalah seperti itu. Dengan demikian
ilmu pengetahuan memiliki nilai-nilai praktis di dalam kehidupan,baik sebagai pribadi
maupun sebagai warga masyarakat.
Problematika pendidikan adalah masalah hidup dan kehidupan manusia. Dalam
kehidupannya, manusia akan selalu memerlukan pendidikan agar ia mampu
mempertahankan hidup atau dapat mencapai kehidupannya agar lebih baik. Dalam
sejarah, pendidikan sudah dimulai sejak adanya makhluk bernama manusia, ini berarti
pendidikan itu tumbuh dan berkembang bersama-sama dengan proses perkembangan dan
kehidupan manusia.
Usaha untuk menciptakan suatu sistem pendidikan yang dapat memindahkan nilainilai kebudayaan yang dikehendaki tersebut belum sepenuhnya dapat mencapai hasil yang
maksimal serta memuaskan.
Dengan kata lain, sistem pendidikan yang benar-benar mapan dapat diterima secara
universal, bentuk nilai-nilai filosofis, serta serasi dengan fitrah manusia dan tatanan
masyarakat masih belum ditemui.
Para filosof dan ilmuwan dituntut untuk mencari jawaban dari beberapa pertanyaan
prinsipil, pertanyaan itu, menurut Jacques Maritain, -- sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin--,
mengarah kepada pemikiran filsafat pendidikan, yaitu siapa manusia, dimana dan kemana
manusia akan pergi, apa yang menjadi tujuan hidup manusia, semua hal ini dikaji dalam
bentuk penciptaannya.
Salah satu tema sentral filsafat pendidikan adalah pembahasan tentang masalah

manusia. Hai ini disebabkan karena keterlibatan manusia dalam proses pendidikan sangatlah
jelas. Dimana dalam pendidikan, manusia berperan sebagai subjek sekaligus objek
4 Sudarto. 2002. Metodologi Filsafat Pendidikan. Jakarta: Rajawali Press

7

pendidikan. Sementara itu dalam dunia pendidikan, pemahaman tentang manusia sangatlah
penting, As-Syaibani menyatakan bahwa penentuan sikap dan tanggapan tentang manusia
sangat penting dan vital, tanpa sikap dan tanggapan yang jelas, pendidikan akan meraba-raba.
Apabila pemahaman tentang manusia tidak jelas, maka berakibat tidak baik pada proses
pendidikan itu sendiri.
Persoalan yang kemudian muncul adalah cara pandang atau konsep manusia yang
digunakan menentukan konsep-konsep lanjutan pada suatu disiplin ilmu atau aliran tertentu.
Begitu juga apabila menelaah pendidikan, maka setiap aliran, teori atau sistem
pendidikan berakar pada sebuah pandangan falsafah manusia yang digunakan.
Manusia merupakan subyek pendidikandan sebagai obyek pendidikan, karena itu sikap
untuk dididik dan siap untuk mendidik dimilikinya. Berhasil tidaknya suatu usaha atau
kegiatan banyak tergantung pada jelas tidaklah tujuan. Maka pendidikan yang berlandaskan
pada filsafat hidup bangsa indonesia, yaitu pancasila, yang menjadi pokok dalam pendidikan,
melalui usaha-usaha pendidikan, dalam keluarga, masyarakat, sekolah, dan perguruan tinggi.5

2.3. Perbedaan Teori Antara Nativisme, Empirisme, dan Konvergensi.
Teori-teori ini erat kaitannya dengan teori belajar mengajar yang bersumber dari
aliran-aliran klasik dan merupakan benang merah yang menghubungkan pemikiran-pemikiran
pendidikan masa lalu, kini, dan mungkin yang akan datang. Aliran-aliran itu mewakili
berbagai variasi pendapat tentang pendidikan, mulai dari yang paling pesimis sampai dengan
yang paling optimis.
Aliran yang paling pesimis memandang bahwa pendidikan kurang bermanfaat,
bahkan mungkin merusak bakat yang telah dimiliki anak. Sedang sebaliknya, aliran yang
sangat optimis memandang anak seakan-akan tanah liat yang dapat dibentuk sesuka hati.
Banyak pemikiran yang berada di antara kedua kutub tersebut, yang dipandang sebagai
variasi gagasan dan pemikiran dalam pendidikan.

5 Tirharahardja, Umar dan La Sula. 1996. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
8

Ketiga aliran pendidikan yang disebutkan di atas, juga memiliki keterkaitan erat
dengan petunjuk al-Qur’an tentang masalah fitrah manusia. Karena itulah, maka dapat
dirumuskan bahwa sangat penting untuk dibahas berbagai petunjuk al-Qur’an tentang teori
belajar mengajar dan kaitannya dengan teori nativisme, teori empirisme, dan teori
konvergensi.6
Terdapat perbedaan pandangan tentang teori belajar dalam berbagai aliran-aliran
pendidikan. Perbedaan-perbedaan itu, berpangkal pada berbedanya pandangan tentang
perkembangan manusia yang banyak ditemukan pembahasannya dalam psikologi pendidikan.
Teori-teori belajar dan mengajar yang muara akhirnya adalah perkembangan intelektual, pada
dasarnya dapat dilihat dari berbagai teori yang terdapat dalam tiga aliran pendidikan, yakni
aliran nativisme, aliran empirisme, dan aliran konvergensi.

1. Nativisme
Aliran nativisme berasal dari kata natus (lahir); nativis (pembawaan) yang ajarannya
memandang manusia (anak manusia) sejak lahir telah membawa sesuatu kekuatan yang
disebut potensi (dasar). Aliran nativisme ini, bertolak dari leibnitzian tradition yang
menekankan kemampuan dalam diri anak, sehingga faktor lingkungan, termasuk faktor
pendidikan, kurang berpengaruh terhadap perkembangan anak dalam proses pembelajaran.
Dengan kata lain bahwa aliran nativisme berpandangan segala sesuatunya ditentukan
oleh faktor-faktor yang dibawa sejak lahir, jadi perkembangan individu itu semata-mata
dimungkinkan dan ditentukan oleh dasar turunan, misalnya ; kalau ayahnya pintar, maka
kemungkinan besar anaknya juga pintar. Para penganut aliran nativisme berpandangan bahwa
bayi itu lahir sudah dengan pembawaan baik dan pembawaan buruk. Oleh karena itu, hasil
akhir pendidikan ditentukan oleh pembawaan yang sudah dibawa sejak lahir.
Berdasarkan pandangan ini, maka keberhasilan pendidikan ditentukan oleh anak didik
itu sendiri. Ditekankan bahwa “yang jahat akan menjadi jahat, dan yang baik menjadi baik”.
Pendidikan yang tidak sesuai dengan bakat dan pembawaan anak didik tidak akan berguna
untuk perkembangan anak sendiri dalam proses belajarnya. Bagi nativisme, lingkungan
sekitar tidak ada artinya sebab lingkungan tidak akan berdaya dalam mempengaruhi
perkembangan anak. Penganut pandangan ini menyatakan bahwa jika anak memiliki
6 Feisal, Jusuf Amir. 1995. Reorientasi Pendidikan Islam. Jakarta: Gema Insani Press.

9

pembawaan jahat maka dia akan menjadi jahat, sebaliknya apabila mempunyai pembawaan
baik, maka dia menjadi orang yang baik. Pembawaan buruk dan pembawaan baik ini tidak
dapat dirubah dari kekuatan luar.
Tokoh utama (pelopor) aliran nativisme adalah Arthur Schopenhaur (Jerman 17881860). Tokoh lain seperti J.J. Rousseau seorang ahli filsafat dan pendidikan dari Perancis.
Kedua tokoh ini berpendapat betapa pentingnya inti privasi atau jati diri manusia. Meskipun
dalam keadaan sehari-hari, sering ditemukan anak mirip orang tuanya (secara fisik) dan anak
juga mewarisi bakat-bakat yang ada pada orang tuanya. Tetapi pembawaan itu bukanlah
merupakan satu-satunya faktor yang menentukan perkembangan. Masih banyak faktor yang
dapat memengaruhi pembentukan dan perkembangan anak dalam menuju kedewasaan.7

2. Empirisme
Aliran empirisme, bertentangan dengan paham aliran nativisme. Empirisme (empiri =
pengalaman), tidak mengakui adanya pembawaan atau potensi yang dibawa lahir manusia.
Dengan kata lain bahwa manusia itu lahir dalam keadaan suci, tidak membawa apa-apa.
Karena itu, aliran ini berpandangan bahwa hasil belajar peserta didik besar pengaruhnya pada
faktor lingkungan.
Dalam teori belajar mengajar, maka aliran empirisme bertolak dari Lockean Tradition
yang mementingkan stimulasi eksternal dalam perkembangan peserta didik. Pengalaman
belajar yang diperoleh anak dalam kehidupan sehari-hari didapat dari dunia sekitarnya berupa
stimulan-stimulan. Stimulasi ini berasal dari alam bebas ataupun diciptakan oleh orang
dewasa dalam bentuk program pendidikan.

Tokoh perintis aliran empirisme adalah seorang filosof Inggris bernama John Locke
(1704-1932) yang mengembangkan teori “Tabula Rasa”, yakni anak lahir di dunia bagaikan
kertas putih yang bersih. Pengalaman empirik yang diperoleh dari lingkungan akan
berpengaruh besar dalam menentukan perkembangan anak. Dengan demikian, dipahami
bahwa aliran empirisme ini, seorang pendidik memegang peranan penting terhadap
keberhasilan peserta didiknya.
7 Bertens. 2005. Panorama Filsafat Modern. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

10

Menurut Redja Mudyahardjo bahwa aliran nativisme ini berpandangan behavioral,
karena menjadikan perilaku manusia yang tampak keluar sebagai sasaran kajiannya, dengan
tetap menekankan bahwa perilaku itu terutama sebagai hasil belajar semata-mata. Dengan
demikian dapat dipahami bahwa keberhasilan belajar peserta didik menurut aliran
empirisme ini, adalah lingkungan sekitarnya. Keberhasilan ini disebabkan oleh adanya
kemampuan dari pihak pendidik dalam mengajar mereka.

3. Konvergensi
Aliran konvergensi berasal dari kata konvergen, artinya bersifat menuju satu titik
pertemuan. Aliran ini berpandangan bahwa perkembangan individu itu baik dasar
(bakat, keturunan) maupun lingkungan, kedua-duanya memainkan peranan penting.
Bakat sebagai kemungkinan atau disposisi telah ada pada masing-masing individu, yang
kemudian

karena

pengaruh

lingkungan

yang

sesuai

dengan

kebutuhan

untuk

perkembangannya, maka kemungkinan itu lalu menjadi kenyataan. Akan tetapi bakat saka
tanpa pengaruh lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan perkembangan tersebut, tidak
cukup, misalnya tiap anak manusia yang normal mempunyai bakal untuk berdiri di atas kedua
kakinya, akan tetapi bakat sebagai kemungkinan ini tidak akan menjadi menjadi kenyataan,
jika anak tersebut tidak hidup dalam lingkungan masyarakat manusia.
Perintis aliran konvergensi adalah William Stern (1871-1939), seorang ahli
pendidikan bangsa Jerman yang berpendapat bahwa seorang anak dilahirkan di dunia disertai
pembawaan baik maupun pembawaan buruk. Bakat yang dibawa anak sejak kelahirannya
tidak berkembang dengan baik tanpa adanya dukungan lingkungan yang sesuai untuk
perkembangan bakat itu.8 Jadi seorang anak yang memiliki otak yang cerdas, namun tidak
didukung oleh pendidik yang mengarahkannya, maka kecerdasakan anak tersebut tidak
berkembang. Ini berarti bahwa dalam proses belajar peserta didik tetap memerlukan bantuan
seorang pendidik untuk mendapatkan keberhasilan dalam pembelajaran.
Ketika aliran-aliran pendidikan, yakni nativisme, empirisme dan konvergensi,
dikaitkan dengan teori belajar mengajar kelihatan bahwa kedua aliran yang telah disebutkan
(nativisme-empirisme) mempunyai kelemahan. Adapun kelemahan yang dimaksudkan adalah
sifatnya yang ekslusif dengan cirinya ekstrim berat sebelah. Sedangkan aliran yang terakhir
8 Suryabrata, Sumadi. 1984. Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Rake Press.

11

(konvergensi) pada umumunya diterima seara luas sebagai pandangan yang tepat dalam
memahami tumbuh-kembang seorang peserta didik dalam kegiatan belajarnya. Meskipun
demikian, terdapat variasi pendapat tentang faktor-faktor mana yang paling penting dalam
menentukan tumbuh-kembang itu. Keberhasilan teori belajar mengajar jika dikaitkan dengan
aliran-aliran dalam pendidikan, diketahui beberapa rumusan yang berbeda antara aliran yang
satu dengan aliran lainnya. Menurut aliran nativisme bahwa seorang peserta tidak dapat
dipengaruhi oleh lingkungan, sedangkan menurut aliran empirisme bahwa justru lingkungan
yang mempengaruhi peserta didik tersebut. Selanjutnya menurut aliran konvergensi bahwa
antara lingkungan dan bakat pada peserta didik yang terbawa sejak lahir saling memengaruhi.
Al-Qur’an sebagai acuan dasar pendidikan Islam dalam menerangkan teori belajar
mengajar telah memberikan konsep terhadap pemikiran yang terdapat aliran nativisme,
empirisme dan konvergensi. Dalam hal ini, al-Qur’an menegaskan bahwa pembawaan
seorang anak (peserta didik) sejah lahirnya disebut fitrah, dan fitrah ini adalah dasar
keagamaan yang dimiliki oleh setiap orang. Fitrah menurut al-Qur’an di samping dapat
menerima pengaruh dari dalam (keturunan) juga dapat menerima pengaruh dari luar
(lingkungan). Untuk mengembangkan fitrah ini, maka pendidikan keluarga, sekolah, dan
masyarakat sangat penting peranannya.9

BAB III
PENUTUP
3.1.

Kesimpulan

A.

Hakikat Manusia
Ilmu yang mempelajari tentang hakekat manusia disebut antropologi filsafat.

Antropologi adalah merupakan salah satu dari cabang filsafat yang mempersoalkan tentang
hakekat manusia dan sepanjang sejarahnya manusia selalu mempertanyakan tentang dirinya,
apakah ia sedang sendirian, yang kemudian menjadi perenungan tentang kegelisahan dirinya,
ataukah ia sedang dalam dinamika masyarakat dengan mempertanyakan tentang makna
hidupnya ditengan dinamika perubahan yang kompleks.
9 Asy’ari, Musa. 1999. Filsafat Islam. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

12

B. Pandangan Aliran Filsafat Terhadap Hakikat Manusia
Ada empat aliran yang dikemukakan yaitu : aliran serba zat, aliran serba ruh, aliran
dualisme, aliran eksistensialisme.
C. Ada 3 teori yang muncul saat membahas tentang peninjauan manusia dari sudut pandang
filsafat pendidikan, yaitu Teori Antara Nativisme, Empirisme, dan Konvergensi.

3.2.

Saran
Dalam makalah ini penulis menyarankan kepada para pembaca untuk mempelajari

tentang tinjauan manusia dari sudut pandang filsafat pendidikan secara lebih dalam, dengan
begitu dapat menambah wawasan kita dalam mengetahui tentang bagaimana hubungan antara
filsafat pendidikan terhadap praktis pendidikan. Dengan ini kita dapat lebih membangun
kualitas pendidikan Indonesia secara umum, juga Aceh secara khusus. Dalam makalah ini
masih terdapat banyak kekurangan dan kesalahan, kritik dari pembca sangat kami harapkan
demi untuk memperbaiki kesalahan yang ada.

DAFTAR PUSTAKA

Asy’ari, Musa. 1999. Filsafat Islam. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Bertens. 2005. Panorama Filsafat Modern. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Daradjat, Zakiah. 1996. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta : Bumi Akrasa.
Feisal, Jusuf Amir. 1995. Reorientasi Pendidikan Islam. Jakarta: Gema Insani Press.
Mudyahardjo, Redja. 2002. Pengantar Pendidikan; Sebuah Studi Awal tentang Dasar-dasar
Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Oneil, William. 2002. Hakikat-hakikat Filsafat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sudarto. 2002. Metodologi Filsafat Pendidikan. Jakarta: Rajawali Press

13

Suryabrata, Sumadi. 1984. Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Rake Press.
Tirharahardja, Umar dan La Sula. 1996. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

14