BAB III PEMBAHASAN ANALISA PENGATURAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA A. Hasil Penelitian - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Legalitas Perkawinan Beda Agama

BAB III PEMBAHASAN & ANALISA PENGATURAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA A. Hasil Penelitian

1. Periode sebelum Kemerdekaan. ( Sejarah Undang – Undang Perkawinan

  sebelum Masa Kemerdekaan)

  Periode sebelum kemerdekaan, Indonesia merupakan daerah jajahan kolonial Belanda, sebagai wilayah kolonial tidak dapat disebut negara, dan tidak memiliki warga negara, dan tidak memiliki warga negara, maka politik hukum kolonial belanda mengaturnya dalam bentuk golongan penduduk. Berdasarkan pembagian golongan penduduk, maka di Indonesia terdapat beberapa golongan penduduk, antara lain: Golongan Penduduk Eropa, Golongan Penduduk Timur Asing dan Golongan Penduduk Bumi Putra yang pada akhirnya memunculkan pengertian tentang perkawinan Campuran yang disebut Regeling op de

  

Gemendgde Huwelijken, berdasarkan Koninlkijk Besluit van 29 Desember 1896

  No., 23, Stb. 1898 No. 158. Pada intinya, apabila terjadi perkawinan antara golongan penduduk yang berbeda, maka berlakulah regulasi ini dengan menekankan pada pemberlakuan hukum dari status golongan penduduk pihak suami. Produk perundang-undangan ini hanya memandang dari sisi perdatanya saja, dengan sahnya perkawinan bukan berdasarkan sahnya perkawinan yang ditentukan oleh agama, maka pencatatan perkawinan menjadi dokumen utama yang me-legitimasi perkawinan. Bentuk Undang- undang Perkawinan buatan kolonial Belanda disebut Perkawinan Campuran menurut Gemengde Huwelijiken

  Regeling yang dikenal dengan singkatan GHR.

  Di atas telah disinggung bahwa sebelum berlakunya undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, di Indonesia masih belum ada keseragaman dalam melangsungkan perkawinan campuran khususnya Perkawinan beda agama.

  Pelaksanaannya berdasarkan hukum dan golongan masing-masing. Karena itu perkawinan campuran merupakan perkawinan antara sistem hukum. Sehingga untuk mengatur perkawinan harus diberlakukan beberapa landasan hukum dan ketentuan -ketentuan perundang-undangan yang berbeda , antara lain:

  Keanekaragaman masyarakat di Indonesia, akhirnya melahirkan pula keanekaragaman

  1. Bagi orang- orang Indonesia Asli yang beragama Islam berlaku hukum agama yang telah dilebur dengan hukum adat;

  2. Bagi orang- orang Indonesia asli lainnya, berlaku hukum adat.

  3. Bagi orang- orang Indonesia asli yang beragama kristen berlaku Huwelijks Ordonantie Christen Indonesia (HOCI) Stb.

  1933 No. 74;

  4. Bagi orang- orang Timur Asing China dan Warga Negara Indonesia keturunan China berlaku ketentuan- ketentuan KUH Perdata dengan sedikit Perubahan;

  5. Bagi orang orang-orang Timur Asing lainya dan Warga Negara Indonesia Keturunan Timur Asing lainnya tersebut berlaku hukum adat merdeka; dan

  6. Bagi orang – orang Eropa dan warga negara Indonesia keturunan Eropa dan yang di samakan dengan mereka berlaku Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Keanekaragaman masyarakat di Indonesia, akhirnya melahirkan pula keanekaragaman hukum anggota masyarakat kecil, menyatu dalam pergaulan hidup bersama yang menyatu dan saling mengikat satu dengan lainnya, sebagai salah satu ikatan dalam suatu perkawinan. Karena perkawinan antara penduduk yang masih tunduk pada sistem hukum yang berbeda, maka tumbuh pula kaedah- kaedah hukum yang majemuk dan untuk itu diperlukan kaedah-kaedah hukum yang dapat menampung hubungan dan akibat hukum dari perbuatan antar hukum sesama. Kaedah hukum antar sistem hukum perkawinan antar hukum, telah tertuang dalam bentuk perundang-undangan Perkawinan Campuran, Gemengde

  

Huwelijken Regeling (GHR). Perkawinan beda gama dimasukkan dalam golong

  Perkawinan Campuran, karena Perkawinan itu terjadi dari perbuatan hukum orang- orang yang masing-masing tunduk pada sistem hukum yang berlainan.

  Definisi Perkawinan Campuran Pasal 1 Gemengde Huwelijiken Regeling (GHR) perkawinan antara orang- orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, disebut Perkawinan Campuran “ Huwelijken tusschen personen, die in

  

Indinesie aan een verschollend rech onderworpen zijn, worden gemengde

huwelijiken genoemd. Orang yang berbeda agama harus diberi jalan ke luar secara

  yuridis legal, meskipun religius tidak legal, karena urusan religius merupakan urusan orang yang bersangkutan itu sendiri, biarlah dipertanggungjawabkan sendiri oleh pemeluknya yang tidak setia itu, kelak setelah meninggal dunia. Untuk itu Gemengde Huwelijiken Regeling ( GHR) merumuskan ketentuan yang menjamin tidak ada rintangan bagi orang yang akan melakukan perkawinan beda agama. Pasal 7 ayat (2) merumuskan bahwa perbedaan agama, suku maupun tidak dapat menjadi penghalang untuk berlakunya perkawinan.

  Prosedur perkawinan beda agama yang diatur dalam Pasal 7 ayat (!)

  

Gemengde Huwelijken Regeling (GHR), bahwa untuk menyelenggarakan suatu

  perkawinan Campuran, sebelumnya harus sudah terbukti si calon istri telah memenuhi syarat untuk dapat kawin yang persyaratannya ditentukan bagi calon istri Kristen umur yang cukup untuk kawin dan izin kawin kalau belum cukup umur, sedangkan bagi wanita islam yang akan melangsungkan Perkawinan Campuran harus dipenuhi dengan adanya wali dan saksi.

  b) Periode kemerdekaan Sampai dengan Sebelum Lahirnya Undang- Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.

  Sejak Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 sampai Dengan sebelum lahirnya Undang- undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Indonesia masih belum memiliki Undang-undang perkawinan sendiri dan pengaturan Perkawinan di Indonesia masih menggunakan Undang-undang Perkawinan buatan Belanda. Perundang-undangan atau pengaturan perkawinan buatan Belanda secara yuridis harus memiliki legitimasi yang kuat, yakni konstitusi negara. Karena dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia pernah berdasarkan 3 (tiga) konstitusi, maka perlu dikemukakan dasar berlakunya perundang-undangan buatan Belanda, dalam hal ini termasuk perundang-undangan perkawinan berdasarkan ketiga UUD Sementara

16 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan,Yogyakarta:Liberty,Cet.Ke-4, 1999, hlm. 2-3.

  17 Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945: Segala Badan Negara dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama sebelum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini.

  

18 Pasal 192 ayat (1) UUD RIS Tahun 1949: Peraturan – peraturan undang-undang dan ketentuan

tata usaha yang sudah ada pada saat konstitusi ini mulai berlaku, tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan -peraturan dan ketentuan- ketentuan Republik Indonesia Serikat

   Pemberlakuan Perundang-undangan Perkawinan buatan kolonial Belanda yang memperoleh legitimasi secara konstitusional tersebut pada dasarnya hanya bersifat sementara agar tidak terjadi kekosongan hukum dalam bidang hukum perkawinan. Berdasarkan dasar pemberlakuan tersebut untuk selanjutnya akan dikemukakan perundang-undangan perkawinan buatan Belanda yang berlaku di Indonesia Hingga 1974. Dengan berpedoman pada pasal 66 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, yaitu:

  “Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas undang-undang ini, maka dengan berlakunya undang-undang ini ketentuan- ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang- undang Hukum Perdata, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen, Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijiken Stb. 1898 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku”.

  Maka peraturan- peraturan tentang perkawinan yang berlaku sebelum adanya Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan tidak berlaku sepanjang telah diatur dalam Undang-undang ini. Timbul suatu permasalahan, ketika Pasal 66 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dihubungkan dengan Pasal 57 Undang-undang Perkawinan

  

selama dan sekedar peraturan dan ketentuan - ketentuan itu tidak dicabut, ditambah atau diubah

oleh undang- undang dan ketentuan- ketentuan tata usaha atas kausa konstitusi ini.

  

19 Pasal 142 UUDS 1950: Masih tetap berlaku peraturan-peraturan undang-undang yang sudah

ada pada tanggal 17 Agustus 1950, selama dan sekedar peraturan-peraturan itu tidak dicabut, ditambah atau diubah oleh undang-undang atas kuasa Undang-undang Dasar Sementara ini.

20 Kembali ke Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

  Nomor 1 Tahun 1974, di mana pasal 57 menegaskan bahwa,” yang dimaksud dengan Perkawinan Campuran dalam undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak ber

  • kewarganegaraan Indonesia”

  Dengan melihat kenyataan yang ada dalam masyarakat , bahwa perkawinan beda agama dapat dilaksanakan dan kantor catatan sipil ternyata memberikan wadah bagi pencatatan perkawinan beda agama, maka anggapan masyarakat tentang perkawinan beda agama sudah sah , menurut hukum negara dan pelaksanaan perkawinan menurut hukum agamanya masing-masing diserahkan kepada kehendak para pihak yang bersangkutan

  Untuk melakukan perkawinan, diperlukan syarat- syarat yang harus dipenuhi oleh para pihak yang akan melaksanakan perkawinan begitu juga dengan perkawinan beda agama. Dalam Perkawinan beda agama, syarat- syarat yang harus dipenuhi oleh pihak -pihak yang akan melaksanakan perkawinan tanpa adanya perbedaan agama dari masing-masing pihak. Setelah terpenuhi syarat-syarat dari perkawinan tersebut, maka kantor catatan sipil kan melakukan proses pencatatan akta perkawinannya.

  Pelaksanaan Perkawinan beda agama di Indonesia masih berpedoman pada ketentuan Pasal 1 ayat (!) Undang- undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 JO Pasal 10 ayat (2) dan (3) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Sedangkan Peraturan yang lama masih ordonansi perkawinan Campuran Stb. 1898 No. 158 masih terjadi silang pendapat, boleh atau tidaknya dijadikan dasar untuk pelaksanaan perkawinan beda agama. Mengenai adanya silang pendapat tentang boleh atau tidaknya bagi pelaksanaan perkawinan beda agama, apabila ditelusuri Peraturan Perkawinan Campuran yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda ini, yang memiliki tujuan untuk mengatasi masalah perkawinan yang timbul antara seseorang dengan yang lainnya , akibat adanya pengelompokan golongan penduduk yang diciptakan pemerintah zaman Kolonial Hindia Belanda dahulu. Pengelompokan tersebut diasarkan pada Pasal 163 IS (Inische Staatsregeling). Menurut Pasal 163 IS, penduduk Hindia Belanda terjadi menjadi 3 (tiga) golongan yaitu : (1) golongan Eropa, (2) golongan Bumi Putra, (3) Golongan Timur Asing. Di samping itu, diberlakukannya GHR oleh pemerintah Hindia Belanda tidak terlepas dari keanekaragaman hukum perkawinan yang dicipatakan nya.

  Untuk menyesuaikan diri dengan dengan keanekaragaman hukum perkawinan yang ada, GHR tersebut mengalami beberapa perubahan dan tambahan melalui berbagai peraturan yang dimuat dalam beberapa

Staatsblad (Penetapan raja pada tanggal 29 Desember 1896 No. 23=Stn.

  1901/343, 1902/311, 1907/205, 1918/30, 159, 160 dan 161, 1919/81 dan 816, 1931/168 jo. 423).

  Dengan adanya Peraturan Perkawinan Campuran itu pemerintah Hindia Belanda berharap perkawinan antara orang yang tunduk kepada hukum yang berbeda dapat teratasi, dan ternyata peraturan ini untuk sementara memang sangat sesuai dengan keadaan masyarakat saat itu. Di mana dunia perdagangan sangat pesat dan menyebabkan terjadinya proses asimilasi masyarakat dalam bidang hukum perkawinan misalnya terjadi perkawinan antara orang Bumi putra dengan orang Arab, antara orang Bumi Putra dengan Orang Tionghoa, antara orang Bumi Putra dengan Orang Eropa dan lain- lain sebagainya. Sesuai dengan tujuan pembuatan Peraturan Perkawinan Campuran maka bunyi Pasal 1 GHR tersebut, ternyata membawa akibat dengan timbulnya dua pendapat atau aliran yang saling bertolak belakang yaitu (1) aliran yang setuju dimasukkan nya perkawinan beda agama ke dalam perkawinan campuran, (2) aliran yang tidak setuju di masukanya perkawinan beda agama ke dalam perkawinan campuran.

  Para sarjana, Seperti Nederburgh, Lemaire, Kollewijn, Gow Giok

  

Siong, Wirjono Prodjodikoro, dan Sunaryati Hartono berpendapat bahwa

perkawinan beda agama termasuk ke dalam perkawinan campuran.

  Pendapat mereka didasarkan pada penfasiran secara luas bunyi Pasal 1 GHR. Selain itu, mereka juga mendasari pendapat tersebut berdasarkan Yurisprudensi Indonesia mengenai Perkawinan Campuran, di mana menurut Yurisprudensi Indonesia itu, Perkawinan beda agama termasuk dalam perkawinan campuran. Yurisprudensi tersebut dapat dilihat pada Putusan MA RI No. 245 K/ 1953 tanggal 16 Februari 1953 yang menyatakan sebagai berikut “ Dalam hal seorang perempuan beragama Islam akan menikah dengan seorang laki-laki Beragama Kristen berlakulah Peraturan Tentang

  Perkawinan Campuran Stb. 1898-158 yang dalam Pasal 7 ayat (3) menentukan bahwa dalam hal ini harus ada keterangan dari kepala Kantor Urusan Agama di tempat, bahwa tidak ada halangan untuk perkawinan itu perkawinan itu Keterangan Kepala Kantor Urusan Agama ini dapat dianggap selaku pengganti pada wali Mujbir yang termasuk di atas, sedangkan menurut Pasal 7 ayat (2) pemberian keterangan ini tidak boleh ditolak berdasarkan atas perbedaan agama, kebangsaan ataupun

  Berdasarkan Yurisprudensi tersebut, para sarjana kelompok pertama ini menyetujui bahwa perkawinan beda agama termasuk ke dalam Perkawinan Campuran. Menurut mereka, Perlakuan Hukum ( Perkawinan beda Agama terhadap masing-masing golongan penduduk terdapat perbedaan yang bagi golongan Bumi Putera dan Timur Asing Bukan Tionghoa, agama dan tempat tinggal merupakan faktor penentu dalam melaksanakan perkawinan tersebut. Sedangkan, bagi golongan Eropa dan Tionghoa , agama dan tempat tinggal bukanlah merupakan Faktor penentu bagi dilangsungkannya perkawinan beda agama.

  Perkawinan Campuran di Indonesia, selain diatur dalam GHR di atas juga diatur dalam Ordonansi Perkawinan Indonesia Nasrani (Kristen) Jawa, Minahasa, dan Ambonia atau lebih dikenal dengan atau sering disebut dengan HOCI Stb. No. 74 Tahun 1993. Dalam Pasal 75 HOCI di

  21 Peraturan Tentang Perkawinan Campuran Stb. 1898-158 yang dalam Pasal 7 ayat (3) nyatakan sebagai berikut : “Perkawinan antara seseorang Pria bukan Kristen dengan seorang wanita Kristen atas Permintaan kedua belah Pihak suami istri tersebut dapat diteguhkan dengan melakukan segala aturan ordonansi ini, sehingga perkawinan itu seluruhnya takluk pada ordonansi Dari ketentuan Pasal 75 di atas , kiranya HOCI tersebut telah memberikan peluang bagi diadakannya perkawinan beda agama, sekaligus juga memberikan peluang bagi si Istri untuk tidak mutlak mengikuti status hukum suaminya.

  

2. Periode Setelah Berlakunya Undang- Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun

1974. ( Sejarah Undang – Undang Perkawinan setelah Berlakunya Undang –

Undang Perkawinan)

  Kalau sebelum berlakunya Undang- Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Perkawinan beda agama dimungkinkan adanya melalui Perkawinan Campuran (GHR) maupun HOCI yaitu dengan cara memberikan pengertian secara luas, maka dalam Undang- Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, pengertian campuran tidak mungkin lagi diperluas pengertiannya dengan memasukkan perkawinan beda agama. Pengertian Perkawinan Campuran dalam Pasal 57 Undang- Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 telah dipersempit sedemikian rupa, sehingga yang dimaksud Perkawinan Campuran yaitu hanya perkawinan antara dua orang yang di Indonesia Tunduk kepada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak ber- kewarganegaraan Indonesia.

  22 HOCI Stb. No. 74 Tahun 1993. Dalam Pasal 75

  Berdasarkan ketentuan Pasal 57 Undang- Undang Perkawinan dan Pasal 1 GHR di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian Campuran menurut Undang- Undang Perkawinan lebih sempit dari pada pengertian Campuran menurut GHR.

  Sedangkan Pengertian Perkawinan Campuran menurut Undang- Undang Perkawinan lebih sempit dari pada pengertian Campuran menurut Undang- Undang Perkawinan adalah “Perkawinan Campuran yang disebabkan oleh Perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak kewarganegaraan Indonesia” sedangkan Perkawinan Campuran menurut ketentuan GHR adalah “ perkawinan antara orang- orang yang di Indonesia tunduk pada hukum – hukum yang berlainan”, dengan tidak ada pembatasan dipertegas dalam Pasal 7 ayat (2) GHR. Dengan demikian, Perkawinan Campuran yang dimaksud dalam Pasal 1 GHR bukanlah termasuk Perkawinan Campuran yang dimaksudkan oleh Pasal 57 Undang-undang Perkawinan. Lebih tegasnya, Pasal 57 Tersebut, baik secara tertulis ( tersurat) maupun secara tersurat maupun implisit ( tersirat) sama sekali tidak mengatur perkawinan beda agama.

  Menurut Purwoto S. Gandasubrata bahwa perkawinan Campuran atau perkawinan beda agama belum diatur dalam Undang- Undang secara tuntas dan tegas. Oleh karenanya, ada Dinas kependudukan dan Catatan Sipil yang tidak mau mencatatakan perkawinan beda agama dengan alasan perkawinan tersebut bertentangan dengan Pasal 2 Undang- Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Ada pula Dinas pendudukan dan Catatan Sipil yang mau mencatatkan berdasarkan menurut hukum suami, sehingga istri mengikuti status hukum suami.

  Ketidakjelasan dan ketidaktegasan Undang- Undang Perkawinan mengenai Perkawinan Beda agama dalam Pasal 2 adalah pernyataan “ menurut hukum masing-masing agama atau kepercayaannya artinya, jika perkawinan kedua suami istri adalah sama , tidak ada kesulitan. Tetapi, jika hukum agama atau kepercayaannya berbeda maka dalam hal adanya perbedaan kedua hukum agama atau kepercayaannya itu harus dipenuhi semua, berarti satu kali lagi menurut hukum agama atau kepercayaannya calon dan satu kali lagi menurut hukum agama atau kepercayaannya dari calon lainnya.

  Dalam Praktiknya di Indonesia, Perkawinan beda agama dapat dilaksanakan dengan menganut salah satu pihak cara baik dari hukum agama atau kepercayaannya si suami atau calon istri. Artinya salah satu calon yang lain mengikuti atau menundukkan diri kepada salah satu hukum agama atau hukum agama atau kepercayaan pasangannya. Hal ini sejalan dengan Undang- Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 27 yang menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum, ercakup di dalamnya kesamaan hak asai untuk kawin dengan sesama warga negara sekalipun berlainan agama dan selama undang- undang tidak ditentukan bahwa perbedaan agama merupakan larangan untuk perkawinan, maka asas itu adalah sejalan dengan jiwa Pasal 29 Undang- Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 tentang dijaminnya Oleh Negara Kemerdekaan bagi setiap warga negara untuk memeluk agama masing-masi Di samping kekosongan hukum, dalam kenyataan hidup di Indonesia masyarakat yang bersifat pluralistik, sehingga tidak sedikit terjadi perkawinan beda Agama.

  23 Pasal 27 UUD NRI 24 Ibid. Pasal 28.

  Berdasarkan Pasal 56 Undang- Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang mengatur perkawinan di luar negeri, dapat dilakukan oleh sesama Warga Negara Indonesia, dan perkawinan antar pasangan yang berbeda agama tersebut adalah sah apabila dilakukan menurut hukum yang berlaku di mana perkawinan itu Berlangsung. Di sisi lain, Undang- Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 sama sekali tidak memberikan larangan mengenai perkawinan yang dilakukan oleh pasangan yang berbeda agama. Bila memang perkawinan beda agama tidak diperbolehkan, maka seharusnya hal tersebut harus ditegaskan dalam undang- undang hukum agama tetap saja merupakan kaedah agama yang termasuk hukum positif nasional. Oleh sebab itu kaedah- kaedah agama tidak dapat diberlakukan secara tidak langsung dalam undang-undang karena menyangkut masyarakat umum.

  Undang- Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak asasi Manusia sendiri tidak memberikan kepastian mengenai prinsip dasar perkawinan beda agama tersebut Pasal 10 Undang – Undang Hak Asasi Manusia tersebut menyatakan:

  1. Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah

  2. Perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon istri yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan . Berdasarkan Pasal 10 ayat (1) di atas, perkawinan itu akan tetap melalui prosedur yang sah. Jadi tidak boleh sembarangan melakukan perkawinan. Justru itulah, perkawinan harus di akui oleh negara. Negara harus mengakui Perkawinan setiap warga negaranya dengan tujuan ada perlindungan nantinya bagi mereka yang melakukan perkawinan itu. Selain dari jiwa Pasal 27 Undang – Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa “ semua warga negara bersamaan dengan kedudukan dalam hukum “. Di sini warga negara, sekalipun berlainan agamanya. Namun, bukan negara yang menentukan cara perkawinan tersebut. Negara Hanya memberikan Pengakuan.

  Perkawinan merupakan lanjutan dari hak hidup yang paling terpenting dan tidak terlepas dari hak hidup yang paling terpenting dan tidak terlepas dari hak untuk bebas menentukan pilihan sesuai dengan Pasal 3 Undang- undang HAK ASASI MANUSIA: “Setiap orang yang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia yang sama dan sederajat serta dikaruniai akal dan hati nurani untuk hidup bermasyarakat , berbangsa , dan bernegara dalam semangat persaudaraan. Jadi, apabila negara malah menentukan cara- cara perkawinan yang sah, maka sama saja negara tidak memberikan kebebasan memilih pasangan tadi dan otomatis kondisi ini bertentangan dengan Hak Asasi Manusia. Sudah menjadi kewajiban negara Untuk melindungi dan mengakomodir tuntutan – tuntutan tersebut tidak merugikan atau mengganggu hak orang lain. Walaupun demikian, dalam praktiknya tetap saja muncul hambatan dalam melakukan pendaftaran perkawinan beda agama. Hal ini disebabkan adanya penafsiran bahwa ini disebabkan adanya penafsiran bahwa Undang – Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 melarang terjadinya perkawinan beda agama. Penafsiran seperti inilah pada prinsipnya sangat tidak tepat karena banyak perkawinan beda agama yang diterima dalam masyarakat , dalam kasus ini , terutama untuk pasangan yang terdiri dari atas calon suami yang beragama Islam dan Calon Istri yang beragama Kristen. Dari sudut pandang Hak Asasi Manusia, penerimaan perkawinan yang berdasarkan atas agama tertentu pada prinsipnya sudah melanggar asas- asas Hak Asasi Manusia. Dan apabila dibiarkan, bukan tidak mungkin akan memberikan dampak sosial baru.

  Indonesia merupakan negara yang berdasarkan pada hukum. Penafsiran negara berdasarkan hukum tidak boleh sempit. Hukum harus responsif terhadap cita- cita negara hukum. Salah satu tujuan fundamental dari pembangunan hukum adalah menjamin terwujudnya sebuah negara hukum. Di sini Menurut saya negara harus benar – benar secara serius menjamin hak- hak dasar warga negara. Dan demikian Juga dengan Hak untuk melangsungkan perkawinan walaupun pasangan yang berbeda agama. Negara harus mengakuinya perkawinan ini antara lain harus sebagai bentuk harmonisasi ketentuan- ketentuan yang diatur dalam Undang- Undang Hak Asasi Manusia terhadap peraturan perundang-undangan lainya . Negara bertugas dan berwenang mengatur dan memberikan pelayanan kenegaraan kepada seluruh warga negara yang berkeyakinan agama apa pun. Termasuk menyelenggarakan perkawinan beda agama.

  Secara Yuridis , Undang- Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tidak melarang adanya perkawinan yang dilakukan oleh pasangan yang berbeda agama.

  Bahkan. Undang- Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 secara tidak langsung memberikan ruang bagi terjadinya Perkawinan beda agama. Secara Filosofis Hak- hak yang terkait dengan agama merupakan hak yang sangat mendasar dan tidak dapat dikurangi, diskriminasi dalam perkawinan beda Agama merupakan pelanggaran terhadap asas- asas dasar dari Hak Asasi Manusia itu sendiri. Negara tidak diskriminasi dalam pelayanan Kenegaraan (termasuk hukum), karena perbedaan agama adalah sifat dan ciri khas dari negara berdasarkan hukum dan Pancasila. Tidak ada pengaturan mengenai perkawinan beda agama di dalam Undang- Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dapat dipahami dan merupakan cerminan bangsa Negara Kita betapa alotnya pembicaraan untuk memutuskan Pasal 2 ayat (1) tersebut.

  Pasal 10 ayat (1). Undang – Undang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa yang di maksud dengan perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Artinya, bahwa perkawinan yang sah adalah perkawinan yang sesuai dengan ketentuan dalam Undang- Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, yaitu perkawinan yang sah dari aspek agama dan aspek administrasi.

B. Analisis

1 Legalitas Perkawinan Menurut Undang – Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974

   Terdapat dua ( dua) catatan Penting berkaitan dengan Legalitas

  Perkawinan diatur dalam UU No. 1. Tahun 1974 pertama, berkaitan dengan sah nya perkawinan yang dilakukan di Indonesia, dan Kedua adalah sahnya Perkawinan yang dilakukan di Luar Indonesia. Kedua cara ini sama-sama memiliki kekuatan hukum yang sama atas sahnya suatu Perkawinan , meskipun memiliki dasar yang berbeda dan tentunya pula membawa konsekuensi yang berbeda pula.

1) Perkawinan di Indonesia

  Pasal 2 ayat 1 Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu

  Pasal 2 ayat 2 Tiap-tiap perkawinan di catat menurut perundang-undangan yang berlaku. 2) Perkawinan di Luar Indonesia Pasal 56 ayat 1 Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara warganegara Indonesia atau seseorang warganegara Indonesia dengan warganegara asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warganegara Indonesia tidak melanggar Undang- Undang ini.

  Pasal 56 ayat 2

  Dalam waktu 1 ( satu) tahun setelah suami istri itu kembali di wilayah

Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di kantor

Pencatatan Perkawinan Tempat Tinggal Mereka.

  Mengacu pada Pasal 2 ayat (1) dan (2) dan Pasal 56 ayat (1) dan (2), secara tegas dikatakan bahwa sahnya Perkawinan di Indonesia adalah berdasarkan Agama. Sedangkan Pencatatan merupakan aspek administratif demi ketertiban sebagai warga negara. Pada sisi lain, perkawinan di luar Indonesia yang hanya memperhatikan aspek keperdataannya saja, maka artinya sahnya Perkawinan hanya semata-mata berdasarkan kesepakatan dan seterusnya dicatat secara administratif.

2. Keabsahan Perkawinan di Indonesia

  Pengaruh agamawi lebih terasa lagi kalau mempelajari Pasal 2 UU Perkawinan yang secara redaksional menyatakan :

  1. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

  2. Tiap- tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

  Beranjak dari eksistensi ketentuan di atas, di mana unsur agamawi sedemikian dominan, karena syarat keabsahan perkawinan ditentukan oleh unsur agama, makan akan terjadilah degradasi capaian tujuan unifikasi UU Perkawinan yang semula dibayangkan pasti mengarah pada keseragaman pelangsungan perkawinan bagi setiap warga negara Indonesia. Ini tidak lain terjadi karena masing-masing agama di Indonesia sudah barang tentu memiliki cara sendiri- sendiri untuk melangsungkan perkawinan sesuai syariatnya. Pemeluk agama yang satu kalau melangsungkan perkawinan, pasti akan berbeda dengan pemeluk agama lain, sehingga keanekaragaman tata cara melangsungkan perkawinan tak terhindarkan lagi. Berangkat dari tata cara melangsungkan perkawinan bagi masing-masing warga negara, karena memiliki keyakinan agama yang tidak sama, keseragaman itu menjadi langka. Ujung-Ujungnya , tujuan Unifikasi UU Perkawinan ternyata hanya sebatas Pada kulitnya saja, sedang substansi perkawinan tetap beragam. Aura Pasal 2 UU Perkawinan yang sarat dengan Unsur agamawi ini, menyiratkan banyak problematika, sampai-sampai memancing debat berkepanjangan dan tidak menghasilkan satunya kata bulat dalam solusi.

  Tambahan Model pelangsungan kawin sesuai aturan ayat dalam pasal tersebut, tidak lain adalah pola pelangsungan kawin orang Islam yang sejak dulu mula selalu mengawali acaranya dengan ijab qobul lalu setelah usai, dicatat oleh petugasnya. Konsekuensinya setelah model tersebut dituang dalam aturan hukum nasional, maka segenap warga negara Indonesia, tanpa melihat agamanya , proses pelangsungan kawin wajib mengikuti apa yang tergaris seperti urutan kedua ayat

  Pasal 2 UU Perkawinan tersebut. Kehadiran ketentuan Pasal 2 UU Perkawinan di atas memberikan bukti bahwa agama dijadikan patokan untuk menentukan suatu perkawinan itu sah apakah tidak. Tolak ukur agama dijadikan penentu keabsahan suatu perbuatan hukum kawin, dan sudah pasti tiap agama yang dipeluk warga negara Indonesia mengajarkan prosedur yang tidak sama. Tak urung, prosedur setiap pelangsungan perkawinan yang dilaksanakan oleh warga negara Indonesia yang tidak seragam, Tujuan UU Perkawinan menciptakan Unifikasi secara Utuh, menjadi kandas, ini memang tak terhindarkan. Unifikasi sebagai salah satu tujuan UU Perkawinan hanya tercapai pada kulitnya saja, yakni berupa bahwa setiap orang yang menyandang atribut warga negara Indonesia kalau kawin harus tunduk pada Undang- Undang yang sama. Sebatas ini saja unifikasi tersebut dapat direalisasikan, sedang substansi perkawinan tidak mungkin diseragamkan, khususnya menyangkut prosedur seperti yang ditetapkan Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan di Atas. Penggaris bawahan substansi keabsahan perkawinan adalah lebih penting dari keseragaman prosedur. Ini merupakan salah satu konsekuensi kentalnya unsur agamawi dan Struktur UU Perkawinan. Hal ini pula yang menjadi salah satu penyebab tidak utuhnya capaian UU Perkawinan guna salah satu penyebab tidak utuhnya capaian UU Perkawinan guna mewujudkan unifikasi. Memang sangat sulit untuk menghadirkan UU mewujudkan unifikasi. Memang sangat sulit untuk menghadirkan UU Perkawinan yang benar – benar capaian unifikasinya utuh dalam substansi, dan ini merupakan akibat dari sifat kompromistis, sebagai ajang menampung aspirasi banyak kepentingan.

  Ketidakseragaman nampak pula kalau menyimpak Pasal 2 ayat 2 UU Perkawinan yang menegaskan bahwa tiap- tiap perkawinan dicatat sesuai peraturan perundangan. Kejelasan tidak seragamnya pencatatan ini akan nampak mana kala membaca Pasal 2 PP No. 9/1975 yang menetapkan

  1. Pencatatan Perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat yang sebagaimana dimaksud dalam Undang Tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk.

  2. Pencatatan Perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam , dilakukan oleh Pegawai Pencatat perkawinan pada kantor catatan sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan

  3. Dengan tidak mengurangi ketentuan- ketentuan yang khusus berlaku bagi tata cara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai peraturan yang berlaku, tata cara pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 9 Peraturan Pemerintah Ini

  Menyangkut pencatatan perkawinan, diperlukan kajian lebih mendalam dengan terbitnya Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Adminsitrasi Kependudukan, beserta perubahannya sebagaimana tercantum dalam Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2013 ( selanjutnya disebut UU Administrasi kependudukan ). Pencatatan perkawinan pun bagi tiap- tiap warga negara Indonesia juga tidak seragam, dan sekali lagi tata caranya bergantung pada agama yang bersangkutan, di mana bagi yang beragama Islam dan Bukan beragama Islam ditangani oleh Institusi yang berbeda yang tentu saja keluaran akta perkawinan yang dihasilkan tidak sama. Akta Perkawinan sebagai alat bukti adanya hubungan yang bersangkutan sebagai suami istri, memang sangat diperlukan dalam tatanan hidup bermasyarakat . Oleh sebab itu, kendati ada perbedaan bentuk ataupun ujud akta perkawinan bagi warga negara Indonesia, itu tidaklah mengganggu rotasi kehidupan. Perihal pencatatan Perkawinan yang tentu saja ditangani oleh aparatur negara, memberikan pertanda bahwa peristiwa kawin, meski itu urusan privat, adalah penting untuk didokumentasikan secara resmi oleh pemerintah. Lewat cara ini , pemerintah perlu tahu bagaimana kedudukan hukum setiap warganya, selain pencatatan tersebut juga perlu bagi yang berangkutan yang mana salinanya diperlukan sebagai alat bukti diri pribadi. Dengan adanya pencatatan setiap perkawinan ke dalam register umum, pihak yang kawin, yaitu suami dan istri , akan memperoleh salinanya yang dapat difungsikan selaku alat bukti fakta hukum menyangkut kedudukannya dalam tatanan sosial.

  Ilustrasi keseluruhan Pasal 2 UU Perkawinan, baik ayat dan ayat 2, ukuran agama dijadikan patokan, oleh karena itu terjelaskan secara bahwa dalam UU Perkawinan unsur agamawi benar- benar sangat kental. Peranan agama yang dominan, mengesankan secara mendalam bahwa hukum perkawinan di Indonesia memiliki karakter yang jauh berbeda, kalai misalnya dibanding dengan aturan perkawinan dalam BW pada waktu masih berlaku. Salah satu konsekuensi aturan kawin dalam BW yang lebih menonjolkan aspek keperdataannya saja, bukan agama, juga tercermin dalam Pasal 81 BW, yang intinya menegaskan bahwa upacara gama tidak sekali- sekali boleh dilangsungkan sebelum ada bukti pencatatan perkawinan. Penekanan Urgensi urusan pencatatan Perkawinan oleh

  pasal 81 BW, tidak lain merupakan salah satu konsekuensi kehadiran Pasal 26 BW yang hanya memandang perkawinan dari segi perdatanya saja. Untuk urusan upacara agama, dianggap sebagai persoalan pribadi mempelai yang tidak perlu dicampuri oleh hukum secara intens. Ini penentuan pilihan yang ditetapkan oleh pembentuk BW sesuai dasar struktur masyarakatnya , dan ini memang berbanding terbalik dengan landasan falsafah hidup bangsa Indonesia. Akibat selanjutnya, solusi terhadap permasalahan yang timbul juga mengalami gradasi yang tidak sama. Ketidaksamaan itu wajar, karena aspek perkawinan akan dipengaruhi oleh struktur masyarakat yang bersangkutan, juga agama yang dipeluk oleh rakyatnya. Asas- Asas yang mendasari baik UU perkawinan maupun BW, sudah barang tentu juga berbeda, kendati ada beberapa prinsip yang mungkin sama. Maklum manusia di mana pun dan sampai kapan pun , akan memiliki ciri- ciri yang secara universal diakui secara simetris oleh setiap bangsa yang mengakibatkan citranya sebagai umat tetap sama. Falsafah Pancasila sebagai landasan hidup bangsa, oleh karenanya akan selalu dipergunakan sebagai sumber hukum tertinggi, maka sewaktu membuat hukum perkawinan, pemerintahan Indonesia konsisten pada falsafi yang dimiliki dengan konsekuensi UU Perkawinan yang diterbitkan dengan unsur agamawi. Sebagaimana umum memahami bahwa UU Perkawinan jelas merupakan salah satu penjabaran lanjut dari konstitusi. Kendati agama yang ada dan dipeluk anak Bangsa beraneka ragam, terbukti pemerintah berhasil menciptakan aturan perkawinan yang sifatnya kompromistis tanpa menafikan bobot martabat hidup berkelompok ini suatu pilihan yang tentu saja wajib, dipertanggung jawabkan dengan segala konsekuensi oleh segenap pihak.

  Memang harus diakui bahwa Pasal 2 UU Perkawinan menjadi sumber banyak persoalan antara lain dalam menyikapi keberadaan kawin siri yang sering terjadi dalam masyarakat menyangkut keabsahannya. Tidak kalah seru debat pelbagai pihak yang berkepanjangan saat membahas suatu perkawinan yang akan dilangsungkan oleh sepasang yang berbeda agama, di mana masing-masing bersikeras mempertahankan keyakinannya, namun tetap ingin melangsungkan perkawinan. Entah sampai kapan persoalan ini bergulir, sementara ada beberapa pasangan berbeda agama, lalu mengambil sikap pergi ke luar negeri untuk melangsungkan perkawinan yang di inginkan. Pasangan yang sudah menjadi suami istri berdasarkan hukum negara asing di mana perkawinan itu dilangsungkan , saat kembali ke tanah air, ditanggapi oleh beberapa kalangan pendapat yang berbeda- beda menyangkut keabsahannya. Begitulah Konsekuensi yang bermunculan sehubungan dengan hadirnya Pasal 2 UU Perkawinan tanpa dapat dicegah. Sampai kapan Persoalan ini mendapatkan solusi yang dapat diterima seluruh masyarakat , sulit untuk diprediksi. Harus diakui bahwa UU Perkawinan tidak memiliki ketentuan yang khusus untuk mengatur suatu perkawinan yang pihaknya berbeda agama. Menatap Pasal 2 UU Perkawinan, ternyata banyak mengunggah masalah yang tak kunjung usai telaahnya, meski sudah bermacam kiat diajukan untuk memberikan solusi. Tak banyak beda, baik di bagian Hulu maupun hilir Pasal 2 UU Perkawinan ini, persoalan terus mengular panjang tanpa kejelasan sampai kapan mendapatkan pemecahan yuridis yang diajukan, setiap kali tidak dapat diterima kalau disorot dari segi agama, demikian juga sebaliknya. Wacana Pasal 2 UU Perkawinan dengan segala konsekuensi yang ditimbulkan, tak jarang mengguncang ruang- ruang seminar ataupun semiloka. Adu berbagai pendapat kian seru sekali gaungnya tanpa dapat dicegah, namun tetap saja tidak ditemukan satu pun kata untuk disepakat.

  Kendala Perkawinan yang para pihaknya berbeda agama sebagian anggota masyarakat mengatasinya dengan cara pergi ke luar negeri untuk melangsungkan perkawinannya itu.. Tak kurang kerasnya tanggapan yang dilontarkan beberapa piak dalam menyikapi pelangsungan perkawinan beda agama warga negara Indonesia di luar negeri tersebut dengan mempersoalkan keabsahannya . Dan ini sangat wajar, namun harus disikapi dengan arif mengingat perkawinan warga negara Indonesia yang diselenggarakan di luar negeri, juga mempunyai Batu Ukur sendiri untuk menakar soal keabsahannya , Batu Ukur dalam Pasal 2 UU Perkawinan sudah barang tertentu tidak tepat kalau dikenakan pada jenis perkawinan warga Indonesia yang di langsungkan di luar negeri, akibat adanya unsur asing yang tersemat di dalamnya .

3. Hukum Perkawinan Pasangan Beda Agama di Indonesia Dan Pencatatan Perkawinan Beda Agama di Indonesia

  Pada dasarnya, Hukum Perkawinan di Indonesia tidak mengatur secara khusus mengenai perkawinan beda agama. Perkawinan yang sah adalah Namun yang menjadi permasalahannya apakah agama yang dianut oleh masing-masing pihak tersebut memperbolehkan untuk dilakukannya perkawinan beda agama . Akan tetapi , pada praktiknya memang masih dapat terjadi adanya perkawinan beda Agama Di Indonesia. Guru besar Hukum Perdata Universitas Indonesia, Prof

  

Wahyono Dharmabrata , menjelaskan ada 4 cara untuk melangsungkan

perkawinan beda agama di Indonesia.

  1. Meminta Penetapan Pengadilan

  2. Perkawinan dilakukan oleh masing- masing agama

  3. Penundukan terhadap salah satu hukum agama 4. Melangsungkan Perkawinan di Luar negeri .

  Kita Perlu mengetahui bahwa ada Yurisprudensi Mahkamah Agung ( MA) yaitu MA, yaitu putusan MA No. 1400 K/ Pdt/ 1986. Putusan MA tersebut menyatakan bahwa Kantor catatan Sipil diperkenankan untuk melangsungkan Perkawinan Beda Agama. Selain adanya Yurisprudensi tersebut sekarang pencatatan Perkawinan beda Agama juga sudah diatur Pasal 35 huruf A Jo Pasal

  25 Pasal 2 Undang- Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974

  34 Undang- Undang 23 Tahun 2006 tentang administrasi kependudukan yang mengatakan bahwa perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan juga dilakukan Pencatatan ( Pada kantor catatan Sipil). Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan Perkawinan yang dilakukan oleh antar umat yang berbeda agama

  Pengaturan Pencatatan Perkawinan Beda Agama di Indonesia Juga di bahas di

  Pasal 35 Huruf A Jo Pasal 34 Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang administrasi kependudukan Pasal 34 Undang- Undang Administrasi Penduduk

  1. Perkawinan yang Sah Berdasarkan Ketentuan Peraturan Perundang-undangan wajib dilaporkan oleh penduduk kepada Instansi Pelaksana di tempat terjadinya paling lambat 60 hari sejak tanggal perkawinan

  2. Berdasarkan Laporan sebagaimana di maksud dalam ayat (1) Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada register Akta Perkawinan dengan Menerbitkan Kutipan Akta Perkawinan

  3. Kutipan Akta Perkawinan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) masing-masing diberikan kepada suami dan istri

  4. Pelaporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh Penduduk yang Beragama Islam kepada KUA Kecamatan

  26 Penjelasan Pasal 35 huruf A, Undang- Undang Administrasi kependudukan

  5. Data hasil pencatatan atas peristiwa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan dalam Pasal 8 ayat 2 wajib disampaikan kepada KUA Kecamatan kepada Instansi Pelaksana dalam waktu paling lambat 10 hari

  6. Hasil pencatatan data sebagaimana dimaksud pada ayat 5 tidak memerlukan penerbitan Kutipan akta pencatatan sipil

  7. Pada tingkat kecamatan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap UPTD Instansi Pelaksana

  Pasal 35 Undang- Undang Administrasi Penduduk

  1. Pencatatan Perkawinan sebagaimana dimaksud dalam

  Pasal 34 berlaku pula bagi

  2. Perkawinan yang ditetapkan Oleh Pengadilan

  3. Perkawinan Warga Negara Asing yang dilakukan di Indonesia atas permintaan warga asing yang bersangkutan

  Penjelasan Pasal 35 huruf a Undang- Undang Administrasi Penduduk yang dimaksud dengan Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan adalah perkawinan yang dilakukan antar umat beragama yang berbeda agama. Penjelasan35 huruf a tersebut menyatakan bahwa pencatatan perkawinan yang diatur dalam Pasal 34 Undang- Undang Administrasi kependudukan berlaku juga bagi perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan. Sedangkan yang dimaksud dengan Perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 35 a Undang-undang Administrasi kependudukan yaitu perkawinan yang dilakukan antar umat berbeda agama. Mengenai ke mana perkawinan beda agama harus di catatkan? Apakah dicatatkan ke KUA? Atau KCS ( Kantor Catatan Sipil)? Karena tidak dijelaskan secara tegas dan spesifik Jika Perkawinan beda agama antara Pasangan agama Non Islam dan Non Islam jelas pencatatannya di KCS. Akan tetapi bagaimana perkawinan salah satu mempelainya yang satu beragama Islam dan yang satunya beragama Islam, Apakah Perkawinan beda Agama seperti itu dapat di catatkan ke KUA Kecamatan? Untuk Itu kita dapat merujuk pada pengaturan yang terdapat pada Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksaan Undang- Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 ( PP No. 9 /1975).

Dokumen yang terkait

45 BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1 Data Hasil Penelitian 4.1.1 Hasil Uji Validitas, Reliabilitas, dan Tingkat Kesukaran Instrumen Soal Tes

0 0 26

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengembangan Media Interaktif Berbasis Adobe Flash CS4 Professional pada Pembelajaran Tematik untuk Siswa Kelas 2 SD Kristen Satya Wacana Salatiga

0 0 17

BAB I PENDAHULUAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Karakteristik Badan Hukum Rumah Sakit di Indonesia

0 0 22

BAB II KAJIAN PUSTAKA - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Karakteristik Badan Hukum Rumah Sakit di Indonesia

0 0 41

BAB III PEMBAHASAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Karakteristik Badan Hukum Rumah Sakit di Indonesia

0 1 34

BAB I PENDAHULUAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peranan Pemerintah Kota Salatiga dalam Meningkatkan Ketaatan Hukum Pemilik Angkutan Umum Kota (Angkota) dalam Melakukan Uji Kelayakan Kendaraan Bermotor

0 0 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peranan Pemerintah Kota Salatiga dalam Meningkatkan Ketaatan Hukum Pemilik Angkutan Umum Kota (Angkota) dalam Melakukan Uji Kelayakan Kendaraan Bermotor

0 0 16

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peranan Pemerintah Kota Salatiga dalam Meningkatkan Ketaatan Hukum Pemilik Angkutan Umum Kota (Angkota) dalam Melakukan Uji Kelayakan Kendaraan Bermotor

0 0 46

A. Latar Belakang - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Legalitas Perkawinan Beda Agama

0 0 9

BAB II PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM TINJUAN TEORITIK 2.1 Legalitas - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Legalitas Perkawinan Beda Agama

0 0 20