BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Soil-Transmitted Helminths (STH) - Hubungan Intensitas Infeksi Soil-Transmitted Helminths Dengan Status Gizi Dan Nilai Rapor Pada Anak: Studi Kasus SDN 102052 Bagan Kuala Kabupaten Serdang Bedagai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Soil-Transmitted Helminths (STH)

  STH adalah cacing yang dalam siklus hidupnya memerlukan tanah yang sesuai untuk berkembang menjadi bentuk infektif. Ukuran sangat bervariasi, dimana cacing betina lebih besar dari pada cacing jantan. Siklus hidup infeksi STH secara umum berupa; cacing dewasa dalam usus manusia (A.lumbricoides dan hookworm di usus halus, T.trichiura di kolon), bereproduksi secara seksual dan menghasilkan telur, telur tersebut akan keluar bersama feses manusia dan akan berkembang pada kondisi lingkungan yang sesuai. Telur A.lumbricoides dan T.trichiura dapat bertahan hidup di tanah untuk beberapa bulan, dan larva hookworm dapat bertahan hidup selama beberapa minggu, tergantung pada kondisi lingkungan yang sesuai. Infeksi terjadi bila tertelan telur atau larva yang infektif, atau melalui penetrasi kulit oleh larva hookworm (CDC, 2010).

2.1.1. Ascaris lumbricoides

  Cacing dewasa habitatnya di usus halus, berbentuk silindris memanjang berwarna keputihan. Cacing jantan berukuran 15-31 cm dengan diamater 2-4 mm, sedangkan cacing betina 20-35 cm dengan diameter 3-6 mm. Dalam rongga usus halus cacing betina dapat bertelur sampai 200.000 telur sehari, terdiri dari telur yang dibuahi dan telur yang tidak dibuahi (Ideham, 2007).

  Dalam lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi tumbuh menjadi infektif dalam waktu sekitar 3 minggu. Bentuk infektif ini bila tertelan manusia, akan menetas menjadi larva di usus halus, untuk selanjutnya menembus dinding usus halus dan masuk ke vena porta hati. Bersama aliran darah vena, larva terbawa sampai ke jantung dan paru-paru. Larva di paru- paru menembus dinding alveolus, masuk ke rongga alveolus dan naik ke trakea menuju faring. Larva di faring tertelan dan terbawa ke esofagus sampai ke usus halus dan menjadi cacing dewasa. Proses ini membutuhkan waktu sekitar 2 bulan (Zulkoni, 2010).

  Tanah gembur dengan kelembaban tinggi dan suhu yang berkisar 25-

  o

  30 C merupakan hal-hal yang sangat baik untuk perkembangan telur sampai menjadi bentuk infektif (CDC, 2010).

Gambar 2.1. Siklus Hidup Ascaris lumbricoides.

2.1.2. Trichiuris trichiura

  Cacing ini dinamakan cacing cambuk karena tubuhnya menyerupai cambuk dengan bagian depan yang tipis dan bagian belakangnya jauh lebih tebal. Cacing ini umumnya hidup di sekum manusia dan tersebar secara kosmopolitan (Holland, 2002).

  Betina panjangnya 35-50 mm dan jantan panjangnya 30-45 mm, telur betina berukuran 50-54 x 32 mikron, bentuk seperti tong dengan operkulum di kedua ujungnya. Telur yang keluar bersama tinja penderita belum mengandung larva, jika telur berada di tanah yang sesuai yaitu tanah yang lembab di tempat yang teduh, dalam waktu 2-3 minggu telur berkembang menjadi infektif. Bila telur yang infektif termakan oleh manusia, di dalam usus halus dinding telur pecah dan larva cacing keluar menuju sekum dan tumbuh menjadi cacing dewasa. Cacing ini memasukkan bagian anterior tubuhnya ke dalam mukosa usus. Satu bulan sejak masuknya telur ke dalam mulut, cacing dewasa telah mulai mampu bertelur. Seekor cacing betina mampu menghasilkan 3000-10.000 butir telur setiap hari. Cacing ini dapat hidup beberapa tahun lamanya di dalam usus manusia (Zulkoni, 2010).

Gambar 2.2. Siklus hidup Trichiuris trichiura

2.1.3. Ancylostoma duodenale dan Necator americanus

  Di Eropa, Cina, dan Jepang infeksi cacing ini banyak di jumpai pada pekerja tambang sehingga dinamakan cacing tambang (Ideham, 2007). Cacing dewasa berbentuk silindris berwarna putih keabuan. Cacing betina panjangnya 9-13 mm dan cacing jantan panjangnya 5-11 mm, mempunyai bursa kopulatriks di ujung posterior tubuhnya. Morfologi telurnya mirip antara satu spesies dengan lainnya. Telur berbentuk lonjong tidak berwarna, berukuran 65x40 mikron. Dinding telur tipis, tembus sinar, dan berisi embrio (Zulkoni, 2010).

  Telur yang keluar bersama tinja, 2-3 hari kemudian menetas dan keluar larva rhabditiform (tidak infektif), selama 2 hari larva rhabditiform berkembang menjadi larva filariform (infektif) yang tahan terhadap perubahan iklim dan dapat hidup selama 7-8 minggu di tanah lembab. Larva

  

filariform yang menembus kulit akan memasuki pembuluh darah dan limfe,

  beredar di dalam aliran darah, masuk ke dalam jantung kanan, lalu masuk ke dalam kapiler paru. Larva menembus dinding kapiler masuk ke dalam alveoli, kemudian migrasi ke bronki, trakea, laring, dan faring, akhirnya tertelan masuk ke esofagus. Larva filariform A.duodenale jika tertelan manusia melalui makanan atau minuman juga dapat menimbulkan infeksi. Di esofagus larva berganti kulit untuk yang ketiga kalinya. Migrasi ini berlangsung sekitar 10 hari. Dari esofagus larva masuk ke usus halus, berganti kulit untuk yang keempat kalinya, lalu tumbuh menjadi cacing dewasa. Dalam waktu satu bulan cacing betina sudah mampu bertelur. Jumlah telur per hari yang dihasilkan satu ekor cacing betina N.americanus berkisar antara 9.000 - 10.000, dan cacing betina A.duodenale sebanyak 25.000 – 30.000. Cacing dewasa dapat hidup selama 5 – 7 tahun di dalam usus halus manusia (Holland, 2002).

Gambar 2.3. Siklus hidup Hookworm

2.2. Gejala Klinis Infeksi Cacing STH Migrasi larva STH menimbulkan reaksi pada jaringan yang dilaluinya.

  Misalnya larva A.lumbricoides yang mati saat migrasi melalui hepar dapat menimbulkan eosinophilic granuloma, di paru-paru migrasi antigen larva menimbulkan infiltrat eosinofil, dan gangguan saat larva berada di paru yang disebut sindrom Loeffler dengan gejala batuk, sesak nafas, nyeri pada bagian subternal, demam dan kadang dapat dijumpai sputum yang bercampur darah. Beberapa gejala pada kulit seperti pruritus, eritema, ditemukan saat terjadi migrasi larva hookworm (Bethony, 2006).

  Gangguan yang disebabkan oleh cacing dewasa biasanya muncul jika terdapat cacing dalam jumlah yang cukup besar. Cacing A.lumbricoides menghisap karbohidrat dan protein. Terdapatnya cacing A.lumbricoides dewasa dalam jumlah yang besar di usus halus dapat menyebabkan

  abdominal distension dan rasa sakit. Keadaan ini juga dapat menyebabkan

  lactose intolerance , malabsorpsi dari vitamin A dan nutrisi lainnya. Hepatobiliary dan pancreatic ascariasis terjadi sebagai akibat masuknya

  cacing dewasa dari dudenum ke orificium ampullary dari saluran empedu,timbul kolik empedu, kolesistitis, kolangitis, pankreatitis dan abses hati (Holland, 2002).

  Pada infeksi T.trichiura yang berat gambaran klinisnya berupa anemia berat, diare bercampur darah, sakit perut, mual, muntah, serta prolapsus rectum. Cacing ini memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus hingga terjadi trauma yang menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus, sehingga mudah terinfeksi oleh Entamoeba histolityca, Shigella, dan bakteri lain. Pada tempat perlekatannya dapat menimbulkan perdarahan (Zulkoni, 2010).

  Pada infeksi Hookworm, akan timbul rasa gatal pada tempat larva menembus kulit. Cacing dewasa di rongga usus halus selain menghisap darah juga menyebabkan perdarahan pada luka tempat bekas isapan. Kehilangan darah yang kronik ini menyebabkan terjadinya anemia defisiensi zat besi. Kehilangan protein secara kronik akibat infeksi cacing tambang dapat menyebabkan hipoproteinemia dan anasarka (Crompton, 2002).

2.3. Status Gizi

  Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Kata gizi tidak hanya dikaitkan dengan kesehatan tapi juga dengan potensi ekonomi seseorang, karena gizi berkaitan dengan perkembangan otak, kemampuan belajar dan produktivitas kerja (Almatsier, 2009). Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi 4 (empat) penilaian, yaitu (Supariasa, 2002).

  1. Antropometri Secara umum antropometri adalah ukuran tubuh manusia.

  Antropometri gizi berhubungan dengan berbagai pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Antropometri digunakan untuk melihat ketidak seimbangan asupan protein dan energi. Ketidak seimbangan ini terlihat pada pertumbuhan fisik dan jaringan tubuh.

  2. Klinis Pemeriksan klinis adalah metode yang penting untuk menilai status gizi masyarakat. Metode ini didasarkan atas perubahan-perubahan yang terjadi di jaringan atau organ yang dekat permukaan tubuh, dihubungkan dengan ketidak cukupan gizi.

  3. Biokimia Penilaian status gizi dengan biokimia adalah pemeriksaan yang diuji secara laboratorium yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh.

  4. Biofisik Penentuan status gizi secara biofisik adalah dengan melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan melihat perubahan struktur.

  Penilaian status gizi secara tidak langsung, antara lain (Supariasa, 2002).

  1. Survei konsumsi makanan Yaitu metode penilaian dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi.

  2. Statistik Vital Merupakan pengukuran dengan menganalisis data beberapa statistik kesehatan seperti angka kematian berdasarkan umur, angka kesakitan dan data lainnya yang berhubungan dengan gizi.

  3. Faktor Ekologi Faktor ekologi seperti iklim, tanah, irigasi dan lain-lain dipandang sangat penting untuk mengetahui penyebab malnutrisi.

  Penentuan status gizi berdasarkan pemeriksaan antropometri adalah dengan melihat proporsi berat badan menurut tinggi badan. Berat badan menurut tinggi badan akan memberikan informasi tentang pertumbuhan dan status gizi pada anak. Berat badan merupakan penghitungan rata-rata dari status gizi secara umum yang memerlukan data lain seperti umur, jenis kelamin, dan tinggi badan untuk menginterpretasikan data tersebut secara optimal. Berat badan menurut tinggi badan lebih akurat dalam menetapkan dan mengklasifikasikan status gizi pada anak (Pulungan, 2010).

  Grafik pertumbuhan yang digunakan sebagai acuan adalah grafik

  

Centers for Desease Control (CDC 2000). Berat badan menurut tinggi badan

  dihitung dengan membagi berat badan aktual dengan berat badan ideal dan dikalikan dengan 100%. Berat badan ideal di dapat dengan menggunakan grafik CDC 2000. Berdasarkan grafik CDC 2000, status gizi dibagi menjadi 5 kelompok (Sjarif, 2011).

Tabel 2.1. Penentuan status gizi berdasarkan grafik CDC 2000

  Status Gizi BB/TB (% median)

  Obesitas > 120 Overweight > 110 Normal > 90 Gizi Kurang 70 – 90 Gizi Buruk < 70

  Konsumsi makanan berpengaruh terhadap status gizi seseorang. Status gizi baik terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat gizi yang digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin. Status gizi kurang terjadi bila tubuh mengalami kekurangan satu atau lebih zat gizi esensial. Status gizi lebih terjadi bila tubuh memperoleh zat gizi dalam jumlah berlebihan sehingga menimbukan efek toksik atau membahayakan. Pada status gizi kurang maupun gizi lebih terjadi gangguan gizi. Gangguan gizi disebabkan oleh faktor primer atau sekunder. Faktor primer adalah bila susunan makanan seseorang salah dalam kuantitas dan atau kualitas yang disebabkan oleh kurangnya penyediaan pangan, kemiskinan, ketidaktahuan, kebiasaan makan yang salah. Faktor sekunder meliputi semua faktor yang menyebabkan zat gizi tidak sampai di sel-sel tubuh setelah makanan dikonsumsi. Faktor yang mengganggu absorbsi zat gizi adalah adanya parasit di saluran pencernaan, penggunaan laksan. Faktor yang mempengaruhi metabolisme dan utilisasi zat gizi adalah penyakit hati, kanker, diabetes melitus. Faktor yang mempengaruhi ekskresi sehingga banyak kehilangan zat gizi adalah polyuria, banyak keringat dan penggunaan obat (Almatsier, 2009).

2.4. Prestasi Belajar

  Prestasi belajar adalah hasil usaha yang menunjukkan ukuran kecakapan yang dicapai dalam bentuk nilai. Prestasi belajar dapat dioperasionalkan dalam bentuk indikator-indikator berupa nilai rapor, indeks prestasi studi, angka kelulusan, predikat keberhasilan, dan lain-lain (Asnawi, 2012).

  Terdapat dua faktor yang dapat mempengaruhi prestasi belajar siswa, yaitu: (Syah, 2005).

  1. Faktor internal merupakan faktor dari dalam diri siswa yaitu kondisi jasmani (fisik) dan rohani (psikologis). Keadaan yang sehat, segar, serta kuat akan memberikan hasil belajar yang baik. Faktor psikologis juga mempengaruhi prestasi belajar adalah inteligensia, bakat, minat, motivasi, dan perhatian.

  2. Faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari luar diri siswa, meliputi lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat. Dalam lingkungan keluarga setiap siswa memerlukan perhatian orang tua dalam mencapai prestasi belajarnya yang diwujudkan dalam hal kasih sayang, memberi nasihat, keadaan ekonomi, dan lain-lain.

  Kualitas guru, metode belajar, kesesuaian kurikulum dengan kemampuan anak, fasilitas di sekolah, keadaan ruangan, dan lain-lain turut mempengaruhi keberhasilan belajar anak. Lingkungan masyarakat disekitar siswa sangatlah berpengaruh terhadap belajar siswa. Siswa akan tertarik untuk berbuat seperti yang dilakukan orang-orang disekitarnya.

  Untuk menilai prestasi belajar siswa dilihat dari nilai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) setelah menerima rapor yaitu setelah ujian sekolah dan pengolahan nilai oleh guru dalam rapor untuk menentukan nilai ketuntasan belajar siswa. Kriteria untuk nilai KKM ini berdasarkan ketetapan dari pihak sekolah, yaitu “kurang” jika tidak semua mata pelajaran mencapai nilai KKM, dan “baik” jika semua mata pelajaran mencapai KKM (PPRI Nomor 19 Tahun 2005).

  Hal ini sesuai dengan petunjuk Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Tahun 2006 yang menyangkut masalah Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) yang dipandang perlu bagi setiap sekolah untuk menentukan KKM nya masing-masing sesuai dengan keadaan sekolah tersebut. Sesuai dengan petunjuk yang ditetapkan oleh BSNP maka ada beberapa rambu-rambu yang harus diamati sebelum ditetapkan KKM di sekolah.Adapun rambu-rambu yang dimaksud adalah (Permendiknas Nomor

  22 Tahun 2006).

  1. KKM ditetapkan pada awal tahun pelajaran.

  2. KKM ditetapkan oleh forum Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) sekolah.

  3. KKM dinyatakan dalam bentuk prosentasi berkisar antara 0-100, atau rentang nilai yang sudah ditetapkan.

  4. Kriteria ditetapkan untuk masing-masing indikator idealnya berkisar 75 %

  5. Sekolah dapat menetapkan KKM dibawah kriteria ideal ( sesuai kondisi sekolah)

  6. Dalam menentukan KKM haruslah dengan mempertimbangkan tingkat kemampuan rata-rata peserta didik, kompleksitas indikator, serta kemampuan sumber daya pendukung.

  7. KKM dapat dicantumkan dalam Laporan Hasil Belajar Siswa (LHBS) sesuai model yang ditetapkan atau dipilih sekolah.

2.5. Dampak Kecacingan

  Secara kumulatif, infeksi cacing dapat menimbulkan kerugian zat gizi berupa kalori dan protein serta defisiensi vitamin A, karena satu ekor cacing A.lumbricoides akan menghisap karbohidrat sebesar 0,14 gram dan 0,035 gram protein per hari, dan cacing STH membutuhkan vitamin A untuk kelangsungan hidupnya. Kerugian lain akibat infeksi STH adalah anemia defisiensi zat besi, karena jumlah kehilangan darah yang disebabkan oleh seekor cacing T.trichiura dalam sehari sebanyak 0,005 cc, dan hookworm menyebabkan kehilangan darah sehari sebanyak 0,2 cc (Kepmenkes Nomor 424, 2006).

  Kurang kalori ditandai dengan badan lemah, tidak bersemangat, tidak bisa konsentrasi, dan kurus. Bila anak sekolah kurang kalori, akibatnya tidak optimal saat menerima pelajaran dan berfikir, badan kurus karena asupan kalori dari makanan tidak mencukupi. Kekurangan protein ditandai dengan postur tubuh pendek, mudah sakit, dan perkembangan mental terganggu. Dampak kekurangan protein pada anak sekolah adalah terhambatnya pertumbuhan fisik terutama tinggi badan, terhambatnya perkembangan otak karena otak membutuhkan protein untuk membangun dan menjaga sel-sel otak, juga mengakibatkan menurunnya daya tahan tubuh anak terhadap penyakit karena protein dibutuhkan untuk antibodi. Akibat dari kekurangan vitamin A yaitu gangguan mata seperti rabun senja, dan dapat menyebabkan terganggunya perkembangan otak karena vitamin A membantu membangun protein otak (Almatsier, 2009).

  Anemia defisiensi besi pada anak sekolah akan mengakibatkan anak menjadi lesu, cepat lelah, tidak bersemangat, hal ini karena anak kekurangan oksigen secara kronis. Anak yang pernah kekurangan zat besi menunjukkan skor motorik dan tingkat kecerdasan (IQ, Inteligensi Quotient) lebih rendah, sehingga menyebabkan berkurangnya kemampuan belajar dan gangguan kecerdasan serta menurunnya daya ingat sehingga prestasi sekolah jadi rendah. Zat besi juga turut berperan dalam pembentukan neurotransmitter dopamine, sehingga anak yang kekurangan zat besi akan kekurangan dopamine yang memperlihatkan perilaku hiperaktif. Ada hubungan yang signifikan antara konsentrasi sel darah merah dan perkembangan kognitif atau nilai prestasi di sekolah (Crompton, 2002).

2.6. Pencegahan dan pemberantasan kecacingan

  WHO menganjurkan pencegahan dan pemberantasan kecacingan dengan tiga cara yaitu pengobatan, sanitasi dan pendidikan kesehatan. Pengobatan bertujuan untuk mengurangi angka kesakitan dengan menurunkan gangguan akibat infeksi STH. Pemberian obat pada masyarakat dapat dilakukan secara: universal (semua penduduk tidak tergantung usia, jenis kelamin, dan status infeksi diberikan pengobatan), populasi sasaran (pengobatan diberikan pada kelompok usia dan jenis kelamin tertentu tanpa memperhatikan status infeksi), selektif (pengobatan diberikan pada individu yang dipilih berdasarkan diagnosisnya). Obat yang direkomendasikan yaitu benzimidazole, albendazole, mebendazole, levamisole, pyrantel pamoate. Anak usia sekolah merupakan kelompok risiko tinggi untuk menderita infeksi STH dengan intensitas yang tinggi. Pengobatan secara teratur dapat mencegah terjadinya kesakitan yang kemudian mampu memperbaiki keadaan gizi dan kognitif anak anak (WHO, 2006).

  Perbaikan sanitasi bertujuan untuk mengendalikan penyebaran STH dengan cara menurunkan kontaminasi air dan tanah. Pendidikan kesehatan bertujuan untuk menurunkan penyebaran dan terjadinya reinfeksi dengan cara memperbaiki perilaku kesehatan (Bethony, 2006).

2.7. Alur Penelitian

  Alur penelitian yang dibangun dalam penelitian ini sebagai alur pengkajian guna menemukan jawaban dari pertanyaan penelitian disajikan pada gambar 2.6. berikut.

  • Obesitas - Overweight - Normal - Gizi kurang
  • Gizi buruk
  • Obesitas - Overweight - Normal - Gizi kurang
  • Gizi buruk

Gambar 2.4. Alur PenelitianGambar 2.5. Kerangka konsep

  INFEKSI STH STATUS GIZI NILAI RAPOR

  Populasi terjangkau (159 anak SDN Bagan Kuala)

  Pemeriksaan Infeksi STH (Kato-Katz)

  Status Gizi (BB & TB):

  STH (+) STH (-)

  Nilai Rapor KKM

  Status Gizi (BB & TB):

  Nilai Rapor KKM

Albendazole

(400mg)

2.8. Kerangka Konsep

  Variabel Independen Variabel Dependen

Dokumen yang terkait

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Trichuris trichiura - Perbandingan Efektivitas Dosis Tunggal Albendazole Selama 2 Dan 3 Hari Pada Infeksi Trichuris Trichiura Pada Anak SDN 102052 Tanjung Beringin, Kabupaten Serdang Bedagai

0 0 10

PERBANDINGAN EFEKTIVITAS DOSIS TUNGGAL ALBENDAZOLE SELAMA 2 DAN 3 HARI PADA INFEKSI TRICHURIS TRICHIURA PADA ANAK SDN 102052 TANJUNG

0 0 15

Pengaruh Keadilan Organisasi Terhadap Kepuasan Kerja Pegawai Tetap Dan Honorer Pada PT. Adhi Karya (Persero) Tbk Divisi Konstruksi III Medan

0 1 52

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepuasan Kerja 1. Definisi Kepuasan Kerja - Pengaruh Keadilan Organisasi Terhadap Kepuasan Kerja Pegawai Tetap Dan Honorer Pada PT. Adhi Karya (Persero) Tbk Divisi Konstruksi III Medan

0 0 13

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Pengaruh Keadilan Organisasi Terhadap Kepuasan Kerja Pegawai Tetap Dan Honorer Pada PT. Adhi Karya (Persero) Tbk Divisi Konstruksi III Medan

0 0 10

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2. 1. Defenisi - Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Kejadian Pre-hipertensi di Wilayah Kerja Puskesmas Kerasaan Kabupaten Simalungun Tahun 2014

0 0 17

Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Kejadian Pre-hipertensi di Wilayah Kerja Puskesmas Kerasaan Kabupaten Simalungun Tahun 2014

0 0 15

Hubungan Higiene Perorangan Anak Usia Sekolah Dengan Infeksi Cacing STH Pada Lingkungan Yang Tercemar Telur/Larva Cacing STH Di Desa Bagan Kuala Pemkab. Serdang Bedagai

0 20 20

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Soil-Transmitted Helminths - Hubungan Higiene Perorangan Anak Usia Sekolah Dengan Infeksi Cacing STH Pada Lingkungan Yang Tercemar Telur/Larva Cacing STH Di Desa Bagan Kuala Pemkab. Serdang Bedagai

0 0 13

Hubungan Intensitas Infeksi Soil-Transmitted Helminths Dengan Status Gizi Dan Nilai Rapor Pada Anak: Studi Kasus SDN 102052 Bagan Kuala Kabupaten Serdang Bedagai

0 0 13