Relasi antara Budaya Stratejik dengan Hu

Relasi antara Budaya Stratejik dengan Hubungan
Internasional
Pemahaman adanya budaya stratejik dengan Hubungan Internasional
sejatinya bukanlah hal yang baru dipahami. Secara historis, budaya stratejik
telah dikenalkan oleh Jack Snyder pada tahun 1970an, yang membahas
terkait strategi nuklir antara Amerika dengan Uni Soviet. Lebih jauh lagi
terdapat Sun Tzu dan Thucydides yang membahas pentingnya relasi antara
budaya dengan strategi (Smith, 2011: 42). Selain itu untuk memahami
mengenai budaya stratejik juga banyak ditulis oleh penulis dunia seperti
Colin Gray, Gabriel Almond dan Sidney Verba, Ken Booth, Richard E.
Nisbett, dan Colin Gray. Namun dari demikian banyak penulis perlu
dipahami bahwa tujuan dalam pembahasan kali ini adalah penjelasan
mengenai hubungan antara budaya stratejik dengan hubungan
internasional serta bagaimana teori pokok hubungan internasional dapat
menjabarkan fenomena budaya stratejik.
Budaya stratejik adalah budaya politik yang bersifat derivatif (Smith, 2011:
41). Derivatif dapat dipahami sebagai bentuk imitasi dari suatu hal yang
memiliki kesatuan namun berbeda konteks atau lintas konteks. Hal ini
diperkuat dengan pendapat Colin Gray (dalam Smith, 2011: 41), yaitu
budaya stratejik didefinisikan sebagai mempertahankan ide dan ditularkan
secara sosial, sikap, tradisi, kebiasaan pikiran, dan metode yang lebih

disukai serta ketentuan spesifik terhadap komunitas keamanan geografis
tertentu berdasarkan pengalaman historis yang unik. Dari adanya pendapat
Colin Gray dapat dikatakan bahwa terdapat adanya relasi antara budaya
stratejik dengan hubungan internasional dalam konteks keamanan, yang
dibuktikan oleh pembahasan Jack Snyder mengenai strategi nuklir antara
Amerika dengan Uni Soviet.
Michael Desch (dalam Duffield et.al., 1999 : 156) menjelaskan poin-poin
hubungan antara budaya dengan realisme dalam studi keamanan. Pertama,
adanya mischaracterizes suatu isu yang mendebatkan antara realisme
dengan kulturalisme. Hal ini dikarenakan kompleksnya pemahaman antara
realisme dengan kulturalisme berdasarkan pemahaman yang harus dimiliki
tiap individu, namun selalu terdapat perdebatan karena pemahaman satu
pihak mampu menjelaskan dengan mudah dan pihak lain menjelaskan
alternatif berdasarkan logika atau akal. Kedua, Desch menggunakan dua
standar manfaat relatif dari pendekatan kultural dan realis, yaitu kasus
dibahas menggunakan teori kultural yang menggantikan teori realis dan
teori kultural mampu menjelaskan sebuah kasus lebih baik daripada teori
realis.
Ketiga, adanya konsepsi realisme yang terlalu luas sehingga mengaburkan
apa yang khas terhadap suatu istilah dan perbandingan antar pendekatanpendekatan yang akan dibahas. Keempat, adanya tiga tantangan yang


berpotensi untuk menguji seberapa kuat penjelasan sebuah teori kulturalis.
Tantangan tersebut adalah: variabel kultural terkadang susah untuk
didefinisikan dan dioperasionalkan; teori kulturalis baru ini hanya berfokus
secara sui generis atau satu golongan kasus saja; dan teori kultural pada
dasarnya hanya menegaskan keunikan sebuah kasus secara terbatas.
Kelima, Desch menganggap remeh adanya signifikansi teoritis dari studi
kasus yang melibatkan sisi kultural. Lebih tepatnya, teori kultural kurang
kuat untuk menjelaskan apabila keluar dari konteks teori kultural yang ada.
Keenam, Desch mengakui kegunaan potensi teori kultural mampu
mencakup beragam keadaan namun terdapat keraguan terhadap
explanatory point yang kurang menjanjikan daripada realisme. Lebih
jelasnya, Desch berpendapat bahwa realisme memberlakukan pokok primer
great powers dan adanya situasi keamanan negara dan ekonomi sebagai
pokok sekunder, serta kepentingan yang menjadi taruhan. Selain itu pada
poin keenam ini berdasarkan pada tiga kondisi yang memungkinkan teori
kultural memiliki posisi eksplanatori yang baik, yaitu ketika ada jeda
terhadap struktur dan perilaku negara yang berubah; ketika negara
bertindak secara bertentangan dengan struktur imperatif; dan ketika
struktur dalam kondisi yang tidak menentu (Duffield et.al., 1999: 157-160).

Adanya teori-teori hubungan internasional yang menjelaskan subjek dari
budaya stratejik dapat dilihat melalui fenomena seperti Perang Dingin dan
pasca Perang Dingin. Dalam fenomena Perang Dingin terdapat dua negara
besar yang sangat berpengaruh dalam bidang perpolitikan secara global,
yaitu Amerika dan Uni Soviet. Kedua negara tersebut memiliki usaha saling
berebut kepercayaan dengan menyebarkan paham yang berbeda yaitu
paham demokratis oleh Amerika dan paham komunis oleh Uni Soviet.
Paham demokratis yang disebarkan oleh Amerika memberikan wawasan
yang terbuka bagi seluruh negara didunia sehingga mudah diterima,
sedangkan paham komunis yang disebarkan oleh Uni Soviet susah diterima
oleh negara-negara didunia karena bersifat isolasionis. Dengan demikian
terdapat dua teori hubungan internasional yang bertentangan dan berlaku
dalam fenomena tersebut, yaitu liberalisme yang dianut paham demokratis
dan realisme yang dianut paham komunis. Meski secara sistematis kedua
teori tersebut berlawanan, bukan berarti kedua teori tersebut tidak
mengikat satu sama lain. Hal ini mampu dijelaskan dalam teori budaya
stratejik, salah satunya adalah bagaimana sebuah teori mampu
mengkonstruksi paham sebuah negara. Lebih tepatnya, paham demokratis
tidak seutuhnya hanya menjabarkan sisi liberalis, namun juga terdapat
komposisi tersendiri mengenai sisi realis yang bertujuan menarik negaranegara lain agar mengikuti paham yang dianut oleh Amerika, yaitu

demokratis. Hal tersebut juga berlaku sebaliknya, yaitu Uni Soviet
memberikan paham komunis yang identik dengan realis, namun
keterlibatan liberalis bukan berarti hilang, karena cara penyebaran sebuah
paham sejatinya merupakan fakta terhadap teori liberalis dalam komposisi
tertentu dengan menghilangkan sisi liberalis. Hal ini merupakan contoh

kaitan yang erat antara hubungan internasional dengan budaya stratejik,
yang dapat dijelaskan dalam fungsi dari budaya stratejik, yaitu potensi
untuk memanipulasi keadaan secara sepihak dan tanpa disadari;
menghindari kritik; menekan adanya perbedaan pendapat; dan membatasi
akses menuju proses pembuatan keputusan, yang berarti keputusan secara
tidak langsung dilakukan secara sepihak namun disetujui oleh dua pihak
atau lebih, atau lebih tepatnya adalah proses konstruktivis telah terjadi
dalam pembuatan keputusan (Johnston, 1995: 38).
Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa terdapat beragam akses
keterlibatan antara teori-teori hubungan internasional dengan teori budaya
stratejik. Sifat dari budaya stratejik yang derivatif tentu memberikan
keunikan tersendiri, yang membuatnya memiliki takaran berbeda-beda
dalam kasus yang berbeda-beda. Enam poin penting yang dikemukakan oleh
Michael Desch dapat diringkas sebagai mischaracterizes; standarisasi;

konsepsi; potensi; signifikansi; dan eksplanatori. Keenam poin tersebut
merupakan kaitan erat antara ilmu hubungan internasional dengan budaya
stratejik. Selain itu enam poin tersebut memberikan tujuan untuk
menganalisis indikasi konstruksi teori hubungan internasional ke dalam
budaya stratejik. Adanya teori hubungan internasional secara prakteknya
pasti mencakup budaya stratejik, karena pada prakteknya terdapat
kecenderungan satu pihak memberikan pengaruh kepada pihak lain yang
bertujuan agar pihak lain tersebut memiliki pemikiran yang sama dengan
pihak yang memberikan pengaruh. Hal ini dapat dicontohkan antara dua
teori hubungan internasional yang berlawanan yaitu liberalisme dengan
realisme, yang dalam prosesnya tentu memberikan kedua teori tersebut
secara bersamaan namun dalam komposisi yang berbeda. Hal inilah yang
menjadi proses teori budaya stratejik, yang mencari celah atau jeda untuk
menyampaikan gagasan dan ditularkan secara sosial, sikap, tradisi, pikiran,
dan metode tertentu.
Referensi:
Johnston, A. Iain. 1995. Thinking about Strategic Culture. MIT Press:
Frankfurt, International Security, Volume 19, Number 4, Spring 1995, pp.
32-64.
Smith, Stephen B. 2011. The Geographic Origins of Strategic Culture.

Khazar University : Baku, Azerbaijan. Khazar Journal of Humanities and
Social Sciences, pp. 41-54.
Duffield, John S., et. al. 1999. Isms and Schisms: Culturalism Versus
Realism in Security Studies. MIT Press, International Security, Vol. 24, No.
1, pp. 156-180