BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Pemanfaatan Kitosan Dari Cangkang Bekicot (Achatina Fulica) Sebagai Pengawet Ikan Kembung (Rastrelliger Sp) dan Ikan Lele (Clarias Batrachus)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 CANGKANG BEKICOT (Achatina fulica)

  Bekicot (Achatina fullica) merupakan hama bagi persawahan yang sering dimanfaatkan masyarakat sebagai pakan ternak, seperti itik. Bekicot menurut jenisnya dapat dibedakan menjadi empat yakni; Achatina variegata, Achatina fullica,

  Helix pomatia dan Helix aspersa sedangkan dua jenis terakhir tidak ditemukan di

  Indonesia. Di Indonesia potensi bekicot rata - rata meningkat sebesar 7,4 persen per tahun. Selain digunakan sebagai pakan ternak cangkangnya dapat digunakan sebagai hiasan seperti gantungan kunci, tetapi tidak jarang cangkang bekicot di buang begitu saja dan dibiarkan membusuk yang akhirnya akan menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan. Salah satu alternatif upaya pemanfaatan limbah cangkang bekicot agar memiliki nilai dan daya guna limbah cangkang bekicot menjadi produk yang bernilai ekonomis tinggi adalah pengolahan menjadi kitin dan kitosan [11]. Berikut akan dijelaskan beberapa organisme yang mengandung kitin, dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 2.1 Beberapa organisme yang mengandung kitin [8],[12].

  

Organisme Kitin (%) Organisme Kitin (%)

Snail 70-80 Pieris (butterfly)

  64.0 Cancer (crab)

  72.1 Bombyx (silk worm)

  44.2 Carcinus (crab)

  64.2 Galleria (wax worm)

  33.7 Paralithodes (king crab)

  35.0 Mollusks: Callinectes (blue crab)

14.0 clam

  6.1 Crangon and Pandalus (shrimp) 17–40 shell oysters

  3.6 Alaska shrimp 28.0 squid pen

  41.0 Nephro (lobster) 69.8 krill, deproteinized shells

  40.2 Homarus (lobster) 60–75 Fungi: Lepas (goose barnacle)

  58.3 Aspergillus niger

  42.0 Insects: Penicillium notatum

  18.5 Periplaneta (cockroach)

  2.0 Penicillium chrysogenum

  20.1 Blatella (cockroach)

  18.4 Saccharomyces cerevisiae

  2.9 Coleoptera (ladybird) 27–35 Mucor rouxii

  44.5 Diptera

  54.8 Lactarius vellereus

  19.0

  5 Adapun anatomi bekicot (Achatina fulica), dapat dilihat pada gambar berikut :

Gambar 2.1 Anatomi Bekicot (Achatina fulica) [13]

2.2 KITIN DAN KITOSAN

  Kata kitin berasal dari bahasa Yunani, khiton yang berarti baju dari besi karena sesuai dengan fungsinya sebagai jaket pelindung untuk hewan-hewan golongan invertebrata. Kitin merupakan bagian konstituen organik yang sangat penting pada kerangka hewan golongan arthropoda, molusca, nematoda, crustasea, beberapa kelas serangga dan jamur [14].

  Kitin merupakan senyawa penyusun rangka, terdiri atas satuan Asetil Glukosamin yang berikatan (1 4) beta, seperti yang terlihat pada berikut :

Gambar 2.2 Struktur Kimia Kitin [16]

  Menurut Cahyaningrum [15], kitin berbentuk kristal berwarna putih, tidak berasa dan tidak berbau. Kitin tidak larut dalam air, asam anorganik encer, alkali

  6 encer dan pekat, alkohol dan pelarut organik lainnya yang bersifat polikationik. Kitin merupakan polimer (1 4) -2-asetamido-2-deoksi-ß-Dglukosamin yang dapat asetilnya dengan menggunakan basa kuat. Kitosan memiliki lebih banyak kandungan nitrogen dari pada kitin. Gugus amina dan hidroksil di dalam kitosan menjadikan kitosan bersifat lebih aktif dan bersifat polikationik. Sifat tersebut dapat dimanfaatkan sebagai koagulan logam berat [16]. Adapun struktur kimia kitosan, dapat dilihat pada gambar berikut :

Gambar 2.3 Struktur Kimia Kitosan [16]

  Kitosan merupakan senyawa yang tidak larut dalam air, larutan basa kuat, H SO , tetapi sedikit larut dalam HCl, HNO , dan 0,5% H PO . Kitosan juga tidak

  2

  4

  3

  3

  4

  larut dalam beberapa pelarut organik seperti alkohol, tetapi kitosan larut dengan baik dalam asam format berkonsentrasi (0,2-100) %. Kitosan tidak beracun dan memiliki berat molekul sekitar 1,2 x 105 gram/mol, bergantung pada degradasi yang terjadi selama proses deasetilasi.

  Kitosan telah banyak dimanfaatkan dalam beragam industri, antara lain sebagai agen penstabil rasa dalam industri makanan, bahan aditif untuk shampo dan kosmetik, bahan anti bakteri, adsorben untuk penghilang logam berat dan pemurnian air. Kitosan memiliki gugus amina, adanya unsur N menjadikan kitosan bersifat sangat reaktif dan bersifat basa [17].

  Kitosan adalah senyawa biopolimer yang diturunkan dari kitin, yaitu senyawa dengan struktur homopolimer P-(1-4) Nacetyl- D-glucosamine. Kitin terdapat secara luas pada hewan-hewan invetebrata di laut, serangga, jamur dan juga ragi. Umumnya

  • cangkang dari hewan laut mengandung 30-40% protein, 30 50% kalsium karbonat

  dan kalsium fosfat, dan 20-30% kitin. Kitin terdapat pada hampir semua hewan laut berkulit keras seperti udang, kepiting dan lobster.

  7 Kitin dan kitosan mempunyai struktur kimia yang sama . Kitin terdiri dari rantai lurus asetil-glukosamin, sedangkan kitosan diperoleh melalui pemutusan gugus asetil kitin dengan kitosan adalah kadungan asetil dari polimernya. Kitosan adalah turunan kitin yang paling banyak kegunaannya [18].

  Kitosan merupakan produk dari proses deasetilasi kitin yang memiliki sifat unik. Penampilan fungsional kitosan ditentukan oleh sifat dan kimiawinya. Seperti halnya dengan polisakarida lain, kitosan memiliki kerangka gula, tetapi dengan sifat yang unik karena polimer ini memiliki gugus amin bermuatan positif. Sifat fleksibilitas kitosan membantu daya gunanya di dalam berbagai produk. Sifat reologis ini juga menjadikannya sensitif terhadap perubahan pH dan kekuatan ion [19]. Adapun syarat-syarat kitosan yang telah disesuaikan untuk kitosan, dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 2.2 Syarat – syarat kitosan komersil (Protan Laboratories) dalam [20]

  Parameter Nilai

  Ukuran partikel Serpihan sampai serbuk Kadar air

  ≤ 10% Kadar abu ≤ 2%

  Kadar nitrogen ≤ 5%

  Warna Larutan Jernih Derajat deasetilasi ≥ 70%

  Viskositas (cps) Rendah < 200 cps

  Sedang 200 – 799 cps Tinggi 800 – 2000 cps

  Ekstra tinggi > 2000 cps

2.3 PROSES ISOLASI KITIN DAN KITOSAN

  Isolasi kitin dilakukan secara bertahap. Tahap awal dimulai dengan pemisahan protein dengan larutan basa, yang disebut dengan tahap deproteinasi. Deproteinasi bertujuan untuk memisahkan protein pada bahan dasar cangkang. Efektifitas

  8 prosesnya tergantung pada konsentrasi NaOH yang digunakan, diperkirakan reaksinya sebagai berikut [21].

Gambar 2.4 Reaksi Deproteinasi [21]

  Tahap kedua yaitu demineralisasi. Tahap demineralisasi bertujuan untuk memisahkan mineral organik yang terikat pada bahan dasar, yaitu CaCO sebagai

  3

  mineral utama dan Ca(PO

  4 ) 2 dalam jumlah minor. Proses pemisahan diperkirakan terjadi menurut reaksi berikut [21].

Gambar 2.5 Reaksi Demineralisasi [21]

  9 Tranformasi kitin menjadi kitosan disebut tahap deasetilasi, yaitu dengan memberikan perlakuan dengan basa berkonsentrasi tinggi. Reaksi deasetilasi senyawa kitin untuk memperbesar persentase gugus amina pada kitosan, adapun reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut [21].

Gambar 2.6 Reaksi Deasetilasi Kitin Menjadi Kitosan [21]

  10

2.4 FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI KITOSAN

  Faktor – faktor yang mempengaruhi pengolahan karakteristik fisikokimia 1. Suhu deasetilasi

  Suhu yang lebih tinggi cenderung meningkatkan derajat deasetilasi tetapi mengurangi molekul ukuran. Ada hubungan substansial linier antara temperatur (diplot sepanjang absis sebagai 1/T dalam K) dan tingkat deasetilasi (diplot logaritmis sepanjang ordinat).

  2. Waktu deasetilasi dan Konsentrasi Alkali Wu dan Bough menyatakan deasetilasi yang berlangsung cepat sekitar 68%

  o

  selama 1 jam yang pertama dalam 50% larutan NaOH pada suhu 100

  C. Namun, reaksi berlangsung secara bertahap setelah mencapai sekitar 78% dalam 5 jam. Dengan demikian, perlakuan alkali di atas 2 jam deasetilasi kitin secara signifikan dapat merusak rantai molekul. Dalam sebuah studi konsentrasi dengan 35, 40, dan 50% NaOH sebagai konsentrasi alkali menurun, tingkat penurunan baik viskositas dan distribusi berat molekul juga melambat. Dahan et al, menyinggung bahwa

  o

  kitosan deasetilasi selama 5 menit dengan 50% NaOH pada 145-150 C memiliki viskositas yang lebih tinggi (1,7-16,4 kali lipat) dan berat molekul (1,1-1,8 kali lipat) daripada kitosan deasetilasi selama 15 menit. Demikian pula, penurunan viskositas dengan peningkatan waktu reaksi ditunjukkan dan dikonfirmasi.

  3. Pengaruh Kondisi Pengolahan Aplikasi Isolasi Kitin Kondisi pengolahan aplikasi isolasi kitosan terutama mempengaruhi viskositas produk daripada properti lainnya. Madhavan Nair (1974) melaporkan bahwa penggunaan HCl pada konsentrasi di atas 1,25 N terpengaruh viskositas produk kitosan akhir. Selain itu, kitosan viskositas cenderung menurun dengan meningkatnya waktu demineralisasi. Di sisi lain, Bough et al. menemukan bahwa dengan deproteinisasi 3% NaOH, dan pemutusan langkah demineralisasi dalam persiapan kitin, menurunkan viskositas sampel kitosan. Dimana Moorjani et al, menunjukkan bahwa tidak diinginkan untuk pemutih pada setiap tahap sejak pemutihan sangat mengurangi viskositas kitosan akhir produk.

  11

  4. Atmosfir Banyak ilmuwan telah sepakat bahwa akses bebas oksigen ke kitin selama nitrogen yang dihasilkan kitosan viskositas yang lebih tinggi dan distribusi berat molekul daripada di udara. Namun, sedikit perbedaan dalam komposisi nitrogen dan abu diamati.

  5. Perbandingan dari Kitin untuk Larutan Alkali Moorjani et al. menekankan bahwa perbandingan antara padatan kitin dengan larutan alkali memainkan peran penting dalam menentukan kualitas kitosan, berdasarkan penentuan viskositas. Melaporkan perbandingan antara padatan kitin dengan larutan alkali berkisar dari 1:10 sampai 1:100 secara basah, dan 1:4 secara kering atau ketika pemanasan kering digunakan.

  6. Ukuran Partikel Ukuran partikel kitosan produksi telah memicu laporan kontroversial di efeknya pada kualitas kitosan. Beberapa setuju bahwa ukuran partikel kecil lebih baik daripada ukuran partikel besar. Menurut Bough et al, ukuran partikel (1 mm) hasil yang lebih kecil dalam produk kitosan dari kedua viskositas yang lebih tinggi dan berat molekul daripada ukuran partikel yang lebih besar (di atas 2-6,4 mm). Ukuran partikel yang lebih besar membutuhkan waktu yang lebih lama pembengkakan sehingga tingkat deasetilasi lebih lambat. Namun, Lusena dan Rose menunjukkan bahwa ukuran partikel kitin dalam kisaran 20-80 mesh (0,841-0,177 mm) tidak berpengaruh pada tingkat deasetilasi dan viskositas solusi kitosan [22].

2.5 PEMBUSUKAN IKAN

  Pembusukan ikan segar dan tinggi rusaknya terutama disebabkan oleh sejumlah besar non-protein nitrogen (seperti asam amino bebas), basa volatil nitrogen (ammonia, creatine, taurine, uric acid, carnosine dan histamine) yang mendukung pertumbuhan bakteri. Ikan juga memiliki suatu netral pH untuk sedikit asam dan kelembaban tinggi konten yang mendukung pertumbuhan berbagai mikroba ditambah dengan poikilothermic alam mereka. Pembusukan ikan dasarnya dapat dikaitkan dengan tiga faktor utama yaitu : mikroba, enzim atau pembusukan autolitik dan kimia (oksidatif tengik) yang mikrobiologis kontaminasi telah dicatat

  12 sebagai penyebab utama kerusakan ikan. Mikroflora awal pada permukaan ikan secara langsung berkaitan dengan lingkungan perairan sekitarnya sementara flora

2.5.1 Tanda-Tanda Kerusakan yang Terjadi Pada Ikan

  Kerusakan pada ikan terutama disebabkan oleh pertumbuhan bakteri pembusuk. Tanda-tanda kerusakan yang disebabkan oleh pertumbuhan bakteri pada ikan yang belum diolah meliputi : a. Pembentukan lendir pada permukaan ikan.

  b. Bau busuk karena terbentuknya amonia, H

  2 S dan senyawa – senyawa berbau busuk lainnya.

  c. Perubahan warna, yaitu warna kulit dan daging ikan menjadi kusam atau pucat.

  d. Peruhahan tekstur, yaitu daging ikan akan berkurang kekenyalannya.

  e. Ketengikan karena terjadi pemecahan dan oksidasi lemak ikan [6].

  

2.5.2 Faktor Lain yang Berperan dalam Pembusukan (Perubahan yang Bersifat

Enzimatis, Mikrobiologis maupun Fisis)

  a. Enzimatis Di dalam tubuh ikan terutama alat pencernaan terdapat beberapa enzim. Selama ikan masih hidup enzim masih bisa diatur kegiatannya sesuai dengan fungsinya masing-masing. Pada ikan yang mati fungsi enzim tidak bekerja lagi, sehingga akan terjadi peristiwa otolisis yaitu perubahan di dalam tubuh ikan yang disebabkan oleh aktifitas enzim. Pada suasana agak asam dan suhu 37

  ˚C enzim aktif sekali bekerja.

  b. Mikrobiologis Pembusukan olah mikrobiologis ini disebabkan karena kesalahan pengolahan dan penanganan yang mengakibatkan luka mekanis pada ikan sehingga memungkinkan bakteri lebih mudah masuk ke dalam tubuh ikan.

  c. Fisis Hal ini disebabkan karena kesalahan dalam penyimpanan pada suhu kamar akan mempercepat pembusukan.

  13 d. Peristiwa Oksidasi Lemak Daging ikan umumnya mengandung lemak berkisar antara 10-20% dioksidasi

2.5.3 Parameter Fisika Ikan Pada Kesegaran Ikan

  Dalam menentukan kesegaran ikan ada beberapa parameter, yaitu : 1. Tampak Luar

  Ikan yang masih segar mempunyai kenampakan cerah, tidak suram. Keadaan ini terjadi karena belum banyak perubahan biokimia yang terjadi.

  2. Kelenturan daging Ikan segar dagingnya cukup lentur. Apabila daging ikan dibengkokkan, maka setelah dilepas segera akan kembali lagi ke bentuknya semula.

  3. Keadaan Mata Parameter ini merupakan yang paling mudah untuk dilihat. Perubahan kesegaran ikan akan menyebabkan perubahan yang nyata pada kecerahan matanya.

  4. Keadaan daging Keadaan daging menentukan sekali kualitasnya. Ikan yang masih baik kesegarannya, dagingnya kenyal jika ditekan dengan jari maka bekasnya akan segera kembali. Pada permukaan tubuhnya belum terdapat lendir yang menyebabkan kenampakan ikan menjadi suram atau kusam dan tidak menarik.

  5. Keadaan insang dan sisik Warna insang dapat digunakan sebagai tanda apakah ikan masih keadaan segar atau tidak segar lagi. Pada ikan yang masih segar, warna insangnya masih cerah.

  Sebaliknya, ikan yang sudah tidak segar warna insangnya menjadi coklat gelap. Sisik ikan juga merupakan tanda kesegaran ikan. Jika ikan bersisik, maka pada ikan yang masih segar sisiknya masih lekat kuat. Tidak mudah dilepaskan dari tubuhnya [29].

  14

  15 Berikut akan dijelaskan kriteria-kriteria ikan segar dan ikan busuk, dapat dilihat pada tabel berikut :

  Lunak, tekstur berubah, bila ditekan ada bekasnya, daging telah kehilangan elastisitasnya

  Banyak terdapat parasit, badannya banyak luka atau patah

  Kondisi Bebas dari parasit apapun, tanpa luka atau kerusakan pada bagian ikan

  Mulai dengan bau yang tidak enak, makin kuat menusuk lalu timbul bau busuk yang khusus dan menusuk hidung

  Bau Segar dan menyenangkan seperti air laut atau rumput laut, tidak ada bau yang tidak enak

  Bila dibelah, daging mudah dilepas, otot lisis telah berjalan, tulang rusuk menonjol keluar

  Sayatan Bila ikan dibelah, daging melekat kuat pada tulang terutama pada rusuknya

  Darah sepanjang tulang belakang berwarna gelap, sering diikuti bau

  Darah Darah sepanjang tulang belakang segar, merah, konsistensi normal

  Rongga Perut Bersih dan bebas dari bau yang menusuk, tekstur dinding perut kompak, elastis tanpa ada diskolorisasi dengan bau segar yang karakteristik

  Parameter Ikan Segar Ikan Busuk

  Daging Sayatan daging cerah dan elastis, bila ditekan tidak ada bekas jari Lunak, tekstur berubah, bila ditekan ada bekasnya, daging telah kehilangan elastisitasnya

  Banyak yang lepas, tanda warna khusus memudar dan lambat laun menghilang

  Sisik Melekat kuat, mengilap dengan tanda warna khusus tertutup lendir yang jernih

  Kulit Cemerlang, belum pudar, warna asli kontras Rada pudar, bila pengesan mata kurang baik maka kulitnya retak dan mengering

  Berubah kekuningan dengan bau tidak enak atau lendirnya sudah menghilang, berwarna putih susu atau lendir pekat

  Lendir Terdapat lendir alami menutupi ikan yang baunya khas menurut jenis ikan, rupa lendir cemerlang seperti lendir ikan hidup, bening

  Insang Warna merah sampai merah tua, cemerlang, tidak berbau Warna pucat atau gelap, keabuan atau berlendir, bau busuk atau kotor

  Mata Cemerlang, kornea bening, pupil hitam, mata cembung Redup, tenggelam, pupil mata kelabu, tertutup lendir

  Tulang Tulang belakang abu-abu Tulang belakang kuning

2.5.4 Kemunduran Mutu Ikan Peristiwa post mortem adalah salah satu indikasi kemunduran mutu pada ikan.

  yang mampu menyangga bagian daging serta kontraksi otot yang terjadi pada daging. Proses perubahan pada fillet ikan tersebut terjadi karena aktivitas enzim dan mikroorganisme. Kedua hal tersebut menyebabkan tingkat kesegaran ikan menurun.

  Penurunan tingkat kesegaran ikan terlihat dengan adanya perubahan fisik, kimia dan organoleptik pada ikan. Semua proses perubahan ini akhirnya mengarah ke pembusukan. Urutan proses perubahan tersebut meliputi perubahan pre rigor, rigor mortis , aktivitas enzim, akivitas mikroba dan oksidasi [31].

  2.5.4.1 Perubahan pre rigor mortis

  Fase pre rigor ditandai dengan lendir yang terlepas dari kelenjar dibawah kulit di sekeliling tubuh ikan. Kondisi daging ikan pada fase ini lembut dan lunak, dan secara kimiawi ditandai dengan penurunan jumlah ATP dan kreatin fosfat. Sirkulasi darah berhenti pada awal kematian ikan dan menyebabkan habisnya aliran oksigen didalam jaringan [31].

  2.5.4.2 Perubahan rigor mortis Fase rigor mortis ditandai dengan keadaaan otot yang kaku dan keras.

  Hilangnya kelenturan daging ikan berhubungan dengan terbentuknya aktomiosin pada awal fase rigor. Pembentukan aktomiosin ini berlangsung lambat pada tahap awal dan kemudian menjadi cepat pada tahap selanjutnya. Pada fase rigor mortis, sumber energi atau ATP akan berkurang akibat aktivitas enzim ATPase yang dikuti oleh perubahan glikogen menjadi asam laktat. Perubahan glikogen pada daging ikan menyebabkan penurunan nilai pH. Perubahan glikogen menjadi asam laktat terjadi pada proses glikolisis.

  Kandungan glikogen yang tinggi dapat memperlambat proses glikolisis pada daging ikan sehingga dapat menunda datangnya proses rigor mortis. Pada fase rigor

  

mortis , nilai pH daging ikan akan mengalami penurun menjadi 6,2-6,6 dari pH mula-

  mula 6,9-7,2. Tinggi rendahnya pH awal ikan sangat tergantung pada jumlah glikogen yang ada dan kekuatan penyangga pada daging ikan. Kekuatan penyangga

  16 pada daging ikan disebabkan oleh protein, asam laktat, asam fosfat, TMAO dan basa- basa menguap. Nilai pH daging ikan akan terus naik mendekati netral setelah fase

2.5.4.3 Perubahan post rigor Fase post rigor ditandai dengan mulai melunaknya otot ikan secara bertahap.

  Fase post rigor merupakan permulaan dari proses pembusukan yang meliputi autolisis dan pembusukan oleh bakteri. Proses autolisis adalah terjadinya penguraian daging ikan sebagai akibat dari aktivitas enzim dalam tubuh ikan. Proses penguraian jaringan secara enzimatis (autolisis) ini berjalan dengan sendirinya setelah ikan mati. Enzim yang berperan pada tahap ini antara lain enzim katepsin (dalam daging), enzim tripsin, kemotripsin, dan pepsin (dalam organ pencernaan), serta enzim dari mikroorganisme yang ada pada tubuh ikan. Enzim-enzim yang dapat menguraikan protein (proteolitik) berperan penting dalam proses kemunduran mutu ikan.

  Proses autolisis tidak dapat dihentikan walaupun dalam suhu yang sangat rendah. Proses ini dimulai bersamaan dengan menurunnya pH. Protein dipecah menjadi molekul-molekul yang lebih sederhana yang menyebabkan peningkatan dehidrasi protein. Protein terpecah menjadi protease, lalu pecah menjadi pepton, polipeptida dan akhirnya menjadi asam amino. Hidrolisis lemak juga terjadi pada proses autolisis yang menghasilkan asam lemak bebas dan gliserol. Penguraian protein dan lemak karena proses autolisis menyebabkan perubahan rasa, tekstur dan penampakan ikan.

  Senyawa yang terbentuk selama proses autolisis disukai oleh bakteri pembusuk. Tahap akhir proses autolisis adalah berlangsungnya perombakan oleh bakteri. Pertumbuhan bakteri yang makin cepat membuat proses kerusakan juga berjalan semakin cepat. Kerusakan yang terjadi pada tubuh ikan karena serangan bakteri lebih parah daripada kerusakan yang disebabkan oleh enzim. Penguraian oleh bakteri berlangsung secara intensif setelah fase rigor mortis berakhir, yaitu setelah daging mengendur dan celah-celah serat-seratnya terisi cairan.

  Aktivitas bakteri dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan asam-asam amino, seperti asam glutamat, asam aspartat, lisin, histidin, dan arginin. Asam -asam amino tersebut dapat bertindak sebagai pemicu timbulnya senyawa biogenik amin.

  17 Senyawa-senyawa seperti asam amino, glukosa, lipida, trimetilamin oksida dan urea dapat diubah oleh bakteri menjadi produk yang dapat digunakan sebagai indikator

  Pseudomona, Achrombacter dan Flavobacterium.

  Proses perubahan pada ikan dapat juga terjadi karena proses oksidasi lemak sehingga timbul aroma tengik yang tidak diinginkan dan perubahan rupa serta warna daging ke arah coklat kusam. Aroma tengik ini dapat menurunkan mutu dan daya jualnya [31].

2.5.5 Upaya Pengendalian Pertumbuhan Bakteri

  Pengawetan pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk mengurangi atau menghilangkan bakteri yang tergolong patogen dan penghasil racun pada bahan makanan, ada empat macam metode utama dalam pengawetan bahan pangan terhadap kebusukan karena kerja mikroorganisme, yaitu: a.

  Perusakan mikroorganisme dengan panas atau radiasi ion dan perlindungan dari perencanaan selanjutnya dengan pengemasan secara efektif.

  b.

  Penghambatan pertumbuhan mikroorganisme dalam bahan pangan berkadar air normal dengan pendinginan, penambahan bahan pengawet kimia (termasuk pengasapan dan perendaman dalam larutan garam) atau antibiotika, pengasaman, penyimpanan dengan gas dan lain-lain.

  c.

  Penghambatan pertumbuhan mikroorganisme dengan mengurangi kadar air, dengan demikian juga penurunan aktivitas air dengan cara pengeringan, pembekuan (suhu rendah juga mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme), pemberian garam, gula, pengentalan dan lain-lain.

  d.

  Menghilangkan mikroorganisme, misalnya penyaringan secara steril.

  Pengawet ada dua yaitu pengawet kimia dan pengawet alami yang berfungsi membantu mempertahankan bahan makanan dari serangan mikroorganisme pembusuk bakteri dengan cara menghambat, mencegah, menghentikan proses pembusukan, fermentasi, pengasaman atau kerusakan komponen lain dari bahan pangan.

1. Pengawet Kimia

  • Garam

  18

  • Asam benzoat dan garamnya
  • Asam sorbat 2.

  Pengawet Alami

  • Buah picung
  • Lengkuas • Kunyit • Gambir • Kitosan • Biji kepayang [6]

2.6 PENGAWETAN IKAN

  Penanganan ikan segar merupakan salah satu bagian penting dari mata rantai industri perikanan karena dapat mempengaruhi mutu. Baik buruknya penanganan ikan segar akan mempengaruhi mutu ikan sebagai bahan makanan atau sebagai bahan mentah untuk proses pengolahan lebih lanjut.

  Dengan kandungan air cukup tinggi tubuh ikan merupakan media yang cocok untuk kehidupan bakteri pembusuk atau mikroorganisme yang lain, sehingga ikan sangat cepat mengalami proses pembusukan. Kondisi ini sangat merugikan karena dengan kondisi demikian banyak ikan tidak dapat dimanfaatkan dan terpaksa harus dibuang, terutama pada saat produksi melimpah. Oleh karena itu, untuk mencegah proses pembusukan perlu dikembangkan berbagai cara pengawetan dan pengolahan yang cepat dan cermat agar sebagian ikan yang diproduksi dapat dimanfaatkan.

  Pengawetan merupakan usaha manusia untuk mempertinggi daya tahan dan daya simpan ikan dengan tujuan agar kualitas ikan dapat dipertahankan tetap dalam kondisi baik.

  Cara-cara pengawetan dan pengolahan pada pascapanen perikanan dilakukan berdasarkan pertimbangan sebagai berikut :

1. Tubuh ikan mengandung protein dan air cukup tinggi, sehingga merupakan media yang baik bagi pertumbuhan bakteri pembusuk dan mikroorganisme yang lain.

  2. Produksi ikan bersifat musiman, terutama ikan laut. Dengan kondisi demikian pada suatu saat produksi ikan sangat melimpah sedangkan pada saat lain sangat rendah. Oleh karena itu diperlukan cara-cara pengawetan dan pengolahan yang

  19 mampu memproses ikan dengan cepat dan cermat terutama pada saat produksi sedang melimpah. Kebutuhan manusia akan ikan tidak pernah mengenal musim. Setiap saat manusia dapat membutuhkan ikan. Dengan dikembangkannya cara-cara pengawetan dan pengolahan yang cepat dan cermat, daya tahan dan daya simpan ikan dapat lebih lama sehingga dapat memenuhi kebutuhan manusia setiap saat.

  Proses pengolahan dan pengawetan ikan dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti : a.

  Menggunakan suhu tinggi.

  b.

  Menggunakan suhu rendah.

  c.

  Mengurangi kadar air.

  d.

  Menggunakan zat antiseptik [32].

2.6.1 Bakteri

  2.6.1.1 Pengertian Bakteri

  Bakteri adalah mikroorganisme bersel tunggal yang tidak terlihat oleh mata, tetapi dengan bantuan mikroskop, mikroorganisme tersebut akan nampak. Bahan – bahan makanan yang biasanya mudah tercemar bakteri antara lain meliputi kue – kue yang mengandung saus, susu, daging cincang dan daging panggang, ikan, unggas yang diperdagangkan. Bakteri merupakan salah satu kelompok jasad renik yang sangat penting yang berhubungan dengan bahan pangan, jenis bakteri beraneka ragam, terdapat secara kosmopolit yaitu secara luas di alam bebas, dan berhubungan dengan air, udara, tanah, hewan dan tumbuh - tumbuhan. Sebagian bakteri dalam bahan pangan dapat menguntungkan, misalnya untuk kelangsungan proses fermentasi, sedangkan sebagian lainnya dapat merugikan karena dapat menyebabkan gangguan kesehatan (patogenik) [6].

  2.6.1.2 Sumber Pencemar

  Bakteri merupakan kelompok organisme yang sangat omnivora (memakan segalanya). Mereka mampu melaksanakan proses-proses metabolisme dengan memanfatkan segala macam sumber bahan makanan, mulai substrat anorganik sampai bahan organik yang sangat kompleks. Umumnya bakteri berkembang biak

  20 secara amitosis dengan membelah menjadi dua bagian (pembelahan biner). Waktu di antara dua pembelahan sel disebut generation time dan inti berlainan untuk tiap jenis yang perlu diperhatikan adalah :

  a. Bakteri yang dapat menyebabkan penyakit disebut pathogen atau bakteri penyakit atau “food borne illness”.

  b. Bakteri yang dapat menyebabkan pembusukan bahan makanan.

  c. Bakteri yang digunakan untuk produksi makanan [6]

2.6.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Bakteri

  Pertumbuhan bakteri pada pangan dipengaruhi oleh berbagai faktor dan setiap bakteri membutuhkan kondisi pertumbuhan yang berbeda, oleh karena itu jenis dan jumlah bakeri yang dapat tumbuh kemudian menjadi dominan pada setiap pangan juga berbeda, tergantung dari jenis pangan tersebut. Beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan bakteri meliputi :

  a. Kandungan gizi Seperti halnya makhluk hidup lainnya, bakteri juga membutuhkan zat gizi untuk pertumbuhannya, bahan makanan yang akan menjadi sumber energi dan menyediakan unsur-unsur kimia dasar untuk pertumbuhan sel.

  b. Waktu Waktu antara masing-masing pembelahan sel berbeda-beda, tergantung dari spesies dan lingkungannya, tapi untuk kebanyakan bakteri berkisar antara 10 - 60 menit.

  c. Suhu Suhu merupakan faktor fisika yang sangat penting pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan kegiatan bakteri. Berdasarkan pada kisaran suhu pertumbuhannya, bakteri dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu:

  1) Psikrofil

  o o o

  Suhu pertumbuhan minimum -5 C – 0

  C, pertumbuhan optimum 5 C – 15

  o o o

  C, suhu maksimum 15 C – 20 C.

2) Mesofil

  o o o o

  Suhu pertumbuhan minimum 10 C – 20

  C, suhu maksimum 40 C – 45 C.

  21

3) Termofil

  o o o

  Suhu pertumbuhan minimum 25 C – 45

  C, pertumbuhan optimal 45 C – 55

  o o o

  d. Nilai pH Kebanyakan mikroorganisme tumbuh pada pH netral sekitar pH 5,0-8,0. Pada pH dibawah 5,0 dan diatas 8,5 bakteri tidak dapat tumbuh dengan baik.

  e. Aktivitas air Aktivitas air menunjukkan jumlah air di dalam pangan yang dapat digunakan oleh bakteri untuk pertumbuhannya. Bakteri mempunyai kebutuhan aktivitas air yang berbeda-beda untuk pertumbuhannya. Aktivitas air berperan dalam metabolik dalam sel dan merupakan alat pengangkut zat-zat gizi.

  f. Ketersediaan oksigen Bakteri mempunyai kebutuhan oksigen yang berbeda-beda untuk pertumbuhannya. Beberapa kelompok bakteri dapat dibedakan sabagai berikut:

  1) Organisme aerobik, dimana tersedianya oksigen dan penggunaannya dibutuhkan untuk pertumbuhan. 2) Organisme anaerobik, tidak dapat tumbuh dengan adanya oksigen ini dan bahkan oksigen ini dapat merupakan racun bagi organisme tersebut. 3) Organisme anaerobik fakultatif, dimana oksigen akan digunakan apabila tersedianya, apabila oksigen tidak tersedia organisme akan tetap tumbuh dalam keadaan anaerobik. 4) Organisme mikro aerofilik, yaitu mikroorganisme yang lebih dapat tumbuh pada kadar oksigen yang lebih rendah daripada kadar oksigen dalam atmosfer.

  Pengawet adalah bahan tambahan pangan yang dapat mencegah atau menghambat fermentasi, pengasaman atau penguraian dan perusakan lainnya terhadap pangan yang disebabkan oleh mikroorganisme. Kerusakan tersebut dapat disebabkan oleh fungi, bakteri dan mikroba lainnya. Pertumbuhan bakteri dicegah atau dihambat tergantung dari jumlah pengawet yang ditambahkan [6].

2.6.3 Mekanisme Kerja Pengawet Atau Antimikroba

  Mekanisme zat antimikroba dalam membunuh atau menghambat pertumbuhan mikroba antara lain :

  22

  1. Merusak dinding sel bakteri sehingga mengakibatkan lisis atau menghambat pembentukan dinding sel pada sel yang sedang tumbuh.

  Mengubah permeabilitas membran sitoplasma yang menyebabkan kebocoran nutrient dari dalam sel, misalnya yang disebabkan oleh senyawa fenolik.

  3. Menyebabkan denaturasi sel, misalnya oleh alkohol.

  4. Menghambat kerja enzim di dalam sel.

  Keefektifan penghambatan merupakan salah satu kriteria pemilihan suatu senyawa antimikroba untuk diaplikasikan sebagai bahan pengawet bahan pangan. Semakin kuat penghambatannya semakin efektif digunakan. Kerusakan yag ditimbulkan komponen antimikroba dapat bersifat mikrosidal (kerusakan tetap) atau mikrostatik (kerusakan sementara yang dapat kembali). Suatu komponen akan bersifat mikrosidal atau mikrostatik tergantung pada konsentrasi dan kultur yang digunakan.

  Mekanisme penghambatan mikroorganisme oleh senyawa antimikroba dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:

  1. Gangguan pada senyawa penyusun dinding sel.

  2. Peningkatan permeabilitas membran sel yang dapat menyebabkan kehilangan komponen penyusun sel.

  3. Penginaktivasi enzim.

  4. Destruksi atau kerusakan fungsi material genetik.

  a. Menggangu pembentukan dinding sel Mekanisme ini disebabkan karena adanya akumulasi komponen lipofilat yang terdapat pada dinding atau membran sel sehingga menyebabkan perubahan komposisi penyusun dinding sel. Terjadinya akumulasi senyawa antimikroba dipengaruhi oleh bentuk tak terdisosiasi. Pada konsentrasi rendah molekul-molekul phenol yang terdapat pada minyak thyme kebanyakan berbentuk tak terdisosiasi, lebih hidrofobik, dapat mengikat daerah hidrofobik membran protein dan dapat larut pada fase lipid dari membran bakteri.

  Beberapa laporan juga meyebutkan bahwa efek penghambatan senyawa antimikroba lebih efektif terhadap bakteri Gram positif daripada dengan bakteri gram negatif. Hal ini disebabkan perbedaan komponen penyusun dinding sel kedua kelompok bakteri tersebut. Pada bakteri gram positif 90 % dinding selnya terdiri atas

  23 lapisan peptidoglikan, selebihnya adalah asam teikoat, sedangkan bakteri gram negatif komponen dinding selnya mengandung 5 - 20 % peptidoglikan selebihnya b. Bereaksi dengan membran sel

  Komponen bioaktif dapat mengganggu dan mempengaruhi integritas membran sitoplasma, yang dapat mengakibatkan kebocoran materi intraseluler, seperti senyawa phenol dapat mengakibatkan lisis sel dan meyebabkan deaturasi protein, menghambat pembentukan protein sitoplasma dan asam nukleat, dan menghambat ikatan ATP-ase pada membran sel.

  c. Menginaktivasi enzim Mekanisme yang terjadi menunjukkan bahwa kerja enzim akan terganggu dalam mempertahankan kelangsungan aktivitas mikroba sehingga mengakibatkan enzim memerlukan energi yang besar untuk mempertahankan kelangsungan aktivitasnya. Akibatnya energi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan menjadi berkurang sehingga aktivitas mikroba menjadi terhambat atau jika kondisi ini berlangsung lama akan mengakibatkan pertumbuhan mikroba terhenti (inaktif).

  Efek senyawa antimikroba dapat menghambat kerja enzim jika mempunyai spesifitas yang sama antara ikatan komplek yang menyusun struktur enzim dengan komponen senyawa antimikroba.

  d. Menginaktivasi fungsi material genetik Komponen bioaktif dapat mengganggu pembentukan asam nukleat (RNA dan

  DNA), menyebabkan terganggunya transfer informasi genetik yang selanjutnya akan menginaktivasi atau merusak materi genetik sehingga terganggunya proses pembelahan sel untuk pembiakan [33].

2.7 ANALISA EKONOMI

  Kitosan merupakan biopolimer yang banyak digunakan di berbagai industri kimia antara lain sebagai koagulan dalam pengolahan limbah air, bahan pelembab, pelapis benih yang akan ditanam, adsorben ion logam, bidang farmasi, pelarut lemak, dan pengawet makanan. Kitosan mempunyai bentuk mirip dengan selulosa dan bedanya terletak pada gugus rantai C-2. Kemampuan dalam menekan pertumbuhan

  24 bakteri disebabkan kitosan memiliki polikation bermuatan positif yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri dan kapang. tahapan sebagai beikut: 1.

  Persiapan sampel yaitu cangkang bekicot.

2. Ekstraksi Kitin (Demineralisasi, Deproteinasi) 3.

  Deasetilasi kitin menjadi kitosan 4. Karakterisasi kitosan Kitosan yang di dapat kemudian diaplikasikan sebagai bahan pengawet ikan.

  Bahan pengawet adalah senyawa yang mampu menghambat dan menghentikan proses fermentasi, pengasaman atau bentuk kerusakan lainnya atau bahan yang dapat memberikan perlindungan bahan pangan dari pembusukan.

  Berikut merupakan rincian biaya pembuatan larutan pengawet kitosan yang telah dilakukan selama penelitian dengan basis bahan baku cangkang 50 gr dan diperkirakan akan menghasilkan kitosan 10 gr.. Biaya ekstraksi kitin Rp 7.000,- Deasetilasi Rp 12.000,- Analisa Rp 75.000,-

  Rp 94.000,- Dari rincian biaya yang telah dilakukan di atas maka total biaya yang diperlukan untuk produksi kitosan dengan bahan baku cangkang bekicot adalah Rp

  94.000,-.

  Harga kitosan di pasaran, khususnya kota medan sekitar 550.000,-/kg. Dengan demikian kitosan untuk 1 gr memiliki harga 550/g. Oleh karena itu, hasil ekstraksi cangkang bekicot sebanyak 50 gr memperoleh kitosan sebesar 10 gr, sehingga harga jual hasil ekstraksi cangkang bekicot sebesar 5.500,-. Jika dibandingkan harga penjualan kitosan dengan biaya pengeluaran untuk menghasilkan kitosan belum mendapatkan keuntungan. Hal ini disebabkan pembuatan kitosan ini masih dalam skala kecil.

  25

Dokumen yang terkait

2. Setelah selesai pengobatan obat cacing selama 3 hari, maka pemeriksaan tinja akan dilakukan pada hari ke-7. 14, 21 dan 28. Pemeriksaan tinja - Perbandingan Efektivitas Dosis Tunggal Albendazole Selama 2 Dan 3 Hari Pada Infeksi Trichuris Trichiura Pada

0 1 28

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Trichuris trichiura - Perbandingan Efektivitas Dosis Tunggal Albendazole Selama 2 Dan 3 Hari Pada Infeksi Trichuris Trichiura Pada Anak SDN 102052 Tanjung Beringin, Kabupaten Serdang Bedagai

0 0 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepuasan Kerja 1. Definisi Kepuasan Kerja - Pengaruh Keadilan Organisasi Terhadap Kepuasan Kerja Pegawai Tetap Dan Honorer Pada PT. Adhi Karya (Persero) Tbk Divisi Konstruksi III Medan

0 0 13

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Pengaruh Keadilan Organisasi Terhadap Kepuasan Kerja Pegawai Tetap Dan Honorer Pada PT. Adhi Karya (Persero) Tbk Divisi Konstruksi III Medan

0 0 10

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2. 1. Defenisi - Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Kejadian Pre-hipertensi di Wilayah Kerja Puskesmas Kerasaan Kabupaten Simalungun Tahun 2014

0 0 17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Soil-Transmitted Helminths - Hubungan Higiene Perorangan Anak Usia Sekolah Dengan Infeksi Cacing STH Pada Lingkungan Yang Tercemar Telur/Larva Cacing STH Di Desa Bagan Kuala Pemkab. Serdang Bedagai

0 0 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Soil-Transmitted Helminths (STH) - Hubungan Intensitas Infeksi Soil-Transmitted Helminths Dengan Status Gizi Dan Nilai Rapor Pada Anak: Studi Kasus SDN 102052 Bagan Kuala Kabupaten Serdang Bedagai

0 1 13

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Kriptografi - Proteksi Sistem Manajemen Kartu Mifare untuk Perangkat Keamanan Sepeda Motor Menggunakan Algoritma AES

0 1 19

Pemanfaatan Kitosan Dari Cangkang Bekicot (Achatina Fulica) Sebagai Pengawet Ikan Kembung (Rastrelliger Sp) dan Ikan Lele (Clarias Batrachus)

0 0 29

Pemanfaatan Kitosan Dari Cangkang Bekicot (Achatina Fulica) Sebagai Pengawet Ikan Kembung (Rastrelliger Sp) dan Ikan Lele (Clarias Batrachus)

0 5 5