BAB II KAJIAN TEORI A. KAJIAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan tentang Konservasi dalam Lingkungan Hidup. - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kebijakan Reklamasi Pantai di Teluk Benoa Provinsi Bali: Studi terhadap Peraturan Presiden Repub

BAB II KAJIAN TEORI A. KAJIAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan tentang Konservasi dalam Lingkungan Hidup.

2.1.1. Pengertian Konservasi.

  Menurut kamus Oxford, kata konservasi berasal dari to conserve, yang berarti: (i) to

  

use as little of something as possible so that it last long (menggunakan sesuatu sedikit mungkin

  sehingga ia dapat bertahan lama), (ii) to protect something and prevent it from being changed

  

or destroyed (melindungi sesuatu dan mencegahnya dari perubahan dan kerusakan). Dalam

  pengertian yang pertama, Konservasi berarti Penghematan. Pengertian ini dipakai dalam istilah konservasi air (water conservation). Tumbuh-tumbuhan di daerah melakukan adaptasi morfologis dan fisiologis untuk mengkonservasi air, alias menghemat air. Pengertian kedua memiliki arti yang serupa dengan perlindungan. Menurut The Harper Collins dictionary of environmental science, conservation: the management, protection and preservation of natural

  

resources and environment. Dalam pengertian ini, Konservasi mencakup arti yang luas,

  1 mencakup pengelolaan, perlindungan dan pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan.

  Konservasi adalah pelestarian atau Secara harfiah, konservasi berasal dari

  2

  bahasa Inggris, (Inggris) Conservation yang artinya pelestarian atau perlindungan. Sedangkan menurut produksi, transmisi, atau distribusi yang berakibat pada pengurangan konsumsi energi di lain pihak menyediakan jasa yang sama tingkatannya. (b) Upaya perlindungan dan pengelolaan yang hati-hati terhadap lingkungan dan sumber daya alam; (c) (fisik) Pengelolaan terhadap kuantitas tertentu yang stabil sepanjang reaksi kimia atau transformasi fisik; (d) Upaya suaka dan perlindungan jangka panjang terhadap lingkungan; (e) Suatu keyakinan bahwa habitat alami dari suatu wilayah dapat dikelola, sementara keaneka-ragaman genetik dari spesies dapat

  3

  berlangsung dengan mempertahankan lingkungan alaminya. Konservasi diartikan sebagai upaya pengelolaan sumber daya alam secara bijaksana dengan berpedoman pada asas pelestarian. Sumber daya alam adalah unsur-unsur hayati yang terdiri dari sumber daya alam nabati (tumbuhan) dan sumber daya alam hewani (satwa) dengan unsur non hayati di sekitarnya

  4

  yang secara keseluruhan membentuk ekosistem. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Konservasi Sumber Daya Alam adalah pengelolaan sumber daya alam (hayati) dengan pemanfaatannya secara bijaksana dan menjamin kesinambungan persediaan dengan tetap

  5

  memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keragamannya. Pengertian Konservasi Sumber Daya Alam menurut Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Konservasi Sumber Daya Alam Hayati adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediannya dengan tetap

  6

  memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Dan Pengertian Konservasi sumber daya alam dijelaskan juga menurut Pasal 1 Angka 18 Undang-Undang

  3 4 dikunjungi pada tanggal 25 Juli 2017 pukul 14.08. 5 KEHATI, Materi Kursus Inventarisasi flora dan fauna Taman Nasional Meru Betiri, Malang, 2000, hal. 8.

  

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, 2005 cet. 3, hal. 589. Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Konservasi Sumber Daya Alam adalah Pengelolaan sumber daya alam untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana serta kesinambungan ketersediaannya dengan tetap

  7 memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya.

  2.1.2. Sasaran Konservasi.

  Berhasilnya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya berkaitan erat dengan tercapainya tiga sasaran konservasi yaitu: (a) Menjamin terpeliharanya proses ekologis yang menunjang sistem penyangga kehidupan bagi kelangsungan pembangunan dan kesejahteraan manusia (perlindungan sistem penyangga kehidupan). (b) Menjamin terpeliharanya keanekaragaman sumber genetik dan tipe-tipe ekosistemnya sehingga mampu menunjang pembangunan, ilmu pengetahuan dan teknologi yang memungkinkan pemenuhan kebutuhan manusia yang menggunakan sumber daya alam hayati bagi kesejahteraan. (c) Mengendalikan cara-cara pemanfaatan sumber daya alam hayati sehingga terjamin kelestariannya. Akibat sampingan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kurang bijaksana, belum harmonisnya penggunaan dan peruntukan tanah serta belum berhasilnya sasaran konservasi secara optimal, baik di darat maupun di perairan dapat mengakibatkan timbulnya gejala erosi, polusi dan penurunan potensi sumber daya alam hayati (pemanfaatan

  8 secara lestari).

  2.1.3. Tujuan dan Manfaat Konservasi.

  7 Pasal 1 Angka 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan

  Secara hukum tujuan konservasi tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yaitu bertujuan mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat

  9

  dan mutu kehidupan manusia. Selain tujuan yang tertera di atas tindakan konservasi mengandung tujuan: (a) Preservasi yang berarti proteksi atau perlindungan sumber daya alam terhadap eksploitasi komersial, untuk memperpanjang pemanfaatannya bagi keperluan studi, rekreasi dan tata guna air; (b) Pemulihan atau restorasi, yaitu koreksi kesalahan-kesalahan masa lalu yang telah membahayakan produktivitas pengkalan sumber daya alam; (c) Penggunaan yang seefisien mungkin. Misal teknologi makanan harus memanfaatkan sebaik-baiknya biji rambutan, biji mangga, biji salak dan lain-lainnya yang sebetulnya berisi bahan organik yang dapat diolah menjadi bahan makanan; (d) Penggunaan kembali (recycling) bahan limbah buangan dari pabrik, rumah tangga, instalasi-instalasi air minum dan lain-lainnya. Penanganan sampah secara modern masih ditunggu-tunggu; (e) Mencarikan pengganti sumber alam yang sepadan bagi sumber yang telah menipis atau habis sama sekali. Tenaga nuklir menggantikan minyak bumi; (f) Penentuan lokasi yang paling tepat guna. Cara terbaik dalam pemilihan sumber daya alam untuk dapat dimanfaatkan secara optimal, misalnya pembuatan waduk yang serbaguna di Jatiluhur, Karangkates, Wonogiri, Sigura-gura; (g) Integrasi, yang berarti bahwa dalam pengelolaan sumber daya diperpadukan berbagai kepentingan sehingga tidak terjadi pemborosan, atau yang satu merugikan yang lain. Misalnya, pemanfaatan mata air untuk suatu

  10

  kota tidak harus mengorbankan kepentingan pengairan untuk persawahan. Sumber daya alam flora fauna dan ekosistemnya memiliki fungsi dan manfaat serta berperan penting sebagai unsur pembentuk lingkungan hidup yang kehadirannya tidak dapat digantikan. Tindakan tidak bertanggungjawab akan mengakibatkan kerusakan, bahkan kepunahan flora fauna dan ekosistemnya. Kerusakan ini menimbulkan kerugian besar yang tidak dapat dinilai dengan materi, sementara itu pemulihannya tidak mungkin lagi. Oleh karena itu sumber daya tersebut merupakan modal dasar bagi kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia harus dilindungi, dipelihara, dilestarikan dan dimanfaatkan secara optimal sesuai dengan batasbats terjaminnya keserasian, keselarasan dan keseimbangan. Pada dasarnya konservasi merupakan suatu perlindungan terhadap alam dan makhluk hidup lainnya. Sesuatu yang mendapat perlindungan maka dengan sendiri akan terwujud kelestarian Manfaat-manfaat konservasi diwujudkan dengan: (a) Terjaganya kondisi alam dan lingkungannya, berarti upaya konservasi dilakukan dengan memelihara agar kawasan konservasi tidak rusak; (b) Terhindarnya bencana akibat perubahan alam, yang berarti gangguan-gangguan terhadap flora fauna dan ekosistemnya pada khususnya serta sumber daya alam pada umumnya menyebabkan perubahan berupa kerusakan maupun penurunan jumlah dan mutu sumber daya alam tersebut; (c) Terhindarnya makhluk hidup dari kepunahan, berarti jika gangguan-gangguan penyebab turunnya jumlah dan mutu makhluk hidup terus dibiarkan tanpa upaya pengendalian akan berakibat makhluk hidup tersebut menuju kepunahan bahkan punah sama sekali; (d) Mampu mewujudkan keseimbangan lingkungan baik mikro maupun makro, berarti dalam ekosistem terdapat hubungan yang erat antara makhluk hidup maupun dengan lingkungannya; (e) Mampu memberi kontribusi terhadap ilmu pengetahuan, berarti upaya konservasi sebagai sarana pengawetan dan pelestarian flora fauna merupakan penunjang budidaya, sarana untuk mempelajari flora fauna yang sudah punah maupun belum punah dari sifat, potensi maupun penggunaannya; (f) Mampu memberi kontribusi terhadap kepariwisataan, berarti ciri-ciri dan

obyeknya yang karakteristik merupakan kawasan ideal sebagai saran rekreasi atau wisata

  11 alam.

2.1.4. Strategi Konservasi.

  Strategi pelestarian nasional memberi ringkasan mengenai sumber daya alam terpulihkan dari negara tersebut yang berkenaan dengan ekosistem, sumber daya genetik, sistem produksi alami (hutan margasatwa, perikanan) hidrologi dan kawasan tangkapan air, ciri-ciri estetika dan geologi, situs budaya dan potensi rekreasi. Juga perlu diidentifikasi bagaimana suatu bangsa ingin menggunakan sumber daya alamnya serta pola desain tata guna lahan yang akan tetap menjaga ketersediaan sumber daya alam secara umum memaksimalkan manfaat jangka panjang dalam batas-batas yang ditentukan oleh kebutuhan spesifik negara tersebut, seperti ruang untuk hidup, lahan pertanian, hasil hutan, ikan, energi dan industri.

  Strategi ini biasanya berupa keputusan untuk menetapkan atau mempertahankan suatu sistem nasional kawasan yang dilindungi, lebih disukai bila mencakup beberapa kategori kawasan dengan tujuan pengelolaan yang berbeda. Strategi Konservasi nasional yaitu: (a) Perlindungan Sistem Penyangga Kehidupan Berdasarkan fungsi utama kawasan dalam penataan ruang, maka kawasan hutan lindung, kawasan bergambut, kawasan resapan air, sempadan pantai, sempadan sungai, kawasan sekitar danau atau waduk, kawasan sekitar mata air, kawasan suaka alam, hutan bakau, taman nasional, cagar alam, taman wisata alam dan kawasan rawan bencana alam termasuk dalam kawasan lindung yang keberadaannya perlu dijaga dan di lindungi. Usaha- usaha dalam tindakan perlindungan sistem penyangga kehidupan, antara lain: (i) Perlindungan daerah-daerah pegunungan yang berlereng curam dan mudah terjadi erosi dengan membentuk hutan-hutan dilindungi; (ii) Perlindungan wilayah pantai dengan pengelolaan yang terkendali bagi daerah hutan bakau dan hutan pantai serta daerah hamparan karang; (iii) Perlindungan daerah aliran sungai, lereng perbukitan dan tepi sungai, danau dan ngarai (revine) dengan pengelolaan yang terkendali terhadap vegetasi; (iv) Pengembangan daerah aliran sungai sesuai dengan rencana pengembangan secara menyeluruh; (v) Perlindungan daerah hutan luas misalnya dijadikan taman nasional, suaka marga satwa dan cagar alam; (vi) Perlindungan tempat-tempat yang mempunyai nilai unik, keindahan yang menarik atau memiliki ciri khas budaya (cagar budaya); (vii) Mengadakan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)

  12

  sebagai suatu syarat mutlak untuk melaksanakan semua rencana pembangunan. (b) Pengawetan keanekaragaman jenis flora fauna beserta ekosistemnya Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa dilakukan dengan cara menetapkan jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi. Perlindungan terhadap ekosistem dilakukan dengan cara penetapan kawasan suaka alam. (c) Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistem. Sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menigkatkan mutu kehidupan manusia. Pemanfaatan secara lestari dilakukan melalui kegiatan: (i) Pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam secara nonkonsumtif seperti pariwisata, penelitian, pendidikan dan pemantauan lingkungan; (ii) Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar antara lain dengan pengembangan perikanan, kehutanan dan pemunguntan hasil hutan secara lestari, pengaturan perdagangan flora fauna melalui peraturan dan pengawasan dalam menentukan jatah (quota) dan perijinan, memajukan bududaya dan perbaikan selektif (permuliaan) semua jenis yang mempunyai nilai langsung

  13 bagi manusia.

2.1.5. Cara-cara Konservasi.

  Kekayaan flora fauna merupakan potensi yang dapat dimanfaatkan sampai batas-batas tertentu yang tidak mengganggu kelestarian. Penurunan jumlah dan mutu kehidupan flora fauna dikendalikan melalui kegiatan konservasi secara insitu maupun eksitu. (a) Konservasi

  

insitu (di dalam kawasan) adalah konservasi flora fauna dan ekosistem yang dilakukan di dalam

habitat aslinya agar tetap utuh dan segala proses kehidupan yang terjadi berjalan secara alami.

  Kegiatan ini meliputi perlindungan contoh-contoh perwakilan ekosistem darat dan laut beserta flora fauna di dalamnya. Konservasi insitu dilakukan dalam bentuk kawasan suaka alam (cagar alam, suaka marga satwa), zona inti taman nasional dan hutan lindung. Tujuan konservasi insitu untuk menjaga keutuhan dan keaslian jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya secara alami melalui proses evolusinya. Perluasan kawasan sangat dibutuhkan dalam upaya memelihara proses ekologi yang esensial, menunjang sistem penyangga kehidupan, mempertahankan keanekaragaman genetik dan menjamin pemanfaatan jenis secara lestari dan berkelanjutan. (b) Konservasi eksitu (di luar kawasan) adalah upaya konservasi yang dilakukan dengan menjaga dan mengembangbiakkan jenis tumbuhan dan satwa di luar habitat alaminya dengan cara pengumpulan jenis, pemeliharaaan dan budidaya (penangkaran). Konservasi

  

eksitu dilakukan pada tempat-tempat seperti kebun binatang, kebun botani, taman hutan raya,

  kebun raya, penangkaran satwa, taman safari, taman kota dan taman burung. Cara eksitu merupakan suatu cara memanipulasi obyek yang dilestarikan untuk dimanfaatkan dalam upaya pengkayaan jenis, terutama yang hampir mengalami kepunahan dan bersifat unik. Cara konservasi eksitu dianggap sulit dilaksanakan dengan keberhasilan tinggi disebabkan jenis yang dominan terhadap kehidupan alaminya sulit berdaptasi dengan lingkungan buatan. (c) Regulasi dan penegakan hukum adalah upaya-upaya mengatur pemanfaatan flora dan fauna secara bertanggung jawab. Kegiatan kongkritnya berupa pengawasan lalu lintas flora dan fauna, penetapan quota dan penegakan hukum serta pembuatan Peraturan dan pembuatan untuk meningkatkan kepedulian masyarakat dalam konservasi sumber daya alam hayati. Program ini dilaksanakan melalui kegiatan pendidikan dan penyuluhan. Dalam hubungan ini dikenal adanya kelompok pecinta alam, kader konservasi, kelompok pelestari sumber daya

  14 alam, LSM dan lain-lainnya.

2.1.6. Sejarah Konservasi di Indonesia.

  Konservasi sumber daya alam hayati di Indonesia dimulai dengan peraturan mengenai kehutanan di Jawa dan Madura, yaitu dengan ditetapkannya Reglement op het beheer en de

  

exploitatie der houtbossen op Java en Madoera pada tahun 1865. Peraturan ini diganti dengan

  suatu boschreglement yang baru pada tahun 1874. Pada tahun 1897 diagnti lagi dengan

  

Reglement voor het den dienst van het Boschwezen op Java en Madoera , keduanya berlaku

  sampai tahun 1913. Adapun yang dipakai sebagai landasan kerja Jawatan Kehutanan adalah yang ditetapkan pada tahun 1927, yaitu Reglement voor het beheer der bosschen van den Lande

  

op Jawa en Madoera , yang dikenal juga sebagai Boschordonnantie voor Jawa en Madoera

1927.

  Untuk hutan di luar Jawa dan Madura pada waktu itu tidak ada peraturannya. Pada permulaan tahun 1937 telah diajukan Rancangan Boschordonnantie Buitengewesten kepada Volksraad, akan tetapi sampai pecah Perang Dunia ke-II, rancangan tersebut belum selesai dibicarakan. Ordonansi yang penting di bidang perlindungan satwa adalah yang berlaku sejak tanggal 1 Juli 1931 untuk seluruh wilayah

  Dierenbeschermingsordonnantie

  Hindia Belanda (Indonesia ). Berdekatan dengan ordonansi ini adalah peraturan tentang perburuan, yaitu Jachtordonnantir 1931 dan Jachtordonnantie Java en Madoera 1940.

  Ordonansi yang mengatur perlindungan alam adalah Natuurbeschermingsordonnantie 1941.

  Ordonansi ini mencabut ordonansi yang mengatur cagar-cagar alam dan suaka-suaka margasatwa, yaitu Natuurmonumenten en Wildreservatenordonnantie 1932 dan menggantikannya dengan Natuurbeschermingsordonnantie 1941 tersebut.

  Ordonansi tersebut dikeluarkan untuk melindungi kekayaan alam di Hindia Belanda (Indonesia). Peraturan-Peraturan yang tercantum di dalamnya berlaku terhadap suaka-suaka alam atau Natuurmonumenten, dengan perbedaan atas suaka-suaka margasatwa dan cagar- cagar alam. Keempat ordonansi tersebut di atas, yaitu Dierenbeschermingsordonnantie 1931, Jachtordonnantie 1931, Jachtordonnantie Java en Madoera 1940, dan Natuurbeschermingsordonnantie 1941 dicabut berlakunya dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan

  15 Ekosistemnya, yang diundangkan pada tanggal 10 Agustus 1990.

  Penjelasan Umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tersebut di antaranya menyatakan bahwa Bangsa Indonesia dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa kekayaan berupa sumber daya alam yang berlimpah, baik di darat, di perairan maupun di udara yang merupakan modal dasar pembangunan nasional di segala bidang. Modal dasar sumber daya alam tersebut harus dilindungi, dipelihara, dilestarikan, dan dimanfaatkan secara optimal bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia pada khususnya dan mutu kehidupan manusia pada umumnya menurut cara yang menjamin keserasian, keselarasan dan keseimbangan, baik antara manusia dengan Tuhan penciptanya, antara manusia dengan masyarakat maupun antara manusia dengan ekosistemnya. Oleh karena itu, pengelolaan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya sebagai bagian dari modal dasar tersebut pada hakikatnya merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang berkelanjutan sebagai pengamalan Pancasila. Sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan bagian terpenting dari sumber daya alam yang terdiri dari alam hewani, alam nabati ataupun berupa fenomena alam, baik secara masing- masing maupun bersama-sama mempunyai fungsi dan manfaat sebagai unsur pembentuk lingkungan hidup, yang kehadirannya tidak dapat diganti. Mengingat sifatnya yang tidak dapat diganti dan mempunyai kedudukan serta peranan penting bagi kehidupan manusia, maka upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya adalah menjadi kewajiban mutlak dari tiap generasi. Tindakan yang tidak bertanggung jawab yang dapat menimbulkan kerusakan pada kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam ataupun tindakan yang melanggar ketentuan tentang perlindungan tumbuhan dan satwa yang dilindungi, diancam dengan pidana yang berat berupa pidana badan dan denda. Pidana yang berat tersebut dipandang perlu karena kerusakan atau kepunahan salah satu unsur sumber daya alam hayati dan ekosistemnya akan mengakibatkan kerugian besar bagi masyarakat yang tidak dapat dinilai dengan materi, sedangkan pemulihannya kepada keadaan semula tidak mungkin lagi. Oleh karena sifatnya yang luas dan menyangkut kepentingan masyarakat secara keseluruhan, maka upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan tanggung jawab dan kewajiban Pemerintah serta masyarakat. Peran serta rakyat akan diarahkan dan digerakkan oleh Pemerintah melalui kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna. Untuk itu, Pemerintah berkewajiban meningkatkan pendidikan dan penyuluhan bagi masyarakat dalam rangka sadar konservasi.

  Berhasilnya Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya berkaitan erat dengan tercapainya tiga sasaran konservasi, yaitu: (a) Menjamin terpeliharanya proses ekologis yang menunjang sistem penyangga kehidupan bagi kelangsungan pembangunan dan kesejahteraan manusia (perlindungan sistem penyangga kehidupan); (b) menjamin terpeliharanya keanekaragaman sumber genetik dan tipe-tipe ekosistemnya sehingga mampu kebutuhan manusia yang menggunakan sumber daya alam hayati bagi kesejahteraan (pengawetan sumber plasma nutfah); (c) mengendalikan cara-cara pemanfaatan sumber daya alam hayati sehingga terjamin kelestariannya. Akibat sampingan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kurang bijaksana, belum harmonisnya penggunaan dan peruntukan tanah serta belum berhasilnya sasaran konservasi secara optimal, baik di darat maupun perairan, dapat mengakibatkan timbulnya gejala erosi genetik, polusi, dan penurunan potensi sumber daya alam hayati (pemanfaatan secara lestari).

  Mengingat Negara Republik Indonesia adalah negara berdasar atas hukum, maka pengelolaan konservasi sumber daya alam hayati beserta ekosistemnya perlu diberi dasar hukum yang jelas, tegas, dan menyeluruh guna menjamin kepastian hukum bagi usaha pengelolaan tersebut. Dewasa ini kenyataan menunjukkan bahwa peraturan perundang- undangan yang mengatur konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang bersifat nasional belum ada. Peraturan perundan-gundangan warisan pemerintah kolonial yang beraneka ragam coraknya, sudah tidak sesuai lagi dengan tingkat perkembangan hukum dan kebutuhan bangsa Indonesia. Perubahan-perubahan yang menyangkut aspek-aspek pemerintahan, perkembangan kependudukan, ilmu pengetahuan, dan tuntutan keberhasilan pembangunan pada saat ini menghendaki Peraturan Perundang-undangan di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang bersifat nasional sesuai dengan aspirasi bangsa Indonesia. Upaya pemanfaatan secara lestari sebagai salah satu aspek konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, belum sepenuhnya dikembangkan sesuai dengan kebutuhan. Demikian pula pengelolaan kawasan pelestarian alam dalam bentuk taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam, yang menyatukan fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, dan pemanfaatan secara lestari. Peraturan Perundang-undangan yang bersifat seperti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1967 Tentang Ketentuan- Ketentuan Pokok Kehutanan, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup yang telah mengalami Perubahan menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1988, dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan belum mengatur secara lengkap dan belum sepenuhnya dapat dipakai sebagai dasar hukum untuk pengaturan lebih lanjut. Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang bersifat nasional dan menyeluruh sangat diperlukan sebagai dasar hukum untuk mengatur perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, dan pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya agar dapat menjamin pemanfaatannya bagi kesejahteraan masyarakat

  16 dan peningkatan mutu kehidupan manusia.

  

2.2. Pengaturan (Regulasi) tentang berbagai Ketentuan yang mengatur

tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya; dan

Kebijakan Strategis Nasional dalam Penataan Ruang secara Nasional dan

Daerah.

2.2.1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

  Pasal 18 ayat (1) berbunyi Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah- daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan Undang- Undang.

  Pasal 18 ayat (2) berbunyi Pemerintahan Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten, dan Kota mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan menurut Asas Otonomi dan Tugas Pembantuan.

  Pasal 18 ayat (3) berbunyi Pemerintahan Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten, dan Kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.

  Pasal 18 ayat (4) berbunyi Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis. Pasal 18 ayat (5) berbunyi Pemerintah Daerah menjalankan Otonomi seluas-luasnya, kecuali Urusan Pemerintahan yang oleh Undang-Undang ditentukan sebagai Urusan Pemerintah Pusat.

  Pasal 18 ayat (6) berbunyi Pemerintahan Daerah berhak menetapkan Peraturan Daerah dan Peraturan-Peraturan lain untuk melaksanakan Otonomi dan Tugas Pembantuan. Pasal 18 ayat (7) berbunyi Susunan dan Tata Cara Penyelenggaraan Pemerintahan

17 Daerah diatur dalam Undang-Undang.

  Pasal 18A ayat (1) berbunyi Hubungan Wewenang antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota atau antara Provinsi dan Kabupaten dan Kota, diatur dengan Undang-Undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman Daerah. Pasal 18A ayat (2) berbunyi Hubungan Keuangan, Pelayanan Umum, Pemanfatan Sumber Daya Alam dan Sumber Daya lainnya antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan

  18 Daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan Undang-Undang.

  Pasal 18B ayat (1) berbunyi Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan Pemerintahan Daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang- Undang. Pasal 18B ayat (2) berbunyi Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur

  19 dalam Undang-Undang.

2.2.2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

  41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.

  Undang-Undang Kehutanan ini diundangkan pada tanggal 24 Mei 1967. Undang- Undang ini telah mengalami beberapa perubahan berhubung semakin penting akan pengawasan hutan dan pelestarian dalam perkembangan hidup di zaman modern ini.

  Pasal 1 Angka 9 berbunyi Hutan Konservasi adalah Kawasan Hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa

  20 serta ekosistemnya.

  Pasal 6 ayat (1) berbunyi Hutan mempunyai tiga fungsi, yaitu: (a) Fungsi Konservasi; (b) Fungsi Lindung, dan; (c) Fungsi Produksi. Pasal 6 ayat (2) berbunyi Pemerintah menetapkan Hutan berdasarkan Fungsi Pokok

  21 sebagai berikut: (a) Hutan Konservasi; (b) Hutan Lindung, dan; (c) Hutan Produksi.

  Pasal 7 berbunyi Hutan Konservasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf a terdiri dari: a) Kawasan Hutan Suaka Alam; b) Kawasan Hutan Pelestarian Alam, dan; c)

22 Taman Buru.

  Pasal 8 ayat (1) berbunyi Pemerintah dapat menetapkan Kawasan Hutan tertentu untuk tujuan khusus. Pasal 8 ayat (2) Penetapan kawasan hutan dengan tujuan khusus, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperlukan untuk kepentingan umum seperti: a) penelitian dan pengembangan; b) pendidikan dan latihan, dan; c) religi dan budaya.

  Pasal 8 ayat (3) Kawasan Hutan dengan tujuan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat

  23 (1), tidak mengubah Fungsi Pokok Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.

  20 Pasal 1 Angka 9 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan (Lembaran 21 Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167).

  Perhatikan Penjelasan Pasal 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang 22 Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167).

  Perhatikan Penjelasan Pasal 7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang

2.2.3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

  Undang-Undang ini diundangkan pada tanggal 11 Maret 1982, selanjutnya disingkat UULH (Undang-Undang Lingkungan Hidup).

  Pasal 2 berbunyi Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dilaksanakan berdasarkan asas: a) tanggung jawab negara; b) kelestarian dan keberlanjutan; c) keserasian dan keseimbangan; d) keterpaduan; e) manfaat; f) kehati-hatian; g) keadilan; h) ekoregion; i) keanekaragaman hayati; j) pencemar membayar; k) partisipatif; l) kearifan lokal; m) tata kelola

  24 pemerintahan yang baik; dan n) otonomi daerah.

  Pasal 3 berbunyi Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup bertujuan: a) melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup; b) menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia; c) menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem; d) menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup; e) mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup; f) menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan; g) menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia; h) mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana; i)

  25 mewujudkan pembangunan berkelanjutan; dan j) mengantisipasi isu lingkungan global.

  Pasal 57 ayat (1) berbunyi Pemeliharaan Lingkungan Hidup dilakukan melalui upaya: a) Konservasi Sumber Daya Alam; b) Pencadangan Sumber Daya Alam; dan/atau c) Pelestarian Fungsi Atmosfer.

  24 Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059).

  Pasal 57 ayat (2) berbunyi Konservasi Sumber Daya Alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi kegiatan: a) Perlindungan Sumber Daya Alam; b) Pengawetan Sumber Daya Alam; dan c) Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam.

  Pasal 57 ayat (3) berbunyi Pencadangan Sumber Daya Alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan Sumber Daya Alam yang tidak dapat dikelola dalam jangka waktu tertentu.

  Pasal 57 ayat (4) berbunyi Pelestarian Fungsi Atmosfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi: a) Upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim; b) Upaya Perlindungan

  26 lapisan ozon; dan c) Upaya Perlindungan terhadap hujan asam.

2.2.4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

  Undang-Undang ini yang selanjutnya disebut Undang-Undang Konservasi Hayati (UUKH), diundangkan pada tanggal 10 Agustus 1990. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Penulis mendefinisikan Konsiderans (Pertimbangan) dalam UUKH bahwa Sumber Daya Alam Hayati Indonesia dan Ekosistemnya; serta Unsur-unsur Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang mempunya kedudukan serta peranan penting bagi kehidupan adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa, dimana pada dasarnya saling tergantung antara satu dengan yang lainnya dan saling mempengaruhi sehingga kerusakan dan kepunahan salah satu unsur akan berakibat terganggunya ekosistem, oleh karena itu perlu dikelola dan dimanfaatkan secara lestari, selaras, serasi dan seimbang serta terpelihara dengan sebaik- baiknya bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia pada khususnya dan umat manusia pada umumnya, baik masa kini maupun masa depan. Dalam hal ini, Penulis memaparkan aturan atau ketentuan yang mengatur tentang pemanfaatan, pelestarian, pengawetan dan perlindungan Konservasi Sumber Daya Alam Hayati sebagai berikut:

  Pasal 1 Angka 2 berbunyi bahwa Konservasi Sumber Daya Alam Hayati adalah Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan

  27 kualitas keanekaragaman dan nilainya.

  Pasal 2 berbunyi bahwa Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya berasaskan Pelestarian Kemampuan dan Pemantapan Sumber Daya Alam Hayati dan

28 Ekosistemnya secara serasi dan seimbang

  Pasal 3 berbunyi bahwa Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya bertujuan mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan

  29 masyarakat dan mutu kehidupan manusia.

  Pasal 5 berbunyi Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan: a) Perlindungan Sistem Penyangga Kehidupan; b) Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; c) Pemanfaatan secara

  30 lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

2.2.5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

  27 Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan 28 Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419).

  

Perhatikan Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi

Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, 29 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419).

  

Perhatikan Penjelasan Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi

Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419).

  Pasal 4 berbunyi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dilaksanakan dengan tujuan: (a) melindungi, mengonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan memperkaya Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta sistem ekologisnya secara berkelanjutan; (b) menciptakan keharmonisan dan sinergi antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; (c) memperkuat peran serta masyarakat dan lembaga pemerintah serta mendorong inisiatif masyarakat dalam pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil agar tercapai keadilan, keseimbangan, dan keberkelanjutan; dan d) meningkatkan nilai sosial, ekonomi, dan budaya Masyarakat melalui peran serta masyarakat dalam Pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau

31 Kecil.

  Pasal 23 ayat (1) berbunyi Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan perairan di sekitarnya dilakukan berdasarkan kesatuan ekologis dan ekonomis secara menyeluruh dan terpadu dengan pulau besar di dekatnya.

  Pasal 23 ayat (2) berbunyi Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan perairan di sekitarnya diprioritaskan untuk salah satu atau lebih kepentingan berikut: (a) konservasi; (b) pendidikan dan pelatihan; (c) penelitian dan pengembangan; (d) budidaya laut; (e) pariwisata; (f) usaha perikanan dan kelautan dan industri perikanan secara lestari; (g) pertanian organik; dan/atau; (h) peternakan.

  Pasal 23 ayat (3) berbunyi kecuali untuk tujuan konservasi, pendidikan dan pelatihan, serta penelitian dan pengembangan, Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan perairan di sekitarnya wajib: (a) memenuhi persyaratan pengelolaan lingkungan; (b) memperhatikan kemampuan sistem tata air setempat; serta c) menggunakan teknologi yang ramah lingkungan.

  Pasal 23 ayat (4) berbunyi Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan perairan di sekitarnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan memenuhi persyaratan pada ayat (3) wajib mempunyai HP-3 yang diterbitkan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya.

  Pasal 23 ayat (5) berbunyi Untuk pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan perairan di sekitarnya yang telah digunakan untuk kepentingan kehidupan Masyarakat, Pemerintah atau Pemerintah Daerah menerbitkan HP-3 setelah melakukan musyawarah dengan Masyarakat

  32 yang bersangkutan.

  Pasal 28 ayat (1) berbunyi Konservasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil diselenggarakan untuk: (a) menjaga kelestarian Ekosistem Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; (b) melindungi alur migrasi ikan dan biota laut lain; (c) melindungi habitat biota laut; dan d) melindungi situs budaya tradisional.

  Pasal 28 ayat (2) berbunyi Untuk kepentingan konservasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sebagian Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dapat ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi.

  Pasal 28 ayat (3) berbunyi Kawasan Konservasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang mempunyai ciri khas sebagai satu kesatuan Ekosistem diselenggarakan untuk melindungi: (a) sumber daya ikan; (b) tempat persinggahan dan/atau alur migrasi biota laut lain; (c) wilayah yang diatur oleh adat tertentu, seperti sasi, ma mane'e, panglima laot, awig-awig, dan/atau istilah lain adat tertentu; dan (d) ekosistem pesisir yang unik dan/atau rentan terhadap

  33 perubahan.

  32 Pasal 23 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739).

  2.2.6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang.

  Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang merupakan Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang.

  Undang-Undang tersebut selanjutnya disingkat UU Penataan Ruang atau UU Tata Ruang.

  Pasal 2 berbunyi Dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, penataan ruang diselenggarakan berdasarkan asas: (a) keterpaduan; (b) keserasian, keselarasan, dan keseimbangan; (c) keberlanjutan; (d) keberdayagunaan dan keberhasilgunaan; (e) keterbukaan; (f) kebersamaan dan kemitraan; (g) pelindungan kepentingan umum; (h) kepastian hukum dan

  34 keadilan; dan (i) akuntabilitas.

  2.2.7. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Perubahan

Kedua Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang

Pemerintahan Daerah.

  Pasal 57 berbunyi Penyelenggara Pemerintahan Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota terdiri atas Kepala Daerah dan DPRD dibantu oleh Perangkat Daerah. Pasal 58 berbunyi Penyelenggara Pemerintahan Daerah, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57, dalam menyelenggarakan Pemerintahan Daerah berpedoman pada Asas Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang terdiri atas: (a) kepastian hukum; (b) tertib penyelenggara negara; (c) kepentingan umum; (d) keterbukaan; (e) proporsionalitas; (f)

  35 profesionalitas; (g) akuntabilitas; (h) efisiensi; (i) efektivitas; dan (j) keadilan.

  34 Perhatikan Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik 35 Indonesia Nomor 4725).

  Perhatikan Penjelasan Pasal 58 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2015 Tentang

  2.2.8. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulan Bencana.

  Pasal 5 berbunyi bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjadi penanggung jawab

  36 dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana.

  Pasal 6 berbunyi bahwa Tanggung jawab Pemerintah dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana meliputi: (a) pengurangan risiko bencana dan pemaduan pengurangan risiko bencana dengan program pembangunan; (b) pelindungan masyarakat dari dampak bencana; (c) penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana secara adil dan sesuai dengan standar pelayanan minimum; (d) pemulihan kondisi dari dampak bencana; (e) pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam anggaran pendapatan dan belanja negara yang memadai; (f) pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam bentuk dana siap pakai; dan (g) pemeliharaan arsip/dokumen otentik dan

  37 kredibel dari ancaman dan dampak bencana.

  2.2.9. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.

  Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia mengatur tentang Kebijakan dan Strategis Penataan Ruang Wilayah Nasional yang diatur sebagai berikut:

  Pasal 4 berbunyi Kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah nasional meliputi

  38 kebijakan dan strategi pengembangan struktur ruang dan pola ruang.

  Pasal 5 ayat (1) berbunyi Kebijakan pengembangan struktur ruang sebagaimana 36 dimaksud dalam Pasal 4 meliputi: (a) peningkatan akses pelayanan perkotaan dan pusat

  Perhatikan Penjelasan Pasal 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 Tentang

Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 66, Tambahan Lembaran

37 Negara Republik Indonesia Nomor 4723).

  Perhatikan Penjelasan Pasal 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 Tentang

Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4723). pertumbuhan ekonomi wilayah yang merata dan berhierarki; dan (b) peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanan jaringan prasarana transportasi, telekomunikasi, energi, dan sumber daya air yang terpadu dan merata di seluruh wilayah nasional.

  Pasal 5 ayat (2) berbunyi Strategi untuk peningkatan akses pelayanan perkotaan dan pusat pertumbuhan ekonomi wilayah meliputi: (a) menjaga keterkaitan antarkawasan perkotaan, antara Kawasan Perkotaan dan Kawasan Perdesaan, serta antara Kawasan Perkotaan dan Wilayah di sekitarnya; (b) mengembangkan pusat pertumbuhan baru di kawasan yang belum terlayani oleh pusat pertumbuhan; (c) mengendalikan perkembangan kota-kota pantai; dan (d) mendorong kawasan perkotaan dan pusat pertumbuhan agar lebih kompetitif dan lebih efektif dalam pengembangan wilayah di sekitarnya.

  Pasal 5 ayat (3) berbunyi Strategi untuk peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanan jaringan prasarana meliputi: (a) meningkatkan kualitas jaringan prasarana dan mewujudkan keterpaduan pelayanan transportasi darat, laut, dan udara; (b) mendorong pengembangan prasarana telekomunikasi terutama di kawasan terisolasi; (c) meningkatkan jaringan energi untuk memanfaatkan energi terbarukan dan tak terbarukan secara optimal serta mewujudkan keterpaduan sistem penyediaan tenaga listrik; (d) meningkatkan kualitas jaringan prasarana serta mewujudkan keterpaduan sistem jaringan sumber daya air; dan (e) meningkatkan jaringan transmisi dan distribusi minyak dan gas bumi, serta mewujudkan sistem jaringan pipa minyak

  39 dan gas bumi nasional yang optimal.

  Pasal 6 berbunyi bahwa Kebijakan dan Strategi Pengembangan Pola Ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi: (a) Kebijakan dan Strategi pengembangan Kawasan Lindung; (b) Kebijakan dan Strategi pengembangan Kawasan Budi Daya; dan (c) Kebijakan

  40 dan Strategi pengembangan Kawasan Strategis Nasional.

  Pasal 7 ayat (1) berbunyi Kebijakan pengembangan Kawasan Lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a meliputi: (a) pemeliharaan dan perwujudan kelestarian fungsi Lingkungan Hidup; dan (b) pencegahan dampak negatif kegiatan manusia yang dapat menimbulkan kerusakan Lingkungan Hidup.

  Pasal 7 ayat (2) Strategi untuk pemeliharaan dan perwujudan kelestarian fungsi Lingkungan Hidup meliputi: (a) menetapkan Kawasan Lindung di ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi; (b) mewujudkan Kawasan berfungsi Lindung dalam satu wilayah pulau dengan luas paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari luas pulau tersebut sesuai dengan kondisi ekosistemnya; dan (c) mengembalikan dan meningkatkan fungsi kawasan lindung yang telah menurun akibat pengembangan kegiatan budi daya, dalam rangka mewujudkan dan memelihara keseimbangan ekosistem wilayah.

Dokumen yang terkait

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peranan Pemerintah Kota Salatiga dalam Meningkatkan Ketaatan Hukum Pemilik Angkutan Umum Kota (Angkota) dalam Melakukan Uji Kelayakan Kendaraan Bermotor

0 0 16

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peranan Pemerintah Kota Salatiga dalam Meningkatkan Ketaatan Hukum Pemilik Angkutan Umum Kota (Angkota) dalam Melakukan Uji Kelayakan Kendaraan Bermotor

0 0 46

A. Latar Belakang - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Legalitas Perkawinan Beda Agama

0 0 9

BAB II PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM TINJUAN TEORITIK 2.1 Legalitas - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Legalitas Perkawinan Beda Agama

0 0 20

BAB III PEMBAHASAN ANALISA PENGATURAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA A. Hasil Penelitian - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Legalitas Perkawinan Beda Agama

0 0 43

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Jumlah Uang Beredar di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya : Laporan Akhir Hasil Penelitian

0 0 9

BAB I PENDAHULUAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perlindungan Hukum terhadap Merek Terkenal di Indonesia: Studi Kasus Putusan MA Nomor 264K/PDT.SUS-HKI/2015

0 0 7

BAB II PERLINDUNGAN MEREK TERKENAL DALAM HUKUM MEREK INDONESIA - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perlindungan Hukum terhadap Merek Terkenal di Indonesia: Studi Kasus Putusan MA Nomor 264K/PDT.SUS-HKI/2015

0 0 39

BAB III EKSISTENSI MEREK TERKENAL PASCA PENGHAPUSAN SEBAGAI MEREK TERDAFTAR - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perlindungan Hukum terhadap Merek Terkenal di Indonesia: Studi Kasus Putusan MA Nomor 264K/PDT.SUS-HKI/2015

0 0 19

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kebijakan Reklamasi Pantai di Teluk Benoa Provinsi Bali: Studi terhadap Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2014

0 0 13