BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Usia Dewasa 2.1.1 Pengertian Usia Dewasa - Respon Psikososial Usia Dewasa Pasca Erupsi Sinabung di Desa Batu Karang Kecamatan Payung Kabupaten Karo

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Usia Dewasa

2.1.1 Pengertian Usia Dewasa

  Istilah dewasa berasal dari bahasa Latin, yaitu adultus yang berarti tumbuh menjadi kekuatan dan ukuran yang sempurna atau telah menjadi dewasa.

  Seseorang dikatakan dewasa adalah apabila dia mampu menyelesaikan pertumbuhan dan menerima kedudukan yang sama dalam masyarakat atau orang dewasa lainnya (Pieter & Lubis, 2010). Seseorang dikatakan dewasa apabila telah sempurna pertumbuhan fisiknya dan mencapai kematngan psikologis sehingga mampu hidup dan berperan bersama-sama orang dewasa lainnya (Mubin & Cahyadi, 2006).

2.1.2 Pembagian Usia Dewasa

  Menurut Erikson dalam Upton (2012), usia dewasa dibagi menjadi tiga tahap antara lain: 1) Masa dewasa awal (19 hingga 40 tahun), 2) Masa dewasa menengah (40 hingga 65 tahun), 3) Masa dewasa akhir (65 hingga mati).

  

8

2.1.3 Ciri-ciri Usia Dewasa

  Menurut Anderson dalam Mubin & Cahyadi (2006), seseorang yang sudah dewasa memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

  1. Berorientasi pada tugas, bukan pada diri atau ego 2.

  Mempunyai tujuan-tujuan yang jelas dan kebiasaan-kebiasaan kerja yang efisien

  3. Dapat mengendalikan perasaan pribadinya 4.

  Mempunyai sikap yang objektif 5. Menerima kritik dan saran 6. Bertanggung jawab 7. Dapat menyesuaikan diri dengan keadaan-keadaan yang realistis dan yang baru

2.2 Perkembangan Psikososial Erikson

  Ada tiga tahapan perkembangan psikososial pada usia dewasa antara lain:

  1. Keintiman vs isolasi (intimacy versus isolation) adalah tantangan pada usia dewasa muda, hal terpenting pada tahap ini adalah adanya suatu hubungan (Erikson 1902- 1994 dalam Wade & Tavris, 2008). Masa dewasa awal (young adulthood) ditandai adanya kecenderungan intimacy dan isolation. Pada tahap ini individu sudah mulai selektif membina hubungan yang intim, hanya dengan orang-orang tertentu yang sepaham. Jadi pada tahap ini timbul dorongan untuk membentuk hubungan yang intim dengan orang-orang tertentu, dan kurang akrab atau renggang dengan orang lainnya.

  Pemahaman dalam kedekatan dengan orang lain mengandung arti adanya kerjasama yang terjalin dengan orang lain. Akan tetapi, peristiwa ini akan memiliki pengaruh yang berbeda apabila seseorang dalam tahap ini tidak mempunyai kemampuan untuk menjalin relasi dengan orang lain secara baik sehingga akan tumbuh sifat merasa terisolasi. Adanya kecenderungan maladaptif yang muncul dalam periode ini ialah rasa cuek, dimana seseorang sudah merasa terlalu bebas, sehingga mereka dapat berbuat sesuka hati tanpa memedulikan dan merasa tergantung pada segala bentuk hubungan misalnya dalam hubungan dengan sahabat, tetangga, bahkan dengan orang kekasih kita. Sementara dari segi lain (malignansi) akan terjadi keterkucilan, yaitu kecenderungan orang untuk mengisolasi atau menutup diri sendiri dari cinta, persahabatan, dan masyarakat, selain itu dapat juga muncul rasa benci dan dendam sebagai bentuk dari kesendirian dan kesepian yang dirasakan.

  Orang dewasa muda perlu membentuk hubungan dekat dan cinta dengan orang lain. Cinta yang dimakdsud tidak hanya mencakup hubungan dengan kekasih namun juga hubungan dengan orang tua, tetangga, sahabat, dan lain-lain. Ritualisasi yang terjadi pada tahap ini yaitu adanya afilisiasi dan elitism. Afilisiasi menunjukkan suatu sikap yang baik dengan mencerminkan sikap untuk mempertahankan cinta yang dibangun dengan sahabat, dan kekasih. Sedangkan elitisme menunjukkan sikap yang kurang terbuka dan selalu menaruh curiga terhadap orang lain. Keberhasilan memunculkan hubungan kuat, sedangkan kegagalan menghasilkan kesepian dan kesendirian (Erikson dalam Sumanto, 2014).

  2. Generativitas vs stagnasi (generativity versus stagnation) adalah tantangan pada masa paruh baya. Generativitas adalah perluasan cinta ke masa depan (Erikson 1902- 1994 dalam Wade & Tavris, 2008). Pada tahap ini salah satu tugas untuk dicapai ialah dapat mengabdikan diri guna keseimbangan antara sifat melahirkan sesuatu (generativitas) dengan tidak berbuat apa-apa (stagnansi).

  Orang dewasa perlu menciptakan atau memelihara hal-hal yang akan menjadi penerus hidup mereka, kerap dengan memiliki anak atau menciptakan suatu perubahan positif yang memberi manfaat bagi orang lain. Melalui generativitas akan dapat dicerminkan sikap memerdulikan orang lain, sedangkan stagnasi yaitu pemujaan terhadap diri sendiri atau digambarkan dengan tidak perduli dengan siapa pun.

  Maladaptif yang kuat akan menimbulkan sikap terlalu perduli, sehingga mereka tidak punya waktu untuk mengurus diri sendiri. Selain itu malignansi yang ada adalah penolakan, dimana seseorang tidak dapat berperan secara baik dalam lingkungan kehidupannya akibat dari semua itu kehadirannya di tengah-tengah area kehidupannya kurang mendapat sambutan yang baik.

  Harapan yang ingin dicapai pada masa ini yaitu terjadinya keseimbangan antara generativitas dan stagnasi guna mendapatkan nilai positif. Ritualisasi dalam tahap ini meliputi generasional dan otoritisme. Generasional ialah suatu interaksi/hubungan yang terjalin secara baik dan menyenangkan antara orang-orang yang berada pada usia dewasa dan para penerusnya. Sedangkan otoritisme yaitu apabila orang dewasa merasa memiliki kemampuan yang lebih berdasarkan pengalaman yang mereka alami serta memberikan segala peraturan yang ada untuk dilaksanakan secara memaksa, sehingga hubungan di antara orang dewasa dan penerusnya tidak akan berlangsung dengan baik dan menyenangkan (Erikson dalam Sumanto, 2014). Keberhasilan mendorong perasaan kebergunaan dan pencapaian, sedangkan kegagalan menghasilkan keterlibatan yang rendah di dunia (Upton, 2012).

  3. Integritas ego vs keputusasaan (ego integrity versus despair) adalah tantangan akhir dari masa lanjut usia (Erikson 1902-1994 dalam Wade & Tavris, 2008). Hal terpenting pada masa ini ialah adanya refleksi atas kehidupan. Saat beranjak tua, orang berusaha mencapai tujuan akhir yaitu kebijaksanaan, ketenangan spiritual, dan penerimaan dalam hidup. Orang dewasa akhir perlu melihat ke belakang dalam kehidupan mereka dan merasakan suatu rasa pemenuhan. Keberhasilan tahap ini mendorong perasaan arif, sedangkan kegagalan menghasilkan penyesalan, kepahitan, dan keputusasaan (Upton, 2012).

2.3 Perubahan Pada Usia Dewasa Awal

  2.3.1 Perubahan fisik

  Pada fase dewasa awal kesehatan fisik mencapai puncaknya terutama pada usia 23-27 tahun. Kesehatan fisik berada dalam keadaan baik serta kekuatan tenaga dan motorik mencapai masa puncak (Mubin & Cahyadi, 2006). Menurut potter & Perry (2009), orang dewasa awal biasanya sangat aktif, jarang mengalami penyakit parah (jika dibandingkan kelompok usia tua), cenderung mengabaikan gejala fisik, dan sering menunda pencarian pelayanan.

  2.3.2 Perubahan Kognitif

  Kemampuan berpikir kritis meningkat secara teratur selama usia dewasa awal dan pertengahan. Pengalaman pendidikan formal dan informal, pengalaman hidup, dan kesempatan untuk bekerja dapat meningkatkan konsep diri, kemampuan menyelesaikan masalah, dan keterampilan motorik individu. Mengenali bidang pekerjaan yang sesuai merupakan tugas utama individu dewasa awal. Saat individu mengetahui keterampilan, bakat, dan karakteristik personal mereka, maka pilihan pendidikan dan pekerjaan akan menjadi mudah dan lebih memuaskan. Proses pengambilan keputusan dalam masa dewasa awal harus bersifat fleksibel. Hal ini disebabkan karena masa dewasa awal terus berkembang dan harus terlibat dalam perubahan dalam perubahan rumah, tempat kerja. Dan tempat tinggal pribadi. Orang muda meresa lebih aman dengan perannya serta lebih fleksibel dan terbuka terhadap perubahan. Individu yang merasa tidak aman cenderung mengalami kesulitan dalam membuat keputusan (Potter & Perry, 2009 ).

2.3.3 Perubahan Psikososial

  Kesehatan emosi pada masa dewasa awal berhubungan dengan kemampuan individu untuk menempatkan dan memisahkan antara tugas pribadi dan tugas sosial.

  Dewasa awal biasanya terperangkap antara keinginan untuk memperpanjang rasa tidak tanggung jawabnya sewaktu remaja, tetapi juga ingin dianggap sebagai orang dewasa. Di antara usia 23-28 tahun, individu mulai memperbaiki persepsi diri dan kemampuannya untuk akrab dengan orang lain. Di usia 29-34 tahun, individu mengarahkan banyak energi pada pencapaian dan penguasaan dunia sekitar. Sedangkan usia 35-43 tahun merupakan waktu ujian terkuat dalam mencapai tujuan dan hubungan hidup. Individu membuat perubahan dalam diri sosial, dan tempat kerjanya. Biasanya stres akibat ujian yang berulang bisa menyebabkan krisis paruh baya atau midlife crisis, dimana terjadi perubahan pada pasangan pernikahan, gaya hidup, dan pekerjaan. Perubahan psikososial yang terjadi pada usia dewasa awal dapat dilihat dari beberapa aspek antara lain:

  1. Karier Keberhasilan dalam pekerjaan merupakan hal penting bagi kehidupan pria dan wanita. Keberhasilan kerja tidak hanya berupa keamanan segi ekonomi, tapi juga hubungan pertemanan, kehidupan sosial , dan penghargaan terhadap rekan kerja.

  Jumlah keluarga dengan dua karir (two-career families) saat ini mengalami peningkatan. Jenis keluarga seperti ini memiliki keuntungan sekaligus tanggung jawab. Selain adanya peningkatan keuangan keluarga, individu yang bekerja di luar rumah juga dapat mengembangkan hubungan pertemanan, kegiatan, dan keinginan.

  Namun, kondisi tersebut juga dapat menimbulkan stress yang disebabkan oleh perpindahan ke kota yang baru, peningkatan biaya, mental, atau emosional, kebutuhan perawatan anak atau kebutuhan rumah tangga. Untuk menghindari stres ini pasangan harus berbagi tanggung jawab. Bagi beberapa keluarga, penyelesaiaannya adalah membatasi biaya rekreasi dan menggantinya dengan membayar seorang pembantu untuk melakukan pekerjaan rumah.

  2. Seksualitas Perkembangan karakteristik seksual sekunder terjadi selama usia remaja.

  Perkembangan fisik biasanya disertai dengan kemampuan untuk melakukan aktivitas seksual. Pada individu dewasa awal, kemampuan fisik biasanya juga dilengkapi dengan kematangan emosional, sehingga lebih dapat membangun keakraban dan kematangan hubungan seksual. Individu dewasa awal yang gagal mencapai tugas perkembangan integrasi personal biasanya hanya dapat membangun hubungan yang tidak mendalam dan sementara (Fortinash dan Holoday Worrer, 2004 dalam Potter & Perry, 2009).

  3. Masa Lajang

  Tekanan sosial untuk menikah tidak sebesar zaman dulu. Banyak individu dewasa awal yang tidak menikah sampai akhir usia 20-an, awal usia 30-an, bahkan ada yang tidak sama sekali. Bagi individu yang memutuskan untuk hidup melajang, maka yang menjadi bagian penting dalam hidupnya adalah orang tua dan saudara kandungnya. Beberapa individu menjadikan teman dekat dan kerabatnya sebagai keluarga. Salah satu penyebab meningkatnya populasi individu yang hidup melajang adalah karena semakin luasnya kesempatan berkarier bagi wanita. Sebagian besar individu lajang memilih untuk hidup bersama di luar pernikahan, menjadi orang tua biologis, atau melakukan adopsi.

  4. Masa Menjadi Orang Tua Ketersediaan alat kontrasepsi saat ini memudahkan pasangan untuk memutuskan kapan akan memulai membentuk sebuah keluarga. Salah satu faktor yang mempengaruhi keputusan ini adalah alasan untuk memiliki anak. Tekanan sosial dapat mendorong pasangan untuk membatasi jumlah anak yang mereka miliki.

  Pertimbangan ekonomi seringkali mempengaruhi proses pengambilan keputusan karena memiliki dan membesarkan anak-anak membutuhkan biaya mahal. Status kesehatan umum dan lansia juga mempengaruhi keputusan untuk menjadi orang tua, karena pasangan menunda pernikahan dan kehamilan.

2.3.4 Kesehatan Psikososial

  Masalah kesehatan psikososial pada individu dewasa awal biasanya berhubungan dengan pekerjaan dan stressor dari keluarga. Stres dapat berguna karena dapat memotivasi klien untuk berubah. Namun, jika stres berkepanjangan dan klien tidak mampu beradaptasi dengan stresor, maka akan menimbulkan masalah kesehatan.

  Stres Pekerjaan. Stres pekerjaan dapat terjadi tiap hari atau dari waktu ke waktu. Sebagian besar individu dewasa awal dapat mengatasi krisis tersebut. Stres pekerjaan dapat terjadi saat datangnya seorang bos baru, batas waktu (deadline) sudah dekat, mendapatkan tanggung jawab menjadi lebih besar. Stres individu juga dapat terjadi saat individu merasa tidak puas dengan pekerjaan atau tanggung jawab yang diberikan. Karena individu menerima pekerjaan yang berbeda, maka tipe stresor pekerjaan yang dihadapi tiap klien juga berbeda.

  Stres Keluarga. Karena perubahan hubungan dan struktur dalam keluarga individu muda yang beragam, maka frekuensi terjadinya stres juga meningkat. Stresor situasional terjadi pada peristiwa seperti kelahiran, kematian, sakit, pernikahan, dan kehilangan pekerjaan. Stres biasanya terkait dengan beberapa variabel, termasuk pilihan karier suami/ istri dan penyebab disfungsi dalam keluarga individu dewasa awal.

  Setiap keluarga memiliki peran atau tugas tertentu bagi anggotanya. Peran tersebut membuat keluarga dapat berfungsi dan menjadi bagian yang efektif dalam masyarakat. Saat peran tersebut berubah akibat penyakit, maka krisis situasional dapat terjadi (Potter & Perry, 2009).

2.4 Perubahan Pada Dewasa Menengah

2.4.1 Perubahan fisik

  Banyak dari para dewasa madya mengalami kecemasan pada penampilan fisik yang pada akhirnya akan mengganggu relasi dengan pasangannya (Pieter & Lubis, 2010). Perubahan yang paling terlihat adalah rambut memutih, kulit keriput, dan penebalan pinggang. Sering sekali perubahan fisiologis selama masa dewasa menengah berdampak pada konsep diri dan bentuk tubuh (Potter & Perry, 2009). Badan yang kurang sehat dan cacat yang tidak dapat disembuhkan atau ditutup-tutupi sama berbahayanya bagi penyesuaian diri pribadi dan sosial pada masa dewasa dini seperti masa kanak-kanak dan remaja.

  Orang dewasa yang mempunyai hambatan fisik karena kesehatannya buruk tidak dapat mencapai keberhasilan maksimum mereka dalam pekerjaan atau pergaulan sosial. Sebagai akibatnya mereka selalu frustasi, semakin sering mereka melihat orang yang sebenarnya berpotensi kurang dari mereka berhasil, semakin besar rasa frustasi mereka (Hurlock, 1980). Beberapa perubahan lainnya dapat terjadi antara lain; mulai terjadinya proses menua secara gradual, mulai menurunnya kekuatan fisik, fungsi motorik dan sensoris, terjadinya perubahan-perubahan seksual. Kaum laki-laki mengalami climacterium dan wanita mengalami menopause (Mubin & Cahyadi, 2006).

   2.4.2 Perubahan Kognitif

  Perubahan fungsi kognitif pada individu dewasa menengah jarang terjadi, kecuali jika ada penyakit atau trauma (Potter & Perry, 2009).

  2.4.3 Perubahan Psikososial

  Perubahan psikososial pada individu dewasa menengah melibatkan peristiwa yang diharapkan, seperti anak-anak yang keluar dari rumah, sampai peristiwa yang tidak diharapkan, seperti perceraian atau kematian seorang teman dekat. Perubahan psikososial yang terjadi pada usia dewasa menengah dapat dilihat dari beberapa aspek antara lain:

  1. Transisi Karier Perubahan kaier terjadi karena pilihan atau perubahan di tempat kerja atau masyarakat. Pada dekade terakhir, individu dewasa menengah cenderung berganti pekerjaan karena berbagai alasan, antara lain keterbatasan pergerakan, penurunan peluang kerja, atau mencari pekerjaan yang lebih menantang. Pada beberapa kasus pengurangan tenaga kerja, kemajuan teknologi atau perubahan lainnya mendorong individu dewasa menengah untuk mencari pekerjaan baru. Bila tidak diantisipasi, perubahan tersebut dapat menyebabkan stres yang mempengaruhi kesehatan, hubungan dengan keluarga, konsep diri, dan dimensi lainnya.

  2. Seksualitas Setelah kepergian anak terakhir dari rumah, pasangan akan membangun kembali hubungan mereka, mencari cara untuk meningkatkan kehidupan pernikahan dan kepuasan seksual selama usia pertengahan.

  3. Psikososial Keluarga Beberapa faktor psikososial keluarga yang terkait pada dewasa menengah antara lain:

  3.1 Masa lajang Beberapa individu dewasa menengah memilih untuktetap lajang, tetapi ada juga yang memilih untuk menjadi orang tua baik secara biologis ataupun adopsi. Banyak individu dewasa menengah lajang yang memiliki sanak keluarga tapi untuk membentuk sebuah keluarga dengan teman dekat atau teman sekerja.

  3.2 Perubahan Status Pernikahan Terjadinya perubahan status pernikahan selama usia pertengahan adalah karena kematian istri/suami, perpisahan, perceraian, dan pilihan untuk menikah atau tidak menikah lagi. Klien yang berstatus janda, akibat perpisahan atau perceraian, mengalami periode berduka dan kehilangan yang diperlukan untuk beradaptasi terhadap perubahan status pernikahan. Kesedihan yang normal berlansung melalui serangkaian fase, dan resolusi kesedihan bisanya menghabiskan waktu hingga setahun atau lebih.

  3.3 Transisi Keluarga Kepergian anak terakhir dari rumah merupakan suatu stresor. Beberapa orang tua merasa senang karena bebas dari tanggung jawab mengasuh anak, sedangkan sebagian lain merasa kesepian atau kehilangan arah karena perubahan ini.

  3.4 Merawat Orang Tua yang Berusia Lanjut Banyak individu dewasa menengah terjepit antara tanggung jawab merawat anak-anak dan merawat orang tua yang berusia lanjut dan sakit-sakitan. Selanjutnya individu dewasa menengah menemukan diri mereka berada dalam generasi campuran, di mana tantangan untuk memberikan perawatan menjadi penuh tekanan.

  Kebutuhan keluarga akan pemberi layanan kini terus meningkat. Individu dewasa menengah dan orang tua berusia lanjut sering mengalami konflik prioritas berkaitan dengan hubungan mereka, sedangkan individu lanjut usia berusaha untuk tetap tidak bergantung.

  Sebagian besar orang dewasa paruh baya dan orang tua mereka memiliki hubungan yang dekat dan saling mengasihi didasarkan kepada kontak yang sering terjadi dan bantuan yang bersifat mutual (Antonucci & Akiyama, 1997; Bengtson, 2001 dalam Papalia, et al., 2013).

2.4.4 Kesehatan Psikososial

  Ansietas. Ansietas adalah fenomena krisis kematangan yang berhubungan

  dengan perubahan, konflik, dan kontrol terhadap lingkungan. Individu dewasa sering mengalami ansietas dalam merespon perubahan fisiologis dan psikososial yang terjadi pada usia pertengahan. Ansietas memotivasi individu dewasa untuk meninjau ulang tujuan hidup dalam menstimulasi produktivitas. Namun, bagi beberapa individu dewasa, ansietas dapat memicu penyakit psikosomatik dan kematian. Pada kasus ini, individu dewasa menengah memandang kehidupan sebagai waktu hidup yang tersisa.

  Secara jelas, penyakit yang mengancam kehidupan, transisi pernikahan, atau stresor pekerjaan dapat meningkatkan ansietas klien dan keluarganya.

  Depresi. Depresi adalah gangguan suasana hati yang dimanifestasikan dalam

  berbagai cara. Meskipun lebih sering ditemukan pada usia antara 22-44 tahun, tetapi dapat ditemukan juga pada individu dewasa pada usia pertengahan dan ditimbulkan oleh banyak faktor. Faktor resiko depresi adalah menjadi wanita, kegagalan atau kehilangan di pekerjaan, sekolah, atau dalam hubungan keluarga, kepergian anak terakhir dari rumah, dan riwayat keluarga.

  Individu yang mengalami depresi ringan menunjukkannya dengan perasaan sedih, murung, putus asa, jatuh dalam kesedihan, dan penuh dengan air mata. Gejala lainnya adalah gangguan pola tidur seperti sulit tidur (insomnia) atau tidur yang berlebihan (hipersomnia), iritabilitas, perasaan tidak berguna, dan penurunan kewaspadaan. Perubahan fisik seperti penurunan atau penambahan berat badan, sakit kepala, atau selalu merasa lelah walaupun telah beristirahat juga merupakan gejala depresi. Individu yang mengalami depresi pada usia pertengahan biasanya mengalami ansietas dengan intensitas sedang sampai berat dan mengalami keluhan fisik.

  Perubahan suasana hati dan depresi biasanya terjadi saat menopause. Penyalagunaan alkohol atau obat dapat membuat depresi semakin berat.

2.6 Bencana Alam

2.6.1 Pengertian Bencana Alam

  Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bencana mempunyai arti sesuatu yang menyebabkan atau menimbulkan kesusahan, keugian, atau penderitaan.

  Menurut Undang-Undang No.24 Tahun 2007, bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan menganggu khidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

  2. 6. 2. Jenis-Jenis Bencana Alam

  Jenis-jenis bencana menurut undang-undang No. 24 Tahun 2007, antara lain:

  1. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekerinngan, angin topan, dan tanah longsor.

  2. Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa non alam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemik, dan wabah penyakit.

  3. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat, dan teror (UU RI, 2007). Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (2010), jenis-jenis bencana antara lain:

  1. Gempa bumi merupakan peristiwa pelepasan energy yang menyebabkan dislokasi (pergeseran) pada bagian dalam bumi secara tiba-tiba. Mekanisme perusakan terjadi karena energy getaran gempa dirambat ke seluruh bagian bumi. Di permukaan bumi, getaran tersebut dapat menyebabkan kerusakan dan runtuhnya bangunan sehingga dapat menimbulkan korban jiwa.

  2. Tsunami diartikan sebagai gelombang laut dengan periode panjang yang ditimbulkan oleh gangguan impulsive dari dasar laut. Gangguan impulsif tersebut bisa berupa gempa bumi tektonik, erupsi vulkanik, atau longsoran. Kecepatan tsunami yang naik ke daratan (run-up) berkurang menjadi sekitar 25- 100 Km/jam dan ketinggian air.

  3. Letusan Gunung Berapi adalah merupakan bagian dari aktivitas vulkanik yang dikenal dengan istilah “erupsi”. Hampir semua kegiatan gunung api berkaitan dengan zona kegempaan aktif sebab berhubungan dengan batas lempeng.

  4. Tanah Longsor merupakan salah satu jenis gerakan massa tanah atau batuan, ataupun campuran keduanya, menuruni atau keluar lereng akibat dari terganggunya kestabilan tanah atau batuan penyusun lereng tersebut.

  2.6.3 Dampak Bencana Alam Bencana alam dapat mengakibatkan dampak yang merusak pada bidang ekonomi, sosial, lingkungan. Kerusakan infrastruktur yang mengganggu aktivitas social, dampak dalam bidang sosial mencakup kematian, luka-luka, sakit, hilangnya tempat tinggal dan kekacauan komunitas sementara kerusakan lingkungan dapat mencakup hancurnya hutan yang melindungi daratan (Karo, 2014).

  Peristiwa bencana membawa dampak bagi warga masyarakat khususnya yang menjadi korban. Beberapa permasalahan yang dihadapi korban bencana meletusnya Gunung Merapi yaitu: a.

  Kehilangan tempat tinggal untuk sementara waktu atau bisa terjadi untuk seterusnya, karena merupakan kawasan rawan bencana (termasuk dalam zona merah).

  b.

  Kehilangan mata pencaharian karena kerusakan lahan pertanian dan hancurnya tempat usaha c.

  Berpisah dengan kepala keluarga karena ayah atau suami banyak yang memilih untuk tetap tinggal di rumah dengan alas an menjaga rumah, harta benda dan tetap bekerja sebagai petani, berkebun atau peternak.

  d.

  Pemenuhan kebutuhan dasar berupa makan, minum, tempat tinggal sementara atau penampungan, pendidikan, kesehatan dan sarana air bersih yang tidak memadai.

  e.

  Terganggunya pendidikan anak-anak yang tidak bisa sekolah karena kerusakan sarana dan prasarana sekolah.

  f.

  Risiko timbulnya penyakit ringan (batuk, flu) ataupun penyakit menular (misalnya diare) karena kondisi lingkungan dan tempat penampungan yang kurang bersih dan tidak kondusif serta sarana pelayanan kesehatan yang kurang memadai.

  g.

  Terganggunya fungsi dan peran keluarga karena dalam tempat penampungan tinggal beberapa keluarga sekaligus.

  h.

  Hilangnya harga diri dan kemampuan baik sebagai individu maupun sebagai keluarga karena di tempat pengungsian mereka meneerima belas kasihan dari pihak lain dan bahkan sering kali menjadi tontonan. i.

  Terhambatnya pelaksanaan dan fungsi peran social dalam kekerabatan serta pelaksanaan tugas-tugas kehidupan dalam kemasyarakatan, misalnya: kegiatan arisan, kegiatan adat atau budaya yang tidak dapat dilaksanakan di lokasi pengungsian. j.

  Kejenuhan akibat ketidakpastian berapa lama harus mengungsi, perasaan tidak berdaya, ketakutan dan bahkan perasaan putus asa menghadapi kemungkinan bencana yang tidak mungkin dihindari (tidak dapat melawan kehendak Tuhan). Akibatnya timbul perasaan marah, stress dan frustasi dengan situasi dan kondisi yang serba tidak menentu, trauma, putus asa, merasa tidak berdaya dan ketidakpastian masa depannya. k.

  Berpikir tidak realistis dan mencari kekuatan supra natural untuk mencegah terjadinya bencana. Kekecewaan spiritual yaitu kecewa pada Tuhan karena diberi ujian atau hukuman bahkan cobaan kepada orang-orang yang merasa dirinya sudah melaksanakan ibadah sesuai ajaran agama (Marjono, 2010 dalam Rusmiyati, 2012). Menurut Sumarno (2013), beberapa gejala psikologis yang dapat terjadi karena adanya bencana letusan gunung berapi, yaitu: a. Stress

  Stres secara sederhana dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana individu terganggu keseimbangannya. Stres terjadi akibat adanya situasi dari luar ataupun dari dalam diri yang memunculkan gangguan, dan menuntu individu berespon secara sesuai. Stres merupakan suatu yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia, bahkan seperti bagian dari kehidupan itu sendiri. Masyarakat atau warga yang mengalami akibat dari erupsi merapi, mengalami stres diantaranya: gelisah, tegang, cemas, mengalami kelelahan, ketegangan otot dan sulit tidur. Ada pula yang tekanan darah dan detak jantungnya meningkat, sakit kepala, perut mulas, gatal-gatal dan diare. Stres juga dapat merubah perilaku seseorang, misalnya masyarakat menjadi lebih mudah marah, lebih suka menyendiri, nafsu makan berkurang, merasa tidak berdaya, tidak bersemangat, frustasi, atau merasa tidak percaya diri.

  b. Depresi Depresi adalah suatu gangguan mental yang paling sering terjadi pada para korban bencana alam. Setelah mengalami depresi, selanjutnya korban akan mengalami pasca trauma. Depresi berupa perasaan sedih yang berat berkepanjangan, putus asa, merasa tidak tertolong lagi. Biasanya karena kehilangan sesuatu yang dicintai, kehilangan anggota keluarga, rumah, sawah lading, ternak dan harta benda lainnya. Kehilangan kebersamaan hidup sekeluarga dengan tetangga, dan kehilangan kecantikan atau kegagahan karena luka bakar. c.Trauma

  Trauma adalah perasaan menghadapi sebuah kejadian atau serangkaian kejadian yang berbahaya, baik bagi fisik maupun psikologis seseorang, yang membuatnya tidak lagi merasa aman, menjadikannya merasa tidak berdaya dan peka dalam menghadapi bahaya. Pengalaman traumatis bisa menyebabkan berbagai dampak ringan, seperti korban menjadi peragu dalam berbuat sesuatu. Keragu-raguan ini disebabkan rasa takut mengalami peristiwa yang sama, dan pada tahap awal bisa dikatakan wajar jika rasa takutnya tidak digeneralisir. Pada kenyataannya ketakutan karena trauma sering menjalar ke berbagai hal. Sebagai contoh seseorang yang pernah mengalami musibah banjir akan merasakan takut jika melihat sungai, hal tersebut mengakibatkan dirinya takut ketika melewati jembatan. Begitu pula yang dialami oleh korban bencana gunung meletus, dirinya akan merasa takut dengan segala suara gemuruh.