1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Hubungan Antara Persepsi Karyawan Terhadap Budaya Organisasi Dengan Komitmen Afektif

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam dunia persaingan sekarang ini, setiap organisasi sedang menghadapi

  tantangan-tantangan baru yang menuntut organisasi untuk mempertahankan produktifitas dan membentuk karyawan yang berkomitmen (Dixit dan Bhati, 2012).

  Mempertahankan komitmen karyawan dan produktifitas dalam organisasi adalah merupakan isu yang kritikal. Hal ini merupakan tantangan bagi organisasi untuk mengelola karyawan yang berkualitas dan meningkatkan komitmen karyawan terhadap organisasi (Capplan dan Teese, dalam Mariatin, 2009).

  Karyawan yang berkomitmen berarti bersifat loyal terhadap organisasinya, dimana karyawan yang setia memiliki keuntungan untuk bersaing (McShane dan Glinow, 2003). Komitmen karyawan adalah suatu tingkat dimana karyawan mengidentifikasi dan bersedia secara aktif berpartisipasi dalam organisasi (Nystrom, dalam Sola, Femi & Kolapo, 2012). Komitmen organisasi juga dapat didefinisikan sebagai suatu tingkat dimana karyawan menerima tujuan dan nilai organisasi serta bersedia untuk mengerahkan usahanya untuk membantu organisasi mencapai tujuan tersebut (Herseovitch dan Meyer, dalam Sola, Femi & Kolapo, 2012). Hal ini dapat ditemukan pada karyawan-karyawan yang bekerja pada PT. X.

  1 Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti pada beberapa karyawan di PT. X, menunjukkan bahwa setiap karyawan yang bekerja dalam PT ini menerima dengan baik tujuan dan nilai-nilai yang ada dalam organisasi, dimana terlihat pada setiap karyawan yang bersedia secara aktif berpartisipasi dalam setiap kegiatan yang diadakan oleh organisasi guna untuk mencapai tujuan organisasi. Hal ini diperkuat oleh Mathieu dan Zajac (dalam Nasina & Doris, 2011), dimana karyawan yang berkomitmen berarti karyawan yang memiliki keterlibatan yang tinggi seperti selalu mendukung tujuan, rencana dan setiap kegiatan yang diadakan oleh organisasi. Karyawan yang berkomitmen tinggi biasanya akan menunjukkan suatu keinginan yang kuat untuk menetap dalam organisasi tersebut (Nasina & Doris, 2011).

  PT. X merupakan suatu perusahaan distribusi yang berdiri pada tahun 1985 serta berkembang menjadi salah satu perusahaan distribusi terbesar di Indonesia.

  Perusahaan ini mengkhususkan diri pada pendistribusian produk kebutuhan sehari- hari, meliputi beragam katergori yaitu biskuit, wafer, permen, mi instan, minuman kesehatan, makanan ringan, baterai dan lain-lain.

  Beberapa karyawan yang bekerja di PT. X menyatakan bahwa selama bekerja dalam organisasi ini, mereka merasa nyaman dan puas baik terhadap organisasi maupun pada pekerjaan mereka masing-masing. Karyawan tersebut menyatakan bahwa pekerjaan mereka membuat mereka menjadi lebih banyak tahu, bisa menguasai banyak hal, berhubungan dengan banyak orang dan menambah wawasan mereka. Jika pengalaman karyawan dalam organisasi sesuai dengan harapan mereka dan dapat memuaskan kebutuhan mereka, maka dapat mengembangkan komitmen afektif yang kuat pada organisasinya daripada karyawan-karyawan dengan kepuasan yang sedikit terhadap pengalaman kerja mereka (Meyer, dalam Meijen 2007). Meyer dan Allen (1997) percaya bahwa pengalaman kerja ini dapat dibagi kedalam dua kategori, yaitu: (1) karyawan yang puas akan merasa nyaman secara fisik dan fisiologis dalam organisasi mereka dan (2) karyawan tersebut juga merasa berkompeten dalam pekerjaan mereka.

  Meyer dan Allen (1997) menyatakan komitmen afektif merupakan keterikatan emosional kepada organisasi, identifikasi dengan organisasi dan keterlibatan karyawan dalam organisasi. Karyawan yang berkomitmen secara afektif memiliki

  

sense of belonging yang meningkatkan keterlibatan mereka dalam aktivitas organisasi,

  keingingan mereka untuk mencapai tujuan organisasi dan kesediaan untuk menetap dalam organisasi tersebut (Meyer & Allen; Mowday, Porter & Steers, dalam Rhoades, Eisenberger dan Armeli, 2001).

  Hubungan antara karyawan dan pemimpin organisasi dapat mempengaruhi perkembangan komitmen afektif karyawan (Meyer dan Allen, 1997). Karyawan akan memiliki komitmen afektif yang kuat ketika pemimpin perusahaan mengizinkan mereka untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan (Jermier & Berkes, dalam Meyer dan Allen, 1997) serta mendapat perlakuan yang adil dari pemimpin (Meyer dan Allen, 1997). Beberapa karyawan PT. X menyatakan bahwa mereka memiliki hubungan yang baik dengan pemimpin mereka, dimana pemimpin mereka memperlakukan setiap karyawan secara adil dan pemimpin juga dapat memberikan kesempatan bagi setiap karyawan untuk mengambil keputusan, dengan demikian mereka merasa nyaman bekerja sama dengan pemimpin mereka.

  Meyer dan Allen (1997) merefleksikan komitmen sebagai sebuah orientasi afektif terhadap organisasi (komitmen afektif), sebuah pengakuan adanya biaya yang harus dibayar ketika meninggalkan organisasi (continuance commitment) dan sebuah kewajiban moral untuk tetap bertahan di dalam organisasi tersebut (normative

  

commitment ). Meyer dan Allen (1997) mengajukan hal itu sebagai tiga model

  komponen pada komitmen (three-component model of commitment). Karyawan dengan komitmen afektif yang kuat tetap bekerja dengan organisasi tersebut karena mereka ingin melakukannya. Karyawan yang bertahan dalam suatu organisasi berdasarkan continuance commitment itu karena mereka perlu melakukannya.

  Sedangkan karyawan dengan tingkat normative commitment yang tinggi merasa bahwa mereka wajib untuk bertahan dalam organisasi tersebut (Meyer & Allen, 1997).

  Menurut data yang diterima peneliti melalui hasil wawancara terhadap beberapa karyawan di PT. X, menunjukkan bahwa karyawan yang bekerja di PT tersebut memiliki tipe komitmen afektif dimana memenuhi beberapa indikator- indikator perilaku yang terdapat pada tipe komitmen tersebut.

  Karyawan dengan tingkat komitmen afektif yang tinggi lebih sedikit keluar dari pekerjaan mereka, absen dari bekerja (McShane dan Glinow, 2003), dan memiliki motivasi serta keinginan yang kuat untuk berkontribusi pada organisasi tersebut (Meyer & Allen, 1997). Hal ini sesuai dengan pernyataan seorang karyawan yang bekerja sebagai HRD di PT. X, bahwa terdapat sedikit karyawan yang keluar dari pekerjaan mereka ataupun absen dalam bekerja dan setiap karyawan juga berkontribusi dengan baik dalam perusahaan mereka.

  Budaya organisasi dinyatakan mampu untuk meningkatkan komitmen pada karyawan (Keren, dkk, dalam Sabir, Razzaq dan Yameen, 2010), karena budaya organisasi pada umumnya memiliki pengaruh pada komitmen organisasi karyawan (O’Reilly, dalam Silverthorne, 2004). Harris dan Mossholder (dalam Rastegar dan Aghayan, 2012) menunjukkan bahwa budaya organisasi sebagai pusat dimana seluruh faktor-faktor sumber daya manusia ditingkatkan, hal tersebut dipercaya mempengaruhi attitudes individu seperti komitmen, motivasi, moral dan kepuasan.

  Lincoln dan Kelleberg (dalam Bjarnason, 2009) turut membuktikan bahwa komitmen organisasi adalah merupakan manifestasi daripada nilai budaya yang kuat dan mendalam. Komitmen merupakan suatu kepercayaan yang timbul dari hati karyawan yang sering dikaitkan dengan budaya organisasi yang tinggi (Storey, dkk, dalam Mariatin, 2009).

  Peranan budaya organisasi sangatlah penting dalam memahami perilaku organisasi. Menurut Wagner (dalam Manetje dan Martins, 2009), budaya organisasi memiliki pengaruh yang kuat terhadap perilaku dan attitude karyawan, hal itu karena budaya organisasi terdiri dari standar dan norma yang menentukan bagaimana karyawan harus berperilaku dalam organisasi tertentu.

  Menurut Schein (dalam Rollinson, 2005), budaya organisasi adalah suatu pola asumsi dasar yang diciptakan, dipersepsikan, atau dikembangkan oleh suatu kelompok seperti belajar untuk mengatasi masalah-masalah dan telah bekerja cukup baik, karena itu hal ini diajarkan kepada anggota-anggota baru sebagai cara terbaik untuk mempersepsikan, berpikir dan merasakan hubungannya dengan masalah- masalah tersebut. Budaya organisasi dapat dianalisa pada tiga level yang berbeda antara lain surface level, espoused value dan basic assumptions. Pada surface level terdiri dari bahasa, simbol, lingkungan fisik, ritual atau upacara dimana merupakan artefak yang berisi struktur dan proses yang tampak dalam organisasi. Pada espoused

  

value terdiri dari strategi, tujuan dan filosofi. Sedangkan pada basic assumptions

terdapat persepsi, pemikiran, perasaan dan beliefs (Schein, 1984).

  Saat ini, budaya organisasi telah menjadi komponen dasar pada setiap bisnis. Budaya organisasi tersebut berkomunikasi pada setiap level budaya karena organisasi mencapai tujuan ketika nilai-nilai budaya dibagikan pada seluruh tenaga kerja dalam organisasi tersebut, dan hal ini akan memberikan keuntungan yang besar pada organisasi (Sabir, Razzaq dan Yameen, 2010).

  Beberapa tokoh telah mendiskusikan kemungkinan adanya hubungan teoritis yang positif antara komitmen organisasi dan budaya organisasi. Hal ini muncul karena budaya organisasi cenderung mempengaruhi usaha kerja dan komitmen karyawan secara langsung melalui nilai-nilai budaya (Black, dalam Manetje dan Martins, 2009). Budaya yang positif meningkatkan komitmen karyawan dimana dapat mencapai tujuan organisasi secara efektif (Sabir, Razzaq dan Yameen, 2010).

  Hubungan antara budaya organisasi dan komitmen organisasi juga menunjukkan karyawan yang bekerja dalam budaya yang kuat akan merasa lebih berkomitmen (Nystrom, dalam Manetje dan Martins, 2010).

  Hubungan positif antara budaya organisasi dan komitmen organisasi tersebut juga diperkuat melalui penemuan beberapa peneliti diantaranya, Lau dan Idris (dalam Sola, Femi & Kolapo, 2012) menemukan bahwa komitmen organisasi dipengaruhi oleh budaya organisasi yang mencerminkan kuatnya keterikatan atau keterlibatan karyawan dengan perusahaan mereka. Ooi dan Arumugan (dalam Sola, Femi dan Kolapo, 2012) juga menemukan adanya hubungan signifikan antara budaya organisasi dan komitmen pada karyawan, dimana mereka menyatakan bahwa ketika budaya organisasi dan komitmen organisasi berhasil dilaksanakan maka akan membawa perubahan dalam suatu organisasi.

  Sabir, Razzaq dan Yameen (2010) turut membuktikan hubungan signifikan antara budaya organisasi dan komitmen organisasi melalui penelitian yang mereka lakukan, dimana penelitian itu menunjukkan dampak dari tiga level budaya organisasi terhadap komitmen karyawan. Pada surface level, lingkungan fisik mengundang orang-orang dari latar belakang yang berbeda termasuk bahasa. Lingkungan dan komunikasi yang efektif memberikan kebahagiaan bagi karyawan pada organisasi yaitu dengan meningkatnya keterikatan emosional dengan organisasi tersebut (George, dalam Sabir, Razzaq dan Yameen, 2010). Dengan demikian, komitmen afektif akan meningkat jika memberikan lingkungan dimana karyawan merasa lebih nyaman pada pekerjaannya dan dengan mudah berinteraksi dengan orang lain dalam lingkungan yang pantas. Ritual dan upacara dalam organisasi mempengaruhi tingkat keterikatan karyawan dengan organisasi dan sejarah organisasi juga dapat mendorong komitmen afektif karyawan yang baru. Oleh karena itu, artefak atau surface level pada budaya organisasi dapat mendorong karyawan dan meningkatkan tingkat kepercayaan diri mereka terhadap keterikatan dengan organisasi tersebut (Nelson & Quick, dalam Sabir, Razzaq dan Yameen, 2010). menunjukkan nilai dan norma dalam organisasi dimana

  Espoused values

  secara signifikan berhubungan dengan komitmen pada suatu organisasi. Espoused

  

values merupakan aspirasi pemimpin organisasi, dimana pemimpin organisasi

  menyusun target untuk karyawan, menegaskan pada pencapaiannya, dan mengijinkan waktu istirahat yang dapat meningkatkan komitmen karyawan (Cooper, dalam Sabir, Razzaq dan Yameen, 2010). Pelaksanaan strategi berdasarkan budaya organisasi mendukung komitmen karyawan dalam organisasi (Whetten & Cameron, dalam Sabir, Razzaq dan Yameen, 2010). Karyawan membutuhkan seorang pemimpin yang dapat dijadikan teladan serta seorang pemimpin yang diharapkan mampu melakukan perubahan, oleh karena itu pentingnya suatu organisasi memiliki seorang pemimpin yang mampu untuk membimbing karyawan dan memotivasi mereka untuk lebih berkomitmen (Ahmad dan Gelaidan, 2011).

  Basic assumptions sebagai level ketiga pada budaya organisasi yang terdiri

  dari pemikiran, persepsi, perasaan dan beliefs meningkatkan komitmen pada karyawan. Smith (dalam Meijen, 2007) menyatakan bahwa asumsi dikembangkan atau ditemukan melalui karyawan, dimana asumsi ini cukup penting untuk mengajari anggota yang baru bergabung ke dalam suatu organisasi karena mereka dapat mengetahui bagaimana karyawan harus menerima, berpikir dan merasakan mengenai suatu masalah. Asumsi dasar dan nilai yang dibangun dengan baik sesuai dengan

  

attitude organisasi dapat membantu untuk mengembangkan tingkat yang tinggi pada

  komitmen karyawan dengan organisasi tersebut (Fink, dalam Sabir, Razzaq dan Yameen, 2010). Organisasi dapat meningkatkan kepercayaan karyawan dengan membagikan nilai-nilai kepada para karyawan yang membuat asumsi dasar dan nilai pada budaya organisasi. Faktor-faktor ini meningkatkan motivasi dan komitmen karyawan terhadap tujuan organisasi (Mcshane dan Glinow, 2003).

  Hal tersebut menunjukkan bahwa berbagai level pada budaya organisasi mempengaruhi komitmen karyawan pada level yang berbeda. Sabir, Razzaq dan Yameen (2010) menyatakan ketika karyawan memiliki persepsi yang positif terhadap budaya organisasi pada perusahaan tempat mereka bekerja, hal ini tidak hanya meningkatkan kinerja karyawan melainkan juga meningkatkan komitmen pada karyawan dalam organisasi tersebut. Robbins (dalam George dan Jayan, 2012) juga menambahkan, adanya persepsi karyawan terhadap organisasi yang kuat (strong

culture ) akan berhasil memberikan pengaruh positif terhadap komitmen karyawannya.

  Dalam hal ini, dapat dinyatakan bahwa bagaimana persepsi karyawan terhadap budaya organisasi sangat memberikan dampak terhadap peningkatan efektifitas suatu organisasi (Denison, dalam Geldenhuys, 2006), karena budaya organisasi yang efektif di dalam suatu organisasi membangun lingkungan komitmen yang tinggi (Denison, dalam Sabir, Razzaq dan Yameen, 2010).

  Berdasarkan hal yang dipaparkan diatas sesuai dengan fenomena yang ditemukan di PT. X ini, maka peneliti tertarik untuk melihat apakah terdapat hubungan antara budaya organisasi dengan komitmen afektif pada karyawan di PT.

  X. B. Perumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

  “apakah ada hubungan antara persepsi karyawan terhadap budaya organisasi dengan komitmen afektif? ”

  C. Tujuan Penelitian

  Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara persepsi karyawan terhadap budaya organisasi dengan komitmen afektif. Penelitian ini akan melihat dari teori budaya organisasi oleh Edgar Schein (1984) dimana berhubungan dengan komitmen afektif oleh Meyer dan Allen (1997).

  D. Manfaat Penelitian 1.

  Manfaat Teoritis Manfaat penelitian ini secara teoritis adalah untuk menambah wawasan dalam bidang Psikologi Industri dan Organisasi dan sebagai tambahan sumber bahan bacaan sebagai hasil penelitian yang berkaitan dengan hubungan antara persepsi karyawan terhadap budaya organisasi dengan komitment afektif pada karyawan yang bekerja dalam salah satu organisasi.

2. Manfaat Praktis

  Mengetahui sejauh mana tingkat komitmen afektif para karyawan terhadap organisasi serta mengetahui sejauh mana persepsi karyawan terhadap budaya pada organisasi tersebut memiliki hubungan dengan tingkat komitmen afektif para karyawannya. Dengan mengetahui hal tersebut, diharapkan organisasi dapat meningkatkan komitmen karyawan melalui budaya organisasinya.

E. Sistematika Penulisan

  Adapun sistematika penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut :

  BAB I PENDAHULUAN Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan. Disini digambarkan tentang berbagai tinjauan literatur, fenomena, teori dan hasil-hasil penelitian sebelumnya mengenai komponen komitmen organisasi dan budaya organisasi.

  BAB II LANDASAN TEORI Bab ini menguraikan landasan teori yang mendasari masalah yang menjadi objek penelitian. Membuat landasan teori berdasarkan teori yang relevan mengenai teori budaya organisasi menurut Edgar Schein dan teori komitmen organisasi menurut Meyer dan Allen. Bab ini juga mengemukakan hipotesa sebagai jawaban sementara terhadap masalah penelitian yang menjelaskan hubungan budaya organisasi dengan komitmen organisasi.

  BAB III METODOLOGI PENELITIAN Bab ini menguraikan identifikasi variabel penelitian, definisi operasional variabel, populasi, alat ukur penelitian, validitas dan reliabilitas alat ukur, uji daya beda aitem, prosedur pelaksanaan penelitian serta metode analisa data yang digunakan untuk mengolah hasil data penelitian.

  BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN Pada bab ini akan dipaparkan mengenai gambaran umum subjek penelitian, serta bagaimana analisa data dilakukan dengan menggunakan analisis statistik. Bab ini juga akan diuraikan mengenai intepretasi data yang ada. Kemudian data-data tersebut akan diuraikan dalam pembahasan.

  BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Dalam bab ini akan dibahas mengenai kesimpulan peneliti mengenai hasil penelitian dilengkapi dengan saran-saran bagi pihak lain berdasarkan hasil yang diperoleh.