Kumuh dan Kemiskinan di dki

KUMUH DAN KEMISKINAN

Kemiskinan: Benih Kumuh
UNHCR dan World Bank pada tahun 2005 menyatakan bahwa puluhan juta
masyarakat miskin perkotaan di dunia, termasuk Indonesia, hanya memiliki pilihan
untuk tinggal di tempat terpinggirkan di tengah kota yang kotor dan lingkungan
sekitar yang rentan terhadap berbagai ancaman kesehatan. Permukiman kumuh
dan liar kekurangan infrastruktur dan layanan yang paling dasar. Populasi miskin ini
terpinggirkan dan sebagian besar kehilangan haknya. Mereka terkena
penyakit,kejahatan dan rentan terhadap bencana alam. Kumuh dan liar pun
diperkirakan terus tumbuh di tingkat yang mengkhawatirkan mencapai dua kali lipat
dalam 25 tahun.
Kemiskinan memang merupakan faktor pendorong utama terjadinya fenomena
kumuh, baik di perkotaan maupun perdesaan. Masyarakat miskin di perdesaan
tanpa ada peningkatan layanan dasar maupun variasi aktivitas perekonomian akan
terus berada dalam kondisi kemiskinan yang tidak produktif, akibatnya mereka
tidak berdaya untuk meningkatkan kualitas kehidupannya terutama hal yang
berkaitan dengan perbaikan lingkungan hidup. Kemiskinan yang tinggi di perdesaan
telah memacu peningkatan urbanisasi, dan berakibat pada terjadinya peralihan
konsentrasi kemiskinan ke perkotaan. Kota menjadi semakin padat dengan adanya
pertambahan penduduk akibat migrasi maupun kelahiran alami. Suatu hal yang

jamak dialami perkotaan bahwa pertambahan penduduk senantiasa diikuti
pertumbuhan perumahan kumuh dan permukiman kumuh.
Persentase Penduduk Miskin di Indonesia Tahun
1970-2013
Persentase Penduduk Miskin
Tahun
1970
1976
1978
1980
1981
1984
1987
1990
1993

Kota

Desa
n.a


38.80
30.80
29.00
28.10
23.10
20.10
16.80
13.40

n.a
40.
40
33.
40
28.
40
26.
50
21.

20
16.
10
14.
30
13.
80

Kota+Des
a
60.00
40.10
33.30
28.60
26.90
21.60
17.40
15.10
13.70


1996
1996
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Maret 2011
Sep-11
Maret 2012
Sep-12
Mar-13


9.70
13.39
21.92
19.41
14.60
9.79
14.46
13.57
12.13
11.68
13.47
12.52
11.65
10.72
9.87
9.23
9.09
8.78
8.60

8.39

12.
30
19.
78
25.
72
26.
03
22.
38
24.
84
21.
10
20.
23
20.
11

19.
98
21.
81
20.
37
18.
93
17.
35
16.
56
15.
72
15.
59
15.
12
14.
70

14.
32

11.30
17.47
24.20
23.43
19.14
18.41
18.20
17.42
16.66
15.97
17.75
16.58
15.42
14.15
13.33
12.49
12.36

11.96
11.66
11.37

Konsentrasi penduduk miskin yang cukup besar di suatu lokasi (perumahan kumuh
dan permukiman kumuh) dapat menciptakan masalah sosial dan lingkungan di
suatu daerah (kabupaten/kota). Penghuni permukiman kumuh -dimana pada
umumnya memiliki karakteristik pendidikan rendah, keahlian terbatas, serta
kemampuan adaptasi terhadap lingkungan baru rendah- seringkali menjadi
kelompok marjinal dalam sistem perkotaan. Karakteristik tersebut berpengaruh
pada prioritas hidup mereka, dimana pemenuhan kebutuhan dasar harian lebih
diutamakan dibandingkan yang lainnya sedangkan untuk perbaikan kondisi rumah
maupun lingkungan cenderung diabaikan. Hasilnya, degradasi kondisi lingkungan
maupun sosial pun lazim terjadi di suatu perumahan kumuh dan permukiman
kumuh.
Mereka masih terbiasa hidup dengan pola tradisional, seperti perilaku buang air
besar sembarangan (BABS); membuang sampah sembarangan; kegiatan mandi,
dan cuci bahkan makan dan minum dengan memanfaatkan sumber air yang sama.

Kondisi tersebut membuat mereka rentan terhadap ancaman penyakit sehingga

tidak heran jika perumahan kumuh dan permukiman kumuh mempunyai frekuensi
terserang wabah penyakit yang tinggi, seperti demam berdarah (DB), malaria,
diare, infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), TBC, dan penyakit kulit. Status
kesehatan seperti itu berimbas pada tingkat produktivitas penghuni yang rendah
sehingga tidak dapat optimal berkontribusi dalam menggerakkan aktivitas (sistem)
perkotaan.
Tingkat pendidikan yang rendah serta kurangnya keterampilan membuat mereka
susah mendapatkan pekerjaan yang layak, akibatnya mereka terpaksa bekerja
sekenanya atau justru melakukan pekerjaan yang tidak sesuai norma. Penghuni
perumahan kumuh dan permukiman kumuh umumnya bekerja di sektor informal,
seperti buruh pabrik, kuli pasar, kuli bangunan, asisten rumah tangga, pedagang
kaki lima, pedagang asongan, pengemis, hingga preman. Pendapatan mereka
bervariasi dari sangat rendah hingga cukup tinggi namun berfluktuasi tidak ada
kepastian berlanjut untuk waktu lama, menyebabkan mereka seringkali terkendala
dalam mengakses sumber pembiayaan formal. Kondisi tersebut tentu mengurangi
kesempatan bagi penghuni perumahan kumuh dan permukiman kumuh untuk
meningkatkan status kualitas kehidupannya pada aspek ekonomi. Selain itu, mereka
tidak dapat ikut berkontribusi dalam sistem investasi perekonomian nasional yang
dihimpun dari tabungan masyarakat.
Meski jumlah penduduk miskin di Indonesia mengalami penurunan dari tahun ke

tahunnya, namun ancaman kekumuhan masih terus membayangi, mulai dari jumlah
rumah tangga kumuh hingga luasan permukiman kumuh. Berbanding lurus dengan
persentase penduduk miskin, perbandingan RT kumuh juga lebih banyak di
perdesaan dibandingkan perkotaan, dimana pada tahun 2011 kondisi di perdesaan
memburuk sekitar 0,5% dan di perkotaan membaik sekitar 0,4% dari kondisi tahun
2010. Sedangkan luasan permukiman kumuh semakin meluas, dimana pada tahun
2004 sebesar 54.000 Ha menjadi 57.800 Ha pada tahun 2009 dan berkembang lagi
menjadi 59.000 Ha pada tahun 2011. Diperkirakan, apabila tidak dilakukan
penanganan maka luas perumahan kumuh dan permukiman kumuh akan mencapai
71.860 Ha pada tahun 2025 dengan pertumbuhan sebesar 1,37% per tahun.

PERSENTASE RT KUMUH DI PERKOTAAN DAN PERDESAAN TAHUN 20092011

Kumuh di Mata Konstitusi
Kondisi ini telah menjadi agenda penting Pemerintah dengan mengingat bahwa
masalah perumahan, khususnya perumahan kumuh dan permukiman kumuh, telah
menjadi agenda global dan diatur pula dalam peraturan perundangan. Perumahan
kumuh dan permukiman kumuh dicantumkan dalam Millenium Development Goals
(MDG) Target 7D yaitu mencapai peningkatan yang signifikan dalam kehidupan
penduduk miskin di permukiman kumuh (minimal 100 juta) pada tahun 2020.
Perumahan dalam hukum konstitusi di Indonesia telah diakui menjadi hak asasi
sebagaimana tercantum dalam pasal 40 Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang menyatakan “setiap orang berhak untuk
bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak”. UUD 1945, Pasal 28H Ayat (1)
juga menyebutkan bahwa “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat,
berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
Penyelenggaraan perumahan dan permukiman, khususnya dalam penanganan
perumahan kumuh dan permukiman kumuh, bukan lagi sekadar ilusi sejak
diterbitkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman. Pendefinisian perumahan kumuh dan permukiman kumuh, serta
penambahan satu bab khusus tentang pencegahan dan peningkatan kualitas
terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh, diharapkan dapat menjadi
sebuah batu pijakan yang kokoh untuk mewujudkan Indonesia Bebas Kumuh 2020.
Undang-undang ini mengartikan permukiman kumuh sebagai permukiman yang
tidak layak huni karena ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan
yang tinggi, dan kualitas bangunan serta sarana dan prasarana yang tidak
memenuhi syarat. Perumahan kumuh diartikan sebagai perumahan yang
mengalami penurunan kualitas fungsi sebagai tempat hunian.

Definisi kumuh yang lebih sederhana dari UNHCR dan World Bank, menjelaskan
bahwa permukiman kumuh adalah permukiman yang mempunyai ciri khas tidak
memiliki: 1) layanan air bersih, sanitasi, limbah, drainase, penerangan jalan, 2)
jalan untuk akses darurat, 3) sekolah dan klinik yang mudah dijangkau, ruang untuk
bermain anak-anak, ruang bagi masyarakat untuk bertemu dan bersosialisasi.
Melihat dari definisi tersebut, nampak bahwa indikator utama dari kondisi suatu
perumahan dan kawasan permukiman dinyatakan kumuh adalah didasarkan pada
ketersediaan layanan dasar PSU-nya.
Kebutuhan penyediaan PSU bagi perumahan kumuh dan permukiman kumuh
sejatinya sangat bervariasi, meliputi PSU yang berkaitan dengan aspek ekonomi
untuk meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan penghuni, PSU yang berkaitan
dengan aspek sosial untuk meningkatkan interaksi atau aktivitas sosial penghuni,
dan PSU yang berkaitan dengan aspek lingkungan untuk meningkatkan kualitas
lingkungan di perumahan kumuh dan permukiman kumuh. PSU yang berkaitan
dengan aspek ekonomi berupa sarana perdagangan seperti pasar, pertokoan atau
warung, dan showroom; sarana transportasi seperti dermaga, halte. PSU terkait
aspek sosial berupa sarana ibadah; sarana pendidikan seperti sekolah, PAUD, rumah
pintar; sarana sosialisasi seperti balai warga, taman atau ruang terbuka hijau, dan
taman bermain. PSU pada aspek lingkungan umumnya berbentuk jalan, drainase,
sanitasi, persampahan, air bersih, dan listrik.

Pasar/ toko/ showroom

a
a
s
s
p
p
e
e
k
k
s
e
o
k
s
Jalan i
o
a
drainase
ln
o MCK
m
Sampah
i
Air bersih

Listrik

a
s
p
e
k
l
n
g
k
u
n
g
a
n

Dermaga/ halte P

S
U

i

Mushola/ gereja/ pura/
Taman/ RTH
Balai warga
Rumah pintar/ PAUD

DEFINISI OPERASIONAL PERMUKIMAN KUMUH
KRITERIA

DEFINISI OPERASIONAL

Ketidakteraturan
bangunan

Jumlah RT yang menempati rumah yang tidak memiliki Izin
Mendirikan Bangunan (IMB)

Tingkat kepadatan
bangunan yang
tinggi

Jumlah RT yang menempati perumahan dan kawasan
permukiman dengan kepadatan bangunan >100 rumah/Ha

Kualitas bangunan
yang tidak
memenuhi syarat

Jumlah RT yang menempati rumah tidak layak huni (versi
BPS):
1. Luas lantai per kapita

Dokumen yang terkait

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

DEKONSTRUKSI HOST DALAM TALK SHOW DI TELEVISI (Analisis Semiotik Talk Show Empat Mata di Trans 7)

21 290 1

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24