BAB II PERLINDUNGAN MEREK TERKENAL DALAM HUKUM MEREK INDONESIA - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perlindungan Hukum terhadap Merek Terkenal di Indonesia: Studi Kasus Putusan MA Nomor 264K/PDT.SUS-HKI/2015

BAB II PERLINDUNGAN MEREK TERKENAL DALAM HUKUM MEREK INDONESIA A. Konsep Merek dan Merek Terkenal 1. Konsep Merek Merek sebagai Hak Kekayaan Intelektual pada dasarnya ialah tanda untuk

  membedakan asal barang dan/atau jasa dari suatu perusahaan dengan barang dan/atau jasa perusahaan lain. Melalui merek, pengusaha dapat menjaga dan memberikan jaminan akan kualitas barang dan/atau jasa yang dihasilkan dan mencegah tindakan persaingan yang tidak jujur dari pengusaha lain yang

  1 beritikad buruk yang bermaksud membonceng reputasinya.

  Harsono Adisumarto memberikan pengertian merek adalah sebagai

  2

  berikut: Merek adalah tanda pengenal yang membedakan milik seseorang dengan milik orang lain, seperti pada pemikiran ternak dengan memberi tanda cap pada punggung sapi yang kemudian dilepaskan di tempat penggembalaan bersama yang luas. Cap seperti ini memang merupakan tanda pengenal untuk menunjukkan bahwa hewan yang bersangkutan adalah milik orang tertentu. Biasanya, untuk membedakan tanda atau merek digunakan inisial dari nama pemilik sendiri sebagai tanda 1 pembedaan.

  Rahmi Jened, Implikasi Persetujuan TRIPs Bagi Perlindungan Merek di Indonesia, Yuridika, ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2 (dua) atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh barang atau badan hukum dalam kegiatan barang dan/atau jasa.

  Lalu tanda seperti apa yang mendapatkan perlindungan. Berdasarkan pengertian merek tersebut di atas dapat diketahui elemen merek yang memberikan kemampuan perlindungan sebagai merek, yaitu: 1.

  Tanda 2. Memiliki daya pembeda 3. Digunakan dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa.

  Apabila suatu tanda tidak memiliki daya pembeda, maka tanda itu tidak dapat dijadikan sebagai suatu merek. Begitu juga jika merek itu tidak digunakan dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa, maka permohonan mereknya akan ditolak.

  Merek sebagai tanda dengan daya pembeda yang digunakan untuk perdagangan barang dan/atau jasa. Merek sebagai tanda dengan daya pembeda, dengan kata lain merek tersebut harus memiliki penanda identitas atas barang dan/atau jasa yang dihasilkan dengan barang dan/atau jasa yang

  3

  dapat dikategorikan menjadi: 1.

   Inherently distinctives: eligible for immediate protection upon use . (Tanda yang secara inheren memiliki daya pembeda,

  segera mendapat perlindungan melalui penggunaan); 2.

   Capable of becoming distinctive: eligible for protection only after development of consumer association (secondary meaning) . (Tanda yang memiliki kemampuan untuk menjadi

  pembeda, dapat dilindungi hanya setelah pengembangan asosiasi konsumen yang disebut pengertian kedua);

  3. Incapable of becoming distinctive: not eligible for trademark protection regardless of length of use. (Tanda yang tidak

  memiliki kemampuan untuk membedakan tidak dapat dilindungi sebagai merek meskipun dalam waktu yang panjang telah digunakan). Berdasarkan pengkategorian diatas dapat diketahui tanda dalam

  4

  kaitannya dengan daya pembeda dikategorikan menjadi tiga yaitu, tanda yang secara inheren memiliki daya pembeda

  Pertama

  (inherently distinctiveness) dan dapat segera memperoleh perlindungan. Tanda yang bagus sekali didaftarkan sebagai merek, karena setiap konsumen pada umumnya memiliki pengetahuan yang cukup tentang tanda tersebut. Konsumen mengerti fungsi merek untuk pembeda, sehingga ini menyangkut reaksi langsung dari konsumen terhadap tanda tersebut. Kedua, tanda yang memiliki kemampuan untuk memiliki daya pembeda hanya setelah atas tanda tersebut ada pengembangan dari persepsi atau asosiasi konsumen yang disebut pengertian kedua (capable

  

of becoming distinctive: eligible for protection only after

development of consumer association (secondary meaning)).

Ketiga , tanda yang tidak akan pernah memiliki daya pembeda dan

  tidak akan pernah dapat didaftarkan artinya harus selamanya 3 ditolak pendaftarannya sebagai merek dan tidak akan pernah Eric Gastinel dan Mark Milford, The Legal aspects of Community Trade Mark, Kluwer Law.

  

London, 2002, h. 177-178. Seperti dikutip dalam Rahmi Jened, Hukum Merek (Trademark Law)

Dalam Era Global dan Integrasi Ekonomi, Kencana, Jakarta, 2015, h. 64-65.

  

becoming distinctive: not eligible for trademark protection

). regardless of length of use 1.

  Tanda pembeda inheren meliputi: a.

   Fanciful words (tanda khayalan)

  Merek yang dibentuk dari kata khayalan yang unik (fanciful). Kata ini dimulai dengan pertanyaan hukum “bagaimana orang merasakan merek berupa kata tersebut sebagai indikasi asal sumber produk, lebih daripada sekadar untuk fungsi merek yang lain.” Dalam hal ini pengetahuan konsumen menyangkut latar belakang persaingan di antara merek. Contohnya, kodak untuk

  5 camera.

  b.

   Arbitrary (tanda yang berubah-ubah)

  Kata berubah-ubah yang secara kasatmata (obvious) bagi konsumen dan lawyer tidak memiliki kaitan dengan produknya secara inheren memilki daya pembeda, contoh

  6 apple untuk computer, golf dan jaguar untuk mobil.

  c.

   Suggestive (tanda yang memberi kesan)

  Merek yang bermaksud memberikan kesan (suggestive) dikaitkan dengan imajinasi konsumen untuk menerjemahkan informasi yang disampaikan melalui

5 Ibid., h. 71-72.

  7 yang sama, contohnya, world book untuk encyclopediay.

2. Tanda secondary meaning mencakup tanda yang bersifat: a.

   Descriptive

  Merek yang menggambarkan produknya (descriptive), meski tidak secara inheren memilki daya pembeda dapat menjadi memilki daya pembeda sebagai hasil penggunaan dan perspektif konsumen akan terarah pada asal produsen

  8 barang dan/atau jasa tersebut.

  b.

   Deceptive misdescriptive

  Merek yang tidak akurat atau memberikan penggambaran yang keliru (misdescriptive) tentang karakter, kualitas, fungsi komposisi atau penggunaan produk atau bahkan dengan tata bahasa yang salah, masih dapat didaftar dengan membangun secondary meaning mengakibatkan konsumen percaya bahwa merek tersebut menggambarkan

  9 produknya.

  c.

   Personal names

  Nama pribadi (personal name) meski dalam beberapa hal daya pembedanya rendah, namun dapat didaftarkan jika

  10 membangun secondary meaning melalui penggunaan.

  3. 7 Tanda tanpa daya pembeda meliputi: 8 Rahmi Jened II, Op.Cit., h. 73.

  Ibid., h. 76.

   Generic term

  Merek yang memakai istilah umum (generic term) merupakan tanda yang menggambarkan genus dari produknya.

  11 b.

   Deceptive

  Adapula merek yang menyesatkan (deceptive) dalam menggambarkan ciri, kualitas, fungsi, komposisi, atau penggunaan dari produk.

  

12

c.

  Geographically deceptively misdescriptive Merek yang menyesatkan secara geografis, contohnya produk buatan Indonesia yang diberikan labuhi label negara lain.

13 Kemampuan sebuah merek untuk membedakan dirinya dari barang

  dan/atau jasa yang lain inilah, kemudian menjadi dasar untuk mendapatkan perlindungan merek. Tanpa ada perlindungan atas karya intelektual, semangat untuk menghasilkan karya intelektual akan memudar karena secara alamiah, manusia membutuhkan pengakuan atas karya yang dihasilkan.

  14 Perlindungan merek akan diperoleh setelah merek didaftarkan. Di

  Indonesia mengenal sistem konstitutif, penggunaan sistem tersebut dimaksudkan agar lebih menjamin kepastian hukum. Sistem konstitutif mengharuskan adanya pendaftaran merek agar suatu merek bisa mendapat 11 Ibid., h. 81. 12 Ibid., h. 83. 13 Ibid., h. 84. terlebih dahulu mendaftarkan merek yang akan mendapatkan perlindungan merek. Dengan demikian sistem konstitutif menunjukkan agar masyarakat yang harus aktif untuk mendaftarkan mereknya.

  Berkaitan dengan sistem pendaftaran merek setelah pemilik mendaftarkan mereknya maka akan melahirkan suatu hak. Hak tersebut adalah hak atas merek. Berdasarkan Pasal 1 angka 5 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, Hak atas merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemilik merek yang terdaftar untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya.

  Pemilik merek yang sudah mendaftarkan mereknya tentu akan mendapat perlindungan merek, lalu mengapa pemilik merek yang mempunyai perlindungan merek memiliki pula ke eksklusifitas terhadap merek. Munculnya hak atas merek tersebut yang akan membuat pemilik merek mendapatkan hak yang sifatnya eksklusif (khusus) yang diberikan oleh negara. Hak khusus tersebut cenderung bersifat monopoli, artinya hanya

  15 pemilik merek yang dapat menggunakannya.

  Ke eksklusifitas yang nantinya akan digunakan oleh pemilik merek terdaftar untuk mengeksploitasi mereknya, baik melalui penggunaan yang dilakukannya sendiri, atau dilisensikan atau bahkan dialihkan kepada pihak lain. merek merupakan karya intelektual yang dihasilkan oleh manusia. Adanya perlindungan hukum bagi pemilik merek yang sah dimaksudkan untuk memberikan hak yang sifatnya eksklusif (khusus) bagi pemilik merek (exclusive right) agar pihak lain tidak dapat menggunakan tanda yang sama atau mirip dengan yang dimilikinya baik untuk barang atau jasa yang sama

  16 atau hampir sama.

  Perlindungan kekayaan intelektual atas sebuah merek dimaksudkan untuk

  17

  memberikan imbalan atas investasi yang telah dilakukan. Perlindungan merek juga dapat menjauhkan seseorang dari penggunaan atau peniruan yang dilakukan oleh pihak lain tanpa izin.

  Penciptaan hak kekayaan intelektual membutuhkan banyak waktu

  18

  disamping pula bakat, dan juga uang untuk membiayainya. Apabila tidak ada perlindungan atas kreativitas intelektual yang dibuat, tiap orang dapat

  19 meniru dan mengkopi secara bebas hak milik orang lain tanpa batas.

  Kemampuan intelektual manusia dengan pengorbanan waktu, tenaga, dan biaya yang tidak sedikit untuk membangun sebuah reputasi. Serta tentu saja perlindungan merek dibutuhkan agar pemilik merek mendapat hak eksklusif dari mereknya.

  16 Fajar Nurcahya, “Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Hak Atas Merek Terhadap Perbuatan Pelanggaran Merek”, Mimbar Keadilan Jurnal Ilmu Hukum, 2014, h. 97. 17 18 Indirani Wauran, Op., Cit, h. 8.

  Dwi Rezki, Penghapusan Merek Terdaftar Berdasarkan UU No. 15 Tahun 2001 tentang

   Merek Terkenal

  Secara umum perlindungan hukum terhadap merek hanya diberikan kepada merek yang telah didaftarkan. Dengan didaftarkannya suatu merek,

  20 pemilik tersebut mendapat hak atas merek yang dilindungi oleh hukum.

  Perlindungan secara internasional dibutuhkan terhadap merek suatu produk yang diperdagangkan melintasi batas-batas negara. Semakin banyak negara yang menjual merek tersebut maka semakin banyak pula masyarakat yang mengetahui tentang merek tersebut. Dengan kata lain merek tersebut telah mendapatkan reputasi yang tinggi.

  Reputasi merek mempengaruhi penjualan terhadap suatu barang dan/atau jasa. Atas dasar reputasi merek banyak konsumen yang semakin mengenal merek tersebut, akhirnya merek tersebut dapat dikategorikan sebagai merek terkenal. Merek ini menjadi idaman dan pilihan utama semua lapisan konsumen.

  Seperti apa merek terkenal itu? Hingga saat ini sebenarnya tidak ada definisi yang dapat diterima semua pihak tentang apa sebenarnya merek terkenal tersebut. Kalaupun ada, hal itu dilakukan semata-mata karena adanya kepentingan dari pemilik merek yang bersangkutan. Berhubung sampai saat ini masih menjadi perdebatan mengenai merek terkenal, mengingat kriteria atau batasan merek terkenal berbeda-beda baik dalam pendapat para ahli, peraturan nasional maupun internasional.

  Merek terkenal mengandung makna “terkenal” menurut pengetahuan

  21

  umum masyarakat. Pendapat ini hampir serupa dengan pendapat yang menyatakan bahwa: “merek dagang terkenal yang bersifat internasional adalah merek yang sudah dikenal luas oleh masyarakat didasarkan pada reputasi yang diperolehnya karena promosi yang terus menerus oleh pemiliknya yang diikuti dengan bukti pendaftaran merek di berbagai

  22

  negara.” Merek terkenal biasa disebut juga sebagai well known mark, merek jenis ini memiliki reputasi tinggi karena lambangnya memiliki kekuatan untuk

  23

  menarik perhatian. Pendapat ini hampir serupa dengan pendapat yang menyatakan bahwa: “merek terkenal (well known marks) memiliki kekuatan pancaran yang memukau dan menarik karena reputasinya yang tinggi, sehingga jenis barang apapun yang berada di bawah naungan merek terkenal langsung menimbulkan sentuhan keakraban dan ikatan mitos kepada

24 Merek terkenal dalam International Trademark Assosiation

  konsumen.” (INTA) adalah

  “a trademark that, in view of its widespread reputation or recognition, may enjoy broader protection that an ordinary mark.”

  Pendapat lain menyatakan bahwa: “dalam menetapkan apakah suatu merek

  well known , harus diperhitungkan pengetahuan akan merek terkenal di sekitar

  21 22 Rahmi Jened II, Op. Cit., h. 241.

  Imam Sjahputra, Heri Herjandono dan Parjio, Hukum Merek Baru Indonesia, Harvarindo, Jakarta, 1997, h. 20. 23 Dwi Rezki, Op., Cit, h. 45.

  25 promosi merek dagang tersebut.

  ” Pendapat tersebut diatas berbeda dengan pendapat yang menyatakan

  26

  merek terkenal sebagai berikut: 1.

  Suatu merek yang akan didaftarkan tidak boleh mengakibatkan timbulnya kebingungan dan penyesatan (confussion/verwarring) dengan suatu merek yang secara umum telah terkenal dan dimiliki oleh pihak ketiga; pendaftaran ini adalah batal demi hukum; 2.

  “Terkenal” dalam arti luas: dikenal dari radio, TV, Media Internet dan publikasi lain sekalipun belum digunakan dalam negara yang bersangkutan.

  27 Lebih lanjut pendapat tentang kriteria merek terkenal, antara lain: 1.

  Menjadi idaman atau pilihan berbagai lapisan konsumen 2. Lambangnya memiliki kekuatan pancaran yang menarik 3. Didukung oleh faktor-faktor sebagai berikut; a.

  Presentasi nilai pemasaran yang tinggi; b.

  Presentasi tersebut harus dikaitkan dengan luasnya wilayah pemasaran di seluruh dunia; c.

  Kedudukannya stabil dalam waktu yang lama; d.

  Tidak terlepas dari jenis dan tipe barang.

  World Intellectual Property Organization (WIPO) memberikan

  28

  rekomendasi mengenai kriteria merek terkenal sebagai berikut: 1.

   The degree of knowledge or recognition of the mark in the relevant sector of the public;

2. The duration, the extent and geographical area of any use of

  25 the mark; 26 Achmad Zen, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, Alumni, Bandung, 2005, h. 73. 27 O.C. Kaligis, Teori dan Praktik Hukum Merek Indonesia, Alumni, Bandung, 2008, h. 182.

  Yahya Harahap, Tinjauan Merek Secara Umum dan Hukum Merek di Indonesia

Berdasarkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1992, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, h. 86-88.

28 Joint Recommendation Concerning Provision on The Protection of Well Known Mark,

Adopted by Assembly of the Paris Union for The Protection of Industrial Property and the General

   The duration, the extent and geographical area of any promotion of the mark, including advertising or publicity and the presentation, at fairs or exhibitions, of the goods and/or services to which the mark applies;

  4. The duration and geographical area of any registration, and/or any applications for registration, of the mark, to the extent that they reflect use or recognition of the mark; 5. The record or succesful enforcement of rights in the mark, in particular, the extent to which the mark was recognized as well known by competent authorities; 6. The value associated with the mark.

  Menurut Pasal 16 ayat (2) TRIPs Agreement terdapat krieria sifat keterkenalan suatu merek antara lain dengan memperhatikan faktor pengetahuan tentang merek dikalangan tertentu dalam masyarakat, termasuk pengetahuan negara peserta tentang kondisi merek yang bersangkutan, yang diperoleh dari hasil promosi merek tersebut.

  Dalam Undang-undang Merek tidak disebutkan secara jelas definisi dari merek terkenal. Di Undang-undang tersebut hanya menjelaskan kriteria merek terkenal yang terdapat dalam penjelasan Pasal 21 ayat (1) huruf b, bahwa penentuan keterkenalan suatu merek, harus dilakukan dengan mempertimbangkan pengetahuan umum masyarakat mengenai merek tersebut di bidang usaha bersangkutan, dan memperhatikan pula reputasinya sebagai merek terkenal yang diperoleh karena promosi besar-besaran, investasi di beberapa negara di dunia yang dilakukan pemiliknya, dan disertai bukti pendaftaran merek tersebut di beberapa negara di dunia. Apabila hal-hal diatas belum dianggap cukup, Pengadilan Niaga dapat memerintahkan lembaga yang bersifat mandiri untuk melakukan survei guna memperoleh penolakan.

  Melihat atau mendasarkan pada perdebatan tersebut diatas penulis berpendapat bahwa merek terkenal yaitu merek yang telah dikenal oleh masyarakat luas, mempunyai reputasi yang tinggi karena promosi yang besar- besaran.

  Telah dikenal luas oleh masyarakat maksudnya produk dari suatu merek telah menembus batas-batas nasional dan regional sehingga merek tersebut sudah berwawasan globalisasi dan dapat disebut sebagai merek yang tidak mengenal batas dunia. Berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 1486K/Pdt/1991 tertanggal 28 November 1995 yang dengan tegas telah

  29

  memberikan kriteria hukum sebagai berikut: Suatu merek termasuk dalam pengertian Well Known Mark pada prinsipnya diartikan bahwa merek tersebut telah beredar keluar dari batas-batas regional malahan sampai batas-batas transnasional, karenanya apabila terbukti suatu merek telah terdaftar di banyak negara di dunia, maka dikualifisir sebagai merek terkenal karena telah beredar sampai area batas-batas di luar negara asalnya.

  Semakin banyak negara yang menjual merek tersebut maka semakin banyak pula masyarakat yang mengetahui tentang merek tersebut.

  Reputasi yang tinggi karena promosi yang besar-besaran. Reputasi melalui usaha yang akan dilakukan produsen untuk membuat banyak konsumen yang 29 akan membeli suatu produk karena telah percaya pada produk tersebut.

  Putri Permata Amalia, “Perbedaan Penerapan Syarat Pembatalan Merek Terkenal Antara

  goodwill yang berhasil diperoleh suatu merek karena kemampuan

  pemilik/pemegang hak atas merek untuk meyakinkan konsumen akan jaminan kualitas dari produk yang dilekati oleh mereknya tersebut sehingga

  30 konsumen kembali kepada produknya.

  Promosi seperti iklan dari suatu produk yang dilakukan melalui media massa dan elektronik serta menghabiskan tidak sedikit biaya. Bersamaan dengan berkembangnya industri, berkembang pula penggunaan iklan untuk

  31

  memperkenalkan produk. Lebih-lebih dengan perkembangan periklanan, baik nasional maupun internasional dewasa ini dan dalam rangka pendistribusian barang dan/atau jasa membuat merek semakain tinggi

  32 nilainya.

  Dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 022K/N/HAKI/2002 yang membatalkan Putusan Pengadilan Niaga Jakarta pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas gugatan pembatalan merek Cornetto, dimana Mahkamah Agung telah menegaskan sebagai berikut:

  Bahwa untuk menentukan kriteria mengenai merek terkenal, Mahkamah Agung berpedoman untuk Yurisprudensi Mahkamah Agung yaitu selain didasarkan pada pengetahuan umum masyarakat, penentuannya juga didasarkan pada reputasi merek yang bersangkutan yang telah diperoleh karena promosi yang telah dilakukan oleh pemiliknya disertai dengan bukti

30 Titon Slamet Kurnia, Perlindungan Hukum Terhadap Merek Terkenal di Indonesia Pasca Perjanjian TRIPs, Alumni, Bandung, 2011, h. 153.

  33 tersebut merupakan salah satu alat pembuktian yang ampuh.

B. Perlindungan “Khusus” Terhadap Merek Terkenal

  Bahwa merek terkenal memiliki keistimewaan sehingga berbeda dengan merek biasa karena statusnya sebagai merek terkenal maka ada hal yang dalam “perlindungan khusus” yang hanya dimiliki merek terkenal dengan kata lain perlindungan ini tidak dimiliki oleh merek biasa, tetapi hanya dimiliki oleh merek terkenal. Dalam bagian berikut akan dijelaskan.

1. Mencakup Barang Yang Tidak Sejenis

  Perlindungan khusus terhadap merek terkenal menurut perjanjian internasional salah satunya diatur dalam Agreement on Trade Related Aspects

  

of Intellectual Property Rights (TRIPs Agreement). Perjanjian internasional

  ini sangat mempengaruhi Indonesia dalam memberikan perlindungan hukum, khususnya merek terkenal.

  Indonesia telah menjadi negara pihak dari perjanjian tersebut, sehingga memberikan konsekuensi kepada Indonesia bahwa ia harus menjalankan kewajiban internasionalnya.

  Pasal 16 ayat (3) mengatur bahwa: Article 6 bis of the Paris Convention (1967) shall apply, mutatis

  mutandis, to goods or services which are not similar to those in respect of which a trademark is registered, provided that use of that trademark in relation to those goods or services would

  owner of the registered trademark and provided that the interest of the owner of the registered trademark are likely to be damaged by such use.

  Berdasarkan Pasal 16 ayat (3) TRIPs Agreement, terdapat keistimewaan terhadap merek terkenal yaitu, merupakan perluasan perlindungan hukum merek terkenal yang mengatur mengenai barang atau jasa tidak sejenis (goods

  

or services which are not similar ) dengan mendasarkan kriteria pada adanya

  kesan keterkaitan yang erat antara barang yang menggunakan merek tersebut dengan produsennya, dan jika pemakaian atau pendaftaran oleh orang lain untuk barang yang tidak sejenis dapat merugikan kepentingan pemilik merek terkenal.

  Dengan posisi Indonesia sebagai negara pihak TRIPs Agreement yang memiliki kewajiban memberikan jaminan perlindungan terhadap merek terkenal untuk barang tidak sejenis, perdagangan tidak akan berkembang dengan baik jika merek terkenal untuk barang tidak sejenis tidak mendapatkan perlindungan hukum yang memadai di suatu negara. Peniruan merek terkenal untuk barang tidak sejenis merugikan pemilik merek terkenal yang berdampak pada ketidakpercayaan pihak asing terhadap jaminan perlindungan merek terkenal yang diberikan oleh pemerintah Indonesia.

  Perjanjian TRIPs Agreement dijadikan dasar oleh negara-negara anggota Konvensi Paris dan World Trade Organization (WTO) untuk memberikan perlindungan terhadap merek terkenal, sebagai perbandingan pengaturan di negara Amerika. Berikut adalah perlindungan khusus yang diberikan untuk merek terkenal di Amerika. undang merek Amerika yang dikenal dengan nama Lanham Act. Ketentuan ini secara khusus memberikan perlindungan merek terkenal terhadap tindakan dilusi (dilution). Teori dilusi aslinya berasal dari Jerman, tepatnya 1924, kemudian tahun 1927 teori dilusi ini dibawa ke Amerika melalui publikasi artikel berjudul “ The Rational Basis of Trademark Protection”, yang ditulis

  34

  oleh Frank I. Schechter. Schechter merujuk artikelnya pada kasus yang timbul lebih awal di Jerman dalam hal pemilik merek ODOL, merek terkenal untuk penyegar mulut yang telah sukses membatalkan pendaftaran merek

  35

  yang serupa untuk produk baja. Pengadilan menyatakan,

  

Such use of the mark ODOL on non competing goods was against

good morals (“gegen die guten Sitten”) and violated the

principles of fair trade. The protection was based on the lessening

of the mark’s selling power and on the impairment of the owner’s

ability to compete. Thus, dilution protection for famous marks

was initially based on the general unfair competition law.

  Dalam kasus ODOL, pemilik obat kumur terkenal menggugat untuk menghentikan produsen produk baja dari menggunakan merek ODOL sebagai merek dagangnya. Terlepas dari kenyataan bahwa obat kumur dan produk baja adalah barang yang tidak sejenis atau barang yang tidak berkompetisi, pengadilan Jerman menyimpulkan bahwa pemilik merek ODOL memiliki kepentingan substansial dalam memastikan bahwa merek dagang mereka 34 tidak didilusi. Dari adanya kasus yang terjadi, pengadilan menegaskan bahwa

  William T. Vuk, “Protecting Baywatch And Wagamama: Why The European Union Should

Revise The 1989 Trademark Directive To Mandate Dilution Protection For Trademark”, Fordham

Internasional Law Jurnal, Vol. 21, No. 3, 1997, h. 86. 35 Marcus H. H.

  Luepke, “Taking Unfair Advantage or Diluting a Famous Mark—a 20/20 kesempatan untuk menggunakan merek tersebut. Hanya dalam kurun waktu tiga tahun setelah keputusan dalam kasus ini, dilusi mencapai daratan

36 Amerika.

  Seorang pemilik merek terkenal mungkin akan mencegah pedagang lain menggunakan merek miliknya, bahkan juga berlaku bagi produk yang bukan

  37

  merupakan persaingan (non competing). Selanjutnya, Lanham Act mendefinisikan dilusi sebagai pudarnya reputasi merek terkenal, disebabkan oleh peniruan merek terkenal oleh kompetitor terhadap jenis barang atau produk yang berbeda dengan milik merek terkenal, sehingga memungkinkan

  38 timbulnya kebingungan dan penipuan di masyarakat.

  Doktrin dilusi merek adalah prinsip dalam hukum merek yang mengizinkan pemilik merek terkenal untuk melarang pihak lain menggunakan merek mereka dengan cara-cara yang dapat mengancam keunikan merek

  39

  tersebut. Sebuah merek didilusi ketika suatu pihak menggunakan merek yang sama atau identik dengan merek milik pihak lain dalam barang yang tidak berkompetisi (barang yang tidak sejenis) yang dapat mengurangi kekuatan merek tersebut sehingga dapat mengakibatkan kebingungan

  40 36 konsumen mengenai sumber asal mereknya.

  Natalie J. McNeal , “Trademark: Victoria’s Dirty Little Secret; A Revealing Look At What

The Federal Trademark Dilution Act Is Typing To Conceal”, Oklahoma Law Review, Vol. 56, No. 4,

2003, h. 977. 37 H.D. Effendy Hasibuan, Perlindungan Merek Studi Mengenai Putusan Pengadilan

  

Indonesia dan Amerika Serikat, Universitas Indonesia Fakultas Hukum Pasacasarjana, Jakarta,

2003, h. 111. 38 39 Julius Rizaldi, Op., Cit, h. 61.

  Brajendu Bhaskar, “Trademark Dilution Doctrine: The scenario Post TDRA 2005”, NJUS L.

  Black’s Law Dictionary yaitu:

The act or an instance of diminishing a thing’s strength or lessing

its value; The impairment of a famous trademark’s strength,

effectivenesss, or distinctiveness through the use of the mark on

an unrelated product, usually blurring the trademark’s distinctive

character or tarnishing it with an unsavory association.

Trademark dilution may occur even when the use is not

competitive and creates no likelihood of confusion.

  Dilusi menurut International Trademark Association (INTA) adalah:

  

Dilution is the unauthorized use of a highy distinctive mark by

another in a manner which tends to blur its distinctiveness or

tarnish its image even without any likehood of confusion. Dilution

is when the unauthorized use of a famous mark reduces the

public’s perception that the mark signifies something unique,

singular, or particular.

  Secara umum tindakan dilution terhadap suatu produk didasarkan pada

  41

  tiga hal yaitu: 1.

  Favorability, daya tarik dari sebuah produk yang dapat memberikan kesan berkaitan antara produk yang satu dengan yang lain.

2. Streght, kekuatan merek yang dapat memberikan daya ingat kepada masyarakat konsumen.

  3. Uniqueness, image sebuah merek yang mempunyai daya tarik bagi konsumen adalah merek-merek yang sangat unik seperti kata Volvo dan Qantas. Dalam kasus dilution sebagai perlindungan merek terkenal ada tiga hal

  42

  yang harus ditunjukkan: 1.

  Merek merupakan merek terkenal atau memiliki reputasi 41 (trademark is well-known or has reputation);

  Joel H. Steckel, Robert Klein dan Shelley Schussheim, “Dillution Through The Looking Glass: A Marketing Look at The Trademark Dillution Revision Act of 2005

  ”, The Trademark

Reporter Vol. 96, INTA, USA, May-June 2006, h. 625-627. Seperti dikutip dalam Julius Rizaldi, Op., Cit, h. 118. Merek memiliki persamaan pada pokoknya khususnya untuk barang yang tidak sejenis (similary of trademark but goods );

  and services are dissimilar 3.

  Ada penggunaan yang bersifat penipisan, pemudaran, dan pengaburan secara tanpa hak (there is dilution or

  

tarnishment or blurring reputation without due cause ).

  Lebih lanjut lagi terdapat pendapat yang menyatakan terkait dengan

  43

  perlindungan dari tindakan dilution: “Around the world, a trend is

  developing towards greater protection in this area beyond the minimum standard set by TRIPs Agreement, in the form of an “anti-dillution” right which is available in the absences of confusion or dec eption of the public.”

  Dapat diambil kesimpulan bahwa dilusi adalah penurunan nilai suatu merek (daya pebeda/keunikan) pada merek terkenal berupa pengaburan atau pencemaran sebagai akibat dari penggunaan merek tanpa izin oleh pihak lain pada produk yang berbeda kelas dan jenis, tanpa melihat adanya kebingungan tentang asal usul suatu produk pada konsumen dan adanya persaingan atau tidak pada pasar. Perlindungan atas dilusi merek terkenal berdasarkan perlindungan kualitas daya pembeda merek terkenal dan perlindungan reputasi dari pihak-pihak yang dapat menodai merek terkenal, tanpa memperhatikan kebingungan konsumen atas sumber dari produk maupun persaingan diantaranya kedunya.

  Hal ini bertujuan untuk tidak merugikan kepentingan orang lain dalam hal ini adalah pemilik merek terkenal, dan juga perlindungan terhadap merek 43 terkenal yang mencakup barang tidak sejenis dilatarbelakangi bahwa tidak

  Ng-Loy Wee Loon, Protection of Well-Known Marks in Singapore, The Marx Planck r “confussion of bussiness

  connection

  ” sebagai pertimbangan untuk menentukan apakah merek yang sama dengan merek terkenal akan tetapi didaftarkan untuk barang yang tidak

  44 sejenis itu bisa ditolak atau dibatalkan.

  Hal senada juga ditegaskan, bahwa pemakaian daripada merek berkenaan dengan benda-benda tersebut atau jasa bersangkutan akan memberikan “indikasi adanya suatu hubungan” antara barang-barang dan jasa pemilik daripada merek terdaftar dan kepentingan daripada pihak pemilik merek

  45 terdaftar ini akan cenderung mendapat kerugian karena pemakaian itu.

  Terdapat dua jenis dilusi yang dikelompokkan berdasarkan konsekuensinya terhadap persepsi konsumen. Dilusi pengaburan (Blurring) dan dilusi pencemaran (Tarnishment). Dilusi karena pengaburan terjadi ketika terdapat suatu merek memiliki persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek terkenal dimana kedua merek tersebut merupakan produk yang berbeda secara substansial sehingga tidak menyebabkan kebingungan konsumen. Intinya, keunikan suatu merek terkenal (daya pembeda) telah berkurang bahkan menghilang. Pemudaran terjadi manakala kekuatan merek dilemahkan melalui identifikasinya untuk produk yang tidak sejenis, meskipun persamaanan merek tersebut tidak menyebabkan kebingungan di antara konsumen kedua produk tersebut, namun masing-masing mengurangi kualitas pembeda dari merek yang

44 Suyud Margono, Hak Milik Industri, Pengaturan dan Praktik di Indonesia, Ghalia Indonesia, Bogor, 2011, h. 106.

  46

  pakaian dalam wanita (lingerie)

  Victoria’s Secret yang menuntut sebuah toko

  alat-alat kebutuhan pria yang menggunakan nama yang mirip yaitu

  Victor’s . Secret

  Dilusi karena pencemaran terjadi karena ketika penggunaan suatu merek terkenal oleh pihak lain yang penggunaannya bertentangan/tidak sesuai dengan kesan yang telah dibentuk dan dipertahankan oleh pemilik merek terkenal. Perusakan merek terkenal adalah akibat dari penggunaan merek secara tanpa hak oleh tergugat untuk memudarkan, menurunkan, atau

  47

  menipiskan kualitas pembeda dari suatu merek. Contoh kasus dilusi pencemaran yaitu ketika terdapat merek Polo di mana si penunggang kudanya terjatuh dari kuda, sehingga hal tersebut dapat mencemarkan merek Polo yang asli.

  Sejak meratifikasi perjanjian-perjanjian internasional, Indonesia telah melakukan beberapa perubahan terhadap Undang-undang Merek. Yang terbaru adalah Undang-undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (selanjutnya disebut UU Merek). Perlindungan hukum merek terkenal terhadap dilusi di Indonesia tidak memiliki pengaturan secara tegas dan khusus. Namun diatur secara implisit dalam Pasal 21 ayat (1) huruf c UU Merek.

  Pasal 21 ayat (1) huruf c menyebutkan bahwa: (1)

  Permohonan ditolak jika merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan: ... tidak sejenis yang memenuhi persyaratan tertentu; Dari ketentuan tersebut terdapat keistimewaan yang dimiliki merek terkenal yaitu merek tidak bisa didaftar meskipun persamaan pada pokoknya untuk kelas barang atau jasa yang tidak sejenis, berbeda dengan pengaturan dalam merek biasa hanya tidak boleh sama dengan merek yang sejenis tetapi untuk merek terkenal kelas barang atau jasa yang tidak sejenis atau berbeda.

  Dalam kaitannya dengan dilusi, Pasal 21 ayat (1) huruf c UU Merek, sebenarnya sudah mengatur mengenai larangan pendaftaran merek yang memiliki persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek terkenal untuk produk tidak sejenis. Namun, larangan persamaan dengan merek terkenal untuk produk tidak sejenis masih multitafsir karena Pasal 21 aya t (1) huruf c, mengatur mengenai “persyaratan tertentu” yang harus dipenuhi. Sedangkan, tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai apa yang dimaksud dengan “persyaratan tertentu” tersebut. Walaupun Pasal 21 ayat (4) UU Merek, mengamanatkan adanya peraturan pelaksana untuk menjelaskan hal tersebut, hingga sekarang Peraturan Menteri yang diamanatkan tersebut belum diundangkan. Akibatnya, terjadi suatu kekosongan hukum terkait dilusi. Keadaan tersebut diperparah dengan sistem hukum Indonesia (civil law atau eropa kontinental) yang tidak menganut asas precedent, sehingga membuat hakim tidak diwajibkan mengikuti yurisprudensi. Oleh karena itu, Indonesia tidak memiliki pedoman jelas dalam menyelesaikan sengketa terkait hal-hal tersebut. dapat dilihat pada kasus Philip Stein Holding, Inc, yang telah diputus dengan Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor

  48

  62/Pdt.Sus-Merek/2013/PN.Niaga.Jkt.Pst tanggal 10 September 2013, sebagaimana telah dikuatkan dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor

  49

  276K.Pdt.Sus-HKI/2014 tangal 27 Agustus 2014. Putusan tersebut memutus bahwa yang berhak terhadap hak atas merek Philip Stein adalah orang Indonesia, bukan pemilik merek terkenal Philip Stein.

  Kasus tersebut berawal ketika produsen jam tangan asal Amerika Serikat, Philip Stein Holding Inc (sebagai penggugat), hendak mendaftarkan merek Philip Stein di Indonesia untuk jenis kelas barang 14. Yang mana penggugat telah mendaftarkan merek Philip Stein di beberapa negara seperti; Amerika Serikat, Arab Saudi, Hongkong, dll. Akan tetapi ternyata Kasim Halim (tergugat) telah mendaftarkan merek Philip Stein untuk kelas barang 25 kepada Direktorat HAKI dengan Nomor IDM000174089 pada tanggal 1 Februari 2007 tanpa seizin penggugat. Dalam putusannya, hakim memutuskan untuk menolak gugatan tersebut. Dengan pertimbangan hukum, hakim menyebutkan walau telah didaftarkan di berbagai negara, merek milik penggugat dianggap belum terkenal dan belum menggambarkan adanya promosi besar-besaran dan tergugat tidak dianggap meniru atau menjiplak merek penggugat karena berada pada kelas barang yang berbeda, dan oleh 48 karenanya pendaftaran merek tergugat sah secara hukum.

   dikunjungi pada tanggal 30 Oktober 2017 pukul 10.00. mengajukan kasasi. Namun kali ini Philip Stein juga harus mengakui kekalahannya. Sebab Mahkamah Agung menolak gugatannya. Dalam pertimbangan hukum, pendaftaran merek pemohon kasai (Philip Stein) di beberapa negara belum dapat menunjukkan bahwa merek pemohon kasasi adalah merek terkenal yang layak ditiru atau dibonceng ketenarannya. Dalam keberatannya, Philip Stein mengatakan bahwa penggunaan merek Philip Stein (termohon kasasi) yang didaftarkan dengan itikad tidak baik dengan cara menggunakan nama badan hukum terkenal milik pemohon kasasi.

  Tidak adanya pedoman yang jelas mengenai jumlah negara tempat pendaftaran merek sebagai kriteria merek terkenal tentu membawa suatu ketidakpastian hukum. Hal tersebut berdampak pada kasus Philip Stein Holding, Inc. Merek Philip Stein telah didaftarkan di kurang lebih dari 50 negara, tetapi Majelis Hakim tetap beranggapan bahwa merek Philip Stein tersebut belum dapat dikategorikan sebagai merek.

  Berdasarkan uraian diatas, maka dapat diketahui bahwa dilusi atau persamaan merek dengan merek terkenal untuk produk tidak sejenis sudah diatur. Akan tetapi, pengaturannya masih tidak jelas karena peraturan pelaksana sebagai penjelasan pengaturan dilusi tidak diundangkan.

  Akibatnya, terjadi suatu kekosongan hukum.

  Hal tersebut mengakibatkan ada hakim yang memutus bahwa persamaan untuk produk tidak sejenis termasuk kategori pelanggaran merek dan ada pula mempertahankan keunikan dan daya pembeda yang dimiliki merek terkenalnya karena hakim memutus bahwa penggunaan merek untuk produk tidak sejenis bukan termasuk pelanggaran merek.

  Berbeda dengan di Indonesia, di Amerika pengaturan perlindungan merek terkenal dalam sistem hukum mereknya sudah cukup lengkap. Sistem hukum merek di Amerika Serikat juga telah memiliki pengaturan dilusi secara jelas. Terdapat pengaturan rinci mengenai dilusi, mulai dari definisi, tipe dilusi, dan perlindungan pemilik merek terkenal dari dilusi.

  Pengaturan dilusi di Amerika Serikat terdapat pada Pasal 43 huruf c

  

Lanham Act . Dalam perkembangan selanjutnya, ketentuan tersebut diubah

  dengan ketentuan khusus, yaitu Federal Trademark Dilutin Act of 1995 yang telah direvisi dengan United States Trademark Dilution Revision Act of 2006.

  

United States Trademark Dilution Revision Act of 2006 tersebut memuat

  beberapa pengaturan tentang dilusi antara lain mengenai definisi, beban pembuktian, dan beberapa perlindungan tambahan.

  Dalam hal beban pembuktian mengenai ada tidaknya dilusi, penggugat yang mengajukan gugatan dilusi memiliki beban untuk membuktikan bahwa merek tersebut memang merek terkenal dan reputasinya telah menjadi kabur atau rusak akibat dilusi tersebut. Diatur juga bahwa pemilik merek terkenal juga mendapat perlindungan berupa suatu pemulihan kembali apabila terjadi dilusi yang merugikan daya pembeda suatu merek terkenal.

2. Prinsip National Treatment

  Prinsip national treatment menjadi salah satu dari keistimewaan merek terkenal. Prinsip ini menjadi salah satu yang diatur dalam Konvensi Paris.

  Prinsip ini disebut juga dengan perlakuan yang sama terhadap negara lain dengan negaranya sendiri. Berdasarkan Pasal 3 ayat (1) TRIPs menyebutkan bahwa: “Each member shall accord to the nationals of other members

  

treatment no less favourable than it accords to its own nationals with regard

to the protection of intellectual property

  ...” mewajibkan negara anggota memberikan perlindungan tanpa membedakan kepada warga negara sesama negara anggota, seperti perlakuan yang diberikan kepada warga negaranya sendiri. National treatment, yang artinya bahwa setiap warga negara peserta Konvensi Paris bisa mengklaim negara peserta lainnya, agar ia diperlakukan sama dengan warga negaranya sendiri, dalam hal pemberian perlindungan

  50

  merek. Dalam hal ini memberikan perlindungan terhadap merek terkenal untuk warga negara asing dalam penegakan hukum.

  Salah satu contoh dalam penerapan prinsip national treatment ialah dalam pemberian hak prioritas. Hak prioritas merupakan wujud dari prinsip national

  

treatment dan most favoured nation yang diatur dalam TRIPs yang merujuk

  Konvensi Paris. Dengan diratifikasinya Paris Convention yang salah satu tujuannya adalah pemohon memperoleh hak untuk mengajukan permohonan pendaftaran yang berasal dari negara yang tergabung dalam Konvensi Paris tersebut, memungkinkan pemohon memperoleh pengakuan bahwa tanggal penerimaan (filling date) di negara asal merupakan tanggal prioritas (priority

  51 Hak prioritas ini berhubungan dengan permohonan pendaftaran merek. Setiap

  orang yang mengajukan pendaftaran untuk perlindungan merek dalam salah satu negara anggota Paris Convention atau mereka yang berhak untuk tujuan pendaftarannya di negara lain, wajib menikmati hak prioritas untuk suatu

  52 periode tertentu sesuai ketentuan yang berlaku.

Dokumen yang terkait

BAB II KAJIAN PUSTAKA - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Karakteristik Badan Hukum Rumah Sakit di Indonesia

0 0 41

BAB III PEMBAHASAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Karakteristik Badan Hukum Rumah Sakit di Indonesia

0 1 34

BAB I PENDAHULUAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peranan Pemerintah Kota Salatiga dalam Meningkatkan Ketaatan Hukum Pemilik Angkutan Umum Kota (Angkota) dalam Melakukan Uji Kelayakan Kendaraan Bermotor

0 0 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peranan Pemerintah Kota Salatiga dalam Meningkatkan Ketaatan Hukum Pemilik Angkutan Umum Kota (Angkota) dalam Melakukan Uji Kelayakan Kendaraan Bermotor

0 0 16

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peranan Pemerintah Kota Salatiga dalam Meningkatkan Ketaatan Hukum Pemilik Angkutan Umum Kota (Angkota) dalam Melakukan Uji Kelayakan Kendaraan Bermotor

0 0 46

A. Latar Belakang - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Legalitas Perkawinan Beda Agama

0 0 9

BAB II PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM TINJUAN TEORITIK 2.1 Legalitas - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Legalitas Perkawinan Beda Agama

0 0 20

BAB III PEMBAHASAN ANALISA PENGATURAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA A. Hasil Penelitian - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Legalitas Perkawinan Beda Agama

0 0 43

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Jumlah Uang Beredar di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya : Laporan Akhir Hasil Penelitian

0 0 9

BAB I PENDAHULUAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perlindungan Hukum terhadap Merek Terkenal di Indonesia: Studi Kasus Putusan MA Nomor 264K/PDT.SUS-HKI/2015

0 0 7