TEKNOLOGI PEMANFAATAN BATUBARA UNTUK PLT

TEKNOLOGI PEMANFAATAN BATUBARA UNTUK PLTU

SEMINAR INDUSTRI

Oleh :
MARGIO F TIDJA
NIM : 710011046

JURUSAN TEKNIK PERTAMBANGAN
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL
YOGYAKARTA
2016

HALAMAN PENGESAHAN

TEKNOLOGI PEMANFAATAN BATUBARA UNTUK PLTU
SEMINAR INDUSTRI
Dibuat Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memenuhi Kurikulum Jurusan Teknik
Pertambangan Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Yogyakarta
Oleh :
Nama


: MARGIO F TIDJA

No. Mhs.

: 710011046

Program Studi

: Teknik Pertambangan

Yogyakarta,

Mengetahui,
Kajur Teknik Pertambangan

Menyetujui,
Pembimbing

( Ir. Ag. Isjudarto, MT )

NIK : 1973 0068

( Ir. Ag. Isjudarto, MT )
NIK : 1973 0068

SARI

Selama sepuluh tahun terakhir ini penggunaan batubara dalam negeri terus
mengalami pertumbuhan sejalan dengan pertumbuhan perekonomian dan
industrialisasi. Sektor tenaga listrik merupakan sektor yang mengkonsumsi
batubara paling besar. Saat ini sekitar 30 % dari total pembangkitan menggunaan
bahan bakar batubara.
Batubara merupakan bahan baku pembangkit energi dipergunakan untuk
industri. Mutu dari batubara akan sangat penting dalam menentukan peralatan
yang dipergunakan. Umumnya, untuk menentukan kualitas batubara dilakukan
analisa kimia pada batubara yang diantaranya berupa analisis proksimat dan
analisis ultimat. Analisis proksimat dilakukan untuk menentukan jumlah air
(moisture), zat terbang (volatile matter), karbon padat (fixed carbon), dan kadar
abu (ash), sedangkan analisis ultimat dilakukan untuk menentukan kandungan
unsur kimia pada batubara seperti : karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen, sulfur,

unsur tambahan dan juga unsur jarang.
Batubara yang diperlukan datanya untuk Pembangkit listrik tenaga uap
(PLTU) yaitu Total moisture, Ash content, Volatile matter, Fixed carbon, Calorific
value, coal size, sulffur dan Nitrogen. beberapa parameter kualitas batubara yang
diperlukan datanya akan mempengaruhi peralatan pembangkit listrik, proses kerja
dan juga terhadap lingkungan.

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis persembahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa , atas
segala rahmat dan kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan
seminar industri ini dengan lancar.
Adapun tujuan penulisan seminar industri ini adalah salah satu syarat untuk
memenuhi mata kuliah Seminar Tambang pada semester VII di Jurusan Teknik
Pertambangan Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Yogyakarta.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada :
1.

Bapak Ir. H. Ircham, MT selaku Ketua Sekolah Tinggi Teknologi Nasional


2.

Yogyakarta.
Bapak Ir. Ag. Isjudarto, MT, selaku Ketua Jurusan Teknik Pertambangan
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Yogyakarta dan juga sebagai dosen
pembimbing yang dengan sabar membimbing penulis dalam menyelesaikan

3.

seminar industri ini.
Para dosen Teknik Pertambangan, atas segala ilmu pengetahuan yang telah
diberikan.
Penulis

menyadari bahwa seminar industri ini masih jauh dari

kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat
penulis harapkan guna perbaikan pada penulisan-penulisan selanjutnya. Semoga
seminar industri ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.


Yogyakarta,

Mei 2016

Penyusun

DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL………………………..........................…………………. i
HALAMAN PENGESAHAN…………………………..…………….......…... ii
SARI…………………………………………………….....………….…..…… iii
KATA PENGANTAR………………………………………..…………...…… iv
DAFTAR ISI…………………………………………………..……….….…… v
DAFTAR GAMBAR………………………………………..……….....…..….. vii
DAFTAR TABEL…………………………………………..………….........…. viii
BAB I

PENDAHULUAN……………………………….………...….....…. 1
1.1. LatarBelakang………………….………………………...…….. 1

1.2. Maksud dan Tujuan……………………….…………..………... 1
1.3. Batasan Masalah……………………………………...………... 2
1.4. Metode Penulisan……………………….………….…..…...….. 2
1.5. Manfaat Penulisan……………………………….….……..…… 2

BAB II

GENESA BATUBARA DAN PLTU……………………………….

3

2.1. Genesa Batubara………………….…...……..…………………
3
3
2.1.1. Pembentukan Batubara…………………………………
5
2.2. Proses Pembentukan Batubara………………………………….
2.2.1. Pembentukan lapisan source …………………………...
2.2.2. Heteroatom dalam Batubara …………………………...


5
6

7
2.3. Faktor yang mempengaruhi terbentuknya Batubara……………
122

2.4. Kimiawi pembentukkan Batubara………………………………
12

2.4.1. Komponen penyusun Batubara ………………………...
2.5. Lingkungan pengendapan Batubara…………………………….

15
18

2.6. Bentuk lapisan Batubara ……………………………………….
2.7. Kelas dan jenis Batubara………………………………………..

19

20

2.8. Sifat Batubara…………………………………………………..
.
2.9. Kualitas Batubara………………………………………………. 23
26

2.10.

Klasifikasi Batubara…………………………………………....
28

2.11.

Parameter kualitas Batubara……………………………..……..

2.12.

Pembangkit Listrik Tenaga Uap ( PLTU )……………………...


30
30

2.12.1. Pengertian Pembangkit Listrik Tenaga Uap ( PLTU ).....
31

2.12.2. Peralatan Pembangkit Listrik Tenaga Uap ( PLTU )…...

BAB III PARAMETER KUALITAS BATUBARA SEBAGAI BAHAN
BAKAR PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA UAP (PLTU) …..... 32
3.1. Persyaratan parameter Batubara untuk Pembangkit Listrik
Tenaga Uap ( PLTU ).................................................................. 32
3.2. Parameter Batubara pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap
(PLTU) di Suralaya………………….......................................... 32

BAB

IV

PENGARUH


PARAMETER

BATUBARA

TERHADAP

PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA UAP (PLTU).................... 36
4.1. Tipe Batubara berdasarkan tingkat pembatubaraan dan
kegunaannya................................................................................ 36
4.2. Pengaruh parameter kualitas Batubara terhadap peralatan
pembangkit listrik (PLTU) …………………..……………….. 37
4.3. Teknologi pembakaran pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap
(PLTU) ………………………………………………………… 42
BAB V PENUTUP.................................……………………….…………….

45

6.1. Kesimpulan………….……………………….………………… 45
6.2. Saran………………….……………………….……………….. 45

DAFTAR PUSTAKA…………………..……………………………………… 46

DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar
1. Proses Terbentuknya Batubara ……………………………...……….. 9
2. Hubungan Tingkat Pembatubaraan – Kadar Unsur Utama…………… 11
3. cara kerja pembangkit listrik tenaga uap................................................ 30
4. Pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara.................................... 37

DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel
1. Klasifikasi Batubara berdasarkan peringkat............…............................... 9
2. Contoh analisis Batubara............................................................................. 11
3. Lingkungan pengendapan pembentuk batubara (Diesel, 1992).....................16
4. Klasifikasi batubara berdasarkan tingkatnya (ASTM, 1981, op cit Wood et
al., 1983)…………………………………………………………………..27
5. Parameter kualitas Batubara.........................................................................29
6. Persyaratan parameter Batubara untuk PLTU…………………………..... 32
3.1.1. Persyaratan Batubara yang diizinkan untuk operasi PLTU……………34
3.1.2. Data unjuk kerja boiler……………………………………………….. 34
3.1.3. Jumlah abu terbang……………………………………………………35
3.1.4. kapasitas pulverizer……………………………………………………35

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Pembangunan di Indonesia yang berkembang pesat dewasa ini terutama

dalam bidang industri telah mengakibatkan kebutuhan tenaga listrik meningkat
dari tahun ke tahun.Kebutuhan tenaga listrik yang makin meningkat ini antara
lain diperoleh dari usaha diversifikasi berbagai macam sumber energi yang dapat
diperoleh di Indonesia. Salah satu diversifikasi energi yang dilakukan adalah
pemanfaatan batubara sebagai bahan bakar untuk memperoleh tenaga
listrik. Pemanfaatan batubara sebagai sumber energi nasional harus segera
dilakukan mengingat pesatnya konsumsi energi nasional saat ini yang tidak
dapat dipenuhi oleh produksi minyak bumi dalam negeri. Batubara adalah salah
satu sumber energi yang penting bagi dunia, yang digunakan pembangkit listrik
untuk menghasilkan listrik hampir 40% di seluruh dunia. Pada beberapa negara
angka-angka ini jauh lebih tinggi, Polandia menggunakan batubara lebih dari
94% untuk pembangkit listrik, Afrika Selatan 92%, Cina 77%, dan Australia
76%.
Di Indonesia pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), merupakan salah
satu andalan pembangkit tenaga listrik yang merupakan jantung untuk kegiatan
industri. Salah satu bahan bakar PLTU adalah batubara. Konsep dasar dari PLTU
adalah batubara sebagai bahan bakar utama harus disediakan dengan kualifikasi
tertentu dan untuk jangka waktu lama. Batubara sebagai bahan bakar PLTU,
melalui perjalanan yang cukup panjang akhirnya dimamfaatkan untuk
memanaskan boiler yang berisi air (salah satu contohnya di PLTU Suralaya,
Jawa Barat) membutuhkan 1.500 ton liter air. Uap air yang keluar dari boiler
mempunyai tekanan 174kg/cm2 pada 5400.
Uap air yang dihasilkan dialirkan keturbin. Masing-masing turbin (di
PLTU Suralaya) di unit 1, 2, 3 dan 4 berkapasitas 400 MW , unit 5, 6 dan 7
berkapasitas 600 MW dan masing-masing turbin dihubungkan langsung dengan

generator. Tegangan listrik yang dihasilkan dinaikan dar 23.000 Volt menjadi
500 Volt, dengan menggunkan trafo sebelum disalurkan kesistem jaringan. Uap
yang sudah melalui turbin didinginkan dan dikondensasikan menjadi air didalam
kondensor sebelum dikembalikan ke boiler. Kondensor sendiri didinginkan oleh
air yang dipompakan dari air laut. Oleh sebab itu PLTU selalu dibangun
didaerah pantai.

Gambar 1.1. Cadangan Batubara Dunia (World Coal Association, 2004)
1.2.

Tujuan penulisan
Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui tentang teknologi
pemanfaatan batubara untuk PLTU.

1.3.

Batasan Masalah
Batasan masalah penulisan ini yaitu hanya membahas tentang teknologi
pemanfaatan batubara yang digunakan pada PLTU.

1.4.

Metode Penulisan
Metode penulisan ini adalah studi literatur. Studi litelatur adalah
pengumpulan data dengan pengkajian literatur-literatur dan baha-bahan
pustaka yang menunjang terhadap materi yang dibahas.

1. Instansi terkait
2. Informasi yang dikumpulkan
3. Internet

4. Literatur-literatur
1.5.

Manfaat penulisan
1. Memberikan gambaran tentang proes dari teknologi pemanfaatan
batubara untuk PLTU.
2. Bertambahnya

pengetahuan

dan

wawasan tentang

tekonologi-

teknologi dan pemanfaatan batubara sebagai bahan terbarukan dan
industri.

BAB II
TINJAUAN UMUM

2.1. Sejarah Umum Batubara
Batubara terbentuk dari tanaman yang telah tertimbun di dalam tanah dan
terjaga pada tekanan yang tinggi dan pemanasan dalam jangka waktu yang lama.
Tanaman mengandung kandungan selulosa yang tinggi. Setelah tanaman dan
pepohonan tersebut tertimbun dalam jangka waktu tertentu di dalam tanah akan
terjadi perubahan kimia yang merendahkan kadar oksigen dan hidrogen dari
molekul selulosa tersebut.
Para pakar geologis meyakini bahwa proses pengendapan batubara di dalam
tanah terbentuk sekitar 250-300 juta tahun yang lalu, ketika sebagian besar bumi
masih dilapisi oleh hutan dan pepohonan yang lebat. Pohon dan tanaman tersebut
akan mengalami proses regenerasi dimana bagian dari tanaman yang berguguran
akan tertimbun dalam lapisan tanah, dan proses ini akan mengakibatkan
penurunan kadar oksigen dan hidrogen secara bertahap pada molekul selulosa
tersebut.
Selama degradasi dari tanaman yang telah mati, dekomposisi dari protein,
pati, dan selulosa lebih cepat daripada dari bahan kayu. Pada berbagai tingkat, dan
dengan berbagai kondisi iklim yang berbeda, konstituen dari tanaman akan
terdekomposisi dalam kondisi aerob membentuk karbondioksida, air dan
ammonia.
Proses ini disebut “humifikasi” dan akan membentuk gambut. Gambut ini
kemudian tertutup oleh lapisan sedimen, tanpa adanya udara, dan karenanya tahap
kedua dari proses pembentukan batubara terjadi dalam kondisi anaerob. Pada
tahap kedua, proses gabungan antara temperatur, tekanan, dan waktu akan
mengubah lapisan gambut menjadi brown coal (lignit), kemudian sub-bituminus,

bituminous dan kemudian membentuk antrasit. Jenis-jenis batubara ini umumnya
disebut dengan batubara hitam (black coals).

Dalam kondisi yang paling basah (lembab) akan dihasilkan batubara dengan
mutu yang paling rendah, batubara coklat (lignit). Pada temperatur dan tekanan
yang lebih tinggi dan dengan waktu yang cukup, akan membentuk batubara subbituminus, dan bahkan membentuk antrasit.
MATERIAL ASAL
Autochton
Udara

Diag
enes
a

Air Tanah

Diagene
sa

Met
amo
rfosa

C (%)
R max
CV

RAWA GAMBUT
Dibedakan berdasarkan lingkungan
Pengendapan (facies)

Sedimen

Penggambutan
Perusakan oleh Mikroba dan
Pembentukan Humin, Penurunan
Keseimbangan Biotektonik
BATUAN SEDIMEN ORGANIK BATUBARA
Lignite
Sub-bituminus
Bituminus (High-Medium-Low-Volatile)
Semi-Anthracite
Anthracite

H2O (%)
VM (%)
H (%)
O (%)

Gambar 2.1. Skema pembentukan batubara (McCabe, 1987).

Gambar 2.2. Proses pembentukan batubara (McCabe, 1987).

2.2. Lokasi Dan Penyebaran Batubara Di Indonesia
Berdasarkan lokasi batubara Indonesia tersebar di lokasi-lokasi seperti
sumatera, Kalimantan, sulawesi, jawa, maluku dan papua, namun sumberdaya
batubara di wilayah maluku, sulawesi, jawa dan papua, masing-masing hanya
mencapai kurang dari 1% dari total sumber daya batubara di Indonesia.
Sedangkan sebagian besar sumber daya tersebut berada di sumatera dan
Kalimantan, sebagaimana yang tampak pada gambar 2.3 dan tabel penyebaran
batubara berdasarkan provinsi di Indonesia.

2.3. Keadaan Geologi Secara Umum Batubara Di Indonesia
Batubara di Indonesia umumnya berumur Tersier, sedangkan batubara yang
berumur Pra-Tersier (Perm-Karbon) hanya sedikit ditemukan terutama di Papua.
Deposit batubara yang cukup berarti secara ekonomis adalah batubara yang
berumur Tersier yang berada sebagian besar di Indonesia bagian barat.
Penelitian batubara Indonesia dalam kerangka geologi regional telah dimulai
sejak awal abad ke-20 terutama oleh Van Bemmelen (1949) yang membagi
deposit batubara Indonesia berdasarkan umurnya menjadi dua kelompok yaitu
batubara Paleogen (Eosen dan Oligosen) dan Neogen (Miosen, Pliosen dan
Pleistosen). Selain itu terdapat banyak penelitian geologi batubara lainnya yang
bersifat lokal pada daerah-daerah dimana batubara itu ditemukan.
Peringkat batubara di Indonesia umumnya hanya berkisar dari lignit sampai
bituminous. Terdapat beberapa cekungan yang memiliki batubara dengan
peringkat yang lebih tinggi (mencapai antrasit) oleh karena adanya pengaruh
panas tambahan seperti karena adanya intrusi batuan beku. Perbedaan peringkat
batubara pada prinsipnya mencerminkan perbedaan ketebalan lapisan batuan di
atas lapisan batubara serta adanya perbedaan gradien geothermal di setiap
cekungan. Kualitas batubara dari beberapa cekungan ditunjukkan pada tabel
berikut.

Tabel 2.1. Kualitas batubara Eosen dan Miosen dari contoh permukaan di
beberapa cekungan di Indonesia.
Umur

Eosen

Miosen

Cekungan

CV (kal/gr)

Peringkat

Ombilin
Sumatera Tengah
Asam-Asam
Pasir
Barito (NC)
Barito (SH/HA)
Ketungau
Sumatera Selatan (NC)
Sumatera Selatan (HA)
Bengkulu
Meulaboh
Kutei (NC)
Kutei (SH)
Tarakan
Barito
Asam-Asam

6600-7000
6300-6800
6300-6800
6100-6790
6000-7000
7100-8000
6300-6900
4000-5500
6000-8000
6200-6500
5100-5500
4950-5500
6000-7650
4800-5500
4500-5500
4300-4690

Bituminus
Bituminus
Bituminus
Bituminus
Bituminus
Bituminus-Semiantrasit
Bituminus
Subbituminus
Bituminus-Antrasit
Bituminus
Subbituminus
Subbituminus
Bituminus
Subbituminus
Subbituminus
Subbituminus

Keterangan: NC = Normal Coalification, SH = Structure highs, HA = Heat affected,
CV = calorific value

2.4. Klasifikasi Batubara
Batubara merupakan merupakan salah satu jenis bahan bakar pembangkit
energi. Berdasarkan cara penggunaannya sebagai penghasil energi batubara
dibedakan:
1. Penghasil energi panas primer, yaitu langsung dipergunakan untuk
industri, misalnya sebagai bahan burner (pembakar) dalam industri semen,
pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), bahan bakar pembuatan kapur
tohor, bahan bakar pembuatan genting, bahan bakar lokomotif, pereduksi
proses metalurgi, kokas konvensional, bahan bakar tidak berasap
(smokeless fuel).
2. Penghasil energi sekunder, yaitu tidak langsung dipergunakan untuk
industri, misalnya sebagai bahan bakar padat (briket), bahan bakar cair

(konversi menjadi bahan bakar cair), bahan bakar gas (konversi menjadi
bahan bakar gas).
Batubara

dapat pula dipergunakan tidak sebagai bahan bakar tetapi

digunakan sebagai reduktor pada proses peleburan timah, industri ferro-nikel,
industri besi dan baja, sebagai bahan pemurnian pada industri kimia (dalam
bentuk karbon aktif), sebagai bahan pembuatan kalsium karbida (dalam bentuk
kokas dan semi kokas).
Sebagai catatan, pemamfataan batubara sebagai energi panas kontak
langsung sering pula dilakukan. Artinya batubara tersebut dimanfaatkan sebagai
bahan bakar pembangkit energi panas, dimana pada proses pembakaran, batubara
bersinggungan secara langsung dengan materi lain tanpa ada pembatas, misalnya
pada proses pembakaran genting, kapur tohor, keramik, industri semen. Pada
operasi pembakaran batubara sebagai energi kontak langsung sifat fisik dan kimia
batubara akan sangat menentukan terhadap proses pembakaran. Sifat-sifat
batubara yang harus dicermati antara lain kadar abu (ash content), kadar lengas
(moisture content), volatile matter, fixed carbon.
Pemanfaatan batubara dalam industri semen, batubara yang dibakar akan
menyisakan abu. Abu batubara tersebut akan bercampur dengan klinker dan akan
berpengaruh pada kualitas semen.
Pada proses pembakaran bata, kandungan abu batubara yang terlalu banyak
akan menyumbat celah-celah susunan antar bata, berakibat akan mengganggu
penyebaran panas sebagai hasil pembakaran. (Wahyudiono,2002)
2.4.1

Klasifikasi Batubara secara umum
Secara umum batubara digolongkan menjadi 5 tingkatan (dari

tingkatan paling tinggi sampai tingkatan paling terendah) yaitu: anthracite,
bittuminous coal, sub bittuminous coal, lignite dan peat (gambut).
Kandungan tersebut menekankan pada kandungan relatif antara unsur
C dan H2O yang terdapat dalam batubara. Pada anthracite kandungan C
relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan H2O. Pada kandungan
bittuminous kandungan unsur C relatif lebih rendah dibandingan dengan
kandungan unsur C pada anthracite, sebaliknya kandungan H2O pada

bituminous relatif lebih tinggi dibandingan dengan kandungan H2O pada
anthracite. Mempergunakan konsep analogi disimpulkan kandungan unsur C
dalam peat relatif paling sedikit,sebaliknya kandungan H2O paling banyak
dibandingkan dengan jenis batubara yang lain.
Kandungan air dalam batubara, dikenal sebagai sifat lengas (moisture).
Kandungan lengas (moisture content), digolongkan sebagai lengas bebas (free
moisture), yaitu lengas yang disebabkan oleh adanya kandungan air mekanika
(air menempel pada permukan butir batubara) dan lengas total (total moisture),
yaitu jumlah total kandungan batubara yang merupakan penjumlahan dari free
moisture dan inherent moisture.
Anthracite menunjukan ciri antara lain, memperlihatkan struktur
kompak, berat jenis tinggi, berwarna hitam metalik, kandungan volatile matter
rendah, kandungan abu dan kandungan air rendah, mudah dipecah. Apabila
dibakar, hampir seluruhnya habis terbakar, tanpa timbul nyala, nilai kalor
antara 7000-8000 kkal/kg.
Batubara yang berwarna hitam (jenis anthracite dan bittuminous coal)
bersifat tidak higroskofis. Lignite apabila dibakar menghasilkan nilai kalor
1500-4500 kkal/kg, sedang peat apabila dibakar menghasilkan nilai kalor
1700-3000 kkal/kg. Oleh sebab itu, apabila batubara dipergunakan sebagai
bahan bakar industri dipilih jenis anthracite atau bittuminous coal,
dihindarkan penggunaan peat dan lignite.
Dalam usaha untuk mempermudah pengenalan jenis batubara, berikut
ditunjukan sifat-sifat batubara untuk masing-masing jenis sebagai berikut:

a. Jenis anthracite

Warna hitam sangat mengkilat, kandungan karbon sangat tinggi, nilai kalor
sangat sedikit, kandungan air sangat sedikit, kandungan abu sangat sangat
kit dan kandungan sulfur sangat sedikit.
b. Jenis bituminous/sub bittuminous coal
Warna hitam mengkilat, kurang kompak, kandungan karbon relatif tinggi,
nilai kalor tinggi, kandungan air sedikit, kandungan abu sedikit dan
kandungan sulfur sedikit.
c. Jenis lignite (brown coal)
Warna hitam, sangat rapuh, kandungan karbon sedikit, nilai kalor rendah,
kandungan air tinggi, kandungan abu banyak dan kandungan sulfur
banyak.
Kebanyakan batubara dimanfaatkan sebagai bahan bakar, sehingga faktor
volatile matter, lama penyalaan dan suhu memegang peranan penting.
Dikenal istilah long flaming coal, merupakan batubara dengan kandungan
volatile metter tinggi, apabila batubara dalam keadaan srbuk dibakar
dalam tanur putar, akan terurai dengan segara.
Sehingga menimbulkan periode nyala pendek, panas yang dihasilkan
sebagian untuk membakar volatile metter yang jumlah nya cukup banyak,
akibatnya suhu yang dihasilkan menjadi relatif rendah.
Sedangkan short flaming coal, merupakan batubara dengan kandungan
vollatile matter rendah, apabila batubara dalam keadaan serbuk di bakar
dalam tanur putar akan terurai dengan segera, sehingga menghasilkan
periode nyala panjang, panas yang dihasilkan sebagian dipakai untuk
membakar volatile matter yang jumlahnya sedikit, akibatnya suhu yang
dihasilkan mnjadi relatif lebih tinggi.
Untuk proses pembakaran secara terus menerus (jangka panjang),
misalnya dalam industri semen, batubara dengan periode nyala panjang
lebih disukai dibandingkan dengan batubara periode nyala pendek, karena

nyala panjang akan membuat reaksi kimia berlangsung akan lebih
sempurna.
Dikenal pula dalam dunia perdagangan batu bara (yang saat ini sudah
mulai ditinggalkan) yaitu jenis hard coal, yaitu jenis batu bara yang
menghasilkan gross calorific value lebih dari 5.7000 kkal/kg. Jenis ini
dibagi menjadi dua yaitu apabila kandungan zat terbang (volatile matter)
hingga 33 % termasuk kelas 1-5 sedangkan apabila kandungan zat terbang
(volatile matter) lebih besar 33 %, termasuk kelas 6-9. Hard coal
merupakan jenis batu bara dengan kalori lebih tinggi, dibandingkan
dengan bituminous/subbituminous dan lignite (brown coal).
2.4.2

Kalsifikasi batu bara berdasarkan atas nilai kalor, di bagi menjadi:
a. Batubara tingkat tinggi (high rank), meliputi meta anthracite,
anthracite, semi anthracite.
b. Batubara tingkat menengah (moderate rank), meliputi low volatile
bituminous coal, high volatile coal.
c. Batubara tingkat rendah (low rank), meliputi sub bituminous coal,
lignite.
Apabila diperhatikan lebih lanjut, penggolongan tersebut di atas lebih
ditekankan

pada

nilai

kalor

yang

dihasilkan,

selain

tetap

memperhatikan kandungan unsur C dan jumlah volatile matter yang
terdapat di dalamnya. Seperti pada penggolangan yang pertama,
apabila batubara dipakai dalam industri, akan dipilih batubara tingkat
tinggi, karena akan menghasilkan panas yang cukup tinggi.
2.4.3

Kualitas Batubara
Batubara yang diperoleh dari hasil penambangan pasti mengandung
bahan pengotor (impurities). Pada saat terbentuknya, batubara selalu
bercampur dengan mineral penyusun batuan yang selalu terdapat
bersamaan selama proses sedmentasi, baik sebagai mineral anorganik
ataupun sebagai bahan organik.

Di samping itu selama berlangsung proses coalification terbentuk
unsur S yang tidak dapat dihindarkan. Keberadaan pengotor dalam
batubara hasil penambangan diperparah lagi, dengan adanya kenyataan
bahwa tidak mungkin membersihkan/memilih/mengambil batubara
yang bebas dari mineral. Hal tersebut disebabkan antara lain,
penambangan batubara dalam jumlah besar selalu mempergunakan
alat-alat berat antara lain bulldoser, backhoe, truck, belt conveyor,
ponton, yang selalu bergelimang dengan tanah. Dikenal dua jenis
impurities yaitu:
1. Inherent impurities
Merupakan pengotor bawaan yang terdapat dalam batubara. Batubara
yang sudah dicuci (washing) dan dikecilkan ukuran butirnya/diremuk
(crushing) sehingga dihasilkan ukuran tertentu, ketika dibakar habis
masih memberikan sisa abu. Pengotor bawaan ini terjadi bersamasama pada waktu proses pembentukan batubara (ketika masih berupa
gelly).
Pengotor tersebut dapat berupa gipsum (CaSO42H2O), anhidrit
(CaSO4), pirit (FeS2), silika (SiO2), dapat juga berbentuk tulangtulang binatang (diketahui adanya senyawa fosfor dari hasil analisis
abu) selain mineral lainnya. Pengotor bawaan ini tidak mungkin
dihilangkan sama sekali, tetapi dapat dikurangi dengan melakukan
pembersihan. Proses ini dikenal sebagai teknologi batubara bersih.
2. External impurities
Merupakan pengotor yang berasal dari luar, timbul pada saat proses
penambangan antara lain terbawanya tanah yang berasal dari lapisan
penutup (overburden). Kejadian ini sangat umum dan tidak dapat
dihindari, khususnya pada penambangan batubara dengan metode
tambang terbuka (open pit). Batubara merupakan endapan organik
yang mutunya snagat ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain
tempat

terdapatnya

sekungan

batubara,

umur,

banyaknya

pengotor/kontaminasi. Sebagai bahan baku pembangkit energi yang
dimanfaatkan dalam industri, mutu batubara mempunyai peranan
sangat penting dalam memilih peralatan yang akan dipergunakan dan
pemeliharaan alat. Dalam menentukan mutu/kualitas batubara perlu
diperhatikan beberapa hal anatara lain:
a. Heating Value (HV) (Nilai kalor)
Dinyatakan dalam kkal/kg, banyaknya jumlah kalori yang
dihasilkan oleh batubara tiap satuan berat (dalam kilogram).
Dikenal nilai kalor net (net calorific value atau low heating
calorific value), yaitu nilai kalor hasil pembakaran di mana semua
air (H2O) dihitung dalam keadaan gas, dan nilai kalor gross
(grosses calorific value atau high heating value, yaitu nilai kalor
hasil pembakaran di mana semua air (H2O) dihitung dalam
keadaan ujud cair.
Semakin tinggi nilai HV, makan lambat jalannya batubara yang
diumpankan sebagai bahan bakar setiap jamnya, sehingga
kecepatan umpan batubara (coal feeder) perlu disesuaikan. Hal ini
perlu diperhatikan agar panas yang ditimbulkan tidak melebihi
panas yang diperlukan dalam proses industri.
Akibat selanjutnya akan memerpanjang masa pakai burner, wid
box, pulperizer (penghancur/pembubuk), dan peralatan lainnya.
b. Moisture Content (kandungan lengas).
Jumlah lengas dalam batubara akan mempengaruhi penggunaan
udara primer. Batubara dengan kandungan dengan lengas tinggi,
akan memerlukan lebih banyak udara primer untuk mengerikan
batubara tersebut agar suhu batubara pada saat keluar dari gilingan
(mill) tetap, sehingga hasil produksi indsutri dapat dijamin
kualitasnya. Lengas batubara ditentukan oleh jumlah kandungan air
yang terdapat dalam batubara. Kandungan air dalam batubara dapat
berbentuk kandungan air internal (air/senyawa unsur), yaitu air

yang terikat secara kimiawi. Jenis air ini sulit untuk dilepaskan
tetapi dapat dikurangi, dengan cara memperkecil butiran batubara.
Jenis air yang kedua adalah air external (air mekanikal), yaitu air
yang menempel pada permukaan batubara (Wahyudiono, 2002).
Makin halus butir batubara, makin luas jumlah permukaan butir
secara keseluruhan,sehingga makin banyak pula air yang
menempel.
Satu hal yang menguntungkan bahwa batubara mempunyai sifat
fidrophobic,artinya apabila batubara telah dikeringkan, maka
batubara tersebut sulit menyerap air, sehingga tidak akan
menambah jumlah air internal.
Selama proses penimbunan di stock pile akan timbul panas yang
mampu menguapkan air mekanikal yang menempel pada
permukaan butir.
c. Ash Content (kandungan abu)
Komposisi batubara bersifat heterogen, terdiri dari unsur organik
(berasal dari tumbuh-tumbuhan) dan senyawa anorganik, yang
merupakan hasil rombakan batuan yang ada disekitarnya,
bercampur selama proses transportasi, sedimentasi, dan proses
pembatubaraan (coalification). Apabila batubara dibakar, senyawa
anorganik yang ada diubah menjadi senyawa oksida yang
berukuran butir halus dalam bentuk abu. Abu hasil pembakaran
batubara ini, yang dikenal sebagai hash content (kandungan abu).
Abu ini merupakan kumpulan dari bahan-bahan pembentuk
batubara yang tidak terbakar (non combustible materials), atau
yang dioksidasi oleh oksigen. Bahan sisa dalam bentuk padatan ini
anatara lain senyawa SiO2, Al2O3, TiO2, Mn3O4, CaO, Fe2O3, MgO,
K2O, Na2O, P2O, SO3 dan oksida unsur lain. Disamping itu terdapat
pula abu dari bahan organik yang terbakar (consbutible material).

Impurities yang terdapat dalam batubara berperan sangat
penting pada kandungan abu batubara. Apabila kandungan ini
dipakai untuk PLTU, abu yang ada akan terpisah menjadi abu dasar
(20%) yang terkumpul didasar tungku dan abu terbang (80%) yang
akan “keluar” melalui cerobong asap. Sedangkan apabila batubara
dipergunakan sebagai bahan bakar dalam industri semen, abu
(dalam

bentuk

padatan)

bercampur

dengan

klinker

dan

mempengaruhi kualitas semen yang dihasilkan.
Semakin tinggi kandungan abu dan tergantung pada komposisinya
akan mempengaruhi tingkat pengotoran udara apabila abu sampai
terlepas ke atsmosfer, menyebabkan pula terjadi keausan dan
korosi terhadap pada peralatan yang dilaluinya.
Kadar abu batubara Indonesia berkisar 5%-20% Amperiadi (2005)
melaporkan penelitian yang dilakukan terhadap batubara di Sebulu,
Tenggarong, Kalimantan Timur mendapatkan ash content 3,3%
pada seam B, Block C.1 dan 5,1% pada seam A, bloack A didaerah
penambangan batubara KSU Kumala Sakti.
d. Sulfur content (kandungan belerang)
Belerang yang terdapat dalam batubara dibedakan menjadi 2 yaitu
dalam bentuk senyawa anorganik dan senyawa organik.
Belerang dalam bentuk senyawa anorganik dapat dijumpai dalam
bentuk mineral pirit (FeS2 bentuk kristal kubus), markasit (FeS 2
bentuk kristal orthorombik) atau dalam bentuk sulfat. Mineral pirit
dan markasit sangat umum terbentuk pada kondisi sedimentasi
rawa (reduktif). Belerang organik terbentuk selama terjadinya
proses coalification. Horton and randall (vide krevelen,1993).
Belerang organik yang terdapat dalam batubara dapat dioksidasi
membentuk sulfat. Keberadaan sulfur dalam batubara akan
berpengaruh terhadap tingkat korosi sisi dingin (sisi luar) yang
terjadi pada elemen pemanas udara (terutama pada suhu kerja lebih

rendah dari letak embun sulfur), juga berpengaruh terhadap
efektivitas peralatan penangkapan abu (electrostatic preciptitaor).
Adanya kandungan sulfur, baik dalam bentuk senyawa anorganik
maupun organik di atmosfer dipicu oleh keberadaan air hujan,
mengakibatkan terbentuk air asam (dalam dunia pertambangan
batubara dikenal sebagai air asam tambang, dengan Ph < 7)
e. Volatile matter (bahan mudah menguap)
Kandungan volatile matter, berkaitan dengan proses pembatubaraan. Akibat adanya overburden pressure, kandungan air dalam
batubara akan berkurang, sebaliknya semakin mengecilnya
kandungan air, calorific value akan meningkat. Pada saat yang
bersamaan batubara akan mengalami proses devolatisation. Semua
sisa oksigen, hidrogen, sulfur, nitrogen berkurang sehingga
kandungan volatile matter mengecil. Kandungan valatile matter
mempengaruhi kesempurnaan pembakaran ditentukan oleh nilai
Fixed carbon. Semakin tinggi nilai Fuel Ratio, maka karbon yang
tidak terbakar semakin banyak.
Sebagai catatan, anthracite merupakan batubara kualitas tinggi
mempunyai struktur kompak, berat jenis, berwarna hitam metalik,
kandungan volatile metter rendah, mudah digiling apabila dibakar
hampir seluruhnya habis terbakar, timbul nyala biru, dengan nilai
kalor lebih besar atau sama dengan 8300 kcal/kg.
f. Fixed Carbon
Didefinisikan sebagai material yang tersisa, setelah berkurangnya
moisture, volatile matter dan ash.
g. Hardgrove Grindabillity Index (HGI)
Suatu bilangan yang menunjukan mudah atau sukarnya batubara
digiling/digerus menjadi bahan bakar serbuk. Didalam praktek
sebelum batubara dipergunakan sebagai bahan bakar, ukuran butir

nya dibuat seragam dengan rentang halus sampai kasar. Butir halus
dengan ukuran < 3 mm sedangkan ukuran paling kasar sampai 50
mm. Butir paling halus perlu dibatasi dengan sifat dustness (ukuran
terkecil agar tidak diterbangkan oleh angin,dengan harapan tidak
mengotori lingkungan.
Sedangkan dustness dan tingkat kemudahan untuk diterbangkan
angin dipengaruhi pula oleh kandungan lengas (moisture content).
Makin kecil nilai HGI, maka makin keras keadaan batubaranya.
Sebagai catatan, Hargrove Grindabillity Index (HGI) batubara
Indonesia berkisar antara 35-60.
h. Ash Fusion character of coal
Batubara apabila dipanaskan bersama-sama terutama anorganik
impurities akan melebur/meleleh. Apabila hal ini terjadi akan
berpengaruh pada tingkat pengotoran (fouling), pembentukan terak
(slagging) dan akan berakibat terjadinya gangguan pada blower.

BAB III
DASAR TEORI
3.1. Produksi dan Teknologi Pemanfaatan Batubara
Perkembangan produksi batubara Indonesia selama 13 tahun terakhir telah
menunjukkan peningkatan yang cukup pesat, dengan kenaikan produksi rata-rata
15,68% pertahun. Tampak pada tahun 1992, produksi batubara sudah mencapai
22,951 juta ton dan selanjutnya pada tahun 2005 produksi batubara nasional
mencapai 151,594 juta ton (Pusat Informasi Energi, 2006). Perkembangan
produksi batubara nasional tersebut tentunya tidak terlepas dari permintaan dalam
negeri dan luar negeri (ekspor) yang terus meningkat setiap tahunnya. Sebagian
besar produksi tersebut untuk memenuhi permintaan luar negeri, yaitu rata-rata
72,11%, dan sisanya 27,89% untuk memenuhi permintaan dalam negeri.
Berdasarkan hasil survei lapangan tahun 2006, tiga konsumen terbesar
batubara di Indonesia adalah pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) sebesar
24,882 juta ton (70,91%), industri semen 5,77 juta ton (17,16%), dan industri
kertas 2,207 juta ton (6,48%). Dari hasil analisis, produksi batubara diperkirakan
akan mencapai 628 juta ton pada tahun 2025, dengan 191 juta ton dikonsumsi di
dalam negeri dan 438 juta ton diekspor.
Hal ini jelas tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah yang telah
menargetkan produksi batubara tidak melebihi angka 318 juta ton pada tahun
2025, dengan komposisi 214 juta ton untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri
dan 104 juta ton untuk diekspor.
Oleh karena itu, sejak dini pemerintah perlu mengendalikan bisnis batubara
melalui berbagai kebijakan, antara lain melalui pembatasan ekspor dan jaminan
suplai untuk kebutuhan di dalam negeri berdasarkan pertimbangan optimalisasi
pemanfaatan sumber daya batubara (Pusat Informasi Energi, 2006).

Gambar 3.1. Sasaran bauran energi nasional (Pusat Informasi Energi, 2006)
3.2. Perkembangan PLTU di Indonesia
Kehidupan moderen tidak bisa dibayangkan tanpa adanya listrik. Listrik
menerangi rumah, gedung, jalanan, memanaskan rumah dan industri, serta
menghidupkan sebagian besar peralatan yang digunakan di rumah, kantor dan
mesin-mesin di pabrik. Saat ini kebutuhan tenaga listrik sebagian besar dipenuhi
oleh PLTU berbahan bakar minyak bumi diikuti dengan gas alam dan batubara.
Dengan program diversifikasi energi maka prioritas untuk pembangkit listrik
adalah yang menggunakan bahan bakar batubara karena cadangan batubara masih
sangat melimpah dan harganya kompetitif dibandingkan dengan minyak bumi dan
gas alam.
Batubara ketel uap, juga disebut batubara termal, digunakan di pembangkit
listrik untuk mengalirkan listrik. Pembangkit listrik konvensional yang pertama
menggunakan batubara bongkahan yang dibakar di atas rangka bakar dalam ketel
untuk menghasilkan uap. Kini, batubara digiling dahulu menjadi bubuk halus,
yang meningkatkan area permukaan dan memungkinkan untuk terbakar secara
lebih cepat. Dalam sistem pulverised coal combustion (PCC-pembakaran serbuk
batubara) ini, serbuk batubara ditiupkan ke dalam ruang bakar ketel dan serbuk
batu bara tersebut di bakar pada suhu yang tinggi. Gas panas dan energi panas
yang dihasilkan mengubah air dalam tabung-tabung ketel menjadi uap.
Uap tekanan tinggi disalurkan ke dalam statu turbin yang memiliki ribuan
bilah baling-baling. Uap mendorong bilah-bilah tersebut sehingga poros turbin
berputar dengan kecepatan yang tinggi. Satu pembangkit listrik terpasang di salah
satu ujung poros turbin dan terdiri dari kumparan kabel terbuka. Listrik dihasilkan
pada saat kumparan trsebut berputar dengan cepat dalam suatu medan magnetik
yang kuat. Setelah melewati turbin, uap menjadi terkondensasi dan kembali ke
ketel untuk dipanaskan sekali lagi.

Listrik yang dihasilkan ditransformasikan ke tegangan yang lebih tinggi
mencapai 400000 volt menggunakan transmisi ekonomis yang efisien melalui
jaringan pengantar arus kuat. Pada saat mendekati titik konsumsi, seperti rumah
kita, tegangan listrik diturunkan ke sistem tegangan yang lebih aman 100- 250
volt seperti yang digunakan pada pasar domestik. Pengembangan terus dilakukan
pada rancangan pembangkit listrik PCC konvensional dan teknik pembakaran
baru sedang dikembangkan. Perkembangan tersebut memungkinkan produksi
listrik yang lebih banyak dengan menggunakan batubara yang lebih sedikit-hal ini
dikenal sebagai meningkatkan efisiensi termal dari pembangkit listrik.
PLTU yang beroperasi di Indonesia, pada tahu 1962 dengan kapasitas 25
MW, suhu 5000,tekanan 65kg/cm2, boiler masih menggunakan pipa biasa dan
pendingin generator dilakukan dengan udara. Kemajuan pada PLTU yang
pertama, boiler sudah dilengkapi pipa dinding dan pendingin generator
memamfaatkan hidrogen, kapasitas daya PLTU tercapai hingga 25MW. Apabila
dayanya ditingkatkan menjadi 100-200 MW, boiler-nya perlu dilengkapi super
heater economizer dan tungku tekanan.
Kontruksi PLTU generasi berikutnya, turbin dirancang dapat melakukan
pemanasan ulang dan arus ganda, sedangkan pendingin generatornya masih
mempergunakan hidrogen. Pada saat kapasitas dinaikan ke 200 MW ruang yang
dihasilkan mempunyai tekanan 131,5 kg/cm2 dengan suhu 540o , sedangkan
bahan bakar masih mempergunakan minyak bumi seperti PLTU sebelumnya.
Ketika kapasitas PLTU sudah ditingkatkan mencapai 400MW, bahan bakar
digantikan dari minyak bumi kebatubara. Secara garis besar batubara yang dipakai
digolongkan menjadi 2, yaitu batubara berkualitas tinggi dan batubara berkualitas
rendah. Apabila dipergunakan batubara berkualitas tinggi, akan sedikit
menghasilkan unsur berbahaya. Unsur-unsur berbahaya yang dimaksud antara
lain sulfur, nitrogen dan sodium. Apabila proses pembakaran batubara
berlangsung tidak sempurna, akan dihasilkan unsur CO, sehingga daya gunanya
menjadi rendah.
PLTU batubara di Indonesia yang pertama kali dibangun adalah di Suralaya
(Jawa Barat) pada tahun 1984 dengan kapasitas terpasang 4 x 400 MW, kedua

PLTU Bukit Asam (Sumatra) pada tahun 1987, dengan kapasitas 2 x 65 MW, dan
pada tahun 1993 PLTU Paiton 1 dan 2, (Jawa Timur) beroperasi pula dengan
kapasitas 400 MW. PLTU Suralaya dikembangan dari unit 5-7 dengan kapasitas
600MW/unit.
Oleh sebab itu secara keseluruhan PLTU batubara pada tahun 1994 sudah
mencapai 2130MW (16% dari total daya terpasang). Pada tahun 2003
kapasitasnya ditingkatkan lagi sekitas 12.100 MW /30%. Pada tahun 2008/2009
mencapai 24.500 MW (48%) dan diharapkan pada tahun 2020 sekitar 46.000
MW.
Sementara itu pemakaian batubara untuk menghasilkan listrik sebesar 17,3
Twh diperlukan batubara sebanyak 7,5 ton., sedang pada tahun 2005 pemakaian
batubara diperkirakaan mencapai 45,2 juta ton dengan energi listrik yang
dihasilkan mencapai 104 TWH.
Banyaknya jumlah pemakaian batubara akan menentukan besar nya biaya
pembangunan PLTU, sedang harga batubara itu sendiri ditentukan oleh nilai
panasnya (kcal/kg), artinya apabila nilai panas tetap maka harga akan turun 1%
per tahun. Nilai panas batubara ditentukan oleh kandungan Sox (merupakan zat
beracun). Oleh sebab itu pada PLTU harus dilengkapi dengan penghisap SOx. Hal
ini yang menyebabkan biaya operasi PLTU batubara lebih tinggi hingga mencapai
20% dibandingan PLTU minyak bumi.
Apabila batubara yang dipergunakan mempunyai kandungan SOx rendah,
maka PLTU batubara tidak perlu dilengkapi dengan alat penghisap SOx ,dengan
demikian PLTU batubara dapat lebih murah. Keunggulan dari PLTU batubara ,
harga bakarnya relatif lebih murah dan mudah didapat dibandingkan dengan
PLTU minyak bumi.

BAB IV
PLTU BATUBARA
4.1.

Proses pengolahan batubara pada PLTU
Pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara adalah sebuah instalasi

pembangkit tenaga listrik menggunakan mesin turbin yang diputar oleh uap yang
dihasilkan melalui pembakaran batubara . PLTU batubara adalah sumber utama
dari listrik dunia saat ini, sekitar 60% listrik dunia bergantung pada batubara
karena biaya PLTU batubara tergolong ekonomis.
Cara kerja PLTU batubara, mula-mula batubara dari luar dialirkan
kepenampung batubara dengan conveyor, kemudian dihancurkan menggunakan
pulverized fuel coal. Tepung batubara halus kemudian dicampur dengan udara
panas oleh forced draught. Dengan tekanan yang tinggi campuran tersebut
disemprotkan ke dalam boiler sehingga akan terbakar dengan cepat dengan
semburan api, kemudian air dialirkan keatas melalui pipa yang ada di dinding
boiler. Air dimasak menjadi uap kemudian uao dialirkan ke tabung boiler untuk
memisahkan uap dari air yang terbawa. Selanjutnya uap air dialirkan ke
superheater yang melipat gandakan suhu dan tekanan uap hingga mencapai suhu
5000 C dan tekanan sekitar 200 bar yang menyebabkan pipa ikut berpijar menjadi
merah. Untuk mengatur turbin mencapai set point, dilakukan dengan mensetting
steam governor valve secara manual maupun otomatis. Uap keluaran dari turbin
mempunyai suhu sedikit di atas titik didih, sehingga perlu dialirkan ke condensor
agar menjadi air yang siap untuk dimasak ulang. Sedangkan air pendingin dari
condensor akan disemprotkan kedalam cooling tower sehingga menimbulkan asap
air pada cooling tower.
Air yang sudah agak dingin dipompa balik ke condensor sebagai air
pendingin ulang. Sedangkan gas buang dari boiler diisap oleh kipas penghisap
agar melewati electrostatic preciptator untuk mengurangi polusi dan gas yang
sudah dipasang dibuang melalui cerobong.
4.2. Sistem pembakaran pada PLTU Batubara

Batubara yang digunakan, dibakar pada boiler secara bertingkat,dengan
maksud untuk mendapatkan laju pembakaran yang rendah tanpa menurunkan
suhu yang diperlukan sehingga diperoleh pembentukan Nox yang rendah.
Sebelum batubara diumpankan ke boiler terlebih dahulu ukuran butirnya
diperkecil terlebih dahulu ukuran butir nya diperkecil dan dibuat seragam,kurang
lebih sebesar butir .beras ,kemudian kemudian batubara ini dimasukan kedalam
boiler dengan cara disemprotkan. Dasar dari boiler berbentuk rangka panggangan
yang berlubang. Pembakaran dapat terjadi apabila ada bantuan udara dari dasar
yang ditupkan keatas dengan kecepatan tiup udara disesuaikan sedemikian rupa
agar butir butir batubara agak terangkat sedikit tanpa terbawa naik sehingga
terbentuk lapisan butir-butir batubara yang mengambang. Selain mengambang
butir-butir tersebut juga bergerak. Hal ini memberikan indikasi telah terjadi
sirkulasi udara yang memberikan efek baik sehingga butir-butir batubara dapat
terbakar habis.
Butir batubara mempunyai ukuran butir yang sama dengan jarak antar butir
berdekatan sehingga akan berakibat pada lapisan mengambang tersebut menjadi
penghantar panas yang baik. Karena proses pembakaran suhunya rendah sehingga
Nox yang dihasilkan kadarnya juga rendah. Akibat selanjutnya sistem pembakaran
tersebut akan mampu mengurangi polutan. Apabila kedalam tungku boiler
diumpankan kapur tohor dan dari dasar tungku yang besuhu 750 0-9500 dimasukan
udara, maka akan membentuk lapisan mengambang yang membakar.
Pada lapisan itu terjadi reaksi kimia, sulfur terikat oleh kapur membentuk
CaSO4 yang berupa debu yang mudah jatuh bersama dengan abu sisa
pembakaran. Hal ini sangat menguntungkan karena akan terjadi pengurangan
emisi sampai 98% dan abu CaSO4 (sebagai mineral gipsum) dapat dimanfaatkan.
Salah satu keuntungan sistem pembakaran ini adalah dapat menggunakan
batubara kualitas rendah (dengan kadar balerang yang tinggi). Batubara jenis ini
terdapat banyak di Indonesia khususnya di Sumatra dan Kalimantan.

4.2.1. Prinsip kerja
a. Boiler

Gambar 4.1. Boiler
Boiler adalah salah satu alat penukar panas. Dalam boiler terjadi
pembakaran bahan bakar (batu bara). Panas hasil pembakaran digunakan
untuk mengubah fase air menjadi uap. Batu bara sebelum masuk keruang
pembakaran (furnace) disalurkan oleh coalfeders menuju coal pulvelizer.
Temperatur dari ruang bakar furnace 10000. Proses penggerusan batu bara
terjadi di pulvelizer yang mengubah batu bara ukuran +50 mm menjadi
200 mass sebanyak minimal 70%. Penggerusan ini berfungsi untuk
memaksimalkan luas permukaan kontak pembakaran dari partikel batu
bara.
Selanjutnya hasil penggerusan batu bara dihem buskan dengan
udara bertemperatur tertentu (+600) menuju ruang bakar. Sedangkan untuk
kesempurnaan pembakaran disistem boiler diperlukan jumlah udara yang
optimum, sehingga didaptkan energi panas hasil pembakaran yang
maksimal. Kontruksi biler terdiri dari ribuan tube, dimana air diubah
menjadi uap lewat jenuh dengan temperatur (50 0) dengan tekanan 170 bar
sebelum masuk ke turbin.

b. Turbin

Gambar 4.2. Turbin PLTU
Turbin berfungsi untuk mengubah energi potensial menjadi energi
kinetik. Uap hasil pembakaran hasil boiler melewati fase tekanan tinggi,
akan masuk ke high pressure turbine selanjutnya keluaran dari uapa
tersebut akan masuk ke sistem reheadting (pemanasan ulang) untuk
menaikkan temperatur sebelum masuk ke intermedite pressure turbine lalu
hasilnya masuk ke low pressure. Uap hasil keluaran low pressure turbin
langsung masuk ke kondensor. Putaran turbin adalah 3000 rpm.
c. Generator.

Gambar 4.3. Generator.
Generator adalah peralatan pengubah energi kinetik menjadi energi
listrik. Rotor generator terpasang satu poros dengan rotor turbin sebesar

3000 rpm yang equipalen dengan keluaran frekuensi energi listrik sebesar 50
hz. Saat berputar medan magnet pada rotor generator memotong pada lilitan
stator sehingga menimbulkan tegangan pada stator generator mengacu pada
induksi elektro magenetik. Arus listrik mengalir saat generator terhubung ke
beban. Biasanya arus listrik yang mengalir tergantung pada besarnya
hambatan listrik (resistansi) pada beban.
d. kondensor.

Gambar 4.4. Kondensor.
Kondensor berfungsi untuk mengembunkan uap air yang telah
digunakan untuk memutar turbin menjadi air kondensat selanjutnya dipompa
kembali ke boiler untuk dipanaskan dan diubah menjadi uap air yang
digunakan untuk memutar turbin lagi (cross cycle). Sedangkan air laut yang
telah digunakan dialirkan kembali kelaut (open cycle).
Pada umum nya sistim kerja PLTU itu adalah batubara yang akan
digunakan/dipakai dibakar di dalam boiler secara bertingkat. Hal ini
dimaksudkan untuk memperoleh laju pembakaran yang rendah dan tanpa
mengurangi suhu yang diperlukan sehingga diperoleh pembentukan NO x
yang rendah. Batubara sebelum dibakar digiling hingga menyerupai butirbutir beras, kemudian dimasukkan ke wadah (boiler) dengan cara disemprot,
di mana dasar wadah itu berbentuk rangka panggangan yang berlubang.

Pembakaran bisa terjadi dengan bantuan udara dari dasar yang
ditiupkan ke atas dan kecepatan tiup udara diatur sedemikian rupa, akibatnya
butir batubara agak terangkat sedikit tanpa terbawa sehingga terbentuklah
lapisan butir-butir batubara yang mengambang.
Selain mengambang butir batubara itu juga bergerak berarti hal ini
menandakan terjadinya sirkulasi udara yang akan memberikan efek yang
baik sehingga butir itu habis terbakar. Karena butir batubara relatif
mempunyai ukuran yang sama dan dengan jarak yang berdekatan akibatnya
lapisan mengambang itu menjadi penghantar panas yang baik.
Karena proses pembakaran suhunya rendah sehingga NOx yang
dihasilkan kadarnya menjadi rendah, dengan demikian sistim pembakaran
ini bisa mengurangi polutan. Bila ke dalam tungku boiler dimasukkan kapur
(Ca) dan dari dasar tungku yang bersuhu 750-950˚C dimasukkan udara
akibatnya terbentuk lapisan mengambang yang membakar. Pada lapisan itu
terjadi reaksi kimia yang menyebabkan sulfur terikat dengan kapur sehingga
dihasilkan CaSO4 yang berupa debu sehingga mudah jatuh bersama abu sisa
pembakaran.
Hal inilah yang menyebabkan terjadinya pengurangan emisi sampai 98
persen dan abu CaSO4-nya bisa dimanfaatkan.
Keuntungan sistem pembakaran ini adalah bisa menggunakan
batubara bermutu rendah dengan kadar belerang yang tinggi dan batubara
seperti ini banyak terdapat di Indonesia.
Tabel 4.1. Persyaratan kualitas batubara untuk industri PLTU
1
2
3
4
5
6
7

Total moisture
Ash content
Volatile matter
High heating value
Total sulfur
Alkali dalam abu
Hardgrove index

23.6 %
7.8 %
30.3 %
5.242 kcal/kg
0.4 %
max. 2 %
50 –60

4.3. Proses Terjadinya Energi Listrik
Dalam proses pembakaran batubara di PLTU, akan menghasilakan uap dan
gas buang yang sangat panas. Gas buang ini berfungsi pula untuk memanaskan

pipa boiler yang berada diatas lapisan mengambang. Gas buang ini selanjutnya
dialirkan kepembersih yang didalamnya terdapat alat pengendap debu. Setelah
gas tersebut bersih lalu dibuang ke atmosfir
dialirkan

keturbin

yang

menyebabkan

melalui cerobong, sedang uap
turbin

ber